Lompat ke isi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 saat ini telah disahkan dan berlaku aktif.
Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012, lihat di sini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 (UU/2012/12)  (2012) 
tentang Pendidikan Tinggi

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2012
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia;
  2. bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan;
  3. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa;
  1. bahwa untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis
  2. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi diperlukan pengaturan sebagai dasar dan kepastian hukum;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi;
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
  2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
  3. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu;
  4. Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan berbagai cabang Ilmu Pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup, serta peningkatan ilmu kehidupan manusia.
  5. Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji nilai intrinsik kemanusiaan.
  1. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
  2. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.
  3. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
  4. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
  5. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dari metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
  6. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
  7. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa dengan dosen dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
  8. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
  9. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  1. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi.
  2. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan Tinggi.
  3. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi.
  4. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat.
  5. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  6. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  7. Kementerian adalah perangkat perintah yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
  8. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan pemerintahan di luar bidang pendidikan.
  9. Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selanjutnya disingkat LPNK adalah lembaga pemerintah pusat yang melaksanakan tugas pemerintahan tertentu.
  1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Pasal 2
Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pasal 3
Pendidikan Tinggi berasaskan:
  1. kebenaran ilmiah;
  2. penalaran;
  3. kejujuran;
  4. keadilan;
  5. manfaat;
  6. kebajikan;
  7. tanggung jawab;
  8. kebhinnekaan; dan
  9. keterjangkauan.

Pasal 4
Pendidikan Tinggi berfungsi:
  1. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
  2. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan
  3. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.

Pasal 5
Pendidikan Tinggi bertujuan:
  1. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
  2. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
  3. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
  4. terwujudnya pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.


BAB II
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI


Bagian Kesatu
Prinsip dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi


Pasal 6
Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip:
  1. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika;
  2. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa;
  1. pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika;
  2. pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat;
  3. keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran;
  4. pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang;
  5. kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa;
  6. satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna;
  7. keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara ekonomi; dan
  8. pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi.

Pasal 7
  1. Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
  2. Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi.
  3. Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi meliputi:
    1. kebijakan umum dalam pengembangan dan koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Tinggi;
  1. penetapan kebijakan umum nasional dan penyusunan rencana pengembangan jangka panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan;
  2. peningkatan penjaminan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan;
  3. pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya Perguruan Tinggi;
  4. pemberian dan pencabutan izin yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi kecuali pendidikan tinggi keagamaan;
  5. kebijakan umum dalam penghimpunan dan pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi;
  6. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi; dan
  7. pelaksanaan tugas lain untuk menjamin pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan Tinggi.
  1. Dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, tanggung jawab, tugas, dan wewenang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan wewenang Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Paragraf 1
Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan

Pasal 8
  1. Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
  2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
  3. Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.

Pasal 9
  1. Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
  1. Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
  2. Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik.

Paragraf 2
Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 10
  1. Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting Ilmu Pengetahuan yang disusun secara sistematis.
  2. Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. rumpun ilmu agama;
    2. rumpun ilmu humaniora;
    3. rumpun ilmu sosial;
    4. rumpun ilmu alam;
    5. rumpun ilmu formal; dan
    6. rumpun ilmu terapan.
  3. Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditransformasikan, dikembangkan, dan/atau disebarluaskan oleh Sivitas Akademika melalui Tridharma.

Paragraf 3
Sivitas Akademika

Pasal 11
  1. Sivitas Akademika merupakan komunitas yang memiliki tradisi ilmiah dengan mengembangkan budaya akademik.
  2. Budaya akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sesuai dengan asas Pendidikan Tinggi.
  3. Pengembangan budaya akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan interaksi sosial tanpa membedakan suku, agama, ras, antargolongan, jenis kelamin, kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi, dan aliran politik.
  4. Interaksi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, penguasaan dan/atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta pengembangan Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah.
  5. Sivitas Akademika berkewajiban memelihara dan mengembangkan budaya akademik dengan memperlakukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai proses dan produk serta sebagai amal dan paradigma moral.

Pasal 12
  1. Dosen sebagai anggota Sivitas Akademika memiliki tugas mentransformasikan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang dikuasainya kepada Mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran sehingga Mahasiswa aktif mengembangkan potensinya.
  1. Dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya.
  2. Dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika.

Pasal 13
  1. Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
  2. Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.
  3. Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.
  4. Mahasiswa berhak mendapatkan layanan Pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kemampuannya.
  5. Mahasiswa dapat menyelesaikan program Pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak melebihi ketentuan batas waktu yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
  1. Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati norma Pendidikan Tinggi untuk menjamin terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya akademik.

Pasal 14
  1. Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses Pendidikan.
  2. Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.
  3. Ketentuan lain mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam statuta Perguruan Tinggi.


Bagian Ketiga
Jenis Pendidikan Tinggi


Paragraf 1
Pendidikan Akademik

Pasal 15
  1. Pendidikan akademik merupakan Pendidikan Tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
  2. Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam tanggung jawab Kementerian.

Paragraf 2
Pendidikan Vokasi

Pasal 16
  1. Pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.
  2. Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan oleh Pemerintah sampai program magister terapan atau program doktor terapan.
  3. Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan pendidikan vokasi berada dalam tanggung jawab Kementerian.

Paragraf 3
Pendidikan Profesi

Pasal 17
  1. Pendidikan profesi merupakan Pendidikan Tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan Mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.
  2. Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi dan bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.


Bagian Keempat
Program Pendidikan Tinggi


Paragraf 1
Program Sarjana, Program Magister, dan Program Doktor

Pasal 18
  1. Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah.
  2. Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional.
  3. Program sarjana wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat.
  4. Lulusan program sarjana berhak menggunakan gelar sarjana.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai program sarjana diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 19
  1. Program magister merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
  1. Program magister sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan Mahasiswa menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional.
  2. Program magister wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat.
  3. Lulusan program magister berhak menggunakan gelar magister.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 20
  1. Program doktor merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
  2. Program doktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan dan memantapkan Mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau mengembangkan teori melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia.
  3. Program doktor wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat.
  1. Lulusan program doktor berhak menggunakan gelar doktor.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Program Diploma, Magister Terapan, dan Doktor Terapan

Pasal 21
  1. Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi.
  2. Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyiapkan Mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan bidang keahliannya.
  3. Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas program:
    1. diploma satu;
    2. diploma dua;
    3. diploma tiga; dan
    4. diploma empat atau sarjana terapan.
  4. Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat.
  5. Pada program diploma satu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan program diploma dua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat menggunakan instruktur yang berkualifikasi akademik minimum lulusan diploma tiga atau sederajat yang memiliki pengalaman.
  1. Lulusan program diploma berhak menggunakan gelar ahli atau sarjana terapan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai program diploma diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 22
  1. Program magister terapan merupakan kelanjutan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana terapan atau sederajat untuk mampu mengembangkan dan mengamalkan penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
  2. Program magister terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan Mahasiswa menjadi ahli yang memiliki kapasitas tinggi dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada profesinya.
  3. Program magister terapan wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat.
  4. Lulusan program magister terapan berhak menggunakan gelar magister terapan.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai program magister terapan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 23
  1. Program doktor terapan merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister terapan atau sederajat untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi bagi penerapan, pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah.
  1. Program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan dan memantapkan Mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai ahli dan menghasilkan serta mengembangkan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penelitian yang komprehensif dan akurat dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia.
  2. Program doktor terapan wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat.
  3. Lulusan program doktor terapan berhak menggunakan gelar doktor terapan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai program doktor terapan diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Program Profesi dan Program Spesialis

Pasal 24
  1. Program profesi merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja.
  2. Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
  3. Program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyiapkan profesional.
  1. Program profesi wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program profesi dan/atau lulusan program magister atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun.
  2. Lulusan program profesi berhak menggunakan gelar profesi.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai program profesi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 25
  1. Program spesialis merupakan pendidikan keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi lulusan program profesi yang telah berpengalaman sebagai profesional untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi spesialis.
  2. Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi.
  3. Program spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meningkatkan kemampuan spesialisasi dalam cabang ilmu tertentu.
  4. Program spesialis wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program spesialis dan/atau lulusan program doktor atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun.
  5. Lulusan program spesialis berhak menggunakan gelar spesialis.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai program spesialis diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Gelar Akademik, Gelar Vokasi, dan Gelar Profesi

Pasal 26
  1. Gelar akademik diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik.
  2. Gelar akademik terdiri atas:
    1. sarjana;
    2. magister; dan
    3. doktor.
  3. Gelar vokasi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi.
  4. Gelar vokasi terdiri atas:
    1. ahli pratama;
    2. ahli muda;
    3. ahli madya;
    4. sarjana terapan;
    5. magister terapan; dan
    6. doktor terapan.
  5. Gelar profesi diberikan oleh Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesi.
  6. Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi.
  7. Gelar profesi terdiri atas:
    1. profesi; dan
    2. spesialis.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
  1. Selain gelar doktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c, Perguruan Tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar doktor kehormatan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 28
  1. Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
  2. Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya dibenarkan dalam bentuk dan inisial atau singkatan yang diterima dari Perguruan Tinggi.
  3. Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh:
    1. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau
    2. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi.
  4. Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh:
  1. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau
  2. perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang tanpa hak mengeluarkan gelar profesi.
  1. Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Perguruan Tinggi apabila karya ilmiah yang digunakan untuk memperoleh gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat.
  2. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
  3. Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.


Bagian Kelima
Kerangka Kualifikasi Nasional


Pasal 29
  1. Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.
  2. Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi.
  3. Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.


Bagian Keenam
Pendidikan Tinggi Keagamaan


Pasal 30
  1. Pemerintah atau Masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan.
  2. Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan tinggi keagamaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketujuh
Pendidikan Jarak Jauh


Pasal 31
  1. Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi.
  2. Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
    1. memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada kelompok Masyarakat yang tidak dapat mengikuti Pendidikan secara tatap muka atau reguler; dan
    2. memperluas akses serta mempermudah layanan Pendidikan Tinggi dalam Pendidikan dan pembelajaran.
  3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Kedelapan
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus


Pasal 32
  1. Program Studi dapat dilaksanakan melalui pendidikan khusus bagi Mahasiswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran dan/atau Mahasiswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
  2. Selain pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Program Studi juga dapat dilaksanakan melalui pendidikan layanan khusus dan/atau pembelajaran layanan khusus.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi yang melaksanakan pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pendidikan layanan khusus dan/atau pembelajaran layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Kesembilan
Proses Pendidikan dan Pembelajaran


Paragraf 1
Program Studi

Pasal 33
  1. Program pendidikan dilaksanakan melalui Program Studi.
  1. Program Studi memiliki kurikulum dan metode pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan.
  2. Program Studi diselenggarakan atas izin Menteri setelah memenuhi persyaratan minimum akreditasi.
  3. Program Studi dikelola oleh suatu satuan unit pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
  4. Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin penyelenggaraan.
  5. Program Studi wajib diakreditasi ulang pada saat jangka waktu akreditasinya berakhir.
  6. Program Studi yang tidak diakreditasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dicabut izinnya oleh Menteri.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai metode pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemberian izin Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan pencabutan izin Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 34
  1. Program Studi diselenggarakan di kampus utama Perguruan Tinggi dan/atau dapat diselenggarakan di luar kampus utama dalam suatu provinsi atau di provinsi lain melalui kerja sama dengan Perguruan Tinggi setempat.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Program Studi di kampus utama Perguruan Tinggi dan/atau di luar kampus utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Kurikulum

Pasal 35
  1. Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
  2. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan.
  3. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah:
    1. agama;
    2. Pancasila;
    3. kewarganegaraan; dan
    4. bahasa Indonesia.
  4. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
  5. Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk program sarjana dan program diploma.

Pasal 36
Kurikulum pendidikan profesi dirumuskan bersama Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Paragraf 3
Bahasa Pengantar

Pasal 37
  1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara wajib menjadi bahasa pengantar di Perguruan Tinggi.
  2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam program studi bahasa dan sastra daerah.
  3. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di Perguruan Tinggi.

Paragraf 4
Perpindahan dan Penyetaraan

Pasal 38
  1. Perpindahan Mahasiswa dapat dilakukan antar:
    1. Program Studi pada program Pendidikan yang sama;
    2. jenis Pendidikan Tinggi; dan/atau
    3. Perguruan Tinggi.
  2. Ketentuan mengenai perpindahan Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 39
  1. Lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi dapat melanjutkan pendidikannya pada pendidikan akademik melalui penyetaraan.
  2. Lulusan pendidikan akademik dapat melanjutkan pendidikannya pada pendidikan vokasi atau pendidikan profesi melalui penyetaraan.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyetaraan lulusan pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 40
  1. Lulusan Perguruan Tinggi negara lain dapat mengikuti Pendidikan Tinggi di Indonesia setelah melalui penyetaraan.
  2. Ketentuan mengenai penyetaraan lulusan Perguruan Tinggi negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Sumber Belajar, Sarana, dan Prasarana

Pasal 41
  1. Sumber belajar pada lingkungan pendidikan tinggi wajib disediakan, difasilitasi, atau dimiliki oleh Perguruan Tinggi sesuai dengan Program Studi yang dikembangkan.
  2. Sumber belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan secara bersama oleh beberapa Perguruan Tinggi.
  3. Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kecerdasan Mahasiswa.

Paragraf 6
Ijazah

Pasal 42
  1. Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi.
  2. Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi yang memuat Program Studi dan gelar yang berhak dipakai oleh lulusan Pendidikan Tinggi.
  3. Lulusan Pendidikan Tinggi yang menggunakan karya ilmiah untuk memperoleh ijazah dan gelar, yang terbukti merupakan hasil jiplakan atau plagiat, ijazahnya dinyatakan tidak sah dan gelarnya dicabut oleh Perguruan Tinggi.
  4. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan ijazah.

Paragraf 7
Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi

Pasal 43
  1. Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bersama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat profesi.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44
  1. Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya.
  2. Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi.
  3. Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu.
  4. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Kesepuluh
Penelitian


Pasal 45
  1. Penelitian di Perguruan Tinggi diarahkan untuk mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa.
  2. Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Sivitas Akademika sesuai dengan otonomi keilmuan dan budaya akademik.
  3. Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan jalur kompetensi dan kompetisi.

Pasal 46
  1. Hasil Penelitian bermanfaat untuk:
    1. pengayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta pembelajaran;
    2. peningkatan mutu Perguruan Tinggi dan kemajuan peradaban bangsa;
    3. peningkatan kemandirian, kemajuan, dan daya saing bangsa;
    4. pemenuhan kebutuhan strategis pembangunan nasional; dan
    5. perubahan Masyarakat Indonesia menjadi Masyarakat berbasis pengetahuan.
  2. Hasil Penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau dipatenkan oleh Perguruan Tinggi, kecuali hasil Penelitian yang bersifat rahasia, mengganggu, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
  1. Hasil Penelitian Sivitas Akademika yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna, dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar dapat diberi anugerah yang bermakna oleh Pemerintah.


Bagian Kesebelas
Pengabdian Kepada Masyarakat


Pasal 47
  1. Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan Sivitas Akademika dalam mengamalkan dan membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
  2. Pengabdian kepada Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik, keahlian, dan/atau otonomi keilmuan Sivitas Akademika serta kondisi sosial budaya masyarakat.
  3. Hasil Pengabdian kepada Masyarakat digunakan sebagai proses pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pengayaan sumber belajar, dan/atau untuk pembelajaran dan pematangan Sivitas Akademika.
  4. Pemerintah memberikan penghargaan atas hasil Pengabdian kepada Masyarakat yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh dunia usaha dan dunia industri, dan/atau teknologi tepat guna.


Bagian Kedua Belas
Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat


Pasal 48
  1. Perguruan Tinggi berperan aktif menggalang kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha, dunia industri, dan Masyarakat dalam bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  2. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat mendayagunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat Penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
  3. Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas Penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK.
  4. Pemerintah memfasilitasi kerja sama dan kemitraan antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang Penelitian.


Bagian Ketiga Belas
Pelaksanaan Tridharma


Pasal 49
  1. Ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan Tridharma dilakukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan setiap jenis dan program Pendidikan Tinggi.
  2. Ketentuan mengenai ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan Tridharma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Keempat Belas
Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi


Pasal 50
  1. Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
  2. Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
  3. Kerja sama internasional mencakup bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
  4. Kerja sama internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat dilakukan, antara lain, melalui:
    1. hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam kegiatan penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu;
    2. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada Perguruan Tinggi di dalam dan di luar negeri; dan
    3. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri.
  5. Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan Tinggi ditetapkan dalam Peraturan Menteri.


BAB III
PENJAMINAN MUTU


Bagian Kesatu
Sistem Penjaminan Mutu


Pasal 51
  1. Pendidikan Tinggi yang bermutu merupakan Pendidikan Tinggi yang menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif mengembangkan potensinya dan menghasilkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang berguna bagi Masyarakat, bangsa, dan negara.
  2. Pemerintah menyelenggarakan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi untuk mendapatkan Pendidikan bermutu.

Pasal 52
  1. Penjaminan mutu Pendidikan Tinggi merupakan kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu Pendidikan Tinggi secara berencana dan berkelanjutan.
  2. Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar Pendidikan Tinggi.
  3. Menteri menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
  4. Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi.

Pasal 53
Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) terdiri atas:
  1. sistem penjaminan mutu internal yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi; dan
  2. sistem penjaminan mutu eksternal yang dilakukan melalui akreditasi.


Bagian Kedua
Standar Pendidikan Tinggi


Pasal 54
  1. Standar Pendidikan Tinggi terdiri atas:
    1. Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh Menteri atas usul suatu badan yang bertugas menyusun dan mengembangkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
    2. Standar Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
    3. Standar Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat.
    4. Standar Nasional Pendidikan Tinggi dikembangkan dengan memperhatikan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
    5. Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas sejumlah standar dalam bidang akademik dan nonakademik yang melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
  1. Dalam mengembangkan Standar Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b Perguruan Tinggi memiliki keleluasaan mengatur pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
  2. Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi secara berkala.
  3. Menteri mengumumkan hasil evaluasi dan penilaian Standar Pendidikan Tinggi kepada Masyarakat.
  4. Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Ketiga
Akreditasi


Pasal 55
  1. Akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
  2. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan kelayakan Program Studi dan Perguruan Tinggi atas dasar kriteria yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
  3. Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi untuk mengembangkan sistem akreditasi.
  4. Akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
  5. Akreditasi Program Studi sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri.
  6. Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan lembaga mandiri bentukan Pemerintah atau lembaga mandiri bentukan Masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
  1. Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/atau cabang ilmu serta dapat berdasarkan kewilayahan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi


Pasal 56
  1. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi merupakan kumpulan data penyelenggaraan Pendidikan Tinggi seluruh Perguruan Tinggi yang terintegrasi secara nasional.
  2. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber informasi bagi:
    1. lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi;
    2. Pemerintah, untuk melakukan pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi Program Studi dan Perguruan Tinggi; dan
    3. Masyarakat, untuk mengetahui kinerja Program Studi dan Perguruan Tinggi.
  3. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan dan dikelola oleh Kementerian atau dikelola oleh lembaga yang ditunjuk oleh Kementerian.
  1. Penyelenggara Perguruan Tinggi wajib menyampaikan data dan informasi penyelenggaraan Perguruan Tinggi serta memastikan kebenaran dan ketepatannya.


Bagian Kelima
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi


Pasal 57
  1. Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi merupakan satuan kerja Pemerintah di wilayah yang berfungsi membantu peningkatan mutu penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
  2. Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri.
  3. Menteri menetapkan tugas dan fungsi lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebutuhan.
  4. Menteri secara berkala mengevaluasi kinerja lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


BAB IV
PERGURUAN TINGGI


Bagian Kesatu
Fungsi dan Peran Perguruan Tinggi


Pasal 58
  1. Perguruan Tinggi melaksanakan fungsi dan peran sebagai:
    1. wadah pembelajaran Mahasiswa dan Masyarakat;
    2. wadah pendidikan calon pemimpin bangsa;
    1. pusat pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
    2. pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran; dan
    3. pusat pengembangan peradaban bangsa.
  1. Fungsi dan peran Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan Tridharma yang ditetapkan dalam statuta Perguruan Tinggi.


Bagian Kedua
Bentuk Perguruan Tinggi


Pasal 59
  1. Bentuk Perguruan Tinggi terdiri atas:
    1. universitas;
    2. institut;
    3. sekolah tinggi;
    4. politeknik;
    5. akademi; dan
    6. akademi komunitas.
  2. Universitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
  3. Institut merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
  1. Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
  2. Politeknik merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, politeknik dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
  3. Akademi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu.
  4. Akademi Komunitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.


Bagian Ketiga
Pendirian Perguruan Tinggi


Pasal 60
  1. PTN didirikan oleh Pemerintah.
  2. PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.
  3. Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Perguruan Tinggi yang didirikan harus memenuhi standar minimum akreditasi.
  2. Perguruan Tinggi wajib memiliki Statuta.
  3. Perubahan atau pencabutan izin PTS dilakukan oleh menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) serta perubahan atau pencabutan izin PTS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Organisasi Penyelenggara Perguruan Tinggi


Pasal 61
  1. Organisasi penyelenggara merupakan unit kerja Perguruan Tinggi yang secara bersama melaksanakan kegiatan Tridharma dan fungsi manajemen sumber daya.
  2. Organisasi penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur:
    1. penyusun kebijakan;
    2. pelaksana akademik;
    3. pengawas dan penjaminan mutu;
    4. penunjang akademik atau sumber belajar; dan
    5. pelaksana administrasi atau tata usaha.
  3. Organisasi penyelenggara Perguruan Tinggi diatur dalam Statuta Perguruan Tinggi.


Bagian Kelima
Pengelolaan Perguruan Tinggi


Pasal 62
  1. Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.
  2. Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi.
  3. Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh Perguruan Tinggi.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 63
Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
  1. akuntabilitas;
  2. transparansi;
  3. nirlaba;
  4. penjaminan mutu; dan
  5. efektivitas dan efisiensi.

Pasal 64
  1. Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik.
  1. Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma.
  2. Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:
    1. organisasi;
    2. keuangan;
    3. kemahasiswaan;
    4. ketenagaan; dan
    5. sarana prasarana.

Pasal 65
  1. Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
  2. PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
    1. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
    2. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
    1. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
    2. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
    3. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
    4. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan
    5. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.
  1. Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
  2. Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 66
  1. Statuta PTN ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
  2. Statuta PTN Badan Hukum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
  3. Statuta PTS ditetapkan dengan surat keputusan badan penyelenggara.

Pasal 67
Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam
Ketenagaan


Paragraf 1
Pengangkatan dan Penempatan

Pasal 69
  1. Ketenagaan perguruan tinggi terdiri atas:
    1. Dosen; dan
    2. tenaga kependidikan.
  2. Dosen dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditempatkan di Perguruan Tinggi oleh Pemerintah atau badan penyelenggara.
  3. Setiap orang yang memiliki keahlian dan/atau prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi Dosen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 70
  1. Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga kependidikan oleh Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  3. Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada Dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Menteri dapat menugasi Dosen yang diangkat oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di PTN untuk peningkatan mutu Pendidikan Tinggi.
  2. Pemerintah memberikan insentif kepada Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pemberian insentif kepada Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 71
  1. Pemimpin PTN dapat mengangkat Dosen tetap sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi atas persetujuan Pemerintah.
  2. PTN memberikan gaji pokok dan tunjangan kepada Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemerintah memberikan tunjangan jabatan akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan kehormatan kepada Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan Dosen tetap pada PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Jenjang Jabatan Akademik

Pasal 72
  1. Jenjang jabatan akademik Dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
  1. Jenjang jabatan akademik Dosen tidak tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara Perguruan Tinggi.
  2. Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun sebagai Dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik profesor.
  3. Batas usia pensiun Dosen yang menduduki jabatan akademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.
  4. Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.
  5. Ketentuan mengenai jenjang jabatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Ketujuh
Kemahasiswaan


Paragraf 1
Penerimaan Mahasiswa Baru

Pasal 73
  1. Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.
  1. Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional.
  2. Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.
  3. Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum Mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.
  4. Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.
  5. Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 74
  1. PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
  2. Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.

Pasal 75
  1. Warga negara asing dapat diterima menjadi Mahasiswa pada Perguruan Tinggi.
  2. Penerimaan Mahasiswa warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
    1. kualifikasi akademik;
    2. Program Studi;
    3. jumlah Mahasiswa; dan
    4. lokasi Perguruan Tinggi.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penerimaan Mahasiswa warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Pemenuhan Hak Mahasiswa

Pasal 76
  1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
  2. Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
    1. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;
    2. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau
    3. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
  1. Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Organisasi Kemahasiswaan

Pasal 77
  1. Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan.
  2. Organisasi kemahasiswaan paling sedikit memiliki fungsi untuk:
    1. mewadahi kegiatan Mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi Mahasiswa;
    2. mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa kebangsaan;
    3. memenuhi kepentingan dan kesejahteraan Mahasiswa; dan
    4. mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat.
  3. Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra Perguruan Tinggi.
  4. Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan.
  1. Ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam statuta perguruan tinggi.


Bagian Kedelapan
Akuntabilitas Perguruan Tinggi


Pasal 78
  1. Akuntabilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada Masyarakat yang terdiri atas:
    1. akuntabilitas akademik; dan
    2. akuntabilitas nonakademik.
  2. Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diwujudkan dengan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
  3. Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan.
  4. Laporan tahunan akuntabilitas Perguruan Tinggi dipublikasikan kepada Masyarakat.
  5. Sistem pelaporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kesembilan
Pengembangan Perguruan Tinggi


Paragraf 1
Umum

Pasal 79
  1. Pemerintah memfasilitasi kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha, industri, alumni, Pemerintah Daerah, dan/atau pihak lain.
  1. Pemerintah mengembangkan sistem pengelolaan informasi Pendidikan Tinggi.
  2. Pemerintah mengembangkan sistem pembinaan berjenjang melalui kerja sama antar Perguruan Tinggi.
  3. Pemerintah mengembangkan sumber pembelajaran terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh Sivitas Akademika.
  4. Pemerintah mengembangkan jejaring antar Perguruan Tinggi dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Paragraf 2
Pola Pengembangan Perguruan Tinggi

Pasal 80
  1. Pemerintah mengembangkan secara bertahap pusat unggulan pada Perguruan Tinggi.
  2. Pemerintah mengembangkan paling sedikit 1 (satu) PTN berbentuk universitas, institut, dan/atau politeknik di setiap provinsi.
  3. PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berbasis Tridharma sesuai dengan potensi unggulan daerah untuk mendukung kebutuhan pembangunan nasional.

Pasal 81
  1. Pemerintah bersama Pemerintah Daerah mengembangkan secara bertahap paling sedikit 1 (satu) akademi komunitas dalam bidang yang sesuai dengan potensi unggulan daerah di kabupaten/kota dan/atau di daerah perbatasan.
  1. Akademi komunitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berbasis kebutuhan daerah untuk mempercepat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 81 diatur dalam Peraturan Menteri.


BAB V
PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN


Bagian Kesatu
Tanggung Jawab dan Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi


Pasal 83
  1. Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
  2. Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 84
  1. Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi.
  2. Pendanaan Pendidikan Tinggi yang diperoleh dari Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk:
    1. hibah;
    2. wakaf;
    3. zakat;
    4. persembahan kasih;
    5. kolekte;
    6. dana punia;
    7. sumbangan individu dan/atau perusahaan;
    8. dana abadi Pendidikan Tinggi; dan/atau
    9. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 85
  1. Perguruan Tinggi dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi melalui kerja sama pelaksanaan Tridharma.
  2. Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Pasal 86
  1. Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
  2. Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 87
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Pembiayaan dan Pengalokasian


Pasal 88
  1. Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan:
    1. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
    2. jenis Program Studi; dan
    3. indeks kemahalan wilayah.
  2. Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN.
  3. Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa.
  4. Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 89
  1. Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dialokasikan untuk:
    1. PTN, sebagai biaya operasional, Dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan;
    2. PTS, sebagai bantuan tunjangan profesi dosen, tunjangan kehormatan profesor, serta investasi dan pengembangan; dan
    3. Mahasiswa, sebagai dukungan biaya untuk mengikuti Pendidikan Tinggi.
  2. Dana Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk PTN badan hukum diberikan dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Ketentuan mengenai bentuk dan mekanisme pendanaan pada PTN badan hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  4. Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan dana yang disediakan oleh Pemerintah daerah untuk penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di daerah masing-masing sesuai dengan kemampuan daerah.
  5. Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN dari anggaran fungsi Pendidikan.
  6. Pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari dana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk dana Penelitian di PTN dan PTS.
  7. Dana Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikelola oleh Kementerian.


BAB VI
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN


Pasal 90
  1. Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
  3. Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  4. Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
    1. memperoleh izin Pemerintah;
    2. berprinsip nirlaba;
    3. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
    4. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
  5. Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan nasional.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.


BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT


Pasal 91
  1. Masyarakat berperan serta dalam pengembangan Pendidikan Tinggi.
  2. Peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
    1. menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri;
    2. memberikan beasiswa dan/atau bantuan Pendidikan kepada Mahasiswa;
    3. mengawasi dan menjaga mutu Pendidikan Tinggi melalui organisasi profesi atau lembaga swadaya masyarakat;
    4. menyelenggarakan PTS bermutu;
    5. mengembangkan karakter, minat, dan bakat Mahasiswa;
    6. menyediakan tempat magang dan praktik kepada Mahasiswa;
    7. memberikan berbagai bantuan melalui tanggung jawab sosial perusahaan;
    8. mendukung kegiatan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat;
    9. berbagi sumberdaya untuk pelaksanaan Tridharma; dan/atau
    10. peran serta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF


Pasal 92
  1. Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal 33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5) dikenai sanksi administratif.
  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah;
    3. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan;
    4. penghentian pembinaan; dan/atau
    5. pencabutan izin.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.


BAB IX
KETENTUAN PIDANA


Pasal 93
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 94
Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian lain dan LPNK diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 95
Sebelum terbentuknya lembaga akreditasi mandiri, akreditasi program studi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.

Pasal 96
Lembaga layanan Pendidikan Tinggi harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 97
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. izin pendirian Perguruan Tinggi dan izin penyelenggaraan Program Studi yang sudah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku.
  2. pengelolaan Perguruan Tinggi harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  3. pengelolaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang telah berubah menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Pemerintah dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum ditetapkan sebagai PTN Badan Hukum dan harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
  1. pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam huruf c mengikuti Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 98
  1. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  2. Peraturan Pemerintah tentang bentuk dan mekanisme pendanaan PTN Badan Hukum ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 99
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) yang berkaitan dengan Pendidikan Tinggi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 100
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 2012

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 2012

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia,


ttd.

Amir Syamsudin

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 158

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


ttd.

Wisnu Setiawan

Lihat Juga

[sunting]