Tjerita Si Umbut Muda/11
11. PENUTUP
Makan djangan beremah,
kepiring tuangkan bubur.
Didunia hidup serumah,
diachirat mati sekubur.
'Lah pulang helat nan banjak — 'lah tinggal si Umbut Muda — berdua dengan si Gelang Banjak. Habis hari berbilang pekan — habis pekan berbilang bulan — tjukuplah tiga bulan pepat —terkira pula oleh si Umbut — hendak pulang kekampungnja — keranah Kampung Teberau. Berkata si Umbut Muda: „O adik Puteri Gelang Banjak — dengar benarlah oleh kau! 'Lah lama kita disini — hamba ingin hendak pulang — hamba terkenang dikampung hamba — marilah kita pergi kesana — kerumah Kampung Teberau — pergi bertemu dengan si Rambun."
Mendjawab si Gelang Banjak : „Djika itu tuan katakan — tidak hamba akan bertangguh — kebarang empat udjar tuan — kebarang tempat tuan bawa — hamba tidak mendua hati. Hanja sedikit pinta hamba — berkata tuan sepatah —berkabar tuan sedikit — minta izin malah dahulu — kepada ibu bapak kita — supaja senang hati beliau!”
Mendengar kata demikian — didapatkan ibu dan bapak; berkata si Umbut Muda: „O ibu, dengarkan ibu — O bapak, udjarku bapak! beri izin hamba dahulu — hamba hendak pulang kembali — keranah ke Kampung Teberau — si Gelang bersama pula.”
Menangis ibu si Gelang — menangis mengesak-esak:,,Djika itu bujung katakan — rusuhJah kira-kira hamba — rusuhlah rasa dalam hati — karena mataku belum puas — karena hatiku belum lepas — memandangi kalian kedua. Tapi djika begitu pinta bujung — tak dapat kami menidakkan — bagaimana kami akan menahani? Bujung pergilah dahulu — bujung pulanglah tjepat. Sebuah hanja pinta kami, djangan lama bujung berdjalan — djangan ama kami ditinggalkan. Inilah djenis badan kami — inilah rupa tua badan — haus kemana minta air — Japar kemana minta nasi — rusuh kemana dikatakan? Djika datang sakit ngelu pening — siapalah akan hamba imbau — siapa nan akan membela. Entah terdjadi dinihari — entah mati tengah djalan — apa kan tenggang 'akal kami?”
Mendjawab si Umbut Muda: ,,Djika itu ibu katakan — itu djangan ibu rusuhkan — itu djangan ibu risaukan — itu djangan bapak tjemaskan. Setahun ibu tak bersua — dua musim bapak tidak bertemu — sehari haram hamba lupakan. Djika untung pemberi Allah — tak ada aral melintang — tidak sakit ngelu pening — lekas kami kembali surut!”
Berkemas si Gelang Banjak — bersiap si Umbut Muda — djawat salam dengan mentua — lalu turun ia sekali, "Lah serentang perdjalanan — "lah dua rentang perdjalanan — hampir dekat 'kan tiba — tibalah diperhentian —— ialah di Djirak Djirau Randin — dikaju kandung nan sebatang — diberingin nan rimbun daun — dikanan talang perindu — dikiri beraur Tjina. Hari nan sedang tengah hari — sedang buntar bajang-bajang — sedang letih lesu tulang — sedang lengang-lengis orang — sedang si tjindai bergelut — berkata si Umbut Muda: „Adikku Puteri Gelang Banjak — dengarkan pulalah dikau:
Sidjelitak sidjelutai,
bertitian batang talas.
Tulang litak bagai ditulai,
berbaur ditimpa panas.
Memakan kerak 'lah dahulu,
berulam putjuk kepundung.
Berlepas pelaklah dahulu,
sementara kita boleh berlindung.”
Berkata si Gelang Banjak: „Djika itu tuan katakan — putjuk ditjinta ulam tiba — hamba hendak berhenti djua — pelak nan bukan oleh-oleh. Inilah kampil sirih tuan — mengunjah sirihlah sekapur — supaja lepas pajah badan —supaja mendung hati ini — nanti kita berdjalan pula!”
'Lah mengunjah si Gelang Banjak 'lah mengudut si Umbut Muda — seri'lah keubun-ubun — kelat tinggal dirangkungan; sedang dapat agak-agak —sedang datang kira-kira — berkata si Umbut Muda: „O adik, Puteri Gelang Banjak — berhenti sudah obat pajah — rasanja hati sudah lindung — marilah kita berdjalan pula.”
'Lah tegak si Gelang Banjak — berdiri si Umbut Muda — lalu berdjalan sekali. Dekat semakin 'kan hampir — hampir dekat 'kan tiba — 'lah tampak Kampung Teberau; berasa lama pula berdjalan — tibalah ia tengah halaman — lalu naik ia sekali — kerumah Puteri Rambun Emas.
Lama lambat ia disana — diranah Kampung Teberau — habis hari berbilang pekan — habis pekan berbilang bulan — tjukup tudjuh bulan pepat — 'lah sakit si Umbut Muda — sakit nan tidak djaga lagi — minum tidak makanpun tidak — makin diobat makin sangat. 'Lah rusuh hati si Gelang — Jah mabuk hati si Rambun — siang malam menangis sadja. Karena untung takdir Allah — 'lah sakit pula si Gelang. Terdengar ke Kampung Aur — datanglah pula ibunja — datang Puteri nan berenam — melihat si Gelang Banjak — melihat si Umbut sakit: dibawa obat dengan tawar. Serta tiba obat dikenakan: baru sebentar obat makan habis pingsan keduanja — lupa dunia seketika. Ada sebentar dua bentar — berkata si Umbut Muda: ,,Mana kau Puteri Rambun Emas — mana ibu bapak hamba — letihlah rasa badan hamba — gojah segala sendi tulang — rezeki gerangan nan 'lah habis — djandjian rupanja nan 'Iah sampai. Beri ampun hamba oleh bapak — beri ma'af hamba oleh ibu — relakan apa nan termakan — relakan djerih pajah ibu — ma'afkan kata terdorong — baik lahir baikpun batin—djangan mendjadi utang piutang.”
Mendengar kata demikian — menangis ibu si Umbut — menangis orang nan banjak.
Berkata pula si Gelang — suaranja sajup-sajup sampai: ,,O ibu, udjarku ibu — dengarkan benarlah oleh ibu! Tentang kepada badan hamba — ' ah datang pula nan mendjemput — rasa "kan sama kami hilang — beri ma'af hamba banjak-banjak beri ampun hamba kini-kini — djangan berutang diachirat, selamat ibu nan tinggal — selamat pula kami nan pergi. Hanja sebuah petaruh hamba――djika kami bersama hilang ―― kuburkan kami dibukit ―― dibukit berseberang-seberangan ―― supaja sama bertentangan―― itulah amanat dari hamba; ibu pegangkan erat-erat ―― ibu genggam teguh-teguh ’’
Akan bagaimana pulatah lagi ―― Allah ta'ala kaja sungguh Tuhan berbuat sekehendaknja! Kata sudah dikatakan ―― amanat sudah ditinggalkan ―― matilah ia keduanja ―― dihari jang sehari itu;harinja hari ―― Djum'at sedang tengah hari tepat. Diguguh tabuh larangan ―― sahut menjahut tabuh nan banjak ―― berdentum tabuh dibukit membalas tabuh dilurah, terkedjut orang negeri ―― habis datang semuanja ―― besar ketjil tua muda ―― laki-laki perempuan. Serta tiba tengah halaman ―― bandunglah bunji ratap tangis ―― naiklah orang semuanja ―― ’ lah tampak maiat si Gelang ia keduanja ―― dihari jang sehari itu;harinja hari ―― Djum'at sedang tengah hari tepat. Diguguh tabuh larangan ―― sahut menjahut tabuh nan banjak ―― berdentum tabuh dibukit membalas tabuh dilurah, terkedjut orang negeri ―― habis datang semuanja ―― besar ketjil tua muda ―― laki-laki perempuan. Serta tiba tengah halaman ―― bandunglah bunji ratap tangis ―― naiklah orang semuanja ―― ’lah tampak majat si Umbut ―― heranlah orang nan banjak habis mengutcap semuanja.
Kononlah ibu si Umbut ―― serta ibu Si Gelang Banjak bertiga si Rambun Emas ―― sembilan dengan puteri nan berenam ―― mengempas-empaskan badan memukul-mukuli- diri ―― memeruntas-runtasi rambut lalu pingsan sekali. Berkata penghulu kampung ―― kepada mamak si Gelang serta kepada bapak si Umbut: ,,Mana Tuanku Pandjang Djanggut ―― lamalah sudah majat berbudjur ―― eloklah kita kuburkan sementara hari belum petang.’’
Mendiawab Tuanku Pandjang D.ianggut: ,,Kalau itu nan kata Datuk akan ,bagaimana pulatah lagi; sebuah hanja pinta hamba ―― petaruh dari nan mati
tatkala ia sakit-sakit ―― djika sampai ia berpulang ―― meminta berkubur atas bukit ―― bukit nan berse berang-seberangan — itu petaruh hamba pegang — itu amanat hamba genggam—patut kita sampaikan djua — djangan kita berketinggalan — djangan kena sumpah ruhnja.”Mendjawab penghulu kampung: ,,Kalau itu permintaannja — kita bawa malah kesana — kebukit nan dua bertentangan — disana kita kuburkan — disana tanah nan meminta.”
Akan bagaimana pulatah lagi — dimandikan majat keduanja — sudah dimandikan dikapani — lalu dibawa turun rumah. Allahu rabbi bunji ratap—Allahu rabbi bunji tangis — bagaikan runtuh rumah gedang — karena tangis orang banjak. Berdjalan orang nan banjak — membawa majat si Umbut — dua majat si Gelang — dikuburkan diatas bukit — bukit nan dua berdekatan — bukit nan berhadap-hadapan. Sampai sekarang ada djua.
Tjerita habis kabarlah tamat — api padam puntunglah hanjut — kami tidak disana lagi.