Tjerita Si Umbut Muda/1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Tjerita Si Umbut Muda diterjemahkan oleh Tulis Sutan Sati
Iman Berguntjang

1. IMAN BERGUNTJANG

 
Gila sipasin gila,
digila sitawang-tawang.
Gila si malim gila,
digila lapik sembahjang.

Berkata ibu si Umbut: ,,O bujung si Umbut Muda, djadi apatah engkau hendaknja; djadi penghululah engkau nan elok."

Mendjawab si Umbut Muda: ,,Bukan mudah orang djadi penghulu, orang penghulu orang tjerdik — tahu diadat dan pusaka — tahu menimbang sama berat — tahu mengagak mengagihkan; katanja kata berlipat — nan alah dimenangkannja — nan menang dialahkan-nja."

Bertanja pula ibu si Umbut Muda: ,,Djadi apatah engkau hendaknja — djadi dubalanglah engkau."

Mendjawab si Umbut Muda: ,,O ibu, udjarku ibu, bukan mudah orang djadi dubalang — orang dubalang kuat kebal — tegaknja dipintu mati; nan keras akan ditakiknja — nan lunak akan disudunja — nan djauh akan didjemputnja — nan tinggi akan didjoloknja — nan bungkuk hendak diluruskannja."

,,Djadi apatah engkau hendaknja ? Djadi pegawailah djika tidak ?" katanja ibu si Umbut.

Mendjawab si Umbut Muda: ,,Bukan mudah orang djadi pegawai[1] — pegawai tjepat kaki ringan tangan; lebihkan djaga dari tidur — djika malam berselimut embun — kalau siang berpajung awan ; berdjalan tak berkaki penat — kalau kelam hari bersuluh — djika hudjan hari bertudung — perintah sampaikan djuga; kalau tidak tinggal diawak."

,,Djadi apatah engkau hendaknja? Djadi djuaralah, kalau tidak — tegak dilingkung orang banjak ?" kata ibu si Umbut.

Mendjawab si Umbut Muda: ,,O ibu, udjarku ibu, bukan mudah orang djadi djuara — djuara orang tahu dituah ajam — tahu membulang dan menimbang."

,,Pergi mengadji engkau, kalau tidak ! Djadi orang a'lim dan utama."

Mendjawab si Umbut Muda: ,,Itulah nan dihati hamba benar, putjuk ditjinta ulam tiba — bagai bunji pantun orang:

Ibu perberas-beras,
terletak dalam belanga.
Ibu perderas-deras,
djangan dinanti lama-lama.

Ibu, isikanlah bekal hamba — hamba hendak pergi mengadji — hamba akan pergi berdagang — sekarang djua hamba berdjalan."

Kononlah ibu si Umbut — mendengar kata anak kandung — lekas-lekas ia berkemas — diisikan beras dibuntil — diberi emas setahil — akan bekal si Umbut mengadji. Menjembah si Umbut Muda — minta ampun kepada ibunja — lalu berdjalan ia sekali. Kemana-lah ia akan berdjalan — ialah ke Tach Simalanggang — sampai keranah Kampung Aur; mengadji ia disana — disurau Tuanku Pandjang Djanggut.

Sudah setahun dia mengadji — telah dua tahun dia disana — terkenang olehnja hendak berdjalan — terkira olehnja hendak pindah — pergi mengadji ketempat lain. Minta izin ia kepada gurunja. Berkata si Umbut Muda: „O guru, udjarku guru — beri ma'af hamba oleh guru beri ampun hamba banjak-banjak, lepaslah hamba dahulu — hamba hendak berdjalan djauh !”

Mendjawab guru si Umbut: „Kalau itu jang kaukatakan — iba benar rasa hatiku — rusuh benar kira kiraku; sebab karena engkau ini tidak kusangka — murid lagi — tidak sebagai anak sasian[2] — sudah seperti kemanakan kandung — telah kusangka anak sendiri. Mengapa bujung akan berdjalan — mengapa engkau akan berdagang ?”

Mendjawab si Umbut Muda: „Djika itu guru katakan — benar djua itu guru. Maka hamba hendak berdjalan — maka hamba hendak berdagang — tak sunji hati disini — tak sunji kira-kira hamba — karena mengadji hampir kampung — sebab berdagang dekat negeri.”

Berkata guru si Umbut:

„Kupatah tidak terpatah,
kutebas djua nan djadi"
Kutegah tidak tertegah,
kulepas djuga nan djadi.

Kulepas dengan hati sutji — kulepas dengan muka djernih. Inilah emas setahil — inilah beras sebuntil —akan bekal engkau didjalan.”

Sesudah tjukup semua — berdjabat salam si Umbut — diundjamkan lutut nan dua — ditekurkan kepala nan satu — minta ma'af kepada ibu — lalu berdjalan dari sana. Sudah serentang perdjalanan — tjukup ketiga rentang pandjang — makin dekat makin hampir — hampir ia akan tiba — tiba disurau tuanku imam — bergelar Tuanku Imam Muda; alim nan tidak alim amat begitulah hanja 'alimnja. Konon tafsir dengan fakihi — ialah mantik dengan ma'ani - ganti sahadat pulang mandi; Kurän jang tiga puluh djuz — dapat menjimak-njimakkan sadja.

Lah mengadji si Umbut disana — banjaklah kitab jang terkadji — banjaklah surat jang dibatja — banjak lagu jang telah dapat — hatinja terang bagai suluh — kadjinja lantjar air hilir. Lorong kepada suaranja — njaring ada serakpun ada — seraknja serak-serak manis. Lamun berlagu si Umbut Muda — orang berdjalan djadi berhenti — burung terbang djadi hinggap — air hilir tertegun-tegun — karena elok lagu si Umbut.

Setelah beberapa lamanja — habis hari berbilang pekan — habis pekan berbilang bulan — habis bulan berbilang tahun — tjukuplah tiga tahun pepat si Umbut mengadji sana — terkenang olehnja akan pulang — hendak kembali kekampungnja — ialah kerumah Kampung Teberau. Minta izin ia kepada gurunja — setelah izin didapat — lalu berdjalan ia sekali. Sudah serentang perdjalanan – telah dua rentang perdjalanan — tjukup tiga rentang pandjang — dekat hampir akan tiba — tibalah ia dirumah ibunja. Sudah sehari ia dirumah, datang-lah orang memanggil — suruhan gurunja jang dahulu — jang bergelar Tuanku Pandjang Djanggut — keranah ke Kampung Aur; gurunja akan berhelat gedang — si Umbut diminta datang — tetapi dia tidak dirumah. 'Lah sebentar antaranja — 'lah pulang si Umbut Muda; lalu berkatalah ibunja; „Kemana bujung sedjak tadi? Orang datang memanggil engkau — memanggil kerumah gurumu — gurumu berhelat gedang. Kini djua engkau pergi — kini djua bujung berdjalan!”

Mendjawab si Umbut Muda: „Djika begitu kata ibu — insja Allah baiklah itu! Hamba berdjalan malam kini — keranah ke Kampung Aur; ibu ambilkanlah pakaian hamba — ibu ambilkanlah kain hamba.”

Bersegera ibu si Umbut — lału masuk kebilik dalam; dibuka peti jang besar — mendentjing bunji kuntjinja — bunji menjusur awan biru; diambil pakaian si Umbut — lalu diberikan sekali.

Sesudah memakai si Umbut Muda — lalu ditakah[3] perdjalanan — dibawakan langkah lima —surut kelangkah nan empat — lalu tegak berdiri betul; dipandang-pandang tjermin gedang —ditilik bajang-bajang badan; tegak ketengah bermenung — tegak ketepi menegun; diputar tjintjin dikiri — dipaling tjintjin nan kanan. Berkata si Umbut Muda: „Ibu, udjarnja ibu! pandang benarlah oleh ibu — lihat benarlah oleh bunda — bagaimana hamba memakai —adakah elok dan tampan?”

Mendjawab ibu si Umbut: „Kalau itu jang kau tanjakan — takkan salah lagi rupanja; hanja karena pakaian hitam — tumbuh tjela dimata orang: gagak terbang, kata orang.”

Mendengar kata demikian — diganti pula pakaian — dipakai segala putih. Berkata si Umbut Muda: „Pandang benarlah bunda — tampani benar sungguh-sungguh; adakah tampan dimata bunda?” Mendjawab ibu si Umbut:,,Djika itu engkau tanjakan tak mungkir lagi rasanja; hanja karena segala putih sedikit pula salahnja: bangau terbang, kata orang."

Mendengar kata demikian — dibuka pula pakaian itu — dilulus kain dibadan — dipakai segala merah.

Setelah si Umbut memakai, bertanja pula pada bunda: ,,Pandang benarlah bunda — lihat benar njata-njata — bagaimanakah hamba memakai ?"

Mendjawab ibu si Umbut: ,,Djika itu engkau tanjakan — kalau bagus memanglah bagus — hanjalah karena segala merah —- sebuah pula salahnja: Simpai dirimba, kata orang."

Sudah mabuk hati si Umbut — sudah rusuh kira-kiranja — mendengar djawab ibunja — tidak 'kan djadi berdjalan — hari bertambah tinggi djua. Berkata si Umbut Muda: ,,O ibu, bertanja hamba kepada ibu, apakah pakaian nan baik — bagaimana hendaknja nan 'kan elok? Tjobalah ibu katakan — tjoba tundjukkan oleh ibu !"

Berkata ibu su Umbut: ,,Djika itu nan engkau tanjakan — pakailah segala sehelai !"

Sesudah ibunja berkata — 'lah memakai si Umbut Muda — berdestar pelangi Atjeh — bukan pelangi orang kini — pelangi orang dahulunja; berbadju beledu mana dahulunja — tidaklah lusuh karena dipakai; berkain Palembang Atjeh — tidaklah lusuh karena dipakai; berkain Palembang Atjeh — bukan Palembang kini — Palembang masa nenek mojang — sudah lama turun-temurun — berpantang tjabik dipakai — sampai hantjur elok djua jang ditenun orang berparuh — jang dipegas orang beringsang — berulas lidah air — memutus kelidah api. Sudah dikenakan segala satu — berdestar

belah katjang — berkain upih 'kan djatuh — sudut menikam empu kaki. Berkata si Umbut Muda: „O ibu, udjarku ibu! pandang benarlah oleh ibu — tampani benar oleh bunda — bagaimanakah rupa tampannja?”

Mendjawab ibu si Umbut: „Djika itu nan engkau tanjakan — tidak bertjela bertjatjat lagi — sudah kena rupa — tampannja; bujung berdjalanlah kini — kendarai kuda nan belang — kenakan alat pelananja!”

Kononlah kuda nan belang — bulu sebagai 'aina'lbanat — bulu tengkuk awan tergantung — ekornja serasah terdjun — kaki nan radjah[4] keempatnja: pelana emas bertempa — kekangnja perak berhela — sanggurnja dari suasa. Berdjalan si Umbut Muda — dinaiki kuda jang belang — berdjalan mendontjang-dontjang[5] — sudah ditjentjang guratihkan — telah mendua-dua lunak — genta besar imbau-mengimbau — genta ketjil panggil-memanggil — pada lalu surut nan lebih terpidjak semut tidak mati — batang terlanda berbudjuran — alu tersandung patah tiga.

Dekat hampir akan tiba — tiba ia tengah halaman; merentak kuda si Umbut — merentak meringkik pandjang. Terkedjut guru si Umbut — tertjengang orang nan banjak — tegak berdiri semuanja — menindjau kepintu gedang — tampaklah si Umbut datang. Berkata guru si Umbut: „O bujung si Urabut Muda!

Tjempedak tengah halaman,
didjolok dengan empu kaki.
Djangan jama tegak dihalaman,
itu tjibuk,[6] basuhlah kaki.”

Naik si Umbut Muda — serta naik dia menjembah — menjembah kepada gurunja:

 ,,Dari Dusun ke Situdjuh,
seraut perambah paku,
paku digulai akan pembuka.
Didusun djari jang sepuluh,
ditangkupkan kepala nan satu,
diundjamkan lutut nan dua.”

Berkata guru si Umbut: ,,Sebanjak inilah orang — helat sudah sepenuh rumah — jang djauh orang 'lah datang — jang dekat orang 'lah tiba — engkau sadja jang tak tampak —- engkau sadja nan belum kemari. Apa djua nan ditjari — apa djua nan dituntut ? Tjoba katakan pada hamba!”

Mendjawab si Umbut Muda:,,Djika itu guru tanjakan — bukan hamba pergi mengadji — tapi menuntut lagu Mesir; sebab itu hamba lambat datang mengundjungi guru kemari.”

Berkata guru si Umbut: ,,O bujung si Umbut Muda — ketika engkau belum datang — sebelum engkau datang kemari — banjaklah surat nan dibatja — banjaklah kitab nan dikadji — banjaklah lagu nan didengarkan: tjobakan pula lagu engkau — nan dituntut kenegeri orang !”

Mendengar kata demikian — dibakar kemenjan putih — asap mendjulang keatas langit — harum setahun pelajaran. Mengadji si Umbut Muda — mengadji berlagu Mesir. Baru sebentar dia mengadji — dua bentar dia melagu — djangan orang 'kan berbunji — lantai berdetikpun tidak. Mw'allim jang sebanjak itu — tuanku jang beratus-ratus — habis ternganga semuanja —

x-small

karena bunji lagu si Umbut. Tiga bentar dia melagu ― turunlah puteri nan bertudjuh ― puteri bertudjuh berdensanak ― kemanakan oleh gurunja ― elok nan bukan alang palang ― indah bak anak-anakan emas ― mahallah radja'kan djodohnja ― sukarlah sutan 'kan tandingnja.

Kononlah tentang rupanja: muka bak bulan empat belas ― keningnja kiliran tadji ― hidungnja pantjung telutuk ― telinga djerat tertahan ― bibirnja limau seulas ― kerat kuku bulan 'kan habis ― keratannja bintang tertabur ― empu kaki bungkal setahil ― ibu djari bungkal sepada. Dipilih dalam dipilih ― dipilih dalam jang tudjuh ― si bungsu elok sekali ― bernama Puteri Gelang Banjak ― semarak rumah nan gedang ― limpa berkurung bunda kandung ― djantung hati oleh bapaknja ― permainan orang sekampungnja; duduk ia dikanan si Umbut. Berkata Puteri Gelang Banjak: „O tuan, tuan Umbut Muda ― banjaklah orang nan mengadji ― banjak orang nan melagu ― tuanku ada mu'allimpun ada ― pakih tidak terbilang puluh ― satupun tidak hamba dengarkan ― seorangpun tidak hamba atjuhkan. Terdengar lagu tuan Umbut ― beruras[7] rasa djantung hamba ― terbuka kira-kira hamba ― 'lah terang pemandangan hamba ― sebab itu hambapun turun ― karena itu harnba kemari. O tuan, tuan Umbut Muda ― dengarlah pantun hamba ini:

Dulanglah sedulang lagi,
pendulang emas pelangki.
Ulanglah seulang lagi,
ulanglah lagu jang tadi.

supaja kami dengarkan benar ― kami perhatikan sungguh-sungguh !”

Mendjawab si Umbut Muda:

 „Malah dibuluhkan djua,
tjapa dipematang tebat.
Malah disuruhkan djua,
disebut malah jang dapat.

Entah sepat entah belanak,
rama-rama didalam kabut.
Entah dapat entah tidak,
lamalah kadji tak bersebut.”

Mengadji si Umbut Muda ― diulang seulang lagi, dibawakan lagu jang tadi. Djangankan lagu akan dapat ― djangankan kadji akan terbatja ― mata surat haram tak nampak.

Kalit-kalit dari Melaka.
hinggap dipasar Pajakumbuh.
Terkelik iman nan tjelaka,
kepada puteri nan bertudjuh.

Tertawa puteri nan bertudjuh ― 'lah rintang garis menggaris ― 'lah asik berbisik-bisik ― ketjimus[8] berapi-api ― gelak'lah berderai-derai; berkata Puteri Gelang Banjak:

 'Lah terbalik tepi kain,
'lah hilang penggiliannja.[9]
'Lah terbalik hati malim,
'lah hilang pengadjiannja.

Gila sipasin gila,
digila si tawang-tawang.
Gila si malim gila,
digila lapik sembahjang.

Berburu ke Padang Datar,
kenalah rusa belang kaki,
berlimau purutlah dahulu.
Berguru kepalang adjar,
bak bunga kembang tak djadi,
berbalik surutlah dahulu !”

Tumbuh malu si Umbut Muda — peluh'lah menganak sungai — mengalir ketulang punggung; mukanja merah-merah padam — napas sudah besar ketjil. Ber-kata si Umbut Muda — berkata kepada gurunja: „O guru, udjarku, guru, ma'af djua hamba minta — ampun djua hamba ini — ampunilah banjak-banjak — berbalik pulang hamba dulu — tak guna hamba disini:

Tak alu sebesar ini,
Alu tertumbuk ditebing,
kalau tertumbuk dipandan,
boleh ditanami tebu.
Tak malu sebesar ini,
malu tertumbuk dikening,
kalau tertumbuk dibadan,
boleh ditutup dengan badju."

Berkemas si Umbut Muda — bersiap hendak ber-djalan — turunlah ia kedjandjang.

Berkata guru si Umbut: „”Bujung, tunggulah agak sebentar — nanti dulu seketika — tunggulah helat sampai habis — makan minum malah dahulu !” Mendjawab si Umbut Muda: „Beri ma'af hamba banjak-banjak — beri ampun sekali ini — djangan guru berktjil hati — hamba akan pergi djua.”

Berkata guru si Umbut:

„Kutebang tidak tertebang,
bagai menebang batang sampir,
kutetas djua nan djadi.
Kularang tidak terlarang,
bagi melarang air hilir,
kulepas djua nan djadi.”

  1. Pesuruh pemerintah negeri
  2. Murid
  3. dipatut-patut
  4. Putih kaki keempatnja tanda kuda bertuah.
  5. Mendua-dua ketjll.
  6. Kolam-kolam ketjil tempat membasuh kaki.
  7. Ditawari.
  8. Mengedjekkan
  9. Peloi