Lompat ke isi

Tjempaka Merah

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Tjempaka Merah  (1955) 
oleh S. Gander's
Tjempaka Merah (cover crop)
Tjempaka Merah (cover crop)

Disumbangkan
pada
Hariati S.




DARI PENERBIT

Pambatja jang budiman,

Kini tiba gilirannja, kami menghidangkan tjeritera detective Tjempaka Merah kepada pembatja sebagai imbangan dari buku² detective jang ada.

Semoga dapat mentjotjoki hati pembatja sekalian.

*) Penerbit,
RA. Triana

Tjempaka Merah (page 6 crop)
Ginger Rogers

I. LANGKAH PERTAMA.

SEBUAH djalan membentang didepan gedung itu, merupakan lima djurusan. Sedang mobil berderet ditepian djalan. Toko-toko dan sedikit restaurant jang berdampingan sedjadjar dengan gedung itu banjak pengundjungnja, karena hari hudjan lebat.

Papan besar bertulis „Bank of Hongkong & Overseas” basah kujup kena air hudjan. Dibawah papan besar itu terbuka pintu gedung jang didepannja berisi beberapa orang sadja, karena hari sudah siang dan mendjelang tutup.

Mobil jang terpaku didepan gedung itu hanja berdjumlah empat buah. Semuanja tertutup rapat-rapat, karena hudjan jang lebat.

Tiba² pintu mobil biru jang sedjak tadi menggalang didepan pintu jang terbuka dari gedung bank itu kini terbuka. Dari dalamnja muntjul lima orang memakai djas hudjan, dan seorang memakai mantel hitam serta masing² bertopi. Hanja seorang sadja jang memakai petji djas hudjan.

Kelima orang ini langsung masuk kedalam gedung.

Dengan menggigil salah seorang mengipaskan air jang melekat pada mantelnja.

„Brr . . . . . . . . . dingin sekali!”

Kassier jang sedjak tadi menghitung uangnja kini berhenti sedjenak. Dipandangnja kelima orang itu jang sedikit mengumpat pada hudjan lebat.

Kassier² lainnja djuga memperhatikan kelima orang itu. Salah seorang dari kassier mendjenguk dari lubang tempat pembajaran, dan dengan tersenjum berkata pada orang jang bermantel hitam jang masih mengipas-kipaskan air jang melekat pada mantelnja:

„Sajang tuan agak terlambat datang! Baru sadja tempat pembajaran ditutup !”

Orang jang bermantel dan diadjak berbitjara itu memandangi kassier. Dengan tersenjum dia mendekat tempat pembajaran.

„Kami disekat hudjan keparat ini! Apa bisa mengambil uang sekarang?”

„Sajang tuan ! Tetapi, ah, mari saja tolong! Hendak mengambil tabungan?”

Orang itu mengangguk.

„Tjoba mari lihat kartunja untuk mentjotjokkan !”

„O, ja!” sahut orang itu tersenjum. Dan merogoh sakunja.

Muntjul dari sakunja itu pistol otomatik jang hitam kebiru-biruan. Serentak dengan ini keempat kawannja tadi mengangkat browningnja, masing² ditudjukan pada tiap kassier jang ada disitu.

Seorang djamu jang duduk disudut menanti hudjan terang telah pula ikut ditodong.

„Oké, Komraden, dorong mereka kedinding!” perintah orang bermantel.

Topinja ditarik dalam-dalam.

„Siapa jang melawan, tembak !”

Dan orang itu mendorong pegawai bank jang hadir disitu beserta djamu jang duduk disudut, semuanja dimasukkan kedalam kluis besar.

950.000 rupiah hilang bersama hilangnja mobil biru didalam hudjan lebat. Tak ada orang tahu dan memperhatikan, karena hudjan jang masih lebat itu.

Begitulah laporan pada polisi jang saja dengar dari Inspektur Hartojo ketika saja ikut hadir dikantor polisi.

Hal perampokan itu merata sudah pada harian-harian. Lengkap laporan mereka, tetapi djedjak² kemana perampok² itu lari tak seorangpun tahu.

Kassier² serta djamu itu ditanjai sebagai saksi. Jang hanja sanggup dianggap sebagai saksi, ialah kalau perampok-perampok itu sudah tertangkap tangan!

Kapan tertangkap?

Hal inilah jang penting. Tertangkap dulu, baru dibuktikan. Darimana hal ini bisa terpetjahkan hingga perampok² itu tertangkap, sedangkan djedjak²nja sedikitpun tak ada. Tak ada orang jang mengetahui nomor berapa mobil itu. Hudjanlah satu²nja penolong bagi perampok-perampok bank itu, dan hudjan itu pula jang bisa didjadikan saksi.

Hal ini mendjadi perhatian Haris. Dia saja dapati sedang mengisap sigaretnja banjak-banjak dan sambil menghadapi beberapa helai harian, sebuah buku tjatatan dan kertas bertulis lainnja.

„Bagaimana pendapatmu tentang bank itu, Haris?”

Dia berdiamkan diri sadja. Ditjoretnja sederetan artikel jang dimuat dalam harian „Suara Indonesia” dengan pensil merah.

„Tentang perampokan itu maksudku!” kata saja pula sambil memperhatikan luar djendela: „Kita kan tak usah turut-turut !”

„Kita ikut, Niko!„” djawabnja, kemudian diletakkan pensil merahnja dan hariannja: „Kita ikut, dan kita bekerdja!”

„Mengapa kita harus ikut-ikut lagi? Polisi kan sudah bekerdja untuk ini !”

„Kita ikut, karena ― ini kalau engkau ingin tahu, Niko! ― Karena, pertama,” dihadapkannja djari²nja kemuka saja dan menghitung dengan djari itu: „kewadjiban jang tak diwadjibkan siapapun. Kedua, karena, batja harian ini dulu, Niko, langgananku dibawa kekantor polisi. Dan orang ini meminta pembelaanku!”

„Didalam peristiwa ini?”

„Ja, Niko! Dalam peristiwa ini! Dia dituduh telah sekongkol dengan perampok² bank. Seorang reserse menemukan uang jang nomor serienja persis seperti jang diambil dari bank. Serta bekas band mobil dan pengakuan pelajan mengatakan bahwa memang ada lima orang memasuki halamannja pada hari hudjan itu dengan mobilnja sekali!”

„Bagaimana sampai reserse itu tahu?” „Uang itu tertjetjer dihalaman rumah dekat tangga masuk! Lalu ditemukan oleh pelajannja. Dari pelajan ini reserse mengetahui tentang uang dari bank itu!”

Saja diam sedjenak. Otak sudah saja tjoba berpikir. Mungkinkah perampok² itu tergesa-gesa, atau mungkinkah suatu akal sadja?

„Uang bisa tertjetjer!" berungut saja dan kaki melangkah hilir mudik, seolah-olah masalah itu bisa terpetjahkan dengan langkah jang gelisah: Uang bisa tertjetjer! Engkau hendak membela, Haris?”

„Aku berkewadjiban, dan aku berkepastian bahwa dia tidak berbuat demikian!”

„Tidak sekongkol?”

Haris mengangguk. Sigaret dihisapnja kuat. Asapnja dikepulkan tinggi-tinggi.

„Tentang uang itu?”

„Bukan bukti njata, Niko. Mungkin perampok itu menaruhnja disana agar menghilangkan djedjak dan langgananku itulah jang tertuntut!”

„Atau membalas dendam, Haris!”

Haris diam sedjenak. Tiba² mukanja berseri dan dengan girang dia berdiri dan menepuk bahu saja.

„Ha, balas dendam! Mesti ada apa² dibelakang peristiwa uang itu! Mesti ada apa² dibelakang kehidupan Iskandar! Alangkah bodohnja!”

„Iskandar ?”

„Ja, langgananku itu, Niko ! Goblok benar kalau niat siperampok itu membalas dendam dengan tjara itu!”

„Dengan begitu,” sambung Haris sambil melipat harian² jang didepannja satu persatu: „mereka akan mentjekik lehernja sendiri!”

Ditulisnja beberapa baris perkataan pada buku tjatatannja, dan berdiri sambil menjandarkan diri pada dinding dan menjodorkan sigaret pada saja.

„Kita kerdja detective, Niko!”

***

Esok harinja saja dan Haris sudah hadir dirumah Iskandar.

Tuan rumahnja sendiri tidak ada. Jang ada hanja pembantu rumah tangga dan ibu Iskandar.

Rumah ini besar dan modern bentuknja. Letaknja pada tempat ketinggian. Karena djalan disini memang baik sekali, naik turun.

Beberapa pohon tjemara sebangsa dennen, pine-trees berdjadjar serta teratur rapi.

Kami diterima oleh ibu Iskandar, wanita jang setengah tua serta berambut putih disana-sini. Pada muka wanita itu tampak kesedihan meliputi.

,,Saja Mr. Haris, pengatjara anak ibu, saudara Iskandar !" udjar Haris sambil membungkukkan diri pada wanita setengah tua itu. Kami duduk bertiga dalam ruangan tamu jang besar serta penuh perhiasan berupa lukisan dan matjam-matjam kain-dinding.

,,Saja perlu untuk mengetahui seluk beluk kehidupan anak ibu, karena dalam pembelaannja kelak hal itu saja perlukan!" Saja memegang pensil dan buku tjatatan untuk mentjatat apa-apa jang perlu.

,,Dia anak tunggal saja," demikian dimulai oleh ibu Iskandar: „,dan memang dia sendirilah jang saja tjintai setelahajahnja meninggal, Kerdjanja tiap hari keras sekali. Pagi hari sudah tak ada dirumah, sudah pergi kekantor. Habis datang, petang sedikit dia pergi ke gadisnja.

,,Djadi anak ibu sudah mempunjai bakal tunangan?"

,,Jah! Meski dia sudah saja tjegah djangan mendekati wanita itu, tapi masih sadja keras kepala."

,,Tjantik dia?" tanja Haris tersenjum. Seolah-olah pertanjaan untuk bergurau sadja.

Ibu Iskandar tampak tersenjum djuga dengan tidak memandang Haris. Tetapi senjumnja merupakan senjum edjekan.

,,Meski tjantik bagaimanapun, kalau kelakuannja tidak saja senangi............"

Haris memandangi saja. Saja hanja tersenjum. ,,Aa, bu, apakah dia, aa, saja maksud bakal tunangan saudara Iskandar itu seorang nona jang .........."

,,Ja, tuan! Dia anak nakal!"

,,Pastikah ibu?"

,,Saja bisa tahu dari tjara2 dia bengaul dan waktu kerumah ini saja tahu dengan njata, bahwa memang tidak lajak dijadi menantu saja !"

Sekali lagi Haris memandangi saja.

,,Namanja siapa, bu?" tanja saja.

,,Renny".

,,Reny, Reny, Renny!!" udjar saja mentjoba mengingatingat dan menjusun nama itu menurut utjapan jang lazim bagi logat barat. Tiba-2 timbul dalam pikiran suatu nona jang telah pernah saja kenal.

,,Renny, bu ?"

Orang tua itu mengangguk.

,,Ibunja turunan Djerman ?"

,,Menurut katanja!"

Haris dengan heran memandangi saja. Dia bertanja pada saja, apakah nona jang dibitjarakan itu pernah saja kenal.

Untuk djawabannja terpaksa harus saja buka rahasia jang telah lama saja lupakan. Entah apa jang hendak saja katakan kepadanja didepan ibu Iskandar. Tentu tidak akan mengenakkan perasaan orang tua itu. Djadi saja hanja berdiamkan diri sadja. Haris jang masih memandang tak saja pedulikan lagi.

Begitulah achirnja kami minta idjin pulang. Hingga dalam mobilpun Haris masih sekali-kali memandangi saja. Mungkin hendak ditanjakannja, sesuatu jang belum terdjawab dengan pertanjaannja mengenai nona Renny.

,,Niko!" tiba-tiba katanja sambil memperlambat djalan mobilnja: ,,Kalau engkau pernah kenal dengan Renny, djalan pemeriksaan kita berdjalan dengan lantjar. Pernahkah engkau kenal dia?'

{{gap}] ,,Dulu, Haris !"

,,Nah, itu baik! Tjeritakan, tjeritakan !"

,,Lebih baik djangan sadja! Karena itu merupakan love- story!" „Oo ........., kalau begitu engkau sadja untuk mempermudah djalan pemeriksaan! Engkau jang harus menjelidiki keadaan jang berhubungan dengan nona Renny!’

„Aku tak mau ! Sebab, ja, sebab ada sesuatu jang menjebabkan aku berkata tidak mau!”

Haris berdiamkan diri, Mobil masih meluntjur terus, hingga memasuki djalan Werkudoro. Mobil dihentikan, dan Haris turun dari mobil.

Sebuah rumah jang bagus, kalau tidak salah bernomor 16, berdiri ditempat jang dikelilingi pagar dinding berdiri di depan kami dengan megahnja. Dinding rumah bertjat putih dibagian atas, sedang bagian bawah kelabu. Seluruh halaman penuh rumput dan bunga-bungaan. Bagian samping dan belakang rumah terletak halaman jang luas serta penuh dengan tanaman pohon kopi dan bertjampur dengan pinetrees, chipres dan beberapa pohon-pohonan lagi, hingga pada siang hari itu tampak rindang serta agak kegelapan.

Puas sudah rumah itu saja pandangi. Memang indah mengaturnja, karena letaknja pada djalanan jang agak ketinggian, persis seperti letak rumah Iskandar.

„Rumah siapa, Haris?”

„Turun, Niko! Kita mulai hari ini dan kewadjiban disini!”

„Aku belum pernah kenal dengan penghuninja!”

„Engkau tadi mengatakan sudah pernah, hanja tidak mau bertjerita mengapa telah terdjadi love-story!”

„Renny?”

„Ja, nona Renny! Harus kau ingat, dia tunangan Iskandar !”

„Tapi, Haris.........”

„Tak ada tetapi! Kewadjiban perkumpulan kita, Niko!” kata dia sambil memegang lengan saja dan terus ditariknja arah masuk halaman rumah itu.

Saja hanja bisa menggerutu sadja sepandjang halaman arah pintu rumah itu. Perintah ini memang tak bisa dibantah dan disangkal. Satu-satunja pula jang penting, ialah memudahkan polisi untuk menggulung pendjahat2 serta menolong Iskandar dari tuduhan polisi.

Bagi saja? Sukar sungguh mendjalankannja. Renny pernah saja kenal. Tidak kenal begitu sadja, tetapi pernah ada sesuatu peristiwa jang sukar dihilangkan dari ingatan dulu-dulunja, sewaktu saja masih mendjadi peladjar akademi kepolisian. Kini seolah-olah timbul kembali pada daun pintu jang diketuk oleh Haris. Njata tergambar bahwa kedjadian itu tentu terulang kembali.

Djadi, kalau hal ini saja ulangi, artinja bertemu kembali dengannja, sungguh merupakan kedjadian jang mungkin tidak menjenangkan diri sendiri.

Tahu-tahu pintu itu sudah terbuka, dan muntjul disana seorang budjang djangkung. Umurnja kira-kira lebih dari 40 tahun.

„Saja hendak bertemu dengan nona Renny!” udjar Haris.

„Tuan siapa?” tanja budjang itu dengan hormat.

Haris merogoh sakunja dan dikeluarkan kartu namanja sendiri sebagai meester. Kemudian pada kartu itu ditulisi beberapa deret kalimat.

Budjang itu memandangi kami sedjenak, kemudian membatja nama dan tulisan Haris.

„Tak usah saudara batja! Tjukup berikan sadja !” udjar Haris agak marah melihat sikap budjang berani membatja surat jang akan diberikan pada tuannja itu.

Dengan hormat dan kemalu maluan dia membungkukkan diri, dan sambil tersenjum masuk kedalam rumah.

Tak lama kemudian muntjul seorang wanita jang tjantik, bertype barat. Tak salah lagi. Dialah Renny.

Gaunnja merah muda, dari sutera tipis dan corsage merah tua tertantjap pada dada kirinja. Sungguh manis pada pandangan mata. Tetapi saja tak dapat berbuat apa-apa, karena masih memikir apa kelak jang akan terdjadi.

Lama dipandanginja kami berganti-ganti. Kemudian pandangannja tetap diarahkan pada saja, Lama ia berbuat demikian, hingga tersipu-sipu saja ibuatnja. Sedang Haris hanja tersenjum sedikit-sedikit. Marah sungguh dalam hati melihat sikap Haris itu. Tiba-tiba Renny tersenjum, dan dengan lemah lembut disapanja saja:

„Maaf, tuan, kalau tidak salah, pernah saja kenal tuan. Tapi entah dimana, saja kira. . . . . . . .saja kira. . . . . . . .

Saja hanja membisu. Hati tak tahan rasanja menghadapi dia jang tiba-tiba mendjadi gugup. Mungkin njata sudah muka saja baginja.

„Betul, nona Renny!” udjar Haris dengan hormat dan tersenjum :

„Dia Niko . . . . . . . .!”

Entah apa jang menjebabkan dia begitu putjat mukanja, kemudian berganti djadi merah hingga menambah ketjantikannja.

„Niko! Engkaukah itu, Niko?”

Tiba-tiba dia melompati saja seperti harimau menerkam dan merangkul saja erat-erat. Malu sekali ketika pandangan saja bertemu dengan pandangan Haris. Tjukup lama hal jang demikian ini. Dengan perlahan-lahan saja lepaskan pelukan Renny dan kami masuk kedalam ruang tamu bersama-sama.

Budjang jang dimarahi Haris tadi berdiri diarah pintu memandangi kami sadja. Pada pikiran saja ada marah padanja, karena kekurangadjarannja berani memandangi tuannja bertemu dengan tamunja. Budjang itu seolah-olah matanja sadja jang berbitjara, karena mulutnja sedikitpun tak membuka.

„Renny,” kata saja sambil mendudukkan dia jang masih menangis:

„Hal itu telah lalu. Masamu telah beralih pula. Kedatanganku ini bukan untuk urusan ini, tetapi pada urusan lain. Tidak Renny”, udjar saja selandjutnja: „Aku kemari untuk urusan dengan kekasihmu jang ditahan. Saudara Iskandar!”

„Niko!”

„Betul, Renny! Mr. Haris inilah jang akan mengurusi hal itu! Dia akan bertindak untuk membebaskan Iskandar dari tuduhan, dengan sjarat, kita harus kerdja sama. Engkau harus menolong kami, Renny!” Diusap airmatanja perlahan². Ditentangnja pelajan jang masih berdiri, kemudian dialih pandangnja pada Haris dan saja berganti-ganti.

„Saja tidak bisa berbuat apa2 jang mungkin bisa menolong Iskandar, Mr.Haris!"

„Harus, nona!" udjar Haris bersungguh-sungguh:,,Nona harus menolong, dan dalam hal ini kamilah jang akan mentjari persoalannja. Nona tjukup mendjawab apa-apa jang mungkin perlu didjawab, dan harus bertanggung djawab !"

Tetapi Renny masih berkeras mengatakan bahwa dia terpaksa takdapat menolong. Meski bagaimanapun, kata dia pada Haris, tidak ada sedikitpun faedahnja bagi kekasihnja, Iskandar.

Achirnja karena kedjengkelan, Haris minta diri, dengan pesan akan sering kerumah itu bersama ......... saja!

PEMBUNUHAN DAN PENJELIDIKAN
(Siapa pembunuhnja ?)

KABAR gembira tentang hasil penjelidikan terhadap djedjak perampok bank itu belum ada. Polisi masih mentjari-tjari dan menanjai kassier serta tamu bank jang seorang itu. Tetapi hasilnja tetap nihil.

Haris beberapa hari belakangan ini sibuk dengan penjelidikan disekitar bank. Penjelidikan jang tersendiri daripada penjelidikan polisi. Kepada pegawai bank ia mengatakan bahwa penjelidikan itu dilakukan atas perintah dari Djaksa Agung sendiri. Dan kata dia, harus seorang Mr.-lah jang menjelidiki.

Saja djuga ikut dalam penjelidikan itu.

Seorang pegawai bank, kepala kassier disitu, seorang jang agak tua dengan muka orang-dagang sedang kami hadapi. Pada gerak-geriknja tampak sekali dia seorang jang selalu tjermat.

Dia menjilahkan kami untuk memasuki ruangan penerimaan tamu pada kantor itu, pada tingkat atas.

Haris memulai pembitjaraan, bahwa maksud kedatangannja kesana ialah sedikit mengadakan penjelidikan terhadap perampokan.

„Kami butuhkan nomor² uang jang dirampok itu, tuan Chen!” kata Haris kepada Chen Jie, kepala kassier itu.

„Tentang itu, sajang, bahwa tak dapat kami berikan dengan djelas sekali. Karena uang disana bukan uang baru semua. Kebanjakan dari pembajaran langganan kami!”

„Kalau tidak semua uang baru, djadi disini ada uang baru!” udjar Haris sambil tersenjum.

Chen Jie tersenjum dan berkata:

„Betul, tuan Haris!”

Atas permintaan Haris, Chen Jie mengambil matjam uang jang hilang bersama perampok. Haris mentjatat angka², jaitu serie nomor, dari uang itu. Saja sendiri tidak ingat serie berapa.

Setelah selesai tugas kami, kamipun minta idjin dan meninggalkan bank itu.

Saja tinggal menunggu apa jang akan dikerdjakan Haris. Berhari-hari saja menginap dirumahnja bersama Manuel. Haris sibuk sekali agaknja. Kadang² diperingatkan kepada saja dan Manuel bahwa mungkin bahaja mengantjam kami.

Djawaban Haris tentang pertanjaan saja mengapa bahaja mengantjam, hanja pendek sadja: Chen Jie. Chen Jie ini jang membawa bau maut pada hidung Haris. Mungkin dari sanalah datangnja maut itu.

Apakah hubungannja antara perampokan dan Chen Jie? Mungkin Chen ini salah seorang anggauta gerombolan perampok jang memberi petundjuk djelas djalannja perampokan? Mungkinkah kepala kassier ini jang menjebabkan djebolnja petibesi „Bank of Hongkong & Overseas”? Chen Jie jang saja temui tadi siang dan Chen Jie jang ramah-tamah itu?

Sajanglah Haris tak mau memberi pendjelasan pada saja. Katanja kelak sadja bila ternjata bahwa gerombolan rampok itu tertangkap semua.

Dan hubungannja dengan Iskandar? Adakah keduanja saling kenal-mengenal ?

Semua ini rasanja memenuhi otak saja. Untuk ini berhari-hari terpaksa saja tidur dengan penuh pertanjaan pada otak. Ja, mungkin Chen Jie mempunjai hubungan langsung dengan perampok-² bank itu. Untuk itu saja serahkan kepada Haris agar mendesak kepada Chen Jie, barangkali pernah kenal dengan Iskandar.

Haris memberi kesanggupan akan menanjakan hal itu lusa, tetapi saja harus bertanja kepada Renny, ― tentu dengan djalan sedikit mesra dan jang saja takutkan sedjak dulu, ― barangkali kenal dengan Chen Jie. Tugas jang berat djuga menghadapi wanita setjantik Renny, apapula karena peristiwa dulu mungkin terulang. Semua rentjana diatas telah dirantjangkan. Tinggal lusa dikerdjakan. Namun rentjana tinggal rentjana.

„Suara Indonesia” pagi itu memuat berita kematian jang ngeri.

Chen Jie terbunuh didalam rumahnja. Budjang dan isterinja menemui dia terhampar dilantai dengan berdarah. Djendela samping kamar tempat dia membatja buku terbuka.

Inspektur Lessy dan Kommissaris Dahlan hadir, djuga Haris dan saja. Karena antara Haris dan Komissaris Dahlan telah ada kata sepakat untuk menjelidiki peristiwa itu, Haris beralasan bahwa dia amat tertarik tentang peristiwa² kriminil dan hendak kerdja sama dengan polisi. Hal ini mudah dikerdjakannja, karena dia seorang Meester dan telah kenal dgn Komissaris Dahlan, pula sebagai orang jang terkemuka di kota kami.

Tiga buah lubang peluru German Luger menembusi kepalanja. Dia terkapar didekat djendela jang terbuka dengan tangan menggenggam Colt 38.

„Ini bukan bunuh diri, komissaris!” udjar Haris sambil memperhatikan lubang peluru jang dikepala Chen Jie :„Peluru jang satu, jang dilepaskan oleh pembunuh itu tidak tersekat dikepala. Artinja terus keluar. Kalau Chen Jie membunuh diri, tentu peluru itu ada didinding atau disekitar sini. Menandakan pula, bahwa Chen Jie tidak dibunuh di tempat ini. Pertama, tak ada darah mentjetjer selain jang di djendela itu, jang bisa menandakan bahwa Chen Jie rebah kena tembak. Njonja Chen Jie tidak mendengar ada tembakan disini.

Itu djuga bisa dibuat pegangan. Lalu, darah didjend. . . Menandakan bahwa Chen Jie diangkut kemari. Ia . . . sudah mati, sebab menurut dokter, Chen Jie mati tiga . . . dari ditemukannja. Padahal, budjang rumah pada dja. . . pagi melalui kamar ini tak ada Chen Jie, atau melihat djendela terbuka. Njata, bahwa majat itu diangkut dari luar dan dimasukkan lewat djendela kira² sesudah djam empat. Pistol jang dipegang, Colt 38, itu sudah berlainan dengan German Luger jang pelurunja menembusi kepalanja. Bukankah njata bahwa bukan bunuh diri?” Kommissaris Dahlan mengangguk-angguk.

„Pembunuh jang mau membodohi! Kiranja dia jang bodoh!” gerutu Kom. Dahlan.

Penjelidikan terus kami lakukan. Saja disuruh Haris memotret letak majat dan disekitarnja. Kemudian bersama-sama keluar dari kamar itu, Majat Chen Jie pun diangkut keluar sudah.

Kommissaris Dahlan kembali kekantornja, Haris dan saja pulang kekantor Haris.

Terus sadja dia masuk kamar kerdja. Sepuluh menit kemudian dia memanggil saja.

„Niko, engkau dan aku sekarang pergi kerumah kawanku, ahli dalam menjelidiki bekas². Dia keluar dari Polisi Keradjaan Inggeris di Singapore dan sekarang dia disini. Bekerdja sama dengan kita, Niko! Ajo, kita kesana!”

Beberapa saat lagi dengan Nash 51, sampailah kami di rumah Robinson. Orang jang dipertjakapkan Haris tadi.

Dia seorang jang kira² berusia 40 tahun, dengan muka jang lutju, dan kerut-merut pada keningnja menandakan dia seringkali berfikir. Bermata tadjam seperti elang serta selalu tersenjum kalau berkata-kata.

Disambutnja kami dengan gembira serta segera Haris, saja dan dia langsung menudju kamar kerdjanja. Kamar jang seluas kira-kira duapuluh meter persegi ini penuh dengan alat kimia, obat²an, pendeknja merupakan sebuah laboratorium ketjil.

„Nah, ini saudara!” kata Robinson pada saja: „Semua alat² dibeajai saudara Haris! Banjak djuga beajanja !” sambung . . . sambil tertawa dan menjintuh lengan Haris. Terus sadja . . .i dibawanja kesalah sebuah microscoop jang terletak di medja.

Haris mengambil apa² dari dalam sakunja. Kotak ketjil dikeluarkannja. Dibuka, dan dikeluarkan dari dalamnja tiga helai rambut pérang kehitaman. Ditambah pula sedikit benang² seperti bekas tjabikan.

Semuanja ganti berganti ditaruh dibawah microscoop oleh Robinson. Saja dan Haris menunggu disudut laboratorium ketjil itu. Haris tampak gelisah sekali, meski pada mukanja jang tenang itu seolah-olah tidak ada apa-apa jang patut digelisahkan. Tetapi saja bisa menangkap kegelisahan hatinja.

Lama saja kira hal itu berdjalan. Bagaimana achirnja, dan apa hasilnja dengan menjelidiki rambut dan benang, itu semua tak saja pedulikan. Pekerdjaan jang mendjemukan bagi saja. Lebih baik mengisap sigaret jang disodorkan Haris kepada saja tenang-tenang.

Sekonjong-konjong Robinson berteriak kegirangan. Haris dan saja sekaligus berlompatan mendekatinja. Entah apa jang menarik hati saja ikut² melompat ke Robinson itu. Mungkin karena rasa ingin tahu saja sadja.

„Tahukah saudara Haris, ini rambut seorang Eropah, tetapi dari hitam jang melekat disana-sini, njata bukan dari Eropah aseli. Dia seorang peranakan! Seorang Indo kalau disini boleh saja sebutkan! Ukuran rambut ini menjatakan pula bahwa orang jang mempunjai rambut ini tingginja kira² seratus tudjuh puluh dua centimeter. Ja, sekian !”

„Bagaimana saudara bisa tahu?” tanja saja keheranan melihat ramalannja itu.

„Besar rambut dapat dibuat pedoman untuk mengira-ira tinggi orangnja!” djawab Robinson tersenjum manis. Malu rasanja mendengar djawabannja itu.

„Itulah saudara!” sambungnja pula: „Ternjata orang jang berbadan tinggi djuga. Orang ini umurnja kira² persis seperti saja. Dan, tentang benang, benang ini dari wool aseli. Wool jang mahal harganja, saudara Niko!”

Saja mengangguk. Sambil tersenjum djuga sebagai Robinson sendiri.

„Badju orang jang dipegang oleh siterbunuh telah robek sedikit. Warna badju itu tjoklat muda, terbuat dari wool. Mungkin waktu siterbunuh hendak dibunuh, dia berkelahi dulu, atau memegang badju pembunuhnja.”

„Mungkin berkelahi!” udjar saja menengahi kata² Robinson.

„Bagaimana engkau berkepastian begitu !”

„Aku katakan mungkin, Haris! Sebab, kalau tidak berkelahi, mungkinkah Chen Jie sampai membawa rambut tiga helai dalam tangannja?” „Ja! Nah,” sambung Haris tersenjum: „Aku harus tilpun Rumah Sakit agar majat itu ditahan dan diperiksa sekali lagi?”

„Apanja lagi?”

Tidak didjawabnja pertanjaan saja itu. Tetapi ditariknja tangan saja dan sambil memberi selamat tinggal pada Robinson, terus sadja masuk mobil dan berangkat menudju rumah sakit.

„Katanja engkau mau tilpun, Haris!” udjar saja.

„Tak ada waktu !”

„Bagaimana engkau dapat mengetahui rambut dan sobekan wool itu ?” Haris tertawa.

Dipandangnja saja dengan girang dan katanja:

„Ketika Kommissaris Dahlan memeriksa kamar dan menanjai njonja Chen Jie, aku memeriksa badan majat itu. Kulihat rambut ditangan Chen Jie dan djuga sobekan wool jang sedikit itu. Tapi aku lupa memperhatikan tangan Chen Jie dengan teliti. Sekarang inilah harus kuperhatikan !”

„Mengapa rambut dan benang wool itu tidak kau serahkan laboratorium polisi?”

„Engkau maklum, Niko! Kita kan mempunjai langganan jang harus dibebaskan. Ingat, Iskandar! Dan, aah, kasihan nona Renny jang tjantik itu bukan?”

Saja memberungut mendengar guraunja itu.

„Ja, kasihan mereka! Kalau bukti² itu diserahkan polisi dahulu, perkara ini mempunjai djalan jang pandjang. Itu sebabnja aku tak mau! Aku mau djalan jang singkat, dan lekas beres !”

Haris tertawa. Sementara itu kami telah sampai di Rumah Sakit Pusat dan langsung menudju kamar pemeriksaan majat.

Majat Chen Jie diletakkan disana. Dua orang djururawat dan seorang dokter sedang memeriksa seluruh badan Chen Jie.

Haris dan saja masuk dengan idjin dokter itu sendiri.

Atas permintaan Haris, dokter itu memeriksa djari-djari tangan Chen Jie. Dengan sebuah microscoop seperti perbuatan Robinson tadi, dimulainja penjelidikan. Pekerdjaan jang GRANDY" TROUBLE SHOOTER NAGA MAS RINDU? DJANGAN KUATIR! SUDAH TERBIT : Naga Mas algodjo AMOUR contra ALGODJO AMOUR (Serie VIII) Mengapa dengan Algodjo ? Ada hubungan apa antara Algodjo dgn, tjinta kasih? Dalam peristiwa jang aneh ini sdr. akan mendjumpai fragmen2 jang aneh pula, dan djarang sekali dapat sdr. djumpai dalam tjeritera2 detective, kalau sdr2. tidak menggunakan kesempatan membalja isi buku ini. Kiranja tidak perlu komentar pandjang lebar. Kurang pertjaja? Buk- tikan sendiri. Tebal buku 100 halaman, kulit tebal dan bertatawarna indah. Kali ini harganja harja Rp. 5,- tiap buku. Pesanan langsung tambah ongkos kirim 10%, Untuk menghemat ongkos, pesanlah lewat toko2 buku setempat atau pada alamat stb, dalam halaman 98. Untuk didjual lagi disediakan rabat memuaskan: 20 buku potong 20%, 50 buku 25% dan 100 buku keatas potong 30 %. membosankan bagi saja. Menunggui orang mati dan orang hidup jang memeriksa orang mati.

Saja menunggu disudut kamar itu, sedang Haris mengikuti dengan tidak pajah-pajahnja apa-apa jang ditundjukkan dan dikatakan oleh dokter itu.

Sebuah peluru German Luger jang ditembakkan pada kepala Chen Jie diminta Haris. Menurut kata dokter. itu, penembakan dilakukan dari djarak dekat. Artinja, djarak laras pistol dan batok kepala Chen Jie tidak lebih dari sedjengkal. Njata karena lubang tempat masuk peluru hangus serta bubuk obat jang menjembur mengenai daging dan disekitar lubang peluru.

Pada tangan jang diperiksa itu terdapat darah sedikit. Sajanglah darah itu sudah kering. Tetapi djenis darah jang berlainan dari djenis darah Chen Jie sendiri.

Djelasnja, bahwa darah jang melekat pada tangan Chen Jie adalah darah orang lain, jang mungkin waktu berkelahi bisa menggarut daging musuhnja hingga berdarah.

Suatu keterangan jang memberi djalan sedikit lengkap. Sekarang tinggal mentjari siapa pembunuh jang melakukan pembunuhan itu. Pembunuh jang memakai pakaian mahal, badju wool, berambut pérang, seorang peranakan Eropah dan menaiki mobil setelah membunuh untuk membawa majat Chen Jie jang kemudian dilemparkan kedalam rumah lewat djendela.

Pada hal beratus-ratus dalam kota orang memakai wool tjoklat jang mahal dan beratus-ratus pula orang peranakan Eropah jang berambut perang kehitaman serta berpakaian demikian? Siapakah salah seorang diantara mereka itu? Dapatkah pembunuh itu diketahui djedjaknja, sedang tak tahu ditempat mana pembunuhan itu terdjadi? Ja, dimana pembunuhan itu terdjadi?

Buah pikiran ini jang menggirangkan hati saja.

„Haris!” udjar saja „Suruh dokter itu menjelidiki pakaian Chen Jie, barangkali pada pakaiannja itu dapat kita ketahui dimana pembunuhan telah dilakukan !” „Pikiran jang bagus, Niko!” sahut Haris sambil menepuk bahu saja kuat². Hingga terdorong kedepan saja karenanja.

Haris mendekati dokter itu. Setelah berbitjara sedikit, dimulai pula pekerdjaan jang membosankan saja itu terhadap badju Chen Jie jang sudah dilepas.

Beberapa bekas tanah jang melekat pada pakaian itu dilepaskan, ditaruh dibawah microscoop, diberi obat-obatan jang tjair jang sat saja mengerti sedikitpun, mulailah muka dokter itu berseri-seri.

„Bagus, bagus, tuan Haris!” udjarnja girang; sambungnja pula:

„Tanah ini njata bertjampur dengan lumpur laut! Atau lumpur pantai. Sebab tanah biasa tidak membawa lumpur matjam ini, kehidjau-hidjauan. Dan garam jang melekat banjak sekali.”

„Kalau demikian pembunuhan itu dilakukan ditepi laut ! Ja, ditepi laut. Tetapi laut mana?”

Dokter itu mengangkat tjawan-microscoop (jang terletak dibawah microscoop) dan dihadapkan kemuka Haris.

„Pertanjaan jang tepat sekali, tuan Haris!” katanja tersenjum :

„Djawabannja, dalam lumpur itu terdapat tahi besi, bekas² besi jang njata sekali!”

„Bekas besi! Terang sudah, dokter! Terimakasih!” udjar Haris dan keluar dari kamar pemeriksaan itu.

Sekali lagi saja diseretnja kedalam mobilnja, Nash, dan terus kekantornja.

Tak lama lagi sampailah sudah kami kekantor Haris. Dia terus djuga masuk kamar kerdjanja. Dan saja dipanggilnja.

Sekali lagi dia tampak gelisah. Kemudian saja disuruh memanggil Manuel jang sedang bekerdja dibelakang.

Setelah kami bertiga, segera Haris memulai pembitjaraannja:

„Niko, dan engkau djuga Manuel, tenagamu sekalian sekarang kita kerahkan bersama. Pembunuhan jang dilakukan oleh orang asing itu telah dikerdjakan dipelabuhan. Atau digudang pelabuhan!”

„Sudah pasti, Haris?” tanja saja keheranan mendengar kepastiannja itu.

„Kau dengar keterangan dokter tadi? Lumpur laut, tahi besi Tak ada lumpur laut jang diikuti tahi besi kalau tidak terdapat dipelabuhan! Djadi, tahi besi jang banjak terdapat dipelabuhan telah melekat bersama lumpur pelabuhan, lumpur laut, Niko! Dimana terdapat banjak tahi besi dan lumpur laut jang bertjampur tahi besi? Tentu dipelabuhan kota, karena disana banjak besi tua jang akan diangkut ke Djepang. Kan demikian? Nah, kita boleh mentjari djedjak pembunuh dari sana, Niko! Esok kita bekerdja!”


III. PENGEDJARAN DIPELABUHAN

ESOK harinja, saja, Haris dan Manuel telah hadir dipelabuhan kota.

Sebuah pelabuhan dagang jang besar dengan kapal luar dan dalam negeri. Sebuah kapal Djepang, „Hinomaru”, telah siap untuk mengangkuti besi-besi tua itu ke Djepang. Besi² tua jang terserak disana banjak sekali, malah sebagian ada jang terendam air laut.

Sebenarnja, pekerdjaan itu dimulai dari sini. Siapa-siapa jang harus ditjari diantara sekian banjak pegawai, pekerdja² dan orang-orang biasa jang berdjalan mondar-mandir atau pedagang² dan tengkulak² jang berada dipelabuhan itu. Diantara ratusan manusia jang disana itu, salah seorang sadja dulu jang harus kami tjari. Siapa? Persis seperti mentjari djarum jang terdjatuh kedalam setumpukan djerami.

Beberapa mobil jang berderet didepan restaurant jang banjak terdapat disana, disekitar daerah pelabuhan, itu harus pula mendjadi perhatian kami. Sebab, Chen Jie mati disalah satu tempat jang kemudian diangkat dengan salah sebuah mobil dari daerah pelabuhan sini. Dari mobil jang mengangkutnja itu dia dilempar kedalam rumahnja lewat djendela.

Mobil jang mana diantara sekian banjak itu? Mungkinkah jang sedang diparkir diudjung djalan itu? Ataukah jang sedang berhenti didepan restaurant „Modern” ditepi laut itu ? Ataukah djedjak pembunuh itu bisa ditjari dari dalam gudang jang terbuka pintunja itu?

Semua tak bisa didasarkan atas kira² sadja, karena hanja akan memakan tenaga dan tempo. Satu²nja djalan hanja mentjari djedjak pembunuh itu dari mulut orang² jang berada disekitar pelabuhan.

„Niko,” kata Haris setelah kami bertiga duduk didalam restaurant „Modern” sedang Nash Haris diparkir diluar: „engkau dan Manuel untuk beberapa hari harus didaerah ini. Engkau harus mentjari-tjari berita, tetapi djangan sampai kentara. Musuh kita awas sekali, apapula setelah diketahui bahwa fihak polisipun mentjari mereka. Tidak hanja dari fihak itu sadja musuh kita, Niko, engkaupun harus awas terhadap polisi. Djangan sampai ditjurigai, meski aku bisa menolongmu kalau tersangkut dengan fihak polisi sadja.” sambungnja pula dengan menarik nafas pandjang dan tersenjum pahit: „Sebab kalau demikian, pekerdjaan kita gagal !”

„Aku menginap didaerah ini ?” tanja saja. Ragu² saja untuk menginap dipelabuhan jang penuh teka-teki ini. Mungkin daerah ini penuh bandit, selundup dan pedagang gelap lainnja jang tak segan² untuk menumpas njawa saingannja. Termasuk kami sebagai musuh nomor satu.

„Tidak, Niko! Engkau dan Manuel boleh pulang tiap hari. Tetapi malam hari harus ada disini. Karena kerdja disini dan kerdjamu djuga, dikerdjakan malam hari! Buka lebar² telingamu, Niko!”

„Dan engkau, Haris?”

„Urusan dalam kota menunggu ! Mungkin agak lama berpisah. Uang jang kau butuhkan bisa kau ambil dirumahmu, dan ini untuk belandja sementara disini!”

Diberinja kami berdua uang duaratus seorang. Kemudian diberikan pada saja sebuah alat potret ketjil merk Leica lengkap dengan penjinarannja, sebuah verre-kijker ketjil dengan tempatnja sekali.

Kedua-duanja kata Haris untuk mentjari djedjak dan bukti. Kemudian dia membajar harga makanan dan terus berangkat dengan Nashnja. Tinggal saja dan Manuel jang masih termangu-mangu. Entah apa jang hendak kami kerdjakan berdua.

Mulailah kerdja kami berdua pada malam itu. Dari sebuah restaurant hingga warung kami masuki. Badju sudah kotor agaknja, karena gatal² rasanja kulit tubuh.

Lampu pelabuhan jang beberapa bagian sadja menerangi djalan, sedang beberapa bagian gelap, terutama disimpangan djalan jang penuh gudang-gudang besar berdiri, tampak manusia² jang sedang berdjalan. Beberapa lagi ditepi laut sedang mengail. Tak ketinggalan jang sedang ber-tjumbu²an.

Saja dan Manuel duduk dalam sebuah warung tepi laut. Dua djam berturut-turut disana, sambil sedikit bertanja-tanja barangkali orang² disitu mendengar apa² jang istimewa. Djawabannja tidak pernah! Mulailah warung lain. Sama sadja hasilnja. Restaurant lainnja djuga sama hasilnja. Djengkel sekali rasanja. Dan kami berdua pulang kekota sudah tengah malam.

Esok malamnja demikian pula jang kami perbuat. Hasilnja djuga tak ada. Tinggal pekerdjaan mentjari didekat kapal „Hinomaru”. Disana ada dua orang polisi jang mendjaga keamanan.

Pulang kerumah saja dapati surat Renny. Isinja meminta kedatangan saja kerumahnja, karena ada satu jang harus dibitjarakan. Setelah saja katakan pada Manuel, sajapun pagi itu kerumah Renny. Dia duduk diberanda rumah, tampaknja sedang menantikan kedatangan saja. Gaunnja dari sutera merah jang berkembang sedikit pada beberapa bagian.

„Selamat pagi, Renny!”

„Pagi!” djawabnja sambil tersenjum dan berdiri, sambungnja:

„Duduk disini atau kedalam ?”

Saja minta diberanda sadja. Sebab itu dia duduk kembali setelah menjilakan saja duduk.

Tiba² muntjul muka pelajan jang mendjemukan kami dulu, berdiri dipintu seolah-olah menunggu perintah dari Renny.

Renny memandang padanja dan memberi isjarat. Pelajan itupun masuk, mungkin menjediakan minuman pagi untuk saja.

„Begini, Niko!” udjar Renny memulai pembitjaraan itu: „Hal permintaan jang kau adjukan dengan Mr. Haris itu telah ku pertimbangkan masak-masak. Tentu sadja aku mau membela Iskandar, tetapi harus kuingat, bahwa pembelaan itu memakan djiwa. Engkau tahu, bahwa gerombolan jang sedang mentjampur adukkan peristiwa perampokan dengan Iskandar adalah gerombolan perampok dan pembunuh! Mungkin akupun akan djadi korban !” dia berhenti sampai disini karena pelajan itu membawa minuman kehadapan kami. Setelah itu dia berdiri lagi dipintu sebagai tadi. Terpaksa Renny memberi isjarat untuk pergi.

„Hal itu tak usah kau pikir, Renny, karena kami sanggup melindungi engkau!”

„Engkau dan Mr. Haris ?” tanjanja tersenjum pahit: „Seorang pengatjara sanggup melindungi djiwa seseorang?”

Saja berdiamkan diri. Hendak saja katakankah bahwa ini dari Tjempaka Merah, jang hendak membongkar peristiwa perampokan dan pembunuhan? Hendakkah kukatakan bahwa penjelidikan itu kami lakukan karena untuk membongkar rahasia komplotan bandit, sedang alasan kami pada Renny hanja untuk membela Iskandar dimedja hidjau? Teringat saja pada pesan Haris, bahwa seorangpun tak dapat dipertjajai dalam peristiwa apa sadja jang sedang dalam taraf penjelidikan. Djadi pada Renny-pun hal ini tak dapat saja katakan.

Renny masih memandangi saja jang berdiamkan diri sadja.

„Tidak, Niko! Bukan seorang pengatjara jang bisa melindungi djiwa orang, selain polisi atau . . . . . . . .detective, Niko! Bukankah engkau dan Mr. Haris bukan detective?”

Tersirap darah saja. Renny hendak menjelidiki sajakah? Ataukah memang dia bermaksud memantjing? Mata saja djadi liar. Saja pandangi sekeliling tempat duduk kami, dan diudjung sekali, pada sudut rumah tampak bajang? seorang laki-laki jang berdiri: bentuknja persis seperti pelajan!

Ja! Pelajan Renny mengintip dan mendengarkan pembitjaraan kami, terutama kata-kata saja! Tentu ada apa-apa jang tidak beres disekitar sini. Mengapa Renny bersifat memantjing dan pelajan itu mendengarkan? Mungkin pulakah saja nanti akan dipukul orang disini ?

Sebab itu saja berdiri lambat² hendak menjediakan pistol ketjil jang tersedia disaku. ,,Hendak kemana, Niko ?" tanja Renny.

,,Ah, mau ambil sigaret! Engkau merokok, Renny?"

,,Tidak!" djawabnja.

,,Ah, sajang! Kalau begitu akupun tak merokok!"

,,Tak apalah! Duduk kembali! Kuulangi lagi perkara tadi, Niko. Dapatkah engkau melindungi aku, meski engkau bukan polisi, atau engkau bukan detective. Kan begitu?"

Saja tersenjum. Sambil melirik arah bajang2 pelajan, saja djawab:

,,Mengapa tidak? Tiap orang mempunjai kekuasaan untuk melindungi djiwa orang lain jang dalam bahaja. Bukankah itu sudah kewadjiban? Saja kira tak ada orang mengganggu engkau, Renny!"

Dia tersenjum. Dipandangnja saja tenang, seolah-olah hendak diterobosnja dada saja ini untuk mengetahui apa jang tersimpan didalamnja. Pembitjaraan kami selandjutnja berkisar pada soal sehari-hari. Terutama kedjadian jang lalu. Bajang pelajan sudah tidak ada lagi. Tetapi tangan saja bersedia sewaktu-waktu untuk menarik pistol dari dalam saku.

Kemudian saja minta idjin untuk pulang, karena nanti malam harus bekerdja dipelabuhan. Malam itu djuga saja dan Manuel telah ada didaerah pelabuhan. Tudjuan kami sekarang daerah jang penuh besi tua, didekat kapal Djepang,,Hinomaru."

Disana banjak tempat gelap. Sebuah warung jang lumajan besarnja berdiri menempel pada sebuah gudang kosong.

Saja masuk berganti-ganti dengan Manuel. Tiga orang jang duduk sambil makan dan minum. Saja duduk didekat tempat pendjual, dan Manuel diudjung jang lain. Mulailah saja tanjakan keadaan warungnja, keadaan sekitar pelabuhan, dan saja tjeritakan seperti saja ini termasuk orang pelabuhan djuga.

,,Wah, sungguh, bung! Achir² ini tampak sibuk sekali disini! Habis, kapal Djepang itu jang bikin ribut !" ,,Bikin ribut apa, bung!" Salah seorang dari pembeli jg. hadir disana melihatkan saja.

„Ribut apa ?” tanja dia tersenjum dan meneguk kopi panasnja dengan lega tampaknja: „Lihat polisi itu! Dulu tidak ada polisi! Dulu banjak pekerdja disini. Lantas baru² ini ada pekerdja itu berkelahi. Ramé, deh! Seorang ditikam, untung ndak terus mati!”

„O, itu sebabnja didjaga!?” tanja saja membodoh. Orang itu mengangguk.

„Tapi jang mengherankan, kang Djo,” udjar tukang warung sambil melambatkan pembitjaraannja: „sebelum ada polisi itu sudah ada orang menembak tiga kali berturut-turut. Mungkin pendjaga atau anak kapal jang menembak pentjuri besi tua!”

„Menembak tiga kali ?” tanja saja tertarik, tetapi se-olah² pertanjaan biasa sadja.

„Ja! Didekat gudang ini sebelah sana! Tigakali ber-turut², dan suara motor pergi.”

„Kapan?”

„Kira² sepuluh hari jang lalu! Saja takut, bung, kalau² polisi mengedjar pentjuri lantas pentjurinja nekad dan masuk warung sini. Tapi waktu itu polisi belum ada disana.”

Orang jang duduk disebelah saja melotot memandang tukang warung.

„Sepuluh hari jang lalu! Suara motor itu kan motornja tuan Fadholie! Waktu itu aku ada ditepi laut memantjing. Djangan kau kira jang tidak². Kalau motor biru itu, kang Pomo, ja motornja tuan Fadholie!”

Mobil biru! Mobil biru telah disinjalir jang mengadakan perampokan di Bank dulu. Dan mobil biru itu disitu waktu penembakan sebagai jang didengar oleh orang warung tadi. Mobil biru. Siapakah Fadholie? Segera hal itu saja tanjakan pada orang jang berkata-kata tadi.

Saja tjatatlah :

Fadholie, pemilik gudang penjimpan kapok,
Gudang No. 47 sebelah tenggara warung.

Saja keluar setelah selesai makan dan minum, Manuel djuga keluar terkemudian. STOP! DJANGAN BATJA SENDIRI Ada Gula ada Semut! Ada hung Gimbaranis, GARUDA Ada GARUDA PUTIH! SUDAH TERBIT: GARUDA PUTIH (Serie III) Mengapa GARUDA PUTIH agak lama tidak muntjul? Sedang me- ngadakan operasi? Terkait disarang pelatjuran? Pembatja sendiri nanti jang me- ngetahui. Dalam serie III ini Garuda Putih vs. Black Bandit. Siapa penjelundup timah? Garuda Putih dengan kambratnja jang akan membuka kedoknja. Bung Gimbaranis dengan Garuda Putih-nja jang sudah terkenal sedjak sebelum perang itu, kini muntjul lagi dengan sensasi²-nja jang serem, dapat mempersona pembatjanja. Tebal buku 100 ha- laman, kulit tebal bertata warna indah, sedang harganja hanja: Rp. 5, Pesanan langsung tambah 10% sedikitnja Rp. 1,25 Untuk menghemat ongkos, pesanlah lewat toko² buku setem- pat langganan sdr. atau pada alamat2 tsb. dalam halaman 98. Untuk didjual lagi disediakan rabat memuaskan : 20 buku potong 20%, 50 ex 25% dan 100 buku keatas potong 30% Kami berdua bertemu pada djalan bersimpang, dekat tepi laut. Tudjuan kami sekarang gudang Fadholie. Sebuah gudang jang agak besar, serta sebuah rumah sementara jang berdiri disampingnja. Selain rumah, djuga didjadikan kantor. Sebuah garage mobil didekat kantor itu tampak tertutup.

Manuel mendekati pintu. pintu garage. Beberapa saat dia memakai pisau dan alat² lain jang dibawanja dari rumah dan selalu ikut dengan dia mulai bekerdja. Pintu garage kemudian terbuka dengan tak bersuara.

Mobil biru!

Mobil itu terletak disana. Nomornja mudah dikenal : TT 8651! Manuel mendjaga pintu garage, barangkali ada orang masuk. Saja mulai memeriksa mobil. Dengan senter saja tjari kolong² bangku mobil. Tak ada apa² jang mentjurigakan. Tiba-tiba sinar senter mengenai udjung alas mobil jang terbuat dari karet itu. Persis dibawah setir mobil. Dibawah alas-dalam mobil menondjol sedikit kepompong peluru pistol. Dengan berhati-hati saja ambil dengan memakai saputangan. Kemudian saja tjari lainnja, tetapi tak ada lagi. Baik dalam tempat abu sekali, tak ada hal jang mentjurigakan.

Kini bagian luar chassis mobil. Ban mobil sebelah kanan, ban depan, tampak bekas darah memertjik. Hal ini saja ketahui, karena darah kalau melekat sukar dihilangkan, serta kebiasaan saja pada kepolisian dulu kalau memeriksa darah.

Beberapa lama kami dalam garage itu tak saja ketahui. Pendeknja usaha kami dipelabuhan itu berhasil, tinggal penangkapan jang harus dilakukan.

Malam itu kami pulang. Paginja membuat laporan kekantor Haris. Untunglah Haris ada dikantor.

„Harus tjepat-tjepat dilakukan, Niko! Biarlah terbengkalai sebentar pekerdjaanku dikota. Nanti malam, djam 10, harus sudah hadir didekat gudang. Aku bawa kawan lagi. Djangan lupa topengmu. Foto toestel, dan pistolmu, Niko!”

Nash Haris jang kami tumpangi sedang mengikuti Chevrolet biru milik Fadholie. Orang ini orang Arab, tetapi modern segala-galanja.

Dengan tenang dikendarainja mobilnja dan sedang kami ikuti. Kami hanja ingin tahu rumahnja sadja.

Hari telah rembang.

Kira² pukul 7 petang sampailah kami pada rumah besar, dimana mobil Fadholie memasuki halamannja. Nash jang kami tumpangi pura terus. Saja, Manuel dan Haris turun. Melihat-lihat keadaan sekitar rumah. Kira² pukul 8 malam, Fadholie keluar pula dengan mobil birunja. Kami mengikuti lagi.

Tudjuannja kini kearah pelabuhan kota. Dan gudangnja.

Pukul 9.30 dia memasuki kantornja. Lampu dikantornja masih menjala. Tiga orang jang berdiri digelap pada beberapa sudut gudangnja mengarahkan pandangannja pada kami.

„Niko, mereka teman kami!” udjar Haris sambil memberi isjarat dengan matanja pada orang² jang berdiri disudut-sudut gudang. Pukul 10 kurang seperempat!

Kami pasang topeng. Lampu kantor Fadholie sudah padam.

Dua orang kawan Haris mendobrak pintu dengan hebat, dan kami masuk bersama-sama. Didalam kamar itu gelap sadja.

Entah apa jang saja kerdjakan dalam kamar gelap, karena apa jang kami tudju tak ada.

Tiba² lampu menjala.

Fadholie telah menjalakan lampu itu. Ditangannja diatjungkan selaras pistol berkaliber besar.

Terkedjut Haris melihatkan kedjadian jang sebaliknja ini. Maksud kami menjergap Fadholie djangan sampai dapat bergerak atau berteriak, kini kami jang djadi sasaran. Kalau hal jang demikian tetap kami diamkan, berarti kedok kami akan terbuka, dan akan diketahuinja siapa Tjempaka Merah.

„Bagus, saudara² !” udjarnja sambil menjeringai pada kami :

„Saudara² menghendaki jang demikian ! Saja tahu rentjana apa jang hendak saudara² lakukan. Baik! Sekarang harus menurut perintah saja!"

Haris memandangi saja. Topeng kami ini jang menarik perhatian Fadholie.

,,Ja, saudara menang !" kata Haris tersenjum dari balik topengnja dan memandangi muka Fadholie dengan matanja jang menjembul dari balik topeng:,,Saudara menang! Tetapi, hingga kini djangan dikira saudara menang sama sekali! Tidak! Lihat diluar! Kawan kami mengepung saudara dengan sendjata lengkap!"

Fadholie melihat arah djendela dengan ragu². Kemudian pandangannja diarahkan pada kami kembali.

,,Apa maksud saudara dengan menjergap saja ini! Hendak meminta uang ?" tanjanja.

,,Haha, lutju sekali! Tentu uang rampokan dari bank itu belum habis sama sekali!"

,,Apa maksudmu!" teriaknja dengan takut.

,,Uang dari bank!" udjar Haris tersenjum menakutkan: ,,Dan pistol German Luger jang ditangan saudara itu jang menjebabkan kami kemari! Nah, tiga butir telah lari, tinggal tiga butir peluru lagi. Kami tidak sajang pada djiwa kami. Djumlah kami banjak, saudara bersendiri. Tiga butir itu hilang, belum tentu njawa kami tumpas seluruhnja! Tapi, saudara akan tumpas! Tidak, saudara Fadholie, kami tidak bisa mati seperti Chen Jie !"

Chen Jie !" Haris tersenjum, Djeratnja mengena, meski keadaan kami terbalik. Muka Fadholie tampak putjat sekali.

,,Saudara² memeras saja!"

,,Tidak !" djawab Haris: „Kami hanja ingin pengakuan saudara, dan ingin keadilan atas ini. Bukankah saudara jang membunuh Chen Jie dengan pistol Luger itu?"

Fadholie berdiamkan diri. Diatjungkan lebih tinggi pistol jang ditangannja. „Ja, dengan itu! Lalu saudara menembak Chen Jie dari dalam mobil, sedangkan Chen Jie berdiri diluar. Tiga kali tembak! Peluru jang sebuah terus langsung keluar, sedang jang dua butir tinggal dikepalanja. Chen Jie rebah dekat mobil saudara, darahnja memertjik kena band mobil. Dengan pertolongan kawan saudara, Chen Jie diangkat kerumahnja. Tapi saudara kurang pandai !”

„Bagaimana saudara tahu semua ini? Pengchianatan?”

„Ja, pengchianatan!” bohong Haris.

„Awas Hamid! Dari Hamid atau Fatah?” tanja Fadholie dengan takut bertjampur geram. Dikiranja kedua kawannja mengchianati dia.

„Keduanja!” kata Haris: „Tetapi dia tak mengakui, dimana tempat tinggalnja!”

Karena kemarahan jang tiada terkira ini, Fadholie mengatakan tempat tinggal kedua temannja jang ikut membunuh Chen Jie.

„Baik! Serahkan pistol itu pada saja, saudara Fadholie, dan perkara ini akan beres! Satu soal, siapa kepala dalam perampokan bank itu ?”

„Tak mau saja katakan! Tjelaka nanti keluarga saja!”

„Baiklah, pistol itu sadja serahkan pada saja!” kata Haris.

„Hahahaha, saja tidak sebodoh sebagai jang saudara kira ! Saja tak mau menjia-njiakan kesempatan jang baik ini dengan menjerahkan njawa saja ketangan saudara! Mungkin saudara djuga salah seorang dari gerombolan jang mengingini uang rampokan itu! Hahaha, tidak, saudara!”

„Saja bukan gerombolan! Kami ini Tjempaka Merah!”

„Tjempaka Merah!” udjar Fadholie dengan muka lebih putjat. Pementik pistol dipegang erat². Sementara itu salah seorang dari kawan kami dengan tjepatnja telah melompati knop lampu, dan lampu padam sama sekali.

Pistol German Luger meletus dengan suara keras sekali. Sudah itu sunji. „Peluru saudara tinggal dua butir, saudara Fadholie! Dua butir tak sanggup membunuh kami! Sedang kami sekarang sedang bersendjata! Menjerahlah!” kata Haris dalam kegelapan itu.

Sebuah sinar api jang menerangi sedjenak dengan letusan terdengar lagi.

Kemudian terdengar pintu belakang dibuka orang.

„Lekas, kedjar! Dia lari kegudang!”

Kami berlompatan kearah pintu itu. Lampu didalam gudang menjala samar². Tampak Fadholie lari terbirit-birit. Saja mulai menembak dia. Kanan kirinja penuh karungan kapok

„Djangan menembak sembarangan, Niko !” udjar Haris disebelah saja: „Sebab, disini akan mudah terbit kebakaran”

Tiba² Fadholie muntjul lagi. Kami tak ada jang menembak. Dia berdiri ditempat jang agak terang. Haris melarang untuk menembak dia.

„Tinggal sebuah peluru saudara!”" teriak Haris menggema didalam gudang.

„Baik!” balas Fadholie: „Tetapi saja tak mau menjera pada Tjempaka Merah! Saja tak mau begitu sadja tundu pada kamu sekalian! Lihatlah kematian Fadholie!”

Letusan pistolnja menggema. Dia rebah. Pelipisnja tembus kena peluru jang membunuh Chen Jie dulu.

„Sajang !” keluh Haris mendekati majat Fadholie jang terhampar dikaki kami: „Saksi dan penundjuk djalan mati

Haris mondar-mandir. Kemudian katanja sambil menundju kantor Fadholie:

„Niko, tilpun Kommissaris Dahlan! Esok suruh datang dan tentu ditemukan seorang perampok dan pembunuh jang mati dengan pistolnja sendiri! Dan siangnja aku akan datar dikantornja, tapi djangan dikatakan djuga, Niko!”

Setelah selesai menilpon kantor polisi agar disambungkan pada Kommissaris Dahlan esok pagi, saja memotret letak dan muka majat Fadholie sebentar, lalu kami berangkat bersama sama dalam Nash. Py Saja tak mau menjerah pada Tjempaka Merah!" 99 39 Pekerdjaan Pelabuhan selesai sudah dengan kematian Fadholie serta kesibukan harian esok harinja. Berita² mengatakan bahwa dikantor Fadholie telah didatangi kawan²nja sendiri serta telah terdjadi pemburuan jang diachiri dengan bunuh diri. Polisi setelah menjelidiki apa² disekitar Fadholie, ternjata dialah pembunuh Chen Jie dan salah seorang dari perampok bank. Tjuma sadja belum diketahui kawan²nja jang lain.



IV. PERISTIWA DIRUMAH RENNY.

„BAIKLAH; tjukup kematian Fadholie ini menggelisahkan kawan-kawannja!” kata Haris ketika saja dan dia sedang duduk² didepan rumah saja.

„Kita sekarang mentjari orang jang berbadju wooltjoklat seperti kata Robinson dulu! Salah seorang diantara Hamid dan Fatah. Kau tjatat alamatnja, Niko?” Saja mengangguk.

„O ja,” sambung Haris: „Terang sudah kalau German Lager jang dipegang Fadholie itu untuk membunuh. Pertama karena pelurunja sama dengan jang mengenai kepala Chen Je, kedua, bekas tjatjad slagpen jang mengenai kepompong peluru sama dengan bekas tjatjad kepompong peluru jang kau temukan dalam mobil!”

„Apa tindakan kita sekarang, Haris?”

Dia tersenjum dan memandangi saja tenang-². Entah apa jang hendak dikatakannja maka soal itu didahului dengan senjuman. Dengan ragu-² saja tunggu keterangannja.

„Pekerdjaan kita sekarang didalam kota ini sadja dulu! Engkau harus sering kerumah nona Renny! Awas, dia tunangan Iskandar! Djangan mata gelap !”

„Gila engkau!” kata saja marah mendengar godaannja itu. Tiba-² teringat akan peristiwa diintai pelajan dahulu. Hal segera saja tjeritakan pada Haris. Tampak sekali dia tertarik pada tjerita saja itu. Kemudian dia tersenjum-senjum, dan mondar-mandir diberanda depan rumah.

„Hal jang mudah tertjapai! Mudah untuk suatu penjelidikan dalam peristiwa ini, Bagus, Niko, pekerdjaanmu bagus ali! Nanti petang engkau harus kesana djuga! Ingat, jangan lupa bahwa njawamu masih diintai orang! Musuh kita, Niko!”

Petang itu djuga saja sudah hadir dirumah Renny.

Kali ini sungguh-² dia saja akui ketjantikannja. Mungkin karena demikian itulah maka saja pernah tertarik dan masih tertarik pada dia. Tetapi kedjadian dua tahun jang lalu lekas terlupakan bagi saja. Tak patut untuk dikenang lagi sekarang, karena hanja akan menimbulkan kesukaran sadja dalam melakukan pekerdjaan ini.

Dipersilahkannja saja memasuki kamarnja jang penuh dengan hiasan barang-² matjam-² serta sekarangan bunga jang menghiasi sudut toilet dengan potret Iskandar jang tersenjum.

Kembali muka pelajan jang saja segani itu muntjul didepan saja. Sekali ini perhatian saja padanja bersungguh-sungguh. Saja perhatikan muka jang nampaknja selalu memberengut itu, barangkali kelak bisa diingat bila perlu.

Renny menjuruh mengambil minuman petang.

Saja mulailah pertjakapan dengan berpokok tentang Iskandar. Bagaimana hidupnja sedjak perkenalan dengan Iskandar, dan bagaimana rentjana kelak kalau dia sudah kawin.

Djawaban Renny mudah sadja, bahwa perkenalan itu terdjadi ketika dia sedang duduk dalam restaurant „The White Snow” dan Iskandar datang disana dengan maksud jang sama. Mereka berdua saling berkenalan, kemudian saling kundjung-mengundjungi dan achirnja peminangan dari Iskandar tiba.

Saja tanjakan bagaimana rentjananja dengan peristiwa penangkapan terhadap tunangannja itu.

„Hal itu memang menjedihkan aku, Niko! Tetapi apa hendak kukata, karena, jah, karena memang demikianlah!”

„Tjintanja besar sekali terhadapmu, Renny! Besar sekali! Sajanglah kalau engkau menjia-njiakan tjintanja! Aku maklum, betapa sikapmu terhadap dia! Kau lakukan djuga seperti terhadapku dulu? Ja, ketika datang kawanmu jang lain jang tiba2 melarang engkau berhubungan dengan aku?” kata saja dengan sedikit mentjemoohkan dia.

„Ja, kuingat peristiwa jang lalu itu, Niko! Maafkan, karena harus demikian! Hal itu dapatkah sekarang kuulangi ?” katanja setengah bergurau . . . . . . . . „Hal itu telah lalu! Telah silam! Sekarang aku hendak mengingatkan engkau djangan hendaknja sampai mengulang peristiwa dulu, karena itu akan mendjatuhkan namamu sendiri!”

Tiba-tiba dia menundukkan kepala. Airmatanja meleleh dengan derasnja. Dia menangis. Entah apa jang ditangiskan. Sedihkah karena mengingat peristiwa jang lalu, ataukah sedih dan malu karena kata-kata saja? Atau mungkin pula ada latar belakang jang menjeliputi dirinja?

Ja, tentu ada jang menjeliputi dirinja. Hal ini tentu sudah diduga oleh Haris, sebab itu, saja disuruhnja kemari. Kalau tidak, apa gunanja kedatangan saja ini dengan pesan Haris bahwa sedapat mungkin membitjarakan soal pribadi dan soal pertjintaan sadja? Pikiran jang demikian ini timbul dengan tiba-tiba. Suatu tjara penjelidikan jang memakan korban perasaan dan dengan tjara tjinta. Dan mengapakah dengan pelajan jang selalu mengintai itu? Sekarang tentu dia mengintai saja lagi. Entah dari lubang kuntji entah dari balik dinding jang mengelilingi kamar Renny ini. Tapi saja berkepastian, bahwa ada orang mengintip. Kalau demikian, tentu ada apa² dengan Renny. Soal ini pandjang sekali hubungannja. Pelajan ini mungkin orang jang tak patut dipertjajai. Suatu anggauta gerombolan jang bermaksud djahat terhadap Renny atau Iskandar. Iskandar! Mengapa kini Iskandar meringkuk dalam tahanan? Karena perampokan itu! Uang jang ditjetjerkan dihalaman rumahnja. Tentu ada hubungannja. Uang rampokan ditjetjerkan, Iskandar ditangkap, dan Renny kini diintai orang! Tiga hal jang satu sama lainnja ada hubungannja. Begitu djauh hubungan ini dan penuh belat-belit.

Mungkinkah Renny djuga tersangkut dalam peristiwa ini, ataukah hanja sebagai perisai ataupun dia tak tahu sama sekali Mungkinkah pula Renny diperas dalam hal ini ? Tak mungkin Renny tidak tahu peristiwa dan perbuatan pelajan jang kurang adjar itu. Kalau tidak diperas, tentu pelajan itu sudah dikeluarkannja. Dan penjelidikannja terhadap diri saja ketika pelajan itu mengintai? Apakah hal itu tidak disengadja? Pikiran-pikiran begitu tjepat datangnja pada otak saja.

Dia masih berdiamkan diri sambil menghapus airmatanja. Tangisnja telah berhenti.

„Renny,” udjar saja memetjah keruwetan jang menjeliputi kami: „hal itu hampir kumaklumkan! Engkau menjimpan rahasia besar jang membahajakan djiwa kami dan djiwamu sendiri! Rahasia jang kausimpan itu sekarang djuga harus kau keluarkan kepadaku! Kepadaku, karena aku dan Mr. Haris sanggup melindungi djiwamu! Engkau harus hidup bahagia kelak !”

Diusapnja matanja kemudian dipandangnja saja tenang².

„Ja, Niko! Kuakui, bahwa ada rahasia jang menjeliputi aku!” katanja lambat setengah berbisik: „Ada pula orang jang mentjintai aku, meski aku bentji padanja, Niko! Sebenarnja aku mau bebas, tetapi orang itu mengikuti aku kemana sadja aku pergi. Aku mau lari, tetapi tak dapat. Orang itu membiarkan aku berhubungan dengan Iskandar, tetapi dengan maksud untuk uangnja! Sebab itu dia mentjelakakan dengan djalan jang litjin sekali. Sedangkan engkau sendiri, Niko, perhubungan kita terpaksa diputuskan dengan tjara kasar. Dan engkau kira maksudku sendiri, bukan?”

Betapa terkedjut saja mendengar tjeriteranja itu. Terutama tjerita tentang perhubungan saja dan dia jang telah lalu. Kiranja bandit² jang berdiri dibelakang Renny itulah jang akan menjebabkan perhubungan dia dan Iskandar putus.

Hal ini tak boleh terdjadi dengan Renny dan Iskandar. Dalam otak saja mempunjai rentjana untuk memindahkan Renny kekantor Haris agar dapat melindunginja dari kedjahatan jang dilakukan oleh orang dibelakang Renny. Tetapi siapa dia? Ja, itu jang terpenting, karena pokok dan benggolan perampokan jang dilakukan terhadap bank itu berkisar disitu. Orang jang dibelakang Renny!

„Siapakah orang jang dibelakangmu itu, Renny ?” tanja saja sambil mendekati dia: „Karena aku tahu bahwa dialah jang menjebabkan keonaran dikota ini karena perampokan!” Renny tampak ragu². Satu djawaban nama dan alamat orang itu, bereslah pekerdjaan kami. Satu djawaban sadja. Belum sampai djawaban itu keluar dari mulut Renny, pintu kamar terbuka. Pelajan itu muntjul dengan muka jang mendjemukan.

„Ada tamu diluar, nona !” katanja.

Renny berdiri.

„Maafkan, Niko !” katanja sambil pergi keluar kamar,

Tiba-² terdengar djerit jang tersumbat dan barang djatuh. Tjepat-² saja melompat keluar kamar, tetapi sebuah pukulan menjebabkan saja terhujung. Dua orang berdiri didepan saja, sedang mata masih berkunang-kunang karena pukulan jang mengenai muka saja itu. Tampak kedua orang itu mendekati saja, dan kepala saja kena barang keras. Sudah itu tak ingat apa-² lagi. Pingsan mungkin.

Dengan penat-² seluruh anggauta badan, saja menggeliat.

Kiranja saja menggeletak pada sebuah tempat jang tak pernah saja kenal. Seluruh bagian dari tempat itu dilapisi dinding kuat. Kalau tak salah sebuah kelder atau sebuah gudang jang dibuat setjara kokoh sekali. Didepan saja berdiri tiga orang. Dua orang bersendjata pistol, dan seorang tidak. Ketiga-tiganja memakai topeng.

Jang seorang dan tidak bersendjata itu saja kira pemimpinnja. Orang inikah jang berdiri dibelakang Renny? Perampok bank itukah dia? Ataukah kawan dari Fadholie jang membunuh Chen Jie ?

Orang itu mendekati saja. Dipandangnja tenang-² muka saja. Matanja tadjam menjembul dari balik topengnja.

„Bagus, bagus! Saudara achirnja bangun djuga!" sekali lagi didekatinja saja, dan ditariknja saja dengan kasar hingga terduduk. Seumpama tidak ada dua orang lainnja jang bersendjata itu, sudah tentu saja tumbuk keras-² perutnja.

„Bagus, bagus! Seorang polisi telah ada ditanganku! Hahaha, lutju sekali penjelidikan saudara, ha?!” tangannja singgah dipipi saja, hingga membekas sekali rasanja. Kuat betul tangannja itu. Sajanglah bahwa kedua orang jang memegang pistol itu hadir. Kalau tidak, sudah tentu tamparannja itu saja balas dengan bunganja sekali.

„Saudara tak bisa menangkap saja, sedangkan mentjari djedjak sadja sudah ketahuan! Tentu mau lapor, dimana letak gudang, dimana saudara dipukul orang dan siapa-siapa sebagian dari orang jang mendjadi perisai saja, tetapi, itu takkan botjor! Karena saudara tidak akan pulang begitu sadja !”

Teringat tiba-² pada Renny. Renny jang berteriak waktu saja didalam kamar dan kemudian disambut oleh dua orang dengan pukulan.

„Dimana Renny?” tanja saja sambil memandang kuat-² pada orang itu.

„Renny?! O, Renny!” djawabnja: „He,” katanja sambil berpaling pada kedua temannja jang memegang pistol: „dimana Renny? Ah, nona Renny!”

„Dirumahnja!” djawab mereka berdua, sambungnja: „Bersama-sama dengan Razak !”

„Diam!” bentak kepalanja ketika keduanja menjebut nama Razak, Razak! Tak lain dialah pelajan itu. Razak! Tak salah dia salah seorang anggauta gerombolan ini. Andaikan saja dapat melepaskan diri dari dalam gua ini, sungguh akan ada penangkapan dirumah Renny. Tetapi mengapa Renny ditinggal dan tetap dirumahnja? Mungkinkah untuk mengabui mata polisi dan bagi saja untuk mengabui mata Haris bahwa tak ada terdjadi apa-² dirumah Renny terhadap diri saja? Mungkin demikian !

„Saudara tahu, nona Renny dirumahnja!” kata orang itu pula dengan lagak mengedjek, sambungnja pula sambil mendjongkokkan kepala saja hingga terangguk saja dibuatnja :

„Sampai bertemu lagi, saudara!” Kemudian dia pergi meninggalkan gudang itu. Kedua temannja itu ikut. Lalu salah seorang berhenti dipintu dan duduk diatas sebuah peti kosong jang dibalik.

Seorang inilah satu-satunja kesempatan untuk melarikan diri. Tetapi setelah lama saja pikir, hendak kemana sesudah berhasil usaha saja kelak? Gedung jang berdinding kuat-² itu belum pernah saja ketahui, djalan masuk keluarnja sadja tak tahu. Umpamakan sesudah memukul orang itu, lalu lari kemana? Kalau sampai terdjegat didjalan, tentu akan lebih tjelakalah nasib saja. Setidak-tidaknja merupakan sasaran peluru. Apa tindakan saja selandjutnja? Hendak membabi buta begitu sadja ? Mungkinlah bisa didasarkan atas untung- untungan. Mungkin pula merupakan hal jang tak mungkin. Pendeknja, pertamakali usaha. Itulah jang bisa memastikannja kelak.

Dengan berdjingkat-djingkat dan kepala masih sedikit pening saja tudjui sebuah medja jang disediakan disana. Sebuah kursi djuga ada, tetapi selain itu sudah tak ada lagi. Pendjaga itu menoleh pada saja. Tangan kanannja selalu didalam saku, dan tahulah saja bahwa ditangannja itu tergenggam pistol.

Dia melihatkan sadja. Saja berdiri dan akan mendapatkan dia.

„Djangan bergerak kemari ! Tetap pada tempatmu !“ katanja mengantjam. Saja berhenti dan tersenjum pada dia.

„Bolehkah saja minta rokok ?“

Dengan tak berkata apa-apa dia mendekati saja. Diambilnja sigaret dari tempatnja, kemudian geretan apinja sekali. Tetapi tangannja jang sebelah tak lepas dari balik sakunja.

Setelah itu saja kembalikan geretannja.

„Hah, bagaimana rasanja nanti saudara terus djaga disini. Panas dan mendjemukan sekali!“

Dia diam sadja.

Saja sambung kata-kata itu terus-menerus dengan mentjari bahan-bahan seadanja. Dia tetap membisu sadja. Lebih dekat saja kepadanja. Dia duduk diatas peti kosong itu. Tak dihiraukannja saja mendekati dia itu. Tetapi kira-kira pada djarak lima meter, dikeluarkan pistol dari dalam sakunja dan ditudjukan pada saja.

„Kalau madju, saja tembak! Sungguh mati !“

Saja tersenjum. Dan saja mulai lagi berkata-kata. Sigaret sudah tinggal setengah. Dia tetap seperti tak atjuh. Suatu kesempatan ! Dengan tjepat puntung jang menjala itu saja lemparkan kemukanja hingga tepat mengenai hidung dan didekat matanja. Dalam kegugupan ini setjepat-tjepatnja saja lompati dan pergumulan terdjadi.

Pistolnja terlempar sudah.

Kami bergumul dengan serunja. Beberapa kali muka saja kena gotjoh dia. Mau rasanja untuk mengalah begitu sadja karena gotjohan jang keras itu, tetapi njawa saja tergantung dari menang kalahnja pergumulan ini. Djadi satu-satunja djalan hanja harus menang dalam berkelahi. Satu-satunja djalan ! Leher badjunja saja angkat. Tidak peduli perut saja disodoknja. Sekuat tenaga saja dorongkan kearah dinding dan tepat kepalanja kena dinding itu. Menggeliat sedjenak, kemudian diam. Pingsan barangkali.

Pistol segera saja ambil dan dengan sempojongan saja tinggalkan gudang gelap itu.

Sepuluh menit berputar-putar sekitar lorong² gudang, barulah tampak sinar jang memberi harapan. Dengan hati² sekali saja keluari tempat tjelaka itu. Kepala masih pening rasanja.

Diluar tak ada apa². Tak seorangpun lalu, dan tak sebuah kendaraanpun terdapat disana. Hanja djalan jang sunji sadja. Gudang ini gudang apa ? Tampaknja seperti kelder dibawah tanah. Mungkinkah itu bekas perlindungan jang dipakai waktu perang jang lalu ? Mungkin pula disana bersarangnja pendjahat² itu.

Terdengar desau angin jang menerdjang daun-daun dan desau ombak laut. Tak salah lagi, disini tepi laut. Kemanakah jang hendak saja tudju sekarang ? Hanja orang jang pingsan itu sadja dapat saja djadikan penundjuk djalan. Pikiran inilah jang menjebabkan saja kembali memasuki gudang itu dan menemui orang jang pingsan itu sudah sadar tetapi masih susah untuk bangun.

Segera saja pegang leher badjunja dan saja dorong dengan todongan pistol pada punggungnja. Sedikit demi sedikit sampailah kami pada tepi laut. Menjusur laut ini achirnja sampai djuga pada sebuah desa. Ramai djuga desa itu. Karangpondok namanja.

Dari sanalah saja dan tawanan saja itu dapat kembali kekota dengan naik ......... bendi !

Saja dapati Manuel sedang dikantor, sedangkan Haris kata Manuel keluar kota. Begitulah rentjana saja jang muluk² untuk Renny gagal sama sekali karena telah didahului orang. Sedangkan Renny sendiri saja tak tahu.

Untuk kerumahnja, tenaga saja sudah tak kuasa lagi. Manuel saja suruh mengurung tawanan itu pada sebuah kamar jang rapat.

Esok hari barulah saja akan datang kerumah Renny.

——————

V. PESTA

PAGI ini kabut masih menutupi djalan. Sepandjang djalan Werkudoro tampak suram oleh kabut. Remang² sadja. Tetapi pada pagi sedemikian itu saja telah hadir disana, didepan rumah nomor 16, rumah Renny.

Rumah itu masih tertutup. Hanja lampu depan sadja menjala. Djas jang saja pakai terpaksa saja naikkan kerah lehernja untuk menahan dingin. Setelah sedjenak saja pandangi rumah itu, barulah saja masuki halamannja dan mengelilinginja dari balik² pohon²an serta tumbuh-tumbuhan jang tumbuh pada halaman itu. Pada bagian agak belakang, dimana pokok² kaju tumbuh dengan lebatnja, terutama pohon kopi, lebih mudahlah bagi pekerdjaan saja untuk mengintai isi rumah.

Lama-kelamaan embun menguap djuga. Sinar matahari menerangi rumah, dan djendelanja sudah dibuka orang. Tak tampak Renny, tetapi orang asing bagi saja jang tampak. Orang laki² bermuka seperti Indo Belanda.

Orang ini tak pernah saja djumpai sebelumnja, baik diluar maupun didalam rumah itu. Mungkin karena letak saja dan dia berdjauhan hingga tidak terang mata melihatnja. Mungkinkah dia anggauta gerombolan pendjahat jang menjergap saja dahulu? Mungkin demikian! Dimanakah Renny kalau demikian? Mengapakah orang asing dan orang laki itu hadir dirumah Renny? Ditjulikkah Renny?

Kalau memang ada ketidak beresan terhadap Renny, maka kewadjiban sajalah untuk menjelidiki peristiwa itu. Djalannja hanja memasuki rumah itu setjara sembunji². Biarlah risikonja untuk itu besar, tetapi saja wadjib mendapat keterangan duduk perkaranja tentang pemukulan terhadap kepala saja. Itulah jang menjebabkan saja terus sadja memasuki rumah Renny, jang kini berpenghuni asing bagi saja itu. Dengan tjara sembunji² dan mengurut sepandjang semak² belukar dan semak² bunga jang ditanam urut djalan rumput jang menudju belakang rumah, dimana sebuah pintu belakang tertutup, achirnja sampailah saja pada pintu belakang.

Pintu itu tidak terkuntji, meski tertutup. Mudah dibuka dengan tiada menimbulkan suara sedikitpun.

Kalau pintu ini tidak terkuntji, tentu ada apa²nja. Sebab, dikota tidak boleh dikata tidak ada pentjuri. Sedangkan pintu tidak terkuntji. Mestilah harus ada pendjaga jang mendjaga pintu itu tiap malam, atau memang rumah itu baru kemasukan pentjuri, atau pula tersedia buat mendjebak saja.

Dari ketiga alasan itu, pertama dan ketiga jang masuk akal karena alasan jang saja pakai itu, maka tanganpun harus selalu memegang trekker pistol.

Sunji sadja corridor jang saja masuki.

Dua buah kamar telah saja lalui. Pintu kamar tertutup semua. Kemudian beralih pada kamar ketiga. Kamar mandi kiranja, karena terdengar air jang ditjurahkan serta siul-siul ketjil dari seorang laki². Tak salah lagi, tentu dialah orang jang terlihat didjendela tadi. Dengan berdjingkat-djingkat langsung menudju kamar sebelahnja jang memang tidak pernah ada pintunja, hanja tertutup dengan tirai tebal. Setelah saja masuk, sampailah pada kamar dimana saja dipukul orang dulu. Pintu dengan sekali putar knopnja terbuka lebar-lebar. Pistol sudah tersedia.

Renny !

Heran sungguh bagi saja. Dia tampak terkedjut karena pintu jang saja buka dengan tiba-tiba itu.

„Niko !“ udjarnja dengan keheranan. Lebih2 heran saja melihatkannja itu.

„Renny !“ kata saja sambil mendekatinja dan memperhatikan dari udjung kepala hingga udjung kakinja; sambung saja : „Apa kabar dengan engkau ?“

„Baik, Niko, meski harus bertjerita kepandjangan !“ djawabnja. Tiba² teringat saja pada orang jang dikamar mandi. Orang laki² itu ! ,,Renny, siapa orang jang dikamar mandi itu?"

,,Oh, lupa aku! Tutup dulu pintu itu, nanti aku bertjerita!"

Segera pintu saja tutup dan saja kuntji dari dalam. Kemudian saja duduk disebelah Renny, pada korsi toilet. Didepan kami tampak tjermin.

Mulailah Renny bertjerita dengan suara setengah berbisik.

,,Ketika aku keluar dulu, tiba² disergap orang. Dua orang, Niko! Kemudian muntjul pula dua orang memukul engkau. Sudah itu aku dibawa kekamar sebelah. Mereka bertopeng, djadi tidak kukenal. Salah seorang berkata padaku: Ini hanja peringatan sadja, nona! Djangan mentjeritakan apa² pada polisi tentang jang nona ketahui ! Dan polisi jang menanjai nona itu tidak akan kembali keasalnja! Dia tidak akan kembali! Nona harus tidak tahu apa² jang terdjadi dengannja,dan apa jang didapat polisi itu lenjap kedasar laut ! Niko! Jang dimaksud polisi ialah engkau. Hendak kukatakan pada mereka bahwa engkau bukan dari polisi, tetapi mereka sudah meninggalkan aku dengan antjaman dan dengan djandji bahwa aku disanggupi kepalanja untuk pergi dari Indonesia.

Pikiran saja mulai bekerdja.

,,Kalau mereka berkata bahwa engkau tidak boleh berkata apa² tentang jang kau ketahui, mestinja engkau mempunjai rahasia. Bukankah begitu?"

Renny menundukkan kepalanja.

,,Renny, keselamatan djiwamu, djiwa kekasihmu, dan djiwaku serta keamanan kota ini terletak pada pengakuanmu! Aku sanggup untuk melindungi namamu!"

Entah darimana datang kesanggupan jang keluar dari mulut saja itu, tetapi udjudnja telah keluar dengan tidak saja sadari.

Renny masih berdiamkan diri. Dipandanginja saja tenang², hingga menggeletar sedikit djantung saja oleh pandangnja itu.

,,Niko!" katanja dengan saju: „Aku pernah berkenalan dengan seorang bernama Jansen, anak Menado berbapa Belanda. Dia pernah berkata bahwa melindungi aku, tetapi sajanglah bagi dia, karena engkau dan Mr. Haris sudah melindungi aku djuga!" SUDAH TERBIT! LEKAS PESAN! SINAGA Penghisa DARAH Komik hiburan sehat? Untuk adik2 sdr. kini telah kami sediakan komik hiburan sehat. DETECTIVE Sinaga Oleh pelukis & pengarang muda jang terkenal. Kalau adik2 sdr. merasa gembira, seisi rumah akan ikut mengenjam kegembiraannja. Tapi kalau ia ketjewa, akan mempengaruhi pekerdjaan sdr. se-hari. Kare- nanja pilihlah untuk mereka buku hiburan jang sehat. Komik Detective SINAGA akan mendjadi pilihannja. Karena harganja hanja Rp. 3,- Tapi mutunja tjukup tinggi. Pesanlah liwat toko² buku setempat, atau langsung dengan tambah ongkos kirim Rp. 1.25 pada: Toko buku tsb. dalam halaman 98. 53 ,,Orangnja berkulit putih ?" tanja saja, karena teringat pada orang jang mandi tadi.

Renny mengangguk.

Dari luar terdengar langkah orang dan pintu jang dibuka.

,,Orangnja disini, Renny! Engkau tahu, dan sajang sekali bahwa tjeritamu belum habis! Nah, itu dia, habis mandi !"

,,Engkau tahu?"

Saja mengangguk.

,,Hanja itu dulu jang hendak kuketahui, dan sekarang aku pergi dulu lewat djendela kamarmu ini !" kata saja kemudian setelah mendengar langkah orang diluar mendekat.

,,Aku belum selesai bertjerita, Niko!"

Tangan saja sadja jang memberi djawaban sebagai isjarat agar dia diam.

,,Niko!" udjarnja pula ketika saja melangkahkan kaki hendak keluar djendela. Takut saja akan suara Renny jang keras sebagai berteriak itu. Ketika kaki akan keluar djendela, sebagai disambar petir sadja saja dengar suara seorang laki² jang keras:

,,Niko Djangan engkau bersusah pajah melalui djendela ! Dan djangan mentjoba menembak !" kemudian dia tertawa.

Pada ingatan saja pernah saja dengar suara itu, tetapi muka saja belum saja palingkan padanja. Dalam pikiran masih ragu, bagaimana usaha saja nanti bila ternjata orang itu musuh jang harus ditakuti.

Dengan perlahan-lahan muka saja palingkan.

,,Astagaaaa!" teriak saja kegirangan dan menarik surut kaki jang hendak keluar djendela dan mendekati orang Indo itu: ,,Engkau disini, Jansen !" Kami berdua tertawa terbahak Renny hanja tersenjum-senjum. Setelah selesai saja dan Jansen berdjabatan tangan, saja pandangi Renny dengan ragu². Mengapa Jansen dirumah ini? Dan tentu tidur pula disini? Renny djuga heran barangkali karena kami sudah berkenalan.

Agaknja ketidak-enakan pada muka saja itu terbajang pada Jansen, dan dengan tersenjum dipandanginja saja sambil menggeleng-gelengkan kepala. „Niko, Niko! Engkau chawatir sahabat?" kata Jansen : „Nah, sekarang kutjeritakan. Begini! Aku sebenarnja berpakansi kekotamu ini dari Ibu kota hendak menemui Haris. Tiba² disini kudengar engkau menghadapi peristiwa jang patut untuk djadi bahan penjelidikan. Nah, begitulah ! He, duduk dulu engkau! Nona Renny djuga! Jah, kuteruskan! Daripada pakansi dengan nganggur begitu sadja, maka aku ikut engkau. Dan disini aku ditempatkan untuk mendjaga nona Renny. Malam aku datang, siang aku pergi. Persis seperti kelelawar."

„Mengapa perlu didjaga?"

„Penting, Niko, penting! Soal njawa! Dan djuga soal penjergapan jang akan kami adakan, barangkali pendjahat² jang memukul engkau itu datang malam hari. Tetapi rupa²nja mereka mengerti kalau aku adang!"

„Engkau lewat pintu belakang?"

„Jap! Tepat sekali! Aku tahu engkau djuga melewati djalan itu, dan engkau djalan berdjingkat-djingkat lewat depan kamar mandi!"

„Mengapa tidak kau panggil?"

„Dengan pistol ditanganmu? Hah, siapa tahu terus sadja engkau menembaki aku! Tjelaka, kan!"

„Matamu awas, Jan!" kata saja tertawa.

„Hah, kau lupa bajang2mu masuk kamar mandi, karena sinar masuk dari seberang pintu kamar mandi dan mengenai engkau! Hahahaha!" dia tertawa kegirangan.

Saja kira dia mengintip dari pintu kamar mandi itu. Untunglah kawan sendiri, kalau tidak tentu untuk dua kalinja rentjana pendjahat itu berhasil menanam saja kedasar laut.

Lama kami bertiga saling berdiamkan diri. Masing² tentu dengan pikirannja. Tiba² Jansen menepuk bahu saja dan sambil mengatakan sesuatu pada telinga saja. Muka saja djadi berseri-seri agaknja, karena Renny ikut tersenjum.

„Dia sudah tahu!" kata Jansen sambil menundjuk Renny jang tersenjum girang itu.

Dan rentjana kami akan dilakukan besok petang.

★★★

Rentjana kami djalankan.

Petang itu, sehari sesudah pertemuan saja dengan Jansen, maka kali ini rumah Renny penuh djamu. Beberapa pelajan jang berdiri menunggu perintah djamu² jang hadir untuk minta ini-itu berderet sepandjang tepi dinding.

Djamu datang bertambah banjak. Memang banjak sekali kawan Renny. Tak ketinggalan kawan Iskandar jang djuga diundang. Semua tampak gembira, karena Iskandar dibebaskan dari pendjara atas usul Haris. Meski polisi berkeberatan, tetapi permintaan Haris kepada kommissaris Dahlan keras sekali dengan alasan²nja. Itulah sebabnja mengapa Iskandar djuga hadir sebagai penerima djamu. Hanja sajanglah bahwa ibu Iskandar tak diidjinkan Haris untuk ikut hadir, karena kaum tua tidak boleh hadir, takut nanti kalau ada sesuatu jang menjinggung perasaan dan ingar-bingar terdjadi.

Pesta jang merupakan pesta-berdiri ini didatangi djamu muda semua, baik laki² maupun wanita. Tak ketinggalan Haris, saja, Manuel dan Jansen.

Minum² dan penganan diedarkan sudah, dan semua saja kira litjin tandas. Mendjelang pukul 8, diadakan malam dansa.

Sebenarnja saja sendiri kali itu tidak ingin dansa, karena tugas jang hendak kami lakukan. Tetapi Renny datang pada saja dan mengadjak dansa. Berputarlah kami pada ubin rumahnja dengan disaksikan Iskandar. Perasaan saja lebih takut dari perasaan dan wadjah Renny serta Iskandar jang gembira itu. Saja takut terhadap kedjadian nanti, dan takut kalau² timbul tjemburu Iskandar. Dua-duanja jang mengchawatirkan saja.

Pistol ketjil jang tersembunji dibalik djas-smoking itu sebentar² harus saja lihat, karena mungkin tampak oleh orang lain.

Sudah lama kami saling berputar.

Renny sekonjong-konjong menempelkan mukanja pada arah leher dan telinga saja. Dan saja dengar bisiknja diantara irama waltz piringan hitam dan dengung orang serta bunji sepatu pada lantai, bisiknja : „Niko,” dia berhenti sedjenak. Pandangannja diarahkan pada pintu rumah, sambungnja: „orang itulah jang kita tunggu! Ja, Indo itu! Ingat, djangan sampai dia lolos sebagai perdjandjian kita, sebab, kalau lolos, dia akan berbahaja bagi aku dan Iskandar!”

Saja hanja diam, tetapi memutar badan bersama Renny dan mengarahkan langkah dansa pada orang itu. Dia seorang Indo jang bermuka tjakap sekali, berkumis tebal dipotong rapi, berdjas putih dengan dasi kupu² hitam, serta tjelana hitam mengkilat. Sungguh akan tertarik orang melihat ketjakapan bentuk dan potongannja, tetapi orang akan salah terka kalau melihat dalam² antara mata dan mukanja jang selalu nampak gembira itu. Orang akan ketjewa kalau mendengar bahwa dia bandit!

Ja, memang dia seorang bandit jang harus digulung pada malam ini. Kalau rentjana meleset, kamilah jang akan digulungnja dengan komplotannja.

Dipandangnja Renny dan saja.

Dia memegang bahu saja untuk meminta mengganti Renny, dan dengan tersenjum saja serahkan Renny padanja.

„Selamat datang, Walter !” kata Renny pada dia dengan tersenjum manis.

Walter, Indo itu, mengangguk pada saja, dan pergilah saja dari dekatnja. Terus menudju tempat Haris jang duduk dan sedang berbintjang dengan kommissaris Dahlan jang berpakaian preman.

Saja duduk dekat Haris dan menjintuh kakinja dengan kaki saja.

„Dia hadir!” kata saja setengah menggerutu.

„Dengan kawannja?” tanja Haris sambil tidak memperhatikan saja.

„Ja!” djawab saja: „Dua orang!”

Berhenti irama waltz, ganti dengan tango. Beberapa saat selesai pulalah irama dan langkah tango pada lantai itu. Piringan hitam tidak diputar lagi.

Haris memandang saja sedjenak sambil berkata: „Sediakan pistolmu, djago tembak! Engkau harus menggunakan baik² sendjatamu!”

Kemudian dia mengadjak kommissaris Dahlan berdiri sambil bertjakap-tjakap dan menudju tempat Renny dan Iskandar serta Walter jang berdiri dekat karangan bunga.

„Para hadirin!” udjar Haris lantang hingga jang hadir tak mengeluarkan suara sedikitpun karenanja, disambungnja kata-katanja: Kepulangan tuan Iskandar inilah jang dirajakan sebagaimana isi undangan! Kami tahu, bahwa dia tidak bersalah! Saja sebagai pengatjara berhasil menginsjafkan polisi bahwa dia tidak bersalah, dan sebelum perkaranja kekehakiman, dia telah bebas! Inilah kommissaris Dahlan jang djuga turut hadir, jang membuat djasa atas kebebasan tuan Iskandar, meski sedikit harus didalam pengawasan!”

Hadirin bertepuk tangan. Tepuk tangan terhadap Haris dan terhadap Kommissaris Dahlan.

„Hadirin jang terhormat!” sambung Haris lantang pula: „Kebebasan tuan Iskandar malah lebih dari itu! Sebab, kini njata sudah, bahwa jang harus dimasukkan pendjara adalah orang lain, siperampok dan pembunuh besar! Kami sudah tahu, siapa² mereka itu. Nona Renny dan tuan Iskandar mengetahui bahwa dibelakang lajar perampokan bank tempoh hari adalah perbuatan disebabkan tjinta!”

Sekali ini pandangan saja tertudju pada Walter. Dia sudah gelisah. Sebentar² saputangan dipakai untuk mengusap keringatnja.

„Hadirin!” sambung Haris pula: „Orang jang berdiri dibelakang lajar itu dapat dibuka rahasianja dengan saksi² kuat dari nona Renny dan tuan Iskandar sendiri. Dan orang itu,” Haris berhenti berbitjara sedjenak, pandangannja dikelilingkan, suatu isjarat bagi kami, terutama saja jang dikenal kawan² saja dulu sebagai penembak jang tepat dan tjepat, sudah bersedia-sedia, sambungnja pula sambil tersenjum tapi senjum kedjam: „orang itu disini! Ja, disini, disamping saja!”

Belum selesai keheran-heranan para hadirin, tiba² Walter sudah mengeluarkan browningnja ditudjukan pada Haris dan kommissaris Dahlan. „Tjerdik sekali! Tjerdik sekali!” udjar Walter dengan bengis: „Tetapi ingatlah, anak buahku menahan semua orang jang disini dan saja wadjib membunuh, setidak-tidaknja membawa saksi² serta Mr. Haris sendiri dan kommissaris!”

Haris dan kommissaris memandangi saja dengan pandang sedih. Tampak dalam pandangannja itu keketjewaan akan kegagalan rentjana serta kurang tjepatnja tangan saja bekerdja.

„Bolehlah semua berkata saja pembunuh dan perampok!” sambung Walter: „Tetapi ini saja lakukan karena mentjintai nona Renny! Sajanglah, semua telah binasa! Binasa semua! Dia mengundang saja hanja dengan maksud agar saja tertangkap! Iskandar dibebaskan agar saja datang! Ja, saja datang! Tetapi masih tjuriga, sebab itu browning ini tidak ketinggalan dan kuntjinja selalu terbuka.”

Dipandanginja semua jang hadir termasuk saja djuga.

Tidak ada kesempatan. Didekat pintu ada pula dua orang anak buah Walter jang mendjaga dengan pistol, dan mungkin diluar rumah ada pula beberapa orang. Kalau tidak ada tanda dari kami, anggauta polisi jang bersembunji dibelakang semak² halaman rumah itu serta beberapa orang lagi jang berpakaian pelajan pertjumalah. Pelajan Renny sendiri; anggauta dari bandit² itu jang bernama Razak, sebagaimana namanja saja dengar ketika saja tertangkap dulu; telah masuk tahanan kami tadi siang. Dengan mengatakan pada pelajan lain jang bukan polisi bahwa dia keluar kota. Ja, ketika saja ditangkap! Suara orang itu, Walter! Suara Walter jang memakai topeng dulu! Kalau begitu sedjak tadi telah dikenalnja siapa ini ketika dia mengganti Renny untuk berdansa. Sebab itu browningnja sudah tersedia dan saja kalah tjepat. Bagus, kali ini harus berkelahi sungguh². Harus berkorban demi kehidupan kami dan keselamatan Renny dan Iskandar. Kalau saja terdjang begitu sadja, mungkin Haris ditembak Walter, djuga kommissaris Dahlan. Dan djuga dari arah belakang akan bertubi-tubi peluru menghudjani kami. Betul djuga mereka tertangkap oleh polisi dihalaman, tetapi pertumpahan darah inilah jang tidak menjenangkan saja. Djadi usaha saja hanjalah menaklukkan Walter agar anak buahnja tidak menembak kami. Tjara jang harus litjin sekali. Kelitjinan dan ketjepatan menarik pistol.

Dengan langkah tetap, saja datangi Walter.

„Bung,” tiba² kata Walter dengan senjum edjek: „djangan berusaha untuk madju lagi! Saja tahu siapa bung ini! Awas, nanti saja tembak !”

Renny, Haris, kommissaris Dahlan dan Iskandar melarang saja dengan muka ketakutan.

Tetapi saja mendekati Walter sampai djarak tiga meter.

„Kerdja jang baik, Walter !” kata saja mengedjek: „Kalau engkau menembak aku, tembaklah! Tetapi polisi diluar akan menghantjurkan engkau dan anak buahmu . . . . . . . . . . . . . . . disini djuga! Pelajan² kami djuga dari polisi! Ja, kerdja jang baik dengan mengantjam Mr. Haris dan kommissaris! Kerdja jang baik! Boleh engkau mengantjam, karena masih bisa lolos, tetapi djangan menembak !”

„Engkau mengantjam !” udjarnja, tetapi dengan suara agak ragu-ragu :„Aku tak takut mati!”

„Itu bagus!” kata saja tersenjum dengan edjekan: „Dan akupun kalah. Kami semua kalah dengan engkau! Tetapi jang lebih kalah aku, Walter! Perbuatlah semaumu!” kata saja pula dengan lagak tenang meski hati berdebar-debar, dan membalikkan badan sedikit sambil membetulkan kantjing djas bagian bawah. Walter memandangi kami berganti-ganti.

Kantjing djas saja kantjingkan sebuah, tetapi tangan saja tjepat sekali meraba gagang pistol didalam djas dan sekali tjabut terus meletus.

Thar!

Tangan Walter kesakitan.

Darah jang menetes dari tangannja belum sampai tiba ditanah, saja telah sampai pada tempatnja dan menodong pistol jang masih berasap itu pada punggungnja.

„Suruh menjerah anak buahmu, Walter! Kalau tidak mampuslah njawamu sendiri!”

Tjempaka Merah (page 61 crop)

Manuel mengajunkan kursi kepada salah seorang lawannja.

„Aku tidak mau menjerah! Serang . . . . . . . . . . . . . . .

Belum habis kata²nja, Manuel jang sedjak tadi berdiri dibelakang mengajunkan korsi kekepala salah seorang anak buah Walter jang masih bingung memikirkan begitu tjepat perobahan terdjadi. Sekali pukul kelantai. Jang seorang melompat keluar halaman dan menembak. Untunglah hanja lampu depan jang padam, Mungkin dimaksud untuk memadaminja agar dia tak kelihatan.

Polisi² jang mendjaga dihalaman muntjul dari balik semak² dan mentjegat djalan keluar dengan antjaman tembak. Orang itu nekad. Dia mendjatuhkan diri dan berguling sampai pada dinding rumah sebelah. Melompat kedalam djendela jang dipetjahkan lebih dulu, dan memasuki rumah itu.

Dirumah itu hanja sebuah loteng sadja jang ada. Ialah dibagian belakang. Disana diperuntukkan mentjari angin sambil melihat pemandangan bagus. Kesanalah larinja orang jang diburu polisi. Walter sudah diborgol dan sedang dibebat tangannja dibawah pendjagaan Manuel. Orang jang dipukul Manuel djuga telah diborgol dan setengah sadar. Tinggal orang jang diatas loteng itu.

Zoeklicht mobil jang dimasukkan pekarangan rumah mulai menjoroti seluruh atap dan sampai pada loteng jang seluas kira² lima meter pesegi lebih itu.

Disanalah orangnja!

Dia menembak dan tepat kena zoeklicht! Penembak ulung kiranja!

„Menjerahlah! Kalau tidak akan kami tembak mati!” perintah kommissaris Dahlan dengan melalui tjorong.

Orang itu diam. Diteriakkan pula akan diberi batas waktu tiga menit, tetapi tiga menit dia masih tidak mendjawab. Tangga loteng sudah penuh dengan polisi bersendjata jang siap untuk menembak.

Zoeklicht lain disorotkan diiringi rentetan pistol-mitrallieur jang pelurunja membara menudju loteng itu. Empat laras senapan matjam itu menghudjankan pelurunja. Peluru melenda sandaran loteng dan katja loteng jang berserakan kebawah dengan suara mengerikan. Sinar jang disorotkan tepat mengenai muka orang itu jang berusaha menembak zoeklicht, tetapi peluru² jang membara itu lebih dahulu mengenai dia. Dengan tidak mendjerit, dia djatuh ketanah. Terang sudah kalau mati.

Pertempuran ketjil itu selesai.

Haris dan kommissaris Dahlan memudji saja, djuga tak ketinggalan Renny dan Iskandar. Hadiah jang saja terima dengan persetudjuan Iskandar dari Renny ialah . . . . . . . . . tjium ! Sekali sadja !



VI. PERAMPOKAN² BANK.

PENJELIDIKAN kami diluar terhenti sedjenak. Perka² jang harus diselesaikan terletak pada diri Walter jang didalam tahanan polisi. Walter mula² tidak mau menga- ku, malah membisu boleh dikata. Hanja Karena tindakan pelisi dan kata- ‘kata Haris jang menjebabkan dia mau meng- aku. Kali inipun saja dan Haris menghadapi Walter didalam fahanan. Kommissaris Dahlan duduk disudut, saja djuga disudut lainnja, dan Haris duduk didepan Walter,

,,Baiklah, semua kali ini harus tuan akui, tuan Walter! Hal ini tentu ada baiknja terhadap apa jang telah terdjadi.”

Walter masih menunduk.

Haris memandangi dia tadjam sekali, Tak kuat pandang Walter menentang mata Haris itu,

Ja!” kata Walter lambat? sekali: Saja mau mengaku asal tiian mau mendjamin keamanan saja serta keluarga saja!” :

Haris menjetudjui sarannja, Dikatakannja bahwa sebentar lagi perkara itu beres dan akan menghadapi penjelesaian asalkan Walter mau mengakui terus terang.

Walter mengangsuk. Dimulaimja tjeritanja pada permulaan tahun, 1953 jang lalu.

Dia kenal dengan Renny pada sebuah perdjamuan makan malam. Dikenalkan kepadanja oleh kawannja. Iskandar sen- divi. Pada malam itu dia langsung sadja tertarik pada Renny tetapi tak diketahuinja bahwa Iskandarpun tertarik pada Renny. Tiba-tiba dia harus ke Simgapore untuk urusan -jang dibebankan oleh madjikannja, seorang Tionghoa bernama Han Ping Lok. Itulah sebabnja dengan tidak . diketahuinja bahwa Iskandar bertunangan dengan Renny.

Lama kemudian dia baru pulang dari Singapore. Jang ditjarinja pertama kali ialah alamat Renny. Sajanglah, kedatangannja diterima dengan sesal karena terdengar berita bahwa Renny telah bertunangan. Dia djadi bentji. Pada Iskandar mendendam, pada madjikannja djuga sedikit mendendam karena perintah jang diterimanja ke Singapore itu menjebabkan kegagalannja. Tetapi pada madjikannja itu dia tidak berani membantah, takut pada anakbuah madjikannja, serta uang jang diberikan padanja lebih dari tjukup. Itu sebabnja dia tidak membalas kebentjiannja pada simadjikan. Pada Renny dia masih tjinta, dan masih berusaha denga djalan apapun djuga akan menghalang-halangi Iskandar untuk terus kawin.

Tiba-tiba diterimanja perintah dari madjikannja: perampokan bank! Pada otaknja timbul pendapat jang djahat, ialah merentjanakan penangkapan pada Iskandar, Ini rentjananja sendiri.

Begitulah setelah perampokan, sedikit uang ditjetjerkan dirumah Iskandar jang menjebabkan penangkapan polisi terhadap Iskandar. Maksud Walter terlaksana, tetapi Haris menghalang-halangi rentjananja. Hal ini menjebabkan kemarahan Han Ping Lok, madjikannja. Tetapi madjikan ini tidak bisa berbuat apa², meskipun dia tahu bahwa pekerdjaan jang dilakukan Walter untuk membalas dendam karena tjinta itu bisa menjebabkan terbongkarnja rahasia itu. Menghukum Walter tidak berani, karena Walter sendiri mempunjai pengikut jang setia, termasuk Fadholie. Walter dan Han Ping Lok saling mendendam, tetapi saling tidak berani balas-membalas. Kedua-duanja takut kalau rahasianja terbongkar.

Atas usul Han Ping Lok, kepada Walter ditawarkan seorang pendjaga jang menjamar mendjadi pelajan, ialah Razak, pelajan jang ditempatkan untuk mengawasi gerak-gerik Renny. Itulah sebabnja pelajan ini selalu suka mengintip. Hal ini diketahui oleh Renny, pada pendapat saja dan pengakuan Renny pada Haris beberapa hari berselang, tetapi dia tidak berani karena diantjam kalau sampai membuka rahasia pendjaganja itu tentu njawa Iskandar melajang dan njawa saja sendiri ikut dikirim keneraka entah sorga. Sungguh suatu hal jang mengerikan rentjana Han Ping Lok ini.

Dengan tidak disadarinja Walter diundang oleh Renny pada malam resepsi itu, tetapi maksud kedatangannja kesana hanja karena ingin tahu muka Renny dan mempunjai maksud djahat, mengadakan huru-hara dan menembak Iskandar.

Maksud pembunuhan ini sebenarnja adalah mendjadi rentjana Han Ping Lok karena Han jang pandai itu sudah menduga bahwa djedjak Walter ditjium polisi. Ternjata dengan pembebasan Iskandar. Djadi dengan membunuh Iskandar dan memaksa Renny, bereslah saksi-saksi jang mungkin membahajakan dan memberi djalan penjelidikan.

Dan waktu bersama Renny dengan ongkos Han akan dikirim keluar negeri.

Sajanglah bagi Han, karena Walter tertangkap.

Untuk itu Han tidak sajang-sajang membuang uang upahan bagi siapa sadja jang bisa membunuh Walter, dengan djalan jang litjin dan tidak diketahui oleh anakbuah Walter jang setia.

Sesudah selesai pembitjaraan ini, Haris menggamit saja untuk keluar bersama-sama kommissaris Dahlan.

Ketika kami bertiga sadja, berkatalah Haris:

„Kommissaris, sebaiknja kita tjari Han Ping Lok!”

„Walter tidak mengaku siapa Han Ping Lok dan rumahnja?” tanja saja padanja.

„Han sedjak tertangkapnja Walter itu sudah menghilang dari mata polisi! Dia kini masih didalam kota, itu aku pasti Niko, sebab untuk lari dengan uang sekian banjak dan ini itu dia tentu tidak akan sampai hati! Ingat, dia seorang jang mata duitan!”

Kommissaris Dahlan memandangi saja. Kemudian pandangnja dialih pada Haris, katanja:

„Lalu rentjana bung Haris bagaimana?”

„Kalau polisi mau membantu dalam hal ini, beres!”

„Tentu kami bantu, bung Haris!” djawab kommissaris Dahlan tersenjum.

Perundingan bertiga kami landjutkan. Pembitjaraan mengenai tugas jang dibebankan pada saja. Meskipun hal itu saja tolak, tetapi Haris bertetap hati untuk menindakkan pekerdjaan jang dipertanggungdjawabkan dengan njawa.

Esok paginja Razak bebas.

Tetapi reserse² selalu mengikutinja, barangkali dalam hal ini dapat ditangkap anak buah Han atau anak buah Walter.

Pada malam berikutnja, „Bank Perindustrian” di Djalan Batanghari kemasukan perampok, dan dengan hasil jang lumajan. Limaratus ribu rupiah hilang dari peti besi. Polisi geger pada pagiharinja.

Tetapi saja, Manuel dan Haris beserta kommissaris Dahlan dan beberapa kalangan-atas kepolisian tidak mentjari berita. Hal inilah termasuk rentjana.

Saja dan Manuel jang membongkar bank itu!

Harian² memuat gambar besar tentang perampokan, djuga djalan jang dipakai perampok.

Belum reda berita ini, „Bank of Manilla & Philippine” dibongkar! Beberapa ribu rupiah hilang.

★★★

„Bagaimana, Haris, seluruh djalan ke-bank² didjaga polisi bersendjata! Hal ini terpaksa tak dapat kulakukan!” kata saja pada Haris ketika kami duduk² dikantornja.

„Engkau tidak berani?”

„Bukan begitu, tetapi untuk membongkar bank selandjutnja, harus kubutuhkan tembak-menembak dulu. Seumpama itu mengenai polisi apakah termasuk rentjana kita?”

Haris berdiamkan diri.

Lama djuga dia termenung itu.

„Sudah kau djatuhkan potretmu dalam perampokan kemarin dulu?”

Saja mengangguk.

„Baik!” udjarnja: „Sedjak kini, harus kau pakai dua buah pistol! Jang satu berisi obat sadja, dan jang satunja peluru betul-betul! Kalau engkau diburu, engkau harus menembak polisi dengan peluru obat, sedangkan dalam keadaan bahaja, engkau harus memakai peluru sungguh-sungguh! Bagus, sekarang kita mulai. Nanti aku ke kommissaris Dahlan, tentang berita penjiaran potretmu, dan tentang keleluasaanmu dengan Manuel memasuki bank!”

Setelah membetulkan letak dasi, saja, Haris dan Manuel kekantor polisi. Sebentar sadja disana. Ditangan saja ada selebaran tentang perampok bank dengan potretnja.

Segera djuga saja pulang dan tak keluar rumah, takut tertangkap polisi. Hal ini agar tidak menimbulkan ketjurigaan dikalangan pendjahat² jang akan kami tangkap.

Pagihari itu, saja dan Manuel dengan mobil Haris dan setjara bersembunji-sembunji sampai dikantor polisi, langsung menudju kommissaris Dahlan. Didalam kantornja itu saja dan Manuel berpakaian seragam polisi.

Djam 9 bersama-sama beberapa anggauta kepolisian sampailah saja, Haris dan Manuel, djuga kommissaris Dahlan pada „Bank of Hongkong & Overseas”, bekas perampokan jang dilakukan anggauta² pendjahat Han Ping Lok. Direktur bank ini meminta bantuan polisi untuk mendjaga bank.

Saja dan Manuel jang berpakaian seragam polisi dan membenamkan topi dalam² dengan tanda pangkat inspektur pada bahu kami berdua, bersama-sama kommissaris Dahlan dan Haris sampailah pada kantor bank itu, sebuah kantor jang ditingkat atas dengan pemandangan pada djalan besar. Kantor jang besar, lebar dan berbentuk modern serta bersih dan terang karena udara keluar masuk dengan bebas, disanalah kami ditemui direktur bank itu. Ruangan ini sudah pernah saja masuki dengan Haris ketika menanjakan serie-uang pada Chen Jie dulu.

Pada samping kantor ada sebuah kamar jang disediakan untuk menjimpan badju jang sekarang sudah tidak begitu terpakai lagi, sedang dibagian lain sebuah kluis (kamar dengan lemaribesi) jang besar dan tertutup. Dua orang inspektur ikut naik kekantor. Direktur itu turun sebentar karena Haris dan kommissaris Dahlan ingin melihat bagian agak bawah dari tangga. Setjepat-tjepatnja saja dan Manuel memasuki kamar tempat berpakaian jang didalamnja terdapat sebuah djas, dua djas hudjan dan almari kosong.

SUDAH TERBIT ROMAN DETECTIVE
„The Golden Bat”
SIAPA GRANDY? SIAPA THE GOLDEN BAT?

Bung Grandy memperkenalkan pembatja dengan The Golden Bat. Pendjahatkah dia? Pentjuri? Hanja pembatja sendiri yang menentukan siapa Golden Bat. Kalau Naga Mas beractie dengan partnernja, maka The Golden Bat lain dari jang lain.

Tjeritera Roman Detective „THE GOLDEN BAT” meskipun belum pernah sudara dengar akan actienja, tapi pengarangnja............. GRAND jang akan memuaskan pembatja dgn. tjiptaannja ini.

Pesanlah segera lewat toko-toko buku setempat. Tebal 100 halaman, kulit tebal bertata warna indah. Sedang harganja hanja ............................. Rp.4,50.

Untuk didjual lagi disediakan rabat seperti sediakala; 10 buku potong 20%, 50 ex-25% dan 100 ex keatas potong 30%.

Pesanan langsung tambah ongkos kirim..... Rp. 1,50

Dua inspektur itu membantu kami dan setjepat-tjepatnja memberikan badju seragam kami padanja jang kemudian ditempatkan dalam tas jang dibawanja.

Rentjana ini selesai.

Kalau seumpama dengan bentuk sedemikian ini menemui direktur atau pegawai bank itu, tentulah saja dikenal sebagai pendjahat jang membongkar bank² diseluruh kota, karena potret dengan pakaian jang saja pakai itu disiarkan dimasjarakat sudah.

Djadi kami bersembunji.

Sementara itu saja dengan Haris dan kommissaris Dahlan meminta diri pada direktur, seorang inspektur jang menolong kami tadi mendjaga dibawah, karena mengepalai pendjagaan dan mengaturnja pada hari itu.

Djam berdjalan terus.

Kira-kira sudah empat djam saja dan Manuel meringkuk didalam kamar pakaian itu dengan panasnja. Entah untuk berapa lama lagi bubarnja kantor itu.

Arlodji menundjuk pukul setengah lima petang. Udara mendjadi panas, saja kira hari mulai hudjan karena terdengar guruh diluar.

„Kesempatan jang baik, bung Manuel!” kata saja pada dia jang badjunja sudah berkeringat karena sesaknja didalam kamar pakaian itu.

Kantor bank terdengar agak ramai, Manuel mengintip dari tjelah pintu dan saja djuga ikut mengintip.

Disana ada beberapa kassier, kepala dan direkturnja sendiri jang masih duduk menulis pada medjanja. Djumlah semuanja ada kira kira tudjuh orang didalam kantor itu. Pintu jang masuk kearah kantor ditutup mereka.

„Bagaimana bung Niko!” tanja Manuel sambil melihatkan saja.

Saja mengangguk.

Pintu dibuka Niko perlahan-lahan dan terdengar suar kepala kassier baru, katanja: „Sekarang kita tidak begitu kuatir tentang perampokan! Polisi telah mendjaga, tetapi, djagalah njawa tuan-tuan kalau diluar kantor ini, barangkali perampok-perampok itu memeras kita!”

Dia berhenti berbitjara. Kassier² lainnja berpandangan. Waktu itulah saja dan Manuel keluar bersama-sama dengan pistol ditangan. Pistol jang kosong dan jang berisi. Djadi dua pistol ditangan sekaligus.

Empat pistol inilah jang mengantjam tudjuh orang didalam kantor.

„Bagus! Bitjara bagus, tuan!” kata saja sambil menghadap pada kepala kassier itu: „Tuan bitjara bagus! Kami sudah meringkuk selama empat djam lebih terus-terusan dalam kamar itu!" sambil saja tuding kamar pakaian: „Dan saja dengar tuan-tuan mengadakan pengepungan dengan pendjagaan polisi! Bagus! Tetapi saja disini! Ajoh, serahkan uang jang hendak tuan setorkan dan masukkan kluis itu! Kalau tidak, kami menembak mati tuan²!”

Mereka berpandangan dengan takutnja. Dipandanginja direkturnja jang melongo sadja melihatkan kami.

Dengan langkah sombong, saja datangi direktur bank itu.

„Tuan kenal, saja?”

Direktur itu mengangguk.

„Ja, tuan kenal dari potret polisi, bukan?” kata saja pula. Dia mengangguk lagi. Geli dalam hati saja karena permainan sandiwara itu. Tetapi direktur bank mengira bahwa sesungguhnja saja dan Manuel itu bandit² bank. Apalagi muka² jang putjat dari kassier-kassier dan kepala kassiernja itu.

„Serahkan semua!” bentak saja sambil menodongkan pistol jang berpeluru obat sadja itu pada direktur bank: „Kalau tidak, pistol ini ingin bitjara!”

Manuel mengumpulkan uang jang dimasukkan dalam tas. Tetapi karena banjaknja uang, djadi tidak semuanja dapat kami bawa.

„Bagus!” udjar saja: „Uang itu tidak kami bawa semua! Kami tidak begitu serakah!” kemudian sambung saja pada kepala kassier dengan mata melotot: „He, berapa jang saja bawa ini?”

„Limapuluh tudjuh ribu rupiah, tuan!” djawabnja dengan gemetar.

„Tjukup!” bentak saja: „Sementara kami keluar, djangan berteriak. Sebab, kantor ini, dan tuan² djuga, akan kami ledakkan! Ingat, didalam saku saja ada granat tangan jang lekas dan keras sekali meledaknja! Kalau ada jang memberi keterangan djelas pada polisi, nasib tuan seperti nasib Chen Jie! Mati!”

Begitulah saja dan Manuel sambil membawa tas dan menodongkan pistol itu mundur arah pintu. Polisi² jang mendjaga dibawah tak akan tahu, karena gang jang bertangga menudju kantor itu tertutup tembok kanan-kirinja.

Sekilas pandang inspektur teman kami jang mendjaga gedung melihatkan kami, tetapi memalingkan mukanja pura tidak tahu.

Diluar hudjan dengan lebat.

„Tjepat lari, dan membelok kekiri! Djalan jang sudah ditentukan, karena jang mengedjar nanti hanja inspektur kawan kita itu, Manuel! Pistolnja seperti pistol kita djuga!” perintah saja sambil berbisik agar tidak didengar polisi² lainnja jang mendjaga pintu kira² sebanjak tiga orang.

Baru sadja kami mengindjak trottoir depan, dipintu samping kanan, setjepat itu pula terdengar teriakan dari isi kantor bank itu.

Polisi² jang mendjaga gugup. Mentjari-tjari kemana lari kami. Hanja inspektur kawan kami itu jang tahu kemana lari kami dalam hudjan lebat itu.

Dia menembak, saja dan Manuel menembak. Tetapi tak ada sebuah peluru pun jang berlarian dalam tembak-menembak itu. Djendela katja jang terbuka dikantor dan tampak, saja tembak dengan pistol sungguh², hingga merupakan pertempuran sungguh². Sudah itu sambil berlari, granat tangan sebuah saja masukkan tong sampah, lima sekon kemudian bertaburan isi tong itu bersama tongnja dengan suara menggegar. Inspektur polisi jang djatuh dibelakang tidak akan kena apa², tetapi berhenti mengedjar dengan alasan kami berkawan dan bersendjata berat. Semua ini telah dirantjang, dan polisi pendjaga bawahan inspektur itu tak mengetahui bahwa semuanja hanja sandiwara sadja.

Seluruh pendjagaan polisi jang mengedjar kami bertambah. Entah berapa lagi orang jang mengepung sekeliling bank itu.

Saja dan Manuel tertumbuk pada sebuah mobil jang terbuka pintunja. Mobil hitam dan besar.

Manuel saja tarik kesana, dan langsung sadja memasuki mobil itu.

Dengan tak saja sangka disana ada tiga orang jang bersendjata, termasuk sopirnja sendiri, menodong pada kami.

„Bagus!" udjarnja: „Bagus sekali! Kerdja jang bagus dari saudara-saudara!"

Pikiran saja tjepat melajang kebelakang. Suara orang ini pernah djuga saja kenal, persis seperti suara Walter. Ja, suara ini. Dan tjara bitjaranja djuga seperti Walter, selalu mendahului dengan kata „bagus". Mukanja lagi, seperti Walter. Gilakah saja? Mungkinkah Walter lari dari tahanan? Tidak mungkin, karena suara orang ini agak besar dan tubuhnjapun agar besar. Mungkinkah dia saudara Walter? Mengapakah Walter tidak menjebutkan saudaranja ini dulu²nja? Tetapi mungkinkah gerombolan orang ini mengetahui bahwa perampokan itu suatu sandiwara sadja? Untuk ini perlu saja ketahui dengan pasti.

„Ja, terimakasih!" kata saja seperti tidak takut dan tidak gentar sama sekali: „Tetapi saja ingin tahu, saudara ini menghendaki apa dari kami?"

Orang jang mukanja seperti Walter itu tertawa. Mobil berdjalan dengan menjentak, dan polisi² jang masih mentjari-tjari dalam hudjan itu terperandjat semua. Tetapi mereka tidak berani menembak karena takut kalau mengenai sasaran lain.

Mobil jang kami tumpangi bersama orang² jang tidak pernah saja kenal itu berdjalan dengan ladju dan terus memasuki beberapa djalan. Achirnja sampai pada bagian belakang sebuah hotel besar. Hotel ini terkenal, dan sajapun tahu meski bagian belakangnja.

Tak salah, hotel ini Hotel Capitol, hotel terbesar.

Tiga orang bersendjata itu memaksa saja dan Manuel untuk turun dan menggiring kami arah tangga kebakaran. Saja lihat Manuel tidak membawa tas jang berisi uang tadi. Entah ditinggal diambil, entah dibuang didjalan.

Orang itupun tahu,

„Mana uang jang didalam tas itu?!" tanjanja sambil mendjorokkan laras pistolnja pada punggung Manuel.

„Karena saudara mengantjam dengan begitu mendadak, tas itu terlepas dan saja takut. Djadi djatuh pada waktu mobil dipemberhentian tadi!"

„Bodoh!" bentaknja.

„Djangan anggap kami bodoh, saudara!" udjar saja mengantjam: „Kami tahu apa jang akan kami perbuat!" sambung saja. Dalam pikiran saja memudji kepandaian Manuel karena takut uang itu djatuh ketangan pendjahat² ini.

„Tetapi mengapa uang itu djatuh?"

„Karena kukira saudara ini polisi, djadi kami inginkan tidak ada bukti kalau tertangkap! Dan, kalau saja pikir saudara seperti kami, tentu uang jang kami dapat dengan susah pajah itu akan djatuh ketangan saudara! Lebih baik semua tidak mendapat begini!" djawab Manuel dengan pandainja. Heran djuga melihat kepandaiannja dalam memutuskan sesuatu jang setjepat itu.

„Bagus djuga!" udjar orang jang seperti Walter itu dan kami terus menaiki tangga kebakaran kearah sebuah kamar.

„Saudara² orang jang berani !" udjar orang itu selandjutnja: „Dan kepala kami inginkan engkau berdua sadja, tidak uang itu! Ajoh, terus naik !"

Baru kini saja mengerti. Orang ini suruhan dari kepala pendjahat. Dan dijalan kesatu tempat pendjahat jang begitu aneh, tetapi sudah terentjana. Mungkinkah orang jang saja temui itu Han Ping Lok jang bersembunji? Kalau tidak, mengapakah muka orang jang seperti Walter ini bekerdja disitu ?

Kalau memang Han Ping Lok, maka rentjana ini berhasil setengah. Pokoknja mendekati penjelesaian dalam membekuk perampok dan pembunuh. Tjuma jang saja herankan, hendak apakah Han mentjulik saja dan Manuel.

Sudah diketahuikah rahasia kami berdua? Hendak dibunuhkah kami ini? Ataukah rentjana kami berdjalan dengan tepat?

Semua itu mendjadi pertanjaan dalam otak ketika mendaki tangga kebakaran. Djawabannja nanti terletak dibalik pintu belakang kamar jang diatas kepala kami itu. Disana djawaban jang paling tepat!


——————

VII. SIAPA HAN?

B EGITULAH saja dan Manuel dibawa masuk pintu belakang. Tak ada seorangpun masih disana. Sunji sadja. Ketika kami berdua dengan diantar tiga orang bersendjata itu sudah sampai ditengah ruangan, badju digeledah. Mungkin tadi mereka tidak sempat untuk menggeledah. Empat pistol sekaligus dikeluarkan. Salah seorang dari mereka masuk kedalam ruangan samping. Kemudian menampakkan mukanja, dan memberi isjarat kepada saja dan Manuel serta dua orang pendjaga itu untuk memasuki ruangan samping.

Disana telah berdiri seorang gemuk dengan tjerutu dimulutnja. Dipandanginja saja dan Manuel berganti-ganti dengan tersenjum. Kemudian dia mendekati saja dan dengan senjum bentanja:

„Hah, panas benar hari ini bukan?" kemudian sambungnja sambil mengepulkan asap tjerutunja dan membalikkan badan menudju medja jang telah tersedia minuman disana: „Saudara ingin minum?"

„Tidak !" djawab saja pandak: Saja hanja ingin tahu mengapa dibawa kemari, sedangkan kami tak punja waktu lagi!"

Orang itu tertawa.

„Djangan begitu! Waktu akan banjak disini!" katanja tertawa ketjil jang membentjikan : „Waktu akan banjak ! Saudara dibawa kemari tadi, karena perintah saja! Saja amat tertarik sekali pada tindakan saudara berdua jang berhasil membongkar bank berulang-ulang tanpa mendapat ketjelakaan! Tetapi, anakbuah saja selalu gagal! Jang lebih menarik ialah „Bank of Hongkong & Overseas" itu. Sebab itu kusuruh sadja anakbuah saja menunggu disana, karena saja maklum bahwa pada suatu waktu bank itu akan saudara² bongkar!" „Terimakasih!”

„Itulah!” sambungnja sambil mengepulkan asap tjerutunja: „Mungkin saudara akan heran, mengapa begitu kasar anakbuah saja! Dan saudara belum tahu siapa saja!”

Saja mengangguk.

„Saja Han Ping Lok! Heran, bukan? Ja, saja djadi buruan polisi! Tetapi mereka tidak akan tahu, kemana saja pergi dan bagaimana pekerdjaan saja selandjutnja.”

Terperandjat sedikit saja akan keterangannja itu. Dialah kiranja bandit jang kami tjari ini. Sajanglah kami berdua jang dikelilingi oleh bandit. Tetapi hal ini harus dikerdjakan dengan sabar sekali, kalau tidak, terbuka rahasia saja, bahwa saja ini pembantu polisi.

„Lalu, apa maksud saudara dengan membawa kami kemari?” tanja saja.

„Nah, tepat betul! Itu jang hendak saja katakan!” katanja lagi sambil tertawa terbahak-bahak: „Ja, itu dia. Mengapa? Ha, itu dia! Saudara ini saja pudji, ja saja pudji! Segala pekerdjaan saudara dengan hasilnja sekali selalu mendjadi perhatian saja. Heran sungguh! Mengapa begitu tjekatan dan begitu tjerdik sekali. Untuk itu, saja butuhkan tenaga saudara!”

„Maksud saudara Han?” tanja saja sambil tertawa dalam hati.

„Itu! Karena saja djadi buruan polisi, maka saja kehendaki uang saja dari tabungan² bank jang memakai nama saja sebagian besar. Hal itu tentu sadja sebagai perangkap. Kalau uang saja ambil, berarti memberitahu polisi dimana saja bersembunji. Itu sebabnja uang itu tak saja ambil. Hanja beberapa ribu rupiah sadja jang bisa saja ambil. Lainnja itu masih tersimpan dibank. Dan uang jang diambil anak dari bank jang saudara rampok tadi, kebanjakan serie nomornja sudah diketahui polisi. Mengeluarkannja amat sukar sekali. Bodoh anakbuah saja, saudara. Nah, saja teruskan! Saja butuh uang. Biarlah apa jang tertulis didalam buku tabungan dihilangkan begitu sadja. Tetapi uangnja harus saja dapat. Djadi, uang itu harus diambil dengan tjara kita sendiri bukan? Ja, kita rampok. Nanti saudara akan mendapat bantuan dari anak buah saja untuk meledakkan apa² jang perlu, sementara itu saudara bekerdja. Bagus? Nah, uang itu harus saja dapat. Nanti saja akan keluar negeri dan saudara mendapat djuga bagiannja, atau kita sama2 pergi keluar negeri! Itu uang tabungan saja sendiri! Uang saja sendiri!”

„Rentjana jang besar, saudara Han!” kata saja tersenjum mengedjek: Tetapi sudah pastikah saudara kalau saja mau mendjadi kompanjon saudara?!”

Dia terperandjat agaknja. Mukanja djadi merah, tetapi berganti tersenjum manis dan menepuk bahu saja.

„Kaget saja, saudara! Tidak baik menolak hal itu, karena saja berkuasa dalam kota ini dikalangan kita!” katanja sambil tersenjum pahit dan mengedjek.

„Saudara memaksa?!”

Dia mengangguk dan tersenjum menjeringai.

Hal ini tak baik untuk diteruskan menentang dia. Mungkin sekali lagi membantah berarti maut. Djadi haruslah kehendaknja dituruti, tetapi harus saja ketahui dulu siapa² anggautanja dan djual mahal pada dia.

„Bagus, kehendak saudara terlaksana sudah!” kata saja: „Tetapi bagaimana saja tahu kalau saudara tepati atau tidaknja tentang pembagian uang itu!”

„Han Ping Lok tidak pernah berlaku tjurang!” katanja menjombongkan diri.

Saja memandang Manuel jang sedjak tadi berdiamkan diri sadja. Dia mengangguk dan tersenjum. Han Ping Lok memandangi kami berganti-ganti. Tangannja diulurkan, dan kami sambut berganti-ganti.

Sedjak itu dua buah pistol kembali pada saja dan dua buah pada Manuel. Pekerdjaan untuk sementara ditunda, karena harian memuat tentang pendjagaan polisi disekitar seluruh bank dikota.

Pada malam keempat sedjak tawaran Han, saja berdjalan-djalan menurut sepandjang trottoir. Muka saja harus saja sembunjikan, takut kalau² diketahui orang. Djadi sungguh² seperti badjingan. Tiba² dibelakang terdengar langkah orang jang mengikuti. Darah tersirap dengan tiba². Hati saja sudah berdebar-debar, mungkinkah dia pengikut dari Han ataukah dari polisi ? Kedua-duanja saja takutkan. Sebab polisi² bagian bawahan tak mengetahui rentjana apa jang dilakukan pihak atasannja.

Saja pura² berhenti. Dan menjalakan sigaret. Orang itupun terdengar berhenti berdjalan. Djalan disana masih ramai orang dan kendaraan, djadi kalau saja berniat hendak melarikan diri, mudahlah. Tetapi harus mendapat kepastian dulu, siapakah pengikut itu.

Mata saja lirikkan dan menembusi sinar² etalage toko² untuk melihatkan muka pengikut itu.

Orang itu berdjalan menudju saja, dan menjerempet sambil memberikan apa² pada tangan saja. Kedjadian jang begini tjepat dan tak mungkin diketahui orang karena sibuknja djalan sudah tjukup untuk menenteramkan hati sedikit.

Kiranja setjarik kartu nama: Tjempaka Merah !

Ah, perintah dari Haris tentu. Djadi orang ini anggauta kami djuga. Dibalik kartu nama itu tertulis :

Ikuti perintah ,,sasaran", dan sebentar lagi „selesai"

Hanja itu sadja tertulis.

Saja maklum apa jang dimaksud dengan „sasaran" itu. Dialah Han Ping Lok. Dan arti „selesai" ialah penangkapan terhadap dia.

Setjepat-tjepatnja saja ambil potlod dan menulis pada kartu itu sebelah bawah tulisan Haris:

mengerti — bank „nasional" 3.005 — buka djalan.

Dengan itu sadja mengertilah Haris, bahwa gerombolan Han Ping Lok jang saja pimpin kelak akan memukul dan membongkar „Bank Nasional" didjalan Sumatera 56, pada djam 3 malam dan tanggal 5 bulan itu. Malam ini ialah tanggal 3, djadi lusa barulah pekerdjaan itu kami lakukan.

Kartu nama dengan tulisan saja itu saja genggam, dan mendekati orang jang mengikuti tadi, dengan tjara jang sama saja berikan pada dia kembali kartu nama itu.

Kemudian kembalilah saja ketempat Han Ping Lok. Manuel saja suruh untuk berhubungan dengan Haris setjara rahasia sekali. Dan djalan² jang saja tentukan kelak dalam perampokan, sementara itu Han Ping Lok harus ditangkap.

Dalam 24 djam selesailah rentjana² Haris melalui Manuel setjara rahasia dan ditanggung dengan njawa.

Han Ping Lok pada petang tgl. 5 itu mengadakan minum² sedikit untuk menghormati pekerdjaan jang akan saja lakukan dengan bantuan anak buahnja.

Tepat pukul 2 tengah malam, meluntjurlah mobil hitam milik Han sepandjang djalan dikota saja, dan pukul setengah tiga telah hadir didjalan Sumatera jang remang karena lampu djalan suram, dan tertutup beberapa gedung besar.

Mobil sedan hitam meluntjur terus. Mata saja liar mentjari sepandjang urutan djalan, dan hanja beberapa pengendara betjak jang lalu atau beberapa orang berdjalan kaki ataupun pendjual djadjan. Saja tahu, bahwa diantara sekian banjak jang menghadiri djalan Sumatera tentu ada anggauta kepolisian jang menjamar. Dibelakang mobil sedan ini ada mobil lagi, sebuah pick up car, jang djuga berisi gerombolan Han Ping Lok. Duapuluh meter sebelum sampai pada „Bank Nasional" jang gedungnja sudah tampak mata, sedan berhenti.

Saja turun, dan mendekati isi pick up.

„Kepada siapa sadja djangan menembak. Kalau mereka menjerah, djangan disakiti. Polisi jang mendjaga disana menurut penjelidikanku hanja lima orang, dan kita berkekuatan limabelas orang bertambah aku dan bung Manuel !"

Mereka mengangguk mendengar perintah saja itu.

„Tjara kita hanja memasukkan sedan ini, melompat dengan tjepat, nanti aku menembak untuk menakut-takuti, dan menjergap mereka menjuruh menjerah! Mengerti !"

Mereka mengangguk.

Tjara ini harus saja pakai. Kalau tidak, kasihan pada polisi jang sebelumnja sudah diberi tahu, bahwa kalau ada mobil masuk harus pura? tidak mengerti dan pura² menjerah sadja. Sebenarnja djumlah polisi disekitar sini puluhan djumlahnja. Mungkin sebagian bersembunji dalam gedung jang petang tadi dibarikade, mungkin pula dibelakang rumpun² bunga dan matjam² lagi. Lampu depan hanja remang² sadja, memang hal itu disengadja oleh pihak polisi dengan perintah Haris dan kommissaris Dahlan.

Djam 3 kurang lima detik.................

Sedan jang saja tumpangi bersama Manuel dan tiga orang anggauta gerombolan perampok memasuki bank. Dalam djarak sepuluh meter mengikutilah pick up dibelakang.

Sedan masuk dengan tjepat, direm didepan bank, saja dan Manuel melompat diikuti tiga orang anggauta gerombolan.

Pistol saja letuskan, tetapi pistol jang berpeluru obat, sambil berteriak:

„Menjerah semua, kalau tidak kami lempar granat!”

Sebagai jang dirantjangkan, mereka berlima angkat tangan. Mundur pada dinding.

Pick up berhenti, dan turunlah sisa anakbuah Han dengan pistol dan sten ditangan.

Saja, Manuel dan dua orang lagi memasuki ruangan kantor jang ada peti besinja.

Tjobalah, bung!" perintah saja pada dua orang jang mengikuti saja dan Manuel itu : „Selidiki dulu, siapa tahu disana disediakan perangkap! Awas, djangan lupa bersedia !”

Orang itu pertjaja sadja. Dia terkenal sebagai tukang pukul dan djago tembak.

Ketika kedua orang itu berdjalan, Manuel saja singgung, dan tjepat sekali kami menjisih. Orang itu tentu sadja menoleh dengan penuh tjuriga, dan bersedia akan menembak. Pistol saja meletus, kenalah tangan jang seorang. Tinggal seorang, jakni djago tembak itu.

Kepandaiannja bersembunji memang bagus. Dia melompat sekali sadja, kemudian menembak arah saja. Hampir sadja pelurunja mengenai lengan. Tetapi semua berdjalan tidak lama, karena djago tembak itu menggelepar kena peluru Manuel. Kawannja menjerah begitu sadja.

Tjepat saja turun tangga, untuk mentjegah kawan²nja semua naik karena ingin tahu. „Saudara², semua sudah beres. Kawan kita menjikat pendjaga didalam kantor! Disitu sadja, kami bereskan petibesi!"

Sajapun kembali memasuki tangga jang kanan-kirinja berdiri dinding. Tiba² dibawah terdengar bentak inspektur polisi kawan kami dulu memerintah bandit² dibawah untuk menjerah. Maklumlah saja, bahwa polisi² jang bersembunji dimana-mana itu mulai menjergap.

Tidak lama.

Tembak-menembak terdjadi. Tetapi berlaku hanja lima menit, sudah itu terdengar teriak menjerahkan diri.

Bereslah dibawah. Gerombolan perampok jang saja adjak keperangkap itu tertangkap dengan mobil²nja sekali.

★★★

Saja, Manuel dan inspektur kawan kami bersama-sama menudju hotel Capitol. Disana sudah banjak polisi dan djuga Haris dengan kommissaris Dahlan.

Disambutnja saja dengan muka jang muram.

„Gagal, Niko! Han Ping Lok telah lari."

„Tidak seorangpun tertangkap didalam hotelnja ?

„Ada jang luka parah kena tembak polisi ketika hendak melawan!"

Saja, Manuel dan Haris dengan kommissaris Dahlan mendekati ambulance dimana kiranja orang jang memimpin dalam pentjulikan terhadap saja dan Manuel dulu terlentang dan sedang diobati. Orang Indo, jang mukanja seperti Walter dulu.

Orang itu saja dekati. Dipandanginja saja dengan marah.

„Bagus, bung! Saudara sudah tertangkap polisi dengan bukti njata!"

Dia marah. Hendak meronta, tetapi sakit jang ditanggungnja terpaksa melemahkan dia.

Sesudah susah pajah membudjuk dia, achirnja mengakulah.

Namanja sendiri Jacob van Nieuwenhuizen, saudara dari Walter van Nieuwenhuizen. Tiba² sadja didengar kabar bahwa Walter tertangkap tangan oleh polisi, hal ini ditakutkan olehnja sendiri senta oleh Han Ping Lok. Untuk mengabui anak buah mereka, maka Jacob diangkat djadi pengganti Walter jang terkenal kedjam dan mempunjai anakbuah jang setia. Anakbuah Han pertjaja bahwa Walter masih bebas, karena muka Jacob sama dengan muka Walter sendiri. Oleh Han didjandjikan uang banjak kalau dapat membebaskan Walter atau membunuhnja!

Mula² Jacob tidak sampai hati untuk membunuh saudaranja sendiri, tetapi dia takut karena rahasianja sendiri terbongkar, serta uang jang disediakan amat banjak baginja. Jang lebih penting, dia akan mendapat pengikut anakbuah Walter jang tentu setia sekali kepadanja seperti kesetiaan mereka terhadap Walter. Dan dia dapat leluasa mengadakan pendjarahan² djahat lainnja didalam kota.

Nama dan uang inilah jang menjebabkan Jacob menerima tawaran Han. Maka rentjananja, setelah Han berangkat esok malam setelah perampokan berhasil, Jacob akan menjerang pendjara dengan tjara litjin untuk membunuh Walter. Kemudian dia berkuasa dengan nama Walter, jang sebenarnja harus mati didalam pendjara, tetapi majatnja akan diangkut untuk disembunjikan olehnja sendiri.

Rentjana ini sekonjong-konjong berganti, karena berita jang diterima oleh Han tentang tertangkapnja seluruh anakbuahnja didalam „Bank Nasional" itu. Han baru maklum bahwa saja dan Manuel dari polisi.

Sebab itu Han Ping Lok meninggalkan hotel Capitol dan Jacob disuruh mendjaga disana. Dengan harapan agar Han bisa bebas dari sangkaan pelajan hotel bahwa berlari. Pelajan² dan reserse² jang mengintip kamar hotel tidak mentjurigai apa², karena didalam kamar itu masih ada orang, jang tak lain ialah Jacob.

Barulah Jacob mengerti bahwa dia dibuat umpan oleh Han, dan pula agar sementara berkelahi dengan polisi, Han melarikan diri keluar negeri dengan sisa uang gerombolan.

Begitulah tjerita Jacob pada kami.

Haris dan saja berpandangan. „Kemana Han bersembunji untuk sementara waktu ini ?” tanja saja pada Jacob.

Dia menggelengkan kepala, tanda tidak tahu-menahu.

Tiba² mata saja terpandang pada rambut Jacob. Perangkehitaman. Diakah pembunuh Chen Jie dulu? Ja, mungkin dia ini, mungkin Walter, karena Walter masih belum mengakui tentang pembunuhan itu.

„Jacob, kau sekarang sudah tidak bisa lagi berbuat kebaikan kepada keadilan. Baiklah, engkau mau lagi pada apa jang djudjur. Tapi kau ingin pembalasan!" kata saja padanja. Haris memandangi saja sadja. Saja landjutkan: „Mungkin engkau jang menembak atau memukul Chen Jie dulu! Akuilah, karena rambutmu melekat pada tangan Chen Jie !”

Dia memandangi saja dengan saju.

Lemah barangkali karena luka jang dideritanja.

„Keterangan ini jang penting! Untuk membalas dendammu menangkap Han!”

„Tidak, saja tidak membunuh Chen Jie! Fadholie jang membunuh!”

„Tapi engkau membantu dalam pembunuhan itu!"

Dia berdiamkan diri sadja. Ini sudah berarti suatu pengakuan jang tidak diutjapkan.

„Baik Engkau tidak membunuh, tetapi membantu. Bagaimana sampai engkau dipegang rambutmu oleh Chen Jie ?”

„Waktu dia saja adjak keluar, dia menggulat saja, djadi terpaksa bergumul. Dia menarik rambut saja, dan dia saja dorong dekat djendela mobil. Fadholie menembak kepalanja tigakali. Chen Jie rebah dekat band mobil.”

„Dan Walter ?”

„Walter tidak ikut!”

„Sungguh ?”

Dia mengangguk.

„Engkau insaf tentang keburukanmu terhadap saudaramu?”

Dia mengangguk lagi.

„Engkau tahu kemana Han Ping Lok lari ?”

„Tidak! Saja telah datang kerumahnja, dia tidak ada dirumah. Dia sudah pergi!”

„Naik mobil ?”

Tunggul

Naga Mas

SERIE:


9


bongkar
Sleutel Club


„Saja kira tidak !"

Nafas Jacob terengah-engah. Sebenarnja kasihan melihat keadaannja itu. Tetapi djawaban harus diberikan sekarang djuga sebelum terlambat Han lari keluar kota.

„Dimana kira² sebagian uang itu disimpan dan jang hendak dibawa lari?"

Jacob berdiam diri. Setelah saja ulang pertanjaan itu, dia mendjawab:

„Kata dia, disimpan didalam kapok". Saja sendiri tidak mengerti kata²nja itu,"

„Engkau bertanja dan djawabannja begitu ?" tanja saja.

„Ja!"

Kemudian dia pingsan. Karena lelah. Terpaksa sampai sekian sadja pertanjaan jang dapat kami adjukan pada Jacob.

Tinggal memikir : kapok, kapok, kapok! Dimana disimpan sebagian uang itu?

Sekonjong-konjong muntjul pikiran baik pada otak saja. Kata saja sambil menarik Haris keluar dari ambulance :

„Sebagian uang itu diketahui Jacob menjimpannja, tetapi dia masih tidak mau mengaku. Dan kita sendiri tidak usah memaksa dia sekarang djuga. Kelak kalau kesehatannja agak pulih. Hanja sadja, kau tahu Haris, apa jang dimaksud Han dengan „kapok" itu ?"

„Tidak!"

„Fadholie! Dia pendjual kapok, bukan? Dan rumahnja kosong dengan tidak ada pendjagaan polisi dan orang lain. Itu sebabnja, mungkin bagian-dalam rumah dipakai oleh Han untuk gudang uangnja! Kalau tidak ada dirumahnja, kita tjari dikantornja ditepi pelabuhan. Tetapi disana tak mungkin, karena kantor itu sekarang dipakai orang lain setelah Fadholie mati itu!"

„Mungkin benar djuga, Niko! Ajoh, kita kesana sekarang djuga!"

Kommissaris Dahlan diadjak Haris. Polisi² disiapkan, dan dengan begitu kami mulailah pengedjaran dan penangkapan.

——————

VIII. PENANGKAPAN ?

W AKTU itu djuga harus diadakan penangkapan terhadap Han Ping Lok, jang pada kira² saja disana harus didapatkan. Mungkin disana itu perhentiannja jang terachir di Indonesia untuk melarikan diri keluar negeri.

Mobil Nash kepunjaan Haris kami naiki. Saja, Haris, Manuel dan kommissaris Dahlan. Dibelakang mengikuti tiga buah mobil: Jeep, pick up car dan sebuah sedan jang berisikan inspektur-inspektur.

Dengan empat kendaraan inilah kami datangi rumah Fadholie, tempat sembunji Han Ping Lok.

Rumah ini tampak sunji.

Setjepat-tjepatnja anggauta polisi berpentjaran melalui pagar² tumbuh-tumbuhan dan dua mobil sedan memasuki djalan masuk halamannja.

Kami dari isi dua sedan itu berlompatan dengan sendjata ditangan. Pintu depan didobrak, pintu belakang sudah dikepung polisi.

Sedang kommissaris Dahlan memegang loudspeaker meneriakkan agar Han Ping Lok menjerahkan diri.

Sunji sadja.

Kami berpandangan.

Pintu sudah terbuka lebar didepan kami, tetapi dari arah belakang dan kamar tidak terdengar suara apapun.

„Serang!" perintah kommissaris Dahlan.

Kami bersama-sama menjerbu kedalam. Seluruh ruangan didobrak. Kosong! Tinggal ruangan agak kebelakang, saja kira ruangan tidur bagi Fadholie.

Tiba² kami terhenti. Didalam terdengar gerak seseorang jang mentjurigakan sekali.

„Sudah ?" bisik Manuel pada Haris.

Haris mengangguk. Bahu Manuel menerdjang pintu sekuat-kuatnja, dan terbuka dengan kekerasan.

Pistol sudah bersedia saja letupkan, tetapi, apa jang ada disana? Seorang wanita Tiong Hoa berdiri dengan browning ditangannja. Dibawahnja terlentang Han Ping Lok!

Haris, kommissaris Dahlan, saja dan Manuel serta dua orang inspektur jang baru datang ketempat itu saling berpandangan. Wanita jang memegang browning itu melelehkan airmatanja.

„Serahkan browning itu pada kami, nona!" kata Haris lemah lembut.

Browning diangkat oleh wanita itu, saja sudah bersedia untuk menembak barangkali perlu. Tetapi browning dilemparkan kelantai.

Haris mendekati wanita jang masih berdiri dengan airmata meleleh itu.

Browningnja diambil oleh seorang inspektur.

Dia masih muda, saja kira. Kalau tak salah usianja disekitar 25 tahun. Rambutnja ikal dan dipotong pandak². Mukanja bisa disebut sempurna, karena ketjantikannja.

Oleh Haris dipegang tangannja dan diadjak duduk.

Sepuluh menit kami masing2 berdiamkan diri. Beberapa tukang potret dari kepolisian memotret letak² majat Han Ping Lok jang terkapar dan mengeluarkan darah pada kepala bagian belakang. Peluru browning itu jang menembus kepala Han.

Setelah semua beres, artinja majat Han telah diangkut dengan ambulance, Haris duduk disebelah wanita itu. Kommissaris Dahlan duduk dibagian lain, sedang saja, Manuel dan seorang inspektur berdiri sadja.

„Tjoba tjeritakan pada kami, nona, mengapa nona tembak orang itu ?"

Dia terisak-isak sebentar.

Kemudian djawabnja saju:

„Saja njonja, tuan! Njonja Han!"

Kami semua terkedjut. Saja sendiri tak mengira bahwa Han Ping Lok, seorang bandit besar itu mempunjai isteri jang begitu tjantik.

„Serahkan browning itu pada kami, nona!”

Mengapa njonja tjantik ini menembak suaminja sendiri? Tahukah dia kalau Han ini seorang bandit?

Untuk ini diperlukan tjerita dari njonja itu sendiri.

„Tuan," katanja pada Haris dan kommissaris Dahlan dengan saju dan menghambat tangisnja : ,,Saja telah dikawini Han setahun jang lalu. Dia sebagai seorang kaja, dan waktu itu saja tertarik pada kata²nja. Tetapi, baru ini saja dengar dari mulut Jacob, bahwa Han seorang badjingan jang hendak melarikan diri. Hal ini mula² tidak saja pertjaja, tapi pada kemarin malam, dia tampak sibuk. Menjediakan apa² jang perlu. Malah uang untuk tanggungan djiwa di Assuransi „Khoo" hendak diambil dengan tjara apa sadja. Tetapi hal itu saja katakan tentu sadja tidak bisa diambil.

Lalu tadi dia datang lagi dengan gopoh kerumah jang saja tempati. Ketika saja tanjakan mengapa, katanja saja harus diam². Dia hendak pergi dan pada saja ditinggalkan uang beberapa ribu serta harta jang masih tertinggal. Hal itu tidak dapat saja terima, karena dia akan berlari keluar negeri seperti kata Jacob. Saja katakan bahwa saja hendak ikut sadja, tetapi dibentak. Dia pergi dengan membawa uang dan pakaian sedikit, sambil melemparkan uang pada saja. Marah sekali saja karena perbuatannja jang litjik dan pengetjut itu. Dia keluar dan saja ikuti, achirnja sampai dirumah ini. Dia bertjektjok dengan saja. Tetapi saja telah bersedia dengan browning, dan ketika dia hendak lari keluar kamar, segera saja tembak.

Saja sebetulnja ingin lari, tetapi mobil tuan² telah mengepung rumah ini. Karena takut, saja tak bisa bergerak lagi dari tempat berdiri! Itu sebabnja saja tembak dia!"

Haris memandang kommissaris Dahlan jang tertegun mendengar tjerita njonja itu.

Oleh Haris didekatinja njonja Han dan sambil tersenjum manis dia bertanja:

„Berapa uang tanggungan djiwa dari tuan Han, njonja?"

„Sekarang masih limapuluh ribu rupiah, tuan!"

Haris tersenjum memandang saja. Apa maksudnja itu saja sendiri tidak maklum. „Njonja dulu kawin dengan tuan Han karena tuan Han seorang kaja bukan ?" tanja Haris setengah membelalak : „Akui terus terang sadja, njonja, karena memudahkan diri njonja sendiri!"

Njonja Han menundukkan kepalanja, kemudian dipandangnja Haris dengan kemalu-maluan:

„Ja!" djawabnja lambat-lambat.

Haris tampak tersenjum.

„Saja mengerti mengapa njonja memburu suami njonja ini. Bukankah limapuluh ribu rupiah bisa djatuh ketangan njonja?!"

„Apa maksud tuan?"

„Uang tanggungan djiwa tuan Han, njonja!"

Njonja Han diam sadja, Haris menjambung kata-nja:

„Saja maklum kalau njonja menginginkan uang sebanjak itu setelah Han mati! Uang sekian banjak sekali! Dan njonja tidak mau dibudjuk oleh dia, sebab itu, pertama bisa membalas dendam, kedua, bisa memiliki uang sekian banjak, belum terhitung pemberian dia serta uang jang ditinggalkan !"

Njonja Han masih berdiamkan diri.

„Polisi tidak tahu perihal uang assuransi djiwa itu, njonja ! Agaknja jang tahu hanja tuan Han dan njonja sadja. Sebab itu uang itu tak disita."

Haris berhenti sedjenak.

„Tahukah njonja," sambungnja sambil memandangi muka njonja Han:

„Bahwa segala milik tuan Han harus disita oleh negara, oleh polisi, karena kedjahatan jang dilakukannja! Djadi, uang tanggungan djiwa limapuluh ribu rupiah itupun harus disita. Njonja tidak maklum akan hal itu!"

Sekali lagi njonja Han menangis dengan mukanja jang ditutupi. Dilepaskan tangisnja se-olah² kami tidak ikut hadir.

Lama tangisnja itu dibiarkan oleh Haris dan Kommissaris Dahlan. Kedua orang ini berbisik-bisik dan tampaknja seperti berunding. Entah apa jg dirundingkan Haris dan kommissaris Dahlan itu. Tetapi tampak penting sekali. Kemudian Haris mendekati njonja Han dengan laku lemah-lembut.

,,Hal ini bisa dianggap pembunuhan, njonja! Tetapi, karena waktu itu Han hendak melarikan diri dan njonja menghambat dengan membunuhnja, maka peristiwa Han selesai sudah. Njonja sedikit menolong polisi. Tetapi, uang jang hilang dari bank itu harus kembali. Djadi, uang jang disimpan Han harus njonja tundjukkan tempatnja. Njonja harus menolong kami untuk menolong diri njonja sendiri dari hukum. Njonja bisa terbebas, asal menundjukkan hal itu dan kelak sanggup mendjadi saksi dalam peristiwa ini, Saja sanggup mendjadi pengatjara njonja sendiri !”

Njonja Han memandangi Haris.

Kommissaris Dahlan mendekati njonja itu, katanja dengan ramah:

Ja, polisi melindungi njonja, dan Mr. Haris ini kelak mendjadi pengatjara njonja dipengadilan! Itu kalau njenja dituntut !”

Nionja Han masih diam sadja.

Udjung sepatunja untuk dipermain-mainkan pada perman- dani jang ditindih empat korsi itu.

,,Bagaimana ?”

,,Maaflah, tuan?, karena saja sendiri tidak tahu dimana suami Saja itu menjimpan uangnja!”

Haris memandangi kami berkeliling, Dengan ramah sekali lagi dia bertanja:

,,Kalau begitu, tentu setidak-tidaknja njonja tahu siapa penjimpan uang, atau jang tahu dimana dia mehjinipannja. Tentu orang jang dekat dengan Han sendiri. Ini perlu untuk njonja sendiri!”

,,Saja tidak tahu siapa dan dimana uang itu disimpan !”

Kommissaris Dahlan tampak djengkel. Dengan marah² dia Mengantjam njonja Han dan mengatakan kalau pengakuan itu. tak ada, maka njonja Han sudah tentu kena tuntut dengan tiada pembelaan Haris.

Suasana berubah, karena saja dan Haris terpaksa menghibur dan menjabarkan hati kommissaris Dahlan jang pemarah itu. Oleh Haris dikatakan bahwa memang njonja Han tidak tahu menahu. Entah mengapa Haris begitu pasti tentang hal itu, saja sendiri tidak mengerti.

,,Njonja Han,” katanja pada njonja itu. dengan sabar: ,maaf sedikit tentang marah² dari kommissaris tadi!” matanja dikedipkan arah kommissaris Dahlan jang masih melotot itu, sambungnja pula dengan sabar: ,Sekarang, siapa jang ter- dekat dengan Han achir? ini dangsiapa kawan Han jang sering kefempat njonja !”

,,Njonja Han menunduk sebentar, kemudian didjawabnja :

,,Dulu Walter!. Tetapi tiba²? sadja Walter tidak pernah muntjul, setelah bertengkar dengan suami saja. Suami saja ‘*tjemburu karena dikira saja mentjmtai Walter!”

,,Tapi njonja memang mentjintai dia, bukan ?” tukas Haris dengan tadjam.

Ja!” djawab njonja itu lambat: ,,Tetapi kemudian saja maklum bahwa Walter mentjinfai seorang nona turunan Djerman, Namanja nona Renny !”

Ja, kami tahu!” tukas Haris. pula, Darah ‘saja berdebar mendengar tjerita njonja Han ini tentang Renny.

,,Sebab itu, tjinta saja hendak saja matikan. Tiba² Walter hilang dan jang sering datang kerumah saja Jacob, kakak Walter. Mukanja sama dengan Walter, tetapi pcerangainja berlainan. Dia pernah datang kerumah saja, katanja dia mentjintai saja! Hal itu tidak dapat saja terima, karena saja mentjintai hanja pada adiknja!”

Begitulah tjerita njonja Han jang saja anggap penting.

Kemudian kami tinggalkanlah ruangan itu, dan rumah ilu dengan njonja Han didalamnja dalam pendjagaan polisi. Penahanan rumah untuk sementara diadakan oleh kommissaris Dahlan atas njonja itu, serta melindunginja barangkali ada sisa gerombolan Han jang hendak membales dendam.

Kini saja hadir dikantor Haris. Kami berdua sadja.

Dia berdiri dengan tangan disaku dan disabung dengan langkahnja hilir mudik memenuhi ruangan.

Saja duduk pada korsi-malas dengan kaki diatas medja memandangi dia sadja. Niko,” katanja tiba²: ,,Dalam pembelaan ini aku ,butuh keterangan lengkap dan pengakuan Jacob lebih lengkap! Engkau tahu djalannja ?”

,,Nggak !” djawab saja malas.

,,Begini, Niko!” katanja pula sambil melangkahkan kakinja dekat saja dan menarik tangan dari dalam sakunja: ,,Njonja Han mentjintai Walter. Hal ini diketahui oleh Han jang waktu itu masih tjinté pada isterinja. Tentu tjemburu, apapula setelah peristiwa mentjetjerkan uang dihalaman rumah Iskandar oleh Walter, jang dianggap Han sebagai djalan bagi polisi untuk membauinja. Tetapi Han tidak berani menghukum Walter karena sama? mempunjai anak buah dan kepentingan. uang’serta takut pada buruan polisi. Itulah sebabnja, ketika Walter tertangkap, Han memanggil Jacob. Han tahu kalau sikap Jacob rakus. Serta Han sendiri telah bosan dengan isterinja, bermaksud keluar negeri dengan tidak membawa njonjanja. Hal inipun dikatakan pada Jacob, karena Han tahu, bahwa Jacob mentjintai isterinja. Djalan jang bagus bagi otak Han jang memang tjerdik itu!”

Haris berhenti sedjenak. Dilangkahkan kakinja kearah dinding sudut, kemudian kembali lagi dan mendekati tempat saja.

,,Bagi Jacob, jang mengetahui bahwa Walter ditjintai njonja Han, tentu sadja tidak menghendaki kalau Walter lepas, jang achirnja djinta njonja itu tumbuh lagi. Tentu dia tambah tidak dianggap oleh njonja jang ditjintainja itu. Sebab itulah dia sangsup membunuh Walter setelah rentjana penjerangan- nja ke bank jang kita gagalkan dulu selesai dengan. beres.” Haris berhenti sebentar, disambungnja dengan suata keras ,Jacob menjetudjui sadja rentjana Han kalau kepalanja itu keluar negeri tanpa isterinja. Berarti, bahwa isteri Han dapat digantikan kedudukannja dengan dia sendiri jang akan men- djadi kepala bandit dikota ini setelah Han pergi dan setelah Walter mati!

Pada pendapatku, mengapa Jacob membuka sebagian rahasianja pada waktu kita tanjai diambulance dulu, tak lain karena ditipu oleh Han, Jacob mendatangi rumah njonja Han, ternjata bahwa njonja Han pergi. Dan Han sendiri tidak ada dirumah itu. Bekas² jang ditinggalkan ialah bahwa kedua orang itu telah lari dari kota ini. Dia tidak menjangka sama sekali bahwa njonja Han pergi itu hendak membunuh suaminja. Dikiranja njonja Han diadjak oleh suaminja. Kemarahan inilah jang menjebabkan Jacob kembali ke hotel, karena mungkin disana Han bisa didapati. Tetapi, malam itu sial baginja, karena Han telah pergi dan reserse² mengira dia, Hanlah jang baru naik dari bawah. Hotel dikepung, tetapi dia melawan. Itulah sebabnja luka parah!”

Haris diam lagi.

Keningnja berkerut-kerut memikir bagaimana hubungan tjerita itu. Sambungnja lagi setelah mendapat hubungannja:

„Satu-satunja orang jang tahu tentang uang itu, ialah Jacob sendiri. Djadi, pemeriksaan kita kembali pada Jacob kembali, serta pemeriksaan akan lantjar dengan saksi-saksi lengkap!”

Dihempaskan badannja pada korsi hingga bergerak korsi itu dibuatnja.


***


Betullah sangkaan Haris itu.

Pemeriksaan dipengadilan dengan saksi dan terdakwa lengkap serta pembelaan Haris pada njonja Han Ping Lok berdjalan dengan lantjar. Jacob jang sementara itu lukanja agak sembuh amat menjesal setelah mendengar bahwa maksud Han Ping Lok kepadanja tidak dimungkiri. Dia menjesal telah mengira Han djahat. Tetapi dari pihak kami dan njonja Han, djuga Walter, berlainan sangkaan terhadap Han.

Rangkaian pendapat Haris dipengadilan diuraikan sedjelas-djelasnja, dan semua terbukti benar. Dengan begitu, Iskandarpun tidak tersangkut-sangkut lagi.

Harta dan uang tanggungan djiwa Han djatuh ketangan pemerintah, dan uang² rampokan-sandiwara, artinja uang jang saja rampok bersama Manuel, kembali ke bank masing². Uang jang terdjatuh dari hasil perampokan digedung „Bank of Hongkong & Overseas” jang didjatuhkan oleh Manuel kembali dari polisi, karena uang itu ditahan polisi, waktu didjatuhkan oleh Manuel dari mobil ketika akan memasuki mobil jang dipimpin Jacob dahulu.

Sebulan kemudian saja diundang oleh Iskandar karena melangsungkan perkawinannja dengan Renny. Renny karena sedikit membantu gerombolan disebabkan antjaman, telah dimaafkan oleh suaminja jang baru itu. Hanja, kadang² sadja ibu Iskandar masih memberengut melihat menantunja. Itu biasa bagi orang tua, pada pikir saja. Mula² sadja kalau tidak setudju marah², tetapi toh achirnja karena anaknja sendiri akan lembek pendapatnja.

Harian-harian memuat berita selengkapnja. Tetapi potret saja tidak akan dimuat. Saja sendiri tidak setudju kalau diadakan pemuatan.

Tetapi entahlah.


***


Sore itu saja duduk-duduk didepan rumah.

Tiba² mobil Haris datang langsung memasuki halaman rumah dan berhenti didekat tangga terras rumah.

Dari dalam keluar Haris. Dia membukakan pintu belakang dan seseorang muntjul. Wanita! Tetapi masih tidak terang, siapa dia. Karena untuk mendjemput, terpaksa saja berdiri dan mendekati mobil Haris.

Sungguh terkedjut saja.

Didalamnja nona Haty! Ja, tjelaka. Saja tidak bersedia apa² kiranja dia datang tanpa memberi tahu. Ini hanja oeh Haris sadja saja kira. Dia bergembira sekali. Maksud saja nona Haty!

„Hah, Niko!” kata nona Haty memanggil nama saja tanpa „tuan” atau sebutan lain: „Wah, kabar baik! Kuutjapkan selamat atas kerdjamu!”

Dalam kebingungan itu saja hanja mengulurkan tangan.

„Hah, bingung!” kata Haris berkelakar sambil menjinggung pinggang saja: „Nah, inilah jang kau idam-idamkan, bukan begitu, Niko? Hahaha!”

Marah tampak pada muka saja, tetapi senang dalam hati.

Haris pergi, katanja mempunjai rentjana lain malam itu.

Sajapun tidak pergi² dari rumah karena nona Haty, – tetapi sekarang saja panggil: Haty sadja – sebagai tamu dirumah. Bagaimana pada saat itu, pembatja tak bisa dan tak boleh ikut merasakan. Hanja saja sendiri jang bisa dan dapat.

Senang memang, tetapi mungkin masih banjak peristiwa jang akan saja alami lagi. Mungkin bahaja masih mengantjam pada saat itu dan saat datang. Tetapi disaat bersama Haty, lupa kalau antjaman itu ada. Entahlah !

„Aku datang kemari,” kata Haty pada saja: „karena dipanggil oleh Haris, dan katanja engkau menunggu-nunggu aku, karena engkau, engkau . . . . . . . . . . . . . . .

Kami berdua sama-sama tertawa. Sebetulnja hendak mengatakan „saling tjinta” begitu sadja sukar dan malu. Tetapi dalam hati kami sudah ada perkataan itu jang lebih besar artinja serta tanpa pengutjapan sudah bisa dimaklumi.


Selesailah seluruh pekerdjaan menggulung komplotan Han Ping Lok, pembunuh dan perampok bank. Tetapi orang tidak tahu, bahwa kebanjakan jang membongkar peristiwa itu ialah „Tjempaka Merah.” Polisipun tidak tahu, siapa „Tjempaka Merah” itu sebenarnja.

Begitulah sukarnja, lain dengan mudahnja bersama Haty.


Serie I

TAMMAT.

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)