Lompat ke isi

Seri Pahlawan: Abdul Moeis/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
CALON DOKTER YANG GAGAL

Dalam usia tujuh tahun Abdul Moeis dimasukkan ayahnya ke sekolah. Sekolah yang dimasukinya ialah Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah dengan nama bahasa Belanda itu sederajat dengan Sekolah Dasar pada masa sekarang. ELS itu ada di Padang. Tidak semua anak-anak boleh memasuki sekolah tersebut. Hanya anak-anak orang berpangkat yang diterima menjadi murid ELS. Untunglah ayah Abdul Moeis seorang Tuanku Laras.

Suatu kali Haji Abdul Gani bertanya kepada anaknya,

”Kalau sudah besar nanti, mau menjadi apa engkau Moeis?”

”Saya mau menjadi dokter, Ayah.”

”Tidak inginkah engkau menjadi Tuanku Laras seperti ayah?”

”Dokter itu kan orang pintar, Ayah. Dokter suka menolong orang yang sakit. Saya ingin menjadi dokter supaya saya dapat mengobati orang-orang kampung kita. Kalau Ayah atau Ibu sakit, tak perlu ayah mencari dokter lain. Dokter Abdul Moeis sudah ada yang akan mengobati Ayah dan Ibu.”

Ayahnya tersenyum mendengar jawaban Moeis. Sesuatu rasa bangga terselip di lubuk hatinya. Cita-cita untuk menjadi dokter itu sudah dikandungnya sejak ia belajar di ELS. Orang tuanya pun setuju. Mereka sudah membayangkan bahwa anak mereka kelak akan menjadi seorang dokter. Nama keluarga Laras Sungai Puar akan semakin terkenal. Bukankah dokter itu dikenal oleh seluruh orang?

Moeis pun giat belajar. Kalau ada pelajaran yang kurang jelas baginya tidak segan-segan ia bertanya kepada guru atau kawan-kawannya. Malu bertanya sesat di jalan.

Setelah menamatkan ELS, Moeis pun berangkat ke Jakarta. Pada masa itu disebut Batavia. Ia mendaftarkan diri di Stovia (Sekolah Dokter). Pada masa itu di Sumatra Barat belum ada sekolah dokter. Alangkah gembira hatinya ketika ia diterima di sekolah tersebut.

Waktu itu Abdul Moeis telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Di Stovia ia sibuk belajar mengejar cita-citanya. Tetapi selain itu ia tidak pula melupakan pergaulan dengan teman-temannya. Ia bergaul dan berkenalan dengan pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah. Mereka merasa akrab satu dengan yang Jainnya. Selain itu Abdul Moeis senang pula berolah raga. Di Stovia ia dikenal sebagai seorang atlit.

Pemuda-pemuda itu menceritakan keadaan daerah mereka masing-masing. Tentang adat istiadat dan kehidupan penduduk. Selain itu mereka bercerita pula bagaimana sengsaranya rakyat akibat penjajahan Belanda. Lama kelamaan di antara mereka terjalin rasa persaudaraan yang erat. Pemuda-pemuda itu mulai menyadari, bahwa sesungguhnya mereka adalah satu bangsa. Bahkan nasib mereka juga sama, yakni sama-sama menderita di bawah penjajahan.

Mereka sadar pula, bahwa ada perbedaan antara orang Indonesia dengan orang kulit putih. Orang Indonesia dianggap sebagai manusia yang rendah derajatnya. Sikap orang Belanda angkuh dan sombong. Begitu pula orang-orang Cina. Pemerintah

Abdoel Moeis halaman 16.jpg
Abdoel Moeis halaman 16.jpg

Gedung Stovia, sekarang dinamakan Gedung Kebangkitan Nasional.

jajahan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada orang Cina daripada kepada orang Indonesia.

Karena kepincangan-kepincangan itu timbullah rasa jengkel di hati pemuda-pemuda itu. Mereka jengkel terhadap penjajahan. Karena itu timbul cita-cita untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Kesemuanya itu sering juga disebut bangkitnya nasionalisme Indonesia.

Keadaan di Stovia banyak pula yang menimbulkan rasa jengkel. Banyak peraturan di sekolah itu yang tidak memuaskan hati. Banyak peraturan yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang berani melanggar, tentu akan mendapat hukuman. Mengenai soal pakaian pun ada peraturannya.

Mahasiswa dari Jawa dan Sumatra yang tidak beragama Kristen, tidak boleh memakai pakaian model Eropah yaitu pakaian yang terdiri dari kemeja dan celana panjang atau celana pendek. Mereka harus memakai pakaian adat daerah masing-masing. Alangkah berbedanya keadaan itu dengan keadaan waktu mereka masih di sekolah dasar. Waktu itu mereka boleh berpakaian model Eropah. Para mahasiswa menjadi sakit hati. Tetapi rasa sakit hati itu tak dapat disalurkan. Mereka terpaksa tunduk kepada peraturan. Kalau tidak, mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Padahal mereka bercita-cita untuk menjadi orang yang berpendidikan. Dengan pendidikan itu mereka kelak akan memperbaiki nasib bangsa mereka yang tertindas.

Abdul Moeis giat belajar. la ingin agar cita-citanya lekas tercapai. Aiangkah gembira hati ayah dan ibunya nanti, kalau ia pulang ke kampung sudah menjadi dokter. Ia akan bercerita kepada teman-temannya tentang pengalamannya selama bersekolah. Ia akan menceritakan kepada ayah, ibu, dan keluarganya tentang kota Batavia. Mereka pasti akan tercengang. Penduduk Sungai Puar tentu akan bangga sebab seorang putranya telah menjadi dokter.

Tetapi bukan itu saja yang penting bagi Abdul Moeis. Ia sudah membayangkan bagaimana ia sibuk mengobati orang-orang yang sakit. Ia akan menolong orang kampungnya dan orang kampung lain. Ia akan menolong bangsanya. Ia akan menerangkan kepada mereka bahwa kebersihan sangat perlu untuk kesehatan. Banyak lagi angan-angannya.

Karena ia belajar dengan tekun, maka setiap tahun ia naik tingkat. Abdul Moeis sudah duduk di tingkat tiga. Ia sudah mulai melakukan praktek bedah. Pada suatu hari, ketika ia melakukan praktek bedah, kepalanya terasa pusing. Semula dikiranya hanya sakit kepala biasa. Tetapi dalam praktek-praktek berikutnya kepalanya tetap terasa pusing. Maka mulailah ia menyadari kelemahannya. Ia tidak tahan melihat darah banyak mengalir.

Abdul Moeis menjadi sedih. Cita-citanya untuk menjadi seorang dokter mulai kabur. Ia tak akan pulang ke Sungai Puar membawa ijazah dokter. Ia tak akan pernah memakai pakaian putih-putih seperti

Kepala Abdul Moeis pusing melihat darah banyak mengalir.

yang biasanya dipakai oleh seorang dokter! Ia tak akan dapat menolong bangsanya yang menderita penyakit.

Lama ia termenung. Lama ia bersedih hati. Alangkah malang nasibnya. Sia-sialah uang orang tuanya yang sudah banyak digunakan untuk menyekolahkannya. Marahkah mereka nanti, tanya Abdul Moeis dalam hatinya. Akan jadi apakah aku selanjutnya? Apakah aku akan pulang ke kampung dan bekerja sebagai tukang besi? Atau membantu perusahaan korek api ayah?

Keadaan dirinya itu disampaikannya kepada orang tuanya. Untunglah Haji Abdul Gani dan isterinya cukup bijaksana. Mereka tidak marah, sebab hal itu bukan karena kelalaian anaknya. Keadaan itu berada di luar kemampuan mereka. ”Manusia boleh berkehendak, tetapi Tuhan juga yang menentukan,” kata ayahnya menenangkan hati Abdul Moeis. Kedua orang tua itu menasehatkan agar Abdul Moeis tidak patah hati. ”Masih banyak lapangan lain yang dapat kau masuki. Janganlah patah semangat. Mungkin bukan suratan takdirmu menjadi dokter. Kami percaya bahwa di lapangan lain tentu engkau akan berhasil,” kata ayahnya selanjutnya.

Tetapi apakah yang akan dilakukan Moeis? Kalau ditilik asal usulnya, ia berasal dari daerah Sumatra Barat. Penduduk daerah itu terkenal sebagai orang yang suka berdagang. Tetapi Abdul Moeis tidak tertarik kepada bidang tersebut.

Akhirnya orang tuanya menasehatkan supaya ia bekerja sebagai pegawai. Untuk tidak mengecewakan hati mereka, Moeis bekerja pada Departemen Agama dan Kerajinan. Ternyata bekerja sebagai pegawai itu tidak menyenangkan hatinya. la bersekolah bukan untuk menjadi pegawai.