Rimba-Rimba/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Rimba-Rimba


BERLABUH DI TELUK BAYUR

Belum tengah hari, kapal yang ditumpangi Jamaludin berlabuh di Teluk Bayur. Beberapa pos pengawas dilewatinya dengan mudah. Keluar dari area pelabuhan, dengan berlari kecil, ia menuju simpang Gaung. Berdiri di sebuah warung kopi, menunggu seseorang datang menjemputnya. Ia belum tahu sama sekali wajah orang yang ditunggunya. Orang itulah yang akan membawanya menemui tokoh-tokoh PRRI.

'Dimana dia itu? Mengapa belum datang juga?" batinnya.

Seorang lelaki berbadan besar memandangnya penuh curiga. Beberapa saat ia menatap mata lelaki itu, dan entah mengapa ia kurang yakin kalau orang itulah yang sebenarnya ditunggunya. "Menuggu siapa sanak?" Lelaki itu menyapanya. Ia tidak menjawab.

"Kalau mau ke pasar raya atau kemana saja, saya punya becak. Ongkosnya bisa ditawar," katanya. Jamaludn tidak menjawab, ia mengacuhkan lelaki itu. Lelaki tegap itu jadi tersinggung, kemudian memandangnya dengan muka sinis.

Jamaludin tidak mengacuhkannya. Lelaki itu kembali membuat ulah dengan melemparkan puntung rokok ke arahnya. Jamaludin tidak bisa menerima perlakuan lelaki itu lagi. Ia masuk ke dalam kedai, menghampiri lelaki itu, dengan diam-diam tanpa diketahui orang lain, menempelkan ujung pistol ke pinggang pinggang lelaki itu.

Tukang becak itu sejurus terkejut, tetapi ia cepat mengatasi keadaan. "Jangan terlalu serius Bujang, saya tahu kamu orangnya. Aku sudah melihat gambar sipatung merah di bajumu. Ayo cepat, beliau sudah menunggu. Saya Sulaiman, kamu tentu Jamaludin?"

Jamaludin jadi sedikit malu. Kekalutan pikirannya karena tugas maha berat itu membuatnya kurang bisa mengontrol diri. Kemudian dengan becak mereka kemudian meninggalkan pelabuhan, menuju arah Pegambiran. "Maaf, tadi saya tidak mengenali Uda? Kita harus segera pergi Uda saya sudah diikuti sejak dari berangkat. Ada lima orang yang selalu mengintai saya selama di kapal. Mereka berbahaya," katanya. Lelaki itu mengernyitkan keningnya. Segera saja didayungnya becak dengan cepat. Tidak berapa jauh, ia berhenti di sebuah rumah, memarkirkan becak dan mereka beralih ke sebuah sepeda motor.

"Sayapun harus memastikan kalau kamulah orangnya."

"Kemana kita?"

"Beliau masih masih menunggu. Sepertinya sangat penting sekali dokumen yang kamu bawa. Sampai-sampai beliau tidak mau meninggalkan kota sebelum kamu datang, padahal sebentar lagi perang meletus."

"Oh ya, kalau begitu cepatlah."

Lelaki itu bergidik. Dari matanya terbayang peristiwa yang mengerikan akan terjdi. Sebentar lagi dalam hitungan hari, jalanan itu akan luluh lantak dilindas tank-tank baja tentara Jawa itu.

Akhimya mereka sampai di Andaleh. Jamaludin melirik ke kiri dan ke kanan. Sebagai seorang intel ia paham, banyak aktivitas 'tidak biasa' di sepanjang jalan. Orang-orang yang duduk di pinggir jalan dengan mata yang awas. Tukang becak yang menutup kepalanya dengan topi namun bertampang tegap, tidak layaknya seperti seorang tukang becak yang bertubuh lunglai dimamah panasnya jalanan.

Ia tahu, aktivitas mereka tentu untuk melindungi 'sesuatu yang penting'. Kemudian motor masuk ke sebuah gang kecil dan berhenti di depan sebuah rumah. Lelaki itu menyuruh Jamaludin langsung masuk, sedang ia berjaga di luar. Baru saja masuk beberapa langkah, ia bertemu seorang tukang sapu yang langsung menyapanya. "Siapa yang Kau cari Sipatung Merah?" Jamaludin terkejut tak menyangka. la gelagapan. Sebentar ia ingin menjawab, matanya menatap tajam. Ia tak menyangka sama sekali. Menyadari lelaki yang seperti tukang sapu itulah orang yang ditujunya, ia jadi sungkan, dan langsung menunduk sambil bersalaman.

"Maaf saya terlambat Mamak."

Mereka berangkulan. Jamaludin langsung dokumen itu. Lelaki itu langsung memberikan membukanya.

"Mereka betul-betul serius," gumamnya.

Kepalanya mengegeleng-geleng seakan tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Sebuah strategi, sebuah rencana besar, penghancuran sebuah generasi sedang akan dimulai. "Kita sudah terlambat," gumamnya.

"Saya tidak bisa berlama-lama, saya harus segera berangkat. Saya takut keluarga saya dalam keadaan terancam."

"Mau kemana kamu? Apa tidak istirahat dulu?"

Jamaludin hanya tersenyum kecil. "Saya mesti segera pulang ke Seberang Padang." Mereka berangkulan sebelum berpisah. Banyak kata yang semestinya terucap, tapi sebuah rangkulan sudah mewakili semuanya. Bahkan Jamaludin tidak sempat meneguk segelas kopi sekalipun. Ia harus segera menuju ke rumah orang tuanya, di daerah Seberang padang. Lelaki itu membaca sekali lagi isi dokumen itu. Dokumen yang berisi rencana jahat PKI yang akan inenghabisi para ulama di Sumatra barat yang merupakan musuh politiknya. Nama-nama para ulama, asal nagari pun dicantumkan dengan jelas. 'Selengkap ini? Sejak kapan mereka bekerja? Betul-betul licik.' Lantas ia bergegas menuju ruangan lain, di sana banyak orang menunggu dengan harap cemas dan tak sabar membaca isi dokumen itu.

Semua yang ada di ruangan itu terkejut, bahkan makin terkejut ketika sorenya mereka mendapat kabar kalau Sipatung Merah sudah tewas ditembak di Simpang Haru.


***

Rimba-Rimba