Rimba-Rimba/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas


RAPAT MENDADAK

"Telat. Telat. Kita telat." Sebuah suara yang terdengar berat menusuk dari tengah ruangan. Beberapa orang yang ikut dalam rapat terkejut mendengarnya.

"Apa boleh buat. Keputusan sudah diambil Presiden. Mereka terlalu kuat dan berhasil meyakinkan Soekarno untuk mengirim pasukan. Kita hanya terlambat lima menit. Kawat sudah dikirim. Tidak bisa ditarik lagi. Pemerintah tentu tidak mau kehilangan muka dengan membiarkan pemberontakan."

"Lalu bagaimana langkah kita sekarang? Apa yang mesti dilakukan," terdengar suara lain menyahut.

"Bujuk Ahmad Hussein untuk menyerah sebelum perang meletus. Hanya itu cara terbaik. Mereka sudah berhasil menyusup ke tubuh Angkatan Darat yang akan

Rimba-Rimba

menumpas PRRI. Tidak ada gunanya semua perang itu. Kita sudah kalah cepat dan jangan lagi lalai mencegah jatuhnya korban dari masyarakat kita."

"Kalau dia tidak mau menyerah, kita semua mesti pulang kampung untuk menyelamatkan Ranah Minang. Desus-desus yang selama ini kita dengar sekarang sudah terbukti. Saya siang tadi didatangi Syamsul. Orang intelijen, orang Palinggam asli, informasinya sangal akurat. Dia sudah lama menyusup ke sarang komunis. Anak buahnya, yang juga berasal dari Padang, sekarang sudah menuju Padang untuk menyerahkan dokumen sangat rahasia PKI itu ke tangan Ahmad Hussein. Kita doakan saja ia berhasil. Saya juga sudah mengirimkan surat untuk Ahmad Hussein, memintanya memikirkan ulang semua rencana itu."

"Apa isi dokumen itu Buya?" Seorang peserta bertanya.

"Rencana besar PKI. Mereka akan membumi hanguskan Minangkabau yang merupakan basis Masyumi, lawan berat yang sulit mereka kalahkan. Dan keadaan ini menjadi pintu masuk bagi mereka untuk meluluhlantakkan Masyumi. Nama-nama ulama yang akan diculik, dibunuh, atau dihabisi selama operasi pemberantasan PRRI ada dalam dokumen itu. Semoga dokumen itu sampai ke tangan Ahmad Hussein sendiri sehingga dia bisa mengambil tindakan untuk mencegahnya."

Rimba-Rimba

"Apa? Jadi mereka betul-betul berhasil membonceng dalam operasi itu?" Semua mata terbelalak.

"Ya, bahkan saya dengar awalnya Soekarno tidak mau mengirim pasukan karena masih menghormati kita-kita yang ada di sini. Menghormati Hatta, Agus Salim, Syahrir, kita semua. Dia berharap kita yang ada di sini bisa menyelesaikan persoalan ini secara damai. Tetapi PKI terus menekannya.".

"Minangkabau, para ulama, Masyumi. bukankah semua itu batu sandungan yang harus segera mereka lenyapkan? Dan sekaranglah kesempatan itu. Selama ini mereka tidak punya celah untuk masuk," yang lain menimpali.

"Gegabah jika PRRI tidak memperhitungkan hal yang seperti ini." Suara mereka sepakat.

"Keputusan perang yang sudah dibuat tidak mungkin dicabut lagi. Pemberontakan tentu tidak bisa dibiarkan. Jadi apa yang bisa kita lakukan sekarang ini?”

Suasana hening. Mereka seakan dihadapkan batu karang yang keras. Mereka membubarkan diri dengan genangan air mata di pelupuk. Membayangkan ranah Minang, tanah kelahiran mereka, sebentar lagi akan diamuk perang saudara.


***

Rimba-rimba