Rimba-Rimba/Bab 25

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
52594Rimba-Rimba — Bab 25Joni Syahputra

AKHIR PERJALANAN

Minah, kembang desa di Aie Dingin tidak mengungsi ke hutan-hutan. Bersama keluarganya ia mengungsi ke kampung lain yang lebih aman di daerah Sangir Jujuan, daerah Solok bagian selatan.

Ia pun terenyuh mendapati rumahnya yang sudah tidak berbentuk lagi. Namun luka hatinya masih terobati mendapati Surau tua itu masih berdiri dengan kokohnya. la memandang surau itu dengan penuh takjub, namun matanya kembali berkaca-kaca.

“Di manakah dia sekarang?”

Melihat jenjang surau itu, ia teringat seseorang. Seorang laki-laki yang punya arti khusus dalam dirinya. Walaupun tidak pernah saling terucap sebuah janji, namun Minah yakin, laki-laki itu juga merasakan seperti yang dia rasakan. 'Mengapa hatiku begitu damai melihatmu? Mengapa jiwaku seakan tenang jika berada di dekawmu?' Ia teringat lelaki yang menjadi murid mengaji buya Malin Mandaro itu.

“Johan, di manakah Uda sekarang?" batinnya terasa disesak rindu yang sangat.

Setiap hari mereka selalu bertemu di surau itu. Minah yang malu-malu selalu duduk di bagian belakang. Sedangkan Johan sering duduk di depan. Mata mereka sesekali beradu. Hanya ketika pulang saja mereka sempat berkomunikasi. Itu pun tidak terlalu bisa bicara banyak karena biasanya Minah selalu berjalan bersama ibunya.

Kesempatan yang paling ditunggu-tunggu itu pun datang. Mereka sama-sama menjadi panitia peringatan maulid nabi.

“Saya senang melihat kamu,” kata Johan.

Minah hanya malu-malu mendengar kata hati Johan itu.

Sebagai perempuan Minang, dia tahu harus bercaksi scperti apa. Mukanya memerah. Selendang putih itu dikibaskannya pelan. Sesekali ia menatap Johan, namun ia tidak mampu berkata apapun.

Johan memberanikan diri menggengam tangan putih nan mulus itu.

“Ahhhhges...jangan..” katanya.

“Tidak apa-apa,” kata Johan.

“Nanti dilihat Buya. Tidak enak...”

Johan pun melepaskan tangan itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba Buya datang.

Itu kali pertama dan terakhir mereka bisa semesra itu. Selanjutya Johan pergi ke Padangpanjang untuk memperdalam ilmu agama. Selanjutnya, perang pecah. Mereka terpisah jauh. “Apakah dia masih hidup sekarang? Dimana dia sekarang? Apakah dia bergabung dengan pasukan rimba? Tertangkapkah dia? Tertembakkah dia? Atau kalau ia masih hidup, masih ingatkan dia kepadaku?" Minah menggumam dalam hatinya.

Kembali hatinya remuk. Ia merasa hampa dan tidak tahu mesti berbuat apa. Ia masih ingat genggaman erat tangan Jelaki itu. la ingin mengulangnya sekali lagi. Ia tak ingin melepaskannya lagi.

“Apa yang kamu pikirkan Nak?” tiba-tiba suara ibunya membuyarkan lamunan Minah. Minah tersadar. Ia cepat-cepat menyeka matanya yang basah.

“Tidak apa-apa Mak,” katanya.

Namun perempuan itu tahu apa yang dirasakan anaknya. Setidaknya diapun tahu kalau anaknya dekat dengan Johan.

“Terimalah semua takdir ini. Masih untung kita bisa hidup,” katanya.

Minah kemudian melulung keras dalam dekapan ibunya. Sementara nun jauh di dalam rimba, seorang lelaki duduk di atas sebuah batu. Ia teringat seseorang. Bukan Syabilla, gadis bersuara merdu di pesantren, namun seorang kembang desa yang rumahnya dekat rumah Buya.

“Dimana dia sekarang? Apakah dia masih hidup? Apakah dia juga bergabung dengan pasukan rimba menjadi relawan? Atau apakah dia sudah dibawa lari tentara-tentara pusat itu?" pikirnya.

Ia ingat ketika jemari lentik itu berada dalam genggamannya. Walau hanya sebentar dan itu tabu.

*

Rimba-Rimba