Rimba-Rimba/Bab 19

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Rimba-Rimba



Di PENAMPUNGAN

Sungai Abu, perkampungan itu terletak di hilir Batang Gumanti. Dari pusat kota Alahanpanjang berjarak sekitar empat puluh kilometer. Jalan satu-satunya hanya bisa ditempuh dengan kuda. Jalan setapak, di tepi jurang yang dalam dan perbukitan yang menjulang tinggi.

Konon negeri ini kaya dengan emas. Sungai-Sungainya merupakan tambang-tambang emas yang tidak terhingga. Tapi perang sudah membuat keinginan beberapa orang pemburu emas memudarkan niatnya.

Untuk mencapai perkampungan itu dari Alahan Panjang bisa ditempuh berjam-jam dengan kuda beban yang terpaksa berjalan dengan pelan.

Dari Sungai Abu, menyeberang dengan rakit di Sungai yang tenang, sekitar satu jam naik rakit, berhenti di sebuah danau kecil. Kemudian di sebelah barat ada


147

sebuah perbukitan yang tinggi dan air terjun di bawahnya.

Rembongan itu menyelusuri pinggir tebing dan akirnya sampa! di sebuah goa yang besar. Begitu indah. Stalagtit dan stalapmite memancarkan kedamaian tersendiri. Cahaya matahari menerobos dari sela-sela lobang. Tiba-tiba saja seorang bermata sipit keluar dari mulut goa.

“Siapa itu?”

“Tenang saja.”

Sutan Kayo yang ada paling belakang segera mencabut goloknya. Ia langsung mengejar orang tersebut. Untung saja Agam yang menjadi ketua rombongan segera mengapit tangannya.

“Dia ada di pihak kita, Dari dialah kami tahu keberadaan goa ini.”

Sutan tergagap. Lelaki di depan itu adalah Jepang tulen. Ia tahu wajah orang Jepang. Setidaknya dia penah mengejar dan dikejar Jepang-Jepang itu selama perang kemerdekaan.

“Ceritanya panjang.”

“Nanti diceritakan.”

Kemudian rombongan sekitar sepuluh orang itu masuk ke dalam goa yang dijaga orang Jepang itu.

Alangkah terkejutnya mereka melihat pemandangan yang ada di dalam goa itu. Seperti sebuah rumah. Bersih karena selama ini ditunggui si sipit.

Di belakang bukit mereka membangun pondok tiga buah pondok. “Jika situasi tidak aman, kita akan bersembunyi di dalam goa. Sampai kiamatpun mereka lidak akan menemukan tempat ini,” ujar Agam bangga. Beberapa rombongan takjub melihat pemandangan itu. Wajah-wajah kelelahan, letih, kurang tidur, akhirnya memilih masuk ke pintu goa yang lumayan besar. Menidurkan anaknya di balai-balai kayu. Tidak ada kesan angker sebuah goa. Mulut goa itupun bersih. Si sipit memang sangat telaten.

Ada sekitar sepuluh orang yang menjaga tempat itu. Dikepalai Agam sendiri. Namun di sana Agam hanya anak buah biasa. Sebetulnya yang sangat bertanggungjawab adalah Beni. Dia adalah komandan operasi AA itu.

Si sipit kemudian membakar kayu, ia baru saja dapat rusa hutan. Sebenarnya namanya Tanaka, seorang serdadu Jepang yang melarikan diri ke hutan karena diburu sekutu. Tersesat di hutan dan tertinggal sendirian.

Dulu sewaktu perang kemerdekaan goa itu dijadikan sebagai tempat persembunyian perwira-perwira Jepang. Perwira-perwira itu tidak leluasa keluar karena dari segala penjuru pasukan sekutu sudah mengepung.

Ketika Jepang sudah menyerah, mereka keluar dari persembunyian. Tanaka yang mendapat tugas mencari rusa untuk dimakan tersesat di hutan. Akhirnya kembali setelah para perwira itu pergi.

Buya Malin Mandaro menyalami Tanaka. Mata lelaki Jepang itu berbinar-binar. Tanpa berkedip. Kemudian bersimpuh sambil menangis. "Buya, bimbing saya untuk masuk Islam."

Angin hutan berhembus semilir. Lembut tapi terasa dingin. Daun-daun kayu bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Gonggongan serigala hutan terdengar dari jauh. Lolongan yang memekakkan telinga dan menjadi suatu nyanyian tersendiri bagi yang menyendiri. Lolongan yang entah pertanda apa. Adakah serigala itu sedang gembira mendapat makanan, ataukah dia sedang dalam keadaan galau. Galau sama seperti para ulama itu. Mereka diasingkan dari kehidupan luar. Di luar sana, puluhan atau bahkan ratusan OKR mencari, menfitnah, atau bahkan juga akan membunuh mereka.

Mereka tahu tidak mungkin memenangkan peperangan itu. Malah menurut kabar, Ahmad Husscin sudah siap menyerah untuk menghindarkan korban lebih banyak. Walaupun kalah, generasi Minang ke depan harus dihindarkan dari dampak psikologis perang. Generasi tidak boleh kalah. Mereka tahu, itulah tujuan berada di sana. Setelah perang usai, para ulama itulah yang diharapkan bisa mengobati luka itu.

Siang itu Buya Malin terlibat diskusi hangat dengan beberapa ulama lain. Mereka membahas nasib kampung mereka ke depan pascaperang.

Hari esoknya mereka berdiskusi tentang cara menyelamatkan generasi mendatang. Esoknya lagi mercka membahas bagaimana memebangkitkan perekonomian yang hancur. Diskusi untuk memanfaatkan waktu agar tidak jenuh.

Mereka juga merencanakan untuk membangun sebuah pesantren. “Dari pesantren inilah kita bangun lagi kampung kita,” ujar Buya Malin Mandaro.

“Betul sekali,” ujar yang lain.

Begitulah diskusi yang mereka lakukan sepanjang hari. Diskusi-diskusi untuk menunggu perang usai. Bisa jadi perang berhenti sebulan lagi, setahun fagi, atau tidak akan pernah berhenti-berhenti sampai semuanya mati. Selama mereka berdiskusi bcberapa orang terlihat berjaga. Mereka harus awas, jangan sampai OKR atau tentara pusat menyelusup.

Ketika sedang berdiskusi, Tanaka yang sudah berganti nama dengan Muhammad Iklas datang. Ia ikut berbicara dengan hangatnya. Bercerita ketika masa peperangan dengan sekutu.

Ketika Perang Dunia II sudah memasuki masa-masa akhir. Di beberapa negara Asia Tenggara pasukan Jepang mengalami kekalahan.

Di Fitipina, Jepang menyerah telak. Di Vietnam Jepang sudah terdesak ke sisi-sisi paling pinggir negara itu. Di nusantara pasukan Jepang juga kian terdesak. Kaisar sudah memerintahkan dengan tegas untuk melawan sampai tetes darah penghabisan.

Pasukan Jepang di Kota Padang juga sama keadaannya. Hubungan ke Medan sebagai pusat pengendali wilayah Sumatera sudah terputus. Stasiun radio satu-satunya yang terletak di kawasan pondok di bom sekutu. Mereka bagai ayam yang kehilangan induk. Kekuatan mereka juga sudah pecah.

Kimoto sebagai pimpinan tertinggi Jepang untuk wilayah Sumatera Barat terpaksa mengambil tindakan sendiri. Dua buah truk, satu jeep dilarikan arah selatan Kota Padang.

Hanya itu pasukannya yang tersisa. Sementara pasukan payung sekutu sudah mendarat di tepi pantai Padang. Di dalam jeep ada Kimoto dan Tanaka beserta scorang sopir, kemudian dua orang tentara yang bersenjata lengkap. Sementara di dalam dua truk ada sekitar 20 perwira. Prajurit diperintahkan untuk menghadang sekutu sampai tetesan darah terakhir.

“Apa kau yakin dengan lokasi itu?" tanya Kimoto.

“Haiggg... yakin sekali,” balasnya.

Kimoto mengangguk-angguk. Ja sangat yakin apa yang dikatakan Tanaka. Ja percaya pada anak buahnya itu, Hampir sore rombongan itu sampai di tepi Danau Di Atas. Kimoto memerintahkan pasukannya agar membuang truk dan jcep ke dalam danau.

Dari pinggir danau mereka pun berjalan ke arah pasar Alahanpanjang. Keadaan masih sepi. Merekapun berjalan kaki menyisiri tepi-tepi tebing. Pasukan itu tidak mau bertemu langsung dengan masyarakat di sepanjang jalan. Mereka kawatir masyarakat sudah mengikuti perkembangan terakhir dari radio.

Sesampai di pasar Alahanpanjang rombongan itu terus berjalan ke arah Talang Babungo, Di sebuah tepian sungai Batang Gumanti mereka pun berhenti. Kimoto memerintahkan pasukannya untuk membuat rakit agar perjalanan cepat sampai.

Jejak mereka tidak tercium pasukan sekutu. Tengah malam mereka sampai di sekitar daerah Talang Babungo. Kimote memerintahkan pasukan untuk istirahat dan bermalam di pinggir sungai itu. beberapa tentara sibuk mencari ikan untuk makan malam di sepanjang sungai itu.

Sebelum mentara terbit mereka melanjutkan kembali perjalanan dengan rakit. Sulitnya medan tidak membuat mereka takut. Mereka telah terbiasa menghadapi hal itu. Kimoto sendiri pernah lima tahun bertugas di Cina. Ia pun ikut mengejar pasukan sekutu di Filipina.

Perjalanan melalui sungai tidak menjamin akan sampai dalam waktu dekat. Hampir sore mereka baru sampai di Sungai Abu. Kemudian menelusuri bagian timur perkampungan dengan jalan kaki hingga sampai di sebuah telaga dan mereka semakin dekat dengan goa itu.

“Tuan..., memang ini tempatnya.”

Wajah Kimoto sumringah. “Tidak sia-sia,” katanya.

Kemudian merekapun masuk ke dalam goa itu.

“Ayo...masuk,” katanya.

Pasukan-pasukan itu pun masuk ke dalam goa itu. Mereka terkesima. Tidak percaya bagaimana mungkin Tanaka berhasil menemukan tempat itu.

“Kita aman di sini?” kata Tanaka.

Kimoto pun melihat ke atas. Hutan begitu rindang. Dari atas tidak mungkin terlihat olch pesawat pengintai.

“Tempatnya di sini?” tanya Kimoto.

Tanaka tidak menjawab, hanya senyuman kecil mengulas di bibirnya.

“Tidak sia-sia aku membawamu dari Hirosima sampat ke perkampungan terpencil di dalam hutan pegunungan Sumatera,” katanya. Ia masih ingat, lelaki yang sebenarnya dokter hewan itu sebetulnya sudah ditolaknya untuk masuk ke kompinya. Kalaupun perlu dokter, yang dia butuhkan adalah dokter manusia. bukan dokter hewan. Makanya ketika sampai di Padang ia memberikan keleluasaan pada Tanaka. Ia diberi tugas sebagai intel non militer. Tugasnya tidak berkaitan dengan tugas-tugas operasi militer. Tanaka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Berteman akrab dengan seorang pedagang Tanah Kongsi, ia mendapat informasi lokasi sarang burung walet yang terbaik dengan kualitas tinggi. Hanya dalam waktu tiga bulan, ia sudah menelusuri goa-goa di Sungai Abu yang memang menjadi tempat favorit burung walet menidurkan diri.

Tanaka membungkukkan badannya di hapadan Kimoto setelah menyiapkan sup sarang walet yang sangat nikmat. Lelaki itu memang aset Jepang yang sangat berharga. Tidak hanya dokter hewan, ta pun seorang insinyur arkeologi. Dia sudah tebiasa menggali-gali lobang untuk menemukan peninggalan masa lalu yang berharga.

Tapi itu sebelum perang. Setekah perang berkobar, kehidupannya berubah. Ia terpaksa masuk dinas ketentaraan di bagian intelijen.

Namun minatnya yang tinggi terhadap arkeologi sangat membantu pasukan Jepang dalam perang menghadapi sekutu.

Tanaka juga berhasil membangun lobang jepang sepanjang lima kilometer di Bukittinggi sebagai pertahanan hebat Jepang melawan sekutu.

Kimoto, rasa kasumnya terhadap loyalitas Tanaka memang tidak habis-habisnya. Kalah dalam perang bukan berarti kalah dalam semua hal. Ya merasa menang dalam diri sendiri. Menang karena berhasil membina prajurit-prajurit handal, termasuk Tanaka. Dan ia akan merasa menang jika berhasil melakukan tugas itu. Hirosima dan Nagasaki sudah hancur lebur. Jika misinya berhasil, tentu akan sangat membantu dalam membangun negerinya kembali. “Kalau perang ini usat, akan aku bawa Kau menghadap Kaisar,” kata Kimoto bangga.

Sebagai intelijen, Tanaka memang sangat berprestasi. Ia bisa mencmukan bekas tambang emas VOC, terbesar kedua setelah tambang emas Salido, di Pesisir Selatan.

Setclah Jepang masuk, tentara Belanda menyerah. Mereka melarikan diri melalui pelabuhan Teluk Bayur. Berawal dari pelabuhan itu Tanaka mencium sesuatu yang mencurigakan dengan aktivitas kapal-kapal Belanda yang akan mengangkut pasukannya itu. Akhirnya dia melakukan penyelidikan mendalam.

Dan benar saja. Ternyata Belanda-Belanda itu sedang mengangkut emas melalui pelabuhan Emma Haven itu. Makanya, Belanda sangat ngotot untuk menguasai pelabuhan walau sudah kalah.

Tanaka mengembangkan pencariannya. Akhirnya dia menemukan tambang emas itu. Konon masih banyak emas yang disimpai di dalam goa antah barantah di dalam hutan. Kini, pasukan-pasukan Jepang itu sudah berada di sekitar tambang emas itu. “Hebat..., Kau memang hebat...”

“Haighhh.” Tanaka pun ikut tersenyum.

*

Rimba-Rimba