Rimba-Rimba/Bab 13

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas


KUCING GURUN KEBINGUNGAN


Sebagai pasukan khusus di dalam “rantai', Beni tahu apa yang harus dilakukannya. Peristiwa yang menimpanya beberapa kali adalah sebuah pertanda buruk bagi pergerakannya.

Firasatnya mengatakan sesuatu yang lebih buruk bakal terjadi. Peristiwa yang dialaminya adalah yang terburuk sepanjang masa. Ia tidak mau ada pasukan lain yang mendengar kisah itu.

la memang salah dalam memperhitungkan keadaan. Sama sekali ia tidak menyangka hal itu. la memperkirakan ancamaan terbesar adalah Mangkuto. Namun Mangkuto ternyata bisa diyakinkan dengan prestasi-prestasinya yang sangat gemilang.

Padahal semula ia sudah menganggap tidak ada kendala lagi dalam pergerakannya. Tapi munculnya lima orang pasukan liar membuatnya was-was. Walau bagaimanapun juga ia tidak boleh mengabaikan ancaman sekecil apapun.

Di depan sebuah pondok tua yang berada di tepi sungai kecil, mereka berkumpul. Di tempat itulah mereka dikerjai orang-orang misterius itu. Dari raut wajahnya terlihat gurat-gurat keletihan.

Beni yang duduk persis di tengah memberi tanda kepada beberapa anak buahnya. Empat orang anak buah yang mendapat perintah dari komandannya itu cepat bergerak. Dua menuju utara dan dua orang ke selatan. Di bagian utara menghampar padang yang rumput. Sehingga siapapun yang yang menuju ke tempat itu akan terlihat Jelas. Sedangkan di bagian selatan merupakan hutan belantara. Sementara bagian kanan adalah tebing yang tinggi dan bagian kiri juga tebing yang dipisahkan sungai kecil itu.

Jika situasi gawat, mereka bisa melarikan diri kemanapun. Sangat banyak tempat persembunyian.

“Apa maksud pertemuan kita sekarang ini?” tanya beberapa orang yang ada di sana.
“Kita ada masalah,” ujar salah seorang dari mereka.
“Masalah?”
“Masalah apa?”
“Lebih jelasnya kita dengarkan penjelasan komandan,” ujarnya.

Kemudian Beni batuk-batuk kecil. Ia mengambil bungkus rokok dari sakunya. Membakarnya dan mengisap dalam-dalam.

Di kesatuan itu hanya dta sendiri yang mempunyai bungkusan rokok di suku. Kebanyakan anak buahnya hanya mengisap rokok daun.

“Kita ada masalah besar,” ujar Beni memulai pembicaraan. Rekan-rekannya yang lain mendekat. Mereka tidak ingin kehilangan satu patah katapun dari sang komandan Itu.

“Apa?” kata lelaki berbadan gemuk.

“Ya..., beberapa hari lalu kami dikerjai pasukan tanpa identitas. Walaupun tidak ada yang hilang, namun itulah yang membuat kami curiga,” katanya.

Yang lainnya hanya manggut-manggut mencari ke arah mana pembicaraan pembicaraan itu akan berakhir.

“Jadi bagaimana sekarang?” katanya.

“Misi harus kita selesaikan segera.”

Yang lain masih juga manggut-manggut. Sebagian masih mendengarkan dengan cermat

“Tidak ada jalan tain. Truk itu harus segera ditemukan. Gunakan semua cara. Setelah itu. pasukan akan dibagi dua. Pasukan pertama 10 orang langsung menuju Sungai Abu dan selesaikan misi. Sedangkan sisanya bersiap untuk menghadang pasukan Mangkuto yang hendak ke Sungai Abu.”

Kemudian Beni metanjutkan ceritanya, diikat, tapi tidak ada satu pun barang yang hilang. Apa arti semua itu? Saya curiga mereka memang tidak meinginkan barang tetapi informasi.”

Yang lain diam. Sementara muka empat orang anggota Beni yang juga diikat mukanya merah padam. Mereka berang dengan keadaan itu.

Kemudian Beni mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Sebuah pembalut seperti tulang dan sebuah kctas dikeluarkan dari tempat itu.

“Misi kita jelas. Ulama yang sudah kita asingkan itu harus dihabisi. Mereka akan jadi penghalang bagi komunis. Mereka musuh kita. Kita sudah hampir berada di puncak misi. Sekarang kita harus menemukan dulu truk untuk mendapatkan senjata dan peledak.”

“Baik komandan.”

Kemudian kertas itu diserahkan satu per satu kepada teman-teman yang lain. Di sana terdapat nama-nama ulama yang akan dihabisi. Semua ulama itu sudah disembunyikan di sebuah goa di pedalaman Sungai Abu. Jika misi itu sukses akan berdampak besar terhadap tujuan-tujuan komunis.

Artinya, dengan membonceng ke dalam pasukan APRI, PKI sudah memetik kemenangan yang sangat luar biasa gemilangnya.

“Kawan-kawan yang dididik dengan dasar-dasar ideologi komunis. Sekarang misi besar ini ada di pundak kita bersama kawan-kawan. Rantai ada dalam genggaman kata.

Analisis ini bukan hanya dari kajian agen-agen kita di Indonesia, tapt untuk wilayah Asia. Ingat, para pemimpin-pemimpin bangsa ini mayoritas berasal dari Sumatera Barat: Karena itu, kita mesti memutuskan mata rantai itu. Munculnya tokoh-tokoh itu berkaitan erat dengan peran ulama dengan sistem pendidikan pesantren dan suraunya. Dengan habisnya mata rantai generasi ulama dari Minang ini maka itu berarti cikal bakal musuh kita juga sudah habis. Karenanya komando di pusat memandang 'rantai' sebagai sebuah operasi yang sangat penting. Yang paling utama, Partai Masyumi sebagai musuh kita akan babak belur. Sekaranglah waktunya.”

Teman-teman yang lain mematung. Mereka menyadari arti pentingnya misi itu dilakukan. Kini, apalagi yang akan ditunggu. Goa tempat para ulama-ulama disembunyikan itu sudah di tangan mereka. Bahkan Letnan Beni lah orangnya yang dipercaya dalam operasi penyelamatan ulama itu.

“Perintah sudah jelas kawan-kawan. Kita cari truk dan jalankan sesuai rencana semula.”

“Baik, komandan.”

“Tapi dari daerah mana kita memulainya?”

“Fokuskan di Aie dingin saja. Kalian lihat anak-anak Harimau Campo waktu penyergapan tempo hari. Hati-hati terhadap mereka. Saya curiga mereka mengetahui sesuatu. Kalian lihat pistol yang mereka gunakan. Itu pistol jenis terbaru dan belum dipakai tentara rimba. Dari mana mereka dapatkan. Siapa mereka itu sebenarnya?”

“Saya juga curiga mereka yang mengerjai kita di dalam hutan,” lanjut Beni sebelum yang lain berkomentar.

“Ya, tapi untuk apa?”

“Saya belum sampai pada pemikiran ke arah itu. Namun yang jelas, mereka. mempermainkan kita dan mereka tahu sesuatu.”

“Apa perlu kita sikat mereka sekalian?”

“Jangan terburu nafsu.”

“Kenapa?”

“Kenapa kawan-kawan? Masih adakah yang menanyakan kenapa? Orang yang mengerjai pasukan-pasukan khusus dalam operasi "rantai" ini. Selain itu orang yang bersangkutan juga mengalahkan harimau sumatra yang berbadan besar itu? Masih adakah yang menanyakan kenapa? Itu berarti dia memiliki ilmu kebatinan yang sangat hebat. Dalam jarak 20 meter kamu bisa dibanting."

Yang berbicara barusan jadi ciut nyalinya. Ia memang tidak termasuk grup yang dikerjai Johan dan

Rimba-Rimba

kawan-kawannya, namun dia juga menyaksikan bagaimana sepak terjang Harimau Campo dalam peristiwa Aie Dingin Badarah.

Kemudian pasukan itu bergerak bersamaan. Setelah berjalan sekitar seratus meter Beni menyadari jumlah mereka kurang satu.

“Mana Syamsul?”

"Tidak terlihat Letnan...”

“Kejar..., habisi saja jika mencurigakan.”

“Saya tidak akan mentolerir pengkhianat.”

“Ayo, kita mesti bergegas. Posisi kita sudah diketahui."

Sementara di belakang, ketika yang lain tidak memperhatikan, Syamsul mengendap dan keluar dari barisan. Kemudian menghilangkan diri di balik semak-semak belukar.

Secarik kertas yang disimpannya dalam baju kemudian dikeluarkan dan diletakkan di bawah batu. Ia mematahkan beberapa ranting yang ada di situ.

“Hei, kembali...”

Syamsul yang mendengar teriakan itu bukannya kembali. Ja malah lari kearah hutan.

“Dorrr...”

Lelaki tu tidak bisa berbuat banyak. Tidak diperlukan banyak argumen atau penjelasan. Demi keselamatan dan keutuhan “rantai” apapun harus dilakukan.

Sebenarnya membunuh teman sendiri sangat menyakitkan bagi Wahyudi, Walau bagaimana juga Syamsul adalah teman baiknya. Mereka selalu bertukar pikiran satu sama lainnya.

Mereka juga bukanlah orang-orang lama di dalam "rantai". Mereka hanya alat bagi Beni. Alat yang jika 4 tidak berguna lagi akan dibuang. Alat yang jika sudah memberi celaka kepada tuannya akan dicampakkan. Dan persetan dengan "rantai" itu. Ja hanya perlu uang untuk makan keluarganya.

“Maaf kawan...”

Wahyudi meninggalkan jasad Syamsul yang tergeletak. Kemudian dia cepai menyusul pasukan yang ada di depan. Nafasnya terengah-engah. Seraut penyesalan terlihat di matanya. Sesampai di pasukan dia membisikkan sesatu di telinga Beni. Muka Beni berubah menjadi merah dan dadanya sesak.

Beni melepaskan tembakan ke udara saking marahnya.

“Pengkhianat..”

“Mengapa ada pengkhinat...”"

“Siapa lagi yang akan berkhianat...?”

”Ayo biar saya tembak...”

Tapi itu tidak lama, akal sehat sudah kembali.

Ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. paling tidak untuk menuju Aie Dingin, Dari posisinya sekarang ke Aie Dingin bisa ditempuh dua jam perjalanan.

“Kawan-kawan, kita harus bersikap biasa jika berpapasan dengan pasukan lain. Di hutan ini terlalu banyak pasukan-pasukan yang di luar komando,” tegasnya.

Mereka sengaja mengambil jalan melingkar. Dengan begitu sulit bagi pasukan lain untuk melacak keberadaan mereka. Sesampai di rimba Aie Dingin mereka mengambil arah ke jalan raya. Tiba-tiba pasukan Beni sudah bersiap mendengar derap sepatu serdadu yang ada di depan mereka. Mereka tahu itu pastilah tentara pusat. Namun mereka tetap bersiap untuk segala kemungkinan. Dengan cepat Beni mengambil sesutas tali dari dalam tasnya dan mengikat ke lengan.

“Kalian sudah pikun rupanya..”

“Maksud komandan..”

“Kalian sudah seperti tentara rimba saja.”

Mereka baru tersadar dari semua itu. Semenjak bergabung dengan pasukan rimba di tengah hutan mereka hampir lupa dengan posisi mereka sendiri sebagai agen komunis yang menyusup jauh ke dalam butan. Bagi pasukan pusat mereka sangat penting untuk memetakan lokasi musuh.

Mendengar ada beberapa pasukan rimba yang turun dari hutan. langsung saja beberapa tentara pusat yang sedang patroli mengarahkan senjata dan mengambil posisi tembak,

Suasana begitu panik. Tentara-tentara itu siap menembakkan senjatanya. Yang bagian depan sudah tiarap dan mengambil aba-aba untuk menembak. Sementara yang bagian belakang sudah siap dengan radio ingin mengontak pasukan yang lain.

Melihat gelagat seperti itu pasukan Beni juga bersiap untuk menembak. Sebagai pasukan khusus yang sudah berpengalaman di medan perang mereka langsung bergolek ke pinggir jalan dan siap menembak dengan senjatanya.

Suasana begitu tegang.

Salah sedikit saja bisa berakibat fatal.

“Komandan ...."

“Tunggu..”

“Jangan menembak...”

Suasana masih tegang dan mencekam. Kedua belah pihak masih membidik. “Komandan kenapa mereka tidak menembak,” ujar salah seorang pasukan pusat pada Sersan, komandannya.

“Tenang. Kita lihat perkembangan.”

Suasana semakin mencekam. Hampir setengah jam kondisi saling siaga.

Kedua belah pihak saling mengarahkan senjata. Dari kejauahan terlihat Beni mengibar-ngibarkan bendera merah.

Melihat hal itu, Sersan Sumito mengangkat tangan untuk memberi kode agar pasukannya tidak melakukan apa-apa.

“Rantai...”

Beni berkali-kali meneriakkan kata itu.

Mendengar kata sandi itu Sumito menjawab, “Besi untuk rantai,” akhirnya dia bangkit dari tempatnya semula tiarap.

Kemudian mendekat ke arah pasukan Beni dan merangkulnya dengan erat.

“Kawan..., kenapa tidak bilang dari tadi.”

“Kawan semakin sehat rupanya,” katanya.

Kemudian mereka seakan berbicara biasa tidak mau terlihat begitu akrab di hadapan pasukannya.

Kemudian Sumito memanggil anak buahnya dan mengatakan pasukan Beni adalah PRRI yang akan menyerah dan biarkan pasukan lain yang membereskannya.

Kemudian pasukan Beni masuk kembali ke hutan. Namun dari wajah Beni terlihat senyuman yang sangat dalam artinya.

“Informasi darimu kawan sungguh berarti,” katanya.

“Tentang apa Komandan,” tanya anak buahnya. Dengan informasi yang diberikan Suito kemudian Beni mematangkan kembali rencananya semula. Semangatnya muncul kembali.

“Truknya sudah ditemukan,” ujarnya pada beberapa orang anak buah.

“Apa?”

“Truk sudah ditemukan...”

“Truk ditemukan...”

“Ditemukan...”

Akhirnya pesan berantai itu sampai juga ke telinga pasukan yang berada di barisan paling belakang.

Tidak lama kemudian Beni mengumpulkan pasukannya. Mereka mematangkan lagi rencana yang semula sempat buyar.

“Kembali ke rencana semula...”

“Kelihatannya keberuntungan berpihak kepada kita,” katanya.

Kemudian ia menguraikan kembali rencana-rencana .yang sudah disusun seperti semula. Anak buahnya yang lain memperhatikan dengan cermat langkah-langkah yang akan mereka ambil. Sebuah rencana besar. Rencana yang tidak akan pernah terungkap ke publik. Rencana yang merupakan awal kekuasaan yang mutlak di tanah air.

Mereka paham dengan berjalannya rencana itu jabatan-jabatan empuk sudah menanti. Mereka tidak ingin hidup melarat. Ingin hidup tenang dalam kekayaan.

Ya. Keberhasilan kali ini akan menjadi penentu langkah penting. Artinya, mereka sudah memberantas masalah sampai ke akarnya. Tidak akan muncul lagi tokoh-tokoh hebat di negeri ini karena sumber lahirnya sudah dimusnahkan. Tidak akan muncul lagi benih-benih

Rimba-Rimba

unggul dari tanah Sumatera Barat karena mereka sudah kehilangan benih itu.

“Hahaha...”

Gelak tawa mereka memecah kesunyian hutan itu.

Pertama sekali mereka akan mengambil senjata dan TNT yang tersimpan dalam truk. Setelah barang didapat, pasukan dipecah menjadi dua bagian.

Pasukan pertama sebanyak 15 orang akan mencegat pasukan manapun yang akan masuk ke Sungai Abu. Mereka akan mencegat di Sarik Bawah. Hanya itu satu-satu jalan yang masuk ke Sungai Abu. Pasukan kedua langsung menuju ke Sungai Abu. Bahan-baban peledak itu akan ditanam di mulut yoa

“Ridwan bersama Mulyadi bertugas memasang bom. Kemudian Arman dan Alfi arahkan senjata ke dalam goa. Tembak semuanya. Sedangkan pasukan lain bersiap mengelilingi dinding-dinding. Jika ada yang keluar, kalian tembak mati semua. Saya sendiri yang akan memberi aba-aba. Waktunya, tepat ketika azan magrib.”

“Cerdik...cerdik..." ujar yang lain.

Beni manggut-manggut.

“Sekarang secepatnya kita temukan dutu truk itu. Dengan amunisi yang ada kita bisa menuntaskan misi ini.

“Bagaimana dengan pasukan rimba?"

“Tenang. Saya sudah memetakan semuanya. Tadi pagi saya memerintahkan lima orang untuk mengantar dokumen itu. Kamu tahu kepada siapa saya berikan?”

Ridwan tidak menjawab. Namun ia ingin sekali nendengar jawaban itu.

“Suroso.”

“Suroso?”

"Ya, Dia penanggungjawab semua operasi kita”


99

“Lalu siapa yang Letnan perintahkan untuk menyerahkan dokumen itu?”

“Siapa?”

"Datuak Gagah.”

“Datuak Gagah?”

Ridwan terkejut. Namun ia tidak mau menanyakan lebih jauh, Ia berharap mudah-mudahan Datuak Gagah bisa dipercaya dan berhasil dalam menjalankan misinya menemui Suroso.

Beni yakin sebentar lagi rimba-rimba akan dikepung pasukan pusat. Tentara rimba yang ada di dalamnya kalau tidak menyerah, ya, mati.

Sementara di belahan hutan lain, Datuak Gagah bersama empat orang temannya bergegas dan lari bagaikan dikejar hantu. Dokumen resmi yang ada dalam genggamannya harus diberikan dengan cepat. Dokumen itu harus diberikannya pada tangan yang tepat.

Ia tahu, sekarang ini Suroso sedang berada di kawasan Alahanpanjang. Ia harus berhasil menemuinya.

“Datuak, sebaiknya kita berhenti di sini. Mungkin sudah aman. Kita sudah keletihan,” teriak Sutan Manti yang ada di belakangnya. Sementara Maswir, Udin Raman dan Udin Gapuak sudah terengah-engah di belakang.

“Apa sudah aman?" katanya.

“Ya. Sebaiknya kita buka sekarang. Apa isi dokumen itu.”

“Saya kecewa Datuak. Saya..., saya menyesal. Kita semua sudah tertipu,” ujar Manti.

“Ya. Semua itu salah kita sendiri, mengapa kita bisa ditipu Beni itu,” kata Datuak.

Rimba-Rimba

“Bahkan kita mau mengkhianati teman-teman seperjuangan kita. Kita mengkhianati teman-teman kita semua, Mengkhianati ranah Minang.”

“Tapi dia salah untuk satu hal Datuak...”

“Yang namanya paham komunis tidak akan pernah sesuai dengan falsafah hidup orang Minang. “Adat basandi syara", syara” basandi Kitabullah. Semua itu sudah pasti dan tidak bisa ditawar lagi.”

“Ya, yang namanya orang Minang tidak ada yang mengakui bahwa Tuhan itu tidak ada.”

“Ya, mereka salah untuk yang satu ini.”

Di lembah itu, mereka menyesali yang sudah mereka kerjakan selama ini. Terpaksa. Hanya tiu satu kata yang ada di benak mereka. Jika perintah Beni tidak dilaksanakan mereka akan mati.

Mereka tahu siapa Beni. Ia sebenarnya orang yang kejam. Bahkan semenjak Beni menjadi pelatih mereka dulu, Beni sudah memperlihatkan kekejamannya. Tiga orang ditembak mati karena menolak perintah. Ketiganya dikatakan sebagai korban kecelakaan dalam latihan.

“Ayo cepat, kita buka sekarang.” |

“Abu, lihat keadaan sekeliling. Saya curiga Beni menyuruh anggota yang lain untuk mengikuti kita.”

“Baik...”

Kemudian Datuak bersama empat orang temannya membuka dokumen yang sangat rahasia yang harus diserahkan pada Suroso di Pasar Alahanpanjang itu.

Datuak membuka dokumen itu, alangkah terkejutnya mereka ternyata dokumen itu adalah sebuah peta.

“Peta?”

“Ya...peta lokasi pasukan PRRI," katanya.


101

Mereka tambah terkejut melihat bintang merah dan bintang hijau yang ada di dalam peta itu. Mereka tidak mengerti apa isinya, namun yang jclas itu adalah peta kekuatan dan fokasi pasukan rimba yang ada di hutan.

“Kita harus menebus kesalahan,” katanya.

“Baik. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menebus dosa kita.”

Kemudian mereka menghilang di balik semak-semak yang rimbun.

***