Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
PUTUSAN
Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang diajukan oleh:
[1.2] Pemohon Perkara 108/PHPU.B-VII/2009
Nama
:
H. M. Jusuf Kalla;
Tempat/Tanggal Lahir
:
Watampone, 15 Mei 1942;
Agama
:
Islam;
Pekerjaan
:
Wakil Presiden RI 2004-2009;
Kebangsaan
:
Indonesia;
Alamat
:
Jalan Diponegoro Nomor 2, Menteng, Jakarta Pusat;
Nama
:
H. Wiranto, SH;
Tempat/ Tanggal Lahir
:
Yogyakarta, 4 April 1947;
Agama
:
Islam;
Pekerjaan
:
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat;
Kebangsaan
:
Indonesia;
Alamat
:
Jalan Diponegoro Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat.
Selaku Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dengan Nomor Urut 3 (tiga), berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 26 Juli 2009 memberikan kuasa kepada Chairuman Harahap, S.H., M.H., Dr. Hj. Elza Syarief, S.H., M.H., Victor W. Nadapdap, S.H., M.M., Dr. Rufinus H. H., S.H., M.M., M.H., Dr. Andi M. Asrun, S.H., M.H., Bonaran Situmeang, S.H., M.H., Drs. Djasri Marin, S.H., Syamsul Huda, S.H., Nudirman Munir, S.H., M.A., H.M. Ali Abbas, S.H., Linda Sugianto, S.H., Zujan Marfa, S.H ., Purwoko J. Soemantri, S.H ., M.H ., Dr. H . Teguh Samudra, S.H ., M.H ., Dorel Almir, S.H ., MKn., H. Bachtiar Wahid, S.H ., kesemuanya Advokat/Penasihat Hukum/Pembela dari TIM ADVOKASI & HUKUM “JUSUF KALLA - WIRANTO”, yang berkedudukan di Jakarta, beralamat di Jalan Pakubuwono VI Nomor 100 Jakarta Selatan, Telepon (021) 7203207, Faksimili (021) 7243717, bertindak untuk sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Ibu Rumah Tangga/Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan;
Agama
:
Islam;
Alamat
:
Jalan Kebagusan IV Nomor 45, RT 010 RW 004, Kelurahan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jakarta;
KTP No.
:
09.5304.630147.0009;
Nama
:
H. Prabowo Subianto;
Tempat/tanggal lahir
:
Jakarta, 17 Oktober 1951;
Umur
:
58 tahun;
Pekerjaan
:
Purnawirawan/Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya;
Agama
:
Islam;
Alamat
:
Jalan Kemang V Nomor 21 C;
KTP No.
:
09.5303 .171051.7008;
Selaku Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dengan Nomor Urut 1 (satu), berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 25 Juli 2009 memberikan kuasa kepada Arteria Dahlan, S.T., S.H ., Mahendradatta, S.H ., M.H ., MA., Mohamad Assegaf, S.H. , Drs. Jack Sidabutar, S.H ., MM., M.Si., Apong Herlina, S.H ., M.H., Yosse Yuliandra, S.H ., Dipl.P.R ., Nicholay Aprilindo, S.H., M.H., Yuherman, S.H., M.H., Firman Wijaya, S.H ., Leonardy Putra Negara Siregar, S.H .,
Savero Eddy Yunus, S.H., Robert R. Mandolang, S.H ., dan Remon Ryan, S.H ., adalah para advokat yang tergabung dalam TIM HUKUM DAN ADVOKASI TIM KAMPANYE NASIONAL MEGA-PRABOWO, berdomisili dan beralamat kantor di
Jalan Teuku Cik Ditiro Nomor 43, Menteng, Jakarta Pusat, bertindak untuk sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk dan atas nama pemberi kuasa;
[1.4] Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkedudukan di Jakarta, Jalan Imam Bonjol Nomor 29 Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 1308/KPU/VII/2009 tanggal 30 Juli 2009 dan Nomor 1309/KPU/VII/2009 tanggal 30 Juli 2009, serta Surat Kuasa Subtitusi dari Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SK-046/A/JA/07/2009 tanggal 31 Juli 2009 dan Nomor: SK-047/A/JA/07/2009 tanggal 4 Agustus 2009 kepada: Edwin P. Situmorang, SH, MH ., Netty Firdaus, SH., Yoseph Suardi Sabda, SH., LL.M., Effendi Harahap, SH., Tyas Muharto, SH., Tobina Lan Siahaan, SH., Anton Hutabarat, SH., Drs. Didiek Soekarno, SH., Arwinda Sri Djuwita, SH., T.N .A . Kusumayudha, SH., Nur Tamam, SH., B. Maria Erna E, SH., MH., Muhammad Aqib, SH., Pudji Basuki Setijono, SH., Purwani Utami, SH., Henny Rosana, SH., Ivan Damanik, SH., Eva Rimna S. Meliala, SH., Tata Vain Sitanggang, SH., MH., Ayu Agung, S.Sos., SH., MH., Nurdayani, SH., Yesti Mariani Gultom, SH., MH., Satrya Ika Putra, SH., MH., Annissa Kusuma Hapsari, SH., MH., Cahyaning Nuratih W, SH., MH., Laswan, SH., Bambang Dwi Handoko, SH., Tukiyem, SH., Antonius Budi Satria, SH., MH., SRU Astuti, SH., Arie Eko Yuliearti, SH., MH., kesemuanya Jaksa Pengacara Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Republik Indonesia beralamat di Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dengan Nomor Urut 2, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 31 Juli 2009, memberikan kuasa kepada: DR. Amir Syamsuddin SH,. MH ., Yosef B. Badeoda SH., MH., H. Didi Supriyanto, SH., Inu Kertopati, SH., Harry Witjaksono, SH., DR. H . Sigit Binaji, SH, M.Hum., D RS. H .M. Utomo A. Karim T., SH., Herman Kadir, SH., MH., Didi Irawadi Syamsuddin, SH, MH., Zamaksari, SH, MH., Yandri Sudarso, SH, MH., Devita Hapsari SH., MH., Jusuf Siletty, SH., IR. K. Notonegoro, SH., Warakah Anhar, SH., Surya Wedia Ranasti, SH., Bambang Mulyono, SH., Muhajir Sadrudin, SH., MH., Asdar Thosibo, SH., Ade Irfan Pulungan, SH., Samsudin Arwan, SH., M. Joni, SH., MH., Mathew Ardy Mbalembout, SH., M. Wakil Kamal, SH., MH., Mega Sugoro, SH., Petuah Sirait, SH., Saefudin, SH., Arung Lusika, SH., MM., H.M. Kamal Singadirata, SH., N. Syairul Irwanto, SH., Syaifudin Umar, SH., Fajri S. Singadirata, SH., Wahyudin, SH., Arifin, SH., kesemuanya adalah Advokat-advokat yang berkedudukan di Jakarta, beralamat di Jalan Teuku Umar Nomor 51 Menteng, Jakarta Pusat, Telepon 021-3912284, Fax. 021-3145720, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa;
[1.6]Membaca permohonan dari Pemohon I dan Pemohon II;
Mendengar keterangan dari Pemohon I dan Pemohon II;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Termohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pihak Terkait Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih;
Memeriksa bukti-bukti;
Mendengar keterangan para Ahli dan para Saksi dari Pemohon I dan Pemohon II;
Membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon I dan Pemohon II, Termohon, dan Pihak Terkait Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon I telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 27 Juli 2009 yang diterima pada hari Senin, tanggal 27 Juli 2009 pukul 16.46 WIB dan diregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) dengan Nomor 108/PHPU.B-VII/2009 pada hari Rabu, tanggal 29 Juli 2009 pukul 10.30 WIB, dan Pemohon II telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 28 Juli 2009 yang diterima pada hari Selasa, tanggal 28 Juli 2009 pukul 08.48 WIB dan diregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu, tanggal 29 Juli 2009 pukul 11.00 WIB, mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Permohonan Pemohon I
1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.1. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan yang berkenaan dengan hasil Pemilihan Umum; 1.2. Bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dimana “Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari Kekuasaan Kehakiman”, berwenang dan memiliki misi yang mulia untuk menegakkan hukum dan keadilan, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, serta berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU MK ditegaskan kembali bahwa: “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”, telebih-lebih lagi bahwa berdasarkan Pasal 48 ayat (2) UU MK, setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat irah-irah: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) terhadap permohonan Pemohon benar-benar merupakan putusan yang adil bagi Pemohon;
1.3. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah berkali-kali memutuskan sengketa yang diajukan kepada Mahkamah yang mendasarkan putusan kepada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tersebut, antara lain Putusan Nomor 49/PHPU.D -VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Utara juncto Putusan Nomor 41/PHPU.D -VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang dalam pertimbangan hukumnya halaman 129 berbunyi:
[3.28] "Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa, Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undang-undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil penghitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang
menyebabkan terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan”;
Dengan demikian meskipun pertimbangan hukum di atas merupakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), maka di samping Pemilukada sama-sama rezim Pemilu dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah sejatinya harus konsisten terhadap pertimbangan hukum tersebut dalam memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
2. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (legal standing)
Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Termohon Nomor 295/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 29 Mei 2009 juncto Nomor 297/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 30 Mei 2009, bahwa Pemohon adalah Peserta Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 dengan Nomor Urut 3 (vide Bukti P-6 dan Bukti P-7), dengan merujuk kepada Pasal 74 ayat (1) huruf b UU MK yang berbunyi: “Pemohon adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden” dan Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berbunyi: “Para Pihak dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah pasangan calon sebagai Pemohon”, dengan demikian Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) selaku Pemohon dalam perkara a quo;
3. TENGGAT WAKTU PENGAJUAN PERMOHONAN
Bahwa Termohon telah menetapkan hasil perolehan suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 secara Nasional pada tanggal 25 Juli 2009 (vide Bukti P-1) dan berdasarkan Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden juncto Pasal 74 ayat (3) UU MK juncto Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Nomor 17 Tahun 2009, telah ditetapkan tenggat waktu pengajuan permohonan perkara Perselisihan Hasl Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah 3 x 24 jam setelah penetapan dan pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara Nasional, dan pada tanggal 27 Juli 2009 Pemohon telah mengajukan permohonannya, sehingga permohonan Pemohon diajukan masih dalam tenggat waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sehingga formal harus diterima;
4. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 365/Kpts/KPU/2009 tanggal 25 Juli 2009, Termohon telah menetapkan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 (vide P-1) sebagai berikut:
1.1. Pasangan Calon Nomor Urut 1, HJ. Megawati Soekarnoputri – H. Prabowo Subianto memperoleh 32.548.105 suara atau 26,79% dari suara nasional;
1.2. Pasangan Calon Nomor Urut 2, DR. H . Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono memperoleh 73.874.526 suara atau 60,80% dari suara nasional;
1.3. Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H. Wiranto memperoleh 15.081.814 suara atau 12,41% suara nasional;
2. Bahwa Termohon dalam menetapkan perolehan suara sebagaimana yang dimaksud dalam point 1 telah didahului dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang jelasnya sebagai berikut:
2.1. Bahwasanya Termohon (KPU) telah berkali-kali bertindak tidak adil dan memihak kepada salah satu Capres/Cawapres yaitu sebagaimana diberitakan di banyak media seperti pada Seputar Indonesia Tanggal 17 Juli 2009, yaitu dengan menyebarluaskan keseluruh Indonesia cara-cara pencontrengan dengan mencontreng Nomor Urut 2. Cara-cara seperti ini jelas sekali sangat merugikan Capres/Cawapres lainnya seperti Capres/Cawapres Nomor Urut 1 dan 3, dan hal ini sudah ada rekomendasi Bawaslu yang memutuskan bahwa KPU (Termohon) telah melakukan pelanggaran kode etik terkait pemasangan spanduk sosialisasi Pilpres 2009 yang diduga berpihak. Selain itu juga permintaan dari salah satu Capres untuk memundurkan hari-hari tertentu yang telah di tetapkan oleh Termohon (KPU) bahwa ternyata tanpa mengajak musyawarah atau persetujuan Capres/ Cawapres lainnya secara sewenang-wenang telah mengundurkan hari yang ditetapkan oleh KPU sendiri (dari tanggal 2 Juni menjadi tanggal 10 Juni 2009);
2.2. Bahwasanya KPU telah melakukan 4 pelanggaran hukum yang akan diuraikan lebih lanjut dalam gugatan ini yaitu:
1. KPU dengan telah sengaja atau setidak-tidaknya lalai dalam penyusunan DPT;
2. KPU dengan telah sengaja atau setidak-tidaknya lalai
menindaklanjuti temuan pasangan calon ataupun masyarakat,
bahkan Bawaslu terkait penyusunan DPT;
3. KPU dianggap telah sengaja mengeluarkan kebijakan
menghilangkan 69.000 TPS yang berpotensi mempengaruhi
pergerakan dan atau penghilangan sebanyak 34,5 juta suara
pemilih;
4. KPU telah melibatkan pihak asing yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden;
2.3. Bahwasanya selain itu juga, KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU Kabupaten, telah ditemukan sebanyak 150 kali pelanggaran jenis pelanggaran (Bukti Terlampir). Pelanggaran-pelanggaran seperti ini merata terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
2.4. Bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Termohon selaku Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) mempunyai tugas, wewenang, dan kewajiban dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rayat Daerah meliputi:
e. “Memutakhirkan data Pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkan sebagai daftar Pemilih”.
2.5 Bahwa demikian juga berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Termohon selaku Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) mempunyai tugas, wewenang, dan kewajiban dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi:
e. “Memutakhirkan data Pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkan sebagai daftar Pemilih”.
2.6. Bahwa ternyata dan terbukti Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilhan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat kesemrawutan, ketidakakuratan dan ketidakbenarannya karena ditemukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) ganda, nama yang sama terdaftar beberapa kali dalam satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan/atau berbeda Tempat Pemungutan Suara (TPS), pemilih yang mempunyai hak suara tidak terdaftar, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat RI pada sidang Paripurna tanggal 26 Mei 2009 telah memutuskan untuk melakukan Hak Angket terhadap ketidakbenaran DPT Pemilihan Legislatif tersebut... (Bukti P-8), sehingga sebenarnya sudah merupakan fakta hukum yang tidak perlu dibuktikan bahwa Termohon sudah mengetahui dengan jelas bahwa DPT pada Pemilu Legislatif adalah tidak benar sebagaimana mestinya.
2.7. Bahwa berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi:
KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPS menggunakan Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai Daftar Pemilih Sementara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan berdasarkan Pasal 29 ayat (5) yang berbunyi: Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus sudah ditetapkan 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
2.8. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 dimana amarnya antara lain bahwa bagi pemilih yang mempunyai hak pilih akan tetapi tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Pasport yang masih berlaku adalah juga membuktikan bahwa Termohon tidak melakukan tugas dan wewenang yang diberikan Undang Undang untuk melakukan pemutakhiran Daftar Pemilih, dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan 2 (dua) hari sebelum hari Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tanggal 8 Juli 2009 tidaklah menghilangkan pelanggaran hukum yang dilakukan Termohon yang tidak melakukan pemutakhiran Daftar Pemilih;
2.9. Bahwa Pemohon telah berkali-kali dan berulang-ulang meminta Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Termohon yaitu seingat Pemohon dimulai dengan lisan pada tanggal 19 Juni 2009 dan permintaan DPT secara tertulis pada tanggal 3 Juli 2009... (Bukti P-9), akan tetapi tidak pernah diberikan dengan berbagai alasan Termohon, yang seharusnya menurut Pasal 29 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bahwa DPT tersebut harus sudah ditetapkan Termohon 30 hari sebelum pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, atau 30 hari sebelum tanggal 8 Juli 2009;
2.10. Bahwa atas pemintaan Pemohon yang berkali-kali dan berulang-ulang tersebut, ternyata Termohon baru menyerahkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 7 Juli 2009 berupa “softcopy” (Bukti P-11), dan setelah dilakukan “penyisiran data” pada 115 kabupaten/Kota terdapat ketidakakuratan NIK dan Nama ganda (pemilih ganda) sebanyak 4.647.933 pemilih tersebar di 70 kabupaten/kota, sesuai dengan Surat Laporan Bersama Pengecekan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tim Kampanye Mega Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto yang diakui Termohon dengan membubuhkan tanda tangan (Bukti P-13);
2.11. Bahwa setelah Pemohon menerima Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 7 Juli 2009 berupa “softcopy” dan Pemohon telah melakukan penyisiran terhadap Daftar Pemilih Tetap yang diberikan Termohon tersebut, ternyata bahwa dari 474 kabupaten/kota dari 33 provinsi, terdapat masalah dan kekacauan Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nama, Tempat Tanggal Lahir dan Alamat yang sama/identik dan permasalahan lainnya sebagai berikut:
2.11.1. Dari 474 kabupaten yang verifikasi, ditemukan 87 kabupaten yang bermasalah serius diantaranya:
tidak terinci s.d . TPS (rekap saja) : 23 kabupaten/kota
Data kosong 36 kabupaten/kota.
Format PDF 11 kabupaten/kota
File isi tidak sesuai 3 kabupaten/kota
File berisi program 2 kabupaten.
File belum di proses 10 kabupaten/kota
File berisi DP4 2 kabupaten/kota
2.11.2. Dari 387 kabupaten terdapat sejumlah 123.975.343 orang yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka setelah Pemohon melakukan verifikasi berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) terdapat 25.303.054 orang pemilih yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama (vide Tabel 1.1.).
Tabel 1.1. Verifikasi Berdasarkan NIK
NO
PROVINSI
KAB/KOTA TERVERIFIKASI
PEMILIH TERVERIFIKASI
NIK
PEMILIH DIGANDAKAN
HASIL PENGGANDAAN
1
NAD
19
2,275,415
75,955
610,233
2
Sumatera Utara
27
7,180,923
275,083
1,938,355
3
Riau
9
2,577,932
95,887
829,303
4
Kepulauan Riau
6
1,120,793
30,058
135,586
5
Bengkulu
9
969,198
25,811
47,019
6
Sumatera Barat
18
2,895,672
71,799
1,307,218
7
Jambi
10
2,093,614
55,471
877,871
8
Bangka Belitung
6
619,905
16,479
159,088
9
Sumatera Selatan
12
3,576,681
66,733
844,537
10
Lampung
10
3,577,715
160,850
1,283,328
11
Jawa Barat
24
21,824,495
782,994
3,782,417
12
Banten
7
4,644,172
108,399
538,642
13
DKI Jakarta
2
1,285,290
33,567
219,429
14
Jawa Tengah
32
19,134,636
645,287
2,763,944
15
DI Yogyakarta
4
2,280,137
35,087
223,548
16
Jawa Timur
31
22,700,916
774,746
2,640,420
17
Kalimantan Timur
9
1,463,614
51,483
273,063
18
Kalimantan Tengah
13
528,645
12,258
151,051
19
Kalimantan Barat
13
3,015,165
102,331
803,916
20
Kalimantan Selatan
13
2,399,496
64,285
497,472
21
Bali
9
2,694,835
107,850
286,954
22
NTB
5
1,802,072
70,490
870,754
23
NTT
17
2,234,030
133,310
674,904
24
Sulawesi Selatan
16
3,821,639
106,521
825,864
25
Sulawesi Barat
4
544,628
22,278
223,379
26
Sulawesi Tengah
10
1,470,929
34,114
482,540
27
Sulawesi Tenggara
11
1,277,792
39,349
419,620
28
Gorontalo
5
384,085
18,481
102,233
29
Sulawesi Utara
13
1,449,529
71,036
744,850
30
Maluku
9
1,026,721
93,081
468,824
31
Maluku Utara
7
610,617
12,129
211,034
32
Papua
1
137,839
6,372
19,653
33
Papua Barat
6
356,213
7,848
46,005
TOTAL
387
123,975,343
4,207,422
25,303,054
PERSENTASE 20.41 %
2.11.3. Dari sejumlah 123.975.343 orang pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka setelah Pemohon melakukan verifikasi berdasarkan NIK dan NAMA terdapat 11.003 .117 orang pemilih memiliki NIK dan NAMA yang sama (vide Tabel 1.2.).
Tabel 1.2.
Verifikasi Berdasarkan NIK dan NAMA
NO
PROVINSI
KAB/KOTA TERVERIFIKASI
PEMILIH TERVERIFIKASI
NIK & NAMA
PEMILIH DIGANDAKAN
HASIL PENGGANDAAN
1
NAD
19
2,275,415
81,824
297,257
2
Sumatera Utara
27
7,180,923
205,383
969,116
3
Riau
9
2,577,932
137,423
448,703
4
Kepulauan Riau
6
1,120,793
48,114
184,913
5
Bengkulu
9
969,198
36,321
121,769
6
Sumatera Barat
18
2,895,672
131,583
387,274
7
Jambi
10
2,093,614
93,267
387,824
8
Bangka Belitung
6
619,905
18,197
64,542
9
Sumatera Selatan
12
3,576,681
86,268
304,712
10
Lampung
10
3,577,715
159,731
643,971
11
Jawa Barat
24
21,824,495
469,017
1,904,500
12
Banten
7
4,644,172
105,472
171,172
13
DKI Jakarta
2
1,285,290
26,889
92,913
14
Jawa Tengah
32
19,134,636
381,851
1,217,593
15
DI Yogyakarta
4
2,280,137
15,385
75,445
16
Jawa Timur
31
22,700,916
343,351
1,040,197
17
Kalimantan Timur
9
1,463,614
38,646
113,074
18
Kalimantan Tengah
13
528,645
18,486
64,903
19
Kalimantan Barat
13
3,015,165
54,784
199,670
20
Kalimantan Selatan
13
2,399,496
74,270
254,059
21
Bali
9
2,694,835
63,400
128,329
22
NTB
5
1,802,072
97,206
449,536
23
NTT
17
2,234,030
70,167
178,021
24
Sulawesi Selatan
16
3,821,639
83,955
361,197
25
Sulawesi Barat
4
544,628
13,608
59,094
26
Sulawesi Tengah
10
1,470,929
43,343
163,144
27
Sulawesi Tenggara
11
1,277,792
45,348
212,272
28
Gorontalo
5
384,085
18,371
35,891
29
Sulawesi Utara
13
1,449,529
92,058
290,227
30
Maluku
9
1,026,721
30,724
117,876
31
Maluku Utara
7
610,617
15,977
38,350
32
Papua
1
137,839
1,443
3,253
33
Papua Barat
6
356,213
6,717
22,320
TOTAL
387
123,975,343
3,108,579
11,003,117
PERSENTASE 8.88 %
2.11.4. Dari sejumlah 123.975.343 orang pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka setelah dilakukan verifikasi berdasarkan NIK, NAMA dan TEMPAT TANGGAL LAHIR terdapat 6.026.805 orang pemilih yang memiliki NIK, NAMA dan TEMPAT TANGGAL LAHIR yang sama (vide Tabel 1.3.).
Tabel 1.3. Verifikasi Berdasarkan NIK, NAMA, TEMPAT TANGGAL LAHIR
NO
PROVINSI
KAB/KOTA TERVERIFIKASI
PEMILIH TERVERIFIKASI
NIK, NAMA & TTL
PEMILIH DIGANDAKAN
HASIL PENGGANDAAN
1
NAD
19
2,275,415
39,761
85,979
2
Sumatera Utara
27
7,180,923
146,670
710,478
3
Riau
9
2,577,932
100,912
212,907
4
Kepulauan Riau
6
1,120,793
28,637
99,162
5
Bengkulu
9
969,198
17,154
41,152
6
Sumatera Barat
18
2,895,672
60,797
184,396
7
Jambi
10
2,093,614
33,687
100,843
8
Bangka Belitung
6
619,905
9,919
20,022
9
Sumatera Selatan
12
3,576,681
72,627
288,464
10
Lampung
10
3,577,715
102,700
247,056
11
Jawa Barat
24
21,824,495
356,733
845,242
12
Banten
7
4,644,172
49,939
115,082
13
DKI Jakarta
2
1,285,290
13,671
29,639
14
Jawa Tengah
32
19,134,636
366,532
746,215
15
DI Yogyakarta
4
2,280,137
4,934
14,230
16
Jawa Timur
31
22,700,916
266,470
962,058
17
Kalimantan Timur
9
1,463,614
33,527
5,934
18
Kalimantan Tengah
13
528,645
8,615
19,166
19
Kalimantan Barat
13
3,015,165
20,745
50,569
20
Kalimantan Selatan
13
2,399,496
45,816
111,624
21
Bali
9
2,694,835
58,754
118,047
22
NTB
5
1,802,072
51,485
157,734
23
NTT
17
2,234,030
51,238
120,424
24
Sulawesi Selatan
16
3,821,639
56,956
192,055
25
Sulawesi Barat
4
544,628
1,879
3,849
26
Sulawesi Tengah
10
1,470,929
19,383
61,260
27
Sulawesi Tenggara
11
1,277,792
23,908
70,102
28
Gorontalo
5
384,085
14,743
29,998
29
Sulawesi Utara
13
1,449,529
73,992
263,095
30
Maluku
9
1,026,721
34,893
80,149
31
Maluku Utara
7
610,617
9,667
22,507
32
Papua
1
137,839
1,425
3,217
33
Papua Barat
6
356,213
3,427
14,150
TOTAL
387
123,975,343
2,181,596
6,026,805
PERSENTASE 4.86 %
2.11.5. Dari sejumlah 123.975.343 orang pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka setelah Pemohon melakukan virifikasi berdasarkan NIK, NAMA, TEMPAT TANGGAL LAHIR dan ALAMAT terdapat 4.956.102 orang pemilih yang memiliki NIK, NAMA, TEMPAT TANGGAL LAHIR dan ALAMAT yang sama (vide Tabel 1.4.).
Tabel 1.4 Verifikasi Berdasarkan NIK, NAMA, TEMPAT TANGGAL LAHIR, dan ALAMAT
NO
PROVINSI
KAB/KOTA TERVERIFIKASI
PEMILIH TERVERIFIKASI
NIK, NAMA, TTL & ALAMAT
PEMILIH DIGANDAKAN
HASIL PENGGANDAAN
1
NAD
19
2,275,415
35,124
75,814
2
Sumatera Utara
27
7,180,923
140,761
696,717
3
Riau
9
2,577,932
93,276
193,259
4
Kepulauan Riau
6
1,120,793
27,538
96,479
5
Bengkulu
9
969,198
15,330
35,082
6
Sumatera Barat
18
2,895,672
49,558
128,278
7
Jambi
10
2,093,614
28,908
89,550
8
Bangka Belitung
6
619,905
9,176
18,364
9
Sumatera Selatan
12
3,576,681
46,911
104,637
10
Lampung
10
3,577,715
96,830
233,095
11
Jawa Barat
24
21,824,495
272,243
598,835
12
Banten
7
4,644,172
37,892
86,212
13
DKI Jakarta
2
1,285,290
10,216
22,650
14
Jawa Tengah
32
19,134,636
329,814
619,488
15
DI Yogyakarta
4
2,280,137
2,782
9,758
16
Jawa Timur
31
22,700,916
240,542
584,668
17
Kalimantan Timur
9
1,463,614
30,172
85,512
18
Kalimantan Tengah
13
528,645
6,436
13,896
19
Kalimantan Barat
13
3,015,165
17,942
44,713
20
Kalimantan Selatan
13
2,399,496
41,675
93,208
21
Bali
9
2,694,835
57,503
115,306
22
NTB
5
1,802,072
48,322
150,387
23
NTT
17
2,234,030
47,231
107,606
24
Sulawesi Selatan
16
3,821,639
42,202
187,739
25
Sulawesi Barat
4
544,628
1,302
2,682
26
Sulawesi Tengah
10
1,470,929
17,724
57,409
27
Sul-Tenggara
11
1,277,792
20,530
61,612
28
Gorontalo
5
384,085
13,530
27,696
29
Sulawesi Utara
13
1,449,529
72,064
258,405
30
Maluku
9
1,026,721
30,239
76,919
31
Maluku Utara
7
610,617
8,554
15,050
32
Papua
1
137,839
1,409
3,181
33
Papua Barat
6
356,213
3,136
61,895
TOTAL
387
123,975,343
1,896,872
4,956,102
PERSENTASE 4.00%
2.12.Bahwa Termohon telah mengakui secara tegas pada Harian “Koran Jakarta” Kamis tanggal 23 Juli 2009, dan Harian “Berita Kota”, Kamis tanggal 23 Juli 2009 yang menyatakan bahwa Termohon telah 3 (tiga) kali melakukan Perubahan terhadap Daftar Pemilih Tetap (DPT) yaitu pada tanggal 31 Mei 2009 Termohon telah menetapkan DPT Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) sebanyak 176.367.056 pemilih dan Termohon melakukan perubahan tanggal 8 Juni 2009 menjadi 176.395.015 pemilih, dan kemudian dua hari menjelang pemingutan suara Pilpres yaitu pada tanggal 6 Juli 2009 Termohon kembali melakukan perubahan DPT menjadi 176.441.434 pemilih (Bukti P-14 dan Bukti P-16).
2.13.Bahwa ternyata Surat Keputusan Termohon tersebut adalah perobahan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap yang didasarkan pada Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 untuk menentukan pendistribusian logistik Pemilu dan itupun sudah 3 (tiga) kali dirubah Termohon dan dengan demikian Termohon tidak pernah menetapkan Daftar Pemilih Tetap sesuai dengan Pasal 29 ayat (5) (Bukti P-17a, Bukti P-17b, Bukti P-17c).
2.14.Bahwa jumlah pemilih yang terdapat dalam DPT “softcopy” yang diserahkan Termohon kepada Pemohon di setiap provinsi berbeda dengan jumlah pemilih yang terdapat pada Formulir Rekapitulasi DC Provinsi yang bersangkutan: Lihat Tabel 2.
Tabel 2.1 PERBANDINGAN JUMLAH PEMILIH BERDASARKAN DPT DC-1 PPWP DENGAN DATA SOFTCOPY DARI KPU TANGGAL 7 JULI 2009
NO
PROVINSI
DPT PROV. (DC-1 PPWP)
DPT PROV. (DC-1 PPWP) SETELAH DIKURANGI DATA YANG TIDAK DIPROSES (A)
DPT SOFTCOPY KPU TGL 7 JULI 2009 YANG DAPAT DIPROSES (B)
SELISIH (A-B)
1
ACEH
3,008,235
2,699,713
2,275,415
424,298
2
SUMATERA UTARA
9,472,577
8,223,570
7,180,923
1,042,647
3
SUMATERA B ARAT
3,321,507
3,078,977
2,895,672
183,305
4
KEPULAUAN RIAU
1,243,586
1,243,586
1,120,793
122,793
5
RIAU
3,647,420
2,756,710
2,577,932
178,778
6
BENGKULU
1,273,212
1,190,348
969,198
221,150
7
JAMBI
2,198,902
2,198,902
2,093,614
105,288
8
SUMATERA SELATAN
5,314,087
4,594,400
3,576,681
1,017,719
9
BANGKA BELITUNG
833,096
719,432
619,905
99,527
10
LAMPUNG
5,496,836
5,496,836
3,577,715
1,919,121
11
DKI JAKARTA
7,668,058
1,286,195
1,285,290
905
12
JAWA BARAT
30,124,175
27, 279,662
21,824,495
5,455,167
13
BANTEN
7,152,428
7,152,428
4,644,172
2,508,256
14
JAWA TENGAH
26,323,595
23,845,942
19,134,636
4,711,306
15
D.I. YOGYAKARTA
2,780,987
2,436,137
2,280,137
156,000
16
JAWA TIMUR
29,770,268
24,974,976
22,700,916
2,274,060
17
BALI
2,696,817
2,696,817
2,694,835
1,982
18
NTB
3,242,086
1,856,122
1,802,072
54,050
19
NTT
2,813,603
2,357,182
2,234,030
123,152
20
KALIMANTAN TIMUR
2,474,351
1,585,277
1,463,614
121,663
21
KALIMANTAN TENGAH
1,607,949
1,514,910
528,645
986,265
22
KALIMANTAN BARAT
3,217,953
3,043,337
3,015,165
28,172
23
KALIMANTAN SELATAN
2,593,599
2,593,599
2,399,496
194,103
24
SULAWESI SELATAN
5,834,408
4,248,637
3,821,639
426,998
25
SULAWESI TENGAH
1,760,709
1,760,709
1,470,929
289,780
26
SULAWESI TENGGARA
1,558,299
1,468,827
1,277,792
191,035
27
GORONTALO
710,097
583,658
384,085
199,573
28
SULAWESI UTARA
1,743,009
1,743,009
1,449,529
293,480
29
SULAWESI BARAT
786,556
559,705
544,628
15,077
30
MALUKU
1,062,380
1,062,380
1,026,721
35,659
31
MALUKU UTARA
739,218
651,196
610,617
40,579
32
PAPUA
1,269,860
137,839
137,839
0
33
PAPUA BARAT
573,356
356,213
356,213
0
TOTAL
174,313,219
147,397,231
123.975.343
23.421.888
Tabel 2.2 DPT SESUAI BERITA ACARA DARI KPU PROV. (DC-1 PPWP) YANG TIDAK DISERTAKAN DALAM PERBANDINGAN
DENGAN DPT ELEKTRONIK DATA/SOFTCOPY DARI
NO.
PROVINSI
KABUPATEN/ KOTA
JMLH DPT PER KAB/ KOTA
TOTAL
1
ACEH
Aceh Jaya
51,756
Aceh Tengah
115,431
Kota Lhoksemawe
118,880
Kota Sabang
22,455
308,522
2
SUMATERA UTARA
Simalungun
602,081
Dairi
185,078
Batu Bara
269,385
Kota Pematang Siantar
192,463
1,249,007
3
SUMATERA BARAT
Solok
242,530
242,530
4
RIAU
Pekan Baru
535,742
Rokan Hilir
354,968
890, 710
5
BENGKULU
Kaur
82,864
82,864
6
SUMATERA SELATAN
Kota Pagar Alam
94,494
Musi Banyuasin
391,818
Ogan Komering Ulu
233,375
719,687
7
BANGKA BELITUNG
Bangka Barat
113,664
113, 664
8
DKI JAKARTA
Jakarta Timur
2,222,190
Jakarta Pusat
810,743
Jakarta Barat
1,688,043
Jakarta Selatan
1,660,887
6,381,863
9
JAWA BARAT
Kota Bandung
1,699,033
Kota Depok
1,145,480
2,844,513
10
JAWA TENGAH
Kota Semarang
1,094,832
Boyolali
768,093
Purworejo
614,728
2,477,653
11
D.I.YOGYAKARTA
Kulonprogo
344,850
344,850
12
JAWA TIMUR
Ponorogo
759,767
Magetan
541,801
Jombang
976,127
Kota Madiun
146,165
Lamongan
1,040,552
Bangkalan
709,019
Pamekasan
621,861
4,795,292
13
NUSA TENGGARA BARAT
Bima
300,902
Dompu
146,641
Kota Bima
100,441
Lombok Timur
837,980
1,385,964
14
NUSA TENGGARA TIMUR
Ende
163,439
Sumba Tengah
35,683
Timur Tengah Selatan
257,299
456,421
15
KALIMANTAN TIMUR
Bulungan
73,573
Kota Bontang
101,133
Kota Tarakan
130,201
Kutai Kertanegara
433,553
Pasir
150,614
889, 074
16
KALIMANTAN TENGAH
Barito Utara
93,039
93,039
17
KALIMANTAN BARAT
Pontianak
174,616
174, 616
18
SULAWESI SELATAN
Luwu
239,827
Pinrang
246,257
Sidenreng Rappang
202,019
Takallar
191,710
Tanatoraja
300,384
Wajo
299,963
Palopo
105,611
1,585,771
19
SULAWESI TENGGARA
Kolaka Utara
89,472
89,472
20
GORONTALO
Kota Gorontalo
126,439
126, 439
21
SULAWESI BARAT
Mamuju
226,851
226, 851
22
MALUKU UTARA
Sula
88,022
88,022
23
PAPUA
Kota Jayapura
204,213
Jayapura
83,683
Keerom
37,437
Yahukimo
215,254
Peg.Bintang
66,089
Boven Diguel
38,613
Marauke
127,841
Mapi
51,587
Yalimo
29,197
Nduga
35,134
Lanny Jaya
110,658
Mamberamo Tengah
25,981
Puncak Jaya
106,334
1,132,021
24
PAPUA BARAT
Manokwari
145,492
Raja Ampat
30,070
Teluk Binuni
41,581
217, 143
GRAND TOTAL
26,915,988
KPU TANGGAL 7 JULI 2009
2.15. PENGGELEMBUNGAN SUARA
Bahwa Termohon telah melakukan penggelembungan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 Susilo Bambang Yudhoyono - Budiono yang diambil dari suara fiktif sejumlah 25.303.054, sehingga jika suara fiktif tersebut dikurangi dari hasil suara versi Termohon untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono – Prof Dr. Budiono sebesar 73.874.562 dikurangi 25.303.054 sama dengan 48.571.408;
2.16. PENGURANGAN SUARA
Bahwa Termohon telah melakukan pengurangan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 3 H M Jusuf Kalla – H . Wiranto yakni dengan melakukan pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sebelumnya pada Pemilu Legislatif sebanyak 519.000 TPS menjadi 450.000 TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diakui oleh Termohon pada Harian Kompas, Kamis tanggal 23 Juli 2009 (Bukti P-15). Bahwa meskipun dimungkinkan pengurangan TPS tersebut karena adanya peraturan yang mnyebutkan bahwa untuk Pilpres di setiap TPS ditetapkan pemilihnya maksimal berjumlah 800 orang per TPS yang berbeda dengan Pemilu Legislatif sebanyak 500 orang per TPS, akan tetapi mengingat perubahan-perubahan DPT yang berkali-kali menyebabkan Termohon tidak mengumumkan dan mengetahui dimana saja pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dimaksud, sehingga Pemohon kehilangan suara sebesar 70 % dari total suara sebesar 69.000 TPS X 500 suara/TPS = 34.500.000, yaitu sebesar 24.150.000. Sehingga seharusnya suara yang
diperoleh Pasangan calon Nomor 3 adalah 15.081.814 ditambah 24.150.000 sama dengan 39.231.814 suara;
2.17 Bahwasannya terbukti di Provinsi Papua berdasarkan berita harian KOMPAS tertanggal 25 Juli 2009 dikatakan partisipasi pemilih di 5 kabupaten/kota di Papua seratus persen, artinya akan ada pemilih fiktif 20,5% di 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Papua. Jelas sekali dan diduga kuat bahwa PPS di tiap-tiap TPS telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dengan cara mencontreng sendiri begitu banyak Pemilih Ganda di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Papua;
2.18 Bahwa pada Pilpres tanggal 8 Juli 2009 ditemukan beredar formulir C-1 (Bukti P-17), kertas untuk mencatat hasil perolehan suara sudah dibagikan kepada saksi kandidat tertentu sebelum perhitungan suara dan nama
Pasangan Calon Nomor Urut 2 telah terketik rapi, dan ternyata formulir C-1 yang menyerupai dokumen resmi yang dikeluarkan Termohon dibuat Partai Demokrat sebagaimana diakui oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie ( Majalah Tempo edisi 13 – 19 Juli 2009 halaman 31 ) (Bukti P-18);
2.19 Bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka Termohon berkewajiban:
a. Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu secara tepat waktu;
b. Menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat;
Tentang kewajiban tersebut telah tidak dijalankan Termohon, dengan demikian Termohon telah melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyangkut sumpah/janji yang berbunyi: “bahwa saya akan memenuhi tugas dan kewajiban saya sebagai anggota KPU dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; Dengan demikian Termohon telah memenuhi Pasal 29 ayat (1) huruf c juncto Pasal 29 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 untuk diberhentikan;
2.20. Bahwa menurut IFES yang membantu penghitungan suara dari KPU yang menyatakan bahwa hasil penghitungan manual Susilo Bambang Yudoyono 47,32 %;
3. Bahwa dari uraian pelanggaran yang dilakukan Termohon telah merugikan suara Pemohon, sehingga seharusnya perolehan suara Pemohon adalah sebagai berikut:
a. Suara Pemohon versi Termohon yaitu sebesar 15.081.814 suara;
b. Kehilangan suara Pemohon akibat Pengurangan TPS adalah sebesar
24.150.000 suara;
Total perolehan suara Pemohon adalah sebesar 15.081.814 ditambah
24.150.000 sama dengan 39.231.814
4. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perolehan suara hasil pemilihan umum masing-masing Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden urutan yang benar menurut versi Pemohon adalah sebagai berikut:
1. Pasangan Calon Nomor Urut 2, DR. H . Susilo Bambang Yudhoyono–
Prof. Dr. Budiono = 48.571.408 suara atau 40,36 % dari suara nasional;
2. Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H. Wiranto =
39.231.814 suara atau 32,59 % dari suara nasional;
3. Pasangan Calon Nomor Urut 1, HJ. Megawati Sukarnoputri – H. Prabowo Subianto = 32.548.105 suara atau 27,04 % dari suara
nasional;
5. Bahwa berdasarkan perolehan suara menurut Pemohon tersebut, maka seharusnya Pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2009 - 2014 dilaksanakan 2 (dua) putaran dengan peserta sebagai berikut:
1. Pasangan Calon Nomor Urut 2, Dr. H . Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono = 48.571.408 suara atau 40,36 % dari suara nasional;
2. Pasangan Calon Nomor Urut 3, H.M . Jusuf Kalla – H . Wiranto =
39.231.814 suara atau 32,59 % dari suara nasional; Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas terbukti:
Bahwa Termohon tidak melakukan pemutakhiran Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Legislatif sebagai dasar Daftar Pemilih Sementara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, meskipun Dewan Perwakilan Rakyat RI telah melakukan Hak Angket terhadap DPT Pemilu Legislatif, ternyata Termohon tetap tidak melakukan pemutakhiran data menjadi Daftar Pemilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara benar, dengan demikian jelas Termohon telah melakukan pelanggaran hukum yang sistemik dan masif dan juga merupakan tindakan kesengajaan yang mengakibatkan pemilih kehilangan hak pilihnya.
Bahwa berdasarkan softcopy DPT yang diterima Pemohon dari Termohon (KPU) tanggal 7 Juli 2009 jam 00.00 WIB terbukti terdapat 25.303.054 Nomor Induk Kependudukan (NIK) Ganda, 11.003.117 NIK, Nama Ganda, 6.026.805 NIK, Nama, Tempat Tanggal Lahir Ganda dan 4.956 .102 NIK, Nama, Tempat Tanggal Lahir, Alamat Ganda, yang berpotensi menguntungkan salah satu pasangan Capres/Cawapres tertentu.
Bahwa banyak warga negara yang berhak memilih tetapi tidak dapat menggunakan hak pilih akibat tidak terdaftar dalam DPT, dan juga banyak warga negara yang berhak memilih tetapi tidak dapat menggunakan hak pilih karena mereka tidak pernah mengetahui bahwa dapat memberikan suara dengan cara memakai KTP ataupun paspor sebagaimana diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 pada tanggal 6 Juli 2009 jam 17.00 WIB atau hanya sekitar 31 jam sebelum pemberian suara, maka tidak mungkin KPU (Termohon) dapat melakukan sosialisasi kepada seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa akibat KPU tidak dapat melakukan sosialisasi kepada seluruh rakyat Indonesia, sehingga banyak WNI tidak dapat menggunakan hak suaranya yang merupakan hak konstitusional warga negara (the right to vote), sehingga mempengaruhi perolehan suara bagi Pemohon.
Bahwa ternyata KPU telah terbukti menghilangkan 69.000 TPS yang mengakibatkan banyak WNI yang memilik hak suara tidak lagi terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan sebagai Pemilih tidak lagi mengetahui dimana TPS tempat mereka menggunakan hak pilihnya, sehingga dengan demikian telah sangat mempengaruhi perolehan suara bagi Pemohon.
Bahwa Termohon dalam menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, dengan sengaja telah melanggar hukum yang berlaku, termasuk asas Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, setidak-tidaknya Termohon telah melanggar asas: - Kepastian Hukum; - Profesionalitas; -Keterbukaan;
Bahwa dengan demikian terbukti Termohon telah melakukan pelanggaran hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, sehingga Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang didasarkan pada pelanggaran hukum adalah menjadi cacat hukum.
Bahwa dari uraian pelanggaran yang dilakukan Termohon telah merugikan suara Pemohon, sehingga seharusnya perolehan suara Pemohon adalah sebagai berikut: a. Suara Pemohon versi Termohon yaitu sebesar 15.081.814 suara; b. Kehilangan suara Pemohon akibat pengurangan TPS adalah sebesar 24.150.000 suara.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perolehan suara hasil Pemilihan Umum masing-masing Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden urutan yang benar menurut versi Pemohon adalah sebagai berikut: a. Pasangan Calon Nomor Urut 2, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono = 48.571.408 suara atau 40,36 % dari suara nasional; b. Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H . Wiranto = 39.231.814 suara atau 32,59 % dari suara nasional; c. Pasangan Calon Nomor Urut 1, Hj. Megawati Sukarnoputri – H. Prabowo Subianto = 32.548.105 suara atau 27,04 % dari suara nasional;
Bahwa berdasarkan perolehan suara menurut Pemohon tersebut, maka seharusnya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden R.I. Tahun 2009 - 2014 dilaksanakan 2 (dua) putaran dengan peserta pada putaran kedua adalah sebagai berikut:
Pasangan Calon Nomor Urut 2, Dr.H . Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono, = 48.571.408 suara atau 40,36 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla - H. Wiranto = 39.231.814 suara atau 32,59 % dari suara nasional;
Berdasarkan keseluruhan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan:
PRIMAIR
Mengabulkan Permohonan Pemohon Seluruhnya;
Menyatakan batal dan tidak memilik kekuatan hukum mengikat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 sebagai berikut:
Pasangan Calon Nomor Urut 1, Hj. Megawati Sukarnoputri – H. Prabowo Subianto 32.548.105 suara atau 26,79 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 2, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono, 73.874.526 suara atau 60,80 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H . Wiranto = 15.081.814 suara atau 12,41 % dari suara nasional;
Menyatakan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan pengumuman hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 yang benar menurut Pemohon adalah sebagai berikut:
Pasangan Calon Nomor Urut 2, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono = 48.571.408 suara atau 40,36 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H . Wiranto = 39.231.814 suara atau 32,59 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 1, Hj. Megawati Sukarnoputri – H. Prabowo Subianto = 32.548.105 suara atau 27,04 % dari suara nasional;
Menyatakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009-2014 dilaksanakan 2 (dua) putaran dengan peserta pada putaran kedua adalah sebagai berikut:
Pasangan Calon Nomor Urut 2, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono = 48.571.408 suara atau 40,36 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H . Wiranto = 39.231.814 suara atau 32,59 % dari suara nasional;
Memerintahkan kepada Termohon untuk melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009-2014 putaran ke- 2 (dua) dengan peserta pada putaran kedua adalah sebagai berikut:
Pasangan Calon Nomor Urut 2, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono = 48.571.408 suara atau 40,36 % dari suara nasional.
Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H . Wiranto = 39.231.814 suara atau 32,59 % dari suara nasional.
Paling lambat 1 (satu) bulan sejak putusan ini dibatalkan
Memerintahkan kepada Termohon untuk mematuhi dan melaksanakan Putusan ini.
SUBSIDAIR
Menyatakan Termohon telah melakukan pelanggaran hukum dalam menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Menyatakan pemungutan suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tanggal 8 Juli 20099 adalah cacat hukum dan tidak sah;
Menyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 sebagai berikut:
Pasangan Calon Nomor Urut 1, Hj. Megawati Sukarnoputri – H. Prabowo Subianto 32.548.105 suara atau 26,79 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 2, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono – Prof. Dr. Budiono, 73.874.526 suara atau 60,80 % dari suara nasional;
Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. M. Jusuf Kalla – H . Wiranto = 15.081.814 suara atau 12,41 % dari suara nasional;
4. Memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemutakhiran DPT dan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia diseluruh wilayah Republik Indonesia;
5. Memerintahkan kepada Termohon untuk melaksanakan Pemutakhiran DPT dan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia diseluruh wilayah Republik Indonesia paling lambat 6 bulan sejak putusan ini diucapkan;
6. Memerintahkan Presiden memberhentikan Termohon sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
LEBIH SUBSIDAIR
Apabila Mahkamah Konstitusi berpndapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Permohonan Pemohon II
Sebagai satu kesatuan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam permohonan Keberatan Pemohon, Pemohon dalam permohonan keberatannya terlebih dahulu menjelaskan mengenai kronologis peristiwa hukum terjadinya perselisihan dan/atau sengketa hasil penghitungan suara dan ilustrasi mengenai indikasi terjadinya kesalahan dan/atau kecurangan hasil penghitungan suara pada
tahapan, sejak dari tahapan pendataan daftar pemilih, pemungutan suara dan penghitungan suara di setiap tingkatan penghitungan suara yang dipenuhi hal-hal yang kontroversial, tidak netral dan bertentangan dengan prinsip due process of law dan merupakan pengingkaran terhadap fair proceeding yang jelas melawan hukum;
Adapun maksud dari penjelasan tersebut adalah tidak lain hanya sebagai suatu deskripsi mengenai latar belakang perkara a quo, agar Majelis Hakim Konstitusi sebagai pemeriksa perkara a quo dapat memperoleh gambaran yang jelas dalam memeriksa dan mengadili sengketa hasil penghitungan suara ini;
Selanjutnya perkenankanlah Pemohon menguraikan secara jelas dan rinci perihal dasar diajukannya keberatan Pemohon, sebagaimana Pemohon uraikan di bawah ini: I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengemban tugas sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, keadaan mana demi hukum menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi dalam konteks ketatanegaraan, satu dan lain ditujukan semata-mata guna melaksanakan konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi;
Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan tentang Pemilu sebebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), termasuk di dalamnya menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 22E ayat (2) UUD 1945];
Bahwa terkait dengan kewenangan dimaksud, dan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, apabila terdapat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang keberatan terhadap hasil perhitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oleh Termohon, maka dapat mengajukan keberatan pada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian dan oleh karenanya permohonan penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi terkait Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 telah dilakukan Pemohon sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan serta dengan memperhatikan kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi; II. LEGAL STANDING/KEDUDUKAN HUKUM
Bahwa Pemohon adalah Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode Tahun 2009-2014, yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum dengan Nomor Urut 1, sebagaimana ternyata dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 295/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Menjadi Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 (vide Bukti “P-1”) juncto Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 297/Kpts/KPU/Tahun 2009 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Menjadi Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 (vide Bukti “P-2”);
Bahwa pelaksanaan pemungutan suara dalam rangka Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia telah dilaksanakan oleh Termohon pada hari Rabu tanggal 8 Juli 2009;
Bahwa Pemohon dalam kesempatan ini berkehendak untuk mengajukan keberatan dan permohonan pembatalan sekaligus permohonan penyelesaian perselisihan atas Penetapan Rekapitulasi Penghitungan Suara Tahap Akhir Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2009-2014 yang ditetapkan oleh Termohon dengan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 (vide Bukti “P-3”) juncto Berita Acara Komisi Pemilihan Umum Nomor 130/BA/VII/Tahun 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 (vide Bukti “P-4”) juncto Berita Acara Komisi Pemilihan Umum Nomor 129/BA/KPU/VII/Tahun 2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Nasional Tahun 2009 (vide Bukti “P-5”) [“KEPUTUSAN KPU Nomor 365/2009”] di Mahkamah Konstitusi; III. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN PERMOHONAN
Bahwa berkenaan dengan pengajuan permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon, dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang ditegaskan kemudian dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Permohonan diatur secara tegas bahwa pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi dilakukan dalam tenggat waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak sejak Termohon mengumumkan penetapan perolehan suara secara nasional;
Bahwa pengumuman KPU sebagaimana dimaksud dalam Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 dilakukan pada hari Sabtu tanggal 25 bulan Juli tahun 2009 pukul 10.20 WIB, sedangkan Pemohon mendaftarkan permohonannya ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 28 bulan Juli tahun 2009 pukul 09.00 WIB. Sehingga dengan
demikian dan oleh karenanya maka jangka waktu pengajuan keberatan Pemohon berakhir pada tanggal 28 Juli 2009 Pukul 10.20 WIB, dengan demikian mengingat pengajuan pemohonan pembatalan ini Pemohon telah ajukan ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2009 Pukul 09.00 WIB, dengan demikian pengajuan permohonan pembatalan ini masih dalam tenggang waktu yang ditetapkan Undang-Undang, dan
oleh karenanya demi hukum mohon perkenan Majelis Hakim
Konstitusi pemeriksa perkara a quo berkenan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara a quo;
IV. POKOK PERMOHONAN
Bahwa Majelis Hakim Konstitusi pemeriksa perkara a quo yang terhormat, sebagai pembuka dari permohonan pembatalan Pemohon ini akan diuraikan kembali duduk perkara (posita) dari permohonan Pemohon berkenaan dengan perselisihan hasil penghitungan suara sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009,
yang telah ditetapkan dan diputus oleh Termohon sehingga mengakibatkan kerugian bagi jumlah hasil penghitungan suara Pemohon dan/atau setidak-tidaknya mempengaruhi perolehan hasil penghitungan suara Pemohon yang secara langsung mempengaruhi terpilihnya Pemohon sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2009-2014 dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009;
Bahwa permohonan keberatan ini bukanlah suatu indikasi adanya
pergeseran komitmen dari Pemohon yang lebih populer dan dikenal “siap kalah dan siap menang” pada proses penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009, tetapi harus dipahami sebagai sebuah partispasi dan kontribusi nyata terhadap penyehatan etika politik, hukum dan demokrasi, sehingga penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 sekarang ini maupun pada penyelenggaraan berikutnya bisa lebih berkualitas atau setidak-tidaknya dapat dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum;
Bahwa Pemohon sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 telah berupaya bersaing secara kompetitif dan konstruktif serta taat asas, akan tetapi sebaliknya, Termohon selaku institusi Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009, beserta seluruh perangkatnya dipandang belum berperan secara optimal sehingga belum mampu mempersempit ruang penyimpangan serta berbagai bentuk kecurangan lainnya baik yang bersifat
teknis prosedural, administratif maupun ketimpangan pemungutan dan penghitungan suara sehingga tidak menjamin tegaknya hukum (law inforcement). Hal ini ditandai lemahnya respons Termohon untuk mengakomodir serta menyelesaikan secara tuntas penyimpangan-penyimpangan yang telah diajukan melalui Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”), dan Panitia Pengawas Pemilu (“Panwas”) di setiap tahapan pemilihan umum, hal mana tidak hanya merugikan dan/atau mempengaruhi perolehan suara Pemohon akan tetapi lebih jauh lagi, telah berakibat pada pencederaan nilai-nilai demokrasi serta hak dasar kemanusiaan sebagaimana diatur dan dilindungi oleh konstitusi;
Bahwa kemudian ketimpangan lebih menajam dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran dan/atau penyimpangan-penyimpangan yang bersifat masif, terstruktur, dan sistemik secara terang dan kasat mata terlihat pada saat Termohon menjalankan kewenangan atributif yang bersifat distorsif, dimana Termohon disatu sisi dengan segala hak, kekuasaan dan kewenangannya telah mengakselerasi tahapan-tahapan Pemilu, akan tetapi disisi lain Termohon telah mengabaikan berbagai macam pelanggaran yang terjadi di dalam proses penyelenggaran Pemilu atau setidak-tidaknya Termohon dengan sengaja telah melakukan pembiaran maun tidak menindaklanjuti temuan-temuan stakeholder Pemilu yang sejatinya guna penyelenggaraan yang lebih baik, sementara hal itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkup kompetensinya;
5.
kecenderungan dan berbagai perilaku pelanggaran-pelanggaran dan/atau penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Termohon sebagaimana tersebut di atas yang merugikan dan/atau mempengaruhi perolehan suara Pemohon, maka Pemohon berkeberatan dan mohon pembatalan terhadap penetapan Termohon sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009, satu dan lain dikarenakan hasil penghitungannya dipandang salah dan/atau keliru atau setidak-tidaknya telah dibuat dan mendasarkan pada perolehan suara yang tidak sah menurut hukum sebagaimana akan Pemohon uraiakan di bawah ini;
Bahwa dengan mendasarkan pada Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009, dapat diketahui bahwa perolehan hasil penghitungan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 versi Termohon yang dimohonkan untuk dibatalkan diperoleh hasil penghitungan suara sebagai berikut:
NOMOR URUT
PASANGAN CALON
PEROLEHAN SUARA
PERSENTASE PEROLEHAN SUARA
1
Hj.MEGAWATI SOEKARNOPUTRI dan H. PRABOWO SUBIANTO
32.548.105
6,79%
2
DR. H . SUSILO BAMBANG YUDHOYONO dan PROF. DR. BOEDIONO
73.874.562
60,80%
3
H.M . JUSUF KALLA dan H. WIRANTO
15.081.814
12,41%
Bahwa hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon tersebut di atas adalah telah salah dan/atau tidak benar atau setidak-tidaknya telah keliru dikarenakan telah terjadi penyimpangan dan/atau kecurangan dan/atau kesalahan baik terhadap hasil penghitungan suara di setiap jenjang penghitungan suara maupun terkait dengan perbuatan curang, pelanggaran-pelanggaran dan/atau penyimpangan-penyimpangan yang bersifat masif, terstruktur, dan sistemik yang dilakukan Termohon secara terang dan kasat mata yang mengakibatkan hasil penghitungan perolehan suara pasangan calon dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, terlebih dengan ditemukannya perbedaan penghitungan yang signifikan pada 25 (dua puluh lima) provinsi, yakni di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Lampung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat yang disebabkan adanya penambahan suara yang tidak sah yang dilakukan secara sengaja bagi Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR. Boediono, sebanyak 28.658.634 suara;
Bahwa terlepas dari kesengajaan dan/atau kesalahan atau setidak-tidaknya kekeliruan dan/atau kekhilafan yang dilakukan oleh permohon, dengan mendasarkan pada penambahan suara yang tidak sah bagi Pasangan Calon DR. H . Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono, telah mengakibatkan terjadinya selisih hasil perolehan suara Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR. Boediono dan Pemohon sebanyak 45.215.927 – 32.548.105 ≈ 12.667.822 suara, keadaan mana menjadikan Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono
dan Prof. DR . Boediono tidak dapat ditetapkan sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 melalui Pemilu 1 Putaran dikarenakan sejatinya perolehan suara Pasangan Calon DR. H. Susilo
Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono hanya berjumlah sebesar 45.215.927 jumlah mana equivalent 48,70% suara dari jumlah seluruh suara sah dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 (jumlah suara mana kurang dari 50% sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian dan oleh karenanya, penambahan (mark-up) suara secara tidak sah dan/atau kesalahan dan/atau kecurangan sebagaimana tersebut di atas, telah menjadi fakta hukum dan bukti yang sempurna telah menghilangkan hak Pemohon untuk dapat mengikuti Pemilu Putaran Kedua atau setidak-tidaknya telah menimbulkan kerugian bagi Pemohon atau setidak-tidaknya telah mempengaruhi hasil perolehan suara Pemohon. Adapun penambahan suara yang tidak sah bagi Pasangan Calon DR. H.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono dan/atau
kesalahan-kesalahan penghitungan dan/atau kecurangan-kecurangan dapat dilihat dari fakta-fakta dan/atau peristiwa-peristiwa sebagai berikut:
No
PROVINSI
PENGGELEMBUNGAN SUARA SBY-BOEDIONO
VIDE BUKTI
1
Sumatera Utara
2.715.639
P-6
2
Sumatera Barat
1.281.834
3
Sumatera Selatan
884.032
P-8
4
Bengkulu
224.311
P-9
5
Lampung
1.682.398
P-10
6
DKI Jakarta
473.390
P-11
7
Jawa Barat
8.620.693
P-12
8
Banten
1.850.397
P-13
9
Jawa Tengah
4.902.374
P-14
10
Daerah Istimewa Yogyakarta
579.646
P-15
11
Jawa Timur
1.831.573
P-16
12
Nusa Tenggara Barat
722.388
P-17
13
Nusa Tenggara Timur
179.006
P-18
14
Kalimantan Tengah
4.784
P-19
15
Kalimantan Timur
398.548
P-20
16
Kalimantan Selatan
439.846
P-21
17
Sulawesi Utara
125.595
P-22
18
Sulawesi Tengah
111,688
P-23
19
Sulawesi Selatan
445.600
P-24
20
Sulawesi Barat
100.800
P-25
21
Sulawesi Tenggara
121.587
P-26
22
Gorontalo
107.989
P-27
23
Maluku
179.967
P-28
24
Papua
560,785
P-29
25
Papua Barat
113.764
P-30
TOTAL
28.658.634
Bahwa berkaitan dengan penggelembungan (mark up) suara (perolehan suara tidak sah) sebagaimana tersebut di atas, seharusnya perolehan suara Pasangan Calon DR. H . Susilo Bambang Yudhoyono dan PROF. DR. Boediono menjadi:
Perolehan Suara Versi Termohon - Jumlah Penggelembungan Suara 73.874.562 – 28.658.634 = 45.215.927 suara.
Bahwa dengan mendasarkan pada uraian sebagaimana tersebut di atas serta dengan memperhatikan bukti-bukti hukum yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo, secara terang dan jelas bahwa seharusnya walaupun pemohon menempati perolehan suara terbanyak, yakni sebanyak 45.215.927 suara (melebihi hasil perolehan suara Pemohon, yakni sebanyak 32.548.105 suara), Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR. Boediono tidak dapat ditetapkan sebagai Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 melalui Pemilu 1 putaran, dikarenakan sejatinya perolehan suara pasangan calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR. Boediono hanya berjumlah sebesar 45.215.927, jumlah mana equivalent 48,70% suara dari jumlah seluruh suara sah dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 (kurang dari 50% sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian dan oleh karenanya demi hukum sudah menjadikan kewajiban hukum Termohon untuk tidak menetapkan Pemohon sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009. Keadaan mana sekaligus telah menjadi fakta hukum dan bukti yang sempurna atas kepentingan hukum maupun kualifikasi permohonan pembatalan Pemohon atas perkara a quo.
Atau
Terkait dengan hal sebagaimana tersebut pada butir 8 sebagaimana
tersebut di atas dan guna menjamin proses penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, Pemohon mohon agar Majelis Hakim Konstitusi pemeriksa perkara a quo dapat:
Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ulang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Atau
Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan pemungutan suara
ulang, khususnya pada 25 (dua puluh lima) provinsi, yakni di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Lampung, Provinsi Dki Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat;
Bahwa atas dasar hasil perhitungan suara sebagaimana tersebut dalam butir 3 di atas, Termohon telah secara tergesa-gesa dan secara melawan hukum serta tanpa pertimbangan yang jelas telah memutus dan menetapkan Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono sebagai Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Terpilih yang memperoleh jumlah suara terbanyak, dengan tidak mengindahkan keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon dan Surat Lembaga Swadaya Masyarakat maupun Surat maupun
Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu cq. Panitia Pengawas di setiap
jenjang penghitungan suara (vide Bukti “P-31”);
Bahwa oleh karena Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono telah ditetapkan sebagai Pasangan Calon yang memperoleh jumlah suara terbanyak, sedangkan berdasarkan fakta hukum yang disertai dengan dokumen-dokumen bukti dan saksi-saksi yang sah menurut hukum, serta dengan mendasarkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon, diketahui bahwa rekapitulasi hasil perolehan suara tahap akhir dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009, diperoleh hasil penghitungan suara/perolehan suara pasangan calon sebagai berikut:
NOMOR URUT
PASANGAN CALON
PEROLEHAN SUARA
PERSENTASE PEROLEHAN SUARA
1
Hj. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI dan H. PRABOWO SUBIANTO
32.548.105
35,06%
2
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO dan PROF. DR. BOEDIONO
45.215.927
48,70%
3
H.M . JUSUF KALLA dan H. WIRANTO
15.081.814
16,24%
Dimana, dengan mendasarkan data rekapitulasi dimaksud, Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan PROF. DR. Boediono tidak dapat ditetapkan sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 melalui Pemilu 1 Putaran, hal mana merupakan bukti yang sempurna yang secara terang dan kasat mata telah menunjukkan kekeliruan Termohon;
Bahwa selain dan pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan perolehan suara dalam pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009, perlu kami tegaskan bahwa permohonan ini diajukan secara khusus dan bertujuan memaparkan kenyataan yang lebih prinsip atau mendasar atas pelanggaran nilai-nilai hukum, demokrasi serta asas jujur dan adil sebagai prinsip dalam pelaksanaan Pemilu. Lebih dalam maknanya dari pada itu, adalah untuk membangun tatanan demokrasi yang
akan menentukan pembentukan karakter bangsa (Nation Coracter Building) dan pembangunan tatanan pemerintahan yang baik dan bersih (Clean Governement and Good Governance) serta tegaknya supremasi hukum;
Bahwa seiring dengan berjalannya rezim hukum pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, ':judex factie': dan sekaligus sebagai judex juris serta pengawal konstitusi dalam perkara Pemilu terhitung sejak diterbitkannya Putusan Pilkada Gubernur Jawa Timur, dan Pilkada Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan, Mahkamah Konstitusi telah memberikan dasar yang tegas dimana rezim hukum Pemilu termasuk ke dalam rezim hukum publik yang mensyaratkan pembuktian materiil, dimana secara tegas menyatakan: “... ... ... ... bahwa substansi maupun prosedur bersengketa dalam masalah pemilu ini termasuk dalam ruang lingkup asas Hukum Publik dan bukannya asas hukum Privat. Pada dasarnya dalam proses berperkara dan pembuktian dalam Hukum Publik bersifat mencari kebenaran materiil, seperti halnya dalam Hukum Pidana atau Hukum Tata Usaha Negara, dan bukannya cukup mencari kebenaran formil seperti halnya dalam Perkara Hukum Perdata; Bahwa oleh karenanya, dalam kasus ini haruslah dikejar kebenaran materiil dari fakta-fakta dan kejadiannya melalui pembuktian alat-alat buktinya, dan tidak hanya sekedar mengejar kebenaran formil seperti dalam suatu perkara perdata melalui bukti-bukti yang bersifat formal legalistis;”
Bahwa dengan mendasarkan pada yurisprudensi sebagaimana tersebut dalam butir 12 permohonan keberatan Pemohon di atas, demi hukum dan oleh karenanya maka materi permohonan keberatan hasil penghitungan suara dalam sengketa hasil pemilu tidak semata-mata menyangkut permasalahan hasil penghitungan yang dilakukan oleh Termohon (KPU beserta jajarannya di setiap jenjang penghitungan suara) belaka, akan tetapi juga menyangkut terhadap hal-hal yang mengakibatkan hasil perolehan suara pasangan calon, hal-hal mana yang wajib dibuktikan melalui suatu pembuktian yang materiil.
Bahwa di samping fakta terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon dan dengan mendasarkan pada hal-hal
sebagaimana diuraikan dalam butir 9 permohonan keberatan ini, serta dengan mendasarkan pada fakta-fakta yang ada dan bersumber dari keterangan saksi maupun bukti surat, Pemohon dalam kesempatan ini bermaksud untuk menguraikan perbuatan dan sikap tindak dalam konteks perbuatan hukum maupun upaya pembiaran terkait dengan tugas dan wewenang serta kewajiban hukum Termohon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, upaya mana cenderung dilakukan dengan penuh kesengajaan secara sistematis, terstruktur dan masif serta melawan hukum atau setidak-tidaknya telah menyimpang dan/atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya selaku penyelenggara Pemilu, hal mana mengakibatkan berkurangnya perolehan suara Pemohon dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009, satu dan lain dengan uraian sebagai berikut:
Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang melanggar hukum dan/atau menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku atau setidak-tidaknya penuh dengan karakter curang dan manipulatif.
Termohon telah dengan sengaja atau setidak-tidaknya lalai di dalam melakukan penyusunan daftar pemilih, termasuk di dalamnya Termohon telah lalai dengan tidak melakukan pemutakhiran data pemilih.
Bahwa sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 29 ayat (5) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008, KPU berkewajiban untuk melakukan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan dan penetapan data pemilih untuk kemudian selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara wajib untuk menetapkan Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009. Akan tetapi, adalah suatu fakta hukum dimana hingga saat dilakukannya pemungutan suara, substansi pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih tetap sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan Peraturan Perundang-undangan sama sekali tidak pernah dilakukan, hal mana semakin diperkuat lagi dengan adanya suatu fakta hukum dimana hingga tanggal 6 Juli 2009, pukul 16.00 (kurang dari 48 jam dari saat pemungutan suara), KPU baru mengundang Tim
Pasangan Calon bukan untuk penetapan DPT tetapi masih dalam rangka melakukan pengecekan DPT, Bahkan dalam Dokumen tanda Terima KPU tertanggal 6 Juli 2009 yang dibuat oleh KPU sendiri secara tegas, terang dan jelas dinyatakan bahwa:
”..............DPT tersebut tidak mengalami perubahan dari DPT yang diserahkan oleh KPU Kab/Kota. Oleh karena itu, apabila terdapat data ganda atau tidak memenuhi syarat, harus dikonfirmasikan terlebih dahulu ke KPU kab/Kota yang bersangkutan melalui KPU dan tidak untuk dipublikasikan” (vide Bukti “P-32”)
Hal mana semakin menegaskan bahwa hingga pada tanggal 6 Juli 2009 tersebut, KPU belum melakukan pemutakhiran data maupun melakukan pengumuman apalagi menetapkan DPT sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga pengawasan dalam konteks adanya pemilih yang tidak dapat mempergunakan hak pilih maupun adanya pemilih yang tidak berhak ternyata dapat memilih sama sekali tidak dapat dilakukan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009. Dengan demikian dan oleh karenanya atas kesengajaan dan/atau kelalaian mana Termohon dapat dikenakan ketentuan Pasal 206 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008;
KPU telah dengan sengaja atau setidak-tidaknya lalai untuk tidak menindaklanjuti temuan Pasangan Calon maupun masyarakat bahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Panitia Pengawas di setiap jenjang penyelenggaran Pemilu terkait dengan penyusunan dan pengumuman Daftar Pemilih Sementara dan penetapan Daftar Pemilih Tetap yang merugikan hak pilih
Untuk kemudian selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara wajib untuk menetapkan Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Faktanya KPU sama sekali telah tidak melakukan tidak mengumumkan dan/atau tidak memperbaiki Daftar Pemilih Sementara atau setidak- tidaknya KPU telah tidak melakukan pemutakhiran data, padahal telah secara terang dan jelas dan telah menjadi informasi umum bahwa Daftar Pemilih Sementara yang mendasarkan pada Daftar Pemilih Tetap
Pemilu Legislatif telah diakui tidak hanya oleh KPU bahkan Pasangan Calon Peserta Pemilu telah bermasalah. Bahkan atas keadaan mana:
Telah menjadi suatu fakta hukum dimana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Materi Konfrensi Pers Tim Penyelidikan Penghilangan Hak Sipil dan Politik Warga Negara dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 tertanggal 8 Mei
2009, secara tegas dinyatakan bahwa:
“.... .... ..dalam pelaksanaan Pemilu .... .... .. , Negara bukan saja gagal menyelenggarakan Pemilu secara tertib sesuai jadwal yang telah digariskan dalam Undang-Undang, tetapi juga lalai di dalam mengupayakan pemenuhan hak konstitusional sejumlah besar warga Negara dalam menyalurkan aspirasi mereka secara demokratis.... .... .... .... .... .... ....”
Bahkan dalam rekomendasi tersebut, Komnas HAM berpendapat:
“Bahwa telah terjadi penghilangan hak konstitusional pemilih dalam Pemilu Legislatif 2009 secara massive (25-40% warga mempergunakan hak pilihnya) dan sistemik di seluruh wilayah Republik Indonesia”
“Negara, khususnya Presiden, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, DPR serta KPU gagal menunaikan kewajiban institusional masing-masing untuk memastikan suatu penyelenggaraan Pemilu yang JURDIL.”
“Penghilangan hak konstitusional tersebut, dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan Negara dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan.” (vide Bukti “P-33”).
Bahwa tidak perlu dibuktikan lagi dimana Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya dalam Putusan telah menyatakan secara tegas bahwa:
”.... ...pembenahan DPT melalui pemutakhiran data sangat sulit dilakukan oleh KPU,................... (terkait fakta dimana KPU telah lalai untuk melakukan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan dan penetapan data pemilih)”,
sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009. Dengan demikian dan oleh karenanya atas kesengajaan dan/atau kelalaian tesebut KPU dapat dikenakan ketentuan Pasal 207 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, (vide Bukti “P-34”).
Bahwa adalah suatu fakta hukum dimana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 telah dilakukan tanpa menggunakan DPT atau setidak-tidaknya tidak menggunakan DPT yang sah menurut hukum. Bahwa hingga pada tanggal 7 Juli 2009, Pukul 13.00 WIB (kurang dari 24 jam dari Hari Pemungutan Suara), dapat diketahui
hal-hal sebagai berikut:
KPU dan Pasangan Calon baru memeriksa 115 kabupaten/kota atau
setidak-tidaknya baru 22% dari Jumlah Pemilih berdasarkan wilayah
administrasi pemerintahan, itu pun yang bisa dituntaskan dalam
konteks pemutakhiran baru 79 kabupaten/kota atau setara dengan
13% dari Jumlah Pemilih berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan;
KPU telah melakukan kebohongan publik dimana Data DPT yang
diserahkan oleh KPU yang dikatakan sudah dimutakhitrkan ternyata
belum diverifikasi dan dimutakhirkan, hal mana terlihat bahwa DPT
dimaksud sama dengan Data DPS Tim Pasangan Calon yang
mendasarkan pada Pemilu Legislatif;
Bahwa hanya dengan mencermati 8 provinsi saja, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali dan Kalimantan Timur, diketemukan DPT bermasalah sebanyak 5.899.354, hingga tanggal 10 Juli 2009 telah diketemukan lagi
tambahan DPT bermasalah sebanyak 1.753.856, sehingga total DPT
bermasalah sebanyak 7.653.210, hal mana dilakukan dengan modus
(i) pemilih ganda dalam satu TPS, (ii) pemilih ganda di lain TPS,
(iii) Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan tanggal lahir sama
dengan nama berbeda di satu maupun di lain TPS, (iv) pemilih yang
sudah meninggal masih diperbolehkan memilih (v) pemilih yang belum cukup umur dan pemilih tanpa NIK;
Di Kota Malang, khususnya untuk Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Belimbing dan Kelurahan Arjowinangun Kecamatan Kedungkandang, secara terang dan jelas dinyatakan bahwa data
DPT versi KPU tersebut merupakan DPS dan bukan DPT Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2009. Bahkan untuk Kabupaten
Lamongan Jawa Timur masih mempergunakan DPT Pemilihan
Gubernur Tahun 2008;
Sampai dengan Hari H Pemungutan Suara, Daftar Pemilih di
Beberapa Kabupaten/Kota dalam lingkup Provinsi DKI Jakarta dan
Nusa Tenggara Barat belum dapat diperoleh oleh pasangan Calon;
Diketemukan TPS 00 di Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur
dan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, yang nota
bene mencantumkan pemilih-pemilih yang dapat mempergunakan hak pilih pada hari pemungutan suara nantinya;
Diketemukan TPS dengan jumlah pemilih yang melebihi ketentuan Undang-Undang Pemilihan Presiden, dimana terdapat sebanyak 2573 pemilih di 1 TPS di Kelurahan Bangun Jaya, Kecamatan Bts Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumsel;
Bahwa atas temuan-temuan pelanggaran dimaksud telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh KPU sendiri sebagaimana dinyatakan dalam laporan bersama pengecekan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tim Kampanye Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, sebagaimana telah ditandatangani oleh Prof. DR . H. A. Hafiz Anshary A.Z., M.A. dalam kapasitasnya selaku Ketua KPU, (vide Bukti “P-35”);
KPU telah dengan sengaja melakukan kebohongan publik dengan
menyatakan bahwa DPT yang diserahkan kepada Tim Kampanye Nasional Pemohon merupakan DPT yang sudah diverifikasi atau dimutakhirkan.
Bahwa dengan mendasarkan pada DPT yang di klaim Pemohon sebagai
DPT yang sudah diverivikasi atau dimutakhirkan, hingga saat ini
Pemohon telah berhasil membuktikan bahwa terdapat 22.764.981 data
DPT bermasalah sebagaimana secara sistematis Pemohon uraikan
dalam Tabel Rekapitulasi Data Hasil Verifikasi DPT (vide Bukti “P-36”), dengan modus sebagai berikut:
NIK Ganda, diketemukan baik dalam TPS yang sama maupun dalam TPS yang berbeda. Diketemukan di 25 provinsi di seluruh Indonesia, yang terdiri dari yakni di Provinsi Sumatera Utara,
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi
Bengkulu, Provinsi Lampung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa
Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat.
NIK dan Nama sama, diketemukan baik dalam TPS yang sama
maupun dalam TPS yang berbeda, di Sumatera Utara;
DPT tanpa NIK, diketemukan di Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah;
DPT yang datanya nihil atau kosong, diketemukan di Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Barat, , Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat.
DPT tanpa Nama, diketemukan di Tasikmalaya Provinsi Jawa
Barat;
DPT tanpa Umur, diketemukan di Provinsi Jawa Tengah;
DPT Tanpa TPS, diketemukan di Provinsi Sumatera Utara, Jawa
Barat dan Jawa Tengah;
DPT yang memuat NIK dengan memakai rumus/NIK buatan,
diketemukan di Provinsi Jawa Tengah;
DPT yang memuat umur memakai rumus, diketemukan di Provinsi
Jawa Tengah;
DPT yang memuat data TPS ganda, diketemukan di Provinsi Jawa
Barat;
DPT yang memuat isi data TPS lain, diketemukan di Provinsi Jawa Barat;
Penulisan file Daerah Pemilihan tidak sesuai dengan isinya
sehingga terdapat beberapa wilayah yang tidak memiliki DPT,
diketemukan di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Nusa
Tenggara Timur;
Terdapat Hide Sheet/Data Yang Disembunyikan, sehingga di
beberapa wilayah tidak diperoleh informasi tentang DPT. Diketemukan di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara
Timur dan Kalimantan Timur;
Terdapat File Yang Tidak Bisa Dibuka/Dikunci, sehingga di
beberapa wilayah tidak diperoleh informasi tentang DPT. Diketemukan di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa
Barat dan Bali;
Memakai DPT yang bukan DPT Pemilu Presiden, berupa:
DPT yang masih berbasis DP4 Depdagri, diketemukan di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat;
DPT yang masih berbasis data Pilkada kabupaten/kota, diketemukan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur;
DPT yang masih berbasis data Pilkada Gubernur, diketemukan di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Kalimantan Timur;
DPT yang masih berbasis data DPS Pemilu Legislatif, diketemukan di Provinsi Sumatera Barat;
DPT yang masih berbasis data DPT Pemilu Legislatif, diketemukan di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan
Timur dan Provinsi Sulawesi Selatan;
DPT yang masih berbasis data DPS Pemilu Presiden, diketemukan di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Maluku Utara;
DPT yang masih berbasis data DPS Pemilu Presiden Hasil
Perbaikan, diketemukan di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Bali
dan Provinsi Kalimantan Timur;
Yang kesemuanya secara sistematis, terang, dan rinci diuraikan dalam adalah suatu fakta hukum dimana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 telah dilakukan tanpa menggunakan DPT atau setidak-tidaknya tidak menggunakan DPT yang sah menurut hukum (vide Bukti “P-37”);
Termohon menerbitkan kebijakan dengan menghilangkan 68.918
TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan sebanyak 34.459.000 suara pemilih
Bahwa dengan mendasarkan pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 164/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Perubahan Penetapan Badan Pelaksana dan Perbaikan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2009 diketahui bahwa Termohon telah menetapkan sebanyak 519.047 Tempat Pemungutan Suara (vide Bukti “P-38”) dimana maksimum pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 pemilih sebagaimana diatur dalam ketentuan pada Pasal 150 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Akan tetapi, dengan suatu justifikasi Termohon dimana maksimum pemilih sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 (UU Pilpres) adalah 800 emilih,
Termohon menerbitkan kebijakan dengan menghilangkan 69.791 TPS
sehingga Jumlah TPS dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2009 hanya berjumlah sebanyak 450.129 Tempat Pemungutan
Suara sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 315/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Perubahan Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 301/Kpts/KPU/
TAHUN 2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dan Perbaikan
Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2009 (vide Bukti “P-39”). Bahwa terkait dengan kebijakan tersebut, sepintas terlihat bahwa KPU telah berbuat pro-aktif dalam lingkup kewenangannya, akan tetapi yang lebih substansi lagi dan menjadi esensi permasalahan a quo dimana pada faktanya dari sejak semula tidak pernah terjadi daftar pemilih yang berbasis pengelompokan baru (re-groupping), keadaan mana sangat merugikan Pemohon setidak-tidaknya dari sisi pengawasan terkait dengan manipulasi surat suara dan masyarakat pemilih dan berpotensi mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan sebanyak 34.459.000 suara pemilih. Hal ini sangat substantif mengingat secara logika hukum
yang sangat sederhana saja, kalaupun ada pergerakan dalam kontek
pengelompokan baru (re-groupping), setidak-tidaknya upaya dimaksud harus dilakukan secara terbuka dan diumumkan atau setidak-tidaknya memenuhi unsur publisitas sehingga re-groupping dapat berlaku sah menurut hukum atau setidak-tidaknya patut diduga tidak terdapat potensi penyimpangan suara, akan tetapi hingga hari H pemungutan suara KPU sama sekali tidak melakukan regrouping apalagi dengan memperhatikan atas fakta hukum dimana KPU tidak dilakukan pemutakhiran data pemilih. Bahkan di beberapa daerah pemilihan, DPT yang dipergunakan tidak saja yang berbasis DPT pemilu Legislatif 2009, bahkan banyak juga yang mendasarkan pada DPS dan/atau DPT Pemilu Gubernur dan/atau DPT Pemilihan Kepala Daerah.
f. Termohon telah bertentangan atau setidak-tidaknya telah bertindak tidak sesuai dengan ketentuan Penyelenggaraan Pemilu yang mensyaratkan KPU selaku Penyelenggara Pemilu harus terbebas
dari pengaruh pihak manapun (termasuk pihak asing) terkait dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Termohon telah dengan sengaja menerbitkan kebijakan dengan
menggunakan IFES (International Foundation for Electoral System) dalam Sistem Tabulasi Nasional dalam Pemilu Presiden 2009, padahal telah secara terang dan jelas atau setidak-tidaknya telah menjadi pengetahuan umum bahwa IFES merupakan organisasi non pemerintah dari Amerika Serikat, keadaan mana merupakan suat bukti yang sempurna atas keterlibatan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu
2009, terlebih dengan memperhatikan fakta hukum terkait dengan penghentian penayangan Tabulasi Nasional sebagai berikut:
Keterangan Husni Fahmi, Ketua Tim Ahli IT KPU, yang menyatakan:
"Kami mendapatkan data dari IFES hanya perolehan suara saja. IFES yang berhubungan langsung dengan data.........."
Bahwa dari pernyataan tersebut, secara terang dan jelas dan merupakan suatu bukti yang sempuma dimana Termohon telah tidak melaksanakan kewajiban hukumnya atau telah secara melawan hukum mendelegasikan kewajiban hukumnya kepada suatu lembaga, bahkan suatu lembaga asing, yang secara logika hukum yang sederhana saja menimbulkan suatu pertanyaan besar, mengingat dalam konteks penghitungan suata, data primer yang nota bene merupakan esensi dan substansi dari pekeraan penyelenggara pemilu justeru di delegasikan kepada pihak ketiga, terlebih dengan memperhatikan bahwa akurasi Tabulasi Nasional terkesan disesuaikan dengan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, yang menempatkan Pasangan Nomor Urut 2 selalu stabil di urutan teratas dan stabil di atas 50%, padahal total suara yang masuk baru 18,8 juta dari 176 juta Pemilih.
Keterangan Anhar Jamal, Koordinator Senior IFES, yang
menyatakan:
".......Kesepakatan kega sama IFES dan KPU juga disahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)..... Bantuan pada KPU berupa pengadaan Server dan jugaa teknisi........"
Dari pernyataan tersebut, secara terang dan jelas dan merupakan suatu bukti yang sempuma dimana penyelenggaraan Pemilu oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 22E UUD 1945 telah terdistorsi oleh kepentingan kekuasaan atau
tidaknya KPU telah tidak dapat melaksanakan kewajiban yang berpedoman pada asas mandiri, adil terbuka, profesional dan akuntabilitas sebagaimana disyaratkan ketentuan Pasal 2 butir (a), (c), (g). (i) dan (j) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Terlebih dalam suatu proses penghitungan suara server dan teknisi memegang peranan yang sangat signifikan yang seharusnya dikerjakan dan dikendalikan secara penuh oleh KPU.
Pengakuan Abdul Hafiz Anshary (Ketua KPU/Termohon):
".......penghitungan sementara menggunakan SMS hanya bantuan program dari IFES..... ......kalau program bisa berjalan tanpa keluar uang dan bisa memanfaatkan untuk memberi informasi ke masyarakat, bisa saja......."
Dari pemyataan tersebut, secara terang dan jelas dan merupakan suatu bukti yang sempuma dimana penyelenggaraan hitung cepat yang dilakukan oleh IFES dalam Pemilu Presiden 2009 telah diakui secara tegas oleh Termohon, padahal kalaupun Termohon mengetahui, mengerti dan memahami ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Termohon terlebih dahulu harus menerangkan kepada publik kapasitas IFES, apakah sebagai pemantau pemilu atau sebagai pelaksana survei atau jejak pendapat, dan yang pasti bukan hal-hal yang berkaitan dengan penghitungan pada Sistem Tabulasi Nasional mengingat hal tersebut diatur dalam domain hukum yang berbeda.
Padahal telah secara terang dan jelas atau setidak-tidaknya telah menjadi pengetahuan umum dimana dalam setiap penyelenggaraan Pemilu mensyaratkan Termohon selaku penyelenggara Pemilu harus bersifat mandiri dan terbebas dan pengaruh pihak manapun (termasuk pihak asing) [ketentuan Pasal 22E UUD 1945] terkait dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan perlasanaan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 atau setidak-tidaknya tindakan Termohon telah bertentangan atau telah tidak sesuai dengan asas penyelenggara Pemilu yang berpedoman pada asas mandiri, adil terbuka, profesional dan akuntabilitas sebagaimana
disyaratkan ketentuan Pasal 2 butir (a), (c), (g). (i) dan (j) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007;
Pemilih Pemohon Yang Tidak Terdaftar Dalam Daftar Pemilih Tetap:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 Tertanggal 6 Juli 2009 Disengaja Ataupun Tidak Telah Dibuat Sebagai Keputusan Yang Tidak Memiliki Kekuatan Eksekutorial
Bahwa dengan mendasarkan pada Dokumen Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 perihal Pemilih yang tidak memiliki kartu pemilih, dinyatakan secara tegas bahwa bagi secara terang dan kasat mata mengakibatkan berkurangnya hasil perolehan suara Pemohon dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, penyimpangan dan/atau pelanggaran mana akan Pemohon uraikan dengan pemetaan yang di dasarkan pada lingkup provinsi. Akan tetapi dan dengan mendasarkan pada dokumen sebagaimana diuraikan di bawah ini, telah menjadi fakta hukum dan bukti yang sempurna dimana di banyak TPS-TPS pada lingkup provinsi sebagaimana diuraikan di bawah ini dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, telah dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup (vide Bukti “P-40”);
Sehubungan dengan hal sebagaimana tersebut di atas, Pemilih Pemohon yang telah dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, sebagaimana Pemohon uraikan dengan melakukan pemetaan dalam lingkup provinsi di bawah ini: Sehubungan dengan hal sebagaimana tersebut di atas, Pemilih Pemohon yang tidak diperkenankan untuk memilih dalam Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, sebagaimana
Pemohon uraikan dengan melakukan pemetaan dalam lingkup
provinsi di bawah ini:
No
PROVINSI
PEMILIH PEMOHON
VIDE BUKTI
1
Sumatera Utara
287,392
P-41
2
Sumatera Barat
25.889
P-42
3
Sumatera Selatan
126.983
P-43
4
Lampung
224.839
P-44
5
DKI Jakarta
578.688
P-45
6
Jawa Barat
850.397
P-46
7
Banten
317.343
P-47
8
Jawa Tengah
651.760
P-48
9
Jawa Timur
932.437
P-49
10
Kalimantan Timur
179.646
P-50
TOTAL
4.175.374
Bahwa dengan mendasarkan pada uraian dan bukti-bukti sebagaimana tersebut di atas telah manjadi bukti yang sempurna dimana Pemohon telah dihilangkan suaranya sebanyak 4.175.374 suara, jauh-jauh hari sebelum dilakasanakannya pemungutan suara, keadaan mana bukan menjadi asumsi dikarenakan telah sangat terang dan jelas bahwa pemilih-pemilih tersebut secara tegas menyatakan kehendaknya untuk memilih Pemohon dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, dan bersedia untuk dihadirkan pada pemeriksaan persidangan perkara a quo.
Fakta hukum dimana Komisi Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara terang dan jelas menyatakan bahwa Termohon telah gagal menyelenggarakan Pemilu secara tertib sesuai jadwal dan tahapan yang telah digariskan dalam Undang-Undang, tetapi juga lalai di dalam mengupayakan pemenuhan hak konstitusional sejumlah
besar warga negara.
PERNYATAAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Bahwa adalah suatu fakta hukum dimana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Materi Konfrensi Pers Tim Penyelidikan Penghilangan Hak Sipil dan politik Warga Negara Dalam Pemilu Legislatif 09 April 2009 terrtanggal 8 Mei 2009, yang secara tegas dinyatakan bahwa: “...........dalam pelaksanaan Pemilu .......... , Negara bukan saja gagal menyelenggarakan Pemilu secara tertib sesuai jadwal yang telah digariskan dalam Undang-Undang, tetapi juga lalai di dalam mengupayakan pemenuhan hak konstitusional sejumlah besar warga Negara dalam menyalurkan aspirasi mereka secara demokratis............................”
Bahkan dalam dokumen yang sama Komnas HAM menerbitkan rekomendasi yang pada intinya menyatakan: “bahwa telah terjadi penghilangan hak konstitusional pemilih dalam Pemilu Legislatif 2009 secara massive (25-40% warga mempergunakan hak pilihnya) dan sistemik di seluruh wilayah Republik Indonesia”; “Negara, khususnya Presiden, Departmen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, DPR serta KPU gagal menunaikan kewajiban institusional masing-masing untuk memastikan suatu penyelenggaraan Pemilu yang JURDIL”; “Penghilangan hak konstitusional tersebut, dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan Negara dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan”;
PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa terkait kegagalan dan/atau kesengajaan dan/atau kelalaian Termohon di dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, sehingga terdapat suatu fakta hukum dimana terdapat satu tahapan penyelenggaraan Pemilu yang tidak dilaksanakan oleh Termohon pada Pemilu Presiden tahun 2009, keadaan mana telah diketahui
dan diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya dalam
Putusan telah menyatakan secara tegas bahwa:
”.... ...pembenahan DPT melalui pemutakhiran data sangat sulit
dilakukan oleh KPU,................... (terkait fakta dimana KPU telah lalai untuk melakukan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan dan penetapan data pemilih)”;
sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009. Dengan demikian dan oleh karenanya dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana telah terdapat satu proses tahapan penyelenggaraan Pemilu yang tidak dilaksanakan, oleh karenanya demi hukum dari sejak semula tidak pernah terjadi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 ATAU SETIDAK-tidaknya hasil Pemilu tanggal 8 Juli 2009 bukanlah hasil Pemilu yang sah menurut hukum, dikarenakan telah dibuat dalam suatu proses yang melawan hukum atau setidak-tidaknya menyimpang, terlebih dengan memperhatikan ketiadaan DPT sebagai pilar utama demokrasi sekaligus parameter akuntabilitas, proporsionalitas serta
transparansi, yang tidak hanya menentukan siapa yang akan menjadi
pemimimpin nantinya, akan tetapi lebih substansi lagi sangat
mempengaruhi produksi surat suara, partisipasi masyarakat pemilih, parameter pengawasan bahkan potensi manipulasi yang
berpengaruh secara langsung terhadap perolehan suara Pasangan
Calon khususnya Pemohon.
c. REKOMENDASI BADAN PENGAWAS PEMILU
Bahwa terkait dengan pelanggaran-pelanggaran dan/atau penyimpangan-penyimpangan yang bersifat masif, terstruktur, dan
sistemik secara terang dan kasat mata terlihat pada saat Termohon
menjalankan kewenangan atributif yang bersifat distorsif, dimana
Termohon disatu sisi dengan segala hak, kekuasaan dan kewenangannya telah mengakselerasi tahapan-tahapan Pemilu,
akan tetapi disisi lain Termohon telah mengabaikan berbagai macam
pelanggaran yang terjadi di dalam proses penyelenggaraan Pemilu atau setidak-tidaknya Termohon dengan sengaja telah melakukan pembiaran dengan tidak menindaklanjuti temuan-temuan stakeholder Pemilu yang sejatinya guna penyelenggaraan yang lebih baik, sementara hal itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkup kompetensinya, Badan Pengawas Pemilu telah memaparkan hasil tindak lanjut laporan pengaduan, yang pada intinya menyatakan bahwa telah diketemukan:
i. 401 kejadian yang masuk ke dalam lingkup pelanggaran/sengketa administratif;
ii. 70 kejadian yang masuk ke dalam lingkup pelanggaran pidana Pemilu;
iii. 90 kejadian yang masuk ke dalam lingkup pelanggaran/penyimpangan/kecurangan lainnya;
dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, yang kesemuanya terkait langsung dengan perolehan suara Pasangan Calon. Terkait temuan dan fakta hukum pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, Pemohon mohon melalui Mahkamah Konstitusi yang Mulia agar dapat menghadirkan Badan Pengawas Pemilu maupun Panitia Pengawas Pemilu di setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, agar dapat memperkuat Permohonan Pembatalan Pemohon atau setidak-tidaknya Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat pemeriksa perkara a quo dapat memperoleh gambaran yang jelas dalam memeriksa dan mengadili sengketa hasil penghitungan suara ini, termasuk terkait fakta dilakukannya Surat Penghentian Penyidikan oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait dengan pidana Pemilu yang direkomendasikan Bawaslu.
Keterangan Pers Susilo Bambang Yudhoyono Pasca Penetapan
KPU tertanggal 25 Juli 2009: Bentuk Pengakuan SBY Atas Kinerja Buruk Termohon
Bahwa dengan mendasarkan pada pernyataan SBY:
“Pihaknya telah menghimpun temuan di lapangan yang mengarah pada voting irregularities atau hal yang tidak benar”;
“pihaknya juga sudah menemukan dugaan selisih suara di tempat-tempat tertentu,............”;
“pihaknya juga member masukan dan saran ke KPU menyangkut DPT serta sosialisasi UU Pemilu.........”
“Masih besar suara yang tidak sah sehingga perlu penyempurnaan UU pemilu ...”
Dapat diketahui bahwa SBY secara terang dan jelas menyatakan telah menemukan voting irregularities atau hal-hal yang tidak benar dalam Pemilu 2009, keadaan mana kalaupun tidak segera diselesaikan akan mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat, bahkan dapat mempengaruhi legitimasi penetapan Presiden terpilih nantinya. Bahwa terkait dengan pernyataan lanjutan dimana,
“pihaknya juga sudah menemukan dugaan selisih suara di tempat-tempat tertentu,.namun karena selisihnya tidak terlalu besar, masalah itu tidak dilaporkan ke MK.........setelah kami analisis suara kami hanya berbeda ratusan suara, tentu tidak tepat untuk disalurkan ke MK, yang tidak juga akan mengubah keputusan KPU...”
haruslah dicermati sebagai bentuk upaya intimidatif tidak hanya bagi pasangan calon yang hendak mengajukan permohonan pembatalan ke Mahkamah Konstitusi juga bagi Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara a quo, atau setidak-tidaknya haruslah dilihat sebagai bentuk intervensi kekuasaan atas penyelenggaran Pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat.
Bahwa selain temuan atas kesalahan hasil penghitungan suara
sebagaimana telah diuraikan dalam butir 9 dan penyimpangan
terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh Termohon beserta
jajarannya, ternyata penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2009 oleh Termohon telah disertai dengan
banyaknya kecurangan-kecurangan dan pelanggaran-pelanggaran yang
secara terang dan kasat mata mengakibatkan berkurangnya hasil
perolehan suara Pemohon dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009, penyimpangan dan/atau pelanggaran mana akan
Pemohon uraikan dengan pemetaan yang di dasarkan pada lingkup
provinsi dengan uraian sebagaimana kami lampirkan dalam Dokumen Laporan Temuan Pelanggaran Tim Kampanye Nasional Pemohon, sebagaimana secara sistematis akan diuraikan sebagai dokumen bukti maupun temuan pelanggaran, yang disusun secara sistematis yang merupakan suatu kesatuan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan permohonan keberatan ini (vide Bukti "P-51").
Bahwa guna memberikan gambaran yang utuh kepada Majelis Hakim Konstitusi pemeriksa perkara a quo berkenan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, amat terang dan jelas serta menjadi bukti yang sempurna dimana pada basis-basis massa pemilih Pemohon, telah dilakukan upaya yang sistematis dan terstruktur bahkan terdapat kecenderungan dimana pada daerah yang rendah partisipasi politik masyarakat pemilih ternyata Pemilih Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR. Boediono memperoleh hasil yang sangat signifikan, termasuk dengan terdapat banyak diketemukannya hasil perolehan suara yang sangat ganjil baik dalam konteks sosio-kulturis maupun ideologis, khususnya dengan mendasarkan pada grafik di bawah ini:
Grafik yang menggambarkan Tingkat Pemilih Yang Tidak Mempergunakan Hak Pilihnya. Sebagai contoh, Untuk Maluku Utara, partisipasi pemilihnya sangat tinggi (mencapai 95%), sedangkan DKI Jakarta tingkat Partisipasi Pemilihnya berada pada tingkatan terendah (mencapat 62%);
Bahwa selain daripada hal-hal yang berkaitan langsung dengan perolehan suara dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, perlu disampaikan bahwa permohonan ini diajukan secara khusus juga bertujuan memaparkan kenyataan yang lebih prinsip atau mendasar atas pelanggaran nilai-nilai hukum dan demokrasi serta asas jujur dan adil sebagai prinsip dalam pelaksanaan Pemilihan Umum;
Bahwa dengan mendasarkan pada perhitungan yang benar sebagaimana diuraikan dalam butir 10 permohonan pembatalan ini, maka diperoleh hasil perhitungan suara masing-masing Pasangan Calon dengan perincian sebagai berikut:
NOMOR URUT
PASANGAN CALON
PEROLEHAN SUARA
PERSENTASE
PEROLEHAN SUARA
1
Hj. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI dan H. PRABOWO SUBIANTO
32.548.105
35,06%
2
DR. H . SUSILO BAMBANG YUDHOYONO dan PROF. DR. BOEDIONO
45.215.927
48,70%
3
H.M . JUSUF KALLA dan H. WIRANTO
15.081.814
16,24%
Dimana, dengan mendasarkan data rekapitulasi dimaksud, menjadikan Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR. Boediono demi hukum tidak dapat ditetapkan sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 melalui Pemilu 1 putaran, hal mana merupakan bukti yang sempurna yang secara terang dan kasat mata telah menunjukkan kekeliruan Termohon.
Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi pemeriksa perkara a quo untuk memutuskan membatalkan Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 dan sekaligus menetapkan penghitungan suara yang benar adalah sebagaimana diuraikan oleh Pemohon, yakni:
NOMOR URUT
PASANGAN CALON
PEROLEHAN SUARA
PERSENTASE PEROLEHAN SUARA
1
Hj. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI dan H. PRABOWO SUBIANTO
32.548.105
35,06%
2
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO dan PROF. DR. BOEDIONO
45.215.927
48,70%
3
H.M . JUSUF KALLA dan H. WIRANTO
15.081.814
16,24%
Atau setidak tidaknya:
Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ulang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Atau setidak tidaknya:
Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang khususnya pada 25 (dua puluh lima) provinsi, yakni di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Lampung, Provinsi Dki Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan T imur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat;
Berdasarkan dalil-dalil dan alasan-alasan sebagimana telah Pemohon uraikan pada bagian awal permohonan ini, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi pemeriksa perkara a quo berwenang untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan membatalkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana ternyata dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 yang diumumkan pada hari Sabtu tanggal dua puluh lima bulan Juli tahun 2009 pukul 10.20 WIB.
- Menetapkan hasil perhitungan suara yang benar sebagai berikut:
Perolehan suara secara nasional yang benar untuk masing-masing Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia sesuai dengan rekapitulasi hasil suara ditingkat nasional seharusnya berjumlah sebagaimana diuraikan di bawah ini:
NOMOR URUT
PASANGAN CALON
PEROLEHAN SUARA
PERSENTASE PEROLEHAN SUARA
1
Hj. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI dan H. PRABOWO SUBIANTO
32.548.105
35,06%
2
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO dan PROF. DR. BOEDIONO
45.215.927
48,70%
3
H.M . JUSUF KALLA dan H. WIRANTO
15.081.814
16,24%
dimana Perolehan suara Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan PROF. DR . Boediono yang benar sesuai dengan rekapitulasi hasil suara ditingkat nasional seharusnya berjumlah sebesar 45.215.927 suara atau setara dengan 48,70 % (empat puluh delapan koma tujuh per seratus), bukan sebesar 73.874.562 suara;
Bahwa berdasarkan penghitungan suara yang benar, seharusnya (1) Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan PROF. DR.
Boediono dan (2) Pasangan Calon Hj. Megawati Soekarnoputri dan H. Prabowo Subianto ditetapkan menjadi Pasangan Calon dalam
Putaran Kedua Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
- Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan putusan ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada setiap dan seluruh konsekuensi yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan Putusan dimaksud.
Atau
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan membatalkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagaimana ternyata dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 Tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 yang diumumkan pada hari Sabtu tanggal dua puluh lima bulan Juli Tahun 2009 pukul 10.20 WIB;
- Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Ulang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
-
Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan putusan ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada setiap dan seluruh konsekuensi yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan Putusan dimaksud.
Atau setidak-tidaknya
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan membatalkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagaimana ternyata dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 Tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 yang diumumkan pada hari Sabtu tanggal dua puluh lima bulan Juli Tahun 2009 pukul 10.20 WIB;
- Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Ulang di 25 (dua puluh lima) provinsi, yakni di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Lampung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat;
- Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan putusan ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada setiap dan seluruh konsekuensi yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan Putusan dimaksud.
Demikianlah permohonan ini dibuat, dengan harapan Mahkamah Konstitusi dapat segera memeriksa, mengadili, dan memtuskan permohonan ini secara adil.
[2.2] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II dalam persidangan tanggal 4 Agustus 2009 mengajukan keberatan secara lisan terkait dengan Jaksa Pengacara Negara menjadi Kuasa Hukum dari Komisi Pemilihan Umum. Adapun alasan Pemohon I dan Pemohon II pada pokoknya adalah karena Kejaksaan hanya dapat bertindak selaku kuasa negara atau pemerintah dibidang perdata dan tata usaha negara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi,“Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasakhusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon I dan Pemohon II di atas, Termohon mengajukan Jawaban Tertulis yang diterima di persidangan tanggal 4 Agustus 2009 dan tanggal 5 Agustus 2009, sebagai berikut:
Jawaban Termohon Terkait Mengenai Keabsahan Kejaksaan Untuk Mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Sehubungan dengan sanggahan yang disampaikan oleh Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa Kejaksaan secara hukum tidak dapat mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam perkara ini, Tim Jaksa Pengacara Negara menyampaikan tanggapan sebagai berikut:
Sanggahan yang disampaikan Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menentukan bahwa Kejaksaan hanya dapat mewakili negara atau pemerintah di dalam perkara perdata atau perkara tata usaha negara. Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden bukan perkara perdata, bukan pula perkara tata usaha negara. Oleh karena itu, Pemohon mendalilkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Kejaksaan tidak dapat mewakili KPU dalam perkara ini.
Perkara Tata Usaha Negara (TUN) adalah perkara yang proses penyelesaiannya diatur dalam Hukum Tata Usaha Negara. Di dalam ilmu hukum, Hukum Tata Usaha Negara merupakan bagian dari hukum administrasi negara, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Administrative Law. Encyclopedia Wikipedia (vide lampiran, halaman 1) memberikan pengertian Administrative Law sebagai berikut:
Administrative Law is the body of law that governs the activities of administrative agencies of government. Government agency action can include rulemaking, adjudication, or enforcement of a specific regulatory agenda”;
[Hukum administrasi adalah cabang hukum yang mengatur kegiatan instansi administratif dari pemerintah. Kegiatan instansi pemerintah dapat meliputi pembuatan peraturan, pemeriksaan, atau penerapan agenda pengaturan tertentu].
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, hukum tata usaha negara adalah bagian dari hukum administrasi negara, karena hukum tata usaha negara tidak berhubungan dengan seluruh aspek hukum administrasi negara, melainkan hanya berhubungan dengan keputusan yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Encyclopedia Wikipedia mengakui adanya bagian dari hukum administrasi negara yang fungsinya hanya berhubungan dengan keputusan-keputusan yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Hal ini dikemukakan pada halaman 4 (vide lampiran) sebagai berikut:
“In The Netherlands administrative law provisions are usually contained in separate laws. There is however a single General Administrative Law Act (Algemene wet bestuursrecht or Awb) that applies both to the making of administrative decisions and the judicial review of these decisions in courts. On the basis of Awb, citizens can oppose a decisions (besluit) made by a public body (bestuursorgan) within the administration and apply for judicial review in courts if unsuccessful”;
[Di Belanda ketentuan hukum administrasi biasanya terkandung dalam berbagai ketentuan hukum. Sekalipun demikian, ada Undang-Undang Hukum Administrasi Umum (Algemene wet bestuursrecht atau Awb) yang berlaku bagi pembuatan keputusan administrasi dan perbaikan judisial atas keputusan tersebut oleh pengadilan. Atas dasar Awb warga negara dapat menggugat keputusan (besluit) yang dibuat oleh badan publik (bestuutsorgan) dalam pemerintahan dan memohon perbaikan judicial atas putusan tersebut di pengadilan, jika tidak berhasil].
Perkara ini (perkara PHPU Pilpres) merupakan perkara di mana ada satu pihak mengajukan gugatan terhadap Keputusan yang diterbitkan oleh sebuah badan hukum publik yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagaimana dikuraikan di atas, menurut ilmu hukum, perkara ini merupakan bagian dari perkara yang diatur oleh rezim hukum administrasi negara.
Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia mengakui bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum adalah bagian dari Keputusan Tata Usaha Negara. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) menyatakan:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHP dan KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang bersifat hukum pidana;
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha TNI;
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Isi ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa pada prinsipnya Hukum Tata Usaha Negara berhubungan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan TUN). Sekalipun demikian, tidak semua Keputusan TUN dapat diselesaikan di forum Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan TUN), karena ada Keputusan TUN tertentu yang tidak dapat diselesaikan di forum Pengadilan TUN berdasarkan ketentuan UU tentang Peradilan TUN. Keputusan TUN tersebut adalah:
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Gugatan terhadap Keputusan TUN ini diselesaikan melalui proses peradilan perdata di forum Pengadilan Negeri.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. Permohonan/gugatan pembatalan Keputusan TUN ini diselesaikan melalui proses pengujian peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Permohonan Pembatalan Keputusan TUN ini dapat diselesaikan melalui proses banding administrasi (pengajuan permohonan banding kepada
Pejabat TUN yang lebih tinggi hirarkinya daripada Pejabat TUN yang menerbitkan Keputusan TUN termaksud).
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHP dan KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang bersifat hukum pidana.
Keputusan TUN ini dapat diselesaikan. melalui proses yang diatur dalam hukum acara pidana (seperti proses praperadilan).
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permohonan Pembatalan Keputusan TUN ini dapat diselesaikan melalui proses hukum acara yang berhubungan dengan perkara yang bersangkutan (seperti pengajuan perlawanan, pengajuan permohonan banding atau pengajuan permohonan kasasi).
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha TNI. Permohonan/Gugatan Pembatalan Keputusan TUN ini dapat diselesaikan di
forum Pengadilan Militer.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Permohonan/Gugatan Pembatalan Keputusan TUN ini tidak diselesaikan di forum Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan di. forum Mahkamah Konstitusi.
Isi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagaimana dikutip di atas menunjukkan bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah Keputusan TUN. Sekalipun demikian, menurut Undang-Undang ini, wewenang untuk menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan Keputusan TUN yang diterbitkan oleh KPU sehubungan dengan hasil pemilihan umum tidak berada pada Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hubungannya dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sengketa yang berhubungan dengan Keputusan TUN yang diterbitkan oleh KPU mengenai hasil Pilpres, wewenang untuk menyelesaikannya oleh Undang-Undang tentang Pilpres dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Keputusan KPU merupakan spesies dari satu genus yang bernama Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, perkara ini termasuk dalam jenis perkara tata usaha negara, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Kejaksaan dapat mewakili Pemerintah atau Negara di dalam perkara ini.
Ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang hanya mencantumkan perkara perdata dan perkara TUN, tidak dengan sendirinya berarti bahwa Kejaksaan hanya dapat mewakili Pemerintah atau Negara hanya dalam perkara-perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan TUN. Di dalam perkara perdata, Kejaksaan dapat mewakili Negara atau Pemerintah bukan hanya di forum Pengadilan Negeri, tetapi juga di forum Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, bahkan juga di forum Pengadilan Agama (untuk perkara pembatalan perkawinan) dan forum Arbitrase, baik Arbitrase Dalam negeri, maupun Arbitrase Internasional. Dengan demikian, di dalam perkara TUN, Kejaksaan dapat mewakili Negara atau Pemerintah bukan hanya di forum Pengadilan TUN, tetapi juga di forum Mahkamah Agung (dalam perkara hak uji materiil atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang) dan di forum Mahkamah Konstitusi.
Pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa KPU bukan Instansi Pemerintah, karena bersifat independen dan tidak bersubordinasi atau terkooptasi dengan Instansi Pemerintah mana pun adalah pendapat yang tepat. Sekalipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa hukum tidak memperkenankan Kejaksaan untuk mewakili KPU di dalam perkara ini. KPU adalah unsur dari aparatur negara. Karena Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memperkenankan Kejaksaan untuk mewakili negara, maka Kejaksaan diperkenankan untuk mewakili semua unsur aparatur negara, termasuk KPU.
Diwakilinya Komisi Pemilihan Umum oleh Kejaksaan tidak bertentang pula dengan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dimana dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa Pemohon, Termohon dan Pihak terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya
masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu.
Fakta objektif menunjukkan bahwa dalam perkara PHPU atas hasil pemilu legislatif 2009, KPU diwakili oleh Kejaksaan dalam seluruh perkara PHPU yang jumlahnya mencapai lebih dari 600 perkara. Diwakilinya KPU oleh Kejaksaan dalam hal ini tidak menimbulkan kekacauan hukum (legal chaos), tidak pula mengakibatkan hilangnya sifat independen KPU, sehingga KPU menjadi aparatur negara yang tersubordinasi atau terkooptasi oleh Instansi Pemerintah lainnya.
Sejarah menunjukkan bahwa Kejaksaan sudah mewakili Pemerintah RI/Presiden RI di forum Mahkamah Konstitusi dalam banyak perkara. Bukti-bukti terlampir menunjukkan kegiatan Kejaksaan dalam hal ini. Apa yang dilakukan oleh Kejaksaan di hadapan Mahkamah Konstitusi ini ternyata tidak menimbulkan kekacauan hukum (legal chaos).
Uraian di atas menunjukkan bahwa diwakilinya KPU oleh Kejaksaan dalam perkara ini merupakan sesuatu yang sah dan tidak dilarang oleh hukum. Penunjukkan Kejaksaan sebagai wakil KPU dalam perkara ini bukan saja merupakan tindakan yang legal (legitimate), melainkan juga merupakan tindakan yang bijak (wise), karena hanya Kejaksaan yang dapat memberikan bantuan hukum kepada KPU dengan biaya yang paling ringan. Oleh karena itu, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa hukum tidak memperkenankan
Kejaksaan untuk mewakili KPU dalam perkara ini merupakan dalil yang tidak benar, sehingga harus ditolak untuk seluruhnya.
Jawaban Termohon Terhadap Permohonan Pemohon I
Dalam Eksepsi
Permohonan Pemohon Bukan Merupakan Objek PHPU Yang Menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Bahwa Pemohon dalam permohonannya halaman 7 s.d. 8 angka 2.1 dan 2.2 pada pokoknya mempermasalahkan:
Bahwa Termohon (KPU) telah berkali-kali bertindak tidak adil dan memihak kepada salah satu Capres/Cawapres dengan menyebarluaskan ke seluruh Indonesia cara-cara pencontrengan dengan mencontreng Nomor Urut 2 yang sangat merugikan
Capres/Cawapres lainnya seperti Capres/Cawapres Nomor Urut 1 dan 3. Terhadap hal ini sudah ada rekomendasi Bawaslu yang memutuskan bahwa KPU (Termohon) telah melakukan pelanggaran kode etik terkait pemasangan spanduk sosialisasi Pilpres 2009 yang diduga berpihak.
b. Bahwa selain itu permintaan dari salah satu Capres untuk
memundurkan hari-hari tertentu yang telah ditetapkan oleh Termohon (KPU) ternyata tanpa mengajak musyawarah atau persetujuan Capres/Cawapres lainnya. KPU secara sewenang-wenang telah mengundurkan hari yang ditetapkan oleh KPU sendiri (dari tanggal 2 Juni menjadi tanggal 10 Juni 2009).
1.2. Kemudian Pemohon mendalilkan dalam permohonannya pada halaman 8 butir 2.2 angka 1 dan 2 yang pada pokoknya menyebutkan:
“KPU dengan telah sengaja atau lalai dalam menyusun DPT dan telah sengaja lalai menindaklanjuti temuan pasangan calon atau masyarakat bahkan Bawaslu terkait penyususnan DPT”;
1.3. Selanjutnya Pemohon dalam Permohonan halaman 8 angka 2.2 butir 3 dan 4 menyatakan:
- “KPU dianggap telah sengaja mengeluarkan kebijakan menghilangkan 69.000 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan atau penghilangan sebanyak 34,5 juta suara pemilih”;
- “KPU telah melibatkan pihak asing yaitu IFES dalam Proses
Tabulasi Nasional Pemilu Presiden”;
1.4. Dalil-dalil sebagaimana diuraikan di atas bukan merupakan objek Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (“PHPU”) Presiden dan Wakil Presiden dengan alasan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 201 menyatakan:
“(1) Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” (Catatan: huruf tebal ditambahkan).
b. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 4 menyatakan:
“Objek PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi:
a. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau
b. terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden”;
c. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 4, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek perselisihan dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah perselisihan antara KPU dan Pasangan Calon mengenai penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau mengenai terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
d. Berkaitan dengan permohonan a quo ternyata objek Permohonan
Pemohon, sebagaimana diuraikan di atas, bukan merupakan objek
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) juncto Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 Pasal 4, karena isi permohonan
Pemohon tidak berhubungan dengan “hasil penghitungan suara
yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden”. – Tidak ada satu kalimat pun di dalam permohonan Pemohon yang berhubungan dengan hasil penghitungan suara. – Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak dapat dikualifikasikan sebagai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, sehingga cukup beralasan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
2. Permohonan Pemohon Kabur Dan Tidak Jelas
2.1. Dalil Pemohon dalam permohonannya halaman 8 butir 2.2 angka 3 dan 4 yang menyatakan bahwa KPU dianggap telah sengaja
mengeluarkan kebijakan menghilangkan 69.000 TPS yang berpotensi
mempengaruhi pergerakan dan atau penghilangan sebanyak 34,5 juta
suara pemilih dan KPU telah melibatkan pihak asing yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden, merupakan dalil yang tidak jelas dan kabur.
2.2 . Bahwa Pemohon tidak menjelaskan lebih lanjut hubungan antara hilangnnya 69.000 TPS yang berpotensi penghilangan sebanyak 34,5 juta suara pemilih dengan perolehan suara para Peserta Calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, ”potensi hilangnya 34,5 juta suara” tidak hanya berpengaruh terhadap perolehan suara Pemohon sebagai salah satu pasangan Capres dan Cawapres, tetapi juga
berpengaruh terhadap semua pasangan Capres dan Cawapres.
2.3 . Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa KPU telah melibatkan pihak asing yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden, merupakan dalil yang kabur, karena Pemohon tidak menjelaskan hubungan antara ikutsertanya IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden dengan akibatnya terhadap perolehan suara para pasangan Capres dan Cawapres. Dengan demikian apa yang didalilkan oleh Pemohon merupakan dalil yang tidak jelas dan kabur;
2.4 . Selanjutnya, dalil Pemohon pada halaman 12 butir 2.11.1 yang menyatakan ”bahwa dari 474 kabupaten yang verifikasi, ditemukan 87 kabupaten yang bermasalah serius di antaranya:
- Tidak terinci s.d . TPS (rekap saja): 23 kabupaten/kota;
- Data kosong 36 kabupaten/kota;- Format PDF 11 kabupaten/kota;
- File isi tidak sesuai 3 kabupaten/kota;
- File berisi program 2 kabupaten;
- File belum diproses 10 kabupaten/kota;
- File berisi DP4 2 kabupaten/kota”;
2.5. Isi permohonan Pemohon sebagaimana dikutip di atas tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (3) butir b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tanggal 5 Maret 2009, tentang Pedoman Beracara dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan:
”Permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas
mengenai:
1. Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon;
2. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”
2.6. Bahwa dalil Pemohon dalam permohonannya sebagaimana dikutip dalam angka 2.5 di atas tidak menguraikan secara jelas TPS berapa dan dari kabupaten/kota mana yang bermasalah, dengan demikian permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (3) butir b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tanggal 5 Maret 2009.
2.7. Dengan demikian jelas bahwa permohonan Pemohon secara yuridis merupakan permohonan yang tidak jelas atau kabur (obscuur libel), sehingga cukup beralasan bagi Majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
B. Dalam Pokok Perkara
Terlebih dahulu Termohon menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikemukakan oleh Termohon Dalam Eksepsi tidak dapat dipisahkan dari bagian Dalam Pokok Perkara.
1. Jawaban Termohon Atas Dalil-dalil Pemohon mengenai KPU bertindak tidak adil dan memihak pada salah satu Capres/Cawapres. 1.1 Bahwa Permohonan Pemohon pada angka 2.1 halaman 7 sampai dengan halaman 8 pada pokoknya menyatakan bahwa KPU telah bertindak tidak adil dan memihak pada salah satu Capres/Cawapres antara lain terkait dengan proses sosialisasi dan pengaturan jadwal.
1.2 Dalil Pemohon sebagaimana tersebut di atas adalah tidak berdasar atas hukum, karena:
Dalam mempersiapkan kegiatan sosialisasi, Termohon telah melaksanakan tugas secara cermat dengan melakukan koreksi pada rancangan bahan-bahan sosialisasi termasuk spanduk tata cara penandaan surat suara (T-1).
Bahwa berdasarkan informasi dari KPU Provinsi, terdapat jenis spanduk tentang contoh penandaan surat suara yang kemudian dapat diinterpretasikan “mengarah” pada salah satu pasangan calon. Hal tersebut langsung ditindak lanjuti oleh Termohon dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 1183/KPU/VI/2009 tanggal 26 Juni 2009 yang isinya memerintahkan kepada jajaran Penyelenggara Pemilu untuk menarik spanduk sosialisasi yang dapat diinterpertasikan memihak pada salah satu pasangan calon (T-2);
Di samping itu KPU juga telah menerbitkan Surat yang ditujukan kepada Ketua KPU Provinsi seluruh Indonesia Nomor: 1209/KPU/VII/2009 tanggal 3 Juli 2009 perihal Perbaikan Spanduk Sosialisasi Tata Cara Pemberian Suara Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 agar mengganti contoh tanda centang/contreng (v) yang terdapat pada foto pasangan calon di kolom tengah dengan foto pasangan calon yang ada di kolom paling kiri serta mengganti contoh tanda centang/contreng (v) pada nomor urut pasangan calon di kolom tengah dengan urut pasangan calon yang berada di kolom paling kanan (Bukti T-3).
Bahwa tidak benar spanduk sosialisasi dimaksudkan untuk
“mengarahkan” pada Pasangan Calon Nomor Urut 2, karena dalam spanduk sosialisasi tidak memuat nomor urut pasangan calon. Terlebih bahan sosialisasi tersebut dirancang jauh sebelum
penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Demikian pula dengan dalil Pemohon bahwa telah dipasang oleh seluruh jajaran penyelenggara di wilayah NKRI. Hal demikian tidak benar karena berdasarkan data yang diperoleh dari KPU Provinsi spanduk dimaksud hanya terpasang di Provinsi Lampung, sebagian di Provinsi Sumatera Barat (Kabupaten Agam dan Bukit Tinggi), Provinsi Kalimantan Selatan dan sebagian di Provinsi Sulawesi Selatan. Di luar provinsi tersebut, spanduk yang dianggap tidak netral tersebut tidak dipasang atau belum terapsang dan ada juga yang langsung diperbaiki kemudian baru dipasang.
d. Bahwa berkaitan dengan dalil masalah sosialisasi, KPU telah menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu untuk memeriksa ketua Pokja sosialisasi dan hasilnya telah disampaikan kepada Bawaslu beserta bukti-bukti pemeriksaan yang menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran kode etik (Bukti T-4). Bahwa spanduk (yang dianggap bermasalah tersebut) bukan merupakan satu-satunya media sosialisasi yang digunakan oleh Termohon. Terdapat banyak media sosialisasi lain yang diterbitkan oleh Termohon berupa spanduk, poster, leaflet, brosur, iklan layanan masyarakat dan lain-lain yang jumlahnya jauh lebih banyak yang telah memberikan informasi secara benar dan adil.
2. Jawaban Termohon Atas Dalil-dalil Pemohon mengenai KPU telah
sewenang-wenang mengundurkan hari yang ditetapkan oleh KPU sendiri (dari tanggal 2 Juni menjadi 10 Juni 2009). Bahwa dalil Pemohon terkait pengunduran jadwal atas permintaan salah satu capres dalam angka 2.1 halaman 8 permohonannya juga tidak dapat
dibuktikan. Pemohon tidak jelas dalam menyebutkan jadwal apa yang
dimundurkan. Apabila yang dimaksudkan adalah pengunduran jadwal
kampanye, maka hal tersebut adalah tidak benar, karena yang sebenarnya terjadi adalah pengajuan jadwal yang mana hal tersebut adalah sesuai dengan bunyi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, khususnya Pasal 21 dan Pasal 40 yang mengatur tentang waktu penetapan calon dan waktu kampanye. Verifikasi pasangan calon telah selesai dilaksanakan oleh KPU pada tanggal 29 Mei 2008, penetapan pasangan calon pada tanggal 30 Mei 2008, maka kampanye harus sudah mulai dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2008. Dengan demikian, yang terjadi adalah pengajuan jadwal kampanye karena proses verifikasi lebih cepat diselesaikan, bukan pengunduran jadwal sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon.
3. Jawaban Termohon Atas Dalil-Dalil Pemohon terkait dengan
penyusunan DPT.
3.1 Bahwa pada halaman 8 angka 2.2 point 1 Pemohon mendalilkan KPU dengan sengaja atau setidak-tidaknya lalai dalam menyusun DPT. Menurut Termohon, dalil Pemohon merupakan pengingkaran terhadap fakta kinerja jajaran penyelenggara ditingkat KPU, KPU Provinsi, Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS dan PPDP (Petugas Pemutakhiran Daftar Pemilih) serta partisipasi seluruh elemen masyarakat yang secara sukarela membangun kehidupan demokrasi dan terlibat secara langsung dalam tahapan pemutakhiran daftar pemilih bersama penyelenggara melakukan kegiatan sosialisasi, pencocokan dan penelitian bahan Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan memberi tanggapan terhadap pengumuman DPS.
3.2 Untuk memberi pemahaman secara komprehensif terhadap pelaksanaan tugas pemutakhiran daftar pemilih oleh jajaran
penyelenggara sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Termohon
menyampaikan fakta-fakta sebagai berikut:
a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemuktahiran daftar pemilih
Pemilu Presiden Wakil Presiden Tahun 2009, Termohon menetapkan jadwal waktu pelaksanaan tahapan pemuktahiran daftar pemilih sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang telah diubah beberapa kali dengan Peraturan KPU Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan KPU Nomor 45 Tahun 2009;
b. Bahwa Termohon telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2009 dan melaksanakan rapat kerja bersama KPU Provinsi se–Indonesia untuk memberi pedoman pelaksanaan pemutakhiran
daftar pemilih kepada KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPDP, (Bukti: Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2009 dan undangan rakor);
Bahwa dalam upaya menindaklanjuti pedoman KPU tentang pelaksanaan tahapan pemutakhiran daftar pemilih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU provinsi bersama KPU kabupaten/kota, PPK, PPS telah melakukan koordinasi secara berjenjang untuk melaksanakan sosialisasi (Bukti T-5), penyusunan bahan DPS (Bukti T-6), pengumuman DPS (Bukti T-7), penyusunan DPS Hasil Perbaikan (Bukti T-8) dan menetapkan DPT (Bukti T-9). Berdasarkan fakta dan bukti tersebut sudah selayaknya dalil Pemohon dikesampingkan;
3.3 Bahwa pada halaman 8 angka 2.2 point 2 Pemohon mendalilkan KPU dengan telah sengaja atau setidak-tidaknya lalai menindaklanjuti temuan pasangan calon ataupun masyarakat serta Bawaslu terkait penyusunan DPT. Dalil tersebut tidak disertai dengan data dan fakta yang akurat. Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas kapan dan dimana pasangan calon menyampaikan tanggapan atas pengumuman DPS. Selanjutnya Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas siapa/penyelenggara Pemilu daerah mana yang dengan sengaja atau alpa tidak menindaklanjuti tanggapan pasangan calon. PPS sebenarnya telah melaksanakan tugas secara optimal karena tanggapan dari elemen masyarakat, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Kabupaten/Kota atas pengumuman DPS yang dilaksanakan pada tanggal 11 s.d 17 Mei 2009 segera ditindak lanjuti dengan mengisi formulir Model A1-PPWP;
3.4 Bahwa dalil Pemohon pada angka 2.6 halaman 9 s.d. halaman 10 tidak perlu ditanggapi Termohon karena keputusan DPR–RI menggunakan Hak Angket dalam merespon masalah DPT bukan merupakan fakta hukum. Hak angket yang dilakukan oleh DPR-RI tersebut sebenarnya dilakukan untuk masa penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, bukan untuk masa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 3.5 Bahwa terhadap dalil yang disampaikan Pemohon pada angka 2.7
menurut Termohon apa yang didalilkan tersebut dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden khususnya Pasal 29 ayat (1) dan ayat (5), tidak perlu ditanggapi oleh Termohon karena sudah dilakukan oleh Termohon dengan SK Nomor 315/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 8 Juni 2009 dan SK Nomor 356/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 6 Juli 2009.
3.6 Sehubungan dengan dalil Pemohon pada angka 2.8 halaman 11,
Termohon menolak dalil Pemohon yang menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 sebagai dasar dalil Pemohon. Bahwa tidak benar Termohon tidak melaksanakan tugas pemutakhiran daftar pemilih. Dalam melaksanakan tugas tersebut, jajaran penyelenggara menghadapi
beberapa hambatan antara lain: data pemilih pemula (WNI – pada
tanggal 8 Juli 2009 usia 17 tahun) yang diterbitkan Dispenduk kab/kota tidak valid, misalnya dalam satu RT terdapat lebih dari 12 orang pemilih memiliki tanggal, bulan dan tahun kelahiran yang sama, masih ada WNI yang terdata lebih dari satu kali, data yang diberikan sama dengan data tahun sebelumnya. Hambatan lainnya, Pemerintah Desa/Kelurahan tidak dapat membantu memberikan data yang akurat berapa jumlah warga yang pada tanggal 8 Juli 2009 berdomisili di wilayah hukumnya, data tersebut sangat penting bagi Penyelenggara Pemilu mengingat banyak warga yang berstatus sebagai buruh migran atau boro (bekerja di luar daerah). Demikian juga dengan Disnakertrans, dalam rangka mewujudkan akurasi daftar pemilih, untuk memastikan data buruh migran yang pada tanggal 8 Juli 2009 kembali ke kampung halaman, KPU kabupaten/kota se Jawa Tengah berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Disnakertrans). Hasilnya hanya 1 (satu) kabupaten saja (Disnakertras Kabupaten Batang) yang merespon dan memberi data dimaksud (Bukti T-10). Berdasarkan fakta demikian, maka keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan kesempatan kepada penduduk yang memenuhi syarat sebagai pemilih tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan KTP, seharusnya
dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi menemukan fakta hukum problematik administrasi kependudukan yang berpengaruh pada hasil pemuktahiran daftar pemilih sehingga perlu membuat suatu keputusan WNI yang memenuhi syarat sebagai pemilih tetapi tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan KTP atau Pasport.
3.7 Bahwa dalil-dalil Pemohon yang menyajikan data hasil penyisiran softcopy DPT yang dilakukan oleh Pemohon (vide permohonan angka 2.11, angka 2.11.1, angka 2.11.2, angka 2.11.3, angka 2.11.4, angka 2.11.5) adalah tidak berdasar atas hukum. Fakta menunjukkan bahwa berdasarkan keterangan Tim KPU yang melakukan pendampingan kepada Tim Pasangan Calon Yusuf Kalla – Wiranto, pada saat melakukan penyisiran data softcopy DPT, Termohon menggunakan format yang berbeda dengan data softcopy DPT Pemohon. Hal ini
mengakibatkan Pemohon tidak berhasil membaca seluruh dokumen yang diserahkan Termohon. Berdasarkan fakta ini, pertanyaan yang patut diajukan adalah bagaimana mungkin Pemohon bisa menghimpun data berdasarkan hasil penyisiran dan menyimpulkan terdapat temuan penggandaan sejumlah pemilih sementara Pemohon tidak berhasil membaca seluruh dokumen. Untuk itu sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi mengesampingkan data Pemohon (Bukti T-11);
3.8 Bahwa permohonan Pemohon angka 2.13 menunjukkan ketidakpahaman Pemohon terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur tugas dan wewenang KPU dalam melaksanakan tugas pemutakhiran daftar pemilih. Sebelumnya Pemohon mendalilkan bahwa Termohon telah menetapkan DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (vide permohonan angka 2.12), kemudian dengan merujuk Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 “KPU melakukan rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap luar negeri dan Pemilih secara nasional” Pemohon menyatakan Termohon tidak pernah menetapkan DPT sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (5).
Dalil Pemohon tersebut di atas tidak benar, karena tugas dan wewenang pemutakhiran daftar pemilih oleh Termohon tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 29 ayat (6) yang memberi kewenangan kepada Termohon untuk menyusun peraturan
mengenai pemutakhiran daftar pemilih. Berdasarkan ketentuan
tersebut, KPU menerbitkan Peraturan Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden (Bukti T-12) yang diantaranya mengatur tugas
penyelenggara Pemilu di setiap tingkatan. Penetapan DPT dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota, selanjutnya dilaksanakan
rekapitulasi oleh KPU provinsi dan rekapitulasi nasional oleh KPU. Dengan demikian, tidak tepat apabila Pemohon menyatakan Termohon tidak melaksanakan penetapan DPT. Ditinjau dari aspek hukum administrasi negara, penetapan rekapitulasi DPT oleh Termohon merupakan tindakan hukum yang tidak dapat dipisahkan dari tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara hierarkhis dan berjenjang;
3.9 Bahwa data Pemohon sebagaimana tertuang dalam dalil 2.14 tidak dapat digunakan sebagai pedoman, karena data softcopy DPT sifatnya dinamis – mengikuti perubahan DPT sebagaimana tertuang dalam keputusan KPU Nomor 302 Tahun 2009 (Bukti T-13), Keputusan KPU Nomor 316 Tahun 2009 dan Keputusan KPU Nomor 356 Tahun 2009.
Berdasarkan ketentuan Pasal 115 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009, data terakhir yang digunakan sebagai pedoman KPPS dalam memfasilitasi hak Pilih WNI yang terdaftar sebagai pemilih adalah Salinan Daftar Pemilih Tetap (SDPT) yang disampaikan KPPS kepada saksi pasangan calon di TPS. Dengan
demikian data softcopy DPT Pemohon tanggal 31 Mei 2009 tidak dapat disandingkan dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat Kabupaten/Kota (formulir model DC-1). Fakta yang lain adalah jika benar terjadi manipulasi data DPT yang dilakukan secara masif, sistematik dan terstruktur sebagaimana dalil Pemohon, maka pada saat pelaksanaan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan terjadi suatu kondisi yang tidak kondusif. Seluruh masyarakat Indonesia yang hadir di TPS menjadi saksi bahwa pelaksanaan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tanggal 8 Juli 2009 berjalan aman, lancar, damai dan kondusif. Dengan demikian sudah selayaknya Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak seluruh dalil Pemohon;
3.10 Pada prinsipnya, semua dalil Pemohon yang berhubungan dengan
“ketidak-beresan DPT” merupakan dalil yang harus ditolak untuk
seluruhnya, karena:
a. Jika “ketidak-beresan DPT” tersebut mengakibatkan orang yang
mempunyai hak pilih menjadi tidak terdaftar dalam DPT, maka
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009, orang tersebut tetap dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih dengan menggunakan KTP dan KK;
b. Jika “ketidak-beresan DPT” tersebut mengakibatkan adanya orang
yang terdaftar lebih dari satu kali di dalam DPT pada TPS yang sama, maka orang ini tidak akan dapat menggunakan hak pilihnya
secara berkali-kali, karena Petugas TPS yang mengenalinya niscaya akan menolaknya datang untuk kedua-kalinya.
c. Jika “ketidakberesan DPT” tersebut mengakibatkan adanya orang
yang terdaftar lebih dari satu kali dalam DPT pada TPS yang
berlainan, orang ini pun tidak akan dapat menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali. Setiap pemilih yang sudah
menggunakan hak pilihnya akan ditandai dengan tinta pada jarinya,
sehingga ia tidak akan dapat melakukan pencontrengan ulang.
d. Uraian di atas menunjukkan bahwa dalil Pemohon mengenai
“ketidak-beresan DPT” tidak ada hubungannya dengan perolehan
suara Capres-Cawapres, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai
objek PHPU.
4. Jawaban Termohon atas Dalil-Dalil Pemohon mengenai KPU dianggap telah sengaja mengeluarkan kebijakan menghilangkan
69.000 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan atau
penghilangan sebanyak 34,5 juta suara pemilih;
4.1 Pemohon dalam permohonan halaman 8 angka 3 pada pokoknya
mendalilkan bahwa KPU dianggap telah sengaja mengeluarkan kebijakan menghilangkan 69.000 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan atau penghilangan sebanyak 34,5 juta suara pemilih.
4.2 Selanjutnya Pemohon dalam permohonan halaman 24 angka 2.15 pada pokoknya mendalilkan bahwa Termohon mengakui melakukan pengurangan TPS yang sebelumnya pada Pemilu Legislatif sebanyak 519.000 TPS menjadi 450.000 TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, bahwa meskipun dimungkinkan pengurangan TPS tersebut karena adanya peraturan yang menyebutkan bahwa untuk Pilpres disetiap TPS ditetapkan pemilihnya maksimal berjumlah 800 orang yang per TPS yang berbeda dengan Pemilu Legislatif sebanyak 500 orang per TPS, akan tetapi mengingat perubahan-perubahan DPT yang
berkali-kali menyebabkan Termohon tidak mengumumkan dan mengetahui dimana saja pengurangan TPS tersebut.
4.3 Dalil Pemohon sebagaimana diuraikan di atas adalah tidak berdasar atas hukum dengan alasan sebagai berikut :
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan:
“(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang.
(2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah di jangkau, termasuk oleh penyandang cacat, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia”;
- Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (3) menyatakan:
“(1) Jumlah Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang. (2) Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS dapat diselesaikan pada hari dan tanggal yang sama, KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS harus memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat, yaitu:
a. tidak menggabungkan desa/kelurahan;
b. memudahkan Pemilih;
c. memperhatikan aspek geografis;
d. batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan
e. jarak tempuh menuju TPS;
(3) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah di jangkau, termasuk oleh penyandang cacat dan menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia”;
- Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sebagaimana diuraikan di atas, jelas bahwa penentuan jumlah pemilih untuk tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang oleh KPU dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan semata-mata untuk menghilangkan 69.000 TPS
sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.
- Dalil Pemohon yang membandingkan jumlah TPS pada Pemilu Legislatif sebanyak 519.000 TPS menjadi 450.000 TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah tidak berdasarkan atas hukum. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) membawa konsekuensi
logis berkurangnya jumlah TPS. Meskipun demikian pengurangan jumlah TPS dilakukan dengan memperhatikan:
a. tidak menggabungkan desa/kelurahan;
b. memudahkan Pemilih;
c. memperhatikan aspek geografis;
d. batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan
f. jarak tempuh menuju TPS;
untuk menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Dengan demikian dalil Pemohon tidak berdasar atas hukum sehingga cukup beralasan bagi Majelis Hakim Konstitusi untuk menolak permohonan Pemohon atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
5. Jawaban Termohon atas Dalil-Dalil Pemohon mengenai KPU telah melibatkan pihak asing yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden
5.1 Pemohon dalam permohonan halaman 8 angka 4 pada pokoknya mendalilkan bahwa KPU telah melibatkan pihak asing yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden.
5.2 Dalil Pemohon sebagaimana diuraikan di atas adalah tidak berdasar atas hukum dengan alasan sebagai berikut:
- Bahwa Komisi Pemilihan Umum dimungkinkan bekerjasama
dengan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum
sepanjang pihak asing tersebut telah diakui oleh lembaga
yang berwenang sesuai dengan aturan yang berlaku;
- Bahwa dalam rangka memberi informasi kepada masyarakat
tentang hasil penghitungan suara sementara, KPU membangun kerjasama dengan IFES. Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri juncto
Peraturan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Nomor PER
005/M.PPN/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Selanjutnya ketentuan tersebut dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasioanal, dimana seluruh pelaksanaannya berdasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik;
- Laporan rekap via SMS yang dikirim via handphone yang telah terdaftar pada proses Registrasi kemudian dilakukan proses validasi sebelum disimpan di database. Data tersebut kemudian diproses sehingga menjadi tabulasi nasional. Data tersebut didasarkan pada apa yang ada di dalam formulir C-1, DA-1, DB-1, DC-1, yang dibuat oleh petugas/pejabat yang berotoritas untuk menerbitkan dokumen-dokumen tersebut. Dengan kata lain data yang ada pada Termohon sama sekali bukan data yang dibuat oleh IFES.
6. Jawaban Termohon atas Dalil-Dalil Pemohon mengenai KPU telah
melakukan pelanggaran 150 kali pelanggaran jenis pelanggaran
yang merata terjadi di seluruh Indonesia.
6.1 Bahwa Termohon menolak dalil Pemohon karena tidak berdasar
fakta hukum dan bukti;
6.2 Bahwa Pemohon menggunakan bukti P-20 s.d. P-54 untuk mendalilkan adanya pelanggaran-pelanggaran;
6.3 Kecuali Bukti P-26, bukti-bukti lainnya dari P-20 s.d . P-24 adalah Berita Acara Rekapitulasi Suara yang dibuat oleh KPU Provinsi (formulir model DC-1). Bukti ini tidak membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon, karena:
a. Beberapa bukti menunjukkan tidak adanya tanda-tangan Saksi dalam Rekapitulasi ini. Hal ini tidak menghapus keabsahan hasil Rekapitulasi, karena sah-tidaknya Rekapitulasi penghitungan suara tidak ditentukan oleh ada-tidaknya tanda tangan saksi. b. Beberapa bukti (seperti P-23 dan P-27) menunjukkan adanya
keberatan (yang dituangkan dalam formulir model DC-2). Hal ini pun tidak menghapus keabsahan hasil rekapitulasi, karena isi keberatan tersebut ternyata tidak mempersoalkan angka yang dicantumkan di dalam rekapitulasi (formulir model DC-1).
6.4 Bukti P-26 mencantumkan kondisi hasil penelitian Pemohon
terhadap isi softcopy mengenai DPT yang disampaikan oleh
Termohon kepada Pemohon. “Ketidak-beresan DPT” yang ditemukan oleh Pemohon dalam hubungannya dengan softcopy ini tidak perlu dipertimbangkan, karena:
a. Sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon tidak menjelaskan dengan software apa Pemohon membuka softcopy dari Termohon dan juga tidak menjelaskan bahwa software tersebut cocok (compatible) untuk membuka softcopy termaksud.
b. Pemohon tiudak membandingkan hasil penelitian atas softcopy tersebut dengan hardcopy (printout) yang digunakan oleh Termohon. Di lapangan, para petugas TPS menggunakan hardcopy berupa printout DPT, bukan softcopy. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa isi software yang diperoleh dari Termohon tidak valid, merupakan dalil yang tidak relevan, karena yang digunakan di dalam praktek adalah hardcopy, bukan softcopy.
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, maka Termohon minta agar Majelis Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan ini dapat memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
1. Menerima eksepsi Termohon;
2. Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima;
Atau
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan penetapan KPU Nomor 365/KPTS/KPU/TAHUN 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 adalah sah menurut hukum.
Atau, apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi R.I berpendapat lain mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Tambahan Jawaban Tertulis Termohon Terhadap Perubahan Permohonan
Pemohon I
I. Jawaban Termohon Atas Perubahan Permohonan Pemohon
Bahwa Pemohon keberatan terhadap perubahan materi Permohonan Pemohon yang disampaikan dalam persidangan pertama. Ketentuan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Persetisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden hanya memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan bukan perubahan. Selengkapnya Peraturan Mahkamah Konstitusi menyebutkan: "Perbaikan permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon hanya dalam persidangan hari pertama baik atas kemauan sendiri maupun atas
nasehat hakim". Permohonan Pemohon yang dibacakan dihadapan
persidangan pertama, tanggal 4 Agustus 2009, Pemohon tidak sekedar melakukan perbaikan tetapi tetah melakukan perubahan dengan menambah objek sengketa;
Bahwa dalam permohonan Pemohon yang teregister oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Juli 2009, Pemohon tidak mendalilkan masalah penghitungan suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009. Namun dalam perbaikan, Pemohon melakukan perubahan permohonan dengan menambah objek sengketa. Dalam hal terdapat perbaikan terhadap permohonan Pemohon, tidak boleh mengubah dan atau menambah objek sengketa. Hal demikian dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum. bagi Termohon dalam
menghadapi sengketa hukum;
Apa yang dilakukan oleh Pemohon sebenarnya bukan memperbaiki atau
merubah permohonan, melainkan mengganti permohonan; Bahwa untuk memberi kepastian hukum kepada Termohon, sudah selayaknya Mahkamah mengesampingkan penambahan objek sengketa yang diajukan oleh Pemohon;
II. Dalam Pokok Perkara
a. Bahwa Termohon menolak dalil Pemohon pada halaman 14 angka 2.15. Pemohon tidak menguraikan dengan jelas dalil dugaan penggelembungan suara yang dilakukan Termohon untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 Susilo Bambang Yudhoyono - Boediono. Dimana, berapa jumlahnya dan oleh siapa? Ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai kesalahan penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan penghitungan suara yang benar menurut Pemohon;
Tahapan penghitungan suara dan rekapitulasi hasi penghitungan suara disetiap tingkatan telah dilaksanakan tanpa adanya keberatan terhadap perolehan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal demikian dapat dibuktikan dengan formulir pernyataan keberatan saksi. Berdasarkan formulir model DC-2 PPWP, tidak terdapat catatan keberatan dari saksi yang hadir berkaitan dengan perolehan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan fakta hukum tersebut, sudah selayaknya Mahkamah menyatakan menolak dalil Pemohon;
b. Bahwa Termohon menotak dalil Pemohon angka 2.16. Terhadap penetapan jumlah TPS, disampaikan data sebagai berikut:
Jumlah TPS Pemilu Legislatif 2009 (SK KPU No.164/Kpts/KPU/2009)
Jumlah TPS Pilpres Tahun 2009 (SK KPU No. 315/Kpts/KPU/2009)
519.920
449.808
Penetapan jumlah TPS Pilpres tersebut di atas dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan:
"(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang. (2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah di jangkau, termasuk oleh penyandang cacat, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta
menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia";
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemitihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (3) menyatakan:
"(1) Jumlah Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang.
(2) Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pelaksanaan pemungutan suara dan
penghitungan suara di TPS dapat diselesaikan pada hart dan tanggal yang sama, KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS harus memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat, yaitu:
tidak menggabungkan desa/kelurahan;
memudahkan Pemilih;
memperhatikan aspek geografis;
batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan
jarak tempuh menuju TPS;
(3) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat dan menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia";
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) dan Peraturan Komisi Pemitihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sebagaimana diuraikan di atas, jelas bahwa perbedaan jumlah pemilih terjadi bukan karena faktor penyelenggara menghilangkan 69.000 TPS, namun semata-mata melaksanakan amanat Undang-Undang. Dengan demikian dalil Pemohon tidak berdasar atas hukum sehingga cukup beralasan bagi Majelis Hakim Konstitusi untuk menolak permohonan Pemohon atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima; Pemohon sendiri sebenarnya mengetahui faktor penyebab terjadinya perubahan jumlah TPS, karena di halaman 24 butir 2.16 permohonan dikemukakan:
"... adanya peraturan yang menyebutkan bahwa untuk Pilpres di setiap TPS ditetapkan pemilihnya maksimal berjumlah 800 orang per TPS yang berbeda dengan pemilu legislatif sebanyak 500 orang". Dengan demikian, terjadinya pengurangan jumlah TPS merupakan hal yang tidak perlu lagi untuk dipermasalahkan.
c. Bahwa Termohon menolak dalil Pemohon angka 2.17 yang tidak menguraikan dengan jelas dugaan perbuatan melawan hukum di Provinsi Papua, berupa perbuatan pencontrengan yang tidak dilakukan oleh pemilih, melainkan oleh para anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS). Perbuatan tersebut dilakukan oleh siapa, berapa jumlahnya dengan modus seperti apa? Termohon hanya menyebutkan 5 kabupaten/kota di Provinsi Papua, tetapi tidak menunjuk dengan jelas nama kabupaten/kota dimaksud. Demikian pula dengan dalil Pemohon pada angka 2.18 tidak menyebut dengan jelas peristiwa tersebut terjadi dimana dan dilakukan oleh siapa? Berdasarkan fakta tersebut, dalil Pemohon patut ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;
Pada saat pembuktian, Termohon bersedia untuk menunjukkan bukti bahwa perbuatan melawan hukum berupa "pencontrengan oleh anggota PPS" tersebut benar ada, tetapi jumlahnya tidak signifikan dan tidak mempengaruhi rekapitulasi penghitungan perolehan suara, karena atas rekomendasi Panwaslu setempat, KPU setempat sudah membatalkan perolehan angkanya;
d. Bahwa Termohon dan jajarannya telah melaksanakan semua tahapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Hal demikian dapat dibuktikan dengan output kegiatan pelaksanaan tahapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pelaksanaan Tahapan pemutakhiran daftar pemilih menghasilkan DPT, Tahapan pencalonan menghasilkan penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, tahapan pemungutan suara menghasilkan penetapan perolehan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan fakta demikian, tahapan mana yang dimaksudkan oleh Pemohon bahwa Termohon tidak melaksanakan Tahapan penyelenggaraan Pemilu?
e. Bahwa terhadap dalil Pemohon angka 2.20, Termohon telah menyampaikan jawaban dihadapan persidangan tanggal 4 Agustus 2009; f. Di halaman 24, angka 2.16 Pemohon mengemukakan bahwa dengan hilangnya 69.000 TPS, di mana setiap TPS menampung 500 suara, maka Pemohon kehilangan suara sebanyak 69.000 X 500 = 34.500 .000 suara. Apa yang dikemukakan oleh Pemohon ini tidak benar dan tidak logis, karena adalah tidak mungkin untuk menyatakan bahwa suara yang hilang itu seluruhnya merupakan suara untuk Pemohon. Pemilihan Umum Presiden yang bersifat rahasia tidak memungkinkan seseorang untuk mengetahui kepada siapa suara dari seseorang lain diberikan pada saat pencontrengan. Asas rahasia menentukan bahwa apa yang dicontreng hanya dapat diketahui oleh si pencontreng itu sendiri dan oleh Tuhan.
g. Dalil di dalam "perubahan" permohonan yang menyatakan Pemohon kehilangan 34.500.000 suara telah menimbulkan dalil baru yang menyatakan bahwa perolehan suara Pemohon berada pada urutan nomor 2, sehingga jika Pilpres putaran kedua digelar, para pemilih harus menjatuhkan pilihannya kepada Pemohon atau kepada Calon Nomor 2. Perubahan permohonan ini membawa konsekuensi kepada hukum acara. Karena perubahan ini, Pasangan Capres - Cawapres Nomor Urut 1 (Megawati Sukarno Putri dan Prabowo) harus ditempatkan bukan sebagai sesama Pemohon di dalam perkara ini, melainkan sebagai Pihak Terkait, karena baik Pemohon maupun Pasangan Capres - Cawapres Nomor Urut 1 sama-sama memperebutkan posisi perolehan suara pada peringkat kedua, agar dapat masuk ke Pilpres Putaran Kedua, jika putaran kedua tersebut perlu diadakan.
h. Bahwa karena dalil Pemohon sebagaimana dikemukakan pada halaman 26-29 angka 1 s.d 10 tidak didasarkan pada ketentuan hukum, data dan fakta yang benar, maka sepatutnya Mahkamah Konstitusi menolak kesimpulan Pemohon.
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, maka Termohon minta agar Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan ini dapat memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
1. Menerima eksepsi Termohon;
2. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima; Atau
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menolak permohonan Pemohon untuk seturuhnya;
Menyatakan penetapan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tanggat 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitutasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 adalah sah menurut hukum.
Atau, apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Jawaban Tertulis Termohon Terhadap Permohonan Pemohon II
Dalam Eksepsi
Permohonan Pemohon Bukan Objek Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Bahwa Pemohon dalam permohonannya halaman 5 s.d. 6 angka 3 dan 4 pada pokoknya mempermasalahkan :
- Bahwa Termohon selaku institusi Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009, beserta seluruh perangkatnya dipandang belum berperan secara optimal sehingga belum mampu mempersempit ruang penyimpangan serta berbagai bentuk kecurangan lainnya, baik yang bersifat teknis prosedural, administratif maupun ketimpangan pemungutan dan penghitungan suara sehingga tidak menjamin tegaknya hukum (law enforcement);
Selanjutnya Pemohon dalam permohonannya halaman 10 angka 9 mendalilkan: “Termohon telah secara tergesa-gesa dan secara melawan hukum serta tanpa pertimbangan yang jelas telah memutus dan menetapkan Pasangan Calon DR. H.Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR. Boediono sebagai Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Terpilih yang memperoleh jumlah suara terbanyak, dengan tidak mengindahkan keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon dan Surat Lembaga Swadaya Masyarakat maupun Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu cq Panitia Pengawas di setiap jenjang perhitungan suara”;
Lebih lanjut Pemohon dalam permohonannya angka halaman 12 s.d. 22 angka 14 huruf e, huruf f, huruf g dan halaman 23 tentang Fakta Hukum antara lain mendalilkan:
- Termohon menerbitkan kebijakan dengan menghilangkan 68.918 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan sebanyak 34.459.000 suara pemilih. (vide permohonan halaman 19 huruf e);
- Termohon telah bertentangan atau setidak-tidaknya telah bertindak tidak sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan Pemilu yang mensyaratkan KPU selaku Penyelenggara Pemilu harus terbebas dari pengaruh pihak manapun (termasuk pihak asing) terkait dengan segala sesuatu yang berkenan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. (vide permohonan halaman 20 huruf f);
- Pemilih Pemohon yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 disengaja ataupun tidak telah dibuat sebagai Keputusan yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. (vide permohonan halaman 21 huruf g);
- Tentang fakta hukum dimana Komisi Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara terang dan jelas menyatakan bahwa Termohon telah gagal menyelenggarakan Pemilu secara tertib. (vide permohonan halaman 23);
4. Dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan di atas bukan merupakan objek Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (“PHPU”), karena permohonan Pemohon tidak berhubungan dengan “hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon
atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sebagai yang dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008;
Dengan demikian permohonan Pemohon tidak dapat dikualifikasikan sebagai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum sehingga cukup beralasan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima;
b. Permohonan Pemohon Kabur (Obscuur Libel)
Pemohon mendalilkan (di halaman 7 angka 7 permohonan) bahwa telah
terjadi “penambahan suara yang tidak sah yang dilakukan secara
sengaja bagi Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono sebanyak 28.658.634 suara”;
Apa yang dikemukakan Pemohon ini kabur, karena Pemohon sama sekali tidak menjelaskan bagaimana atau dengan cara apa “penambahan suara yang tidak sah” tersebut terjadi. Dengan demikianpermohonan Pemohon merupakan permohonan kabur (obscuur libel). Pasal 5 ayat (3) huruf b angka 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan bahwa permohonan harus berisi uraian yang jelas mengenai “kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon”;
Dengan demikian, dalil Pemohon seperti tersebut di atas adalah merupakan dalil yang tidak jelas/obscuur libel karena Pemohon tidak menguraikan secara terperinci hasil penghitungan yang benar versi Pemohon sehingga cukup alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima;
Pemohon mendalilkan (point 8 halaman 8) didasarkan pada penambahan suara yang tidak sah bagi Pasangan Calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono mengakibatkan terjadinya selisih hasil perolehan suara dengan Pemohon sebanyak 12.667.882
suara sehingga seharusnya menurut Pemohon pasangan calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. DR . Boediono tidak dapat ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2009 melalui Pemilu 1 (satu) putaran karena pereolehan
suaranya hanya berjumlah 45.215.927 atau equivalent dengan 48,70% suara dari jumlah seluruh suara sah;
Apa yang dikemukakan Pemohon ini kabur, karena Pemohon tidak memberi penjelasan mengenai mengapa, menurut Pemohon perolehan suara untuk pasangan calon DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan
Prof. DR . H. Boediono adalah sebesar 45.215.927 atau equivalent dengan 48,70%;
Pasal 5 ayat (3) huruf b angka 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan bahwa permohonan harus berisi uraian yang jelas mengenai “ kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil
penghitungan yang benar menurut Pemohon”;
Dengan demikian, dalil Pemohon seperti tersebut di atas adalah merupakan dalil yang tidak jelas/obscuur libel karena Pemohon tidak
menguraikan secara terperinci bagaimana caranya penambahan suara yang tidak dah itu terjadi. Pemohon bahkan sama sekali tidak menjelaskan perbuatan-perbuatan nyata apa (materieele feiten) yang dilakukan oleh Termohon atau orang/pihak yang berada di bawah supervisi Termohon dalam melakukan “penambahan suara yang tidak sah itu”, sehingga menguntungkan Pasangan Calon Nomor Urut 2. Dengan demikian, permohonan Pemohon merupakan permohonan yang kabur, sehingga cukup alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan Pemohon todak dapat diterima;
Pasal 9 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden menentukan bahwa “surat atau tulisan” merupakan salah satu alat bukti;
Pasal 10 ayat (1) Peraturan a quo ditentukan apa saja yang termasuk dalam alat bukti surat atau tulisan;
Bukti P-6 sampai dengan Bukti P-30 tidak memenuhi persyaratan bagi alat bukti surat dan tulisan sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 sehingga Bukti P-6 sampai dengan Bukti P-30 tidak mempunyai kekuatan hukum, karena bukti tersebut merupakan alat bukti yang digunakan oleh Pemohon untuk membuktikan adanya “penambahan suara secara tidak sah”, maka secara yuridis harus disimpulkan bahwa tidak ada alat bukti yang membuktikan adanya perbuatan “penambahan suara secara tidak sah”. Dengan demikian, permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima;
DALAM POKOK PERKARA
Komisi Pemilihan Umum (Termohon) Tidak Melakukan Penyimpangan Dan/Atau Kecurangan Dan/Atau Kesalahan Terhadap Hasil Penghitungan Suara, karena:
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2009, pada saat pelaksanaan rekapitulasi di tingkat PPK, KPU Kabupaten/Kota maupun KPU Provinsi, saksi dari Pemohon tidak menyampaikan keberatan berkaitan dengan selisih hasil perhitungan suara pasangan calon di setiap tingkatan. Berkaitan dengan tanda tangan saksi, Pasal 47 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2009 menyebutkan “dalam hal terdapat anggota KPPS dan saksi yang hadir tidak bersedia menandatangani berita acara, berita acara pemungutan dan perhitungan suara ditandatangani oleh anggota KPPS dan saksi yang hadir dan bersedia menandatangani“. Demikian pula dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3), Pasal 26 ayat (3), Pasal 39 ayat (3), Pasal 52 ayat (3) dalam hal terdapat anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, anggota KPU provinsi dan saksi yang hadir tidak bersedia menandatangani berita acara, berita acara pemungutan dan perhitungan suara ditandatangani oleh PPK, anggota KPU kabupaten/kota, anggota KPU dan saksi yang hadir dan bersedia menandatangani. Dengan demikian ada atau tidak ada tanda tangan saksi tidak menghalangi dan mengurangi legitimasi hasil perhitungan sura dan rekapitulasi;
Bukti-bukti yang ada pada Termohon, yang merupakan bukti otentik yang dikenal oleh ketentuan hukum yang berlaku, yaitu formulir DC-1, formulir DB 1 menunjukan perolehan suara (tanpa penambahan suara secara tidak sah) di daerah-daerah yang disebut oleh Pemohon di halaman 8 dan 9;
Berdasarkan uraian Termohon di atas, jelas dan tegas bahwa data yang disampaikan oleh Pemohon adalah data yang tidak benar, sehingga secara yuridis cukup beralasan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan Pemohon;
Alat Bukti Pemohon Nomor P-6 Sampai Dengan P-30 Secara Hukum Bukan Merupakan Alat Bukti
Bukti P-6 sampai dengan P-30 yang diajukan Pemohon tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Sdr. Fadli Zon sementara Sdr. Fadli Zon bukan personil penyelenggara melainkan Sekretaris Tim Kampanye Nasional Pasangan
Calon Mega - Prabowo, dengan demikian seluruh dalil dan bukti Pemohon wajib ditolak.
Dalam Penyelenggaraan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden RI, Kpu Tidak Melanggar Hukum Dan/Atau Tidak Menyimpang Dari Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Atau Tidak Melakukan Kecurangan Dan Tidak Melakukan Hal Yang Manipulatif Mengenai:
Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Dalam rangka merespon permohonan Pemohon untuk melakukan pencermatan DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Termohon menerbitkan Surat Nomor 373/UND/VII/2009 yang isinya mengundang Tim Kampanye masing-masing pasangan calon untuk melakukan pengecekan DPT;
Secara normatif sebenarnya kesempatan untuk melakukan pengecekan data sudah diberikan antara tanggal 11 – 17 Mei 2009. Sekalipun demikian, dengan semangat mewujudkan Pemilu damai, Termohon masih memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan pencermatan;
Dalam tahapan pengumuman dan tanggapan DPS tanggal 11-17 Mei 2009, Pemohon tidak menggunakan haknya. Setelah kegiatan dimaksud terlampaui, Pemohon meminta kepada Termohon untuk dilakukan pencermatan DPT.
Tahapan pemutakhiran DPT telah dilaksanakan oleh Termohon beserta jajaran penyelenggara (bukti: kompilasi SK Pembentukan PPDP dan bahan DPS, DPSHP, Penetapan DPT). Dengan demikian tidak cukup alasan bagi Pemohon untuk menyatakan Termohon sengaja dan/atau lalai untuk melakukan pemutakhiran daftar pemilih.
Dalil Pemohon pada halaman 14 huruf b: KPU dengan sengaja atau setidak-tidaknya lalai menindaklanjuti temuan pasangan calon/masyarakat/Bawaslu terkait penyusunan DPT tidak disertai dengan data dan fakta yang akurat. – Dalam hubungan ini Termohon
menjelaskan bahwa PPS telah melaksanakan tugas secara optimal. Dalam hal terdapat tanggapan dari elemen masyarakat, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Kabupaten/Kota atas pengumuman DPS yang dilaksanakan pada tanggal 11 s.d 17 Mei 2009, PPS sudah secara segera menindaklanjutinya dengan mengisi formulir Model A1-PPWP. Kegiatan ini secara administratif diikuti dengan revisi penetapan dan rekapitulasi DPT di tingkat KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU.
Termohon menolak dalil Pemohon halaman 15 huruf c i, ii, iii yang menyatakan bahwa Termohon tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan Salinan Daftar Suara Pemilih kepada Saksi dan Pengawas Pemilu Lapangan. Ketentuan Pasal 115 huruf c dan Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemungutan dan penghitungan suara menentukan KPPS melakukan kegiatan menyerahkan salinan daftar pemilih tetap (SDPT) dan Daftar Pemilih Tambahan kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Lapangan. Kewajiban tersebut sudah dilaksanakan oleh KPPS dalam pelaksanaan pemungutan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tanggal 8 Juli 2009.
Termohon sudah melaksanakan kegiatan pemutakhiran DPT dengan cara pencocokan dan penelitian oleh PPDP dan diumumkan oleh PPS sebagai DPS untuk mendapat tanggapan masyarakat. Berdasarkan tanggapan masyarakat, PPS menyusun DPSHP selanjutnya ditetapkan menjadi DPT.
Permohonan Pemohon menggunakan istilah “Pemilih Pemohon”.
Istilah ini tidak dikenal oleh hukum dan bertentangan dengan salah satu asas dari pemilu yaitu asas rahasia. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dikemukakan oleh Pemohon yang ada hubungannya dengan istilah “pemilih pemohon” harus dikesampingkan.
Dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009, segala sesuatu yang dikemukakan oleh Pemohon mengenai ketidakberesan DPT menjadi tidak relevan dan tidak perlu dipertimbangkan. Para Pemilih yang tidak memperoleh formulir P-4 tetapi namanya tercantum dalam DPT
dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih dengan menggunakan KTP. Pemilih yang namanya tidak tercantum di dalam DPT dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih di TPS yang berada dalam wilayah RW-nya dengan menggunakan KTP dan KK.
Tentang dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Termohon menerbitkan kebijakan dengan menghilangkan 68.918 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan sebanyak 34.459.000 suara pemilih
Penciutan jumlah TPS sebagai yang didalilkan oleh Pemohon bukan merupakan perbuatan melawan hukum, karena hal ini dperkenankan oleh ketentuan Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang memperkenankan pengadaan 1 (satu) TPS untuk setiap 800 pemilih.
Ketentuan Undang-Undang tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan KPU Nomor 164/kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Penetapan Badan Pelaksana dan Perbaikan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2009. Dalam Keputusan KPU ini ditentukan bahwa pengurangan jumlah TPS dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
tidak menggabungkan desa/kelurahan;
memudahkan Pemilih;
memperhatikan aspek geografis;
batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan
jarak tempuh menuju TPS;
Uraian di atas menunjukkan bahwa penciutan jumlah TPS ditujukan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang dan sama sekali tidak ditujukan untuk menciutkan jumlah pemilih atau untuk menghalang-halangi hak konstitusional para pemilih.
Dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009, maka semua dalil Pemohon mengenai penciutan jumlah TPS ini menjadi tidak relevan, karena jika
penciutan ini mengakibatkan dihapusnya nama pemilih dari DPT, pemilih yang namanya tidak tercantum di dalam DPT dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih di TPS yang berada dalam wilayah RW-nya dengan menggunakan KTP dan KK.
Tentang dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Termohon telah bertentangan atau setidak-tidaknya telah bertindak tidak sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan Pemilu yang mensyaratkan KPU selaku Penyelenggara Pemilu harus terbebas dari pengaruh pihak manapun (termasuk pihak asing) terkait dengan segala sesuatu yang berkenan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya
Tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas melarang Komisi Pemilihan Umum bekerja sama dengan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum;
Kerja sama dengan pihak asing (IFES) sama sekali tidak mempengaruhi rekapitulasi perolehan suara pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden karena peranan IFES hanya untuk mengetahui perkiraan hasil sebagai informasi awal untuk mendapatkan gambaran perolehan suara para calon Presiden dan Wakil Presiden. Segala sesuatu yang dilakukan oleh IFES tidak mempengaruhi jalannya penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon;
Tentang dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 disengaja ataupun tidak telah dibuat sebagai Keputusan yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial
Pemohon sudah menerbitkan petunjuk kepada KPPS, PPS, PPK dan semua aparat pemilihan mengenai bagaimana caranya melaksanakan isi Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Dengan demikian pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (tidak mempunyai kekuatan pelaksanaan) adalah pendapat yang tidak benar.
Dalil Pemohon tentang pernyataan Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi dan Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”) yang menyatakan bahwa Termohon telah gagal menyelenggarakan Pemilu secara tertib sesuai jadwal dan tahapan yang telah digariskan dalam Undang-Undang, tetapi juga lalai di dalam mengupayakan pemenuhan hak konstitusional sejumlah besar warga negara.
Pemohon mengutip pernyataan Komisi Hak Asasi Manusia dalam Konferensi Pers Tim Penyelidikan dan Penghilangan Hak Sipil dan Politik Warga Negara Dalam Pemilu Legislatif 09 April 2009 tertanggal 08 Mei 2009, yang mengritik penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Fakta menunjukkan, bahwa di mana pun di dunia tidak ada pemilihan umum yang diikuti oleh 100% warga negara yang berhak pilih. Pemilu di AS pun tidak diikuti oleh 100% warga negaranya yang mempunyai hak pemilih. Oleh karena itu, tidak ikut sertanya sejumlah warga negara dalam penggunaan hak pilih tidak boleh dijadikan sebagai faktor untuk menyatakan batalnya pemilihan umum.
Fakta pun menunjukkan bahwa dalam Pemilu Presiden tahun 2009 jumlah warga negara berhak pilih yang menggunakan hak pilihnya adalah jauh lebih besar daripada jumlah warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, tuntutan pembatalan Pemilu Presiden Tahun 2009 adalah tuntutan yang tidak berdasar.
Ketentuan hukum yang berlaku dalam hubungannya dengan Pemilihan Presiden tidak menentukan “quorum” atau jumlah pemilih yang minimum bagi sahnya pemilu. Oleh karena itu, semua dalil yang dikemukakan oleh Pemohon yang menyatakan Pilpres 2009 harus dibatalkan karena ada sejumlah warga negara berhak pilih yang tidak menggunakan hak pilihnya merupakan dalil yang tidak memiliki dasar hukum
Petitum
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Termohon diatas, maka cukup beralasan jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili sengketa ini memutus:
Dalam Eksepsi:
Menerima eksepsi yang diajukan oleh Termohon;
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat di terima; atau
Dalam Pokok Perkara:
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 yang diumumkan pada hari sabtu tanggal 25 Juli 2009 pukul 10.20 WIB;
Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon di atas, Pihak Terkait menyampaikan Keterangan Tertulis yang disampaikan dalam persidangan tanggal 4 Agustus 2009, sebagai berikut:
Keterangan Tertulis Pihak Terkait Terhadap Permohonan Pemohon I
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa penyelesaian perselisihan hasil pemilu (PHPU) merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Bahwa menurut Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden juncto Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pada pokoknya menyatakan objek PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, atau terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili masalah-masalah yang berada di luar hal-hal yang menyangkut penetapan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Tahun 2009.
KEDUDUKAN PIHAK TERKAIT PASANGAN SBY-BOEDIONO
Bahwa Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pada pokoknya menyatakan para pihak dalam PHPU Presiden dan Wakil Pesiden adalah pasangan calon sebagai Pemohon dan KPU sebagai Termohon serta pasangan calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam persidangan, baik atas permintaan sendiri maupun atas penetapan Mahkamah Konstitusi;
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan SBY-Boediono adalah salah satu Pasangan Calon yang ikut dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan Nomor Urut 2;
Bahwa menurut Keputusan KPU Nomor 365/kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan SBY-Boediono adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bahwa dengan demikian Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-Boediono memiliki kedudukan dan hak untuk bertindak sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini.
DALAM EKSEPSI
Bahwa Pihak Terkait menolak seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon dalam Permohonan Keberatannya karena dalil-dalil Pemohon adalah keliru dan tidak benar serta tidak sesuai dengan objek perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Materi Permohonan Berkaitan Dengan Masalah DPT, Penghilangan TPS Dan Keterlibatan Asing Bukan Objek Persleisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Bahwa Pemohon benar adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dengan Nomor Urut 3 sehingga memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) sebagai Pemohon PHPU;
Bahwa Pemohon pada dasarnya menyatakan KPU telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu karena masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), penghilangan 69.000 TPS; dan keterlibatan pihak asing yaitu International Foundation For Electoral System (IFES) dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden; sehingga Pemohon kemudian memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Surat Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa masalah penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), penghilangan 69.000 TPS; dan keterlibatan pihak asing, yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden adalah pelanggaran-pelanggaran yang sudah diatur mekanisme penyelesaiannya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dimana pelanggaran yang bersifat adiministratif diselesaikan oleh KPU bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu); dan pelanggaran yang bersifat pidana diproses oleh Bawaslu/Panwaslu di setiap tingkatan/tahapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa dengan menyebut pelanggaran KPU selaku Termohon terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara Pemilu maka jelas Permohonan keberatan Pemohon tidak ada kaitannya dengan sengketa perolehan suara dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum
menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Dengan demikian permohonan keberatan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvakelijke verklaard);
Permohonan Keberatan Pemohon Adalah Kabur Dan Tidak Jelas Berkaitan Dengan Penggelembungan Suara Sebanyak 25.303.054 Suara Untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2
Bahwa dalam permohonannya halaman 24, Pemohon menyatakan Termohon KPU telah melakukan penggelembungan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang diambil dari suara fiktif sejumlah 25.303. 054 suara sehingga jika suara fiktif itu dikurangi dari hasil suara versi KPU maka Pasangan calon Nomor Urut 2 hanya mendapatkan suara sebanyak 48.571.408 suara;
Bahwa dalil Pemohon di atas adalah kabur dan tidak jelas karena tidak diterangkan dimana, kapan, bagaimana, dan oleh siapa penggelembungan tersebut terjadi;
Dengan demikian permohonan keberatan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
Permohonan Keberatan Pemohon Adalah Kabur Dan Tidak Jelas Berkaitan Dengan Pengurangan Suara Pemohon Sebesar 24.150.000 Suara
Bahwa dalam permohonannya halaman 24, Pemohon pada dasarnya menyatakan adanya pengurangan suara Pemohon sebanyak 24.150.000 suara karena kebijakan penghilangan 69.000 TPS oleh Termohon KPU;
Bahwa dalil Pemohon di atas kabur dan tidak jelas karena tidak jelas apakah penghilangan 69.000 TPS dapat mengurangi suara Pemohon, padahal jikalau benar terjadi penghilangan maka pemilih di TPS-TPS tersebut belum tentu semuanya memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3;
Dengan demikian permohonan keberatan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
DALAM POKOK PERKARA
Bahwa Pihak Terkait mohon agar segala dalil-dalil dalam Eksepsi di atas secara mutatis mutandis dianggap termasuk dalam, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Jawaban Pihak Terkait dalam Pokok Perkara ini.
Masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Adalah Masalah Administrasi Yang Menjadi Bagian Dari Proses Persiapan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009
Bahwa dalam permohonannya halaman 9-23, Pemohon pada pokoknya mempersoalkan mengenai kelalaian KPU untuk melakukan penyusunan DPT dengan benar dan tidak menindaklanjuti temuan mengenai kekeliruan DPT oleh Pemohon;
Bahwa Pemohon ternyata mempersoalkan DPT berdasarkan data softcopy yang diberikan oleh Termohon KPU kepada Pemohon yang tentu saja tidak sesuai dengan data DPT berdasarkan Keputusan KPU tertanggal 31 Mei 2009, perubahan tertanggal 8 Juni 2009 dan perubahan terakhir tertanggal 6 Juli 2009;
Bahwa masalah DPT adalah masalah administrasi yang menjadi kewenangan KPU sebagai bagian dari tahap persiapan sebelum tahapan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehingga tidak ada kaitannya dengan Surat Keputusan KPU Nomor: 365/kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa proses pembuatan DPT Pemilu Presiden dilakukan oeh KPU berasal dari Data Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Legislatif yang dijadikan Data Pemilih Sementara (DPS) Pemilu Presiden dan data itu sudah diumumkan ke publik dan siapapun dapat mengaksesnya;
Bahwa DPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kemudian dilakukan pemutakhiran (pengecekan, pencocokan, dan validasi) oleh KPU dan jajaran di bawahnya bekerja sama dengan Pemerintah Daerah setempat sampai pada petugas paling bawah, yaitu Rukun Tetangga; yang hasilnya kemudian ditetapkan sebagai DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa Termohon KPU telah menetapkan DPT Pilpres pada tanggal 31 Mei 2009 sebanyak 176.367.056 pemilih dan KPU telah melakukan perubahan pada tanggal 8 Juni 2009 menjadi 176.395 .015 pemilih dan kemudian merubah lagi pada tanggal 6 Juli 2009 menjadi 176.441.434 pemilih setelah mendapatkan masukan dari masyarakat dan partai politik dan/atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa terkait dengan belum terdaftarnya sebagian masyarakat dalam DPT Pilpres, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 telah membuat terobosan dengan memperbolehkan warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk menggunakan hak pilihnya dengan memakai KTP/Paspor yang masih berlaku;
Bahwa dengan demikian jelas, masalah DPT adalah masalah administrasi sebelum tahapan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehingga tidak ada kaitannya dengan Surat Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa jikalau benar ada sekitar 25.303 .054 Pemilih Ganda dalam DPT Pilpres sebagaimana diklaim oleh Pemohon, quod non, hal itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Pasangan Calon Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, dan sama sekali tidak menguntungkan Pasangan Calon manapun bahkan justru sangat merugikan Pasangan Calon Nomor Urut 2 SBY-Boediono;
Dengan demikian keberatan Pemohon berkaitan dengan masalah DPT adalah materi keberatan yang harus ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Masalah Kewenangan Pengurangan 69.000 TPS Sudah Diatur Dalam Peraturan KPU Dan Telah Diumumkan Ke Publik
Bahwa dalam permohonannya halaman 8 dan 24, Pemohon pada dasarnya menyatakan Termohon KPU telah melakukan pengurangan TPS sebanyak 69.000 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan atau penghilangan sebanyak 34, 5 juta suara pemilih dan hal itu tidak
diumumkan sehingga banyak pemilih yang tidak lagi tahu dimana harus memilih;
Bahwa klaim Pemohon tidak jelas dari mana angka 34.459.000 suara pemilih yang diklaim oleh Pemohon dan bagaimana penghilangan 69.000 TPS itu mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan 34.459.000 suara pemilih;
Bahwa setahu Pihak Terkait, Termohon KPU tidak pernah menghilangkan 69.000 TPS itu tetapi melakukan pengurangan sejumlah TPS sebagai bentuk penyederhanaan TPS yang para pemilihnya telah disatukan dalam TPS-TPS lain dan hal ini merupakan kewenangan teknis KPU yang tertuang dalam Peraturan KPU sebagai Penyelenggara Pemilu dan sama sekali tidak merugikan Pasangan Calon manapun;
Bahwa dalam permohonannya halaman 24, Pemohon sendiri telah mengakui adanya aturan yang memungkinkan pengurangan TPS tetapi Pemohon hanya keberatan kenapa Termohon KPU tidak mengumumkan dimana saja pengurangan TPS tersebut terjadi;
Bahwa tidak ada kewajiban dari Termohon KPU untuk melaporkan teknis perubahan TPS mana saja yang dikurangi kepada para pasangan calon peserta Pilpres 2009, karena KPU cukup mengumumkan adanya pengurangan TPS dari 519.000 TPS pada saat Pemilu Legislatif menjadi 450.000 TPS pada saat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, hal mana telah dilakukan oleh KPU;
Bahwa apabila Pemohon kemudian mengklaim hal itu merugikan perolehan suara Pemohon maka klaim tersebut mengada-ada dan asumtif sifatnya karena jikalau benar ada penghilangan, quod non, pasangan calon lain juga ikut dirugikan dengan peniadaan 69.000 TPS tersebut;
Bahwa dengan demikian masalah penghilangan 69.000 TPS yang diklaim Pemohon sama sekali tidak melanggar hukum dan sama sekali tidak mempengaruhi perolehan suara pasangan calon manapun sehingga klaim Pemohon harus ditolak (void).
Masalah Keterlibatan International Foundation For Electoral System (IFES)
Bahwa Pemohon dalam permohonannya halaman 8 menyatakan KPU telah melakukan pelanggaran UUD 1945, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden karena telah melibatkan pihak asing di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa keterlibatan IFES (International Foundation For Electoral System) dalam Tabulasi dalam Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diangap sebagai pelanggaran terhadap Pasal 22E UUD 1945 bahwa KPU khusus menyangkut kemandirian KPU;
Bahwa keterlibatan IFES bersama KPU dalam proses tabulasi penghitungan suara tidak ada kaitannya dengan campur tangan asing di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 atau bertentangan dengan sifat kemandirian KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;
Bahwa Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu bersifat mandiri artinya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun, sementara keberadaan IFES adalah untuk membantu melakukan penghitungan suara bersama-sama dengan KPU sehingga sama sekali tidak ada campur tangan di dalam tugas kewenangan KPU;
Bahwa KPU adalah lembaga yang bersifat tetap, nasional, dan mandiri, namun kemandirian KPU bukan berarti melarang KPU untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain karena KPU selama ini telah melakukan berbagai kerja sama dengan pihak lain termasuk IFES dan Polri/TNI dalam distribusi logistik Pemilu;
Bahwa seandainyapun keberadaan IFES dianggap adanya campur tangan pihak asing, quod non, hal itu tidak akan mempengaruhi hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Dengan demikian, klaim Pemohon mengenai campur tangan asing telah mengakibatkan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 adalah cacat hukum harus ditolak karena tidak berdasar.
Mengenai Dugaan Penggelembungan Suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 Sebanyak 25.303.054 Suara
Bahwa dalam permohonannya halaman 24, Pemohon menyatakan
Termohon KPU telah melakukan penggelembungan suara untuk
Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang diambil dari suara fiktif sejumlah 25.303. 054 suara sehingga jika suara fiktif itu dikurangi dari hasil suara versi KPU maka Pasangan Calon Nomor Urut 2 hanya mendapatkan
suara sebanyak 48.571.408 suara;
Bahwa Pihak Terkait meragukan kebenaran dalil Pemohon berkaitan
dengan penggelembungan suara dari suara fiktif sebesar 25.303.054 suara untuk keuntungan Pasangan Calon Nomor Urut 2, oleh karena itu Pihak Terkait menegur dengan keras (sommeren) Pemohon untuk membuktikan dan/atau menghadirkan bukti-bukti pada persidangan pertama ini yaitu bukti-bukti mengenai adanya suara fiktif dan bukti-bukti mengenai penggelembungan suara dari suara fiktif tersebut sebanyak 25.303.054 suara untuk keuntungan Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa bukti-bukti yang diminta oleh Pihak Terkait seyogianya telah dimiliki dan dihadirkan oleh Pemohon beserta permohonannya dalam persidangan pertama ini, dan apabila Pemohon tidak dapat menghadirkan bukti-bukti tersebut dalam persidangan pertama ini, maka permohonan Pemohon harus ditolak karena tidak memiliki bukti;
Bahwa menurut catatan dan dokumen yang ada pada Pihak Terkait hampir tidak ada keberatan yang diajukan oleh para pasangan calon pada setiap TPS di 33 provinsi berkaitan dengan kecurangan ataupun adanya kesalahan hitung di dalam Berita Acara Rekapitulasi di setiap TPS (Model C1), Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di setiap PPK (Model DA), Berita Acara Rekapitulasi di kabuaten/kota (Model DB); dan Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di provinsi (Model DC);
Dengan demikian dalil penggelembungan suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 sebanyak 25.303.054 suara dari suara fiktif adalah dalil yang tidak benar dan mengada-ada sehingga harus ditolak atau dikesampingkan.
Mengenai Pengurangan Suara Pemohon Sebanyak 24.150.000 Suara Dari Penghilangan 69.000 TPS
Bahwa dalam permohonannya halaman 24, Pemohon pada dasarnya menyatakan adanya pengurangan suara Pemohon sebanyak 24.150.000 suara karena kebijakan penghilangan 69.000 TPS oleh Termohon KPU;
Bahwa Pihak Terkait meragukan kebenaran dalil Pemohon berkaitan dengan penghilangan 69.000 TPS mengakibatkan pengurangan suara Pemohon sebanyak 24.150.000 suara. Oleh karena itu, Pihak Terkait menegur dengan keras (sommeren) Pemohon untuk menghadirkan bukti-bukti berkaitan dengan pengurangan suara Pemohon dari penghilangan 69.000 TPS tersebut pada persidangan pertama ini, jika tidak maka permohonan Pemohon harus ditolak;
Bahwa darimana Pemohon dapat menyatakan penghilangan 69.000 TPS dapat mengakibatkan pengurangan suara Pemohon sebanyak itu padahal jikalau benar ada penghilangan, quod non, tidak ada jaminan para pemilih di TPS-TPS tersebut semuanya memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3;
Bahwa ternyata tidak ada penghilangan 69.000 TPS tetapi hanya pengurangan TPS yang para pemilihnya telah dialihkan ke TPS-TPS lainnya sehingga dalil Pemohon di atas harus ditolak atau dikesampingkan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka Pihak Terkait Pasangan SBY-Boediono, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membuat putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima;
Menyatakan Pasangan SBY-Boediono sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia Periode 2009-2014 dalam Pemilihan Umum Presiden Wakil Presiden Tahun 2009.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang Mulia berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tertulis Pihak Terkait Terhadap Permohonan Pemohon II
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa penyelesaian perselisihan hasil Pemilu (PHPU) merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Bahwa menurut Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 juncto Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pada pokoknya menyatakan objek PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, atau terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili masalah-masalah yang berada di luar hal-hal yang menyangkut penetapan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Tahun 2009.
KEDUDUKAN PIHAK TERKAIT PASANGAN SBY-BOEDIONO
Bahwa Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konntitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pada pokoknya menyatakan para pihak dalam PHPU Presiden dan Wakil Pesiden adalah pasangan calon sebagai Pemohon dan KPU sebagai Termohon serta Pasangan calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam persidangan, baik atas permintaan sendiri maupun atas penetapan Mahkamah Konstitusi;
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan SBY-Boediono adalah salah satu Pasangan Calon yang ikut dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan Nomor Urut 2;
Bahwa menurut Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan SBY-Boediono adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bahwa dengan demikian Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-Boediono memiliki kedudukan dan hak untuk bertindak sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini.
DALAM EKSEPSI
Bahwa Pihak Terkait menolak seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon dalam Permohonan Keberatannya karena dalil-dalil Pemohon adalah keliru dan tidak benar;
Permohonan Pemohon Kabur Dan Tidak Jelas (Obscurum ibelum) Karena Tidak Menjelaskan Secara Detil Mengenai Indikasi Kecurangan Dan Penggelembungan Suara Yang Dilakukan Oleh Termohon KPU
Bahwa Pemohon benar adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dengan Nomor Urut 1 sehingga memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) sebagai Pemohon PHPU;
Bahwa dalam permohonannya halaman 5-13, Pemohon pada pokoknya menyatakan pokoknya telah terjadi indikasi kesalahan dan/atau kecurangan yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif di setiap tahapan; terdapat kesalahan hitung atau perbedaan penghitungan di 25 provinsi sebanyak 28.658.634 suara; Termohon KPU mengabaikan dan membiarkan penyimpangan terjadi; Termohon KPU tidak mengakomodir untuk menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang ada sehingga merugikan perolehan suara Pemohon sehingga Pemohon mohon agar dilakukam Pemilu Ulang di 25 provinsi;
Bahwa permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas (obscurum libelum) berkaitan dengan klaim Pemohon tentang indikasi kecurangan yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif di setiap tingkatan, karena Pemohon tidak
menerangkan dengan jelas kecurangan seperti apa, dimana, kapan, bagaimana terjadi, dan siapa yang melakukannya;
Bahwa permohonan Pemohon juga kabur dan tidak jelas berkaitan dengan klaim Pemohon tentang penggelembungan suara yang dilakukan secara sengaja untuk keuntungan Pasangan Calon Nomor Urut 2 sebanyak 28.658 .634 suara karena Pemohon tidak menerangkan dimana dan kapan saja penggelembungan itu terjadi, dan penyelenggara Pemilu mana yang telah melakukan hal tersebut;
Bahwa permohonan Pemohon juga kabur dan tidak jelas berkaitan dengan tuntutan Pemilu ulang di 25 provinsi sebagaimana diklaim Pemohon karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak mengenal aturan tentang Pemilu Ulang tetapi hanya dikenal dengan istilah pemungutan ulang atau penghitungan ulang;
Bahwa permohonan Pemohon juga kabur dan tidak jelas berkaitan dengan klaim Pemohon mengenai Termohon KPU mengabaikan dan membiarkan penyimpangan terjadi serta tidak mengakomodir untuk menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang ada karena Pemohon tidak menjelaskan penyimpangan seperti apa, siapa yang melakukannya; dan bagaimana bentuk pengabaian dari Termohon KPU;
Dengan demikian jelas, Permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas berkaitan dengan klaim Pemohon mengenai indikasi kecurangan; penggelembungan suara sebanyak 28.658.634 suara untuk Pasangan calon nomor 2 sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
DALAM POKOK PERKARA
Bahwa Pihak Terkait memohon agar segala dalil-dalil dalam eksepsi di atas secara mutatis mutandis dianggap termasuk dalam, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Jawaban Pihak Terkait dalam Pokok Perkara ini.
Bahwa Dalam permohonannya halaman 5-13, Pemohon pada pokoknya menyatakan pokoknya telah terjadi indikasi kesalahan dan/atau kecurangan yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif di setiap tahapan; terdapat kesalahan hitung atau perbedaan penghitungan di 25 provinsi sebanyak
28.658.634 suara; Termohon KPU mengabaikan dan membiarkan penyimpangan terjadi; Termohon KPU tidak mengakomodir untuk menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sehingga fakta-fakta itu merugikan perolehan suara Pemohon sehingga Pemohon mohon agar dilakukan Pemilu ulang di 25 provinsi;
Pihak Terkait Menegur Dengan Keras (Sommeren) Pemohon Untuk Menghadirkan Bukti-Bukti Permohonan Pemohon Pada Persidangan Pertama
Bahwa sebelum permohonan Pemohon diperiksa, Pihak Terkait menegur dengan keras (sommeren) Pemohon untuk membuktikan atau menghadirkan bukti-bukti yang seharusnya sudah terlampir dalam permohonannya berkaitan dengan klaim Pemohon di atas antara lain:
Pemohon mengklaim adanya kecurangan di setiap tingkatan, yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif sehingga menurut pemahaman Pihak terkait, Pemohon memiliki dan membawa bukti telah terjadi kecurangan di setiap TPS, setiap PPK, setiap kabupaten/kota, dan setiap Provinsi. Oleh karena itu, Pihak Terkait memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan Pemohon agar menghadirkan bukti-bukti tersebut pada persidangan pertama ini, karena seyogianya Pemohon telah menghadirkan bukti-bukti tersebut bersamaan dengan pendaftaran permohonannya;
Pemohon mengklaim terdapat kesalahan hitung atau perbedaan penghitungan di 25 provinsi sebanyak 28.658.634 suara. Oleh karena itu, Pihak terkait mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan bukti-bukti tersebut pada persidangan pertama ini, karena seyogianya Pemohon telah memiliki dan menghadirkan bukti-bukti tersebut bersamaan dengan pendaftaran permohonannya;
Bahwa apabila pemohon tidak dapat menghadirkan bukti-bukti sebagaimana diminta oleh Pihak Terkait dari a s.d. b. di atas maka Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghentikan persidangan ini dan permohonan pemohon harus ditolak dengan sendirinya karena tidak ada bukti atas klaim Pemohon.
Ada Indikasi Kecurangan Dan/Atau Kesalahan Hitung Dalam Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tetapi Tidak Mempengaruhi Perolehan Suara Para Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Dalam Pilpres
2009
Bahwa Pemohon mendalilkan pada pokoknya terjadi indikasi kesalahan dan/atau kecurangan hasil penghitungan suara pada setiap tahapan yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang merugikan Pemohon;
Bahwa Pihak terkait mengakui adanya kecurangan-kecurangan yang ada tetapi kecurangan-kecurangan tersebut tidak mempengaruhi perolehan suara para pasangan calon yang ada apalagi mengakibatkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 ini harus diulang karena bentuk-bentuk kecurangan tersebut dalam catatan Pihak Terkait sangat sedikit tidak lebih dari 2%;
Bahwa Pihak Terkait mengingatkan kepada Pemohon bahwa pengakuan Pihak Terkait dalam hal ini bukan untuk pengakuan adanya kecurangan masif sebagaimana diklaim oleh Pemohon, tetapi pengakuan tersebut hanya untuk adanya kecurangan dan/atau kesalahan hitung yang terjadi di beberapa tempat; dan hal itu dapat diselesaikan atau di perbaiki pada saat itu juga dan/atau melalui laporan ke Panwaslu setempat;
Bahwa Pihak Terkait juga mengingatkan kepada Pemohon kecurangan-kecurangan yang terjadi dapat merugikan semua pihak termasuk Pihak Terkait misalnya dugaan kecurangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk keuntungan Pemohon Pasangan Calon Nomor Urut 1 di Maluku Utara Ternate, dimana sudah ada Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 02/Pid.S/2009/PN.Tte tertanggal 31 Juli 2009 dan Putusan Nomor 03/Pid.S/2009/PN.Tte tertanggal 31 Juli 2009 yang menghukum para pelakunya;
Bahwa menurut catatan dan dokumen yang ada pada Pihak terkait hampir tidak ada keberatan yang diajukan oleh para pasangan calon pada setiap TPS di 33 provinsi bekaitan dengan kecurangan ataupun adanya kesalahan hitung di dalam Berita Acara Rekapitulasi di setiap TPS (Model C-1), Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di setiap PPK (Model DA), Berita Acara Rekapitulasi di Kabuaten/Kota (Model DB); dan Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di Provinsi (Model DC);
Bahwa dengan demikian klaim Pemohon adanya indikasi kecurangan yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif; sehingga Pemilu harus diulang di 25 provinsi adalah klaim yang harus ditolak dan dikesampingkan.
Tidak Ada Penggelembungan Suara Yang Bersifat Sistematis, Terstruktur Dan Masif Yang Dilakukan Oleh Termohon Kpu Sebanyak 28.658 634 Suara
Bahwa dalam permohonannya, Pemohon mengklaim adanya penggelembungan suara secara sistematis, terstruktur, dan masif yang dilakukan oleh Termohon KPU untuk keuntungan Pasangan Calon Nomor Urut 2 sebanyak 28.658.634 suara; sehingga Pemohon menyatakan Surat Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 keliru dan tidak benar karena adanya penambahan suara yang tidak sah
yang dilakukan secara sengaja bagi Pasangan SBY-Boediono sebanyak 28.667.822 suara;
Bahwa Pihak Terkait sangat meragukan kebenaran dalil Pemohon tentang adanya penambahan suara yang tidak sah yang dilakukan secara sengaja bagi Pasangan SBY-Boediono sebanyak 28.667.822 suara, maka Pihak Terkait menegur dengan keras (sommeren) Pemohon untuk membuktikan dalil permohonannya tersebut di dalam persidangan pertama ini, bagaimana bentuk kesengajaan tesebut, siapa yang melakukan, kapan dan dimana penggelembungan tersebut terjadi; dimana bukti-bukti tersebut seyogianya sudah disampaikan oleh Pemohon beserta permohonannya pada saat mendaftar di Mahkamah Konstitusi. Apabila Pemohon tidak dapat membuktikannya, maka secara yuridis Pemohon tidak mempunyai kedudukan atau kualifikasi apapun juga sebagai pihak untuk mendalilkan hal-hal yang tercantum dalam butir-butir permohonan selanjutnya;
Bahwa untuk mendukung klaim di atas, dalam permohonannya halaman 8-9, Pemohon mengklaim ada penambahan (mark-up) suara secara tidak sah untuk Pasangan SBY-Boediono di 25 provinsi dengan perincian sebagai berikut:
NO.
PROVINSI
PENGGELEMBUNGAN SUARA SBY-BOEDIONO
VIDE BUKTI
1
Sumatera Utara
2.715.639
P-6
2
Sumatera Barat
1.281.834
P-7
3
Sumatera Selatan
884.032
P-8
4
Bengkulu
224.311
P-9
5
Lampung
1.682.398
P-10
6
DKI Jakarta
473.390
P-11
7
Jawa Barat
8.620.693
P-12
8
Banten
1.850.397
P-13
9
Jawa Tengah
4.902.374
P-14
10
DIY
579.646
P-15
11
Jawa Timur
1.831.573
P-16
12
Nusa Tenggara Barat
722.388
P-17
13
Nusa Tenggara Timur
179.006
P-18
14
Kalimantan Tengah
4.784
P-19
15
Kalimantan Timur
398.548
P-20
16
Kalimantan Selatan
439.846
P-21
17
Sulawesi Utara
125.595
P-22
18
Sulawesi Tengah
111,688
P-23
19
Sulawesi Selatan
445.600
P-24
20
Sulawesi Barat
100.800
P-25
21
Sulawesi Tenggara
121.587
P-26
22
Gorontalo
107.989
P-27
23
Maluku
179.967
P-28
24
Papua
560.785
P-29
25
Papua Barat
113.764
P-30
TOTAL
28.658.634
Bahwa Pihak Terkait sangat meragukan kebenaran dalil Pemohon di atas terkait penggelembungan di masing-masing provinsi, oleh karena itu Pihak Terkait menegur (sommeren) Pemohon untuk membuktikan terlebih dahulu di dalam persidangan pembuktian, adanya penggelembungan sebanyak 8.620.693 suara di Provinsi Jawa Barat, di TPS mana, kapan dan
bagaimana dilakukan, dan apabila Pemohon tidak dapat membuktikan hal itu maka Pemohon dianggap tidak dapat membuktikan penggelembungan suara di 24 provinsi lainnya; dengan konsekuensi permohonan Pemohon langsung ditolak; dan apabila Pemohon dapat membuktikan penggelembungan di Provinsi Jawa Barat, maka Pemohon dibebankan untuk membuktikan seluruh penggelembungan di 24 provinsi lainnya;
Bahwa sebagaimana telah dijelaskan di atas, menurut catatan dan dokumen yang ada pada Pihak Terkait hampir tidak ada keberatan yang diajukan oleh pasangan calon pada setiap TPS di 33 provinsi bekaitan dengan kecurangan ataupun adanya kesalahan hitung di dalam Berita Acara Rekapitulasi di setiap TPS (Model C-1), Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di setiap PPK (Model DA), Berita Acara Rekapitulasi di kabuaten/Kota (Model DB); dan Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di Provinsi (Model DC);
Bahwa berdasarkan Data yang dicatat oleh Saksi Pasangan Calon Nomor Urut 2 dalam Rekapitukasi Penghitungan Suara di tingkat Pusat, diperoleh hasil sebagai berikut:
Ada tujuh provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Papua, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Jawa Timur, dimana Berita Acara Rekapitulasi Provinsi ditandatangani oleh para saksi dan ada keberatan untuk beberapa daerah pemilihan;
Ada 11 provinsi yaitu Provinsi NTT, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Papua Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Banten, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Aceh, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi NTB dan Provinsi Kepulauan Riau, dimana Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan suara ditandatangani oleh para saksi (tidak lengkap) dan tidak ada keberatan;
Ada 15 provinsi seperti Provinsi Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi DI. Yogyakarta, Provinsi Jambi, Provinsi Sulawei Barat, Provinsi Sulawei Tengah, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Maluku, dan Provinsi Bali, Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan Suaranya
ditandatangani secara lengkap oleh para saksi Pasangan Calon dan tidak ada keberatan.
Bahwa dengan demikian klaim Pemohon tentang adanya penggelembungan suara sebanyak 28.658.634 suara untuk keuntungan Pasangan SBY-Boediono adalah tidak benar dan tidak berdasar sehingga harus ditolak (void) atau dikesampingkan.
Masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Adalah Masalah dministrasi Yang Menjadi Bagian Dari Proses Persiapan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009
Bahwa dalam permohonannya halaman 15-19, Pemohon menyatakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menggunakan DPT yang tidak sah menurut hukum;
Bahwa tidak jelas DPT tidak sah seperti apa yang dimaksudkan oleh Pemohon karena DPT ditetapkan oleh KPU melalui Surat Keputusan resmi KPU tertanggal 31 Mei 2009, perubahan tanggal 8 Juni 2009, dan perubahan tanggal 6 Juli 2009 sehingga harus dianggap sah menurut hukum;
Bahwa data DPT yang digunakan oleh Pemohon sebagai dalil mengklaim proses penyusunan DPT tidak benar justru hanya berdasarkan softcopy yang diterima dari KPU sehingga tidak dapat dijadikan bukti resmi untuk mempersoalkan DPT yang didasarkan pada Surat Keputusan Resmi KPU;
Bahwa selain itu masalah DPT adalah masalah administrasi yang menjadi kewenangan KPU sebagai bagian dari tahap persiapan sebelum tahapan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Pilpres sehingga tidak ada kaitannya dengan Surat Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa proses pembuatan DPT Pemilu Presiden dilakukan oleh KPU berasal dari Data Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Legislatif yang dijadikan Data Pemilih Sementara (DPS) Pemilu Presiden dan data itu sudah diumumkan ke publik dan siapapun dapat mengaksesnya;
Bahwa DPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kemudian dilakukan pemutakhiran (pengecekan, pencocokan, dan validasi) oleh KPU dan jajaran dibawahnya bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Setempat sampai pada petugas paling bawah yaitu Rukun Tetangga; yang hasilnya kemudian ditetapkan sebagai DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa dengan demikian jelas, masalah DPT adalah masalah administrasi sebelum tahapan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehingga tidak ada kaitannya dengan Surat Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa jikalau benar ada sekitar 25.303.054 Pemilih Ganda dalam DPT Pilpres sebagaimana diklaim oleh Pemohon, quod non, hal itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Pasangan calon Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, dan sama sekali tidak menguntungkan Pasangan Calon manapun bahkan justru sangat merugikan Pasangan Calon Nomor Urut 2 SBY-Boediono;
Dengan demikian, klaim Pemohon berkaitan dengan DPT adalah keliru dan tidak benar selain karena bukan masalah yang berkaitan dengan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, juga hanya berdasarkan softcopy, sehingga harus ditolak (void) atau dikesampingkan.
Masalah Peniadaan 69.000 TPS Adalah Urusan Teknis KPU Yang Menjadi Kewenangan KPU
Bahwa dalam permohonannya halaman 19, Pemohon menyatakan Termohon telah menerbitkan kebijaksanaan untuk menghilangkan 69.000 TPS sehingga mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan sebanyak 34.459.000 suara Pemilih;
Bahwa klaim Pemohon tidak jelas dari mana angka 34.459.000 suara pemilih yang diklaim oleh Pemohon dan bagaimana penghilangan 69.000 TPS itu mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan 34.459.000 suara Pemilih;
Bahwa peniadaan 69.000 TPS itu adalah bentuk penyederhaan dan pengurangan TPS yang para pemilihnya telah dialihkan ke TPS-TPS lain
dan hal ini merupakan kewenangan KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan sama sekali tidak merugikan Pasangan Calon manapun;
Bahwa apabila Pemohon kemudian mengklaim hal itu merugikan perolehan suara Pemohon maka klaim tersebut mengada-ada dan asumtif sifatnya
karena jikalau benar ada penghilangan, quod non, pasangan calon lain juga ikut dirugikan dengan peniadaan TPS tersebut;
Bahwa dengan demikian masalah penghilangan 69.000 TPS yang diklaim Pemohon sama sekali tidak melanggar hukum dan sama sekali tidak mempengaruhi perolehan suara pasangan calon manapun sehingga klaim Pemohon harus ditolak (void).
Masalah Campur Tangan Asing Dalam Tabulasi Penghitungan Suara
Oleh International Foundation For Electoral System (IFES)
Bahwa dalam permohonannya halaman 20, Pemohon menyatakan Termohon KPU telah melanggar peraturan perundang-undangan karena melibatkan pihak asing International Foundation For Electoral System (IFES) di dalam pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa keterlibatan IFES bersama KPU dalam proses tabulasi penghitungan suara tidak ada kaitannya dengan campur tangan asing di
alam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 atau bertentangan dengan sifat kemandirian KPU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22E UUD 1945;
Bahwa Pasal 22E UUD 1945 menyatakan KPU adalah lembaga yang bersifat mandiri artinya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tidak
boleh dicampuri oleh pihak manapun, sementara keberadaan IFES adalah untuk membantu melakukan penghitungan suara bersama-sama dengan
KPU sehingga sama sekali tidak ada campur tangan di dalam tugas kewenangan KPU;
Bahwa kemandirian KPU bukan berarti melarang KPU untuk melakukan kerja sama dengan pihak lain karena KPU selama ini telah banyak melakukan kerja sama dengan pihak-pihak swasta baik asing maupun domestik;
Bahwa keberadaan IFES di dalam penghitungan suara, tidak akan mempengaruhi hasil penghitungan suara Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009 sebagaimana telah itetapkan dalam Surat Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tanggal 25 Juli 2009
tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Dengan demikian, klaim Pemohon mengenai campur tangan asing merupakan pelanggaran terhadap Pasal 22E UUD 1945 adalah tidak benar
sehingga harus ditolak (void).
Mengenai Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Bahwa dalam permohonannya halaman 24, Pemohon pada dasarnya menyatakan telah ada Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang telah memaparkan tentang Laporan Pengaduan yang pada pokoknya membuktikan ada 401 pelanggaran administratif, 70 kejadian pelanggaran
pidana; dan 90 kejadian yang merupakan pelanggaran lain-lain, sehingga Pemohon memohon agar Bawaslu dihadirkan dalam persidangan;
Bahwa laporan-laporan pelanggaran yang dilaporkan Bawaslu adalah laporan 561 kasus pelanggaran yang ada di Bawaslu berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa 561 kasus yang diterima oleh Bawaslu sepanjang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat menggambarkan tentang adanya
kecurangan ataupun pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009.
Mengenai Pernyataan SBY Tanggal 25 Juli 2009
Bahwa dalam permohonannya halaman 25, Pemohon menyatakan pernyataan SBY dalam keterangan pers tertanggal 25 Juli 2009 merupakan bentuk pengakuan SBY atas kinerja yang buruk dari Termohon KPU;
Bahwa Pihak Terkait dalam hal ini membantah dan menyatakan SBY tidak pernah memberikan pernyataan yang menyatakan kinerja Termohon KPU
adalah buruk, tetapi SBY sebagai Pasangan Calon Presiden Nomor Urut 2 hanya menyampaikan data tentang adanya indikasi kecurangan dan/atau
kesalahan hitung di beberapa tempat, yang dihimpun oleh Tim Sukses
Pasangan Calon Nomor Urut 2 tetapi kecurangan dan/atau kesalahan itu tidak signifikan yang dapat mempengaruhi perolehan suara para pasangan calon;
Bahwa Pihak Terkait juga membantah apabila pernyataan SBY tersebut disebut sebagai bentuk pengakuan SBY atas kecurangan-kecurangan masif
sebagaimana diklaim oleh Pemohon, karena pernyataan SBY hanya berkaitan dengan adanya indikasi kecurangan dan atau kesalahan hitung di beberapa tempat saja yang tidak signifikan;
Bahwa Pihak Terkait juga membantah pernyataan SBY mengenai kecurangan yang tidak signifikan sebagai bentuk intimidatif bagi pasangan
calon yang mengajukan pembatalan ke Mahkamah Konstitusi dan intervensi bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi; karena pernyataan tersebut
dinyatakan oleh SBY sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan data yang dihimpun oleh Tim Sukses
Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Dengan demikian klaim Pemohon bahwa Pernyataan SBY adalah bentuk intimidatif, intervensi ataupun pengakuan atas kinerja KPU yang buruk
adalah tidak benar sehingga harus ditolak atau dikesampingkan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka Pihak Terkait Pasangan SBY-Boediono, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membuat putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan Permohonan tidak dapat diterima;
Menyatakan Pasangan SBY-Boediono sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia Periode 2009-2014 dalam Pemilihan
Umum Presiden Wakil Presiden Tahun 2009.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.5] Menimbang bahwa Badan Pengawas Pemilu dalam persidangan tanggal
5 Agustus 2009 telah memberikan keterangan sebagai berikut: Keterangan Tertulis
Dasar Hukum
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan umtuk mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu, mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga proses rekapitulasi suara, pemungutan dan penghitungan suara dan proses penetapan pemilu sesuai Pasal 74 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
Pada konteks pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Bawaslu dan jajaran Panwas mempunyai kewenangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan penusunan daftar pemilih yang dialksnakan oleh suatu komisi pemilihan umum hingga menerima, mengkaji dan menindaklanjuti laporan pelanggaran Pemilu sesuai Pasal 31 ayat (1) juncto Pasal 190 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden.
Catatan DPT dalam Proses Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 merupakan sebuah proses yang tidak berdiri sendiri karena sangat berhubungan erat dengan proses atau tahapan Pemilu sebelumnya, yang dimulai antara lain dari: tahap pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS
hingga rekapitulasi hasil suara. Dengan demikian, keberhasilan dan/atau ketidakberhasilan penyelenggaraan tahapan penetapan hasil rekapitulasi pengitungan suara Presiden dan Wakil Presiden ini sangat ditentukan oleh keberhasilan penyelenggaraan tahapan-tahapan sebelumnya;
Bawaslu beserta seluruh jajarannya dalam kapasitas sebagai institusi pengawas pemilu telah menyampaikan berbagai masukan baik kepada
KPU, maupun kepada Pasangan Calon Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Tim Kampanye Nasional dalam setiap tahapan Pemilu. Dalam
konteks pendaftaran dan pemutakhiran daftar pemilih, Bawaslu membuat
surat himbauan yang ditujukan kepada Pasangan Calon/Tim Kampanye agar turut mencermati proses pelaksanaan pemutakhiran daftar pemilih untuk mencegah dan meminimalisir potensi terjadinya pelanggaran maupun permasalahan di kemudian hari;
Pada proses penyelenggaraan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS, Rekapitulasi di PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi dan
Rekapitulasi di tingkat Nasional, serta Penetapan Hasil Pemilu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Bawaslu menyampaikan pandangan dan pendapatnya. Pendapat Bawaslu berserta jajaran Panwas dilakukan setelah melalui proses evaluasi nasional yang melibatkan seluruh Panwaslu Provinsi se-Indonesia;
Proses dalam tahapan pemutakhiran daftar pemilih sangat berpengaruh terhadap kualitas proses dan hasil dalam penyelenggaraan tahapan
rekapitulasi hasil perolehan suara. Problem pada tahapan ini disebabkan oleh karena kurang memadainya persiapan dan kesiapan KPU dalam
merencanakan, mengelola, mensupervisi proses pelaksanaan pemutakhiran DPT.
Salah satu masalah lain yang menjadi penyebab utama problem dalam pemutakhiran data pemilih karena KPU telah beberapa kali, setidaknya
telah 3 (tiga) kali melakukan perubahan jadwal dan tenggat waktu pemutakhiran DPT. Tindakan sedemikian menyebabkan dan mempunyai implikasi serius pada kinerja KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam memutakhirkan DPT. Jadwal pemutakhiran dan penetapan DPT yang sering
berubah-ubah ini telah menyebabkan munculnya banyak versi DPT sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan peserta Pemilu dan juga
lembaga pengawas. Selain itu, ketiadaan sistem dan mekanisme yang tepat untuk membantu proses pemutakhiran DPT juga turut berkontribusi dalam
menyebabkan munculnya ketidakakuratan data DPT;
KPU menetapkan 31 Mei 2009 sebagai batas akhir pemutakhiran data yang harus dilakukan oleh KPU provinsi dan kabupaten/kota padahal batas akhir
penetapan pemutakhiran data adalah 8 Juni 2009 karena Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan dilaksanakan pada tanggal 8 Juli 2009. Pada
batas waktu tersebut, ada cukup banyak daerah yang tidak dapat memenuhi penetapan KPU untuk melakukan pemutakhiran data. Lebih dari
itu, KPU ternyata telah melakukan pemutakhiran data 2 (dua) hari sebelum Pemilu Presiden dan Wakil presiden tanggal 8 Juli 2009 dilakukan dengan alasan karena adanya rekomendasi dari Bawaslu dan jajaran pengawasannya di tingkat daerah;
Bahwa akses jajaran Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) terhadap Salinan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS, pada kenyataannya masih banyak terhambat. Meskipun Bawaslu bersama KPU telah memiliki persepsi yang sama dalam kerangka menjamin akses bagi PPL, Namun pada
kenyataannya masih dijumpai adanya PPL yang tidak mendapatkan salinan BA tersebut, atau terlambat memperolehnya. Keadaan sedemikian menyebabkan Bawaslu tidak dapat melakukan konfirmasi yang lebih telita
atas akurasi data yang tersebut dalam formular dimaksud;
KPU senantiasa membuat pernyataan dengan merujuk pada rekomendasi Panwas daerah dalam proses pemutakhiran DPT. Berkenaan dengan hal tersebut, Bawaslu memandang perlu untuk dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Penetapan DPT hanya dilakukan satu kali sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 42 Tahun 2008. Oleh karena itu Bawaslu memiliki sikap dan kebijakan bahwa Pengawas Pemilu di semua tingkatan tidak diperkenankan merekomendasikan perubahan DPT yang sudah ditetapkan KPU melalui surat Bawaslu Nomor 442/Bawaslu/VI/2009 tanggal 11 Juni 2009 yang ditujukan kepada Ketua Panwaslu Provinsi se-Indonesia:
Sebelum DPT ditetapkan yakni pada 30 April 2009, Bawaslu melalui surat Nomor 270/Bawaslu/IV/2009 perihal Surat Edaran Pengawasan Pendaftaran Pemilih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, telah mengingatkan kepada KPU agar pada masa Perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) lebih bersikap cermat dan hati-hati sehingga apa yang
telah terjadi pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tidak terulang lagi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kali ini; dan
Pada tanggal 1 Mei 2009, melalui surat Nomor 281/Bawaslu/V/2009, Bawaslu telah menyampaikan himbauan kepada Tim Kampanye/Pasangan Calon agar turut serta mencermati proses Pemutakhiran dan Penetapan Daftar Pemilih, kala kami mendapati kekurangaktifan Tim
Kampanye dalam menggerakkan/mendorong para anggotanya untuk terlibat dalam proses-proses dimaksud.
Kendati Bawaslu telah melakukan berbagai hal sebagaimana dikemukakan dalam butir tersebut di atas dan berdasarkan hasil penelusuran, ada beberapa Pengawas Pemilu telah menerbitkan rekomendasi kepada KPU terkait dengan perubahan DPT. Setidaknya ada 6 (enam) Pengawas Pemilu
yang memang merekomendasikan kepada KPU setempat untuk lakukan perbaikan DPT. Ada sekitar 4 (empat) Pengawas Pemilu justru melakukan penindakan atas pelanggaran yang dilakukan KPU setempat karena melakukan pelanggaran atas Pasal 209 juncto Pasal 41 UU Nomor 42 Tahun 2008;
Bawaslu sedang menempuh langkah-langkah mekanisme internal terhadap Pengawas Pemilu yang telah merekomendasikan perubahan DPT. Bawaslu sedang memroses dan menelusuri dugaan pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh Panwaslu yang mengeluarkan rekomendasi perbaikan DPT setelah DPT ditetapkan karena dapat dikualifikasi telah melanggar ketentuan yang tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang telah secara tegas mengatur bahwa DPT hanya ditetapkan satu kali
saja;
Berdasarkan butir di atas maka menurut pandangan Bawaslu, tindakan KPU dan atau pihak lainnya yang membuat pernyataan sepihak bahwa seluruh Pengawas Pemilu dalam jajaran Bawaslu telah merekomendasikan perubahan DPT atas 471 (empat puluh satu) kabupaten/kota atau 33 (tiga puluh tiga) provinsi di Indonesia adalah pernyataan dan tindakan yang keliru dan menyesatkan.
Beberapa Catatan lainnya dalam Tahapan Proses Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Respon Bawaslu atas Permohonan yang berkaitan dengan Bawaslu
Bawaslu telah memberikan penilaian dengan membuat pernyataan bahwa KPU telah melakukan tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai tidak profesional. Penilaian dimaksud berkenaan dengan tindakan KPU yang berkaitan dengan perubahan jadwal dengan memajukan secara sepihak jadwal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tindakan sedemikian telah mempunyai implikasi pada “kekacauan” jadwal tahapan pemilu lainnya dan
sekaligus membuat persiapan tahapan Pemilu selanjutnya menjadi tidak optimal. Perbuatan KPU tersebut juga menyebabkan konsentrasi dari pasangan calon dan Tim Kampanyenya tidak lagi memberikan fokus yang memadai pada persoalan yang menyangkut masalah DPT;
Penilaian Bawasalu atas sikap tidak professional dari KPU juga dikaitkan dengan beberapa hal lainnya, yaitu: kesatu, KPU baru mensosialisasikan format pelaporan dana kampanye dari pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden 2 (dua) hari sebelum berakhirnya masa kampanye yang dimulai dari tanggal 27 Juni hingga 4 Juli 2009. Hal ini menyebabkan pelaporan mengenai dana kampanye tidak konsisten sehingga indikasi adanya berbagai pelanggaran dalam pengelolaan dana kampanye yang diduga dilakukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat secara optimal diselesaikan; kedua, ada indikasi berupa tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan prinsip netralitas dalam melakukan sosialisasi atas pasangan calon sehingga diduga keras hanya menguntungkan salah satu pasangan calon saja; ketiga, KPU mempunyai kewenangan untuk menentukan jumalh TPS berkaitan dengan
jumlah peserta pemilu di suatu wilayah pemilihan tertentu tetapi KPU dinilai tidak cukup transparan untuk menjelaskan opsi kebijakan sehingga potensial disinyalir melakukan tindakan melawan hukum.
Rincian mengenai pandangan, pendapat dan penilaian Bawaslu atas penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara lengkap akan kami sampaikan pada Mahkamah kemudian.
Keterangan Lisan Bawaslu
Pelanggaran pemilu dilakukan setiap pasangan calon peserta Pemilu;
Terdapat permasalahan DPT di 10 provinsi menyangkut ketidakakuratan DPT dalam konteks nama ganda, nama dan NIK ganda, tempat tanggal lahir ganda, pemilih yang sudah meninggal yang masih terdaftar dalam DPT dan banyak pemilih yang masih belum terdaftar;
Bawaslu baru mengetahui ada perubahan DPT tanggal 6 Juli 2009 saat Rekapitulasi Nasional;
DPT yang akurat bukan merupakan kondisi sine qua non;
Menurut Bawaslu carut marut DPT terjadi karena KPU tidak menyusun blue print(cetak biru) setiap tahapan, karenanya sikap KPU bersifat parilitas. Namun Bawaslu tidak menemukan unsur kesengajaan KPU dalam permasalahan,
karena KPU telah berusaha untuk melakukan akomodasi terhadap perubahan-perubahan data;
Bawaslu menemukan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Pusat melalui spanduk yang disebarkan di seluruh Indonesia, dengan memberikan contoh cara mencontreng pada nama, foto dan nomor hanya pada salah satu pasangan calon tertentu. Terhadap hal ini Bawaslu merekomendasi agar dibentuk dewan kehormatan di KPU;
Bawaslu menerima laporan dari pasangan calon bahwa terdapat sosialisasi mengisi form berita acara untuk C-1 yang dilakukan oleh KPU Jember, sosialisasi dilakukan dengan memberikan contoh pasangan calon nomor urut
dua memperoleh suara terbanyak. Setelah diklarifikasi kepada KPU Jember hal ini adalah model yang diperoleh dari atasan yang bersangkutan;
Bawaslu menemukan di beberapa daerah terjadi penggelembungan suara, C-1 palsu, surat suara yang sudah dicontreng sebelum proses, pemilih yang mencontreng lebih dari dua kali terhadap pelangaran dan pidana Pemilu telah ditindaklanjuti;
Bawaslu berpendapat bahwa pengurangan jumlah TPS memiliki landasan hukum yang cukup. Karena Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden menentukan jumlah 800 pemilih per-TPS, dan terkait hal ini KPU sudah menerbitkan surat keputusan tentang syarat-syarat penggabungan TPS;
Terkait dengan IFES Bawaslu telah melakukan klarifikasi kepada KPU, menurut KPU hal ini dilakukan karena keadaan mendesak. Bawaslu juga melakukan klarifikasi kepada Bappenas, menurut Bappenas kerja sama dengan pihak asing tidak dapat dilakukan terkait dengan data, namun hal ini dilakukan karena KPU tidak siap melaksanakan sendiri, dan jika tidak dilaksanakan akan menimbulkan permasalahan politik;
[2.6] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon I dan Pemohon II telah mengajukan bukti-bukti surat/tulisan, sebagai berikut:
Bukti PI-1:
Fotokopi Putusan Termohon Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009;
Bukti PI-2:
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemohon atas nama H.M. Jusuf Kalla;
Bukti PI-3:
Fotokopi Surat Pemberitahuan terdaftar dalam daftar Pemilih Tetap atas nama Pemohon H.M. Jusuf Kalla, membuktikan Pemohon H.M. Jusuf Kalla terdaftar selaku Pemilih;
Bukti PI-4:
Fotokopi Kartu tanda Penduduk (KTP) atas nama Pemohon H. Wiranto;
Bukti PI-5:
Fotokopi Surat Pemberitahuan Waktu dan Tempat Pemungutan Suara kepada H. Wiranto membuktikan Pemohon H. Wiranto terdaftar selaku pemilih;
Bukti PI-6:
Fotokopi Surat Keputusan Termohon Komisi Pemilihan Umum Nomor 295/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 29 Mei 2009 membuktikan Pemohon menjadi peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti PI-7:
Fotokopi Keputusan Termohon Komisi Pemilihan Umum Nomor: 297/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 30 Mei 2009 membuktikan Pemohon adalah pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dengan Nomor Urut 3 (tiga);
Bukti PI-8:
Fotokopi Risalah Rapat Paripurna Ke-28 Masa Sidang IV tahun Sidang 2008-2009 tentang Persetujuan Hak Angket DPR-RI terhadap pelanggaran Hak Konstitusional Warga
Negara Untuk Memilih, membuktikan Daftar Pemilih Tetap
Legislatif yang ditetapkan Termohon semrawut;
Bukti PI-9:
Fotokopi Surat Pemohon Nomor 23/Timkamnas JK-W/VII/2009 tanggal 3 Juli 2009 tetang Permohonan Daftar Pemilih Tetap (DPT) surat mana yang telah diterima Termohon;
Bukti PI-10:
Fotokopi Surat Termohon Nomor 373/UND/VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 perihal Undangan Pengecekan DPT;
Bukti PI-11:
Fotokopi Tanda Terima Hard Disk Eksternal berisi Daftar Pemilih Tetap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 tanggal 6 Juli 2009, membuktikan Pemohon telah menerima Hard Disk Ekternal “soft copy” DPT Pilpres 2009
dari Termohon;
Bukti PI-12:
Copy Hard Disk Ekternal ‘soft copy” Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009. dan print out isi hard disk ekternal;
Bukti PI-13:
Fotokopi Laporan Bersama Pengecekan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tim Kampanye Mega Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto “terdapat pemilih ganda sebanyak 4.647.933 pemilih tersebar di 70 kabupaten/kota di 8 provinsi”, dan laporan bersama ini ditandatangani Termohon;
Bukti PI-14:
Fotokopi Klipping media massa “Berita Kota” tanggal 23 Juli 2009 dimana Termohon mengakui perubahan DPT atas rekomendasi Bawaslu;
Bukti PI-15:
Fotokopi Klipping media massa “Kompas” tanggal 23 Juli 2009 dimana Termohon mengakui pengurangan TPS dari 519.000 TPS menjadi 450.000 TPS;
Bukti PI-16:
Fotokopi Klipping media massa “Koran Jakarta” tanggal 23 Juli 2009 dimana Termohon mengakui menetapkan DPT 3 (tiga) kali dan terakhir tanggal 6 Juli 2009 dengan menetapkan 176.411.434 sebagai angka yang digunakan pada Pilpres;
Bukti PI-16a:
Fotokopi Surat Keputusan Termohon Nomor 02/KPU/Kpts/Tahun 2009 tanggal 30 Mei 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bukti PI-16b:
Fotokopi Surat Keputusan Termohon Nomor 16/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 8 Juni 2009 tentang Perubahan SK Nomor 302/KPU/Kpts/Tahun 2009 tanggal 30 Mei 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bukti PI-16c:
Fotokopi Surat Keputusan Termohon Nomor: 356/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tanggal 6 Juli 2009 tentang Perubahan Terhadap SK Nomor 316/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan SK Nomor 302/KPU/Kpts/Tahun 2009 tanggal 30 Mei 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bukti PI-17:
Fotokopi beberapa Formulir C-1 yang tidak bersumber dari Termohon telah beredar sebelum penghitungan suara, dan Formuli C-1 telah terisi dan tanda tangan KPPS dan saksi, dimana nama Calon Nomor urut 2 (dua) telah tercetak rapi;
Bukti PI-18:
Fotokopi Klipping media massa “Majalah TEMPO” edisi tanggal 19 Juli 2009 halaman 21, dimana Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Ali mengakui membuat formulir tersebut;
Bukti PI-19:
Fotokopi Klipping Surat Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Tapanuli Selatan yang membuktikan Aparat Kepala Desa Unte Mungkur II Kecamatan Kolong melakukan penconterangan 51 (lima puluh satu) lembar surat suara;
Bukti PI-20:
Fotokopi Rekapitulasi pelanggaran-pelanggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti PI-21:
Fotokopi Pernyataan Keberatan Dari Saksi Pemohon Terhadap Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden Tingkat Nasional;
Bukti PI-22:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi NAD membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 2.275.415 pemilih;
Bukti PI-23:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sumatera Utara membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 7.180.923 pemilih;
Bukti PI-24:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sumatera Barat
membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 3.321.607
pemilih;
Bukti PI-25:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Kepulauan Riau membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.243.586 pemilih;
Bukti PI-26:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Riau membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 3.647.420 pemilih;
Bukti PI-27:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Bengkulu membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.273.212 pemilih;
Bukti PI-28:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Jambi membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 2.198.902 pemilih;
Bukti PI-29:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sumatera Selatan membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 5.314.087 pemilih;
Bukti PI-30:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Bangka Belitung membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 833.096 pemilih
Bukti PI-31:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Lampung membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 5.496.836 pemilih;
Bukti PI-32:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi DKI Jakarta membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 7.668.058 pemilih;
Bukti PI-33:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Jawa Barat membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 30.124.175 pemilih;
Bukti PI-34:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Banten membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 7.152.428 pemilih;
Bukti PI-35:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Jawa Tengah membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 26.323.595 pemilih;
Bukti PI-36:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi D.I. Yogyakarta membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 2.780.987 pemilih;
Bukti PI-37:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Jawa Timur membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 29.770.268 pemilih;
Bukti PI-38:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Bali membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 2.696 .817 pemilih;
Bukti PI-39:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi NTB membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 3.242.086 pemilih;
Bukti PI-40:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi NTT membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 2.813.603 pemilih;
Bukti PI-41:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Kalimantan Timur membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 2.474.351 pemilih;
Bukti PI-42:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Kalimantan Tengah membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.607.949 pemilih;
Bukti PI-43:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Kalimantan Barat membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 3.217.953 pemilih;
Bukti PI-44:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Kalimantan Selatan
membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 2.593.599 pemilih;
Bukti PI-45:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sulawesi Selatan membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 5.834.408 pemilih;
Bukti PI-46:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sulawesi Tengah membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.760.709 pemilih;
Bukti PI-47:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sulawesi Tenggara membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.558.299 pemilih;
Bukti PI-48:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Gorontalo membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 710.097 pemilih;
Bukti PI-49:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sulawesi Utara membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.743.009 pemilih;
Bukti PI-50:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Sulawesi Barat membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 786.556 pemilih;
Bukti PI-51:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Maluku membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.062.380 pemilih;
Bukti PI-52:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Maluku Utara membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 739.218 pemilih;
Bukti PI-53:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Papua membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 1.269.860 pemilih;
Bukti PI-54:
Fotokopi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Provinsi (Model DC PPWP) Provinsi Papua Barat membuktikan jumlah pemilih di DPT sebesar 573.356 pemilih;
Bukti Pemohon II
Bukti PII-1:
Fotokopi Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 295/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Menjadi Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti PII-2:
Fotokopi Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 297/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Menjadi Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti PII-3:
Fotokopi Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009;
Bukti PII-4:
Fotokopi Berita Acara Komisi Pemilihan Umum Nomor 130/BA/VII/Tahun 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009;
Bukti PII-5:
Fotokopi Berita Acara Komisi Pemilihan Umum Nomor 129/BA/KPU/VII/Tahun 2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Nasional Tahun 2009;
Bukti PII-6:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) secara tidak sah sebanyak 2.715.639 suara untuk Pasangan Calon Susilo
Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sumatera Utara;
Bukti PII-7:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) secara tidak sah sebanyak 2.715.639 suara untuk Pasangan Calon Susilo
Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sumatera Barat;
Bukti PII-8:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) secara tidak sah sebanyak 884.032 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sumatera Selatan;
Bukti PII-9:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) secara tidak sah sebanyak 224.311 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Bengkulu;
Bukti PII-10:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) secara tidak sah sebanyak 1.682.398 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Lampung;
Bukti PII-11:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 473.390 suara secara tidak sah untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi DKI Jakarta;
Bukti PII-12:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 8.620.693 suara secara tidak sah untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Jawa Barat;
Bukti PII-13:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 8.620.693 suara secara tidak sah untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Banten;
Bukti PII-14:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak suara secara tidak sah untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Jawa Tengah;
Bukti PII-15:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 579.646 suara secara tidak sah untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi DI Yogyakarta;
Bukti PII-16:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 1.831.573 suara secara tidak sah untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Jawa Timur;
Bukti PII-17:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 722.388 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Nusa Tenggara Barat;
Bukti PII-18:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 179.006 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Nusa Tenggara Timur;
Bukti PII-19:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 4.784 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Kalimantan Tengah;
Bukti PII-20:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 398.548 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Kalimantan Timur;
Bukti PII-21:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 439.846 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Kalimantan Selatan;
Bukti PII-22:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 125.595 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sulawesi Utara;
Bukti PII-23:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 111.688 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sulawesi Tengah;
Bukti PII-24:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 445.600 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sulawesi Selatan;
Bukti PII-25:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 100.800 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sulawesi Barat;
Bukti PII-26:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 121.587 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Sulawesi Tenggara;
Bukti PII-27:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 107.989 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Gorontalo;
Bukti PII-28:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 179.967 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Maluku;
Bukti PII-29:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 560.785 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Papua;
Bukti PII-30:
Fotokopi Penggelembungan Suara (Mark Up) sebanyak 113.764 suara untuk Pasangan Calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono di Provinsi Papua Barat;
Bukti PII-31:
Fotokopi Laporan Pelanggaran Pemohon dan Surat Lembaga Swadaya Masyarakat maupun Surat maupun Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu Terkait dengan Pelanggaran, Kecurangan Maupun Penyimpangan Pemilu;
Bukti PII-32:
Fotokopi Tanda Terima dari KPU Tanggal 6 juli 2009 perihal Hard Disk Eksternal Berisi DPT Pilpres;
Bukti PII-33:
Fotokopi Materi Konfrensi Pers Tim Penyelidikan Penghilangan Hak Sipil dan Politik Warga Negara Dalam Pemilu Legislatif 09 April 2009 tertanggal 8 Mei 2009;
Bukti PII-34:
Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009;
Bukti PII-35:
Fotokopi Laporan Bersama Pengecekan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tim Kampanye Mega Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, sebagaimana telah ditandatangani oleh Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary. dalam kapasitasnya selaku Ketua KPU;
Bukti PII-36:
Fotokopi DPT Bermasalah yang di klaim Pemohon sebagai DPT yang sama sekali tidak diverivikasi atau dimutakhirkan;
Bukti PII-37:
Fotokopi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 telah dilakukan tanpa menggunakan DPT atau setidak-tidaknya tidak menggunakan DPT yang sah menurut hukum;
Bukti PII-38:
Fotokopi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 164/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Perubahan Penetapan Badan Pelaksana dan Perbaikan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2009;
Bukti PII-39:
Fotokopi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 315/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tentang Perubahan Terhadap KeputusanKomisi Pemilihan Umum Nomor 301/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dan Perbaikan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2009;
Bukti PII-40:
Fotokopi Surat Pernyataan Pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap;
Bukti PII-41:
Fotokopi Surat Pernyataan 287.392 Pemilih Pemohon di Sumatera Utara dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-42:
Fotokopi Surat Pernyataan 25.889 Pemilih Pemohon di Sumatera Barat dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-43:
Fotokopi Surat Pernyataan 126.983 Pemilih Pemohon di Sumatera Selatan dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana
dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-44:
Fotokopi Surat Pernyataan 224.839 Pemilih Pemohon di Lampung dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-45:
Fotokopi Surat Pernyataan 578.688 Pemilih Pemohon di DKI Jakarta dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-46:
Fotokopi Surat Pernyataan 850.397 Pemilih Pemohon di Jawa Barat dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-47:
Fotokopi Surat Pernyataan 317.343 Pemilih Pemohon di Banten dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-48:
Fotokopi Surat Pernyataan 651.760 Pemilih Pemohon di Jawa Tengah dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup;
Bukti PII-49:
Fotokopi Surat Pernyataan 932.437 Pemilih Pemohon di Jawa Timur dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup.
Bukti PII-50:
Fotokopi Surat Pernyataan 179.646 Pemilih Pemohon di Kalimantan Timur dihilangkan hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diperbolehkan untuk memilih, walaupun namanya terdaftar dalam DPT dan sudah mengantri dengan membawa KTP di TPS-TPS, dimana pemilih-pemilih tersebut yang bermaksud memilih Pemohon, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Penyataan yang dibuat di bawah tangan dan bermeterai cukup.
Bukti PII-51:
Fotokopi Dokumen Laporan Temuan Pelanggaran Tim Kampanye Nasional Pemohon;
Bukti PII-52:
Fotokopi www.presiden sby.info, Republika Newsroom dan Inilah.com, perihal Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono tentang Pemilu Curang dan Upaya Intimidatif/Ancaman terkait dengan Kinerja KPU dan Upaya Permohonan Pembatalan;
Bukti PII-53:
Fotokopi Rekapitulasi Permasalahan DPT Pilpres 2009 di Tingkat Nasional yang Berbasis Provinsi;
Bukti PII-54:
Fotokopi Laporan Pelanggaran dan Kecurangan Pemilu Presiden 2009.
Selain mengajukan bukti surat/tulisan, Pemohon I dan Pemohon II mengajukan ahli dan/atau saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Ahli Pemohon I
Yudi Latif (Ahli Sosiologi Politik)
Demokrasi yang diperjuangkan di Indonesia adalah demokrasi konstitusional, yaitu demokrasi yang secara ideologis dan teleologisnya bermaksud untuk memenuhi dan menjalankan konstitusi. Demokrasi yang tidak taat asas terhadap konstitusi, tidak dapat dikatakan sebagai demokrasi konstitusional, tetapi demokrasi yang inkonstitusional. Konstitusi Indonesia memberikan
perlindungan perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik yang di dalamnya mencakup hak pilih. Hak pilih merupakan derogable rights yang tidak dapat dikurangi dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain;
Hak pilih dalam beberapa negara dapat menentukan mutu dari suatu demokrasi, demokrasi yang baik bukan saja free, tetapi fair election. Free diartikan sebagai kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya, sedangkan fair adalah kedudukan setara yang equal untuk dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan;
Ukuran bahwa suatu Pemilu itu bermutu atau tidak bermutu antara lain ditentukan equalitas dimana setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu beberapa negara seperti Belgia, Luksemburg, Austria,
Australia, mewajibkan pada warga negaranya untuk ikut serta di dalam pemilihan;
Pelanggaran terhadap hak pilih merupakan pelanggaran human right yang sangat besar atau gross violation of human rights, dimana hak ini tidak dapat dikoreksi, diderogasi kecuali untuk jika hak ini tidak memungkinkan untuk dijalankan;
Asas fairness menghendaki bahwa Pemilu harus memenuhi standar dan requirement dari pemilihan. Secara definisi pemilihan merupakan proses pemilihan yang diikuti oleh register voters. Bahkan di beberapa negara mewajibkan warga negara yang dapat memilih harus didaftar terlebih dahulu dan melarang warga negara yang tidak terdaftar untuk ikut dalam Pemilu. Register voters dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu stelsel aktif
dimana pemilih aktif mendaftarkan dalam pemilu dan yang kedua negara yang aktif untuk mendaftar pemilih. Apabila dikaitkan dengan di Indonesia, maka menggunakan dua pendekatan tersebut, dimana Negara mendaftar calon pemilih, dan pemilih diberikan kesempatan untuk mendaftarkan diri;
Comparative studies di seluruh dunia menunjukkan bahwa demokrasi mengalami kegagalan, bukan karena ketidaksiapan dari warga negara atau rakyat biasa, tetapi justru pada ketidaksiapan dari pada lembaga pemilihan terutama dalam menetapkan DPT. Pemilu tidak dapat berjalan dengan baik, apabila DPT-nya tidak ditetapkan dan diketahui secara publik. Undang-Undang
Pemilu telah menentukan bahwa DPT harus diumumkan minimal 30 hari sebelum Pemilu;
Pemilu tahun 2009 tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang benar, karena cacat secara politik dan secara hukum. Pemilu yang tidak memenuhi prinsi-prinsip konstitusional, maka Pemilu demikian harus dibatalkan;
Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai KTP digunakan untuk memilih tidak dapat ditindaklanjuti oleh KPU, karena pemilih sebelum menggunakan hak pilihnya harus terlebih dahulu mendaftarkan KTP nya;
Penilaian terhadap Pemilu apakah legal atau tidak legal, hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh berapa jumlah peserta Pemilu, tetapi ditentukan apakah prosedumya benar atau tidak?
Tidak ada instrumen internasional mengenai DPT, karena aturan demokrasi dibatasi oleh kerangka nation state., Persoalan DPT muncul dari hukum nasional, oleh karena itu internasional tidak dapat ikut campur dalam
persoalan-persoalan teknis Pemilu;
2. Justiani
Mengenai manfaat menggunakan IT, yaitu untuk efisiensi, biaya murah, dan terjangkau, lebih transparan, dapat diakses oleh seluruh rakyat kapan saja di mana saja;
Bahwa penggunaan IT secara umum bertujuan, pertama mempromosikan Economic Growth, kedua memperkuat good governance;
Saksi Pemohon I
Karmadi Ngawiran
Saksi mendapat laporan dari saksi Jusuf Kalla – Wiranto bernama Yuhendi bahwa di TPS 17 Kelurahan Kledeng, Kecamatan Karawaci Tangerang, Banten menemukan formulir C-1 yang tidak ada nama Capres Nomor Urut 1 dan Nomor Urut 3, sedangkan nama Capres Nomor Urut 2 ada di dalam formulir C-1 tersebut. Formulir C-1 yang masih kosong (belum ada perolehan suara dari pasangan calon) tersebut telah ditandatangani oleh seluruh saksi dan petugas KPPS;
Kejadian tersebut telah dilaporkan kepada Panwascam dan menurut berita yang saksi peroleh dari Ketua Panwas bahwa kasus tersebut telah ditindaklanjuti;
Umi Sari Dewi
Saksi dalam Pemilu Legislatif terdaftar sebagai pemilih, tetapi dalam Pemilu Presiden tidak terdaftar sebagai pemilih. Saksi menggunakan hak suara dalam Pemilu Presiden menggunakan KTP, tetapi tidak mencontreng salah satu pasangan Presiden tersebut;
Daftar Pemilih Sementara tidak diumumkan kepada warga;
Muhammad Zulfikar
Saksi adalah Ketua Kesatuan Intelektual Muda Partai Golkar, dimana pada bulan Juni mendapat tugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap DPT Pilpres.
Mohamad Soleh
Saksi bertugas melakukan penyisiran data DPT Pilpres yang ada di dalam softcopy dan menemukan pemilih ganda. Data mengenai pemilih ganda tersebut telah saksi serahkan kepada Tim Advokasi Pemohon;
Saksi Pemohon II
Tuntang SB Hutasoit
Saksi merupakan Koordinator Saksi Pasangan Calon Mega-Prabowo di Kota Medan;
Saksi melihat ada seorang bernama Kiadema Boru Tambunan tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS 9 Kelurahan Sekip Kecamatan Medan Pedesa, Kota Medan atas nama. Orang tersebut datang ke TPS dengan maksud untuk memilih dengan menggunakan KTP, tetapi oleh Ketua KPPS tidak diizinkan untuk memberikan haknya dengan alasan yang bersangkutan tidak menunjukkan Kartu Keluarga yang asli;
Bahwa Ketua KPPS di TPS 5 Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan telah menerbitkan formulir C-4 ganda atas nama satu orang. Formulir C-4 tersebut digunakan oleh Alfonso Siahaan, dan pada siang harinya datang ke TPS bernama Zoki Zaluhu yang menggunakan formulir atas nama Alfanso Siahaan, padahal diketahuinya bahwa Alfanso Siahaan telah menggunakan formulir C-4 tersebut;
Bahwa Limnas di TPS 5 telah membagikan sebanyak 302 formulir C-4 kepada warga. Berdasarkan interogasi yang dilakukan oleh Saksi kepada Jaluhu, Romahuli boru Sihombing, dan Ruslan Boru Naibaho diperoleh keterangan bahwa mereka mendapatkan C-4 dari Ketua KPPS;
Kecurangan tersebut telah dilaporkan ke Panwaslu dan KPU Kota Medan provinsi, sampai hari ini tidak mendapatkan jawaban;
Pada waktu rapat pleno di KPU Kota Medan, Saksi mengajukan keberatan yang dituangkan pada formulir keberatan. Saksi mengajukan keberatan karena tidak sinkron antara jumlah pemilih dengan yang penggunaan hak pilih. Sepengetahuan Saksi bahwa apabila jumlah pemilih dalam DPT dikurangkan dengan jumlah pemilih dalam DPT yang menggunakan hak pilih dan dikurangkan dengan jumlah pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak pilih, maka hasilnya adalah nol, tetapi tidak demikian yang terjadi di beberapa tempat, yaitu:
− Di Kecamatan Medan Amplas, jumlah DPT sebanyak 104.879, jumlah pemilih dalam DPT yang menggunakan hak pilih sebanyak 50.633, dan jumlah pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 54.308 . Apabila angka tersebut dikurangkan maka terdapat selisih 62 suara;
− Model C-1 PPWP di TPS 1 Kelurahan Babura, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan pada kolom jumlah pemilih dari TPS lain (dicatat dalam pemilih tambahan) angkanya adalah kosong, tetapi pada formulir DA PPWP pada TPS yang sama terdapat selisih 16 suara;
− Di Kecamatan Medan Baru, jumlah pemilih dalam DPT (formulir DA-1 PPWP) sebanyak 42.414, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih sebanyak 18.479, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 26.978, Apabila dikurangkan, maka terdapat selisih minus 3.043. Data mana berbeda dengan formulir DB-1 PPWP yang tidak terdapat selisih, dimana jumlah pemilih sebanyak 45.710, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih sebanyak 18.543, dan pemilih yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 27.167;
Terjadi manipulasi data di Kecamatan Medan Baru, dimana data yang ada di dalam Model DA tidak dipindahkan ke Model DB-1 PPWP, hal hal mana juga di Kecamatan Medan Perjuangan, di Medan Johor, di Medan Labuhan;
Drs. Sutarto
Saksi merupakan Tim Kampanye Pasangan Calon nomor 3 di Provinsi Sumatera Utara;
Pada waktu meninjau beberapa PPS. khususnya di kecamatan-kecamatan di Kota Medan, Saksi menemukan adanya kotak suara yang tidak bersegel khususnya di TPS 21 Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Labuhan. Kotak suara tersebut pada waktu di TPS masih dalam keadaan tersegel, tetapi setelah di PPS Kelurahan Bagan Deli, segalnya telah terbuka;
Akhyar Nasution Ir
Pada tanggal 4 Agustus, saksi menemukan adanya kecurangan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Pengadilan Negeri Sibolga menjatuhkan pidana penjara pada Benny Batubara, Kepala Desa Unti Mungkur II Kecamatan Tolang Kabupaten Tapanuli Tengah yang dinyatakan terbukti bersalah melanggar Undang-Undang Pilpres, yaitu menyontreng 51 lembar surat suara untuk pasangan SBY- Boediono;
Bahwa banyak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Deli Serdang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam DPT dan tidak mendapatkan formulir C-4 PPWP;
Bahwa di Binjai ada pemilih di bawah umur yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya, yaitu di Kelurahan Mencirem TPS 1, TPS 8, TPS 10, Kelurahan Tunggo Rono TPS 6, TPS 8, TPS 10, 11, 12 Kelurahan Tunggu Rono dan Kelurahan Timbang Langkat di Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai;
Bahwa terjadi penggelembungan suara untuk Pasangan Calon Nomor 2 di Sumatera Utara berjumlah 2.715.639 suara. Berdasarkan laporan dari Tim Sukses Pemohon dilaporkan bahwa sebanyak 287.392 simpatisan Pemohon tidak terdaftar dalam DPT;
Achmad Zen
Saksi merupakan Kordinator Lapangan dari saksi Pemohon di Kota Tangerang;
Bahwa penyelenggara Pemilu di Kota Tangerang telah melakukan kecurangan yaitu Saksi mendapatkan laporan dari saksi-saksi Pemohon di lapangan bahwa saksi pasangan nomor 2 telah memegang C-1 sebelum dimulainya penghitungan suara;
Bahwa TPS 15 Kelurahan Sukajadi Kecamatan Karawaci ditemukan formulir ganda C-4 atas nama Farah Labibah Sulaiman dengan DPT Nomor 241 dan 48. Di TPS 6 terdapat pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, masing-masing bernama Dimas Kunto Wijanarko, Harjono Haripon Trianingsih, Natalia Worohapsari, Danardono Putra Danaru. Kader Pemohon yang tidak terdaftar di dalam DPT untuk Provinsi Banten, Pandeglang Lebak, Kota Cilegon Serang, Kota Tangerang Kabupaten Tangerang sebanyak 317.314 orang;
Rincian perolehan suara masing-masing pasangan calon adalah Pasangan Calon nomor 1 di Provinsi Banten memperoleh 1.389.285, Pasangan Nomor 2 memperoleh 1.423.507, Pasangan nomor 3 memperoleh 410.270, sedangkan penghitungan KPU untuk Pasangan Nomor 1 memperoleh 1.389.285, Pasangan Nomor 2 memperoleh 3.350.243, dan Pasangan Nomor 3 memperoleh 410.270, sehingga terjadi penggelembungan suara sebanyak 1.850.397;
Saksi membenarkan bahwa pada waktu penghitungan suara belum selesai ada formulir C-1 telah beredar;
Oki Agus S
Saksi merupakan saksi Pemohon (Mega-Prabowo) di TPS 9 Kelurahan Suka Rasa Kecamatan Kota Tangerang;
Pada waktu pemilihan Presiden, Ketua PPS mengucapkan slogan pasangan calon nomor 2, yaitu “lanjutkan”, sehingga menurut saksi slogan tersebut dapat mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan nomor 2;
Denny Handriathman Iskandar
Saksi merupakan saksi Pemohon (Mega Prabowo) pada rekapitulasi pleno di Provinsi DKI Jakarta;
Bahwa ada indikasi dari penyelenggara Pemilu di DKI menyembunyikan DPT kepada seluruh saksi dari calon pasangan nomor 1. Hak mana tidak sejalan ketentuan ketentuan Pasal 115 ayat (1) huruf C UU 42/2008 yang mewajibkan KPPS untuk menyerahkan salinan DPT yang termutakhirkan kepada saksi yang hadir dan pengawas di lapangan. Jikapun saksi memperoleh DPT, itu hanya berupa soft copy, sedangkan hard copy nya tidak pernah dibagikan oleh KPU DKI Jakarta dengan alasan tidak sanggup untuk mencetak karena terlalu banyak DPT tersebut;
Bahwa Pemohon telah banyak kehilangan suara yang diakibatkan karena adanya perpindahan TPS tanpa pemberitahuan, misalnya TPS 059 beralamat di Jalan Warung Jengkol RT 005/013 tetapi pada saat pemilihan dipindahkan ke balai RW 014 yang beralamat di Jalan Gading Asri 3 perumahan Gading Nias. Kemudian TPS 081 beralamat di Jalan Raya Bekasi Lapangan RT 005/013, dipindahkan ke Warung Jengkol RT 005/013;
Bahwa di TPS 071, 073, 094 Kelurahan Semper Barat Kecamatan Cilincing ditemukan adanya gambar pasangan nomor urut 2 sudah dicontreng. Terhadap kecurangan tersebut, saksi mengajukan keberatan dan tidak menandatangani berita acara rekapitulasi;
Dyah Primastuti
Bahwa pleno KPU Jakarta Utara telah melakukan intervensi mengenai hasil rekapitulasi DPT di Kecamatan Penjaringan dalam rapat penghitungan suara yang dilaksanakan tanggal tanggal 16 Juli 2009. Dalam Rapat Pleno penghitungan suara tersebut, KPU Jakarta Utara memberi catatan untuk diadakan perbaikan DPT, karena tidak sinkron antara DPT versi C-1, KPU dan PPK, misalnya DPT di Kecamatan Penjaringan yang terdiri dari 32 TPS menurut C-1 untuk laki-laki berjumlah 8.754, menurut KPU berjumlah 8.927, dan menurut PPK Penjaringan berjumlah 8.744 . Untuk perempuan menurut C-1 berjumlah 8.341, menurut KPU berjumlah 8.172, dan PPK berjumlah 8.486, sehingga jumlah DPT untuk laki-laki dan perempuan menurut C-1 berjumlah 17.095, jumlah DPT menurut KPU berjumlah 17.099, dan jumlah DPT menurut PPK 17.230;
Saksi tidak menandatangani berita acara rekapitulasi dan telah mengajukan keberatan;
Bahwa di TPS 98 Kelurahan Pejagalan terjadi kelebihan surat cadangan sebanyak 100 lembar. Saksi telah memberikan teguran kepada PPK Penjaringan tetapi tidak dihiraukan;
Suaeb Hadi
Saksi merupakan saksi Pemohon di KPUD sekaligus koordinator saksi Pemohon di Kabupaten Malang.
Bahwa saksi dalam rekapitulasi suara di Kabupaten Malang tidak menandatangani berita acara, karena DPT masih bermasalahan;
Bahwa Undang-Undang (UU 42/2008) mewajibkan penyelenggara Pemilu memberikan DPT kepada saksi, tetapi ternyata kurang lebih 7.000 saksi Pemohon tidak pernah diberikan DPT. Selain itu, juga telah terjadi pengurangan TPS kurang lebih 6.600 menjadi 3.377, sehingga pengurangan TPS tersebut menyebabkan pemilih kesulitan untuk menggunakan hak pilihnya;
Jordan M.
Saksi merupakan saksi Pemohon untuk penghitungan di KPU Provinsi Jawa Timur;
Bahwa saksi menemukan pemilih ganda sebanyak 451 di Kecamatan Sidoarjo Kota, Kabupaten Sidoarjo, yang 392 pemilih mempunyai data sama, dan 59 pemilih mempunyai data yang hampir sama. Pada tanggal 24 Juni, KPU Provinsi Jawa Timur memberikan DPT berupa softcopy setelah melalui prosedur yang berbelit. Data DPT yang ada di dalam softcopy tidak memadai, ada TPS yang tidak dimasukkan dalam DPT, bahkan ada satu kelurahan/desa hanya ada satu TPS saja;
Bahwa di Kecamatan Sidoarjo Kota, Kabupaten Sidoarjo, ditemukan adanya 451 pemilih ganda, yaitu sebanyak 392 pemilih datanya sama, dan 59 pemilih datanya hampir sama. Demikian juga di Surabaya, Jember dan Kediri, softcopy mengenai DPT tersebut juga bermasalah. Saksi melaporkan temuan tersebut kepada KPU Provinsi Jawa Timur dan KPU sendiri membenarkan bahwa memang ditemukan adanya NIK ganda sebanyak 137.395, tetapi kemudian KPU melakukan ralat melalui suratnya Nomor 270/628/KPU Jatim/VII/2009, yang menyebutkan bahwa NIK ganda berkurang menjadi 44.471;
Bahwa Saksi menemukan adanya perbedaan berita acara antara di kecamatan dengan berita acara di kota/kabupaten, yaitu di Surabaya (Genteng, Semampir, Pabean, Cantikan, Rumpun), Sidoarjo (Tanggulangin dan Wonoayu), Kabupaten Pasuruan (Tutur, Kejayen, Sumorejo, Beji, Kraton, Gratir, Joso), Kota Probolinggo (Kademangan dan Kanigaran), Kota Pasuruan (Gadingrejo), Banyuwangi (Pesanggaran, Tegalblimo, Gambiran, Sempu, Licin), Bondowoso (Tlogosari, Wonosari, Bondowoso, Pracikan, Sumber Bringin), Situbondo (Suboh, Gendit, Situbondo, Kapongan, Arjasa, Jangkar, Banyu Putih, Jember (Rencong, Gumuk Mas, Umbul Sari, Balong, Rambipuji, Panti, Sumber Sari, Paku Sari, Jilebuk, Kalisan, Sidukombo, Sukowono dan Silo, Lumajang (Pasirian, Yosowilangun, Tekung, Senduro, Guci Alit, Padang, Sukodono, Sumber Suko, Kota Malang (Blimbing, Kedungkandang), Kota Batu (Junrejo), Kabupaten Kediri (Semen, Wates, Puncu, Ploso,Klaten, Tahu, gambing rejo, Grogol, Purwa asri, Plemahan, Pare, Kepung, Kunjang, Bringin Rejo dan Badas), Ponorogo (Sambit, Wulung , Balong, Sukorejo, Ponogoro, Jenangan, Ngebel. Nganjuk ada 3, Sawahan, Prambon, Gondang), Kota Madiun (Kartoarjo, Mangunarjo, Taman), Tuban (Kenduruhan, Suko, Jenu, Grabagan), Gresik (Kecamatan Kota Gresik), Bangkalan (Bangkalan, Soca, Kamal, Kokop, Kuanyir, Galis), dan Pamekasan (Tlanakan, Pademangu, Palemaan, Larangan, Waru, Kadur);
Bahwa ditemukan adanya perbedaan berita acara, misalnya di Jember. Perbedaan berita acara di Jember tersebut telah di perbaiki, tetapi perbaikannya hanya 1, padahal saksi mempermasalahkan 13 kecamatan. Sekalipun telah ada perbaikan, tetapi Saksi tidak menerima rev isi tersebut, karena revisi berita acara tidak anda tangan dari saksi Pemohon di Jember;
Saksi menemukan adanya DPT yang tidak sesuai dengan SK KPU Nomor 356, yaitu di Situbondo, Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, Jombang, Kota Mojokerto, Tuban dan Sumenep;
Bahwa sepengetahuan saksi, kekacauan DPT di Jawa Timur menyebabkan sekitar 932.437 tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
Bahwa di TPS 08 Kelurahan Ngampel Kecamatan Mojoroto Kabupaten Kediri ditemukan dan dilakukan penangkapan kepada pemilih yang mencontreng lebih dari sekali;
Eko Kuswanto
Saksi merupakan Sekretaris Posko Jatim VII yang ditugaskan untuk mengkritisi DPT pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden;
Bahwa di Ponorogo, Ngawi ditemukan adanya anak di bawah umum terdaftar dalam DPT;
Bahwa saksi melakukan pengecekan DPT yang diserahkan kepada saksi tanggal 8, berdasarkan hasil pengecekan DPT tersebut ditemukan adanya DPT ganda. DPT ganda dapat diketahui cara melihat kode Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Sistematik Kependudukan bahwa pada NIK terdapat dua kode, misalnya Jawa Timur kode NIK nya adalah 35. Saksi menemukan sekitar 70% dari jumlah DPT yang ada di TPS di Jawa Timur, misalnya Magetan yang masuk dalam provinsi Jawa Timur semestinya menggunakan kode 35 tetapi ditulis 12;
Safron Situmeang
Bahwa Kepala Desa di Desa Utemukur bernama Benny Batubara telah melakukan pencontrengan sebanyak 51 suara di TPS 2, bahkan mengambil sisa surat suara yang berada di depan PPS. Kepala Desa Utemukur tersebut oleh pengadilan telah dijatuhi pidana penjara 18 bulan;
Bahwa surat suara yang telah dicontreng Kepala Desa tidak diikutkan dalam penghitungan di TPS, karena surat suara tersebut dijadikan bukti di Kepolisian;
Bahwa saksi mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada sekitar 20 anak yang masih berumur di bawah 12 tahun melakukan pencontrengan;
Mulyadi
Bahwa di Kelurahan Desusu Barat ada 5 pemilih terdaftar dalam Pemilu Legislatif, tetapi tidak terdaftar dalam Pemilu Presiden. Selain itu ada pemilih yang telah meninggal dunia, tetapi terdaftar dalam DPT Pilpres;
Darwis
Bahwa pada waktu saksi akan mencontreng di TPS 2 Kelurahan Budi Utara 2 Kota Palu, masih melihat gambar salah satu calon terpasang di TPS. Selain itu ada petugas KPPS yang mengarahkan pemilih untuk memilih salah satu pasangan calon Pilpres;
Mamat
Bahwa saksi menerima DPT dari KPU tanggal 6 Juli 2009 pukul 20.00. Kemudian Saksi pada pukul jam 00.30 melakukan verifikasi DPT dan menemukan adanya file kosong di dalam DPT KPU tersebut, misalnya Provinsi Sumatera Selatan;
Khairul Anwar, BSC
Saksi merupakan saksi dari Pemohon untuk KPU Provinsi Bengkulu;
Bahwa Saksi hanya menerima DPT dalam bentuk softcopy. Provinsi Bengkulu terdiri dari 9 kabupaten, tetapi dalam softcopy hanya mencatumkan satu Kabupaten Kepahyang, sedangkan 8 kabupaten lainnya tidak terdapat di dalam softcopy;
Bahwa DPT Kabupaten Kepahyang terdapat nama ganda yang tidak menyebutkan NIK. Bahwa 99 % pemilih yang terdaftar dalam DPT tidak ada NIK, sedangkan sisanya 1 % ada NIK tetapi NIK-ya sama;
Pemilih di Kabupaten Kepahyang berjumlah 99.987 pemilih, tetapi setelah pelaksanaan Pilpres pada saat rekapitulasi di KPU kabupaten, jumlah pemilih berubah menjadi 99.617, sehingga pemilih berkurang 370;
Bahwa KPU kabupaten telah mencoret DPT ganda sebanyak 161 yang dituangkan di dalam berita acara, tetapi di dalam berita acara disebutkan ada pengurangan, sehingga apabila 99.617 dikurangi 161 menjadi 99.456, tetapi ternyata jumlahnya bertambah menjadi 99.778;
Bahwa saksi tidak mengajukan keberatan;
Bahwa ditemukan dalam DPT ada dua orang anggota TNI/Polri yang masih aktif terdaftar dalam DPT;
Jaelaniwadis
Saksi sebagai koordinator saksi Pemohon untuk Kotamadya Bengkulu dan saksi di KPU Kabupaten Bengkulu;
Bahwa Gubernur Bengkulu Agustin M Najamudin (Ketua DPD Partai Demokrat) melalui suratnya Nomor 70/151/KPBPPM tanggal 12 Juni 2009 memberikan dukungan pemutakhiran data DPT dan sosialisasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 yang ditujukan kepada para kepala dinas, biro kantor di lingkungan pemerintah Provinsi Bengkulu. Di dalam surat pemuktahiran data pemilih tersebut dilampiri Surat Mendagri yang ditembuskan kepada KPU yang
mohon bantuan fasilitasi, terkait pemuktahiran data pemilih kepada RT, RW yang ditujukan kepada gubernur;
Bahwa pada waktu rapat pleno di PPK Kecamatan Ratu Samban tanggal 10 Juli 2009, Saksi mendapat laporan dari saksi Pemohon mengenai enam formulir C-1 di TPS 2, TPS 3, TPS 5, TPS 7, TPS 8, dan TPS 9 ditemukan berada di luar kotak suara;
Ridwan, SH
Bahwa saksi dan Tim Kampaye Pemohon di beberapa kabupaten/kota tidak diberi salinan DPT. Keadaan demikian berbeda dengan pada waktu pemilu legislatif, dimana Saksi diberi hardcopy DPT. Dalam Pemilu Pilpres, saksi meminta DPT kepada KPUD dan oleh KPUD diberikan dalam bentuk softcopy;
Bahwa di Jawa Tengah telah terjadi pengurangan TPS yang hal tersebut berdampak pada terhambatnya proses pemungutan suara di daerah, misalnya banyak kader/simpatisan Pemohon tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan jauhnya TPS dengan tempat tinggal mereka;
Bahwa beberapa kabupaten, seperti Kendal, Demak dan Rembang, DPT tidak ada NIK, bahkan di Desa Maguan Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah dari 1.908 pemilih, hanya 553 pemilih yang ber NIK, sedangkan sisanya sebanyak 1.355 pemilih tidak ada NIK nya;
Bahwa Termohon tidak melakukan up date DPT, karena setelah dicocokkan dengan data DPT yang ada dalam CD, masih banyak terdapat kesalahan antara lain penjumlahan, tidak sinkron antara tanggal lahir dengan umur. Selain itu, di Kota Kendal dan Demak, saksi banyak menemukan pemilih di bawah umum/belum dewasa dan belum nikah terdaftar dalam DPT;
Bahwa di wilayah Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Rembang Kecamatan Kragan, Desa Rowo Desa Tegal Sruhan telah ditemukan praktik money politcs yang dilakukan oleh Tarman dengan cara memberikan uang kepada warga Rohan sebesar Rp.10.000, dengan pesan agar warga tersebut untuk memilih pasangan nomor 2;
Bahwa tindak pidana Pemilu berupa money politic tersebut telah dilaporkan kepada Tim Kampaye Pemohon melalui suratnya nomor Pol: LP/01/VII/2009, tertanggal 11 Juli 2009, tanggal 31 Juli 2009 dan perkara dimaksud telah diputus oleh Pengadilan Negeri Rembang Nomor 116/PID.B/2009/PN.RBG yang menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 12 bulan dan
denda 6 juta rupiah. Terdakwa mengajukan banding, tetapi dicabut, sehingga putusan pengadilan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Baginda
Saksi adalah merupakan Tim kampanye Pemohon (Mega-Prabowo) untuk wilayah Jawa Tengah;
Saksi tidak hadir dalam rekapitulasi suara di KPU Jawa Tengah, dengan alasan karena Tim Kampanye Mega Prabowo Jawa Tengah sejak Pileg sampai Pilpres tidak pernah mendapatkan DPT;
Bahwa sebagian besar saksi dan kader Pemohon yang berjumlah 760.000 terdaftar dalam DPT. Pada waktu penghitungan suara di TPS, Saksi Pemohon juga tidak diberikan C-1;
Ujang Dirmana, S. SP
Bahwa di Kabupaten Majalengka ada pemilih ganda, NIK ganda, dan pemilih di bawah umur yang ikut mencontreng;
Sekalipun saksi telah beberapa kali meminta DPT, tetapi KPU tidak pernah memberikan DPT tersebut, baik yang berupa hardcopy maupun softcopy;
Bahwa PPK telah melakukan perubahan DA-1 PPWP yaitu di Kecamatan Sumber Jaya, Kecamatan Jaya Tujuh, Kecamatan Cigasong, Kecamatan Suka Haji, Kecamatan Leuwi Munding, Kecamatan Talaga, Kecamatan Raja Galuh, Kecamatan Cigambul, Kecamatan Malusma, dan Nagapura tanpa memberikan kepada saksi pasangan calon yang berada di PPK;
Bahwa saksi menandatangani Berita Acara rekapitulasi suara di KPU Majalengka tanggal 16 Juli 2009 dengan memberikan nota keberatan. Pada tanggal 18 Juli 2009, saksi diundang oleh KPU untuk menandatangani berita acara perubahan di tiga ecamatan;
Bahwa terjadi pengurangan jumlah TPS yang tidak signifikan pada Pilpres, dimana jumlah TPS pada Pemilu Legislatif adalah 2.604, sedangkan pada Pemilu Presiden adalah 2.602, tetapi TPS yang dihilangkan tersebut keberadaannya sangat penting karena lokasinya di RSUD Majalengka;
Bahwa ada indikasi untuk mengutak-atik (sic) atau mengakali angka-angka perolehan suara sah dan suara tidak sah dari seluruh pasangan calon, tetapi Saksi tidak bukti mempunyai bukti yang akurat mengenai perubahan C-1 tersebut, karena Saksi Pemohon di TPS Majalengka tidak diberikan Model C-1;
Saksi merupakan anggota Tim Kampanye Pemohon (Mega-Prabowo) yang diberikan tugas melakukan rekapitulasi penghitungan suara dari saksi-saksi Pemohon yang berada di TPS, koordinator desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi;
Bahwa berdasarkan laporan dari saksi Pemohon di TPS, koordinator desa, data-data dari kecamatan, kabupaten, maupun provinsi, ditemukan adanya penggelembungan suara dari pasangan nomor dua yang terjadi di 25 provinsi antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo;
Bahwa saksi mengetahui adanya penggelembungan suara tersebut yaitu dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari saksi Pemohon dengan data KPU;
[2.7] Menimbang bahwa terhadap keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon I dan Pemohon II, Termohon (KPU serta jajaran di bawahnya) dan Bawaslu serta jajaran di bawahnya memberikan tanggapan sebagai berikut:
Keterangan KPU Kota Tangerang
KPU menyatakan formulir Model C-1 PPWP dicetak sudah dengan nama tiga pasangan calon dalam bentuk ketikan; kolom di bawah kosong untuk ditulis tangan;
Formulir C-1 dimaksud (yang bermasalah) memang ditemukan oleh Tim JK-Wiranto, dan formulir tersebut dinyatakan ilegal serta tidak dipergunakan oleh KPPS;
KPU Kota Tangerang menyatakan bahwa formulir C-1 yang padanya tercantum nama Pasangan SBY-Boediono dimaksud tidak ada dalam kotak suara, melainkan milik Pasangan Calon Nomor 2.
Keterangan KPU Sumatera Utara
Keterangan disampaikan oleh Ketua KPU Sumatera Utara, Irham Buana Nasution;
Tentang adanya Pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilih meskipun sudah menunjukkan KTP dan KK, dokumen KK asli diminta oleh KPPS untuk ditunjukkan demi menjamin tidak ada penyalahgunaan KK;
Temuan tentang adanya C-4 ganda telah diproses, dan pemilih bersangkutan belum sempat menggunakan hak pilihnya;
Hingga saat ini KPU Sumatera Utara belum menerima laporan tentang adanya kotak suara yang tidak bersegel;
Mengenai permasalahan yang terjadi di Tapanuli Tengah, hingga saat ini KPU Sumatera Utara belum menerima salinan vonis Pengadilan Negeri terkait vonis permasalahan dimaksud.
Keterangan KPU Provinsi Banten
Keterangan disampaikan oleh Anggota KPU Provinsi Banten yang ditugaskan mengambilalih tugas KPU Kota Tangerang yang komisionernya ditahan karena kasus penggelembungan suara pada Pemilu Legislatif (untuk Golkar);
Formulir C-1 memang ada dibuat oleh saksi Pasangan Nomor 2, tetapi KPPS menggunakan formulir resmi dari KPU yaitu yang ada di dalam kotak;
Mengenai foto salah satu Pasangan Calon yang dilaporkan terpampang di salah satu TPS, hingga hari ini tidak ada laporan maupun proses oleh Panwaslu;
Semua saksi Pasangan Calon Nomor I, II, dan III menandatangani formulir tingkat kecamatan;
KPU provinsi memerintahkan agar petugas TPS mencoret jika ada pemilih ganda dan pemilih fiktif pada DPT;
Pada rekapitulasi kabupaten/kota Provinsi Banten semua saksi menandatangani BA, kecuali di Kota Tangerang yang hanya ditandatangani oleh saksi Pasangan Nomor Urut 2 dan Pasangan Nomor Urut 3. Saksi Pasangan Nomor Urut 3 baru sempat menandatangani 4 (empat) rangkap BA kemudian menghentikan tanda tangan karena ada instruksi dari Tim Pemohon;
Formulir C-1 yang dipermasalahkan baru diketahui setelah pemungutan suara berjalan;
Formulir C-1 yang dipermasalahkan adalah milik internal Tim SBY-Boediono dan bentuk formulirnya berbeda;
Perihal adanya tanda tangan KPPS dan cap basah pada formulir C-1 tidak resmi dimaksud, KPU Kota Banten belum memperoleh keterangan dari KPPS;
KPU Kota Tangerang mengetahui bahwa formulir C-1 tidak resmi tersebut milik internal Pasangan Nomor Urut 2 dari keterangan Panwaslu; dan karena ada nama Pasangan Nomor Urut 2 di formulir C-1 dimaksud;
KPU Kota Tangerang tahu ada formulir C-1 tidak resmi (internal salah satu Pasangan Calon) tetapi tidak melakukan penarikan;
Di luar kaitan dengan telah diketahuinya keberadaan formulir C-1 internal, KPU Kota Tangerang memberi instruksi kepada KPPS agar menggunakan formulir C-1 yang sah/resmi;
KPU Kota Tangerang menyatakan (i) seharusnya formulir C-1 tidak ada stempel; stempel hanya ada di tingkat PPK; (ii) KPU Kota Tangerang tahu ada formulir C-1 internal pada sekitar pukul 10.00 WIB; (iii) di Kota Tangerang terdapat 2.720 TPS (13 PPK);
KPU Kota Tangerang belum tahu apakah tanda tangan dalam formulir C-1 internal merupakan tanda tangan KPPS yang dipermasalahkan.
Keterangan KPU DKI Jakarta
KPU telah memberikan softcopy DPT kepada Pemohon dengan disertai tanda terima;
KPU mencetak 7 eksemplar DPT yang tiga diantaranya diserahkan kepada saksi-saksi di TPS;
Mengenai adanya pemindahan alamat TPS, alamat Jalan Raya Bekasi dan Jalan Warung Jengkol adalah sama, yaitu berlokasi di seberang Jalan Pulo Gadung;
Mengenai perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan di Penjaringan, menurut keterangan KPU Jakarta Utara, terdapat kesalahan penulisan jumlah laki-laki dan perempuan namun jumlah keseluruhan tetap sama;
Mengenai stiker materi contreng bergambar Pasangan Calon tertentu di TPS 71 SDN 09 RT 06/RW 19, sebenarnya stiker dimaksud tidak menempel di bilik suara melainkan di papan yang ada di sekitar TPS;
Di TPS 90 Pejagalan terdapat kelebihan surat suara sejumlah 100 lembar, dan telah ditindaklanjuti dengan perintah untuk cek ke TPS lain;
Sejak ditetapkan 28 Mei 2008 tidak ada perubahan terhadap DPT;
Pengguna KTP -sebagai syarat mengikuti pemungutan suara- lebih dari 60.000 pemilih;
Terdapat pengurangan TPS dibanding pada saat Pemilu Legislatif sekitar 4.000 TPS dari semula sekitar 16.000 TPS. Hal ini dilakukan karena penduduk Jakarta cukup padat, yang pada satu jalan bisa terdapat beberapa TPS, sehingga jika pun dilakukan regrouping, lokasi adalah tetap di jalan yang sama;
KPU DKI Jakarta belum pernah mendengar kasus Gunawan Wahyu Bintoro;
Softcopy DPT berbasis TPS diberikan kepada Tim Kampanye sebelum hari pemungutan suara.
Keterangan KPU Kabupaten Malang
Tidak ada regrouping yang terjadi pada hampir setengah jumlah TPS;
Jumlah TPS pada Pemilu Legislatif adalah sejumlah 4.526 TPS, dan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah sejumlah 3.377 TPS;
Jumlah DPT Pemilu Legislatif adalah sekitar 1,6 juta, sedangkan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah sejumlah 1.906.975 pemilih. Keterangan KPU (Pusat)
KPU tidak pernah mengurangi jumlah TPS Pilpres. Sejak penetapan awal, jumlah TPS tidak berubah hingga selesai pemungutan suara;
TPS sudah dibentuk terlebih dahulu berdasarkan DPT yang ada, berdasarkan undang-undang dan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008;
Pemutakhiran DPS pada 10 April sampai dengan 25 Juni 2009; pada 28 Mei 2009 penetapan DPT berbasis nama untuk TPS; pada 30 Mei 2009 rekapitulasi DPT tingkat provinsi;
Terdapat dua keputusan KPU, yaitu (i) penetapan KPU tentang jumlah TPS; dan (ii) pembentukan TPS;
Ada DPT tanpa NIK sejumlah 30% di seluruh Provinsi Bengkulu sebagai akibat pemekaran;
Di Kabupaten Kapahiang tidak ada NIK karena Kepahiang adalah kabupaten pemekaran.
Keterangan KPU Provinsi Banten
KPU Provinsi Banten Menerima rekomendasi Panwaslu pada 14 Juli 2009 sedangkan proses di PPK berlangsung pada 10 Juli 2009;
Dari 13 kecamatan tidak ada yang mempermasalahkan formulir model C-1, dan semua saksi menandatangani berita acara tanpa ada yang mengajukan keberatan;
KPU Provinsi Banten tidak menggunakan formulir C-1 yang tidak resmi, sehingga KPU Provinsi Banten tidak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu;
Rekapitulasi oleh PPK dilakukan berdasarkan pada formulir C-1 yang berasal dari dalam kotak suara; bukan berdasarkan pada formulir C-1 tidak resmi yang dipegang Panwaslu.
Keterangan KPU Jawa Timur
Softcopy DPT tidak diberikan jauh-jauh hari kepada Pemohon karena memang pada dasarnya KPU tidak wajib memberikan softcopy DPT;
Sampai saat softcopy DPT diberikan, ternyata masih ada kesalahan. KPU menindaklanjuti hal tersebut dengan memberikan kolom keterangan pada DPT untuk mencegah agar Pemilih yang tercatat ganda tidak memilih dua kali;
KPU Jatim melihat surat suara yang dilaporkan telah ditandai di TPS Ploso. KPPS menerangkan kepada KPU bahwa saat diberikan kepada Pemilih surat suara tersebut belum ditandai, namun setelah masuk ke bilik suara baru muncul kesaksian bahwa surat suara dimaksud telah ditandai sebelumnya;
Tidak ada satupun perubahan rekapitulasi tingkat kabupaten/kota yang tidak disertai berita acara;
Di 6 (enam) kabupaten, Saksi Pemohon memang tidak membubuhkan tanda tangan;
Pemilih yang mencontreng dua kali telah ditindak, bahkan divonis sekitar 6 bulan;
Sekitar 49 ribu pemilih di Jawa Timur menggunakan KTP;
Keterangan KPU Pamekasan
Mengenai dalil bahwa terdapat anak di bawah umur yang masuk dalam DPT, berdasarkan diverifikasi ternyata telah berusia lanjut.
Keterangan KPU Kota Sidoarjo
Terkait DPT ganda, telah ada instruksi kepada KPPS dan PPS agar mencoret NIK ganda dan nama lain yang tidak memenuhi syarat;
Pada DPT yang dibagikan kepada saksi TPS telah tercantum coretan yang membuktikan bahwa undangan dan surat suara tidak diberikan secara ganda;
DPT hasil rekapitulasi penghitungan suara sama persis dengan Keputusan KPU Nomor 365;
KPU Kota Sidoarjo membacakan rekapitulasi dalam sidang Pleno KPU Provinsi di hadapan saksi-saksi, termasuk Saksi Yordan, dan tidak ada yang menyatakan keberatan.
Keterangan KPU Sumatera Utara
Tidak menerima laporan dari Panwaslu mengenai adanya pidana pemilu seperti terlihat pada rekaman yang ditunjukkan oleh Saksi Safron Situmeang.
Keterangan KPU Provinsi Bengkulu
Pada 2 Juni 2009 menyisir DPT ganda dan menemukan adanya 161 pemilih di Kepahiang yang tercatat ganda; ditemukan juga identitas tercatat ganda di TPS khusus di rumah sakit di Kepahiang;
Penambahan jumlah suara yang didalilkan oleh Saksi Khairul Anwar dilakukan karena ada revisi penambahan TPS rumah sakit yang sebelumnya tidak dimasukkan;
Di Kabupaten Kepahiang 100% pemilih tidak memiliki NIK. Angka 6 digit yang ditampilkan Saksi dalam Bukti Pemohon adalah kode wilayah -yang menjadi bagian dari identitas KTP-;
Terdapat TPS yang bertempat di Rumah Sakit Umum Kepahiang.
Keterangan KPU Provinsi Jawa Tengah
NIK tidak disyaratkan untuk tercantum dalam DPT;
NIK belum selesai karena program SIAK baru akan selesai pada tahun 2011;
Softcopy DPT memang tidak diserahkan pada tingkat provinsi; hanya diserahkan di tingkat kabupaten/kota.
Keterangan KPU Jawa Barat
Pada rapat KPU Provinsi Jawa Barat, KPU Kabupaten Majalengka diminta menjelaskan perihal DPT di hadapan saksi Pasangan Nomor Urut 1. Saksi Pasangan Nomor Urut 1 menyatakan tidak perlu jawaban, kemudian menandatanganinya.
Keterangan Bawaslu
Bawaslu menerima laporan dari Panwaslu Kota Tangerang bahwa Panwaslu bersangkutan sudah memproses laporan mengenai masalah formulir C-1 yang di dalamnya telah tercetak nama Pasangan SBY-Boediono. Keterangan Panwaslu Provinsi Banten
Memperoleh laporan dari Panwaslu Banten bahwa terdapat formulir C-1 tidak resmi di 2 (dua) TPS di Kota Tangerang;
Panwaslu Provinsi Banten hanya menerima laporan dari Panwaslu Kota Tangerang mengenai adanya 1 formulir C-1 tidak resmi setelah pemungutan suara. Tindak lanjut terhadap formulir C-1 tidak resmi dilakukan oleh Panwaslu Kota Tangerang, bukan oleh Panwaslu Provinsi Banten.
Keterangan Panwaslu Kota Tangerang
Pada hari Rabu, 8 Juli 2009 sekitar pukul 09.00 WIB menerima informasi bahwa formulir C-1 telah beredar di sejumlah TPS;
Pukul 09.30 WIB berkoordinasi dengan Panwaslu Kecamatan, 104 kelurahan, dan 2.270 TPS, serta meminta agar PPL memperhatikan setiap saksi di TPS apakah ada yang membawa formulir C-1. Jika ditemukan formulir C-1 yang tidak sah, supaya ditarik;
Pukul 10.00 WIB fungsionaris beberapa partai antara lain dari partai DPC Golkar, DPC PDI-P, dan sejumlah kader pendukung Mega-Prabowo dan JK-Wiranto meminta agar Panwaslu Tangerang menindaklanjuti adanya formulir C-1 yang tidak sah;
Pukul 11.30 koordinator Mega- Prabowo Kota Tangerang melaporkan dugaan pelanggaran C-1 di TPS;
Panwas mengundang sejumlah pihak untuk klarifikasi, yang kemudian pada Pleno 13 Juli 2009 memutuskan adanya pelanggaran administrasi dan disampaikan kepada KPU Kota Tangerang;
PPL Panwaslu menarik sejumlah 33 formulir C-1 versi pasangan calon tertentu di Kecamatan Tangerang yang antara lain terdapat di 16 TPS di Kecamatan Tanah Tinggi dan Kecamatan Sukasari; di Kecamatan Priok di 14 TPS meliputi Kelurahan Gembor, Kelurahan Sangiang Jaya, dan Kelurahan Priok. Di Kecamatan Karawaci ditemukan 1 lembar di Kelurahan Grendeng; di Kelurahan Larangan ditemukan di 1 TPS; di Kelurahan Cipadu, dan Kelurahan Pedurenan;
Formulir C-1 tidak resmi ada yang kosong sama sekali; ada yang diisi nama saksi tanpa angka; ada yang sudah diisi angka; dan ada nama Pasangan Nomor 2 yang sudah dicetak;
Menindaklanjuti laporan adanya formulir C-1 tidak resmi, berikut hasil koordinasi dan klarifikasi:
Panwaslu Kota Tangerang berkoordinasi dengan Panwascam; selanjutnya Panwascam berkoordinasi dengan PPL; kemudian Petugas PPL mengambil formulir tersebut dari saksi TPS Pasangan SBY-Boediono.
Dalam proses klarifikasi dengan para pihak, saksi SBY-Boediono mengakui membawa formulir C-1 tidak resmi sebagai antisipasi seandainya tidak mendapat formulir C-1 resmi dari TPS.
Panwaslu memiliki formulir C-1 tidak resmi bukan dari penyerahan secara sukarela, melainkan karena formulir tersebut diminta oleh PPL. • Dari 33 formulir C-1 tidak resmi yang ditarik, sebagian kosong, sebagian telah diisi, sebagian ditandatangani saksi, dan sebagian ditandatangani saksi TPS.
Berdasar klarifikasi dengan 3 anggota Tim Pemenangan SBY-Boediono, satu di antaranya mengakui membuat formulir C-1 versi Pasangan SBY-Boediono.
Formulir C-1 tidak resmi tidak sempat dipergunakan.
KPU tidak mempergunakan formulir C-1 tidak resmi dalam proses penghitungan suara.
Tidak ada saksi Pasangan Calon yang mengajukan keberatan pada saat proses penghitungan.
Formulir C-1 tidak resmi ditarik oleh PPL, pada saat penghitungan suara saksi-saksi diberi formulir C-1 resmi oleh KPU.
Keterangan Panwaslu Kota Jakarta Selatan
Menerima informasi bahwa sekitar 1.500 nama tidak masuk;
Di Kecamatan Penjaringan, menurut dugaan Tim Kampanye Mega-Prabowo,
terdapat kelebihan surat suara.
[2.8] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi pada persidangan 7 Agustus 2009, yang menerangkan sebagai berikut:
DR. H. Abdul Rasyid Sholeh, M.SI. (Dirjen Administrasi Kependudukan DEPDAGRI)
Pada tahun 1996 Departemen Dalam Negeri memperkenalkan suatu sistem yang disebut dengan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. Dalam perjalanan Nomor Induk Kependudukan dilandasi dengan suatu dasar hukum yang disebut dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1A Tahun 1996 mengenai Penerapan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. Satu tahun lebih hampir semua daerah mulai melaksanakan yang disebut penerapan Nomor Induk Kependudukan dimaksud;
Dalam perjalanan di tahun 1997 tiba-tiba terjadi suatu fluktuasi harga untuk perangkat keras sehingga banyak daerah yang setengah jadi dalam penerapan Nomor Induk Kependudukan;
Akhirnya pada tahun 1998 tidak terurus dengan baik Nomor Induk Kependudukan ini di daerah kabupaten/kota;
Tahun 2002 hampir semua kabupaten/kota kacau menyangkut penerapan Nomor Induk Kependudukan. Karena yang menandatangani KTP adalah Kantor Transmigrasi dan Kependudukan di bawah Departemen Transmigrasi. Oleh karena itu dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan dua tahun untuk menata Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di kabupaten/kota. Keputusan dari Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan disahkan di penghujung tahun 2002, penataan personil dan seluruh perangkat tumpang sari sampai sekarang ini di Gedung Departemen Transmigrasi, karena pada umumnya pegawainya terdiri dari 99% dari Departemen Transmigrasi. Oleh karena itu penataan personil di Direktoral Jenderal Administrasi Kependudukan untuk mengurus Nomor Induk Kependudukan nanti berfungsi baik di tahun 2005;
Bahwa semua perangkat yang diperuntukkan untuk mengurus Nomor Induk Kependudukan tidak ada sanksi pidana di dalamnya dan tidak ada kepatuhan bagi kabupaten/kota untuk menerapkan Nomor Induk Kependudukan. Itu sebabnya di badan legislasi DPR dan Komisi II pada akhir Tahun 2005 memprioritaskan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan dan selesai pada tanggal 29 Desember Tahun 2006. Dengan keluarnya Undang-Undang tersebut barulah semua kabupaten/kota dan seluruh bupati walikota bersama gubernur memaksakan seluruh penduduk yang melakukan pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil untuk menerapkan Nomor Induk Kependudukan;
Bahwa Nomor Induk Kependudukan mulai berjalan secara efektif pada tahun 2007. Bersamaan dengan itu proses seluruh PP yang diamanatkan oleh Undang-Undang sebanyak delapan PP dan diselesaikan dalam waktu 6 bulan;
Bahwa yang sangat mengejutkan alasan penyusunan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 adalah diwajibkannya pencantuman NIK. Ahli telah memberikan alasan pada waktu itu bahwa belum seluruh penduduk dengan jumlah penduduk the whole population dan letak geografis yang ekstrim maka sekitar untuk tahun 2008 dicantumkan semua NIK bagi seluruh penduduk. Pada waktu itu baik Pansus, Panja, dan Panitia perumus mengatakan bahwa tidak ada salahnya sebab bukan satu-satunya elemen yang dicantumkan melainkan ada lima elemen, yang pertama adalah Nomor Induk Kependudukan, yang kedua nama, jenis kelamin alamat dan tempat tanggal lahir;
Oleh karena itu, Ahli memberikan persetujuan namun kurang sreg bahwa dengan adanya lima elemen tersebut, walaupun tanpa NIK tetapi ada nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat tempat tinggal. Dan itu juga sekaligus Ahli jadikan pedoman di dalam DP4 (Daftar Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk) selanjutnya diserahkan oleh KPU pada tahun 2004 kepada Menteri Dalam Negeri untuk menjadi salah satu cikal bakal dalam rangka memutakhirkan data dalam rangka penerapan NIK tersebut;
Bahwa penerapan NIK di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memang berakhir di 2011. Pasal 101 Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan, mengatakan bahwa Pemerintah memberikan NIK paling lambat 5 tahun kemudian sejak disahkan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan. Artinya, 5 tahun interval waktu sampai dengan 29 Desember 2011. Jadi memang ada antara de jure dan de facto memang ada hal-hal yang memungkinkan untuk tidak semua penduduk mendapatkan Nomor Induk Kependudukan;
Bahwa tidak ada negara di dunia dalam rangka proses penerapan namanya social security number, social identification number di seluruh negara paling cepat berkisar antara delapan, sepuluh tahun. Itupun jarang penduduk dengan the whole population seperti Indonesia;
Jadi sesungguhnya penerapan NIK yang sudah dilaksanakan dalam rangka penyerahan DP4 kepada pemerintah sudah sangat bekerja keras untuk memberikan nomor kependudukan walaupun memang tidak sempurna sebagaimana yang diharapkan. Tidak seluruh penduduk mempunyai Nomor Induk Kependudukan. Undang-Undang juga memberikan ketegasan dan karena itu Ahli meminta 5 tahun kemudian dengan pertimbangan bahwa letak geografis yang ekstrim dan tingkat kesadaran masyarakat;
Bahwa tingkat partisipasi, individual consciousness apalagi kesadaran kolektif bagi masyarakat sama sekali sangat rendah dalam rangka ID card. Bahkan jarang sekali ditemukan seorang keluarga yang meninggal kecuali kepentingan yang mendesak melaporkan ada keluarganya yang meninggal, ada keluarganya yang pindah, padahal bukan satu elemen saja, elemen dari berbagai substansi yang menyangkut pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil ini menyangkut kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, perubahan status, perubahan jenis kelamin, banyak sekali faktor yang mempengaruhi;
Belum lagi menyangkut surat keterangan kependudukan, biodata, KK, KTP. Banyak orang yang mengambil KTP hanya menumpang Kartu Keluarga tetapi dia tidak tinggal di situ. Berdasarkan hasil penelitian Ahli, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri bahwa seorang penduduk hanya boleh memiliki satu KTP, tetapi on the other hand secara living reality satu penduduk sepuluh KTP-nya. Sebab, menurut Ahli nampaknya paradoks di antara Peraturan Pemerintah sendiri, dan itu harus segera dihapuskan oleh Undang-Undang ini;
Badan Pertanahan sejak dahulu memberikan prasyarat bahwa jika ada seseorang penduduk Jakarta mau membeli tanah di Makasar harus punya KTP Makasar, padahal kita tahu bahwa power and authority untuk KTP bukan di tangan BPN, tetapi di tangan Menteri Dalam Negeri. Di pihak lain Menteri Perindustrian dan Perdagangan, siapa yang punya PT di Jakarta mau buka branch di Mataram atau di Bali harus punya KTP notaris untuk menandatangani keabsahan PT itu;
Jadi tidak ada pilihan lain kecuali menerapkan Undang-Undang ini dengan menerapkan Nomor Induk Kependudukan Nasional secara baik dan kita akan buktikan sampai dengan tahun 2011. Itu juga sebabnya sehingga beberapa hal yang memungkinkan kita untuk tidak selalu memperdebatkan hal-hal yang tidak berujung pangkal tanpa by law and by force. Sebab sepanjang tidak ada pidana bagi yang dua KTP-nya itu tidak akan jalan negara ini;
Ahli terkejut begitu diangkat menjadi Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan hanya dilandasi dengan Keppres dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang Ahli juga sering bertempat tinggal di luar negeri dan sering berkunjung di luar negeri, berpendidikan di luar negeri, Ahli tidak pernah melihat satu aturan administrasi kependudukan yang tidak dilandasi dengan pidana. Di Arab, 11 tahun orang untuk warga negara luar baru dapat memohon menjadi warga negara di sana, itu pun 1 hari kembali ke negara asalnya atau ke luar itu tidak diperbolehkan;
Bahwa masalah NIK memang tidak ada jaminan bagi Undang-Undang untuk seluruh penduduk memilikinya karena memang masih ada interval waktu sampai tahun 2011. Tetapi bagi Nomor Induk Kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri semua bernomor induk kependudukan;
Seluruh DP4 yang diserahkan kepada KPU bernomor induk kependudukan dan itu dapat Ahli buktikan. Data yang diserahkan ke Departemen Dalam Negeri khususnya cq. Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan adalah data yang bersumber dari kabupaten/kota dan provinsi. Bukan rekayasa Direktorat Administrasi dan Kependudukan;
Pada saat penyerahan data DP4 adalah diserahkan simultan oleh Menteri Dalam Negeri per tanggal 5 April kepada KPU dan Gubernur, kepada KPU Provinsi, bupati walikota, kepada KPU kabupaten/kota. Data itu sama semua yang diserahkan dan bersumber dari KPU kabupaten/kota cq. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada 5 April. Pada 6 April otomatis diserahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah KPU yang langsung 6 April diperintahkan oleh Undang-Undang ini untuk memutakhirkan data kependudukan dan diserahkan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;
Bahwa semua DP-4 yang diserahkan oleh Pemerintah kepada KPU secara berjenjang telah ber-NIK . Memang tidak ada jaminan seratus persen bahwa dalam DP-4 yang diserahkan sudah ber-NIK, itu terbuka peluang bahwa dua orang dapat terdaftar NIK-nya di dua daerah berdasarkan KTP yang dimiliki selama 63 tahun. Kejadian itu sejak merdeka sampai dengan 64 tahun orang dapat memiliki, penduduk Depok, dapat memiliki KTP Depok dan KTP DKI idem, penduduk Makasar dapat punya KTP DKI dan punya KTP Makasar;
Berdasarkan amanat Undang-Undang, bahwa tiga kunci utama dalam rangka pemutihan KTP, yaitu pertama, nomor induk kependudukan, kedua, sidik jari, dan ketiga, rekaman elektronik, itu segera akan dilaksanakan dengan biaya APBN. Pasal 13 di Undang-Undang a quo menyatakan bahwa setiap penduduk wajib memiliki NIK, Pasal 63 mengatakan bahwa KTP dan NIK, NIK yang melekat pada KTP wajib diikuti dengan sidik jari. KTP yang ber-NIK secara nasional wajib diikuti dengan rekaman elektronik (Pasal 64);
Bahwa daftar pemilih, ada NIK dan ada juga yang tidak ada NIK. Itu benar, setelah menjadi DPS dan DPT. Sebab jika ingin dikemukakan secara jujur, baik Pemerintah maupun KPU sebenarnya dengan dasar Undang-Undang itu sudah banyak celah yang dapat dilihat dari Pileg dan Ahli sudah mengemukakan kepada seluruh pihak bahwa ini berbahaya jika DPT ditetapkan Oktober dan hari H Pemilu pada bulan April. Interval waktu 5 bulan bukan kecil perubahan penduduk yang lahir, yang cukup usia 17 tahun, yang kawin, yang pindah tempat, yang TNI/Polri Pensiun;
Bahwa menyangkut NIK 16 digit, Pemerintah tidak menyerahkan 15, atau 14, atau 13 digit. Semua yang diserahkan 16 digit sebab itu adalah ketentuan dalam Undang-Undang termasuk PP dan Peraturan Presiden. Bahwa 6 digit pertama adalah kode wilayah, provinsi kabupaten, kota, kecamatan, 6 digit kedua adalah tanggal, bulan, dan tahun lahir, dan 4 digit terakhir menyangkut by system nomor urut;
Berdasarkan surat permintaan dari KPU kepada Menteri Dalam Negeri untuk membantu melakukan bantuan personil dalam rangka operator bagi kabupaten/kota, KPU Kabupaten/Kota yang tidak tersedia manusianya untuk melakukan entry data. Jadi tidak pernah Menteri Dalam Negeri memerintahkan untuk melakukan pemuktahiran kepada gubenur tetapi sebelumnya banyak surat Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pemutakhiran dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang tentang Administrasi Pembangunan guna pembanguan database kependudukan;
Bahwa Ketua KPU meminta kepada Menteri Dalam Negeri dalam masa penyusunan DPS dan DPT, karena tidak ada tenaga maka dimintakan tenaga dinas kependudukan catatan sipil dalam rangka meng-entry data, operator di kabupaten/kota;
Bahwa program administrasi kependudukan dengan segala kelengkapan dan kekurangan penyerasian, atau kelemahan yang didapati itu memang kehendak Undang-Undang kependudukan untuk menyempurnakan dalam rangka melaksanakan pemutihan KTP untuk seluruh Indonesia. Sebab, memang ada kewajiban. NIK tersebut adalah satu kunci daripada penerapan Undang-Undang a quo. Ada tiga kunci utama yang paling penting, yaitu pertama adalah NIK, kedua, adalah sidik jari, ketiga adalah rekaman elektronik. Semua pasal mewajibkan dalam rangka penerapan KTP secara nasional. Jadi tentu segala kekurangan dan kelemahan dalam rangka ini menjadi pelajaran dan menjadi improve sampai penerapan di tahun 2011;
Bahwa tidak ada dinas kependudukan untuk membatasi pemberian NIK. Karena itu kewajiban dinas kependudukan untuk memberikan NIK, dan tidak dapat ditunda. Persoalannya sekarang manakala sudah diserahkan data dan ada penduduk yang tiba-tiba melapor di KPU dalam rangka pemutakhiran DPS dan meminta NIK, itu tidak dapat diberikan, sebab untuk mendapatkan NIK ada proses. Dia mengisi formulir biodata yang namanya 31 elemen, dan seterusnya, dan itu diproses di Direktorat Jenderal dalam rangka konsolidasi dan kredibilitas data;
Bahwa NIK tidak berubah sesuai dengan Undang-Undang a quo, yang berubah adalah alamat, karena di dalam KTP dalam Undang-Undang a quo harus ada alamat, karena KTP adalah asas domisili, berbeda dengan pencatatan sipil, asas peristiwa. Tetapi untuk ID card dia wajib dan itu universal. Bahwa ID card adalah asas domisili. Jadi kalau NIK tidak berubah tetapi alamat berubah harus ganti KTP, tetapi NIK nya tidak berubah, sama dengan orang yang pindah Departemen, NIK tidak berubah tetapi dia pindah Departemen itu tidak masalah. Tetapi alamat harus berubah, sebab manakala meninggal dia tidak berubah, baru kembali dengan alamat yang benar kalaupun ada yang mengenali.
Ahli IR. H. Irman, M.SI., Direktur Pendaftaran Penduduk, DEPDAGRI
Bahwa NIK yang diserahkan (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU memang sudah ber-NIK, tetapi setelah diserahkan tanggal 5 April 2008, KPU melakukan pemutakhiran, ada perubahan data, ada tambahan data kependudukan, ada yang baru kawin, dan lain sebagainya, ada yang belum terdaftar tetapi waktu pemutakhiran ada tambahan, itu tidak dapat diberikan NIK-nya oleh KPU. Oleh karena menurut Ahli apabila dalam DPT ada yang tidak ber-NIK, itu memang merupakan sesuatu yang sangat dimungkinkan, bukan karena kesalahan KPU, karena KPU itu tidak berwenang untuk menerbitkan NIK. Di pihak lain pemerintah tidak dapat lagi ikut di dalam proses DPS maupun DPT;
Bahwa Ahli mendapatkan informasi dari beberapa media, katanya ada DPT yang tidak ber-NIK. Memang itu sangat dimungkinkan karena KPU tidak berwenang untuk memberikan NIK. Yang berwenang memberikan NIK adalah Pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Tetapi setelah 5 April Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak boleh ikut di dalamnya. Itulah penyebab adanya DPT yang tidak ber-NIK;
Adanya NIK ganda atau data ganda, sebenarnya data ganda tidak dapat hanya dilihat dari NIK ganda, karena dalam Undang-Undang Nomor 10 dinyatakan minimal ada 5 elemen data. Kalau 5 elemen data itu ganda, berarti baru ganda, tetapi kalau memang NIK-nya ganda, tetapi elemen data yang lainnya memang tidak ganda itu belum dapat dikatakan ganda;
Bahwa untuk mengatakan ganda sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 33, bahwa daftar pemilih itu sekurang-kurangnya memuat NIK, jenis kelamin, alamat di elemen data. Jadi kalau 5 elemen data itu sama baru pemilihnya ganda. Tetapi kalau hanya salah satu ganda, hanya namanya yang ganda, namanya sama tetapi tanggal lahirnya beda, itu tidak ganda pemilihnya. Oleh karena itu menurut Ahli, kalau untuk melihat ini sesuai dengan Undang-Undang, kalau dikatakan pemilih ganda, harus memenuhi 5 elemen. Kalau hanya salah satu elemen saja ganda belum tentu pemilihnya ganda;
Bahwa setelah DP4 diserahkan semua DPT tidak ber-NIK. Kalau semua DPT ber-NIK, yang tidak ber-NIK kemungkinan adalah tambahan yang tidak tercover pada waktu di DP-4 kemudian pada waktu pemutakhiran dia muncul. Jadi tambahan dari DP-4. Jadi kalau tambahan dari DP4, KPU tidak berwenang untuk memberikan NIK.
[2.7]Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil jawabannya, Termohon telah mengajukan bukti-bukti surat/tulisan, sebagai berikut:
Bukti T-1 s.d T-4:
Fotokopi Materi sosialisasi, surat edaran penarikan spanduk tanda contreng Pilpress 2009, perbaikan spanduk sosialisasi tata cara pemberian suara pada Pilpres 2009, pelanggaran kode etik penyelengaraan Pemilu;
Bukti T-5:
Foto rekaman kegiatan sosialisasi pemutakhiran daftar pemilih;
Bukti T-7:
Fotokopi Dokumentasi proses pemuktahiran daftar pemilih;
Bukti T-11:
Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2009 tentang pedoman teknis penyusunan daftar pemilih untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
5. Bukti T-12:
Fotokopi Surat KPU Provinsi Jawa Tengah Nomor 742/A/V/2009 perihal Data Penduduk Usia Pemilih yang Bekerja di Luar Negeri untuk DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
6. Bukti T-13:
Fotokopi Lampiran 4 Surat Menyurat DISPENDUKCAPIL Kota Pekalongan dalam Rangka Koordinasi Masalah Nomor Induk Kependudukan;
7. Bukti T-14:
Fotokopi Surat Pernyataan Kabag Pengolahan Data dan Informasi Biro Perencanaan dan Data Setjen KPU;
8. Bukti T-16:
Fotokopi Berita acara KPU Nomor 129/BA/KPU/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Nasional Tahun 2009;
9. Bukti T-17:
Fotokopi Surat KPU Nomor 1294/KPU/VII/2009 perihal Pengumpulan DPT Data Lengkap;
10. Bukti T-26:
Fotokopi Surat KPU Nomor 1232/KPU/VII/2009 perihal Petunjuk Teknis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009;
11. Bukti T-27:
Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009;
12. Bukti T-28:
Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 30 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, secara Nasional dan Penatapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Tahun 2009
13. Bukti T-29:
Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 35 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009;
Bukti T-30:
Fotokopi Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Daftar Pemlih untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti T-31:
Fotokopi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 315/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 301/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009;
Bukti T-32:
Fotokopi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 357/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 301/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti T-33:
Fotokopi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 316/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 302/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti T-34:
Fotokopi Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 356/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 302/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bukti T-35:
Fotokopi Surat KPU Nomor 1103/KPU/VI/2009 perihal Surat Edaran Penarikan Spanduk Tanda Contreng Pilpres 2009;
Bukti T-36:
Fotokopi Surat KPU Nomor 687/KPU/IV/2009 perihal Edaran tentang Pemutakhiran Data Pemilih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009;
Bukti T-1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sumatera Utara (Formulir Model DC-1 dan
Lampiran);
Bukti T-1.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Medan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Deli Serdang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Serdang Bedagai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Tebing Tinggi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Labuhan Batu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tapanuli Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Padang Sidempuan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mandailing Natal (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Nias (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Nias Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sibolga (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tapanuli Tengah (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tapanuli Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Humbang Hasundutan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Toba Samosir (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Padang Lawas Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Padang Lawas (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Asahan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Tanjung Balai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pematang Siantar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Simalungun (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pakpak Bharat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kabupaten Dairi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Karo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.25:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Binjai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.26:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Langkat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.27:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Batubara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-1.28:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Samosir (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sumatera Barat (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kepulauan Mentawai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Padang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Solok (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Solok Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Solok (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kabupaten Pesisir Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Sawahlunto (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sijunjung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Dhamasraya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Padang Panjang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tanah Datar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pasaman (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pasaman Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Payakumbuh (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Limapuluh Kota (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Bukittinggi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Agam (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-2.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Pariaman (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Padang Pariaman (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-2.20:
Himpunan Perolehan Suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Sumatera Barat;
Bukti T-2.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi Sumatera Barat;
Bukti T-3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sumatera Selatan (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Palembang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Ogan Ilir (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten OKI (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Prabumulih (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Muara Enim (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T.3.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lahat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T.3.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Pagar Alam (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T.3.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Empat Lawang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Lubuk Linggau (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Musi Rawas (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Musi Banyuasin (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Banyuasin (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara OKU (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten OKU Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten OKU Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-3.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi Sumatera Selatan;
Bukti T-4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Bengkulu (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Bengkulu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.1.1 s.d T-4.1.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Bengkulu (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bengkulu Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.2.1 s.d T-4.2.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Bengkulu Utara (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Rejang Lebong (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.3.1 s.d T-4.3.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Rejang Lebong (Formulir Model DA-1 dan Lampirannya);
Bukti T-4.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kepahiang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.4.1 s.d T-4.4.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Kepahyang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Seluma (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.5.1 s.d T-4.5.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Seluma (Formulir Model DA-1 dan Lampirannya);
Bukti T-4.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Muko-Muko (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.6.1 s.d T-4.6.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Muko-Muko (Formulir Model DA-1 dan Lampirannya);
Bukti T-4.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bengkulu Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.7.1 s.d T-:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
4.7.11:
Suara PPK se Kabupaten Bengkulu Selatan (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kaur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.8.1 s.d T-4.8.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Kaur (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lebong (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.9.1 s.d T-4.9.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Lebong (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-4.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan DPT Pilpres se Provinsi Lampung;
Bukti T-5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Lampung (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Bandar Lampung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.1.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kota Bandar Lampung (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lampung Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.2.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Lampung Barat (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lampung Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.3.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Lampung Selatan (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tanggamus (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.4.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Tanggamus (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pesawaran (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.5.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Pesawaran (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Metro (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.6.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kota Metro (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lampung Tengah (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.7.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Lampung Tengah (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lampung Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tulang Bawang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.9.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Tulang Bawang (Formulir Model
DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Way Kanan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.10.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Way Kanan(Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lampung Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.11.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se- Kabupaten Tanggamus (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-5.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Se- Provinsi Lampung;
Bukti T-5.B:
Pemilih yang menggunakan KTP;
Bukti T-5.C:
Sosialisasi Pemutakhiran Daftar Pemilih;
Bukti T-6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi DKI Jakarta (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-6.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kodya Jakarta Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-6.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kodya Jakarta Pusat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-6.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kodya Jakarta Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-6.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kodya Jakarta Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-6.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kodya Jakarta Utara (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-6.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Adm. Kepulauan Seribu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-6.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi DKI Jakarta;
Bukti T-7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Jawa Barat (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Bandung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Cimahi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bandung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bandung Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Cianjur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Koa Bogor (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sukabumi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Sukabumi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bogor (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kota Bekasi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran)
Bukti T-7.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Depok (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Purwakarta (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kerawang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bekasi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Cirebon (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Indramayu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Cirebon (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Majalengka (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sumedang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Subang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Ciamis (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kuningan (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-7.23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Banjar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Garut (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.25:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tasikmalaya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.26:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Tasikmalaya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.27:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Bandung (Formulir Model DA-1 dan Lampirannya);
Bukti T-7.28:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Cimahi (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.29:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Bandung (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.30:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Bandung Barat (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.31:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Cianjur (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.32:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Bogor (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.33:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Sukabumi (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.34:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara PPK se Kota Sukabumi (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.35:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Bogor (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.36:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Bekasi (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.37:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Depok (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.38:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Purwakarta (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.39:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Kerawang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.40:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Bekasi (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.41:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Cirebon (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.42:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Indramayu (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.43:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Cirebon (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.44:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Majalengka (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.45:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Sumedang (Formulir Model DA-1
dan Lampiran);
Bukti T-7.46:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Subang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.47:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Ciamis (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.48:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Kuningan (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.49:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Banjar (Formulir Model DA-1 dan Lampirannya);
Bukti T-7.50:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Garut (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.51:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Tasikmalaya (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.52:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Tasikmalaya (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-7.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi Jawa Barat;
Bukti T-7.B:
Jawaban/Sanggahan/Klarifikasi KPU Kabupaten/Kota se Provinsi Jawa Barat;
Bukti T-8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Se Provinsi Banten (Formulir Model DC-1 dan DB-1 serta Lampiran);
Bukti T-8.1.1 s.d T-8.1.28:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Lebak (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Bukti T-8.2.1 s.d T-8.2.35:
Suara PPK se Kabupaten Pandeglang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-8.3.1 s.d T-8.3.36:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Tangerang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-8.4.1 s.d T-8.4.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Tangerang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-8.5.1 s.d T-8.5.28:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Serang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-8.6.1 s.d T-8.6.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Serang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-8.7.1 s.d T-8.7.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Cilegon (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-8.4.1.1.1:
Model C PPWP TPS 2 Cikokol, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang;
Bukti T-8.4.1.1.2:
Model C PPWP TPS 8 Sukarasa, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang;
Bukti T-8.4.1.1.3:
Model C PPWP TPS 9 Sukarasa, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang;
Bukti T-8.4.1.1.4:
Model C PPWP TPS 7 Marga Sari, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang;
Bukti T-8.4.1.1.5:
Model C PPWP TPS 11 Karawaci, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang;
Bukti T-8.4.1.1.6:
Model C PPWP TPS 7 Periuk, Kecamatan Periuk, Kota Tangerang;
Bukti T-8.4.1.1.7:
Model C PPWP TPS 8 Periuk, Kecamatan Periuk, Kota Tangerang;
Bukti T-8.4.8.1:
SK Pembentukan PPDP se Kecamatan Benda, Kota Tangerang;
Bukti T-8.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi Banten;
Bukti T-8.B:
Pencoretan nama, alamat, tanggal lahir dan NIK yang sama di Kabupaten Tangerang;
Bukti T-9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Jawa Tengah (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-9 1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Semarang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kendal (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Salatiga (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Semarang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kudus (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Jepara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Demak (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Grobongan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Blora (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kabupaten Rembang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pati (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Wonogiri (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Karanganyar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sragen (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Boyolali (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9 .16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Klaten (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sukoharjo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Surakarta (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Purworejo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Wonosobo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Magelang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kabupaten Temanggung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Magelang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Purbalingga (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.25:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Banjar Negara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.26:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kebumen (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.27:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Cilacap (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.28:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Banyumas (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.29:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tegal (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.30:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Brebes (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.31:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Tegal (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.32:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Batang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.33:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pekalongan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.34:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kabupaten Pemalang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.35:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Pekalongan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-9.36:
Hasil Pencermatan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Salatiga;
Bukti T-9.37:
Pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) Kabupaten Blora;
Bukti T-9.38:
Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPS HP) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Blora;
Bukti T-9.39:
Pencermatan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Batang;
Bukti T-9.40:
Surat Keputusan Perubahan Daftar Pemilih Tetap Provinsi Jawa Tengah dan KPU Kabupaten /Kota se Jawa Tengah;
Bukti T-9.41:
Hasil Pencermatan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Kudus;
Bukti T-9.42:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kota Salatiga;
Bukti T-9.43:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Grobogan;
Bukti T-9.44:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kota Semarang;
Bukti T-9.45:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Purworejo;
Bukti T-9.46:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kota Magelang;
Bukti T-9.47:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Boyolali;
Bukti T-9.48:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Blora;
Bukti T-9.49:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kota Surakarta;
Bukti T-9.50:
Keterangan Dispenduk Capil Kabupaten Batang dalam
rangka Pemutakhiran Data Pemilih;
Bukti T-9.51:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Wonogiri;
Bukti T-9.52:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Sukoharjo;
Bukti T-9.53:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Blora;
Bukti T-9.54:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Wonosobo;
Bukti T-9.55:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Kebumen;
Bukti T-9.56:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Klaten;
Bukti T-9.57:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Demak ;
Bukti T-9.58:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kota Salatiga;
Bukti T-9.59:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Pati;
Bukti T-9.60:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kota Surakarta;
Bukti T-9.61:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kota Magelang;
Bukti T-9.62:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Banjarnegara;
Bukti T-9.63:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Pemalang;
Bukti T-9.64:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Karanganyar;
Bukti T-9.65:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kota Tegal;
Bukti T-9.66:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Pekalongan;
Bukti T-9.67:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Boyolali;
Bukti T-9.68:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Batang;
Bukti T-9.69:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Semarang;
Bukti T-9.70:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Magelang;
Bukti T-9.71:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di Kabupaten Kendal;
Bukti T-9.72:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Magelang;
Bukti T-9.73:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Kebumen;
Bukti T-9.74:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Kendal;
Bukti T-9.75:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Semarang;
Bukti T-9.76:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Karanganyar;
Bukti T-9.77:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Temanggung;
Bukti T-9.78:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Tegal;
Bukti T-9.79:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Batang;
Bukti T-9.80:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Wonogiri;
Bukti T-9.81:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Purbalingga;
Bukti T-9.82:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kota Pekalongan;
Bukti T-9.83:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Jepara;
Bukti T-9.84:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Pati;
Bukti T-9.85:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kota Tegal;
Bukti T-9.86:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Banyumas;
Bukti T-9.87:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Kudus;
Bukti T-9.88:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Wonosobo;
Bukti T-9.89:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Pemalang;
Bukti T-9.90:
Surat Pernyataan Tidak ada Keberatan mengenai Daftar Pemilih Tetap dan/atau Hasil Penghitungan Suara di
Kabupaten Purworejo;
Bukti T-9.92:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Sragen;
Bukti T-9.93:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Rembang;
Bukti T-9.94:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Sukoharjo;
Bukti T-9.95:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Cilacap;
Bukti T-9.96:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Banjarnegara;
Bukti T-9.97:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Pekalongan;
Bukti T-9.98:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) Kabupaten Klaten;
Bukti T-9.99:
Kronologis Regrouping TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Klaten;
Bukti T-9.100:
Reugrouping TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Batang;
Bukti T-10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi D.I Yogyakarta (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Yogyakarta (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bantul (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kulonprogo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sleman (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Gunung Kidul (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.1.1 s.d T-10.1.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Yogyakarta (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.2.1 s.d T-10.2.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Bantul (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.3.1 s.d T-10.3.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kulonprogo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.4.1 s.d T-10.4.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sleman (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.5.1 s.d T-10.5.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Gunung Kidul (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-10.A s.d T-10.F:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi D. I. Yogyakarta;
Bukti T-11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Jawa Timur (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Surabaya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sidoarjo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pasuruan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Pasuruan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.4.4.1:
Pengangkatan PPDP Kota Pasuruan;
Bukti T-11.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Probolinggo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Probolinggo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bondowoso (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Banyuwangi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Situbondo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lumajang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Jember (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Malang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Malang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Batu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tulung Agung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Kediri (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Blitar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kediri (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Blitar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pacitan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Ponorogo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Trenggalek (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Magetan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Ngawi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.25:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mojokerto (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.26:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Jombang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.27:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Nganjuk (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.28:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Madiun (Formulir Model DB-1 dan
„“
Lampiran);
Bukti T-11.29:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Mojokerto (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.30:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Madiun (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.31:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bojonegoro (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.32:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tuban (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.33:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lamongan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.34:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Gresik (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.35:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bangkalan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.36:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sampang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.37:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pamekasan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.38:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sumenep (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-11.1.1.1-31:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kota Surabaya (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.2.1.1-18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Sidoarjo (Formulir
Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.3.1.1-24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Pasuruan (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.4.1.1-3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kota Pasuruan (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.5.1.1-24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Probolinggo (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.6.1.1-5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kota Probolinggo (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.7.1.1-23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Bondowoso (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.8.1.1-24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Banyuwangi (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.9.1.1-17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Situbondo (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.10.1.1-21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Lumajang (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.11.1.1-31:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Jember (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.12.1.1-5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Malang (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.13.1.1-33:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Malang (Formulir Model DB-1 DA dan Lampiran);
Bukti T-11.14.1.1-3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Tingkat Kecamatan Kota Batu (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.15.1.1-19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Tulung Agung (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.16.1.1-3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kota Kediri (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.17.1.1-22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Blitar (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.18.1.1-25:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Kediri (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.19.1.1-3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kota Blitar (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.20.1.1-12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Pacitan (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.21.1.1-21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Ponorogo (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.22.1.1-14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Trenggalek (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.23.1.1-18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Magetan (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.24.1.1-19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Ngawi (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.25.1.1-18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Mojokerto (Formulir
Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.26.1.1-21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Jombang (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.27.1.1-20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Nganjuk (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.28.1.1-15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Madiun (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.29.1.1-2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kota Mojokerto (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.30.1.1-3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kota Madiun (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.31.1.1-27:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Bojonegoro (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.32.1.1-20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Tuban (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.33.1.1-27:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Lamongan (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.34.1.1-18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Gresik (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.35.1.1-18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Bangkalan (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.36.1.1-14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Sampang (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.37.1.1-13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Pamekasan (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.38.1.1-27:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan Kabupaten Sumenep (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-11.1.2.1-31:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kota Surabaya;
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kota Sidoarjo;
Bukti T-11.3.2:
Surat Tugas PPDP Kabupaten Pasuruan;
Bukti T-11.4.2:
Perihal Penjelasan Pemilih Ganda Kota Pasuruan
Bukti T-11.6.2:
Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran Data Pemilih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Kota Probolinggo
Bukti T-11.7.2:
Foto Kegiatan Sosialisasi Kabupaten Bondowoso;
Bukti T-11.8.2:
Daftar Pemilih Yang Menggunakan KTP Kabupaten Banyuwangi;
Bukti T-11.9.2:
Kronologis Penambahan Jumlah DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Situbondo;
Bukti T-11.10.2.1-21:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Lumajang;
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Jember;
Bukti T-11.12.2.1-5:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kota Malang;
Bukti T-11.13.2:
Berita Acara validasi DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Kabupaten Malang;
Bukti T-11.4.2.1-3:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kota Batu;
Bukti T-11.15.2:
Surat Revisi DPT salah rekap Kabupaten Tulungagung;
Bukti T-11.16.2:
Berita Acara Tentang Rapat Penjelasan Daftar Pemilih Tetap Dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Kota Kediri;
Bukti T-11.16.7:
Keputusan Tentang Daftar Pemilih Tetap dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap;
Bukti T-11.17.23:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Blitar;
Bukti T-11.18.2.1-2:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Kediri;
Bukti T-11.19.2:
Laporan Validasi DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Kota Blitar;
Bukti T-11.21.2 .1-21:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Ponorogo;
Bukti T-11.22.2 .1-14:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Trenggalek;
Bukti T-11.23.2:
Berita Acara Perbaikan Formulir Model DB PPWP Kabupaten Magetan;
Bukti T-11.23.2.1:
Berita Acara Kekurangan Surat Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Kabupaten Magetan;
Bukti T-11.24.2.1-19:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Ngawi;
Bukti T-11.28.2.1-15:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Madiun;
Bukti T-11.31.2:
Berita Acara Surat Suara yang diterima Kabupaten Bojonegoro;
Bukti T-11.32.2:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Tuban;
Bukti T-11.33.2:
Perbandingan DPT dan Surat Suara Kabupaten. Lamongan
Bukti T-11.33.3:
Jawaban Temuan DPT bermasalah oleh Tim Mega-Prabowo Kabupaten Lamongan;
Bukti T-11.33.4:
Dokumentasi Sosialisasi Kabupaten Lamongan;
Bukti T-11.37.2:
Klarifikasi Gugatan MK Kabupaten Pamekasan;
Bukti T-11.38.2.1-28:
Surat Keputusan Pengangkatan PPDP Kabupaten Sumenep;
Bukti T-11.3.3:
Risalah Penjelasan Penghitungan Suara di Tingkat Kecamatan Kabupaten Pasuruan;
Bukti T-11.5.1 A:
Berita Acara Pemilih yang diduga Terdaftar Ganda Dalam DPT Pemilu Pilpres 2009 Kota Batu;
Bukti T-11.5.2 A:
Berita Klarifikasi Atas Pemilih yang terdaftar Ganda Dalam DPT Kota Batu;
Bukti T-11.5.3 A:
Bukti-bukti Sosialisasi Pemutakhiran Data Pemilih Kota Batu;
Bukti T-11.5.4 A s.d T-11.5.25 A:
DPT By Name yang sudah ditandai terdaftar Ganda Kota Batu;
Bukti T-11.8.3:
Risalah Jawaban Permasalahan DPT Pilpres 2009 di Banyuwangi;
Bukti T-11.16.3:
BA Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Formulir A 7 PPWP dan KTP dalam Pilpres Kota Kediri;
Bukti T-11.16.4:
SK Nomor 25 Tahun 2009 Tentang DPT Rekapitulasi DPT PilpresTahun 2009 Kota Kediri;
Bukti T-11.16.5:
SK Nomor 31 Tahun 2009 tentang DPT dan Rekapitulasi DPT Pilpres Tahun 2009 Kota Kediri;
Bukti T-11.16.6:
Rekapitulasi SK PPDP Kota Kediri;
Bukti T-11.18.2:
Berita Acara Perubahan DPT Kabupaten Kediri;
Bukti T-11.19.3:
Berita Acara Perubahan DPT Kota Blitar;
Bukti T-11.20.3:
Daftar Pemilih yang Menggunakan KTP Kabupaten Pacitan;
Bukti T-11.21.3:
CD dan foto Sosisalisasi Pemutakhiran DPT Kabupaten Ponorogo;
Bukti T-11.23.4:
Surat Panwas Kabupaten Magetan;
Bukti T-11.23.5:
Rekapitulasi DPT Kabupaten Magetan;
Bukti T-11.23.6.1.3:
Rekapitulasi DPT Hasil Validasi Kabupaten Magetan;
Bukti T-11.24.3.21:
Bukti-Bukti Pendukung Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilpres 2009 di Kabupaten Ngawi (lihat Lampiran 1);
Bukti T-11.25.2:
Pengangkatan PPDP Kabupaten Mojokerto;
Bukti T-11.29.3:
Berita Acara Perubahan DPT Kota Mojokerto;
Bukti T-11.29.4:
Berita Acara Penggunaan KTP Kota Mojokerto;
Bukti T-11.29.5:
Sosialisasi Pemutakhiran DPT (foto) Kota Mojokerto;
Bukti T-11.29.6:
SK Pembentukan PPDP Kota Mojokerto;
Kota Madiun;
Bukti T-11.31.3:
Berita Acara Pemilih yang Menggunakan KTP Kabupaten Bojonegoro;
Bukti T-11.31.4:
SK Pembentukan PPDP Kabupaten Bojonegoro;
Bukti T-11.32.3:
Sosilaisasi Pemutakhiran DPT Kabupaten Tuban (foto dan CD);
Bukti T-11.34.2:
Berita Acara Pembetulan Model DB-PPWP Kabupaten Gresik;
Bukti T-12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Nusa Tenggara Barat (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Mataram (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lombok Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lombok Tengah (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lombok Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sumbawa Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sumbawa (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Dompu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bima (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Bima (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-12.10 s.d T-12.15:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kota Mataram;
Bukti T-12.16 s.d T-12.30:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kabupaten Lombok Barat;
Bukti T-12.31 s.d T-12.42:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kabupaten Lombok Tengah;
Bukti T-12.43 s.d T-12.64:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kabupaten Lombok Timur;
Bukti T-12.65 s.d T-12.72:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kab. Sumbawa Barat;
Bukti T-12.73 s.d:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat
T-12.96:
Kecamatan (Model DA) se Kabupaten Sumbawa;
Bukti T-12.97 s.d T-12.104:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kabupaten Dompu;
Bukti T-12.105 s.d T-12.122:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kabupaten Bima;
Bukti T-12.123 s.d T-12.127:
Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Kecamatan (Model DA) se Kota Bima;
Bukti T-12.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi Nusa Tenggara Barat;
Bukti T-12.B:
BA tentang penjelasan terjadinya perbedaan jumlah DPT dalam Pilpres di Kota Dompu;
Bukti T-12.C:
BA tentang penjelasan terjadinya perbedaan jumlah DPT dalam Pilpres di Kabupaten Bima;
Bukti T-12.D:
BA tentang penjelasan terjadinya perbedaan jumlah DPT dalam Pilpres di Kota Bima;
Bukti T-13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Nusa Tenggara Timur (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Manggarai Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Manggarai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Manggarai Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Ngada (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Nagekeo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Ende (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sikka (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Flores Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lembata (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Alor (Formulir Model DB-1 dan Lampiran)
Bukti T-13.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Kupang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kupang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Rote Ndao (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Timor Tengah Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Belu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran)
Bukti T-13.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Timor Tengah Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sumba Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kabupaten Sumba Barat Daya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-13.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sumba Tengah (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.A:
Surat Keputusan Penentapan tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Provinsi Kalimantan Tengah;
Bukti T-14.A.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Kalimantan Tengah (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.B:
Surat Keputusan Penentapan tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kota Palangkaraya;
Bukti T-14.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Palangkaraya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.2.1.a s.d T-14.2.1.e:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kota Palangkaraya;
Bukti T-14.C:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Katingan;
Bukti T-14.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Katingan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.3.1.a s.d T-14.3.1.n:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Katingan;
Bukti T-14.D:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Gunung Mas;
Bukti T-14.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Gunung Mas (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-14.4.1.a s.d T-14.4.1.k:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Gunung Mas;
Bukti T-14.E:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2009 di Kabupaten Kotawaringin Timur;
Bukti T-14.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kotawaringin Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.5.1.a s.d T-14.5.1.o:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Kotawaringin Timur;
Bukti T-14.F:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Seruyan;
Bukti T-14.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Seruyan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.6.1.a s.d T-14.6 .1.e:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Seruyan;
Bukti T-14.G:
Surat Keputusan Penentapan tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Kotawaringin Barat;
Bukti T-14.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kotawaringin Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.7.1.a s.d T-14.7 .1.f:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Kota Waringin Barat;
Bukti T-14.H:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Sukamara;
Bukti T-14.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sukamara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.8.1.a s.d T-14.8.1.e:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Sukamara;
Bukti T-14.I:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Lamandau;
Bukti T-14.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lamandau (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.9.1.a s.d T-14.9.1.h:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Lamandau;
Bukti T-14.K:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Barito Selatan;
Bukti T-14.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Barito Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.10.1.a s.d T-14.10.1.f:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Barito Selatan;
Bukti T-14.J:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Barito Timur;
Bukti T-14.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Barito Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.11.1.a s.d T-14.11.1.i:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Barito Timur;
Bukti T-14.L:
Surat Keputusan Penentapan tentang Rekapitulasi Daftar
Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Barito Utara;
Bukti T-14.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Barito Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.12.1.a s.d T-14.12.1.f:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Barito Utara;
Bukti T-14.M:
Surat Keputusan Penentapan tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Murung Raya;
Bukti T-14.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Murung Raya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.13.1.a s.d T-14.13.1.J:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Murung Timur;
Bukti T-14.N:
Surat Keputusan Penentapan tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Kapuas;
Bukti T-14.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kapuas (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.14.1.a s.d T-14.14.1.l:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Kapuas;
Bukti T-14.N.1:
Data Pemilih yang terjadi selisih 20 orang di Kabupaten Kapuas;
Bukti T-14.O:
Surat Keputusan Penentapan Tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Kabupaten Pulang Pisau;
Bukti T-14.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pulang Pisau (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-14.15.1.a s.d T-14.15.1.h:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Model DA) Panitia Pemilihan Kecamatan se Kabupaten Pulang Pisau;
Bukti T-15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Kalimantan Timur (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Paser (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kutai Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kutai Kartanegara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kutai Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Berau (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Malinau (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bulungan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Nunukan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Panajam Paser Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kota Balikpapan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Samarinda (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-15.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Tarakan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Bontang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tana Tidung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-15.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Se Provinsi Kalimantan Timur;
Bukti T-15.B:
Tanda Terima softcopy DPT se Provinsi Kalimantan Timur;
Bukti T-15.C:
Laporan Sosialisasi Pemutakhiran Data Pemilih se Provinsi Kalimantan Timur;
Bukti T-15.D:
Sampel Model A1 (DPS) dan A2 (DPT) se Provinsi Kalimantan Timur;
Bukti T-15.E:
Rekapitulasi DPT dan Perubahan se Provinsi Kalimantan Timur;
Bukti T-15.F:
Daftar Pemilih yang menggunakan KTP dan Pasport se Kalimantan Timur;
Bukti T-16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Kalimantan Selatan (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tanah Laut (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK Se- Kabupaten Tanah Laut ( Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Baru (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK Se- Kota Baru (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tapin (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK se- Kabupaten Tapin (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampirannya) dan PPK se- Kabupaten Hulu Sungai (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK se- Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tabalong (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK se- Kabupaten Tabalong (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Balangan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK se- Kabupaten Balangan (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Banjarmasin (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK se- Kota Banjarmasin (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Banjar Baru (Formulir Model DB-1 dan Lampiran) dan PPK se- Kabupaten Banjar Baru (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-16.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Se- Provinsi Kalimantan Selatan;
Bukti T-17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sulawesi Utara (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Bukti T-17 .1:
Suara Kota Manado (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Tomohon (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Bitung (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Minahasa (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Minahasa Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Minahasa Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Minahasa Tenggara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bolaang Mangondow (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bolaan Mangondow Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Kotamobagu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kepulauan Sangihe (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Talaud (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-17 .14:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kota Manado (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .15:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kota Tomohon (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .16:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kota Bitung (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .17:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Minahasa (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .18:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Minahasa Utara (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .19:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Minahasa Selatan (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran)
Bukti T-17 .20:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Minahasa Tenggara (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .21:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .22:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17 .23:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kota Kotamobagu (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.24:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sangihe (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.25:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17.26:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Talaud (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-17A.27:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kota Manado;
Bukti T-17A.28:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kota Tomohon;
Bukti T-17A.29:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kota Bitung;
Bukti T-17A.30:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Minahasa;
Bukti T-17A.31:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Minahasa Utara;
Bukti T-17A.32:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Minahasa Selatan;
Bukti T-17A.33:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Minahasa Tenggara;
Bukti T-17A.34:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Bolaang Mongondow;
Bukti T-17A.35:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Bolaang Mongondow Utara;
Bukti T-17A.36:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kota Kotamobagu;
Bukti T-17A.37:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Kepulauan Sangihe;
Bukti T-17A.38:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap
Kabupaten Tagulandang Biaro;
Bukti T-17A.39:
Berita Acara dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Talaud;
Bukti T-17A.40:
Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Provinsi Sulawesi Utara;
Bukti T-18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sulawesi Tengah (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Palu (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Donggala (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Parigi Moutong (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Poso (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Morowali (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tojo Una-Una (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Banggai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Banggai Kepulauan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Toli-Toli (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Buol (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-18.1.1 s.d T-18.1 .4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kota Palu (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T018.4 .1 s.d T-18.4 .18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK se Kabupaten Poso (Formulir Model DB
Bukti T-18.8.1 s.d T-18.8 .19:
Sampel DPT Kabupaten Banggai Kepulauan;
Bukti T-18.2.1 s.d T-18.2 .30:
Formulir Model C1 PPWP se Kabupaten Donggala;
Bukti T-19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sulawesi Selatan (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Selayar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.01.1 s.d T-19.01.11:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Selayar (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bulukumba (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.3.1 s.d T-19.3 .10:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Bulakamba (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bantaeng (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bantaeng (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.4.1 s.d T-19.4 .8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bantaeng (Formulir Model DA dan
Lampiran);
Bukti T-19.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Takalar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Takalar (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.6.1 s.d T-19.6 .9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Takalar (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sinjai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.8.1 s.d T-19.8 .9:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Sinjai (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bone (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.2.1 s.d T-19.2 .27:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Bone (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Maros (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pangkep (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Barru (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.11.1 s.d T-19.11.7:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Barru (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Soppeng (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Wajo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.13.1 s.d T-19.13.14:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Wajo (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sidrap (Formulir Model DA dan Lampiran)
Bukti T-19.14.1 s.d T-19.14.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sidrap (Formulir Model DA dan Lampiran)
Bukti T-19.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pinrang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Enrekang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Luwu (Formulir Model DA-A dan Lampiran);
Bukti T-19.17.1 s.d T-19.17.21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Luwu (Formulir Model DA-A dan Lampiran);
Bukti T-19.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tanatoraja (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.18.1 s.d T-19.18.40:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tanatoraja (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T- 19.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Luwu Utara (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.19.1 s.d T-19.19.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Luwu Utara (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Luwu Timur (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.20.1 s.d T-19.20.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Luwu Timur (Formulir Model DA dan Lampiran);
Bukti T-19.21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Makassar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran)
Bukti T-19.22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Pare-Pare (Formulir Model DB-1 dan Lampiran)
Bukti T-19.22.1 s.d T-19.22.4:
Berita Acara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara dan Rincian Perolehan Suara tingkat Kecamatan di Kabupaten Pare-Pare (Formulir Model DA, DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Palopo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-19.24 s.d T-19.46:
Daftar Pemilih Tetap Provinsi Sulawesi Selatan;
Bukti T-19.7.1 s.d T-19.7 .18:
Model DA PPWP KPU Kabupaten Gowa;
Bukti T-19.2.1 s.d T-19.2 .27:
Model DA PPWP KPU Kabupaten Bone;
Bukti T-19.12.1 s.d T-19.12.8:
Model DA PPWP KPU Kabupaten Soppeng;
Bukti T-19.15.1 s.d T-19.15.12:
Model DA PPWP KPU Kabupaten Pinrang;
Bukti T-19.5.1 s.d T-19.5 .11:
Model DA PPWP KPU Kabupaten Jeneponto;
Bukti T-19.47.1:
Jawaban/Tanggapan Perkara Nomor 108/PHPU.B-VII/2009 Termohon : KPU Kabupaten Kepulauan Selayar;
Bukti T-19.48.2:
DPT Pilpres 2009 TPS 01 Desa/Kelurahan Masungke, Kecamatan Pasimasunggu, Kabupaten Kepulauan Selayar;
Bukti T-19.49.3:
DPT Pilpres 2009 TPS 01 Desa/Kelurahan Batangmata Sapo, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar;
Bukti T-9 .50.4:
DPT Pilpres 2009 TPS 04 Desa/Kelurahan Tanete, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar;
Bukti T-19.51.5:
DPT Pilpres 2009 TPS 05 Desa/Kelurahan Tanete, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar;
Bukti T-19.52.6:
DPT Pilpres 2009 TPS 06 Desa/Kelurahan Tanete, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar;
Bukti T-19.53.7:
Keterangan bahwa untuk Kecamatan Pasimaranu, Kabupaten Kepulauan Selayar hanya ada 2 TPS;
Bukti T-19.23.1 s.d T-19.23.9:
Model DA PPWP KPU Kota Palopo;
Bukti T-19.10.1 s.d
T-19.10.12:
Model DA PPWP KPU Kabupaten Pangkep;
Bukti T-19:
DC Provinsi Sulawesi Selatan;
Bukti T-19.1 s.d T-19.23:
DB KPU Kabupaten/Kota se Provinsi Sulawesi Selatan;
Bukti T-19.9.1 s.d T-19.9.14:
Model DA, DAA, DAB dan DA1 PPWP KPU Kabupaten Maros;
Bukti T-19.16.1 s.d T-19.16.12:
Model DA PPWP dan Lampiran KPU Kabupaten Enrekang;
Bukti T-20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sulawesi Barat (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T- 20.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mamasa (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Mamasa (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.1 .1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Mamasa (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.2 .1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Sesenpadang (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.3 .1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Tawalian (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.4 .1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Balla (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.5.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Tandukkalua’ (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.6.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Sumarorong (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.7.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Messawa (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.8.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Nosu (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.9.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Panai (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.11.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Rantebulahan Timur (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.12.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Bambang (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.13.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Mambi (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.14.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di
TPS seluruh Kecamatan Aralle (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.15.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Tabulahan (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Balla (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Tandukkalua (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Messawa (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Nosu (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Pana (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Tambang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Rantebulahan Timur (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Bambang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Mambi (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Aralle (Formulir Model DA-1 dan
Lampiran);
Bukti T-20.1.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Tabulahan (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.1.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Sumarorong (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Polewali Mandar (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.2.1 s.d T-20.2.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK Se Kabupaten Polewali Mandar (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Majene (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.1 s.d T-20.3.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK Se Kabupaten Majene (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.1.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Banggae (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.2.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Banggae Timur (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.3.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Pamboang (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.4.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Sendana (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.5.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Tammeredo Sendana (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.6.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Tubo Sendana (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.7.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Malunda (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.3.8.1:
Sertifikat dan Berita Acara Hasil Penghitungan Suara di TPS seluruh Kecamatan Ulumanda (Formulir Model C-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mamuju (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.4.1 s.d T-20.4.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK Se Kabupaten Mamuju (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mamuju Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.1 s.d T-20.5.1.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara PPK Se Kabupaten Mamuju Utara (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.1.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Bambalamotu (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.2.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Sarudu (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.3.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Pedongga (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.4.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Dapurang (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.5.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kecamatan Duri Puku (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.6.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Sarjo (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.7.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Tikke Raya (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.8.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Baras (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.9.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Bambaira (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T.20.5.10.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Buku Taba (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.5.11.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kecamatan Pasang Kayu (Formulir Model DA-1 dan Lampiran);
Bukti T-20.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan DPT Pilpres se Provinsi Sulawesi Barat;
Bukti T-20.B:
Keputusan/Berita Acara Penetapan DPT Pilpres Kabupaten Mamuju Utara;
Bukti T-21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Sulawesi Tenggara (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Kendari (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Konawe Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Konawe (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-21.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Konawe Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T- 21. 5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kolaka (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kolaka Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T.21.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bombana (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Buton (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kota Bau-Bau (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Wakatobi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Muna (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-21.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Buton Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Gorontalo (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-22.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pohuwato (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-22.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Boalemo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-22.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Gorontalo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-22.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Gorontalo Utara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-22.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Bone Bolango (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-22.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Gorontalo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Maluku (Formulir Model DC-1 dan Lampiran)
Bukti T-23.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Ambon (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Buru (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Maluku Tengah (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Seram Bagian Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Seram Bagian Timur (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Maluku Tenggara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kota Tual (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-23.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kepulauan Aru (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Papua (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kota Jayapura (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Jayapura (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Keeram (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Yahukimo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Pegunungan Bintang (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Boven Digul (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Merauke (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mappi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.9:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Jaya Wijaya (Formulir Model DB-1 dan
Lampiran);
Bukti T-24.10:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Yalimo (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.11:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Nduga (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.12:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Lanny Jaya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.13:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mamberamo Tengah (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.14:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Puncak Jaya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.15:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Puncak (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.16:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Tolikara (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.17:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Asmat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.18:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Nabire (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.19:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Dogiyai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.20:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Paniai (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.21:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mimika (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.22:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Biak Numfor (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.23:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Supiori (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.24:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Yapen Waropen (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.25:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sarmi (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-24.26:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Mamberamo Raya (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Papua Barat (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Teluk Bintuni (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.2:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Teluk Wondama (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.3:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kaimana (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.4:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Raja Ampat (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.5:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Kabupaten Sorong Selatan (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.6:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Manokwari (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.7:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Fak-Fak (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-25.8:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Sorong Kota (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-26.A:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Provinsi Bali (Formulir Model DC-1 dan Lampiran);
Bukti T-26.1:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kota se Provinsi Bali (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-26.3:
Jawaban Sidang MK KPU Kabupaten Klungkung;
Bukti T-26.4:
Surat Panwas terhadap DPT Pilpres;
Bukti T-26.5:
Bahan Sosialisasi Pendaftaran Pemilih;
Bukti T-26.6:
SK Pengangkatan Petugas PPDP se- Provinsi Bali;
Bukti T-26.7:
Bukti tanda terima CD DPT Pilpres;
Bukti T-26.8:
Surat Pernyataan Tidak Keberatan tentang Pemilih Tidak Terdaftar dalam DPT oleh Ketua KPU;
Bukti T-27.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Se- Provinsi Riau;
Bukti T-27.B:
Sertifikat dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Kabupaten Kota se- Provinsi Riau (Formulir Model DB-1 dan Lampiran);
Bukti T-27.1:
Daftar Pemilih yang menggunakan KTP di Kota Dumai;
Bukti T-28.B:
Penetapan Rekapitulasi Badan Penyelenggara dan DPT Provinsi Jambi;
Bukti T-28.A:
Keputusan/Berita Acara Penetapan Daftar Pemilih Tetap Se- Provinsi Jambi;
Bukti T-28.1:
Klarifikasi KPU Provinsi Jambi terhadap gugatan Tim
Advokasi dan Hukum JK – Win pada Pilpres 2009;
Bukti T-29.1:
Surat-surat dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sambas Kubu Raya, Ketapang, dan Kayong Utara;
Bukti T-29.A:
Daftar Pemilih Tetap (DPT) TPS 05 Desa Hilir Kantor Kecamatan Putussibau Utara Kabupaten Kapuas Hulu;
Bukti T-29.B:
Daftar Pemilih Sementara (DPS) TPS 04 Desa Hilir Kantor Kecamatan Putussibau Utara Kabupaten Kapuas Hulu;
[2.8] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pihak Terkait Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih telah mengajukan bukti-bukti surat/tulisan, masing-masing diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-34, sebagai berikut:
Bukti PT-1:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Bali Nomor 270/2011/KPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-2:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Maluku Nomor 270/274/KPU-MAL/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-3:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sulawesi Utara Nomor 221/KPU-SULUT/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-4:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Gorontalo Nomor 60/KPU-Prov/01/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-5:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Kalimantan Timur Nomor 270/872/KPU/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-6:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 281/019-BA/KPU/KS/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-7:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 244/KPU-KTG/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-8:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Kalimantan Barat Nomor 14/BA/KPU-KB/VII/2009. tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-9:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Maluku Utara Nomor 278/272/KPU/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-10:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 270/3020/KPU/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-11:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sulawesi Barat Nomor 510/KPU/SB/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-12:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Jambi Nomor 270/621/KPUJBI/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-13:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi DIY Nomor 270/1227/BA/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-14:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung Nomor 278/KPU-BB/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-15:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Riau Nomor 10/BA/KPU R/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-16:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Jawa Barat Nomor BA/46/KPU-JB/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-17:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 270/101/KPU.JTM/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-18:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi DKI Jakarta Nomor 78/BA/KPU.DKI/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-19:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Papua Nomor 65/BA/KPU-Papua/09 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-20:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sumatera Utara Nomor 270/3401/KPU-SU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT 21:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Bengkulu Nomor 271/0477/KPU/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-22:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Papua Barat Nomor 278/279/KPU PB/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-23:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 598/KPU.SS/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-24:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 25/C/BA/KPU-NTT/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DCPPWP);
Bukti PT-25:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sumatera Selatan Nomor 109/KPU.SS/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-26:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Kepulauan Riau Nomor 566/BA/KPU-PKR/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DCPPWP);
Bukti PT-27:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 270/707/KPU.NTB/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DCPPWP);
Bukti PT-28:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sumatera Barat Nomor 49/KPU SB/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-29:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Jawa Tengah Nomor 16/BA/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-30:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 278/321/BA/KPUD/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-31:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Aceh Nomor 037/BA/KPU-Aceh/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden'Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-32:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Banten Nomor 280/113/BAIKPU.Prov.BTN/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-33:
Fotokopi Berita Acara KPU Provinsi Lampung Nomor: 270/202/KPU.LPG/VII/2009 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tingkat Provinsi Tahun 2009 (Model DC PPWP);
Bukti PT-34:
Fotokopi Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 di Panitia Pemilihan Luar Negeri;
[2.9] Menimbang bahwa juga telah mendengar keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam persidangan tanggal 6 Agustus 2009, sebagai berikut:
Pengantar
Pemilihan umum merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya Iayak sebagai wakil yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara/pemerintah sebagaimana tertuang dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan. Hak untuk memberikan suara atau memilih (right to vote) memberikan hak kepada pemiliknya untuk menggunakan hak pilihnya, sehingga negara berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga negara yang mempunyai hak pilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya tanpa adanya diskriminasi;
Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam Pemilihan Umum antara lain disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Selain berbagai peraturan nasional, jaminan pertisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara universal dan sederajat tanpa adanya diskriminasi, juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum internasional. Hal ini antara lain disebutkan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999;
Berdasarkan pemantauan secara langsung yang dilakukan Komnas HAM di beberapa wilayah di Indonesia baik pada penyelenggaraan Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, didapati adanya sejumlah fakta tidak terpenuhinya hak sipil dan politik warga negara. Hal ini terlihat antara lain dengan banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak dicantumkan di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun tidak diberikannya akses guna mengikuti Pemilu dengan dihilangkannya TPS khusus dan TPS keliling;
Adapun yang menjadi landasan hukum Komnas HAM melakukan pemantauan pelaksanaan Pemilu adalah sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komnas HAM sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 89 ayat (3) yang mengatur fungsi Komnas HAM dalam pemantauan.
Kewajiban Negara
Negara, terutama Pemerintah mempunyai kewajiban secara konstitusional dalam pemenuhan hak asasi manusia. Hal ini secara tegas dimandatkan di dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”;
Kewajiban tersebut selanjutnya dipertegas lagi di dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi, “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”;
Dalam tataran hukum internasional yang sudah diterima oleh Indonesia melalui ratifikasi, kewajiban negara dalam pemenuhan hak sipil dan politik antara lain disebutkan di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR), yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Adapun hak-hak sipil dan politik yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu yang dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, antara lain:
No
Pasal
Hak-Hak Sipil dan Politik
1
Pasal 12
Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negerinya sendiri);
2
Pasal 16
Hak sebagai subjek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan);
3
Pasal 18
Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan);
4
Pasal 20
Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan);
5
Pasal 25
Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih);
6
Pasal 26
Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilindungi hukum tanpa diskriminasi);
7
Pasal 27
Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus);
Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga bentuk tugas. Antara lain negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban Pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, Iangkah, kebijakan, dan tindakan yang dilakukan. Termasuk kewajiban Pemerintah Indonesia untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Jaminan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik Warga Negara
Prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal menjamin adanya pemenuhan hak sipil politik. Pasal 21 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan, bahwa negara pihak harus menjamin hak berpartisipasi dalam pemerintahan dan Pemilu serta hak atas pelayanan umum;
Setiap warga negara Indonesia dijamin haknya untuk ikut berpartisipasi secara politik. Meski tak cukup gamblang, tetapi konstitusi menjamin hak orang untuk ikut dalam memperjuangkan haknya baik dengan memilih atau pun memajukan diri sendiri. Hal ini tercantum dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”;
Jaminan atas hak untuk turut serta dalam pemerintahan secara lebih gambang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang ini menyatakan, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang Iangsung, umum, babas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
Adapun jaminan atas hak untuk dipilih secara gamblang tercantum dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak berhak turut serta dalam pemerintahan dengan Iangsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya, dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”. Juga dalam ayat (3) yang menyatakan, “Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintah”;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik juga menjamin pemenuhan hak sipil dan politik warga negara. Pasal 25 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengatakan bahwa hak yang dijamin oleh negara adalah hak untuk berpartisipasi dalam politik, termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih. Kewajiban pemenuhan hak sipil dan politik terutama yang berhubungan dengan pemilihan umum dapat digambarkan sebagaimana.
Jaminan dan Perlakuan Khusus Untuk Kelompok Rentan Dalam menjalankan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia, warga negara harus memperhatikan kelompok khusus dan atau kelompok rentan. Kelompok ini perlu mendapatkan perlakuan khusus agar hak-haknya dapat terpenuhi. Yang masuk dalam kelompok khusus ini adalah mereka yang terpenjara atau mereka yang kebebasannya dibatasi, kelompok orang miskin, kelompok buruh migran, kelompok perempuan dan orang berusia lanjut, kelompok orang sakit yang sedang dirawat baik di rumah sakit maupun di rumah mereka sendiri, dan kelompok orang dengan masalah kejiwaan, kelompok adat tertinggal (KAT), dan kelompok penyandang penyakit kusta. Termasuk kelompok-kelompok minoritas yang umumnya mengalami diskriminasi, balk oleh negara maupun oleh masyarakat. Kelompok terakhir ini adalah kelompok minoritas agama, minoritas seks (LGBT), kelompok etnis tertentu;
Keharusan bagi negara untuk memberikan jaminan dan perlakuan khusus kepada kelompok rentan ini tercantum dalam Penjelasan Umum mengenai hak sipil dan politik. Antara lain tercantum, perlakuan berlaku bagi setiap orang yang dirampas kemerdekaannya atas dasar hukum dan kewenangan negara yang ditahan di penjara-penjara, kamp-kamp penahanan atau lembaga-lembaga pemasyarakatan. Juga mereka yang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit-rumah sakit, khususnya rumah sakit jiwa;
Dalam butir 3 dinyatakan bahwa negara-negara pihak memiliki kewajiban positif terhadap orang-orang yang rentan karena status mereka sebagai orang-orang yang dirampas kemerdekaannya, dan sebagai tambahan dari hak mereka untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia;
Jaminan kepada kelompok khusus dan kelompok rentan ini juga tercantum dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, berbunyi, “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus”. Juga dalam Pasal 42 yang berbunyi, “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”;
Jaminan atas hak-hak warga negara yang membutuhkan perlakuan khusus ini juga tercantum dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berbeda dengan orang atau penduduk pada umumnya yang harus secara aktif mendaftarkan data kependudukan yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, perceraian atau kematian, maka Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang menyebut kelompok rentan ini sebagai “penduduk rentan administrasi kependudukan” dan “penduduk yang tidak mampu mendaftarkan sendiri” mengharuskan Pemerintah untuk bertanggung jawab dalam proses pencatatan mereka sebagai penduduk;
Pengabaian atas pemberlakuan kekhususan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dengan kesengajaan (by commission) misalnya Pemerintah tak membuat Undang-Undang yang menjamin penerapan langkah-langkah aksi afirmatif. Atau juga pelanggaran HAM dengan cara membiarkan (by ommission) kelompok rentan bila Pemerintah yang melihat kelompok ini tak dapat menjalankan hak-haknya yang dijamin oleh negara tetapi Pemerintah tak melakukan sebuah upaya apapun.
Hasil Pemantauan Komnas HAM Dalam Pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Dalam rangka pemastian pemenuhan hak sipil dan politik warga negara dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Komnas HAM sesuai fungsi, tugas, dan kewenangannya telah melakukan pemantauan secara langsung ke beberapa daerah di Indonesia;
Adapun beberapa daerah yang dijadikan sebagai sample oleh Komnas HAM dalam pelaksanaan pemantauan dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali, DKI Jakarta, dan Banten.
Permasalahan DPT
Daftar Pemilih Tetap (DPT) masih menjadi salah satu permasalahan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Diakui bahwa terdapat penambahan jumlah pemilih dalam DPT Pemilu Pilpres dibandingkan dengan DPT Pemilu Legislatif. Akan tetapi penambahan jumlah tersebut tidak begitu signifikan dikarenakan masih belum optimalnya penyelenggara Pemilu dalam melakukan update terhadap DPT. Adapun permasalahan DPT yang ada dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden antara lain masih didapatinya DPT ganda, DPT yang sudah meninggal dan belum berusia 17 tahun.
Hal ini antara lain terjadi di Sulawesi Selatan, Balikpapan. Di LP Krobokan, Denpasar, Bali, terdapat sebanyak 759 pemilih yang terdaftar, akan tetapi di dalam DPT tersebut tidak mencantumkan NIK maupun Nomor KTP. Kemudian di Baduy terdapat sebanyak 438 orang yang memiliki tanggal lahir sama dalam DPT;
2. Hilangnya Hak Sipil dan Politik Warga Negara Karena Tidak Adanya TPS Khusus
Warga negara yang memiliki hak untuk memilih tidaklah memiliki kesamaan dalam menyampaikan aspirasinya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya warga negara potensial yang memiliki hak pilih yang terpaksa harus tinggal di rumah sakit dikarenakan sakit dan atau harus menunggu keluarganya yang sakit. Selain itu, didapati juga banyak warga negara yang karena kesalahannya harus mendekam di dalam penjara dan atau tahanan. Berdasarkan kondisi tersebut, sesuai dengan hasil pemantauan Komnas HAM di lapangan, didapati adanya fakta bahwa banyak warga negara yang sakit maupun berada di dalam lembaga pemasyarakatan/ tahanan tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Hal ini antara lain ditemukan di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Rumah Sakit Pelni Pelabuhan Belawan, RSUD Sangatta dan RS Prima Sangatta (Balikpapan), Rumah Sakit Dr. Soetomo (Surabaya), Rumah Sakit Adhi Husana Undaan Wetan (Surabaya), Rumah Sakit Sanglah (Bali) terdapat sebanyak 539 pasien ditambah dengan anggota keluarganya sehingga sekitar 1000 orang, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo; Selain itu, terdapat sejumlah napi dan atau tahanan termasuk tahanan di kepolisian juga tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan tidak adanya TPS khusus.
3. Tidak Difasilitasinya Sarana dan Prasarana Kebutuhan Bagi Kelompok Rentan
Kelompok Rentan terdiri dari berbagai macam kekhususan, sehingga dalam menyalurkan hak sipil dan politiknya juga memerlukan adanya sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan para kelompok rentan. Adapun sarana dan prasarana bagi kelompok rencana sesuai dengan kekhususannya sebagai berikut:
1) Sarana dan prasarana untuk tunanetra, meliputi:
Menyediakan surat suara dengan desain yang adil dan aksesibel bagi tunanetra berupa tanda yang dapat menunjukkan dan dikenali oleh tunanetra secara mandiri mengenai sisi atas dan sisi depan dari kertas suara;
Menyediakan template disertai simbol dalam tulisan braille yang disusun berdasarkan tata letak gambar partai dan identitas peserta Pemilu yang termuat dalam surat suara;
Menyediakan kotak suara dengan posisi masing-masing pada kotak suara diberi tanda dalam simbol braille atau tanda timbul Iainnya yang disusun dari kiri ke kanan yang memungkinkan pemilih tunanetra dapat memasukkan surat suara yang telah dicontreng secara langsung dan mandiri ke dalam kotak suara;
Pengaturan hal-hal sebagaimana yang tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, selain berguna untuk pemilih tunanetra, juga dapat dimanfaatkan oleh pemilih tuna grafika, buta huruf dan hal lain yang serupa dengan itu;
Rincian mengenai bentuk dan ukuran surat suara, serta template yang adil dan aksesibel bagi tunanetra akan diatur lebih lanjut dalam petunjuk teknis penyelenggara Pemilu;
Untuk mencapai maksud dari ketentuan pada huruf a, huruf b, dan huruf c di atas maka penyelenggara Pemilu secara berjenjang berkoordinasi dengan Lembaga Representasi Kelompok Rentan, yang sah dan/atau jaringannya, melakukan sosialisasi secara berkala, terencana, terarah dan berkesinambungan;
2) Sarana dan prasarana untuk tunarungu/wicara, meliputi:
Melakukan sosialisasi/pendidikan Pemilu secara berkala, terencana, terarah, dan berkesinambungan kepada pemilih tunarungu mengenai karakteristik atau unsur pembeda masing-masing peserta Pemilu dengan menggunakan alat bantu, simulasi, atau media lain yang memungkinkan tunarungu memperoleh pemahaman optimal;
Kampanye yang dilakukan melalui media audio visual harus menyertakan penerjemah dan/atau fasilitas/media yang dapat mengkomunikasikan secara cermat dan maksimal materi kampanye kepada pemirsa tunarungu;
Proses pemanggilan pada saat pemberian suara sebaiknya
menggunakan penerjemah, multi media, atau panggilan isyarat atau dengan cara lain yang memungkinkan tunarungu mengetahui maksud panggilan;
3) Sarana dan prasarana untuk orang yang mengalami gangguan jiwa dan rentan itelegensia lainnya tunagrahita, meliputi:
Melakukan sosalisasi/pendidikan Pemilu secara berkala, terencana, terarah dan berkisinambungan kepada pemilih gangguan jiwa, tunagrahita maupun kelompok rentan pemahaman/itelegensia lainnya mengenai karakteristik atau unsur pembeda masing-masing peserta Pemilu dengan menggunakan alat bantu, simulasi atau media lain yang memungkinkan gangguan jiwa, tunagrahita dan rentan itelegensia lainnya dalam memperoleh pemahaman optimal;
Pemilih gangguan jiwa, tunagrahita dan rentan itelegensia lainnya yang bertempat tinggal secara berkelompok dalam satu tempat, maka tempat pemungutan suara harus didirikan di dalam atau di sekitar tempat tinggal mereka, yang terintegrasi dengan pemilih umum;
Apabila ketentuan huruf b di atas tidak dapat dipenuhi karena alasan tertentu, maka penyelenggara Pemilu dalam mendirikan TPS dimaksud harus memilih lokasi yang tersedia sarana yang adil dan aksesibel bagi pemilih gangguan jiwa, tunagrahita dan rentan itegensia lainnya khususnya toilet dan ruang tunggu yang kondusif baginya;
4) Sarana dan prasarana untuk tunadaksa atau lansia atau lemah fisik lainnya, meliputi:
Lokasi TPS yang datar atau tidak berumput tebal, berbatu, becek, atau gundukan dan berbagai perintang lainnya;
Tidak berada di atas bangunan tinggi/bertangga/berundak kecuali jika dilengkapi dengan lift atau fasilitas lain yang serupa dengan itu atau dibuat jalur Iandai (ramp) yang memungkinkan mobilitas kursi roda;
Tidak dihalangi oleh parit atau lubang kecuali jika dibuat jembatan atau fasilitas penyeberangan yang aman;
Bentuk dan ukuran bilik suara dapat disesuaikan dengan kemampuan daya jangkau para tuna daksa;
Menyediakan kursi dalam bilik suara sejauh diperlukan dalam mempermudah
pencontrengan khusus bagi pemilih yang karena usia atau kondisi kecacatan
yang disandangnya mengakibatkan ia tidak cukup kuat untuk berdiri lama;
Penyelenggara Pemilu menyediakan TPS khusus dan TPS keliling atau yang dipersamakan dengan itu khusus bagi pemilih yang tidak dapat hadir untuk memberikan suara di TPS pada hari pemungutan suara, baik karena hambatan kondisi tertentu, maupun karena gangguan kesehatan dalam tingkat yang memang memerlukan layanan khusus;
Khusus bagi pemilih yang tidak dapat mencontreng bisa dengan tangan dan/atau kaki, ia dapat membawa alat fasilitas sendiri yang memungkinkan ia dapat menggunakan hak pilihnya secara Luber dan Jurdil;
Tinggi kotak suara maksimal 100 cm dari permukaan lantai, untuk memudahkan pemilih yang memiliki hambatan dapat memasukkan surat suara secara langsung dan mandiri;
5) Sarana dan prasarana untuk rentan lainnya meliputi:
Pengadaan TPS dan TPS keliling yang dapat menjangkau tempat kedudukan Pemilih Kelompok Rentan;
Penyederhanaan dan atau penghapusan segala hambatan prosedur dan atau Meknisme yang bersifat administrative;
Penyelenggaraan sosialisasi pendidikan Pemilih secara sistematis, intensif, komprehensif dan berkesinambungan;
Penerapan sistem dan mekanisme Penyelenggaraan Pemilu yang bersifat fleksibel, arif namun tetap menjunjung tinggi asas Luber dan Jurdil;
Berdasarkan kebutuhan khusus sebagaimana disebutkan di atas, pada kenyataannya, para penyelenggara Pemilu belum secara optimal memberikan sarana dan prasarana bagi para kelompok rentan. Hal ini antara lain didapati di Jakarta.
Kesimpulan
Setelah mengkaji dan menganalisis dengan seksama semua data, fakta, informasi dan temuan di lapangan, keterangan korban, laporan, dokumen yang relevan, serta berbagai informasi lainnya, maka Tim menyimpulkan sebagai berikut:
Hak untuk memilih (right to vote) merupakan salah satu hak fundamental yang dijamin di dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, berbagai peraturan nasional, jaminan partisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara universal dan sederajat tanpa adanya diskriminasi, juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum internasional. Hal ini antara lain disebutkan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999;
Walaupun secara tegas jaminan warga negara dalam menggunakan hak pilihnya telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, pada kenyataannya dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009 didapati adanya berbagai bentuk pelanggaran hak sipil dan
politik warga negara, antara lain:
Hilangnya hak konstitusional pemilih warga Negara;
Hilangnya hak sipil warga negara dengan tidak dicatatkannya didalam sistem administrasi kependudukan;
Hilangnya hak politik warga negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat tidak difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan (khusus) seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, narapidana/tahanan dan lainnya, serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di beberapa tempat seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah mengakibatkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
Sehubungan dengan berbagai pelanggaran hak sipil dan politik dalam penyelenggaraan Pemilu, Negara, khususnya Presiden, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, DPR serta KPU gagal menunaikan kewajiban institusional masing-masing untuk memastikan suatu penyelenggaraan Pemilu yang Jurdil dan Luber. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor utama:
kelemahan sistemik dari Sistem Administrasi Kependudukan;
penyamaan perlakuan terhadap rangkaian kebutuhan unik dan mendesak dari penyelenggaraan Pemilu oleh KPU dengan penyelenggaraan kegiatan proyek departemen konvensional dalam proses dan persyaratan
penganggaran;
kelemahan institusional KPU yang sangat memprihatinkan sejak dari wawasan pengetahuan umum maupun pengetahuan dan wawasan konstitusional para Komisioner dan Pimpinan KPU;
kelemahan penyusunan anggaran dan antisipasi revisi tepat-waktu serta manajemen logistik yang sangat amatiran;
Keberadaan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) di daerah tidak dapat menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya secara optimal dikarenakan keterbatasan mandat yang ada sehingga hasil temuan terhadap pelanggaran pidana Pemilu tidak dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Selain itu, keterlambatan pembentukan Panitia Pengawas Pemilu di daerah yang juga hanya bersifat ad hoc ditambah dengan keterbatasan anggaran yang ada telah mengakibatkan lembaga tersebut tidak dapat menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya untuk melakukan pengawasan dalam setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu;
Kelemahan peraturan perundang-undangan sektoral dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum maupun administrasi kependudukan juga menjadi salah satu penyebab hilangnya hak sipil dan politik warga negara dalam pemilihan umum;
Penghilangan hak konstitusional tersebut, dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah di amanatkan dalam peraturan perundang-undangan.
[2.10] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Agustus 2009, yang pada pokoknya tetap pada dalil-dalilnya;
[2.11] Menimbang bahwa Termohon telah mengajukan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Agustus 2009, yang pada pokoknya tetap menolak dalil-dalil Pemohon;
[2.12] Menimbang bahwa Pihak Terkait telah mengajukan kesimpulan tertulis
yang pada pokoknya tetap menolak dalil-dalil Pemohon; [2.13] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa permasalahan hukum utama permohonan Pemohon I dan Pemohon II adalah keberatan terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009;
[3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permasalahan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. kewenangan Mahkamah memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; 2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; 3. tenggang waktu pengajuan permohonan. Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 12 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
[3.4] Menimbang bahwa menurut Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) mencakup baik Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sehingga Perselisihan Hasil Pemilu (selanjutnya disebut PHPU) mencakup pula PHPU Presiden dan Wakil Presiden;
[3.5] Menimbang bahwa permohonan Pemohon I dan Pemohon II adalah mengenai keberatan atas Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) pada tanggal 25 Juli 2009 yang tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 bertanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009 (selanjutnya disebut Keputusan KPU 365/2009), sehingga prima facie merupakan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, memutus permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
[3.6] Menimbang, Pasal 74 ayat (1) UU MK dan Pasal 201 ayat (1) UU 42/2008 juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut PMK 17/2009) menentukan bahwa pemohon dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan Keputusan KPU Nomor 296/Kpts/KPU/ Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 tanggal 29 Mei 2009 (selanjutnya disebut Keputusan KPU 296/2009) dan Keputusan KPU Nomor 297/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Menjadi Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 tanggal 30 Mei 2009 (selanjutnya disebut Keputusan KPU 297/2009), Pemohon I adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Nomor Urut 3 dan Pemohon II adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Nomor Urut 1, Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009; [3.8] Menimbang bahwa dengan demikian, Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohon a quo;
Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan
[3.9] Menimbang bahwa Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 201 ayat (1) UU 42/2008 beserta Penjelasannya juncto Pasal 5 ayat (1) PMK 17/2009 menentukan bahwa permohonan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus diajukan ke Mahkamah dalam tenggang waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU menetapkan dan mengumumkan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional;
[3.10] Menimbang bahwa penetapan dan pengumuman Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dilakukan oleh KPU pada hari Sabtu, tanggal 25 Juli 2009 pukul 10.22 WIB, sehingga tenggang waktu 3 X 24 jam berlangsung sejak hari Sabtu 25 Juli 2009 pukul 10.22 WIB sampai dengan hari Selasa tanggal 28 Juli 2009 pukul 10.22 WIB;
[3.11] Menimbang bahwa permohonan Pemohon I diajukan pada hari Senin tanggal 27 Juli 2009 pukul 16.46 WIB sesuai Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 237/PAN.MK/2009 dan diregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 108/PHPU.B-VII/2009 pada hari Rabu tanggal 29 Juli 2009 pukul 10.30 WIB, dan permohonan Pemohon II diajukan pada hari Selasa tanggal 28 Juli 2009 pukul 08.48 WIB sesuai Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 239/PAN.MK/2009 dan diregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 109/PHPU.B-VII/2009 pada hari Rabu, tanggal 29 Juli 2009 pukul 10.30 WIB, sehingga permohonan para Pemohon masih berada dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
[3.12] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), dan permohonan diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maka untuk selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan Pokok Permohonan para Pemohon; Pokok Permohonan
[3.13] Menimbang bahwa menegaskan kembali yang menjadi permasalahan utama permohonan Pemohon I dan Pemohon II adalah keberatan terhadap Keputusan KPU) Nomor 365/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pokok Permohonan Pemohon I
[3.14] Menimbang bahwa dari permohonan Pemohon I, Mahkamah pada pokoknya menyimpulkan sebagai berikut:
o Bahwa Termohon telah berkali-kali bertindak tidak adil dan memihak kepada salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu dengan menyebarluaskan keseluruh Indonesia cara-cara pencontrengan dengan mencontreng Nomor Urut 2;
o Bahwa Termohon telah melakukan empat pelanggaran hukum sebagaimana telah diuraikan lebih lanjut dalam bagian Duduk Perkara ini, yaitu:
KPU dengan telah sengaja atau setidak-tidaknya lalai dalam penyusunan DPT;
KPU dengan telah sengaja atau setidak-tidaknya lalai menindaklanjuti temuan pasangan calon dan masyarakat, termasuk temuan Bawaslu terkait penyusunan DPT;
KPU dianggap telah sengaja mengeluarkan kebijakan menghilangkan 69.000 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan sebanyak 34,5 juta suara pemilih;
KPU telah melibatkan pihak asing yaitu International Foundation for Electoral System (IFES) dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden;
o Bahwa dalam menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, Termohon dengan sengaja telah melanggar hukum yang berlaku termasuk asas Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 22/2007, yaitu kepastian hukum, profesionalitas, dan keterbukaan; o Bahwa Termohon telah 3 (tiga) kali melakukan perubahan terhadap DPT yaitu pada tanggal 31 Mei 2009 (176.367.056 pemilih), 8 Juni 2009 (176.395.015 pemilih), dan 6 Juli 2009 (176.441.434 pemilih), sehingga melanggar Pasal 29 ayat (5) UU 42/2008;
o Bahwa Pemohon telah berulang kali meminta Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Termohon, yaitu dimulai dengan cara lisan pada tanggal 19 Juni 2009 dan permintaan DPT secara tertulis pada tanggal 3 Juli 2009. Akan tetapi, DPT tidak pernah diberikan dengan berbagai alasan sebelum akhirnya Termohon baru menyerahkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 7 Juli 2009 berupa soft copy;
o Bahwa setelah dilakukan penyisiran data dari 474 kabupaten yang diverifikasi, Pemohon menemukan 87 kabupaten yang bermasalah serius. Sementara itu, dari 387 kabupaten terdapat sejumlah 123.975.343 orang yang terdaftar dalam DPT, maka terdapat 25.303.054 orang pemilih yang memiliki NIK yang sama, 11.003.117 orang pemilih yang memiliki NIK dan Nama yang sama, 6.026.805 orang pemilih yang memiliki NIK, Nama, dan Tempat Tanggal Lahir yang sama, dan 4.956.102 orang pemilih yang memiliki NIK, Nama, Tempat Tanggal Lahir dan Alamat yang sama;
o Bahwa Termohon telah melakukan penggelembungan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang diambil dari suara fiktif sejumlah 25.303 .054 suara, sehingga seharusnya suara Pemohon berjumlah 48.571.408 suara (40,36%). Sementara itu, Termohon telah melakukan pengurangan suara untuk Pemohon sejumlah 24.150.000 suara yang berasal dari 70% total suara berdasarkan hilangnya 69.000 TPS x 500 suara/TPS, sehingga seharusnya jumlah suara Pemohon berjumlah 39.231.814 suara (32,59%).
Pokok Permohonan Pemohon II
[3.15] Menimbang bahwa dari permohonan Pemohon II, Mahkamah pada pokoknya menyimpulkan sebagai berikut:
o Hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon telah salah dan/atau tidak benar setidak-tidaknya telah keliru dikarenakan terjadi penyimpangan dan/atau kecurangan dan atau kesalahan baik terhadap hasil penghitungan suara di setiap jenjang penghitungan suara maupun terkait perbuatan curang, pelanggaran-pelanggaran dan/atau penyimpangan-penyimpangan yang bersifat massif, terstruktur dan sistematik yang mengakibatkan hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya;
o Terdapat perbedaan penghitungan yang signifikan di 25 (dua puluh lima) provinsi karena adanya penambahan suara yang tidak sah yang dilakukan secara sengaja bagi Pasangan Calon Presiden Dr.Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono sebanyak 28.658 .634 suara sehingga jumlah perolehan suara Pasangan Calon Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono yang ditetapkan Termohon sebanyak 73.874.562 suara harus dikurangi 28.658.634 suara karenanya Pasangan Calon Presiden Dr.Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono tidak dapat ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih melalui putaran pertama;
o Termohon telah secara tergesa-gesa dan melawan hukum serta tanpa pertimbangan yang jelas telah memutuskan dan menetapkan Pasangan Calon Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dengan tidak mengindahkan keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon, LSM dan rekomendasi Bawaslu;
o Termohon dengan sengaja atau setidak-tidaknya lalai dalam melakukan penyusunan dan pemutakhiran DPT;
o Termohon dengan sengaja atau setidak-tidaknya lalai untuk menindaklanjuti temuan pasangan calon maupun masyarakat bahkan Bawaslu maupun Panwaslu di setiap jenjang terkait dengan penyusunan dan pengumuman DPT sehingga Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan tanpa menggunakan DPT atau setidak-tidaknya tidak menggunakan DPT yang sah sesuai dengan hukum;
o Termohon telah dengan sengaja melakukan kebohongan publik dengan menyatakan bahwa DPT yang diserahkan kepada Tim Kampanye Nasional Pemohon merupakan DPT yang sudah diverifikasi atau dimutakhirkan;
o Termohon menerbitkan kebijakan dengan menghilangkan 68.918 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan sebanyak 34.459.000 suara pemilih;
Termohon tidak melaksanakan kewajiban hukumnya atau secara melawan hukum dengan melakukan kerja sama dengan lembaga asing in casu International Foundation for Electoral System (IFES) yang menciderai kemandirian KPU dalam meyelenggarakan Pemilu sebagaimana diamanatkan oleh Ketentuan Pasal 22E UUD 1945;
Pemilih Pemohon tidak terdaftar dalam DPT dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 disengaja ataupun tidak telah dibuat sebagai keputusan yang tidak memiliki kekuatan hukum eksekutorial;
[3.16] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon I dan Pemohon II mengajukan bukti tertulis serta ahli dan saksi yang telah memberi keterangan di bawah sumpah, yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Ahli Pemohon I
Yudi Latif (Ahli Sosiologi Politik)
Demokrasi yang diperjuangkan di Indonesia adalah demokrasi konstitusional, yaitu demokrasi yang secara ideologis dan teleologisnya bermaksud untuk memenuhi dan menjalankan konstitusi. Demokrasi yang tidak taat asas
terhadap konstitusi, tidak dapat dikatakan sebagai demokrasi konstitusional, tetapi demokrasi yang inkonstitusional. Konstitusi Indonesia memberikan perlindungan perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik yang didalamnya mencakup hak pilih. Hak pilih merupakan derogable rights yang tidak dapat dikurangi dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain;
Hak pilih dalam beberapa negara dapat menentukan mutu dari suatu demokrasi, demokrasi yang baik bukan saja free, tetapi fair election. Free diartikan sebagai kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya, sedangkan fair adalah kedudukan setara yang equal untuk dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan;
Ukuran bahwa suatu Pemilu itu bermutu atau tidak bermutu antara lain ditentukan equalitas dimana setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu beberapa negara seperti Belgia, Luksemburg, Austria,
Australia, mewajibkan pada warga negaranya untuk ikut serta di dalam pemilihan;
Pelanggaran terhadap hak pilih merupakan pelanggaran human right yang sangat besar atau gross violation of human rights, dimana hak ini tidak dapat dikoreksi, diderogasi kecuali untuk jika hak ini tidak memungkinkan untuk
dijalankan;
Asas faimess menghendaki bahwa Pemilu harus memenuhi standar dan requirement dari pemilihan. Secara definisi pemilihan merupakan proses pemilihan yang diikuti oleh register voters. Bahkan di beberapa negara mewajibkan warga negara yang dapat memilih harus didaftar terlebih dahulu dan melarang warga negara yang tidak terdaftar untuk ikut dalam Pemilu. Register voters dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu stelsel aktif dimana pemilih aktif mendaftarkan dalam Pemilu dan yang kedua negara yang aktif untuk mendaftar pemilih. Apabila dikaitkan dengan di Indonesia, maka menggunakan dua pendekatan tersebut, dimana Negara mendaftar calon pemilih, dan pemilih diberikan kesempatan untuk mendaftarkan diri;
Comparative studies di seluruh dunia menunjukkan bahwa demokrasi mengalami kegagalan, bukan karena ketidaksiapan dari warga negara atau rakyat biasa, tetapi justru pada ketidaksiapan dari pada lembaga pemilihan terutama dalam menetapkan DPT. Pemilu tidak dapat berjalan dengan baik, apabila DPT-nya tidak ditetapkan dan diketahui secara publik. Undang-Undang Pemilu telah menentukan bahwa DPT harus diumumkan minimal 30 hari sebelum Pemilu;
Bahwa Pemilu tahun 2009 tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang benar, karena cacat secara politik dan secara hukum. Pemilu yang tidak memenuhi prinsip- prinsip konstitusional, maka Pemilu demikian harus dibatalkan;
Bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai KTP digunakan untuk memilih tidak dapat ditindak lanjuti oleh KPU, karena pemilih sebelum menggunakan hak pilihnya harus terlebih dahulu mendaftarkan KTP nya;
Penilaian terhadap Pemilu apakah legal atau tidak legal, hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh berapa jumlah peserta Pemilu, tetapi ditentukan apakah prosedurnya benar atau tidak;
Bahwa tidak ada instrumen internasional mengenai DPT, karena aturan demokrasi dibatasi oleh kerangka nation state. Persoalan DPT muncul dari hukum nasional, oleh karena itu internasional tidak dapat ikut campur dalam persoalan-persoalan teknis Pemilu; Saksi Pemohon I
1. Karmadi Ngawiran
Saksi mendapat laporan dari saksi Jusuf Kalla – Wiranto bernama Yuhendi bahwa di TPS 17 Kelurahan Kledeng, Kecamatan Karawaci Tangerang, Banten menemukan formulir C-1 yang tidak ada nama Capres Nomor Urut 1 dan Nomor Urut 3, sedangkan nama Capres Nomor Urut 2 ada di dalam formulir C-1 tersebut. Formulir C-1 yang masih kosong (belum ada perolehan suara dari pasangan calon) tersebut telah ditandatangani oleh seluruh saksi dan dan
petugas KPPS;
Kejadian tersebut telah dilaporkan kepada Panwascam dan menurut berita yang saksi peroleh dari Ketua Panwas bahwa kasus tersebut telah
ditindaklanjuti;
2. Umi Sari Dewi
Saksi dalam Pemilu Legislatif terdaftar sebagai pemilih, tetapi dalam Pemilu Presiden tidak terdaftar sebagai pemilih. Saksi menggunakan hak suara dalam Pemilu Presiden menggunakan KTP, tetapi tidak mencontreng salah satu
pasangan Presiden tersebut;
Daftar Pemilih Sementara tidak diumumkan. kepada warga;
3. Muhammad Zulfikar
Saksi adalah Ketua Kesatuan Intelektual Muda Partai Golkar, dimana pada bulan Juni mendapat tugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap DPT
Pilpres.
4. Mohamad Soleh
Saksi bertugas melakukan penyisiran data DPT Pilpres yang ada di dalam softcopy dan menemukan pemilih ganda. Data mengenai pemilih ganda tersebut telah saksi serahkan kepada Tim Advokasi Pemohon;
Saksi Pemohon II
1. Tuntang SB Hutasoit
Saksi merupakan Koordinator Saksi Pasangan Calon Mega-Prabowo di Kota Medan;
Saksi melihat ada seorang bernama Kiadema Boru Tambunan tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS 9 Kelurahan Sekip Kecamatan Medan Pedesa, Kota Medan atas nama. Orang tersebut datang ke TPS dengan maksud untuk memilih dengan menggunakan KTP, tetapi oleh Ketua KPPS tidak diizinkan untuk memberikan haknya dengan alasan yang bersangkutan tidak menunjukkan Kartu Keluarga yang asli;
Bahwa Ketua KPPS di TPS 5 Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan telah menerbitkan formulir C-4 ganda atas nama satu orang. Formulir C-4 tersebut digunakan oleh Alfonso Siahaan, dan pada siang harinya datang ke TPS bernama Zoki Zaluhu yang menggunakan formulir atas nama Alfanso Siahaan, padahal diketahuinya bahwa Alfanso Siahaan telah menggunakan formulir C-4 tersebut;
Bahwa Limnas di TPS 5 telah membagikan sebanyak 302 formulir C-4 kepada warga. Berdasarkan integogasi yang dilakukan oleh Saksi kepada Jaluhu, Romahuli boru Sihombing, dan Ruslan Boru Naibaho diperoleh keterangan bahwa mereka mendapatkan C-4 dari Ketua KPPS;
Kecurangan tersebut telah dilaporkan ke Panwaslu dan KPU Kota Medan provinsi, sampai hari ini tidak mendapatkan jawaban;
Pada waktu rapat pleno di KPU Kota Medan, Saksi mengajukan keberatan yang dituangkan pada formulir keberatan. Saksi mengajukan keberatan karena tidak sinkron antara jumlah pemilih dengan yang penggunaan hak pilih. Sepengetahuan Saksi bahwa apabila jumlah pemilih dalam DPT dikurangkan dengan jumlah pemilih dalam DPT yang menggunakan hak pilih dan dikurangkan dengan jumlah pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak pilih, maka hasilnya adalah nol, tetapi tidak demikian yang terjadi di beberapa tempat, yaitu:
− Di Kecamatan Medan Amplas, jumlah DPT sebanyak 104.879, jumlah pemilih dalam DPT yang menggunakan hak pilih sebanyak 50.633, dan jumlah pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 54.308 . Apabila angka tersebut dikurangkan maka terdapat selisih 62 suara;
− Model C-1 PPWP di TPS 1 Kelurahan Babura, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan pada kolom jumlah pemilih dari TPS lain (dicatat dalam pemilih tambahan) angkanya adalah kosong, tetapi pada formulir DA PPWP pada TPS yang sama terdapat selisih 16 suara;
− Di Kecamatan Medan Baru, jumlah pemilih dalam DPT (formulir DA-1 PPWP) sebanyak 42.414, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih sebanyak 18.479, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 26.978, Apabila dikurangkan, maka terdapat selisih minus 3.043. Data mana berbeda dengan formulir DB-1 PPWP yang tidak terdapat selisih, dimana jumlah pemilih sebanyak 45.710, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih sebanyak 18.543, dan pemilih yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 27.167;
Terjadi manipulasi data di Kecamatan Medan Baru, dimana data yang ada di dalam Model DA tidak dipindahkan ke Model DB-1 PPWP, hal hal mana juga di Kecamatan Medan Perjuangan, di Medan Johor, di Medan Labuhan;
Drs. Sutarto
Saksi merupakan Tim Kampanye Pasangan Calon nomor 3 di Provinsi Sumatera Utara;
Pada waktu meninjau beberapa PPS khususnya di kecamatan-kecamatan di Kota Medan, Saksi menemukan adanya kotak suara yang tidak bersegel khususnya di TPS 21 Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Labuhan. Kotak suara tersebut pada waktu di TPS masih dalam keadaan tersegel, tetapi setelah di PPS Kelurahan Bagan Deli, segalnya telah terbuka;
Akhyar Nasution Ir
Pada tanggal 4 Agustus, saksi menemukan adanya kecurangan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Pengadilan Negeri Sibolga menjatuhkan pidana penjara pada Benny Batubara, Kepala Desa Unti Mungkur II Kecamatan Tolang Kabupaten Tapanuli Tengah yang dinyatakan terbukti bersalah melanggar Undang-Undang Pilpres, yaitu menyontreng 51 lembar surat suara untuk pasangan SBY-Boediono;
Bahwa banyak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Deli Serdang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam DPT dan tidak mendapatkan formulir C-4 PPWP;
Bahwa di Binjai ada pemilih di bawah umur yang terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya, yaitu di Kelurahan Mencirem TPS 1, TPS 8, TPS 10, Kelurahan Tunggo Rono TPS 6, TPS 8, TPS 10, 11, 12 Kelurahan Tunggu Rono dan Kelurahan Timbang Langkat di Kecamatan Binjai Timur Kota Binjai;
Bahwa terjadi penggelembungan suara untuk Pasangan Calon Nomor 2 di Sumatera Utara berjumlah 2.715.639 suara. Berdasarkan laporan dari Tim Sukses Pemohon dilaporkan bahwa sebanyak 287.392 simpatisan Pemohon tidak terdaftar dalam DPT;
Achmad Zen
Saksi merupakan Kordinator Lapangan dari saksi Pemohon di Kota Tangerang;
Bahwa penyelenggara Pemilu di Kota Tangerang telah melakukan kecurangan yaitu Saksi mendapatkan laporan dari saksi-saksi Pemohon di lapangan bahwa saksi pasangan nomor 2 telah memegang C-1 sebelum dimulainya penghitungan suara;
Bahwa TPS 15 Kelurahan Sukajadi Kecamatan Karawaci ditemukan formulir ganda C-4 atas nama Farah Labibah Sulaiman dengan DPT Nomor 241 dan 48. Di TPS 6 terdapat pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, masing-masing bernama Dimas Kunto Wijanarko, Harjono Haripon Trianingsih, Natalia Worohapsari, Danardono Putra Danaru. Kader Pemohon yang tidak terdaftar di dalam DPT untuk Provinsi Banten, Pandeglang Lebak, Kota Cilegon Serang, Kota Tangerang Kabupaten Tangerang sebanyak 317.314 orang;
Rincian perolehan suara masing-masing pasangan calon adalah Pasangan Calon nomor 1 di Provinsi Banten memperoleh 1.389.285, Pasangan Nomor 2 memperoleh 1.423.507, Pasangan nomor 3 memperoleh 410.270, sedangkan penghitungan KPU untuk Pasangan Nomor 1 memperoleh 1.389.285, Pasangan Nomor 2 memperoleh 3.350.243, dan Pasangan Nomor 3 memperoleh 410.270, sehingga terjadi penggelembungan suara sebanyak 1.850.397;
Saksi membenarkan bahwa pada waktu penghitungan suara belum selesai ada formulir C-1 telah beredar;
Oki Agus S
Saksi merupakan saksi Pemohon (Mega-Prabowo) di TPS 9 Kelurahan Suka Rasa Kecamatan Kota Tangerang;
Pada waktu pemilihan Presiden, Ketua PPS mengucapkan slogan pasangan calon nomor 2, yaitu “lanjutkan”, sehingga menurut saksi slogan tersebut dapat mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan nomor 2;
Denny Handriathman Iskandar
Saksi merupakan saksi Pemohon (Mega Prabowo) pada rekapitulasi pleno di Provinsi DKI Jakarta;
Bahwa ada indikasi dari penyelenggara Pemilu di DKI menyembunyikan DPT kepada seluruh saksi dari calon pasangan nomor 1. Hak mana tidak sejalan ketentuan ketentuan Pasal 115 ayat (1) huruf C UU 42/2008 yang mewajibkan KPPS untuk menyerahkan salinan DPT yang termutakhirkan kepada saksi yang hadir dan pengawas di lapangan. Jikapun saksi memperoleh DPT, itu hanya berupa soft copy, sedangkan hard copy nya tidak pernah dibagikan oleh KPU DKI Jakarta dengan alasan tidak sanggup untuk mencetak karena terlalu banyak DPT tersebut;
Bahwa Pemohon telah banyak kehilangan suara yang diakibatkan karena adanya perpindahan TPS tanpa pemberitahuan, misalnya TPS 059 beralamat di Jalan Warung Jengkol RT 005/013 tetapi pada saat pemilihan dipindahkan ke Balai RW 014 yang beralamat di Jalan Gading Asri 3 perumahan Gading Nias. Kemudian TPS 081 beralamat di Jalan Raya Bekasi Lapangan RT 005/013, dipindahkan ke Warung Jengkol RT 005/013;
Bahwa di TPS 071, 073, 094 Kelurahan Semper Barat Kecamatan Cilincing ditemukan adanya gambar pasangan nomor urut 2 sudah dicontreng. Terhadap kecurangan tersebut, saksi mengajukan keberatan dan tidak menandatangani berita acara rekapitulasi;
Dyah Primastuti
Bahwa pleno KPU Jakarta Utara telah melakukan intervensi mengenai hasil rekapitulasi DPT di Kecamatan Penjaringan dalam rapat penghitungan suara yang dilaksanakan tanggal tanggal 16 Juli 2009. Dalam Rapat Pleno penghitungan suara tersebut, KPU Jakarta Utara memberi catatan untuk diadakan perbaikan DPT, karena tidak sinkron antara DPT versi C-1, KPU dan PPK, misalnya DPT di Kecamatan Penjaringan yang terdiri dari 32 TPS menurut C-1 untuk laki-laki berjumlah 8.754, menurut KPU berjumlah 8.927, dan menurut PPK Penjaringan berjumlah 8.744 . Untuk perempuan menurut C-1 berjumlah 8.341, menurut KPU berjumlah 8.172, dan PPK berjumlah 8.486, sehingga jumlah DPT untuk laki-laki dan perempuan menurut C-1 berjumlah 17.095, jumlah DPT menurut KPU berjumlah 17.099, dan jumlah DPT menurut PPK 17.230;
Saksi tidak menandatangani berita acara rekapitulasi dan telah mengajukan keberatan;
Bahwa di TPS 98 Kelurahan Pejagalan terjadi kelebihan surat cadangan sebanyak 100 lembar. Saksi telah memberikan teguran kepada PPK Penjaringan tetapi tidak dihiraukan;
Suaeb Hadi
Saksi merupakan saksi Pemohon di KPUD sekaligus koordinator saksi Pemohon di Kabupaten Malang.
Bahwa saksi dalam rekapitulasi suara di Kabupaten Malang tidak menandatangani berita acara, karena DPT masih bermasalahan;
Bahwa Undang-Undang (UU 42/2008) mewajibkan penyelenggara Pemilu memberikan DPT kepada saksi, tetapi ternyata kurang lebih 7.000 saksi Pemohon tidak pernah diberikan DPT. Selain itu, juga telah terjadi pengurangan TPS kurang lebih 6.600 menjadi 3.377, sehingga pengurangan TPS tersebut menyebabkan pemilih kesulitan untuk menggunakan hak pilihnya;
Jordan M.
Saksi merupakan saksi Pemohon untuk penghitungan di KPU Provinsi Jawa Timur;
Bahwa saksi menemukan pemilih ganda sebanyak 451 di Kecamatan Sidoarjo Kota, Kabupaten Sidoarjo, yang 392 pemilih mempunyai data sama, dan 59 pemilih mempunyai data yang hampir sama. Pada tanggal 24 Juni, KPU Provinsi Jawa Timur memberikan DPT berupa softcopy setelah melalui prosedur yang berbelit. Data DPT yang ada di dalam softcopy tidak memadai, ada TPS yang tidak dimasukkan dalam DPT, bahkan ada satu kelurahan/desa hanya ada satu TPS saja;
Bahwa di Kecamatan Sidoarjo Kota, Kabupaten Sidoarjo, ditemukan adanya 451 pemilih ganda, yaitu sebanyak 392 pemilih datanya sama, dan 59 pemilih datanya hampir sama. Demikian juga di Surabaya, Jember dan Kediri, softcopy mengenai DPT tersebut juga bermasalah. Saksi melaporkan temuan tersebut kepada KPU Provinsi Jawa Timur dan KPU sendiri membenarkan bahwa memang ditemukan adanya NIK ganda sebanyak 137.395, tetapi kemudian KPU melakukan ralat melalui suratnya Nomor 270/628/KPU Jatim/VII/2009, yang menyebutkan bahwa NIK ganda berkurang menjadi 44.471;
Bahwa Saksi menemukan adanya perbedaan berita acara antara di kecamatan dengan berita acara di kota/kabupaten, yaitu di Surabaya (Genteng, Semampir, Pabean, Cantikan, Rumpun), Sidoarjo (Tanggulangin dan Wonoayu), Kabupaten Pasuruan (Tutur, Kejayen, Sumorejo, Beji, Kraton, Gratir, Joso), Kota Probolinggo (Kademangan dan Kanigaran), Kota Pasuruan (Gadingrejo), Banyuwangi (Pesanggaran, Tegalblimo, Gambiran, Sempu, Licin), Bondowoso (Tlogosari, Wonosari, Bondowoso, Pracikan, Sumber Bringin), Situbondo (Suboh, Gendit, Situbondo, Kapongan, Arjasa, Jangkar, Banyu Putih, Jember (Rencong, Gumuk Mas, Umbul Sari, Balong, Rambipuji, Panti, Sumber Sari, Paku Sari, Jilebuk, Kalisan, Sidukombo, Sukowono dan Silo, Lumajang (Pasirian, Yosowilangun, Tekung, Senduro, Guci Alit, Padang, Sukodono, Sumber Suko, Kota Malang (Blimbing, Kedungkandang), Kota Batu (Junrejo), Kabupaten Kediri (Semen, Wates, Puncu, Ploso,Klaten, Tahu, gambing rejo, Grogol, Purwa asri, Plemahan, Pare, Kepung, Kunjang, Bringin Rejo dan Badas), Ponorogo (Sambit, Wulung , Balong, Sukorejo, Ponogoro, Jenangan, Ngebel. Nganjuk ada 3, Sawahan, Prambon, Gondang), Kota Madiun (Kartoarjo, Mangunarjo, Taman), Tuban (Kenduruhan, Suko, Jenu, Grabagan), Gresik (Kecamatan Kota Gresik), Bangkalan (Bangkalan, Soca, Kamal, Kokop, Kuanyir, Galis), dan Pamekasan (Tlanakan, Pademangu, Palemaan, Larangan, Waru, Kadur);
Bahwa ditemukan adanya perbedaan berita acara, misalnya di Jember. Perbedaan berita acara di Jember tersebut telah di perbaiki, tetapi perbaikannya hanya 1, padahal saksi mempermasalahkan 13 kecamatan. Sekalipun telah ada perbaikan, tetapi Saksi tidak menerima revisi tersebut, karena revisi berita acara tidak anda tangan dari saksi Pemohon di Jember;
Saksi menemukan adanya DPT yang tidak sesuai dengan SK KPU Nomor 356, yaitu di Situbondo, Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, Jombang, Kota Mojokerto, Tuban dan Sumenep;
Bahwa sepengetahuan saksi, kekacauan DPT di Jawa Timur menyebabkan sekitar 932.437 tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
Bahwa di TPS 08 Kelurahan Ngampel Kecamatan Mojoroto Kabupaten Kediri ditemukan dan dilakukan penangkapan kepada pemilih yang mencontreng lebih dari sekali;
Eko Kuswanto
Saksi merupakan Sekretaris Posko Jatim VII yang ditugaskan untuk mengkritisi DPT pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden;
Bahwa di Ponorogo, Ngawi ditemukan adanya anak di bawah umum terdaftar dalam DPT;
Bahwa saksi melakukan pengecekan DPT yang diserahkan kepada saksi tanggal 8, berdasarkan hasil pengecekan DPT tersebut ditemukan adanya DPT ganda. DPT ganda dapat diketahui cara melihat kode Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Sistematik Kependudukan bahwa pada NIK terdapat dua kode, misalnya Jawa Timur kode NIK nya adalah 35. Saksi menemukan sekitar 70% dari jumlah DPT yang ada di TPS di Jawa Timur, misalnya Magetan yang masuk dalam provinsi Jawa Timur semestinya menggunakan kode 35 tetapi ditulis 12;
Safron Situmeang
Bahwa Kepala Desa di Desa Utemukur bernama Benny Batubara telah melakukan pencontrengan sebanyak 51 suara di TPS 2, bahkan mengambil sisa surat suara yang berada di depan PPS. Kepala Desa Utemukur tersebut oleh pengadilan telah dijatuhi pidana penjara 18 bulan;
Bahwa surat suara yang telah dicontreng Kepala Desa tidak diikutkan dalam penghitungan di TPS, karena surat suara tersebut dijadikan bukti di Kepolisian;
Bahwa saksi mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada sekitar 20 anak yang masih berumur di bawah 12 tahun melakukan pencontrengan;
Mulyadi
Bahwa di Kelurahan Desusu Barat ada 5 pemilih terdaftar dalam Pemilu Legislatif, tetapi tidak terdaftar dalam Pemilu Presiden. Selain itu ada pemilih yang telah meninggal dunia, tetapi terdaftar dalam DPT Pilpres;
Darwis
Bahwa pada waktu saksi akan mencontreng di TPS 2 Kelurahan Budi Utara 2 Kota Palu, masih melihat gambar salah satu calon terpasang di TPS. Selain itu ada petugas KPPS yang mengarahkan pemilih untuk memilih salah satu pasangan calon Pilpres;
Mamat
Bahwa saksi menerima DPT dari KPU tanggal 6 Juli 2009 pukul 20.00. Kemudian Saksi pada pukul jam 00.30 melakukan verifikasi DPT dan menemukan adanya file kosong di dalam DPT KPU tersebut, misalnya Provinsi Sumatera Selatan;
Khairul Anwar, BSC
Saksi merupakan saksi dari Pemohon untuk KPU Provinsi Bengkulu;
Bahwa Saksi hanya menerima DPT dalam bentuk softcopy. Provinsi Bengkulu terdiri dari 9 kabupaten, tetapi dalam softcopy hanya mencatumkan satu Kabupaten Kepahyang, sedangkan 8 kabupaten lainnya tidak terdapat di dalam softcopy;
Bahwa DPT Kabupaten Kepahyang terdapat nama ganda yang tidak menyebutkan NIK. Bahwa 99 % pemilih yang terdaftar dalam DPT tidak ada NIK, sedangkan sisanya 1 % ada NIK tetapi NIK-ya sama;
Pemilih di Kabupaten Kepahyang berjumlah 99.987 pemilih, tetapi setelah pelaksanaan Pilpres pada saat rekapitulasi di KPU kabupaten, jumlah pemilih berubah menjadi 99.617, sehingga pemilih berkurang 370;
Bahwa KPU kabupaten telah mencoret DPT ganda sebanyak 161 yang dituangkan di dalam berita acara, tetapi di dalam berita acara disebutkan ada pengurangan, sehingga apabila 99.617 dikurangi 161 menjadi 99.456, tetapi ternyata jumlahnya bertambah menjadi 99.778;
Bahwa saksi tidak mengajukan keberatan;
Bahwa ditemukan dalam DPT ada dua orang anggota TNI/Polri yang masih aktif terdaftar dalam DPT;
Jaelaniwadis
Saksi sebagai koordinator saksi Pemohon untuk Kotamadya Bengkulu dan saksi di KPU Kabupaten Bengkulu;
Bahwa Gubernur Bengkulu Agustin M Najamudin (Ketua DPD Partai Demokrat) melalui suratnya Nomor 70/151/KPBPPM tanggal 12 Juni 2009 memberikan dukungan pemutakhiran data DPT dan sosialisasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 yang ditujukan kepada para kepala dinas, biro kantor di lingkungan pemerintah Provinsi Bengkulu. Di dalam surat pemuktahiran data pemilih tersebut dilampiri Surat Mendagri yang ditembuskan kepada KPU yang
mohon bantuan fasilitasi, terkait pemuktahiran data pemilih kepada RT, RW yang ditujukan kepada gubernur;
Bahwa pada waktu rapat pleno di PPK Kecamatan Ratu Samban tanggal 10 Juli 2009, Saksi mendapat laporan dari saksi Pemohon mengenai enam formulir C-1 di TPS 2, TPS 3, TPS 5, TPS 7, TPS 8, dan TPS 9 ditemukan berada di luar kotak suara;
Ridwan, SH
Bahwa saksi dan Tim Kampaye Pemohon di beberapa kabupaten/kota tidak diberi salinan DPT. Keadaan demikian berbeda dengan pada waktu pemilu legislatif, dimana Saksi diberi hardcopy DPT. Dalam Pemilu Pilpres, saksi meminta DPT kepada KPUD dan oleh KPUD diberikan dalam bentuk softcopy;
Bahwa di Jawa Tengah telah terjadi pengurangan TPS yang hal tersebut berdampak pada terhambatnya proses pemungutan suara di daerah, misalnya banyak kader/simpatisan Pemohon tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan jauhnya TPS dengan tempat tinggal mereka;
Bahwa beberapa kabupaten, seperti Kendal, Demak dan Rembang, DPT tidak ada NIK, bahkan di Desa Maguan Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah dari 1.908 pemilih, hanya 553 pemilih yang ber NIK, sedangkan sisanya sebanyak 1.355 pemilih tidak ada NIK nya;
Bahwa Termohon tidak melakukan up date DPT, karena setelah dicocokkan dengan data DPT yang ada dalam CD, masih banyak terdapat kesalahan antara lain penjumlahan, tidak sinkron antara tanggal lahir dengan umur. Selain itu, di Kota Kendal dan Demak, saksi banyak menemukan pemilih di bawah umum/belum dewasa dan belum nikah terdaftar dalam DPT;
Bahwa di wilayah Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Rembang Kecamatan Kragan, Desa Rowo Desa Tegal Sruhan telah ditemukan praktik money politcs yang dilakukan oleh Tarman dengan cara memberikan uang kepada warga Rohan sebesar Rp.10.000, dengan pesan agar warga tersebut untuk memilih pasangan nomor 2;
Bahwa tindak pidana Pemilu berupa money politic tersebut telah dilaporkan kepada Tim Kampaye Pemohon melalui suratnya nomor Pol: LP/01/VII/2009, tertanggal 11 Juli 2009, tanggal 31 Juli 2009 dan perkara dimaksud telah diputus oleh Pengadilan Negeri Rembang Nomor 116/PID.B/2009/PN.RBG yang menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 12 bulan dan
denda 6 juta rupiah. Terdakwa mengajukan banding, tetapi dicabut, sehingga putusan pengadilan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap;
18. Baginda
Saksi adalah merupakan Tim kampanye Pemohon (Mega-Prabowo) untuk wilayah Jawa Tengah;
Saksi tidak hadir dalam rekapitulasi suara di KPU Jawa Tengah, dengan alasan karena Tim Kampanye Mega Prabowo Jawa Tengah sejak Pileg sampai Pilpres tidak pernah mendapatkan DPT;
Bahwa sebagian besar saksi dan kader Pemohon yang berjumlah 760.000 terdaftar dalam DPT. Pada waktu penghitungan suara di TPS, Saksi Pemohon juga tidak diberikan C-1; 19. Ujang Dirmana, S. SP
Bahwa di Kabupaten Majalengka ada pemilih ganda, NIK ganda, dan pemilih di bawah umur yang ikut mencontreng;
Sekalipun saksi telah beberapa kali meminta DPT, tetapi KPU tidak pernah memberikan DPT tersebut, baik yang berupa hardcopy maupun softcopy;
Bahwa PPK telah melakukan perubahan DA-1 PPWP yaitu di Kecamatan Sumber Jaya, Kecamatan Jaya Tujuh, Kecamatan Cigasong, Kecamatan Suka Haji, Kecamatan Leuwi Munding, Kecamatan Talaga, Kecamatan Raja Galuh, Kecamatan Cigambul, Kecamatan Malusma, dan Nagapura tanpa memberikan kepada saksi pasangan calon yang berada di PPK;
Bahwa saksi menandatangani Berita Acara rekapitulasi suara di KPU Majalengka tanggal 16 Juli 2009 dengan memberikan nota keberatan. Pada tanggal 18 Juli 2009, saksi diundang oleh KPU untuk menandatangani berita acara perubahan di tiga kecamatan;
Bahwa terjadi pengurangan jumlah TPS yang tidak signifikan pada Pilpres, dimana jumlah TPS pada Pemilu Legislatif adalah 2.604, sedangkan pada Pemilu Presiden adalah 2.602, tetapi TPS yang dihilangkan tersebut keberadaannya sangat penting karena lokasinya di RSUD Majalengka;
Bahwa ada indikasi untuk mengutak-atik (sic) atau mengakali angka-angka perolehan suara sah dan suara tidak sah dari seluruh pasangan calon, tetapi Saksi tidak bukti mempunyai bukti yang akurat mengenai perubahan C-1 tersebut, karena Saksi Pemohon di TPS Majalengka tidak diberikan Model C-1; 20. Dolfie O. F. P
Saksi merupakan anggota Tim Kampanye Pemohon (Mega-Prabowo) yang diberikan tugas melakukan rekapitulasi penghitungan suara dari saksi-saksi Pemohon yang berada di TPS, koordinator desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi;
Bahwa berdasarkan laporan dari saksi Pemohon di TPS, koordinator desa, data-data dari kecamatan, kabupaten, maupun provinsi, ditemukan adanya penggelembungan suara dari pasangan nomor dua yang terjadi di 25 provinsi antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo;
Bahwa saksi mengetahui adanya penggelembungan suara tersebut yaitu dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari saksi Pemohon dengan data KPU;
[3.17] Menimbang bahwa terhadap keterangan saksi-saksi baik yang diajukan oleh Pemohon I maupun Pemohon II, Termohon (KPU serta jajaran di bawahnya) dan Bawaslu serta jajaran di bawahnya memberikan tanggapan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Keterangan KPU Kota Tangerang
KPU menyatakan formulir Model C-1 PPWP dicetak sudah dengan nama tiga pasangan calon dalam bentuk ketikan; kolom di bawah kosong untuk ditulis tangan;
Formulir C-1 dimaksud (yang bermasalah) memang ditemukan oleh Tim JK-Wiranto, dan formulir tersebut dinyatakan ilegal serta tidak dipergunakan oleh KPPS;
KPU Kota Tangerang menyatakan bahwa formulir C-1 yang padanya tercantum nama Pasangan SBY-Boediono dimaksud tidak ada dalam kotak suara, melainkan milik Pasangan Calon Nomor 2.
Keterangan KPU Sumatera Utara
Keterangan disampaikan oleh Ketua KPU Sumatera Utara, Irham Buana Nasution;
Tentang adanya Pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilih meskipun sudah menunjukkan KTP dan KK, dokumen KK asli diminta oleh KPPS untuk ditunjukkan demi menjamin tidak ada penyalahgunaan KK;
Temuan tentang adanya C-4 ganda telah diproses, dan Pemilih bersangkutan belum sempat menggunakan hak pilihnya;
Hingga saat ini KPU Sumatera Utara belum menerima laporan tentang adanya kotak suara yang tidak bersegel;
Mengenai permasalahan yang terjadi di Tapanuli Tengah, hingga saat ini KPU Sumatera Utara belum menerima salinan vonis Pengadilan Negeri terkait vonis permasalahan dimaksud.
Keterangan KPU Provinsi Banten
Keterangan disampaikan oleh Anggota KPU Provinsi Banten yang ditugaskan mengambilalih tugas KPU Kota Tangerang yang komisionernya ditahan karena kasus penggelembungan suara pada Pemilu Legislatif (untuk Golkar);
Formulir C-1 memang ada dibuat oleh saksi Pasangan Nomor 2, tetapi KPPS menggunakan formulir resmi dari KPU yaitu yang ada di dalam kotak;
Mengenai foto salah satu Pasangan Calon yang dilaporkan terpampang di salah satu TPS, hingga hari ini tidak ada laporan maupun proses oleh Panwaslu;
Semua saksi Pasangan Calon Nomor I, II, dan III menandatangani formulir tingkat kecamatan;
KPU provinsi memerintahkan agar petugas TPS mencoret jika ada pemilih ganda dan pemilih fiktif pada DPT;
Pada rekapitulasi kabupaten/kota Provinsi Banten semua saksi menandatangani BA, kecuali di Kota Tangerang yang hanya ditandatangani oleh saksi Pasangan Nomor Urut 2 dan Pasangan Nomor Urut 3. Saksi Pasangan Nomor Urut 3 baru sempat menandatangani 4 (empat) rangkap BA kemudian menghentikan tanda tangan karena ada instruksi dari Tim Pemohon;
Formulir C-1 yang dipermasalahkan baru diketahui setelah pemungutan suara berjalan;
Formulir C-1 yang dipermasalahkan adalah milik internal Tim SBY-Boediono dan bentuk formulirnya berbeda;
Perihal adanya tanda tangan KPPS dan cap basah pada formulir C-1 tidak resmi dimaksud, KPU Kota Banten belum memperoleh keterangan dari KPPS;
KPU Kota Tangerang mengetahui bahwa formulir C-1 tidak resmi tersebut milik internal Pasangan Nomor Urut 2 dari keterangan Panwaslu; dan karena ada nama Pasangan Nomor Urut 2 di formulir C-1 dimaksud;
KPU Kota Tangerang tahu ada formulir C-1 tidak resmi (internal salah satu Pasangan Calon) tetapi tidak melakukan penarikan;
Di luar kaitan dengan telah diketahuinya keberadaan formulir C-1 internal, KPU Kota Tangerang memberi instruksi kepada KPPS agar menggunakan formulir C-1 yang sah/resmi;
KPU Kota Tangerang menyatakan (i) seharusnya formulir C-1 tidak ada stempel; stempel hanya ada di tingkat PPK; (ii) KPU Kota Tangerang tahu ada formulir C-1 internal pada sekitar pukul 10.00 WIB; (iii) di Kota Tangerang terdapat 2.720 TPS (13 PPK);
KPU Kota Tangerang belum tahu apakah tanda tangan dalam formulir C-1 internal merupakan tanda tangan KPPS yang dipermasalahkan.
Keterangan KPU DKI Jakarta
KPU telah memberikan soft copy DPT kepada Pemohon dengan disertai tanda terima;
KPU mencetak 7 eksemplar DPT yang tiga diantaranya diserahkan kepada saksi-saksi di TPS;
Mengenai adanya pemindahan alamat TPS, alamat Jalan Raya Bekasi dan Jalan Warung Jengkol adalah sama, yaitu berlokasi di seberang Jalan Pulo Gadung;
Mengenai perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan di Penjaringan, menurut keterangan KPU Jakarta Utara, terdapat kesalahan penulisan jumlah laki-laki dan perempuan namun jumlah keseluruhan tetap sama;
Mengenai stiker materi contreng bergambar Pasangan Calon tertentu di TPS 71 SDN 09 RT 06/RW 19, sebenarnya stiker dimaksud tidak menempel di bilik suara melainkan di papan yang ada di sekitar TPS;
Di TPS 90 Pejagalan terdapat kelebihan surat suara sejumlah 100 lembar, dan telah ditindaklanjuti dengan perintah untuk cek ke TPS lain;
Sejak ditetapkan 28 Mei 2008 tidak ada perubahan terhadap DPT;
Pengguna KTP -sebagai syarat mengikuti pemungutan suara- lebih dari 60.000 Pemilih;
Terdapat pengurangan TPS dibanding pada saat Pemilu Legislatif sekitar 4.000 TPS dari semula sekitar 16.000 TPS. Hal ini dilakukan karena penduduk Jakarta cukup padat, yang pada satu jalan bisa terdapat beberapa TPS, sehingga jika pun dilakukan regrouping, lokasi adalah tetap di jalan yang sama;
KPU DKI Jakarta belum pernah mendengar kasus Gunawan Wahyu Bintoro;
Softcopy DPT berbasis TPS diberikan kepada Tim Kampanye sebelum hari pemungutan suara.
Keterangan KPU Kabupaten Malang
Tidak ada regrouping yang terjadi pada hampir setengah jumlah TPS;
Jumlah TPS pada Pemilu Legislatif adalah sejumlah 4.526 TPS, dan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah sejumlah 3.377 TPS;
Jumlah DPT Pemilu Legislatif adalah sekitar 1,6 juta, sedangkan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Prsiden adalah sejumlah 1.906.975 pemilih.
Keterangan KPU (Pusat)
KPU tidak pernah mengurangi jumlah TPS Pilpres. Sejak penetapan awal, jumlah TPS tidak berubah hingga selesai pemungutan suara;
TPS sudah dibentuk terlebih dahulu berdasarkan DPT yang ada, berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008;
Pemutakhiran DPS pada 10 April sampai dengan 25 Juni 2009; pada 28 Mei 2009 penetapan DPT berbasis nama untuk TPS; pada 30 Mei 2009 rekapitulasi DPT tingkat provinsi;
Terdapat dua keputusan KPU, yaitu (i) penetapan KPU tentang jumlah TPS; dan (ii) pembentukan TPS;
Ada DPT tanpa NIK sejumlah 30% di seluruh Provinsi Bengkulu sebagai akibat pemekaran;
Di Kabupaten Keoahiang tidak ada NIK karena Kepahiang adalah kabupaten pemekaran.
Keterangan KPU Provinsi Banten
KPU Provinsi Banten Menerima rekomendasi Panwaslu pada 14 Juli 2009 sedangkan proses di PPK berlangsung pada 10 Juli 2009;
Dari 13 kecamatan tidak ada yang mempermasalahkan formulir model C-1, dan semua saksi menandatangani berita acara tanpa ada yang mengajukan keberatan;
KPU Provinsi Banten tidak menggunakan formulir C-1 yang tidak resmi, sehingga KPU Provinsi Banten tidak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu;
Rekapitulasi oleh PPK dilakukan berdasarkan pada formulir C-1 yang berasal dari dalam kotak suara; bukan berdasarkan pada formulir C-1 tidak resmi yang dipegang Panwaslu.
Keterangan KPU Jawa Timur
Softcopy DPT tidak diberikan jauh-jauh hari kepada Pemohon karena memang pada dasarnya KPU tidak wajib memberikan softcopy DPT;
Sampai saat softcopy DPT diberikan, ternyata masih ada kesalahan. KPU menindaklanjuti hal tersebut dengan memberikan kolom keterangan pada DPT untuk mencegah agar Pemilih yang tercatat ganda tidak memilih dua kali;
KPU Jatim melihat surat suara yang dilaporkan telah ditandai di TPS Ploso; KPPS menerangkan kepada KPU bahwa saat diberikan kepada pemilih surat suara tersebut belum ditandai, namun setelah masuk ke bilik suara baru muncul kesaksian bahwa surat suara dimaksud telah ditandai sebelumnya;
Tidak ada satupun perubahan rekapitulasi tingkat kabupaten/kota yang tidak disertai berita acara;
Di 6 (enam) kabupaten, saksi Pemohon memang tidak membubuhkan tanda tangan;
Pemilih yang mencontreng dua kali telah ditindak, bahkan divonis sekitar 6 bulan;
Sekitar 49 ribu pemilih di Jawa Timur menggunakan KTP.
Keterangan KPU Pamekasan
Mengenai dalil bahwa terdapat anak di bawah umur yang masuk dalam DPT, berdasarkan diverifikasi ternyata telah berusia lanjut.
Keterangan KPU Kota Sidoarjo
Terkait DPT ganda, telah ada instruksi kepada KPPS dan PPS agar mencoret NIK ganda dan nama lain yang tidak memenuhi syarat;
Pada DPT yang dibagikan kepada saksi TPS telah tercantum coretan yang membuktikan bahwa undangan dan surat suara tidak diberikan secara ganda.
DPT hasil rekapitulasi penghitungan suara sama persis dengan Keputusan KPU Nomor 365;
KPU Kota Sidoarjo membacakan rekapitulasi dalam sidang Pleno KPU Provinsi di hadapan saksi-saksi, termasuk Saksi Yordan, dan tidak ada yang menyatakan keberatan.
Keterangan KPU Sumatera Utara
Tidak menerima laporan dari Panwaslu mengenai adanya pidana pemilu seperti terlihat pada rekaman yang ditunjukkan oleh Saksi Safron Situmeang.
Keterangan KPU Provinsi Bengkulu
Pada 2 Juni 2009 menyisir DPT ganda dan menemukan adanya 161 pemilih di Kepahiang yang tercatat ganda; ditemukan juga identitas tercatat ganda di TPS khusus di rumah sakit di Kepahiang;
Penambahan jumlah suara yang didalilkan oleh Saksi Khairul Anwar dilakukan karena ada revisi penambahan TPS rumah sakit yang sebelumnya tidak dimasukkan;
Di Kabupaten Kepahiang 100% pemilih tidak memiliki NIK. Angka 6 digit yang ditampilkan Saksi dalam Bukti Pemohon adalah kode wilayah -yang menjadi bagian dari identitas KTP-;
Terdapat TPS yang bertempat di Rumah Sakit Umum Kepahiang.
Keterangan KPU Provinsi Jawa Tengah
NIK tidak disyaratkan untuk tercantum dalam DPT;
NIK belum selesai karena program SIAK baru akan selesai pada tahun 2011;
Softcopy DPT memang tidak diserahkan pada tingkat provinsi; hanya diserahkan di tingkat kabupaten/kota.
Keterangan KPU Jawa Barat
Pada rapat KPU Provinsi Jawa Barat, KPU Kabupaten Majalengka diminta menjelaskan perihal DPT di hadapan saksi Pasangan Nomor Urut 1. Saksi Pasangan Nomor Urut 1 menyatakan tidak perlu jawaban, kemudian menandatanganinya.
Keterangan Bawaslu
Bawaslu menerima laporan dari Panwaslu Kota Tangerang bahwa Panwaslu bersangkutan sudah memproses laporan mengenai masalah formulir C-1 yang di dalamnya telah tercetak nama Pasangan SBY-Boediono. Keterangan Panwaslu Provinsi Banten
Memperoleh laporan dari Panwaslu Banten bahwa terdapat formulir C-1 tidak resmi di 2 (dua) TPS di Kota Tangerang;
Panwaslu Provinsi Banten hanya menerima laporan dari Panwaslu Kota Tangerang mengenai adanya 1 formulir C-1 tidak resmi setelah pemungutan suara. Tindak lanjut terhadap formulir C-1 tidak resmi dilakukan oleh Panwaslu Kota Tangerang, bukan oleh Panwaslu Provinsi Banten.
Keterangan Panwaslu Kota Tangerang
Pada hari Rabu, 8 Juli 2009 sekitar pukul 09.00 WIB menerima informasi bahwa formulir C-1 telah beredar di sejumlah TPS;
Pukul 09.30 WIB berkoordinasi dengan Panwaslu Kecamatan, 104 kelurahan, dan 2.270 TPS, serta meminta agar PPL memperhatikan setiap saksi di TPS apakah ada yang membawa formulir C-1. Jika ditemukan formulir C-1 yang tidak sah, supaya ditarik;
Pukul 10.00 WIB fungsionaris beberapa partai antara lain dari partai DPC Golkar, DPC PDI-P, dan sejumlah kader pendukung Mega-Prabowo dan JK- Wiranto meminta agar Panwaslu Tangerang menindaklanjuti adanya formulir C-1 yang tidak sah;
Pukul 11.30 koordinator Mega- Prabowo Kota Tangerang melaporkan dugaan pelanggaran C-1 di TPS;
Panwas mengundang sejumlah pihak untuk klarifikasi, yang kemudian pada Pleno 13 Juli 2009 memutuskan adanya pelanggaran administrasi dan disampaikan kepada KPU Kota Tangerang;
PPL Panwaslu menarik sejumlah 33 formulir C-1 versi pasangan calon tertentu di Kecamatan Tangerang yang antara lain terdapat di 16 TPS di Kecamatan Tanah Tinggi dan Kecamatan Sukasari; di Kecamatan Priok di 14 TPS meliputi Kelurahan Gembor, Kelurahan Sangiang Jaya, dan Kelurahan Priok. Di Kecamatan Karawaci ditemukan 1 lembar di Kelurahan Grendeng; di Kelurahan Larangan ditemukan di 1 TPS; di Kelurahan Cipadu, dan Kelurahan Pedurenan;
Formulir C-1 tidak resmi ada yang kosong sama sekali; ada yang diisi nama saksi tanpa angka; ada yang sudah diisi angka; dan ada nama Pasangan Nomor 2 yang sudah dicetak;
Menindaklanjuti laporan adanya formulir C-1 tidak resmi tersebut, Panwaslu Kota Tangerang berkoordinasi dengan Panwascam; selanjutnya Panwascam berkoordinasi dengan PPL; kemudian Petugas PPL mengambil formulir tersebut dari saksi TPS Pasangan SBY-Boediono;
Dalam proses klarifikasi dengan para pihak, saksi SBY-Boediono mengakui membawa formulir C-1 tidak resmi sebagai antisipasi seandainya tidak mendapat formulir C-1 resmi dari TPS;
Panwaslu memiliki formulir C-1 tidak resmi bukan dari penyerahan secara sukarela, melainkan karena formulir tersebut diminta oleh PPL;
Dari 33 formulir C-1 tidak resmi yang ditarik, sebagian kosong, sebagian telah diisi, sebagian ditandatangani saksi, dan sebagian ditandatangani saksi TPS;
Berdasar klarifikasi dengan 3 anggota Tim Pemenangan SBY-Boediono, satu di antaranya mengakui membuat formulir C-1 versi Pasangan SBY-Boediono;
Formulir C-1 tidak resmi tidak sempat dipergunakan;
KPU tidak mempergunakan formulir C-1 tidak resmi dalam proses penghitungan suara;
Tidak ada saksi Pasangan Calon yang mengajukan keberatan pada saat proses penghitungan;
Formulir C-1 tidak resmi ditarik oleh PPL, dan pada saat penghitungan suara saksi-saksi diberi formulir C-1 resmi oleh KPU.
Keterangan Panwaslu Kota Jakarta Selatan
Menerima informasi bahwa sekitar 1.500 nama tidak masuk;
Di Kecamatan Penjaringan, menurut dugaan Tim Kampanye Mega-Prabowo, terdapat kelebihan surat suara.
[3.18] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar keterangan di bawah sumpah ahli yang dipanggil oleh Mahkamah dalam persidangan tanggal 7 Agustus 2009, sebagai berikut: DR. H. Abdul Rasyid Sholeh, M.SI. (Dirjen Administrasi Kependudukan Depdagri)
Pada tahun 1996 Departemen Dalam Negeri memperkenalkan suatu sistem yang disebut dengan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. Dalam perjalanan Nomor Induk Kependudukan dilandasi dengan suatu dasar hukum yang disebut dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1A Tahun 1996
mengenai Penerapan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. Satu tahun lebih hampir semua daerah mulai melaksanakan yang disebut penerapan Nomor Induk Kependudukan dimaksud. Tetapi dalam perjalanan di tahun 1997 tiba-tiba terjadi suatu fluktuasi harga untuk perangkat keras sehingga banyak daerah yang setengah jadi dalam penerapan Nomor Induk Kependudukan itu. Akhirnya pada tahun 1998 tidak terurus dengan baik Nomor Induk Kependudukan ini di daerah kabupaten/kota;
Tahun 2002 hampir semua kabupaten/kota kacau menyangkut penerapan Nomor Induk Kependudukan. Karena yang menandatangani KTP adalah Kantor Transmigrasi dan Kependudukan di bawah Departamen Transmigrasi. Oleh karena itu dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan dua tahun untuk menata Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di kabupaten/kota. Keputusan dari Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan disahkan di penghujung Tahun 2002, penataan personil dan seluruh perangkat tumpang sari sampai sekarang ini di Gedung Departemen Transmigrasi, karena pada umumnya pegawainya terdiri dari 99% dari Departemen Transmigrasi. Oleh karena itu penataan personil di Direktoral Jenderal Administrasi Kependudukan untuk mengurus Nomor Induk Kependudukan ini nanti berfungsi baik di tahun 2005;
Bahwa semua perangkat yang diperuntukkan untuk mengurus Nomor Induk Kependudukan tidak ada sanksi pidana di dalamnya dan tidak ada kepatuhan bagi kabupaten/kota untuk menerapkan Nomor Induk Kependudukan. Itu sebabnya di badan legislasi DPR dan Komisi II pada akhir tahun 2005 memprioritaskan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan dan selesai pada tanggal 29 Desember Tahun 2006. Dengan keluarnya Undang-Undang tersebut barulah semua kabupaten/kota dan seluruh bupati walikota bersama gubernur memaksakan seluruh penduduk yang melakukan pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil untuk menerapkan Nomor Induk Kependudukan;
Bahwa Nomor Induk Kependudukan mulai berjalan secara efektif pada Tahun 2007. Bersamaan dengan itu proses seluruh PP yang diamanatkan oleh undang-undang sebanyak delapan PP dan diselesaikan dalam waktu enam bulan;
Menurut Ahli yang sangat mengejutkan alasan penyusunan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 adalah diwajibkannya pencantuman NIK. Ahli telah memberikan alasan pada waktu itu bahwa belum seluruh penduduk dengan jumlah penduduk the whole population dan letak geografis yang ekstrim maka sekitar untuk 2008 dicantumkan semua Nomor Induk Kependudukan bagi seluruh penduduk. Tetapi pada waktu itu baik Pansus, Panja, dan Panitia perumus mengatakan bahwa tidak ada salahnya sebab bukan satu-satunya elemen yang dicantumkan melainkan ada lima elemen, yang pertama adalah Nomor Induk Kependudukan, yang kedua nama, jenis kelamin alamat dan tempat tanggal lahir;
Oleh karena itu, Ahli memberikan persetujuan namun kurang sreg bahwa dengan adanya lima elemen tersebut, walaupun tanpa NIK tetapi ada nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat tempat tinggal. Dan itu juga sekaligus Ahli jadikan pedoman di dalam DP4 (Daftar Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk) selanjutnya diserahkan oleh KPU pada Tahun 2004 kepada Menteri Dalam Negeri untuk menjadi salah satu cila bakal dalam rangka memutakhirkan data dalam rangka penerapan NIK tersebut;
Bahwa penerapan NIK di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memang berakhir di 2011. Pasal 101 Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan, mengatakan bahwa Pemerintah memberikan NIK paling lambat 5 tahun kemudian sejak disahkan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan. Artinya 5 tahun interval waktu sampai dengan 29 Desember 2011. Jadi memang ada antara de juredan de facto memang ada hal-hal yang memungkinkan untuk tidak semua penduduk mendapatkan Nomor Induk Kependudukan;
Bahwa tidak ada negara di dunia dalam rangka proses penerapan namanya social security number, social identification number di seluruh negara paling cepat berkisar antara delapan, sepuluh tahun. Itupun jarang penduduk dengan the whole population seperti Indonesia. Jadi sesungguhnya penerapan NIK yang sudah dilaksanakan dalam rangka penyerahan DP4 kepada Pemerintah sudah sangat bekerja keras Pemerintah untuk memberikan nomor kependudukan walaupun memang tidak sempurna sebagaimana yang diharapkan. Dan tidak seluruh penduduk memang mempunyai Nomor Induk Kependudukan. Undang-Undang juga memberikan ketegasan dan karena itu Ahli meminta bahwa 5 tahun kemudian dengan pertimbangan bahwa letak
geografis yang ekstrim dan tingkat kesadaran masyarakat;
Bahwa tingkat partisipasi, individual consciousness apalagi kesadaran kolektif bagi masyarakat sama sekali sangat rendah dalam rangka ID card. Bahkan jarang sekali ditemukan seorang keluarga yang meninggal kecuali kepentingan yang mendesak melaporkan bahwa ada keluarganya yang meninggal, ada keluarganya yang pindah, padahal bukan satu elemen saja, elemen dari berbagai substansi yang menyangkut pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil ini menyangkut kelahiran, menyangkut kematian, menyangkut perkawinan, menyangkut perceraian, menyangkut perubahan status, perubahan jenis kelamin, banyak sekali faktor yang mempengaruhi;
Belum lagi menyangkut surat keterangan kependudukan, menyangkut biodata, menyangkut KK, menyangkut KTP. Banyak orang yang mengambil KTP hanya menumpang Kartu Keluarga tapi dia tidak tinggal di situ. Berdasarkan hasil penelitian Ahli, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri bahwa seorang penduduk hanya boleh memiliki satu KTP, tetapi on the other hand secara living reality itu satu penduduk sepuluh KTP-nya. Sebab, nampaknya paradoks di antara peraturan pemerintah sendiri, dan itu harus segera dihapuskan oleh Undang-Undang ini;
Badan Pertanahan sejak dahulu memberikan prasyarat bahwa jika ada seseorang penduduk Jakarta mau membeli tanah di Makasar harus punya KTP Makasar, padahal kita tahu bahwa power and authority untuk KTP bukan di tangan BPN, tetapi di tangan Menteri Dalam Negeri. Di pihak lain Menteri Perindustrian dan Perdagangan, siapa yang punya PT di Jakarta mau buka branch di Mataram atau di Bali harus punya KTP notaris untuk menandatangani keabsahan PT itu. Jadi tidak ada pilihan lain kecuali menerapkan Undang-Undang ini dengan menerapkan Nomor Induk Kependudukan Nasional itu secara baik dan kita akan buktikan sampai dengan tahun 2011. Itu juga sebabnya sehingga beberapa hal yang memungkinkan kita untuk tidak selalu memperdebatkan hal-hal yang tidak berujung pangkal tanpa by law and by force. Sebab sepanjang tidak ada pidana bagi yang dua KTP-nya itu tidak akan jalan negara ini. Ahli terkejut begitu diangkat menjadi Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan hanya dilandasi dengan Keppres dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang Ahli juga sering bertempat tinggal di luar negeri dan sering berkunjung di luar negeri, berpendidikan di luar negeri,
Ahli tidak pernah melihat satu aturan administrasi kependudukan yang tidak dilandasi dengan pidana. Di Arab, 11 tahun orang untuk warga negara luar baru dapat memohon menjadi warga negara di sana, itu pun 1 hari kembali ke negara asalnya atau ke luar itu tidak diperbolehkan;
Bahwa masalah NIK memang tidak ada jaminan bagi Undang-Undang untuk seluruh penduduk memilikinya karena memang masih ada interval waktu sampai 2011. Tetapi bagi Nomor Induk Kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri semua bernomor induk kependudukan. Seluruh DP4 yang diserahkan kepada KPU bernomor induk kependudukan dan itu dapat Ahli buktikan. Kedua, data yang diserahkan ke Departemen Dalam Negeri khususnya cq. Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan adalah data yang bersumber dari kabupaten/kota dan provinsi. Bukan rekayasa Direktorat Administrasi dan Kependudukan. Pada saat penyerahan data DP4 adalah diserahkan simultan oleh Menteri Dalam Negeri per tanggal 5 April kepada KPU dan Gubernur, kepada KPU Provinsi, bupati walikota, kepada KPU kabupaten/kota. Data itu sama semua yang diserahkan dan bersumber dari KPU kabupaten/kota cq. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada 5 April. Pada 6 April otomatis diserahkan berdasarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah KPU yang langsung 6 April diperintahkan oleh Undang-Undang ini untuk memutakhirkan data kependudukan dan diserahkan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;
Bahwa semua DP-4 yang diserahkan oleh Pemerintah kepada KPU secara berjenjang telah ber-NIK . Kedua, bahwa memang tidak ada jaminan seratus persen bahwa dalam DP-4 yang diserahkan sudah ber-NIK, itu terbuka peluang bahwa dua orang dapat terdaftar NIK-nya di dua daerah berdasarkan KTP yang dimiliki selama 63 tahun. Kejadian itu sejak merdeka sampai dengan 64 tahun orang dapat memiliki, penduduk Depok, dapat memiliki KTP Depok dan KTP DKI idem begitu penduduk Makasar dapat punya KTP DKI dan punya KTP Makasar. Berdasarkan amanat Undang-Undang bahwa tiga kunci utama dalam rangka pemutihan KTP, yaitu pertama, nomor induk kependudukan, kedua, sidik jari, dan ketiga, rekaman elektronik, itu segera akan dilaksanakan dengan biaya APBN. Pasal 13 dalam Undang-Undang a quo menyatakan bahwa setiap penduduk wajib memiliki Nomor Induk Kependudukan, Pasal 63 mengatakan
bahwa KTP dan NIK, NIK yang melekat pada KTP wajib diikuti dengan sidik jari. KTP yang ber-NIK secara nasional wajib diikuti dengan rekaman elektronik, Pasal 64 dalam Undang-Undang ini;
Bahwa daftar pemilih, ada NIK dan ada juga yang tidak ada NIK. Itu benar. Setelah menjadi DPS dan DPT. Sebab jika ingin dikemukakan secara jujur bahwa baik Pemerintah maupun KPU sebenarnya dengan dasar Undang-Undang itu sudah banyak celah yang dapat dilihat dari Pileg dan Ahli sudah mengemukakan kepada seluruh pihak bahwa ini membahaya jika DPT ditetapkan Oktober dan hari H Pemilu itu pada bulan April. Interval waktu 5 bulan itu bukan kecil perubahan penduduk yang lahir, yang cukup usia 17 tahun, yang kawin, yang pindah tempat, yang TNI/Polri Pensiun;
Bahwa menyangkut NIK 16 digit, Pemerintah tidak menyerahkan 15, atau 14, atau 13 digit. Semua yang diserahkan 16 digit sebab itu adalah ketentuan dalam undang-undang termasuk PP dan Peraturan Presiden. Bahwa 6 digit pertama adalah kode wilayah, provinsi kabupaten, kota, kecamatan, 6 digit kedua adalah tanggal, bulan, dan tahun lahir, dan 4 digit terakhir menyangkut by system nomor urut;
Berdasarkan surat permintaan dari KPU kepada Menteri Dalam Negeri untuk membantu melakukan bantuan personil dalam rangka operator bagi kabupaten/kota, KPU kabupaten/kota yang tidak tersedia manusianya untuk melakukan entry data. Jadi tidak pernah Menteri Dalam Negeri memerintahkan untuk melakukan pemutakhiran kepada gubenur tetapi sebelumnya banyak surat Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pemutakhiran dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang tentang Administrasi Pembangunan guna pembangunan database kependudukan;
Bahwa Ketua KPU meminta kepada Menteri Dalam Negeri dalam masa penyusunan DPS dan DPT, karena tidak ada tenaga maka dimintakan tenaga dinas kependudukan catatan sipil dalam rangka meng-entry data, operator di kabupaten/kota;
Bahwa program administrasi kependudukan dengan segala kelengkapan dan kekurangan penyerasian, atau kelemahan yang didapati itu memang kehendak Undang-Undang kependudukan untuk menyempurnakan dalam rangka melaksanakan pemutihan KTP untuk seluruh Indonesia. Sebab, memang ada kewajiban. NIK tersebut adalah satu kunci daripada penerapan Undang
Undang a quo. Ada tiga kunci utama yang paling penting, yaitu pertama adalah NIK, kedua, dalah sidik jari, ketiga adalah rekaman elektronik. Semua pasal mewajibkan dalam rangka penerapan KTP secara nasional. Jadi tentu segala kekurangan dan kelemahan dalam rangka ini menjadi pelajaran dan menjadi improve sampai penerapan di tahun 2011;
Bahwa tidak ada dinas kependudukan untuk membatasi pemberian NIK. Karena itu kewajiban dinas kependudukan untuk memberikan NIK, dan tidak dapat ditunda. Persoalannya sekarang manakala sudah diserahkan data dan ada penduduk yang tiba-tiba melapor di KPU dalam rangka pemutakhiran DPS dan meminta NIK, itu tidak bisa diberikan. Sebab, untuk mendapatkan NIK ada proses. Dia mengisi formulir biodata yang namanya 31 elemen, dan seterusnya, dan itu diproses di Direktorat Jenderal dalam rangka konsolidasi dan kreditabilitas data;
Bahwa NIK itu tidak berubah sesuai dengan Undang-Undang a quo, yang berubah adalah alamat, karena di dalam KTP dalam Undang-Undang a quo harus ada alamat. Karena, KTP adalah asas domisili, berbeda dengan pencatatan sipil, asas peristiwa. Tetapi untuk ID card dia wajib dan itu universal. Bahwa ID card adalah asas domisili. Jadi kalau NIK tidak berubah tetapi alamat berubah harus ganti KTP, tetapi NIK nya tidak berubah, sama dengan orang yang pindah Departemen, NIKtidak berubah tetapi dia pindah Departemen itu tidak masalah. Tetapi alamat harus berubah, sebab manakala meninggal dia tidak berubah, baru kembali dengan alamat yang benar kalaupun ada yang mengenali.
Ahli IR. H. Irman, M.SI., Direktur Pendaftaran Penduduk, Depdagri
Bahwa NIK yang diserahkan (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU memang sudah ber-NIK. Akan tetapi setelah diserahkan tanggal 5 April 2008, KPU melakukan pemutakhiran, ada perubahan data, ada tambahan data kependudukan, ada yang baru kawin, dan lain sebagainya, ada yang belum terdaftar tetapi waktu pemutakhiran ada tambahan, itu tidak dapat diberikan NIK-nya oleh KPU. Oleh karena menurut Ahli apabila dalam DPT ada yang tidak ber-NIK, itu memang merupakan sesuatu yang sangat dimungkinkan, bukan karena kesalahan KPU, karena KPU tidak berwenang untuk menerbitkan NIK. Di pihak lain pemerintah tidak dapat lagi ikut di dalam proses DPS maupun DPT;
Bahwa Ahli mendapatkan informasi dari beberapa media, katanya ada DPT yang tidak ber-NIK. Memang itu sangat dimungkinkan karena KPU tidak berwenang untuk memberikan NIK. Yang berwenang memberikan NIK adalah Pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Tetapi setelah 5 April Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak boleh ikut di dalamnya. Itulah penyebab adanya DPT yang tidak ber-NIK;
Adanya NIK ganda atau data ganda. Bahwa sebenarnya data ganda tidak dapat hanya dilihat dari NIK ganda, karena dalam Undang-Undang Nomor 10 dinyatakan minimal ada 5 elemen data. Kalau 5 elemen data itu ganda, berarti baru ganda, kalau memang NIK-nya ganda, tetapi elemen data yang lainnya memang tidak ganda itu belum dapat dikatakan ganda. Jadi kalau memang ke 5 elemen data itu ganda, baru dapat dikatakan ganda;
Bahwa untuk mengatakan ganda sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 33, bahwa daftar pemilih itu sekurang-kurangnya memuat NIK, jenis kelamin, alamat di elemen data. Jadi kalau 5 elemen data itu sama baru pemilihnya ganda. Tetapi kalau salah satu ganda, hanya namanya yang ganda, dapat namanya sama tetapi tanggal lahirnya beda, itu tidak ganda pemilihnya. Oleh karena itu menurut Ahli, kalau untuk melihat ini sesuai dengan Undang-Undang, kalau dikatakan pemilih itu ganda;
Bahwa setelah DP4 diserahkan semua DPT itu tidak ber-NIK. Kalau semua DPT ber-NIK, yang tidak ber-NIK kemungkinan adalah tambahan yang tidak tercover pada waktu di DP-4 kemudian pada waktu pemutakhiran dia muncul. Jadi tambahan dari DP-4. Jadi kalau tambahan dari DP4, KPU tidak berwenang untuk memberikan NIK.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon I dan Pemohon II, Termohon memberikan jawaban yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut:
Jawaban Termohon Terhadap Pemohon I
Dalam Eksepsi
Objek Pemohon I dan Pemohon II Bukan Merupakan Objek PHPU
bahwa Objek Pemohon Bukan Merupakan Objek PHPU sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 201 ayat (1)
dan ayat (2) juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 Pasal 4, karena isi permohonan Pemohon tidak berhubungan dengan “hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. – Tidak ada satu kalimat pun di dalam permohonan Pemohon yang berhubungan dengan “hasil penghitungan suara”. – Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak dapat dikualifikasikan sebagai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, sehingga cukup beralasan untuk menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Permohonan Pemohon I Kabur
o Bahwa isi permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (3) butir b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tanggal 5 Maret 2009, tentang Pedoman Beracara dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan: ”Permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai:
Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon;
Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”
o Bahwa dalil Pemohon tidak menguraikan secara jelas TPS berapa dan dari kabupaten/kota mana yang bermasalah, dengan demikian permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (3) butir b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tanggal 5 Maret 2009. Dengan demikian jelas bahwa permohonan Pemohon secara yuridis merupakan permohonan yang tidak jelas atau kabur (obscuur libel), sehingga cukup beralasan untuk menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima;
Jawaban Termohon Atas Perubahan Permohonan Pemohon
Bahwa terhadap perubahan materi Permohonan Pemohon yang disampaikan dalam persidangan pertama. Ketentuan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Persetisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden hanya memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan bukan
perubahan. Selengkapnya Peraturan Mahkamah Konstitusi menyebutkan: "Perbaikan permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon hanya dalam persidangan hari pertama baik atas kemauan sendiri maupun atas nasehat hakim". Permohonan Pemohon yang dibacakan dihadapan persidangan pertama, tanggal 4 Agustus 2009, Pemohon tidak sekedar melakukan perbaikan tetapi tetah melakukan perubahan dengan menambah objek sengketa;
Bahwa dalam permohonan Pemohon yang teregister oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Juli 2009, Pemohon tidak mendalilkan masalah penghitungan suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009. Namun dalam perbaikan, Pemohon melakukan perubahan permohonan dengan menambah objek sengketa. Dalam hal terdapat perbaikan terhadap permohonan Pemohon, tidak boleh mengubah dan atau menambah objek sengketa. Hal demikian dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum. bagi Termohon dalam menghadapi sengketa hukum;
Apa yang dilakukan oleh Pemohon sebenarnya bukan memperbaiki atau merubah permohonan, melainkan mengganti permohonan;
Bahwa untuk memberi kepastian hukum kepada Termohon, sudah selayaknya Mahkamah mengesampingkan penambahan objek sengketa yang diajukan oleh Pemohon;
Dalam Pokok Perkara
Bahwa Dalil Pemohon yang menyatakan Termohon tidak adil dan memihak salah satu pasangan calon merupakan dalil yang tidak berdasar atas hukum, karena:
Termohon telah melaksanakan tugas secara cermat dengan melakukan koreksi pada rancangan bahan-bahan sosialisasi termasuk spanduk tata cara penandaan surat suara (bukti : hasil koreksi bahan sosialisasi), yang ditindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 1183/KPU/VI/2009 tanggal 26 Juni 2009 yang isinya memerintahkan kepada jajaran penyelenggara Pemilu untuk menarik spanduk sosialisasi yang dapat diinterpertasikan memihak pada salah satu pasangan calon;
berkaitan dengan dalil terhadap masalah sosialisasi, KPU telah menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu untuk memeriksa ketua Pokja sosialisasi dan hasilnya telah disampaikan kepada Bawaslu beserta bukti-bukti pemeriksaan yang menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran kode etik;
spanduk (yang dianggap bermasalah tersebut) bukan merupakan satu-satunya media sosialisasi yang digunakan oleh Termohon. Terdapat banyak media sosialisasi lain yang diterbitkan oleh Termohon berupa spanduk, poster, leaflet, brosur, iklan layanan masyarakat dan lain-lain yang jumlahnya jauh lebih banyak yang telah memberikan informasi secara benar dan adil serta tidak ditujukan untuk menguntungkan salah satu pasangan Capres-Cawapres.
Bahwa dalil Pemohon mengenai Termohon (KPU) telah sewenang-wenang mengundurkan hari yang ditetapkan oleh KPU sendiri (dari tanggal 2 Juni menjadi 10 Juni 2009), adalah tidak benar, karena yang terjadi adalah justru pengajuan jadwal. – Tindakan Termohon ini dibenarkan oleh Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008, khususnya pasal 21 dan pasal 40 yang mengatur tentang waktu penetapan calon dan waktu kampanye;
Bahwa dalil Pemohon terkait dengan penyusunan DPT, merupakan dalil yang tidak benar, dengan alasan dan fakta-fakta sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemuktahiran daftar pemilih Pemilu Presiden Wakil Presiden Tahun 2009, Termohon menetapkan jadwal waktu pelaksanaan tahapan pemuktahiran daftar pemilih sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang telah diubah beberapa kali dengan Peraturan KPU Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan KPU Nomor 45 Tahun 2009;
Bahwa Termohon telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2009 dan melaksanakan rapat kerja bersama KPU Provinsi se–Indonesia untuk memberi pedoman pelaksanaan pemutakhiran daftar pemilih kepada KPU Provinsi, KPU Kabupaten Kota, PPK, PPS dan PPDP;
Bahwa dalam upaya menindaklanjuti pedoman KPU tentang pelaksanaan tahapan pemutakhiran daftar pemilih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU Provinsi bersama KPU Kab/Kota, PPK, PPS telah melakukan koordinasi secara berjenjang untuk melaksanakan sosialisasi, penyusunan bahan DPS, pengumuman DPS, penyusunan DPS Hasil Perbaikan (DPSHP) dan menetapkan DPT.
Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan KPU dengan telah sengaja atau setidak-tidaknya lalai menindaklanjuti temuan pasangan calon ataupun masyarakat serta Bawaslu terkait penyusunan DPT, tidak disertai dengan data dan fakta yang akurat;
Bahwa dalil Pemohon mengenai pelaksanaan hak angket oleh DPR RI merupakan dalil yang tidak relevan, karena hak angket yang dilakukan oleh DPR-RI tersebut dilakukan untuk masa penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, bukan untuk masa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa dalil-dalil Pemohon yang menyajikan data hasil penyisiran softcopy DPT yang dilakukan oleh Pemohon (vide permohonan angka 2.11, angka 2.11.1, angka 2.11 .2, angka 2.11.3, angka 2.11.4, angka 2.11 .5) adalah tidak berdasar atas hukum. Fakta menunjukkan bahwa berdasarkan keterangan Tim KPU yang melakukan pendampingan kepada Tim Pasangan Calon Yusuf Kalla – Wiranto, pada saat melakukan penyisiran data softcopy DPT, Termohon menggunakan format yang berbeda dengan data softcopy DPT Pemohon. Hal ini mengakibatkan Pemohon tidak berhasil membaca seluruh dokumen yang diserahkan Termohon;
Bahwa terhadap dalil Pemohon KPU dianggap telah sengaja mengeluarkan kebijakan menghilangkan 69.000 TPS yang berpotensi mempengaruhi pergerakan dan atau penghilangan sebanyak 34,5 juta suara pemilih, adalah tidak berdasar atas hukum karena berdasarkan Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009; menunjukkan bahwa pengurangan jumlah TPS bukan merupakan perbuatan melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum, melainkan merupakan perbuatan yang diperkenankan oleh ketentuan hukum yang berlaku;
o Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan KPU telah melibatkan pihak asing yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden, adalah tidak berdasar atas hukum dengan alasan sebagai berikut :
- Bahwa Komisi Pemilihan Umum dimungkinkan bekerjasama dengan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum sepanjang pihak asing tersebut telah diakui oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan yang berlaku;
- Bahwa data yang ada pada Termohon sama sekali bukan data yang dibuat oleh IFES.
o Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai KPU telah melakukan pelanggaran 150 kali pelanggaran jenis pelanggaran yang merata terjadi di seluruh Indonesia, dimana Pemohon menggunakan Bukti P-20 s.d P-54 untuk mendalilkan adanya pelanggaran-pelanggaran ini, kecuali bukti P-26, bukti-bukti lainnya dari P-20 s.d P-24 adalah Berita Acara Rekapitulasi Suara yang dibuat oleh KPU Propinsi (formulir model DC-1). Bukti ini tidak membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon, karena:
Beberapa bukti menunjukkan tidak adanya tanda-tangan Saksi dalam Rekapitulasi ini. Hal ini tidak menghapus keabsahan hasil Rekapitulasi, karena sah-tidaknya Rekapitulasi perhitungan suara tidak ditentukan oleh ada-tidaknya tanda-tangan saksi;
Beberapa bukti (seperti P-23 dan P-27) menunjukkan adanya keberatan (yang dituangkan dalam formulir model DC-2). Hal ini pun tidak menghapus keabsahan hasil rekapitulasi, karena isi keberatan tersebut ternyata tidak mempersoalkan angka yang dicantumkan di dalam rekapitulasi (formulir model DC-1).
o Bukti Nomor P-26 mencantumkan kondisi hasil penelitian Pemohon terhadap isi softcopy mengenai DPT yang disampaikan oleh Termohon kepada Pemohon. “Ketidak-beresan DPT” yang ditemukan oleh Pemohon dalam hubungannya dengan softcopy ini tidak perlu dipertimbangkan, karena:
{{PUU-nomor|n=a
|Sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon tidak menjelaskan dengan software apa Pemohon membuka softcopy dari Termohon dan juga tidak menjelaskan bahwa soft ware tersebut cocok (compatible) untuk membuka softcopy termaksud;
|Pemohon tiudak membandingkan hasil penelitian atas softcopy tersebut dengan hardcopy (print out) yang digunakan oleh Termohon. Di lapangan, para petugas TPS menggunakan hardcopy berupa print out DPT, bukan softcopy. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa isi software yang diperoleh dari Termohon tidak valid, merupakan dalil yang tidak relevan, karena yang digunakan di dalam praktek adalah hardcopy, bukan softcopy.
Bahwa Termohon menolak dalil Pemohon pada halaman 14 angka 2.15. Pemohon tidak menguraikan dengan jelas dalil dugaan penggelembungan suara yang dilakukan Termohon untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 Susilo Bambang Yudhoyono - Boediono. Dimana, berapa jumlahnya dan oleh siapa? Padahal ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai kesalahan penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan penghitungan suara yang benar menurut Pemohon, karena tahapan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara disetiap tingkatan telah dilaksanakan tanpa adanya keberatan terhadap perolehan suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa Termohon menolak dalil Pemohon angka 2.17 yang tidak menguraikan dengan jelas dugaan perbuatan melawan hukum di Provinsi Papua, berupa perbuatan pencontrengan yang tidak dilakukan oleh pemilih, melainkan oleh para anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS);
Dalil di dalam "perubahan" permohonan yang menyatakan Pemohon kehilangan 34.500.000 suara telah menimbulkan dalil baru yang menyatakan bahwa perolehan suara Pemohon berada pada urutan nomor 2, sehingga jika Pilpres putaran kedua digelar, para pemilih harus menjatuhkan pilihannya kepada Pemohon atau kepada Calon Nomor 2;
Perubahan permohonan ini membawa konsekuensi kepada hukum acara. Karena perubahan tersebut, Pasangan Capres - Cawapres Nomor Urut 1 (Megawati Sukarno Putri dan Prabowo) harus ditempatkan bukan sebagai sesama Pemohon di dalam perkara ini, melainkan sebagai Pihak Terkait, karena baik Pemohon maupun Pasangan Capres - Cawapres Nomor Urut 1 sama-sama memperebutkan posisi perolehan suara pada peringkat kedua, agar dapat masuk ke Pilpres Putaran Kedua, jika putaran kedua tersebut perlu diadakan;
Jawaban Termohon Terhadap Pemohon II
Dalam Eksepsi
Permohonan Pemohon bukan objek perselisihan hasil Pemilihan Umum (error in objectum);
Bahwa Termohon sebagai penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dipandangn belum berperan secara optimal sehingga belum mampu mempersempit ruang penyimpangan serta berbagai bentuk kecurangan baik yang bersifat tehnis prosedural administratif maupun ketimpangan pemungutan dan pengitungan suara, sehingga tidak menjamin tegaknya hukum atau (law enforcment);
Termohon tergesa-gesa dan secara melawan hukum serta tanpa pertimbangan yang jelas telah memutus dan menetapkan Pasang Calon yang memperoleh suara terbanyak dengan tidak
mengindahkan keberatan yang diajukan oleh Pemohon, Surat LSM maupun rekomendasi Bawaslu;
Termohon telah melakukan kerjasama dengan Lembaga Asing
(IFES);
Pemilih Pemohon tidak terdaftar dalam DPT dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 sengaja ataupun tidak telah dibuat sebagai ketentuan yang menyatakan bahwa Termohon telah
gagal menyelenggarakan pemilu secara tertib;tidak mempunyai kekuatan eksekutorial;
Tentang fakta hukum dimana Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi dan Bawaslu secara terang dan jelas;
Permohonan Pemohon Kabur (Obscuur Libel)
Bahwa terjadi penambahan suara yang tidak sah untuk pasangan SBY-Boediono sebanyak 28.658.634 suara, yang sama sekali tidak dijelaskan bagaimana atau dengan cara apa penambahan suara tersebut terjadi;
Bahwa terjadi penambahan suara yang tidak sah bagi pasangan calon SBY-Boediono yang mengakibatkan terjadinya selisih hasil perolehan suara dengan Pemohon sebanyak 12.667.882 suara, sehingga seharusnya pasangan SBY-Boediono tidak dapat ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada putaran pertama.tetapi Pemohon tidak mampu mejelaskan mengapa perolehan suara Pasangan calon SBY-Boediono hanya memperoleh 45.215.927 suara atau 48,70%;
Mengenai Jaksa Tidak Boleh Menjadi Kuasa Termohon
Perkara Tata Usaha Negara (TUN) adalah perkara yang proses penyelesaiannya diatur dalam Hukum Tata Usaha Negara. Di dalam ilmu hukum, Hukum Tata Usaha Negara merupakan bagian dari hukum administrasi Negara. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa Hukum Tata Usaha Negara adalah bagian dari hukum administrasi negara, karena hukum tata usaha negara tidak berhubungan dengan seluruh aspek hukum administrasi negara, melainkan hanya berhubungan dengan keputusan yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
Perkara PHPU Pilpres a quo merupakan perkara di mana ada satu pihak mengajukan gugatan terhadap keputusan yang diterbitkan oleh sebuah badan hukum publik yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut ilmu hukum, perkara a quo merupakan bagian dari perkara yang diatur oleh rezim Hukum Administrasi Negara;
Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia mengakui bahwa
Keputusan Komisi Pemilihan Umum adalah bagian dari Keputusan Tata Usaha Negara. (vide Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa pada prinsipnya Hukum Tata Usaha Negara berhubungan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan TUN). Sekalipun demikian, tidak semua Keputusan TUN dapat diselesaikan di forum Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan TUN), karena ada Keputusan TUN tertentu yang tidak dapat disetesaikan di forum Pengadilan TUN berdasarkan ketentuan UU tentang Peradilan TUN. Keputusan TUN tersebut adalah:
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
Gugatan terhadap Keputusan TUN ini disetesaikan metatui proses peradilan perdata di forum Pengadilan Negeri;
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
Permohonan/gugatan pembatalan Keputusan TUN ini disetesaikan melatui proses pengujian peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang yang dilakukan oteh Mahkamah Agung;
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
Permohonan Pembatatan Keputusan TUN ini dapat diselesaikan metalui proses banding administrasi (pengajuan permohonan banding kepada Pejabat TUN yang lebih tinggi hirarkinya dari pada Pejabat TUN yang menerbitkan Keputusan TUN termaksud);
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHP dan KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang bersifat hukum pidana;
Keputusan TUN ini dapat diselesaikan melalui proses yang diatur dalam hukum acara pidana (seperti proses praperadilan);
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha TNI;
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum;
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menunjukkan bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah Keputusan TUN. Sekalipun demikian, menurut Undang-Undang a quo, wewenang untuk menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan Keputusan TUN yang diterbitkan oleh KPU sehubungan dengan hasil pemilihan umum tidak berada pada Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hubungannya dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Pesiden, sengketa yang berhubungan dengan Keputusan TUN yang diterbitkan oteh KPU mengenai hasil Pilpres, wewenang untuk menyelesaikannya oleh Undang-Undang tentang Pilpres dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keputusan KPU merupakan species dari satu genus yang bernama Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, perkara ini termasuk dalam jenis perkara Tata Usaha Negara sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004, Kejaksaan dapat mewakili Pemerintah atau Negara di dalam perkara a quo;
Ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang hanya mencantumkan perkara perdata dan perkara TUN, tidak dengan sendirinya berarti bahwa Kejaksaan hanya dapat mewakili Pemerintah atau Negara hanya dalam perkara-perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan TUN;
Di dalam perkara perdata, Kejaksaan dapat mewakili Negara atau Pemerintah bukan hanya di forum Pengadilan Negeri, tetapi juga di forum Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, bahkan juga di forum Pengadilan Agama (untuk perkara pembatatan perkawinan) dan forum Arbitrase, baik Arbitrase Dalam negeri, maupun Arbitrase Internasional;
Dengan demikian, di datam perkara TUN, Kejaksaan dapat mewakili Negara atau Pemerintah bukan hanya di forum Pengadilan TUN, tetapi juga di forum Mahkamah Agung (dalam perkara hak uji materiil atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang) dan di forum Mahkamah Konstitusi;
Pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa KPU bukan Instansi Pemerintah, karena bersifat independen dan tidak bersubordinasi atau terkooptasi dengan Instansi Pemerintah mana pun adalah pendapat yang tepat. Sekalipun
demikian, hal ini tidak berarti bahwa hukum tidak memperkenankan Kejaksaan untuk mewakili KPU di dalam perkara ini. KPU adalah unsur dari aparatur negara. Karena Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memperkenankan Kejaksaan untuk mewakili negara, maka Kejaksaan diperkenankan untuk mewakili semua unsur aparatur negara, termasuk KPU;
Diwakilinya Komisi Pemilihan Umum oleh Kejaksaan tidak bertentang pula dengan Pasal 3 ayat 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dimana datam aturan tersebut dijetaskan bahwa Pemohon, Termohon dan Pihak terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu;
Fakta objektif menunjukkan bahwa datam perkara PHPU atas hasit pemilu legistatif 2009, KPU diwakili oleh Kejaksaan dalam seluruh perkara PHPU yang jumtahnya mencapai lebih dari 600 perkara. Diwakilinya KPU oleh Kejaksaan dalam hal ini tidak menimbulkan kekacauan hukum (legal chaos), tidak pula mengakibatkan hilangnya sifat independent KPU, sehingga KPU menjadi aparatur negara yang tersubordinasi atau terkooptasi oleh Instansi Pemerintah lainnya;
Sejarah menunjukkan bahwa Kejaksaan sudah mewakili Pemerintah RI/Presiden RI di forum Mahkamah Konstitusi dalam banyak perkara. Bukti-bukti terlampir menunjukkan kegiatan Kejaksaan dalam hal ini. Apa yang dilakukan oleh Kejaksaan di hadapan Mahkamah Konstitusi ternyata tidak menimbulkan kekacauan hukum (legal chaos);
Uraian di atas menunjukkan bahwa diwakilinya KPU oleh Kejaksaan dalam perkara ini merupakan sesuatu yang sah dan tidak dilarang oleh hukum. Penunjukkan Kejaksaan sebagai wakil KPU dalam perkara ini bukan saja merupakan tindakan yang legal (legitimate), melainkan juga merupakan tindakan yang bijak (wise), karena hanya Kejaksaan yang dapat memberikan bantuan hukum kepada KPU dengan biaya yang paling ringan. Oleh karena itu, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa hukum tidak memperkenankan Kejaksaan untuk mewakili KPU dalam perkara ini merupakan dalil yang tidak benar, sehingga harus ditolak untuk seluruhnya;
2. Dalam Pokok Perkara
Termohon tidak melakukan penyimpangan dan/atau kecurangan dan/atau kesalahan dalam penghitungan hasil perolehan suara karena pada saat pelaksanaan rekapitulasi di tingkat PPK, KPU kabupaten/kota maupun KPU provinsi saksi dari Pemohon tidak menyampaikan keberatan berkaitan dengan selisih hasil penghitungan suara pada setiap tingkatan. Berkaitan dengan tandatangan saksi sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2009 juncto Pasal 14 ayat (3), Pasal 26 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 52 ayat (3) ada atau tidak ada tandatangan saksi tidak menghalangi dan mengurangi legitimasi hasil perolehan suara;
Bukti-bukti Termohon merupakan bukti autentik sesuai ketentuan hukum yang berlaku yakni formulir DC-1, Formulir DB-1 yang menunjukkan perolehan suara di daerah-daerah yang didalilkan Pemohon II pada halaman 8 dan 9 permohonan Pemohon. Oleh karena data yang diajukan Pemohon adalah data yang tidak benar sehingga harus dikesampingkan oleh Mahkamah;
Alat bukti Pemohon yang diberi tanda bukti P-6 sampai dengan bukti P-30 secara hukum bukan merupakan alat bukti karena alat bukti tersebut dibuat sendiri dan ditandatangani oleh saudara Fadli Zon yang bukan personil penyelenggara Pemilu melainkan Sekretaris Tim Kampanye Nasional Pasangan Calon Mega-Prabowo. Dengan demikian seluruh dalil dan bukti Pemohon wajib ditolak;
Berkaitan dengan DPT, Termohon telah menerbitkan Surat Nomor 373/UND/VII/2009 yang isinya mengundang Tim Kampanye masing-masing pasangan calon untuk melakukan pengecekan DPT. Secara normatif, sebenarnya kesempatan untuk melakukan pengecekan data sudah diberikan antara tanggal 11 sampai dengan 17 Mei 2009. Sekalipun demikian, dengan semangat mewujudkan Pemilu damai, Termohon masih memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan pencermatan. Dalam tahapan pengumuman dan tanggapan DPS tanggal 11 sampai dengan 17 Mei 2009, Pemohon tidak menggunakan haknya. Setelah kegiatan dimaksud terlampaui, Pemohon baru meminta kepada Termohon untuk dilakukan pencermatan DPT. Tahapan pemutakhiran DPT telah
dilaksanakan oleh Termohon beserta jajaran penyelenggara. Dengan demikian, tidak cukup alasan bagi Pemohon untuk menyatakan Termohon sengaja dan/atau lalai untuk melakukan pemutakhiran daftar pemilih. Dalil Pemohon sepanjang menyatakan bahwa Termohon dengan sengaja atau setidak-tidaknya lalai menindaklanjuti temuan pasangan calon/masyarakat / Bawaslu terkait penyusunan DPT tidak disertai dengan data dan fakta yang akurat. Dalam hubungan ini Termohon beserta jajaran telah melaksanakan tugas secara optimal. Dalam hal terdapat tanggapan dari elemen masyarakat, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Kabupaten/Kota atas pengumuman DPS yang dilaksanakan pada tanggal 11 sampai dengan 17 Mei 2009, PPS segera menindaklanjutinya dengan mengisi formulir Model A1-PPWP. Kegiatan ini secara administratif diikuti dengan revisi penetapan dan rekapitulasi DPT di tingkat KPU kabupaten/kota, KPU provinsi dan KPU Pusat. Ketentuan Pasal 115 huruf c dan Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara menentukan KPPS melakukan kegiatan menyerahkan Salinan Daftar Pemilih Tetap (SDPT) dan Daftar Pemilih Tambahan kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Lapangan. Kewajiban tersebut sudah dilaksanakan oleh KPPS dalam pelaksanaan pemungutan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009. Termohon sudah melaksanakan kegiatan pemutakhiran DPT dengan cara pencocokan dan penelitian oleh PPDP dan diumumkan oleh PPS sebagai DPS untuk mendapat tanggapan masyarakat. Berdasarkan tanggapan masyarakat, PPS menyusun DPSHP selanjutnya ditetapkan menjadi DPT;
Pemohon menggunakan istilah ”Pemilih Pemohon”. Istilah a quo tidak dikenal oleh hukum dan bertentangan dengan salah satu asas Pemilu yaitu asas rahasia. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dikemukakan oleh Pemohon yang ada hubungannya dengan istilah ”Pemilih Pemohon” harus dikesampingkan;
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009, segala sesuatu yang dikemukakan oleh Pemohon mengenai ketidakberesan DPT menjadi tidak relevan dan tidak perlu dipertimbangkan. Para Pemilih yang tidak memperoleh formulir P-4 tetapi namanya tercantum dalam DPT dapat menggunakan hak konstitusionalnya
untuk memilih dengan menggunakan KTP. Pemilih yang namanya tidak tercantum di dalam DPT dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih di TPS yang berada dalam wilayah RW-nya dengan menggunakan KTP dan Kartu Keluarga;
Penciutan jumlah TPS bukan merupakan perbuatan melawan hukum karena hal itu diperkenankan oleh ketentuan Pasal 113 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang memperkenankan pengadaan satu TPS untuk setiap 800 pemilih. Ketentuan Undang-Undang tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan KPU Nomor 164/kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Penetapan Badan Pelaksana dan Perbaikan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2008. Dalam keputusan a quo ditentukan bahwa pengurangan jumlah TPS dilakukan dengan tidak menggabungkan desa/kelurahan, memudahkan Pemilih, memperhatikan aspek geografis, batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara, dan jarak tempuh menuju TPS. Dengan demikian, penciutan jumlah TPS ditujukan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dan sama sekali tidak ditujukan untuk menciutkan jumlah pemilih atau untuk menghalang-halangi hak konstitusional para pemilih. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUUVII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 maka semua dalil Pemohon mengenai penciutan jumlah TPS menjadi tidak relevan karena jika penciutan ini mengakibatkan dihapusnya nama pemilih dari DPT, pemilih yang namanya tidak tercantum di dalam DPT dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih di TPS yang berada dalam wilayah RW-nya dengan menggunakan KTP dan KK;
Tidak ada satu pun ketentuan yang secara tegas melarang Komisi Pemilihan Umum bekerja sama dengan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Kerja sama dengan pihak asing (IFES) sama sekali tidak mempengaruhi rekapitulasi perolehan suara pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden karena peranan IFES hanya untuk mengetahui perkiraan hasil sebagai informasi awal untuk mendapatkan gambaran perolehan suara para calon Presiden dan Wakil Presiden. Segala sesuatu yang dilakukan oleh IFES tidak mempengaruhi jalannya
penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon. Selain daripada itu, apa yang dilakukan oleh IFES tidak menghilangkan kemandirian KPU karena KPU tidak dapat di intervensi;
Tentang dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 disengaja ataupun tidak telah dibuat sebagai Keputusan yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Termohon sudah menerbitkan petunjuk kepada KPPS, PPS, PPK dan semua aparat pemilihan mengenai bagaimana caranya
melaksanakan isi Putusan Mahkamah Konstitusi a quo. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi a quo tidak mempunyai kekuatan eksekutorial adalah pendapat yang tidak benar;
Dalil Pemohon tentang pernyataan Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyatakan bahwa Termohon telah gagal menyelenggarakan Pemilu secara tertib sesuai jadwal dan tahapan yang telah digariskan dalam Undang-Undang, tetapi juga lalai di dalam mengupayakan permohonan hak konstitusional sejumlah besar warga negara adalah tidak berdasar karena Pemohon mengutip Pernyataan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konferensi pers Tim Penyelidikan dan Penghilangan Hak Sipil dan Politik Warga Negara dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 tertanggal 8 Mei 2009, yang mengkritik penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Fakta menunjukkan, bahwa dimana pun di dunia tidak ada pemilihan umum yang diikuti oleh 100% warga negara yang mempunyai hak pilih. Pemilu di AS pun juga tidak diikuti oleh 100% warga negaranya yang mempunyai hak pilih. Oleh karena itu, tidak ikut sertanya sejumlah warga negara dalam penggunaan hak pilih tidak boleh dijadikan sebagai faktor untuk menyatakan batalnya pemilihan umum. Fakta pun menunjukkan bahwa dalam Pemilu Presiden tahun 2009 warga negara yang menggunakan hak pilihnya jauh lebih besar daripada jumlah warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, tuntutan pembatalan Pemilu Presiden Tahun 2009 adalah tuntutan yang tidak berdasar;
Ketentuan hukum yang berlaku dalam hubungannya dengan Pemilihan Presiden tidak menentukan kuorum atau jumlah pemilih yang minimum bagi
sahnya Pemilu. Oleh karena itu, semua dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon yang menyatakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 harus dibatalkan karena ada sejumlah warga negara yang mempunyai pilih dan tidak menggunakan hak pilihnya merupakan dalil yang tidak memiliki dasar hukum.
[3.20]Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pihak Terkait telah mengajukan keterangan tertulis yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Keterangan Pihak Terkait Terhadap Pemohon I
Dalam Eksepsi
Bahwa Pihak Terkait menolak seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon karena tidak sesuai dengan objek perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Materi permohonan berkaitan dengan masalah DPT, penghilangan TPS dan keterlibatan asing bukan objek perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU);
Bahwa masalah penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), penghilangan 69.000 TPS; dan keterlibatan pihak asing yaitu IFES dalam Proses Tabulasi Nasional Pemilu Presiden adalah pelanggaran-pelanggaran yang sudah diatur mekanisme penyelesaiannya dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, di mana pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan oleh KPU bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan pelanggaran yang bersifat pidana diproses oleh Bawaslu/Panwaslu di setiap tingkatan/tahapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak ada kaitannya dengan sengketa perolehan suara dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum menurut UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Permohonan keberatan Pemohon adalah kabur dan tidak jelas berkaitan dengan penggelembungan perolehan suara sebanyak 25.303 .054 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 sehingga jika suara fiktif itu dikurangi dari hasil suara versi KPU maka Pasangan Calon Nomor Urut 2 hanya
mendapatkan suara sebanyak 48.571.408 suara. Pemohon tidak menerangkan di mana, kapan, bagaimana, dan oleh siapa penggelembungan tersebut terjadi;
Permohonan keberatan Pemohon adalah kabur dan tidak jelas berkaitan dengan pengurangan perolehan suara Pemohon sebesar 24.150.000 suara. Karena Pemohon tidak menjelaskan apakah penghilangan 69.000 TPS dapat mengurangi suara Pemohon, padahal jikalau benar terjadi penghilangan maka pemilih di TPS-TPS tersebut belum tentu semuanya memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3;
Dengan demikian Permohonan Keberatan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
B. Dalam Pokok Perkara
Bahwa Pemohon mempersoalkan DPT berdasarkan data softcopy yang diberikan oleh Termohon KPU kepada Pemohon yang tentu saja tidak sesuai dengan data DPT berdasarkan Keputusan KPU tertanggal 31 Mei 2009, perubahan tertanggal 8 Juni 2009 dan perubahan terakhir tertanggal 6 Juli 2009;
Bahwa masalah DPT adalah masalah administrasi yang menjadi kewenangan KPU sebagai bagian dari tahap persiapan sebelum tahapan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehingga tidak ada kaitannya dengan Surat Keputusan KPU Nomor 365/kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa terkait dengan belum terdaftarnya sebagian masyarakat dalam DPT Pilpres , Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 telah membuat terobosan dengan memperbolehkan warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk menggunakan hak pilihnya dengan memakai KTP/Paspor yang masih berlaku;
Bahwa jikalau benar ada sekitar 25.303.054 pemilih ganda dalam DPT Pilpres sebagaimana diklaim oleh Pemohon, quod non, hal itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Pasangan Calon Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, dan sama sekali tidak menguntungkan Pasangan
Calon manapun bahkan justru sangat merugikan Pasangan Calon Nomor Urut 2 SBY-Boediono;
Dengan demikian, keberatan Pemohon berkaitan dengan masalah DPT adalah materi keberatan yang harus ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
Masalah kewenangan pengurangan 69.000 TPS sudah diatur dalam peraturan KPU dan telah diumumkan ke publik;
Bahwa klaim Pemohon tidak jelas dari mana angka suara pemilih yang diklaim oleh Pemohon dan bagaimana penghilangan 69.000 TPS itu mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan 34.459.000 suara Pemilih;
Bahwa dalam permohonannya halaman 24, Pemohon sendiri telah mengakui adanya aturan yang memungkinkan pengurangan TPS tetapi Pemohon hanya keberatan kenapa Termohon KPU tidak mengumumkan dimana saja pengurangan TPS tersebut terjadi;
Bahwa tidak ada kewajiban dari Termohon KPU untuk melaporkan teknis perubahan TPS mana saja yang dikurangi kepada para pasangan calon peserta Pilpres tahun 2009, karena KPU cukup mengumumkan adanya pengurangan TPS dari 519.000 TPS pada saat Pemilu Legislatif menjadi 450.000 TPS pada saat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, hal mana telah dilakukan oleh KPU;
Bahwa apabila Pemohon kemudian mengklaim hal itu merugikan perolehan suara Pemohon, maka klaim tersebut mengada-ada dan asumtif sifatnya karena jikalau benar ada penghilangan, quod non, pasangan calon lain juga ikut dirugikan dengan peniadaan 69.000 TPS tersebut;
Bahwa dengan demikian masalah penghilangan 69.000 TPS yang diklaim Pemohon sama sekali tidak melanggar hukum dan sama sekali tidak mempengaruhi perolehan suara pasangan calon manapun sehingga klaim Pemohon harus ditolak (void);
Bahwa keterlibatan IFES bersama KPU dalam proses Tabulasi Penghitungan Suara tidak ada kaitannya dengan campur tangan asing di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009
atau bertentangan dengan sifat kemandirian KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;
Bahwa KPU adalah lembaga yang bersifat tetap, nasional, dan mandiri, namun kemandirian KPU bukan berarti melarang KPU untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain karena KPU selama ini telah melakukan berbagai kerja sama dengan pihak lain termasuk IFES dan POLRI/TNI dalam distribusi logistik Pemilu;
Bahwa seandainyapun keberadaan IFES dianggap adanya campur tangan pihak asing, quod non, hal itu tidak akan mempengaruhi hasil penghitungan suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Keputusan KPU Nomor 365/kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa Pihak Terkait meragukan kebenaran dalil Pemohon berkaitan dengan penggelembungan suara dari suara fiktif sebesar 25.303.054 suara untuk keuntungan Pasangan Calon Nomor Urut 2, oleh karena itu Pihak Terkait menegur dengan keras (sommeren) Pemohon untuk membuktikan dan/atau menghadirkan bukti-bukti pada persidangan pertama ini yaitu bukti-bukti mengenai adanya suara fiktif dan bukti-bukti mengenai penggelembungan suara dari suara fiktif tersebut sebanyak 25.303.054 suara untuk keuntungan Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa menurut catatan dan dokumen yang ada pada Pihak Terkait hampir tidak ada keberatan yang diajukan oleh para pasangan calon pada setiap TPS di 33 provinsi berkaitan dengan kecurangan ataupun adanya kesalahan hitung di dalam Berita Acara Rekapitulasi di setiap TPS (Model C1), Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di setiap PPK (Model DA), Berita Acara Rekapitulasi di Kabupaten/Kota (Model DB); dan Berita Acara Rekapitulasi dan Penghitungan Suara di provinsi (Model DC);
Mengenai pengurangan perolehan suara pemohon sebanyak 24.150.000 suara dari penghilangan 69.000 TPS. Pihak Terkait meragukan kebenaran dalil Pemohon berkaitan dengan penghilangan 69.000 TPS mengakibatkan
pengurangan perolehan suara Pemohon sebanyak 24.150.000 suara. Oleh
karena itu, Pihak terkiat menegur dengan keras (sommeren) Pemohon untuk menghadirkan bukti-bukti berkaitan dengan pengurangan suara Pemohon dari penghilangan 69.000 TPS tersebut pada persidangan pertama ini, jika tidak maka permohonan Pemohon harus ditolak;
Bahwa tidak jelas dari mana Pemohon mendalilkan penghilangan 69.000 TPS dapat mengakibatkan pengurangan perolehan suara Pemohon padahal jikalau benar ada penghilangan, quod non, tidak ada jaminan para pemilih di TPS-TPS tersebut semuanya memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3;
Bahwa ternyata tidak ada penghilangan 69.000 TPS tetapi hanya pengurangan TPS yang para pemilihnya telah dialihkan ke TPS-TPS lainnya sehingga dalil Pemohon di atas harus ditolak atau dikesampingkan.
Keterangan Pihak Terkait Terhadap Pemohon II
Dalam Eksepsi:
Permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas (obscurum libelum) karena tidak menjelaskan secara rinci mengenai:
indikasi kecurangan yang bersifat masif, sistematis dan terstruktur di setiap tingkatan;
penggelembungan suara yang dilakukan secara sengaja untuk keuntungan Pasangan Calon Nomor Urut 2 sebanyak 28.658.634 suara karena Pemohon tidak menerangkan di mana, kapan dan penyelenggara Pemilu mana yang melakukan;
tuntutan Pemilu ulang di 25 provinsi karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak mengenal aturan tentang Pemilu Ulang tetapi hanya dikenal dengan istilah pemungutan ulang atau penghitungan ulang;
Termohon mengabaikan dan membiarkan penyimpangan yang terjadi serta tidak mengakomodir untuk menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang ada karena Pemohon tidak menjelaskan penyimpangan seperti apa, siapa yang melakukannya dan bagaimana bentuk pengabaian dari Termohon;
Dalam Pokok Perkara
bahwa Pihak Terkait meminta agar Pemohon membuktikan adanya indikasi kesalahan atau kecurangan yang bersifat sistematis, terstruktur dan massif di setiap tahapan yang menyebabkan terjaidnya kesalahan penghitung atau perbedaan penghitungan di 25 (dua pulu lima) provinsi sebanyak 28.658.634 suara, Termohon mengabaikan dan membiarkan penyimpangan yang terjadi, Termohon tidak mengakomodasi untuk menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sehingga merugikan Pemohon;
Pihak Terkait memang mengakui adanya kecurangan-kecurangan tetapi kecurangan tersebut tidak mempengaruhi perolehan suara pasangan calon yang ada, apalagi mengakibatkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus diulang karena bentuk-bentuk kecurangan tersebut sangat sedikit dan pengakuan Pihak Terkait bukan untuk pengakuan adanya kecurangan yang bersifat massif melainkan hanya untuk adanya kecurangan dan/atau kesalahan hitung yang terjadi di beberapa tempat dan hal itu dapat diselesaikan atau diperbaiki pada saat itu juga dan/atau melalui laporan ke Panwaslu setempat;
bahwa kecurangan-kecurangan yang terjadi dapat merugikan semua pihak termasuk Pihak Terkait seperti yang terjadi di Maluku Utara sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Ternate yang telah berkekuatan hukum tetap;
Tidak ada keberatan yang diajukan oleh para Pasangan Calon pada setiap TPS di 33 provinsi terkait dengan kecurangan atau pun adanya kesalahan hitung dalam berita acara rekapitulasi di setiap TPS, tingkat PPK dan tingkat KPU kabupaten/kota maupun KPU provinsi karenanya dalil Pemohon tentang adanya indikasi kecurangan yang bersifat sistematis sehingga Pemilu harus diulang di 25 (dua puluh lima) provinsi adalah klaim yang harus ditolak dan dikesampingkan;
Pihak Terkait meminta Pemohon agar membuktikan bentuk kesengajaan, siapa yang yang melakukan, kapan dan di mana penggelembungan suara yang tidak sah yang menguntungkan pasangan SBY-Boediono sebanyak 28.658.634;
Bahwa SBY tidak pernah memberikan pernyataan yang menyatakan bahwa kinerja Termohon adalah buruk tetapi SBY sebagai Pasangan Calon Presiden Nomor Urut 2 hanya menyampaikan data tentang adanya indikasi kecurangan dan/atau kesalahan hitung di beberapa tempat yang dihimpun oleh tim sukses
pasangan calon tetapi kecurangan dan kesalahan itu tidak signifikan yang dapat mempengaruhi perolehan suara para pasangan calon;
Bahwa pernyataan SBY bukanlah bentuk intimidasi bagi pasangan calon yang akan mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi maupun intervensi kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melainkan pernyataan tersebut hanyalah pernyataan sebagai pasangan calon berdasarkan data yang dihimpun oleh tim suksesnya;
Bahwa peniadaan 69.000 TPS adalah urusan teknis Termohon yang menjadi kewenangan Termohon dan Pemohon tidak mampu menjelaskan dari mana angka 34.459.000 suara pemilih yang didalilkan Pemohon dan bagaimana penghilangan 69.000 TPS tersebut mempengaruhi pergerakan dan/atau penghilangan 34.459.000 suara pemilih. Peniadaan 69.000 TPS adalah bentuk penyederhaan dan pengurangan TPS yang para pemilihnya telah dialihkan ke TPS-TPS lain dan hal ini merupakan kewenangan Termohon sebagai penyelenggara Pemilu dan sama sekali tidak merugikan pasangan calon mana pun. Apabila Pemohon kemudian mendalilkan hal itu merugikan perolehan suara Pemohon maka dalil tersebut hanya asumsi Pemohon semata karena jikalau benar ada penghilangan, quod non, pasangan calon lain juga ikut dirugikan dengan peniadaan TPS tersebut;
masalah DPT adalah masalah administrasi yang menjadi kewenangan KPU sebagai bagian dari tahap persiapan sebelum tahapan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu Pilpres sehingga tidak ada kaitannya dengan Surat Keputusan KPU Nomor 365/kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 25 Juli 2009 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa jikalau benar ada sekitar 25.303.054 pemilih ganda dalam DPT Pilpres, quod non, hal itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Pasangan Calon Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, dan sama sekali tidak menguntungkan Pasangan Calon mana pun bahkan justru sangat merugikan Pihak Terkait;
Bahwa keterlibatan IFES bersama Termohon dalam proses tabulasi penghitungan suara tidak ada kaitannya dengan campur tangan asing di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 atau
bertentangan dengan sifat kemandirian KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 karena keberadaan IFES hanyalah untuk membantu melakukan penghitungan suara bersama-sama dengan Termohon sehingga sama sekali tidak ada campur tangan di dalam tugas kewenangan Termohon;
[3.21] Menimbang bahwa untuk mendukung jawabannya, Termohon mengajukan bukti tertulis sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara, serta tidak mengajukan ahli maupun saksi-saksi;
[3.22] Menimbang bahwa untuk mendukung jawabannya, Pihak Terkait mengajukan bukti tertulis sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara, serta tidak mengajukan ahli maupun saksi-saksi;
[3.23] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan dari Bawaslu yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut:
Pelanggaran pemilu dilakukan setiap pasangan calon peserta Pemilu;
Terdapat permasalahan DPT di 10 provinsi menyangkut ketidakakuratan DPT dalam konteks nama ganda, nama dan NIK ganda, tempat tanggal lahir ganda, pemilih yang sudah meninggal yang masih terdaftar dalam DPT dan banyak pemilih yang masih belum terdaftar;
Bawaslu baru mengetahui ada perubahan DPT tanggal 6 Juli 2009 saat Rekapitulasi Nasional;
DPT yang akurat bukan merupakan conditio sine qua non;
Menurut Bawaslu carut marut DPT terjadi karena KPU tidak menyusun blue print (cetak biru) setiap tahapan, karenanya sikap KPU bersifat parilitas. Namun Bawaslu tidak menemukan unsur kesengajaan KPU dalam permasalahan, karena KPU telah berusaha untuk melakukan akomodasi terhadap perubahan-perubahan data;
Bawaslu menemukan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Pusat melalui spanduk yang disebarkan di seluruh Indonesia, dengan memberikan contoh cara mencontreng pada nama, foto dan nomor hanya pada salah satu
pasangan calon tertentu. Terhadap hal ini Bawaslu merekomendasi agar dibentuk dewan kehormatan di KPU;
Bawaslu menerima laporan dari pasangan calon bahwa terdapat sosialisasi mengisi form berita acara untuk C-1 yang dilakukan oleh KPU Jember, sosialisasi dilakukan dengan memberikan contoh Pasangan Calon Nomor Urut 2 memperoleh suara terbanyak. Setelah diklarifikasi kepada KPU Jember hal ini adalah model yang diperoleh dari atasan yang bersangkutan;
Bawaslu menemukan di beberapa daerah terjadi penggelembungan suara, C-1 palsu, surat suara yang sudah dicontreng sebelum proses, pemilih yang mencontreng lebih dari dua kali terhadap pelanggaran dan pidana Pemilu telah ditindaklanjuti;
Bawaslu berpendapat bahwa pengurangan jumlah TPS memiliki landasan hukum yang cukup. Karena Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden menentukan jumlah 800 pemilih per-TPS, dan terkait hal ini KPU sudah menerbitkan surat keputusan tentang syarat-syarat penggabungan TPS;
Terkait dengan IFES Bawaslu telah melakukan klarifikasi kepada KPU, menurut KPU hal ini dilakukan karena keadaan mendesak. Bawaslu juga melakukan klarifikasi kepada Bappenas, menurut Bappenas kerja sama dengan pihak asing tidak dapat dilakukan terkait dengan data, namun hal ini dilakukan karena KPU tidak siap melaksanakan sendiri, dan jika tidak dilaksanakan akan menimbulkan permasalahan politik;
[3.24] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut:
Berdasarkan pemantauan secara langsung yang dilakukan Komnas HAM di beberapa wilayah di Indonesia baik pada penyelenggaraan Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, didapati adanya sejumlah fakta tidak terpenuhinya hak sipil dan politik warga negara. Hal ini terlihat antara lain dengan banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak dicantumkan di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun tidak diberikannya akses guna mengikuti Pemilu dengan dihilangkannya TPS khusus dan TPS keliling. Ada beberapa daerah yang dijadikan sebagai sample oleh Komnas HAM dalam pelaksanaan pemantauan dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali, DKI Jakarta, dan Banten dengan permasalahan sebagai berikut.
Permasalahan DPT
Daftar Pemilih Tetap (DPT) masih menjadi menjadi salah satu permasalahan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Diakui bahwa terdapat penambahan jumlah pemilih dalam DPT Pemilu Pilpres dibandingkan dengan DPT Pemilu Legislatif. Akan tetapi penambahan jumlah tersebut tidak begitu signifikan dikarenakan masih belum optimalnya penyelenggara Pemilu dalam melakukan update terhadap DPT. Adapun permasalahan DPT yang ada dalam pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden antara lain masih didapatinya DPT ganda, DPT yang sudah meninggal dan belum berusia 17 tahun. Hal ini antara lain terjadi di Sulawesi Selatan, Balikpapan. Di LP Krobokan, Denpasar, Bali, terdapat sebanyak 759 pemilih yang terdaftar, akan tetapi di dalam DPT tersebut tidak mencantumkan NIK maupun Nomor KTP. Kemudian di Baduy terdapat sebanyak 438 orang yang memiliki tanggal lahir sama dalam DPT.
Hilangnya Hak Sipil dan Politik Warga Negara Karena Tidak Adanya TPS Khusus
Warga negara yang memiliki hak untuk memilh tidaklah memiliki kesamaan dalam menyampaikan aspirasinya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya warga negara potensial yang memiliki hak pilih yang terpaksa harus tinggal di rumah sakit dikarenakan sakit dan atau harus menunggu keluarganya yang sakit. Selain itu, didapati juga banyak warga negara yang karena kesalahannya harus mendekam di dalam penjara dan atau tahanan. Berdasarkan kondisi tersebut, sesuai dengan hasil pemantauan Komnas HAM di lapangan, didapati adanya fakta bahwa banyak warga negara yang sakit maupun berada di dalam lembaga pemasyarakatan/tahanan tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Hal ini antara lain ditemukan di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Rumah Sakit Pelni Pelabuhan Belawan, RSUD Sangatta dan RS Prima Sangatta (Balikpapan), Rumah Sakit Dr. Soetomo (Surabaya), Rumah Sakit Adhi Husana Undaan Wetan (Surabaya), Rumah Sakit Sanglah (Bali) terdapat sebanyak 539 pasien ditambah dengan anggota keluarganya sehingga sekitar 1000 orang, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo;
Selain itu, terdapat sejumlah napi dan/atau tahanan termasuk tahanan di kepolisian juga tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan tidak adanya TPS
khusus.
Tidak Difasilitasinya Sarana dan Prasarana Kebutuhan Bagi Kelompok Rentan
Kelompok Rentan terdiri dari berbagai macam kekhususan, sehingga dalam menyalurkan hak sipil dan politiknya juga memerlukan adanya sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan para kelompok rentan. Pada kenyataannya, para penyelenggara Pemilu belum secara optimal memberikan sarana dan prasarana bagi para kelompok rentan. Hal ini antara lain didapati di Jakarta.
Dengan kata lain, dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009 didapati adanya berbagai bentuk pelanggaran hak sipil dan politik warga negara, antara lain:
Hilangnya hak konstitusional pemilih warga Negara;
Hilangnya hak sipil warga negara dengan tidak dicatatkannya didalam sistem administrasi kependudukan;
Hilangnya hak politik warga negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat tidak difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan (khusus) seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil,
narapidana/tahanan dan lainnya, serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di beberapa tempat seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah mengakibatkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
Sehubungan dengan berbagai pelanggaran hak sipil dan politik dalam penyelenggaraan Pemilu, Negara, khususnya Presiden, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, DPR serta KPU gagal menunaikan kewajiban institusional masing-masing untuk memastikan suatu penyelenggaraan Pemilu yang Jurdil dan Luber. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor utama:
kelemahan sistemik dari Sistem Administrasi Kependudukan;
penyamaan perlakuan terhadap rangkaian kebutuhan uniek dan mendesak dari penyelenggaraan Pemilu oleh KPU dengan penyelenggaraan kegiatan proyek departemen konvensional dalam proses dan persyaratan penganggaran;
kelemahan institusional KPU yang sangat memprihatinkan sejak dari wawasan pengetahuan umum maupun pengetahuan dan wawasan konstitusional para Komisioner dan Pimpinan KPU;
kelemahan penyusunan anggaran dan antisipasi revisi tepat-waktu serta manajemen logistik yang sangat amatiran;
Keberadaan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) di daerah tidak dapat menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya secara optimal dikarenakan keterbatasan mandat yang ada sehingga hasil temuan terhadap pelanggaran pidana Pemilu tidak dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Selain itu, keterlambatan pembentukan Panitia Pengawas Pemilu di daerah yang juga hanya bersifat ad hoc ditambah dengan keterbatasan anggaran yang ada telah mengakibatkan lembaga tersebut tidak dapat menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya untuk melakukan pengawasan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu;
Kelemahan peraturan perundang-undangan sektoral dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum maupun administrasi kependudukan juga menjadi salah satu penyebab hilangnya hak sipil dan politik warga negara dalam Pemilihan Umum;
Penghilangan hak konstitusional tersebut, dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara dalam memenuhi kewajibanya sebagaimana yang telah di amanatkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pendapat Mahkamah
[3.25] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah memberikan pendapatnya terkait dengan eksepsi dan pokok permohonan, terlebih dahulu Mahkamah perlu mempertimbangkan dan memberikan pendapat terhadap keberatan hukum yang diajukan dalam persidangan oleh Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan ketidakwenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN) selaku Kuasa Hukum Termohon, dengan mengemukakan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
bahwa keberadaan Jaksa sebagai Kuasa Hukum Termohon mencederai kemandirian dan independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, harus terbebas dari pengaruh dan intervensi dari pihak manapun, termasuk pemerintah yang berkuasa baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
Jaksa adalah bagian dari Pemerintah, sedangkan Pemerintah yang berkuasa dipimpin oleh Dr. Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan salah satu pasangan calon Presiden maka pemberian kuasa kepada jaksa menimbulkan keraguan terhadap independensi KPU;
bahwa keberadaan Jaksa sebagai Kuasa Hukum Termohon melanggar Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan karena kewenangan Jaksa secara limitatif dapat bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah di bidang perdata dan tata usaha negara sementara berdasarkan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan KPU dikecualikan dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara. Begitu pula ditegaskan dalam Pasal 10 UU MK
tidak menyebut sengketa Tata Usaha Negara (TUN) sebagai sengketa yang dapat diperiksa oleh Mahkamah.
Terhadap keberatan para Pemohon tersebut, Termohon menyatakan:
bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang hanya mencantumkan perkara perdata dan perkara tata usaha negara, tidak dengan sendirinya berarti bahwa Kejaksaan hanya dapat mewakili pemerintah atau negara dalam perkara-perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara;
bahwa pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa KPU bukan instansi pemerintah karena bersifat independen dan tidak bersubordinasi atau terkooptasi dengan instansi pemerintah manapun adalah pendapat yang tepat. Sekalipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa hukum tidak memperkenankan Kejaksaan untuk mewakili KPU di dalam perkara a quo. KPU adalah unsur dari aparatur negara karena Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memperkenankan Kejaksaan untuk mewakili negara, maka Kejaksaan diperkenankan untuk mewakili semua unsur aparatur negara, termasuk KPU;
bahwa diwakilinya KPU oleh Kejaksaan tidak bertentangan pula dengan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, di mana dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu;
bahwa fakta obyektif menunjukkan bahwa dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atas hasil Pemilu legistatif 2009, KPU diwakili oleh Kejaksaan dalam seluruh perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang jumlahnya mencapai lebih dari 600 perkara. Diwakilinya KPU oleh Kejaksaan dalam hal ini selain tidak menimbulkan kekacauan hukum (legal chaos), tidak pula mengakibatkan hilangnya sifat independen KPU, sehingga KPU menjadi aparatur negara yang tersubordinasi atau terkooptasi oleh instansi pemerintah lainnya.
[3.26] Menimbang bahwa terhadap persoalan Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang mewakili Termohon (KPU) dalam Perkara a quo, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
bahwa Pasal 43 UU MK menentukan, “Dalam persidangan pemohon dan/atau termohon dapat diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu”. Kemudian Pasal 3 ayat (4) PMK 17/2009 menyatakan “Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing berdasarkan surat khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu”. Kedua ketentuan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kriteria atau persyaratan tertentu tentang siapa yang dapat bertindak sebagai kuasa hukum dalam persidangan Mahkamah, apakah berstatus advokat atau bukan yang penting mendapat surat kuasa khusus dari pihak-pihak yang berperkara sehingga pada dasarnya siapa saja dapat bertindak sebagai kuasa/kuasa hukum. Hal yang demikian sesuai dengan sistem peradilan di Indonesia yang tidak menganut sistem “procureur stelling” yang mengharuskan adanya penasihat hukum untuk mendampingi para pihak. Dengan frasa “dapat” juga menunjukkan bahwa sifatnya fakultatif;
bahwa dalam praktik selama enam tahun, Mahkamah memang membebaskan para pihak untuk diwakili siapa saja sebagai kuasa atau kuasa hukum, seperti advokat, pembela umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), biro-biro hukum
departemen atau pemerintah daerah, biro atau lembaga bantuan hukum pada fakultas hukum dan sebagainya. Terkait dengan keberadaan JPN sebagai kuasa hukum KPU dalam persidangan Mahkamah, secara empirik sudah terjadi pada sidang-sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2009 dan tidak ada protes atau keberatan dari para pemohon;
bahwa akan tetapi, memang perlu dipertimbangkan oleh KPU dan Jaksa Agung selaku penerima kuasa khusus dari KPU dan secara substitutif diwakili oleh JPN dalam persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut mengingat bahwa terdapat perbedaan posisi antara KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang harus mandiri dan netral di satu pihak dan Jaksa Agung di lain pihak sebagai institusi yang langsung berada di bawah Presiden, karena ada kemungkinan bahwa Presiden incumbent justru sebagai pemohon dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang berhadapan dengan KPU sebagai pihak Termohon;
bahwa lagi pula, ada kemungkinan terjadi sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang merupakan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya yang sudah tentu akan menyulitkan posisi Jaksa
Agung/Jaksa yang bertindak dalam kapasitas sebagai JPN, yakni Jaksa Agung/Jaksa akan mewakili lembaga negara yang mana;
bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah keberadaan JPN sebagai kuasa hukum KPU dalam perkara PHPU in casu dalam perkara a quo dapat diterima, namun di masa datang hal tersebut akan dipertimbangkan kembali demi menjaga independensi dan netralitas KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Dalam Eksepsi
[3.27] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan dari para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak Terkait, yaitu: (1) eksepsi tentang error in objecto; (2) eksepsi tentang permohonan kabur (obscuur libel); dan (3) eksepsi tentang penggantian permohonan Pemohon I.
Eksepsi tentang Error in Objecto
[3.28] Menimbang bahwa Termohon menyatakan, Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo karena permohonan Pemohon berkaitan dengan hal-hal di luar penetapan suara hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dengan alasan yang didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK juncto Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 201 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 juncto Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bahwa sebaliknya atas eksepsi Termohon dan Pihak Terkait, para Pemohon dalam kesimpulannya pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa Pasal 45 ayat (1) UU MK menetapkan, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”;
bahwa Mahkamah telah berkali-kali memutuskan sengketa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, antara lain, Putusan Nomor 49/PHPU.D -VI/2008 juncto Putusan Nomor 41/PHPU.D -VI/2008 tentang PHPU Kabupaten Tapanuli Utara dan Putusan PHPU Provinsi Jawa Timur (vide putusan a quo paragraf [3.28]).
bahwa eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak berdasarkan hukum dan selain itu pula eksepsi a quo telah menyangkut pokok perkara (bodem geschil);
Bahwa sepanjang eksepsi a quo dan alasan-alasan hukum para pihak di atas, Mahkamah mempertimbangkan dan menilai sebagai berikut:
Mahkamah memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim;
bahwa Mahkamah dalam mengadili perselisihan hasil Pemilu, tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara, tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Mahkamah tidak melihat hasil penghitungan suara an sich namun juga Mahkamah harus melihat pelanggaran-pelanggaran yang
menyebabkan terjadinya perbedaan hasil penghitungan suara untuk menegakkan keadilan.
Bahwa berdasarkan pendapat hukum di atas, Mahkamah menilai eksepsi angka satu di atas tidak tepat dan tidak berdasar hukum, oleh karenanya harus dikesampingkan.
Eksepsi tentang Permohonan Kabur (Obscuur Libel)
[3.29] Menimbang bahwa sepanjang eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tentang permohonan Pemohon kabur (obscuur libel), Mahkamah berpendapat bahwa dalam perkara a quo, suatu permohonan kabur atau tidak, dapat dinilai dengan standar hukum tertentu yaitu:
apabila posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (rechtsgrond) dan kejadian yang mendasari permohonan a quo;
apabila tidak jelas objek yang diperselisihkan, antara lain, tidak menyebutkan lokasi kejadian, waktu kejadian, siapa pelakunya, jumlah suara, atau sama sekali tidak ada objek sengketa;
posita dan petitum saling bertentangan;
petitum tidak terinci secara jelas;
eksepsi Termohon memasuki pokok permohonan (bodem geschil);
Bahwa dari permohonan Pemohon I termasuk perbaikannya dan Pemohon II, Mahkamah tidak menemukan fakta yang tidak sesuai dengan standar hukum di atas, sehingga eksepsi Termohon dan Pihak Terkait angka dua harus dikesampingkan.
Eksepsi tentang Penggantian Permohonan
[3.30] Menimbang bahwa menurut Termohon, permohonan Pemohon I yang terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29 Juli 2009, Pemohon I tidak mendalilkan masalah penghitungan suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, namun dalam perbaikan, Pemohon I melakukan perubahan permohonan dengan menambah objek sengketa. Dalam hal terdapat perbaikan terhadap permohonan, Pemohon tidak boleh mengubah dan/atau menambah objek sengketa. Hal demikian dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Termohon dalam menghadapi sengketa hukum; Bahwa menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan, ”Perbaikan permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon hanya dalam persidangan hari pertama, baik atas kemauan sendiri maupun atas nasihat hakim”;
Bahwa perubahan atau perbaikan permohonan Pemohon I dilakukan setelah pemberian kesempatan kepada Pemohon I untuk menyampaikan pokok-pokok permohonannya. Perbaikan yang demikian adalah hak Pemohon yang diatur dalam Pasal 39 UU MK juncto Pasal 7 ayat (3) PMK Nomor 17 Tahun 2009 yang memberi kesempatan untuk mengadakan perbaikan yang dipandang perlu. Sepanjang Termohon belum memberikan jawaban, maka perbaikan permohonan diperkenankan, apalagi dalam pemeriksaan perkara a quo dilakukan dalam persidangan pleno yang sekaligus merupakan pemeriksaan pendahuluan yang memperkenankan dilakukannya perbaikan permohonan. Oleh karena itu, eksepsi Termohon angka tiga tidak tepat dan harus dikesampingkan;
[3.31] Menimbang bahwa berdasarkan pandangan hukum ketiga eksepsi Termohon dan Pihak Terkait di atas, Mahkamah menilai eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak tepat dan tidak beralasan hukum, oleh karenanya eksepsi a quo harus dikesampingkan;
[3.32] Menimbang bahwa dengan dikesampingkannya eksepsi Termohon dan Pihak Terkait, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon, namun sebelumnya Mahkamah perlu menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan substansi permohonan para Pemohon, yaitu:
bahwa demokrasi dapat dimaknai sebagai pemerintahan mandiri oleh rakyat (self-governance by the people) yang untuk mewujudkannya secara baik, antara lain, dibutuhkan partisipasi rakyat dalam proses pemilu yang terbuka. Dalam konsep demokrasi a quo, kekuasaan haruslah berasal dari rakyat serta dilaksanakan oleh dan untuk rakyat. Terilhami kata “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, maka sangat tepat dikatakan bahwa memilih dan dipilih dalam Pemilu adalah derivasi atau turunan dari kedaulatan rakyat yang berikutnya dijadikan sebagai serpihan dari hak asasi setiap warga negara;
bahwa perihal “kedaulatan di tangan rakyat” telah diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Kedaulatan berada di tangan rakyat bermakna bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi pemerintahan dan melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat serta membuat Undang-Undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, Pemilu adalah sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pejabat negara tertentu untuk menjalankan fungsi masing-masing, termasuk merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut;
bahwa berbagai peraturan perundang-undangan, baik nasional maupun internasional, memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemilu, antara lain, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dengan ratifikasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan ratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial);
bahwa hak memilih dan dipilih secara tegas telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilu”, sedangkan bagi negara dibebankan kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Undang-Undang yang boleh diartikan bahwa pemerintah, partai politik, golongan, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, dan menghapuskan HAM atau kebebasan dasar;
bahwa pemaknaan konsep demokrasi sebagai kedaulatan rakyat secara universal telah diakui oleh International Commission of Jurist dalam konferensi di Bangkok pada tahun 1965 yang menyebut negara-negara penganut asas demokrasi sebagai representative government. Adapun, representative government menurut International Commission of Jurist adalah “a government deriving its power and authority from the people, which the people and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them” (representative government adalah suatu pemerintahan yang kekuasaan dan kewenangannya bersumber dari rakyat, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas dan wakil-wakil tersebut bertanggung jawab kepada rakyat);
bahwa pelaksanaan asas-asas demokrasi yang ideal oleh sebuah negara haruslah memenuhi 5 (lima) kriteria, yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat; dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya
masyarakat yang mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum;
bahwa apabila dikaitkan dengan Pemilu, Robert Dahl mengemukakan 5 (lima) indikator empirik demokrasi yang tiga diantaranya adalah sebagai berikut:
Control over govermental decisions about policy is constitutionally vested in elected officials (kewenangan untuk mengontrol keputusan-keputusan pemerintah yang terkait dengan kebijakan berada di tangan pejabat-pejabat yang dipilih);
Elected officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair and free election in which coercion is quite limited (pejabat-pejabat terpilih a quo dipilih dan diganti secara damai melalui pemilu yang dilaksanakan secara relatif sering, adil dan bebas, dimana penggunaan kekerasan sangat minim);
Practically all adults have the right to vote in these elections (dalam praktiknya, semua orang yang sudah dewasa berhak untuk memberikan suaranya dalam pemilu);
bahwa hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik secara adil dilindungi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan telah diakui dalam UUD 1945. Oleh karenanya, hak berpartisipasi dalam pemilu merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia yang memberi jaminan kepada setiap warga negara untuk turut serta dalam pemilu. Dalam hal ini, Pemilu berfungsi sebagai wahana pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya. Dengan terlibat dalam proses pelaksanaan pemilu, warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung sebagai warga negara untuk berkiprah dalam sistem demokrasi, terutama dalam membentuk pemerintahan. Melalui Pemilu, rakyat diharapkan paham dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan negaranya;
bahwa salah satu aksioma, yakni pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian, dalam sistem politik yang demokratis adalah bahwa demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar seperti
hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, maupun hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status, gender, kelas sosial, dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Oleh karenanya, dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu harus mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun;
bahwa telah pula ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 bahwa proses Pemilu harus berlangsung secara bebas dan adil. Penegasan a quo tidaklah cukup apabila hanya dalam tataran abstrak, melainkan harus benar-benar terwujud dalam kenyataan, yaitu dalam penyelenggaraan Pemilu, sebab segala bentuk kecurangan dalam Pemilu selain akan menghancurkan sistem demokrasi juga merupakan ancaman bagi HAM;
bahwa demokrasi yang esensial dan ideal pun tidak mungkin dapat diwujudkan apabila terdapat manipulasi dalam pemilu, baik dengan cara memanipulasi fakta maupun menghambat arus informasi serta mengekang kritik. Sekalipun keinginan untuk memanipulasi fakta maupun opini dalam masyarakat itu bersumber dari motif untuk mengupayakan keuntungan atau manfaat bagi masyarakat, namun memilih untuk melakukan manipulasi opini justru dapat mengorbankan demokrasi itu sendiri;
bahwa dalam menjalankan hak warga negara di bidang politik, negara dibenarkan membatasinya melalui undang-undang, sepanjang dilaksanakan dengan tetap memerhatikan aspek perlindungan HAM sebagai hak fundamental warga negara (vide Pasal 28J UUD 1945). Tujuan pembatasan
a quo semata-mata adalah untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Pembatasan dimaksud telah dilaksanakan oleh negara melalui Pasal 20 UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif yang menyebutkan, “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih”;
bahwa Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 mengamanatkan agar pemilihan umum diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Di antara keenam asas Pemilu, asas “umum” mengandung makna bahwa konstitusi menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi syarat untuk ikut serta dalam pemilu tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Sedangkan, asas “jujur dan adil” bermakna bahwa dalam penyelenggaraan Pemilu, penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun;
bahwa untuk menjamin pelaksanaan Pemilu sesuai dengan dasar-dasar pandangan di atas, selain menentukan jaminan hak politik dan menentukan sebuah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, UUD 1945 juga menentukan adanya satu lembaga negara yang diberi wewenang untuk mengadili perselisihan hasil pemilu, yakni Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 24C ayat (1) UUD 1945]. Mahkamah Konstitusi diberi wewenang penyelesaian sengketa bilamana ada pihak yang menilai bahwa pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, mengandung kecurangan, melanggar hukum dan keadilan, serta melanggar hak-hak politik rakyat. Dalam melaksanakan wewenangnya tersebut Mahkamah Konstitusi berpijak pada tiga asas, yakni menegakkan kepastian hukum, menegakkan keadilan, dan menjamin kemanfaatan bagi masyarakat dan negara;
bahwa dalam menangani sengketa hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi berpedoman pula pada paradigma keadilan substantif. Dengan penekanan
pada keadilan substantif dimaksudkan bahwa meskipun suatu perbuatan secara formal-prosedural benar tetapi substansinya melanggar keadilan atau mengandung pelanggaran serius yang dibungkus dengan kebenaran formal maka dapat dinyatakan salah. Sebaliknya, meskipun suatu perbuatan secara formal-prosedural mengandung kesalahan tetapi tidak melanggar substansi keadilan dan kesalahan tersebut bersifat tolerable maka dapat dinyatakan tidak salah. Betapa pun jika suatu ketentuan undang-undang dilanggar dengan sengaja apalagi sampai berkali-kali tentulah dapat dikatakan intolerable dan mengandung ketidakadilan. Sikap Mahkamah yang demikian didasarkan pula pada tujuan untuk memberi manfaat kepada negara dan masyarakat;
bahwa baik para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dalam perkara a quo mempunyai kepentingan yang sama untuk menegakkan hukum dan demokrasi, akan tetapi mempunyai perbedaan persepsi dan penilaian terhadap penyelenggaraan Pemilu. Untuk mengatasi perbedaan tersebut, hukum sebagai refleksi keadilan, harus mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi terciptanya harmonisasi kepentingan para pihak yang berbeda dalam masyarakat khususnya dalam menyikapi hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini sesuai dengan maksud Putusan Mahkamah yang menjangkau harapan masa depan yang lebih baik bagi kepentingan bangsa dan negara;
bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah atas penegakan keadilan substantif bukan berarti Mahkamah harus selalu mengabaikan bunyi Undang-Undang. Dalam mengimplementasikan paradigma ini Mahkamah dapat keluar atau mengabaikan bunyi Undang-Undang, tetapi tidak harus selalu mengabaikan atau keluar dari bunyi Undang-Undang. Selama bunyi Undang-Undang memberi rasa keadilan, maka Mahkamah akan menjadikannya sebagai dasar pengambilan putusan. Sebaliknya, jika penerapan bunyi Undang-Undang tidak dapat memberi keadilan, maka Mahkamah dapat mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan sendiri. Inilah inti hukum progresif atau hukum responsif yang dipahami dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi;
bahwa berkenaan dengan paradigma tersebut, maka dalam menangani sengketa hasil pemilu Mahkamah tidak hanya menilai kebenaran kuantitatif dalam penetapan hasil Pemilu, seperti menghitung kebenaran penetapan jumlah suara yang diperoleh partai politik atau peserta Pemilu, melainkan sekaligus menilai proses pelaksanaan Pemilu untuk mencari kebenaran secara
kualitatif. Oleh sebab itu, jika dalam proses Pemilu terjadi pelanggaran, baik administratif maupun pidana, yang memengaruhi hasil Pemilu secara signifikan, tanpa harus memastikan penetapan jumlah (kuantitatif) yang salah dalam penetapannya, maka Mahkamah dapat menentukan putusan atau sanksi tersendiri demi tegaknya keadilan, sekaligus untuk pembelajaran dan pendidikan agar pada Pemilu-Pemilu berikutnya pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi. Meskipun demikian, agar dalam menegakkan keadilan tersebut tetap didasarkan pada rasionalitas dan diterima oleh common sense publik, maka kesalahan kualitatif proses pemilu yang dapat dijatuhi sanksi (condemnatoir) oleh Mahkamah adalah pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
[3.33] Menimbang bahwa dari fakta hukum, baik dalil Pemohon, jawaban Termohon, dan keterangan Pihak Terkait, bukti-bukti surat dan keterangan saksi-saksi Pemohon, bukti-bukti surat Termohon dan Pihak Terkait, maupun kesimpulan Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait, Mahkamah menemukan fakta hukum, baik yang diakui maupun yang menjadi perselisihan hukum para pihak, sebagai berikut:
[3.33.1] Bahwa di persidangan terdapat fakta hukum dan dalil permohonan Pemohon yang tidak disanggah oleh Termohon dan Pihak Terkait, karena fakta hukum tersebut telah menjadi hukum bagi Pemohon dan Termohon, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi, yaitu:
Kedudukan hukum para Pemohon;
Tenggang waktu pengajuan permohonan;
Keputusan KPU Nomor 295/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 tertanggal 29 Mei 2009;
Keputusan KPU Nomor 297/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Menjadi Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 tertanggal 30 Mei 2009.
[3.33.2] Menimbang bahwa di samping fakta hukum atau hal-hal yang diakui para pihak dalam persidangan juga terdapat fakta hukum atau hal-hal yang menjadi perselisihan hukum para pihak yang dapat dikelompokkan, yaitu: (1) masalah yang bersifat kualitatif (2) masalah yang bersifat kuantitatif;
Masalah yang Bersifat Kualitatif:
Bantuan International Foundation for Electoral Systems (IFES) yang dinilai sebagai campur tangan pihak asing;
Penghapusan atau pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS);
Daftar Pemilih Tetap (DPT);
Pelanggaran Pemilu lainnya.
Masalah yang Bersifat Kuantitatif:
Penggelembungan suara;
Pengurangan suara.
[3.34] Menimbang bahwa terhadap hal-hal yang menjadi perselisihan hukum di atas, Mahkamah akan memberikan pertimbangan dan penilaian hukum berdasarkan fakta hukum, bukti-bukti, dan keterangan saksi-saksi, serta keterangan para Ahli yang relevan dengan perselisihan hukumnya, sebagai berikut:
1. Masalah Bantuan IFES yang dinilai sebagai Campur Tangan Pihak Asing
Bahwa bantuan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, setidak-tidaknya sejak berlangsungnya Pemilu di era reformasi (Pemilu 1999 dan Pemilu 2004), misalnya terdapat bantuan untuk pendidikan pemilih, bantuan teknologi, dan sebagainya. Memang belum terdapat bukti-bukti bahwa bantuan pihak asing tersebut merupakan manifestasi adanya campur tangan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, namun seyogianya di masa depan bantuan pihak asing tersebut dihindari agar tidak menimbulkan kecurigaan dan mengganggu netralitas penyelenggara Pemilu;
Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan bantuan IFES kepada KPU merupakan bentuk campur tangan pihak asing dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia masih sebatas dugaan atau sinyalemen yang tidak didukung oleh bukti
bukti yang meyakinkan, sehingga menurut Mahkamah dalil tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa KPU tidak netral dan ada campur tangan pihak asing agar memenangkan pasangan calon tertentu.
Masalah Regrouping TPS Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Bahwa adanya pengurangan dan/atau penciutan jumlah TPS yang dalam Pemilu Legislatif berjumlah 519.047 TPS sedangkan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berkurang atau hilang sebanyak 69.000 TPS, menurut Pemohon I mengakibatkan berkurangnya perolehan suaranya sebanyak 70% dari 34.500.000 suara, yaitu sebanyak 24.150.000 suara. Sementara itu, Pemohon II mendalilkan bahwa Termohon menghilangkan 68.918 TPS, sehingga berpotensi menghilangkan perolehan suara Pemohon II sejumlah 34.459.000 suara Pemilih;
Bahwa adanya perbedaan angka jumlah TPS yang didalilkan hilang oleh para Pemohon (Pemohon I sebanyak 69.000 TPS dan Pemohon II sebanyak 68.918 TPS), prima facie sudah menunjukkan terdapat ketidakakuratan data yang diajukan oleh salah satu Pemohon atau oleh kedua-duanya;
Bahwa pengurangan atau penghilangan jumlah TPS yang dilakukan oleh Termohon adalah untuk memenuhi ketentuan UU 42/2008 yang dalam Pasal 150 ayat (1) UU 10/2008 ditentukan bahwa pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 orang, sedangkan dalam Pasal 113 ayat (1) UU 42/2008 ditentukan pemilih untuk setiap TPS paling banyak 800 orang;
Bahwa mengenai penambahan data pemilih yang tentu saja memengaruhi jumlah TPS adalah suatu kenyataan karena berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU 10/2008, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan data kependudukan dan sudah harus diserahkan kepada Termohon paling lambat 12 bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UU 42/2008, DPT dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dijadikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa Ahli Abdul Rasyid Sholeh (Dirjen Administrasi Kependudukan, Departemen Dalam Negeri) mengakui bahwa data kependudukan yang diserahkan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada Termohon memang belum sempurna;
Bahwa pengurangan dan/atau penciutan jumlah TPS tersebut baik secara normatif maupun faktual dapat dibenarkan, oleh karena jumlah kandidat yang dipilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jauh lebih banyak (terdiri atas 44 partai politik dan sejumlah besar calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD) daripada jumlah kandidat yang dipilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri atas tiga pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka setiap pemilih dalam Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dapat lebih cepat dan lebih mudah untuk melaksanakan hak pilihnya, sehingga penambahan jumlah pemilih di setiap TPS (maksimal 800 orang) merupakan suatu hal yang mengurangi jumlah petugas pelaksana Pemilu dan juga saksi-saksi yang harus dihadirkan. Selain itu,
Termohon dalam persidangan juga mengungkapkan hal tersebut akan menghemat biaya atas penggunaan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN);
Bahwa jika dibandingkan antara jumlah TPS pada Pemilu Legislatif dan jumlah TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta ketentuan batas jumlah pemilih dalam satu TPS pada kedua Pemilu tersebut, sesungguhnya jumlah TPS bisa berkurang hingga hampir setengahnya. Namun demikian, dalam
kenyataannya pengurangan tersebut tidak sampai mendekati setengah dari 519.000 TPS dalam Pemilu Legislatif, karena hanya berkurang sekitar 69.000 TPS. Artinya, pengurangan tersebut masih rasional;
Bahwa pengurangan jumlah TPS yang dilakukan oleh Termohon tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, oleh karena dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut di atas, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Termohon melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, yang dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) menentukan:
(1) Jumlah Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 800 (delapan ratus) orang.
Dalam menentukan jumlah pemilih untuk setiap TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS dapat diselesaikan pada hari dan tanggal yang sama, KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS harus memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat, yaitu:
tidak menggabungkan desa/kelurahan;
memudahkan pemilih;
memperhatikan aspek geografis;
batas waktu yang disediakan untuk pemungutan suara; dan
jarak tempuh menuju TPS;
TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat dan menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.
Bahwa jumlah riil seluruh TPS sesungguhnya secara nyata sudah diketahui oleh para Pemohon dengan bukti adanya saksi-saksi Pemohon di setiap TPS yang menandatangani formulir yang telah ditentukan;
Bahwa perubahan DPT secara tidak langsung berdampak pada jumlah TPS dan pengelompokan-pengelompokan pemilih pada setiap TPS. Perubahan jumlah TPS tersebut antara lain dituangkan dalam Keputusan KPU Nomor 301/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, Keputusan KPU Nomor 315/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 301/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, dan Keputusan KPU Nomor 357/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 315/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor
301/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Badan Pelaksana Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009;
Bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka penentuan jumlah pemilih untuk tiap TPS maksimal 800 orang oleh KPU adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bukan semata-mata menghilangkan 69.000 TPS atau 68.918 TPS sebagaimana didalilkan Pemohon I dan Pemohon II. Terlebih lagi, hal yang sangat mendasar adalah perubahan jumlah TPS harus dilihat dalam konteks bahwa hak memilih yang disalurkan ke TPS-TPS adalah hak asasi, sedangkan perubahan jumlah TPS hanyalah masalah administrasi yang tidak boleh menjadi sebab terhalangnya pemilih menggunakan hak pilihnya yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian dalil para Pemohon yang membandingkan jumlah TPS pada Pemilu Legislatif sejumlah 519.000 TPS menjadi 450.000 TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah tidak berdasarkan atas hukum;
Bahwa seandainya pun benar terjadi “penghilangan jumlah TPS” sebanyak 69.000 TPS menurut Pemohon I atau 68.918 TPS menurut Pemohon II, quod non, hal demikian tidak akan secara serta merta menguntungkan salah satu pasangan calon, sehingga tidak dapat diklaim sebagai merugikan pasangan calon lainnya. Mahkamah menilai, sangat tidak rasional jika 69.000 TPS dikalikan dengan 500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilihnya diakui sebagai perolehan suara Pemohon I. Adapun terkait istilah “pemilih pemohon” yang didalilkan Pemohon II dianggap sebagai kader partai Pemohon II yang hanya karena memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai atau menjadi anggota tim sukses atau simpatisan partai, hal tersebut hanya bersifat hipotetis atau asumtif belaka, sebab pada saat pencontrengan setiap pemilih tetap memilih secara bebas dan rahasia. Selain itu, Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat membuktikan bahwa dengan dikuranginya jumlah TPS menyebabkan hilangnya suara pemilih. Apalagi Termohon dapat membuktikan bahwa semua pemilih sudah disalurkan ke TPS-TPS baru melalui regrouping yang sah (vide Bukti T-31 s.d. Bukti T-33);
3. Permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
[3.35] Menimbang bahwa penyusunan daftar pemilih adalah suatu tahapan Pemilu yang merupakan administrasi Pemilu yang kompleks dan seringkali kontroversial, padahal merupakan tahapan Pemilu yang sangat menentukan tahapan-tahapan Pemilu selanjutnya. Kehendak agar semua pemilih harus didaftar dalam daftar pemilih adalah tujuan yang ideal. Namun, adanya perpindahan alami para pemilih, luasnya sebaran daerah pemilihan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, dan penyebaran tempat pemungutan suara yang tidak merata di suatu daerah, juga menjadi sebab dibutuhkannya pembaruan data kependudukan
dalam daftar pemilih secara terus-menerus. Oleh karenanya, hal tersebut dipandang memberi akses bagi kerumitan dalam penyusunan administrasi daftar pemilih, proses yang memakan waktu lama, dan biaya mahal, sehingga Penyelenggara Pemilu diharapkan memiliki kemampuan memadai untuk mengakomodasi secara adil tuntutan para peserta Pemilu;
[3.36] Menimbang bahwa salah satu sendi tegaknya sistem politik yang demokratis adalah terlaksananya Pemilu yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang tujuannya untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi dengan cara memilih orang yang mereka percayai yang dalam hal ini adalah orang-orang yang berhak menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka ikut sertanya rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan yang pada pelaksanaan Pemilu diimplementasikan dalam hak pilih yang secara prinsip dikenal melalui dua macam hak pilih, yaitu: (1) hak pilih aktif atau sering dikenal sebagai hak untuk memilih; dan (2) hak pilih pasif yaitu hak untuk dipilih menjadi anggota dewan perwakilan atau Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, salah satu nilai demokrasi dalam Pemilu ditandai dengan terwujudnya perpindahan kekuasaan negara secara damai dan demokratis;
[3.37] Menimbang bahwa ditetapkannya penyusunan daftar pemilih sebagai tahapan pertama dalam pelaksanaan Pemilu haruslah dimaknai bahwa tahapan ini menjadi titik penting yang secara langsung berakibat terhadap hasil Pemilu dimana telah ada jaminan hak-hak warga negara yang telah memenuhi syarat untuk memberikan hak pilihnya dalam Pemilu. Rentang waktu yang panjang, pelibatan organisasi penyelenggara Pemilu sampai ke tingkat desa, kewajiban pemerintah menyediakan data penduduk pemilih potensial, dan terjadinya beberapa kali perubahan DPT menandakan Termohon mengalami berbagai kendala dalam menetapkan daftar pemilih. Hal ini tidak hanya menjamin keikutsertaan setiap warga negara dalam melaksanakan hak pilihnya, termasuk ketika muncul potensi hilangnya suara rakyat dalam Pemilu akibat tidak terdaftar dalam daftar pemilih. Dengan demikian, menegakkan prinsip kedaulatan rakyat yang tidak dapat dinegasikan oleh kekuasaan apapun yang djamin dalam UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 102/PUU-VII/2009 tertanggal 6 Juli 2009 telah berusaha menegakkan hak konstitusional warga negara dengan memberikan kesempatan kepada warga negara yang tidak terdapat dalam daftar pemilih, namun tetap berkeinginan untuk memberikan hak pilihnya (right to vote);
[3.38] Menimbang bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) telah memberikan kewajiban kepada Termohon untuk menyusun daftar pemilih, pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara (DPS), rekapitulasi pemilih, dan mewajibkan Bawaslu untuk melakukan pengawasan atas penyusunan daftar pemilih. Sementara itu, UU 10/2008 mewajibkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan data kependudukan dan menyerahkannya kepada Termohon. Artinya, Undang-Undang telah menegaskan bahwa pelaksanaan tahapan Pemilu dalam penyusunan daftar pemilih bukan merupakan kewajiban Termohon semata, melainkan juga merupakan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan data kependudukan, serta peran Bawaslu dalam mengawasi tahapan penyelenggaraan penyusunan daftar pemilih agar sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang;
[3.39] Menimbang bahwa keberatan para Pemohon tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, pada dasarnya didalilkan oleh masing-masing Pemohon dengan data yang berbeda-beda antara Pemohon I dan Pemohon II yang meliputi, antara lain, tidak dipatuhinya tenggat waktu penetapan DPT; pemilih dengan NIK ganda; nama dan NIK yang ganda; serta nama, alamat, tanggal lahir dan NIK ganda. Selain itu, Pemohon juga mendalilkan adanya perbedaan soft copy DPT yang diberikan kepada peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan yang dimiliki oleh Termohon sehingga para Pemohon menyimpulkan bahwa Pemilu telah dilaksanakan tanpa DPT atau setidak-tidaknya menggunakan DPT yang tidak sah menurut hukum. Mahkamah berpendapat, sebelum keberatan ini dipertimbangkan secara komprehensif, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal
berikut.
bahwa keberadaan DPT yang akurat memang merupakan prasyarat berlangsungnya pemilihan umum secara transparan dan adil yang dapat digunakan sebagai alat kontrol terhadap kemungkinan penambahan atau
pengurangan perolehan suara secara tidak sah untuk peserta pemilihan umum
oleh pihak penyelenggara. Hal tersebut dapat merugikan salah satu peserta, sehingga tujuan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat tidak tercapai dan proses prosedur demokrasi untuk memperoleh pemimpin yang sesungguhnya diberi mandat oleh rakyat tidak mengalami distorsi dan pembelokan kehendak rakyat;
bahwa DPT untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) oleh UU 42/2008, justru didasarkan pada Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Legislatif yang dijadikan sebagai Daftar Pemilih Sementara Pilpres dengan kewajiban bagi KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPS untuk memutakhirkan DPS tersebut setelah mendapat masukan dan tanggapan dari masyarakat, setelah itu KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU melakukan rekapitulasi DPT tersebut (vide Pasal 29 dan Pasal 30 UU 42/2008), yang kemudian ditetapkan sebagai DPT 30 hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara Presiden dan Wakil Presiden;
bahwa pencantuman nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia sebagai syarat minimum dimasukkannya pemilih dalam daftar pemilih, didasarkan pada data kependudukan (DP-4) sebagai bahan penyusunan daftar pemilih yang disediakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari atau tanggal pemungutan suara (vide Pasal 32 dan Pasal 33 UU 10/2008). Data tersebut kemudian dimutakhirkan oleh KPU Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh PPS, dan PPS dibantu pula oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri dari perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga dan warga masyarakat. Atas dasar pemutakhiran tersebut, kemudian ditetapkan daftar pemilih sementara yang disusun PPS atas dasar data berbasis rukun tetangga yang diumumkan selama tujuh hari untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat dan peserta Pemilu. Setelah mendapat masukan dan tanggapan melalui proses pengumuman, DPS hasil perbaikan tersebut kemudian disampaikan oleh PPS kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK untuk melakukan penyusunan DPT (vide Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 UU 10/2008 juncto Pasal 29 dan Pasal 30 UU 42/2008);
bahwa proses panjang penetapan DPT Pilpres yang menggunakan DPT Pemilu legislatif sebagai daftar pemilihan sementara untuk diproses menjadi DPT Pilpres , ternyata mengalami banyak kekurangan. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 dan Nomor Urut 3 menyatakan keberatan dan telah mempermasalahkan adanya nama-nama dan NIK ganda serta NIK fiktif; bahkan menyatakan bahwa Termohon tidak melakukan pemutakhiran data yang dipandang merupakan pelanggaran hukum yang sistemik dan masif, sehingga menghilangkan hak pilih warga negara dan menyebabkan Pilpres telah berlangsung tanpa DPT. Semua hal ini tidak dapat dinilai hanya pada proses penetapan DPT Pilpres, karena DPT dalam Pilpres tersebut sangat berkaitan erat dengan syarat dan proses yang terjadi dalam penetapan DPT Pemilu Legislatif yang oleh Pasal 33 ayat (2) UU 10/2008 disyaratkan bahwa data daftar pemilih dimaksud sekurang-kurangnya atau minimal harus memuat 5 (lima) unsur, dan salah satu di antaranya adalah nomor induk kependudukan;
bahwa sistem manajemen kependudukan di Indonesia sampai sekarang belum tertib. Untuk memperbaikinya maka pada tahun 1996 dibentuk Sistem Manajemen Kependudukan di Departemen Dalam Negeri yang selanjutnya ditangani oleh berbagai lembaga yang silih berganti dan berupaya mengharuskan penggunaan data kependudukan. Sesuai dengan keterangan Ahli Abdul Rasyid Sholeh (Dirjen Administrasi Kependudukan, Departemen
Dalam Negeri), manajemen kependudukan tersebut kemudian ditangani oleh Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri. Dalam rangka menata manajemen kependudukan tersebut, Pemerintah telah mengupayakan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674) yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 2006, selanjutnya disebut UU 23/2006, yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan penataan dan penertiban dokumen dan data kependudukan yang mengharuskan adanya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor identitas kependudukan bagi setiap warga negara Indonesia yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Pasal 101 huruf a Undang-Undang a quo memberi tenggat lima tahun kepada
Pemerintah untuk memberikan NIK kepada setiap penduduk, dengan kewajiban bagi semua instansi menjadikannya sebagai dasar dalam penerbitan dokumen-dokumen kependudukan, surat izin mengemudi, paspor, sertifikat hak atas tanah, dan dokumen-dokumen lain, serta kemudian juga dijadikan sebagai dasar untuk menyusun data daftar pemilih dalam Pemilu yang harus memuat NIK tersebut;
bahwa dengan jarak waktu yang sedemikian singkat antara diundangkannya UU 23/2006 dan penetapan DPS yang dimutakhirkan menjadi DPT, maka menurut Dirjen Administrasi Kependudukan, dengan kondisi wilayah seperti Indonesia, menjadi sangat beresiko untuk mensyaratkannya sebagai salah satu data daftar pemilih dalam Pemilu 2009. Alasannya, data kependudukan yang dimiliki Pemerintah Daerah di tingkat Kabupaten/Kota untuk diberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara tunggal dan nasional tidak dapat dengan mudah diselesaikan dalam jangka waktu tersebut. Bahkan Ahli telah mengingatkan adalah berbahaya jika hanya dengan tenggang waktu lima bulan DPT ditetapkan pada bulan Oktober dan Hari H Pemilu pada bulan April 2009, karena masih banyak celah yang ditemukan dalam Undang-Undang. Hal tersebut telah disampaikan kepada Pansus RUU Pemilu legislatif, akan tetapi Pansus tersebut mengabaikannya. Dalam masa yang singkat, pada kenyataannya penduduk yang memiliki NIK belum merata, meskipun data jumlah penduduk, nama dan alamat, serta tanggal lahir disediakan oleh Pemerintah Daerah, sehingga ditentukannya daftar pemilih dalam Pemilu harus memuat NIK sebagai salah satu dari lima data yang dipersyaratkan, sudah diperkirakan akan membawa masalah. Oleh karena itu, dengan sistem manajemen kependudukan yang masih belum tertib, sejak awal sudah seharusnya dipertimbangkan tentang sulitnya untuk mencapai tingkat akurasi DPT secara nasional yang tinggi tanpa menimbulkan kecurigaan dari peserta pemilihan umum terhadap penyelenggara dan pihak lainnya, dan mempertimbangkan jangka waktu yang lebih panjang dengan menggunakan metode yang pernah ditempuh pada Pemilu tahun 2004;
[3.40] Menimbang bahwa meskipun dipandang telah terbukti secara gamblang bahwa DPT mengalami masalah karena adanya NIK ganda, di antara nama pemilih yang sama dan NIK dan alamat yang sama, dengan jumlah yang dikatakan oleh para Pemohon sebagai masif, akan tetapi Mahkamah harus menilai apakah bukti-bukti yang diajukan baik oleh Pemohon I maupun oleh Pemohon II dapat menunjukkan dengan jelas bagaimana para Pemohon dapat sampai pada angka penggelembungan data dengan jumlah pemilih sebagaimana didalilkan. Baik dari
penelusuran yang dilakukan terhadap soft copy DPT yang dijadikan sebagai alat bukti maupun dari keterangan saksi para Pemohon, harus diakui adanya sejumlah pemilih yang memiliki NIK dan nama ganda dalam soft copy DPT yang diajukan. Terhadap hal tersebut Mahkamah masih harus menemukan apakah angka sebagaimana didalilkan oleh Pemohon I sejumlah 25.303.054 sebagai pemilih fiktif dan yang didalilkan oleh Pemohon II sejumlah 22.764.981 sebagai data pemilih bermasalah, sesuai dengan kenyataan di lapangan yang berbasis TPS;
[3.41] Menimbang bahwa meskipun dari tanggal penetapan DPT yang berturut-turut yaitu tanggal 31 Mei, 8 Juni, dan 6 Juli tahun 2009, telah dapat dibuktikan secara tegas adanya pelanggaran yang dilakukan KPU terhadap Pasal 29 ayat (5) UU 42/2008 yang menentukan bahwa DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden seharusnya sudah ditetapkan 30 hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara pada Pilpres, menurut Mahkamah telah menjadi hal yang sudah diketahui umum (notoir feiten) adanya masalah-masalah yang berkaitan dengan DPT karena ditemukannya NIK ganda dan jumlah pemilih dalam DPT yang berubah-ubah. Dalam pada itu, Pemohon I dan Pemohon II telah mendesak Termohon untuk memperbaiki DPT tersebut, meskipun tenggat sudah terlampaui, termasuk di antaranya dengan adanya rekomendasi yang dilakukan oleh Panwaslu di beberapa Provinsi untuk memperbaiki DPT tersebut. Atas desakan dan
rekomendasi tersebut di seluruh tanah air, sampai saat-saat terakhir, penyelenggara Pemilu melakukan perbaikan, baik dengan menambah pemilih yang berhak memilih tetapi tidak terdaftar maupun dengan mengurangi pemilih yang tidak berhak dan mencoretnya dari daftar pemilih, sehingga soft copy data DPT yang diberikan oleh KPU kepada peserta Pemilu mengalami ketertinggalan dengan keadaan sesungguhnya di TPS sebagai basis pelaksanaan Pemilu;
[3.42] Menimbang bahwa karena data pemilih berkembang dinamis, maka timbul pertanyaan data DPT manakah yang dapat dipercayai dan menjadi pegangan bagi para peserta Pemilu dan pemilih serta adakah data secara nasional yang dapat dipedomani selain data soft copy DPT yang diserahkan oleh Termohon kepada para peserta Pemilu. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah bahwa data DPT telah ditempelkan pada tiap-tiap TPS yang terbuka bagi setiap warga negara dan bagi para peserta Pemilu dengan pengumuman untuk memberi masukan agar yang berhak memilih tetapi tidak terdapat dalam daftar pemilih dapat dimasukkan atau yang tidak berhak memilih lagi tetapi terdapat dalam daftar, dapat dikeluarkan atau dicoret dari DPT (vide Bukti T-5). Oleh karenanya, meskipun secara nasional angka DPT tidak dapat lagi dihitung secara akurat karena dinamika perubahan data pemilih, akan tetapi pengawasan yang dilakukan baik oleh Bawaslu sampai ke pengawas Pemilu lapangan, saksi-saksi peserta Pemilu, pemantau Pemilu, media massa, maupun pengawasan masyarakat pada umumnya, menyebabkan tidak mudah dilakukan rekayasa tertentu terhadap DPT. Seandainya pun hal tersebut benar terjadi, tidak dengan sendirinya menyebabkan orang-orang yang terdaftar dalam DPT lebih dari satu kali dapat melaksanakan hak pilihnya lebih dari satu kali. Dengan bukti-bukti yang diajukan para Pemohon tentang adanya proses hukum yang dilakukan terhadap pelanggar demikian, telah dijatuhi pidana penjara, dan angka kecurangan tersebut sudah tidak dimasukkan di dalam penetapan hasil Pemilu. Pengawasan yang berlapis dan terbuka, terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ditemukan, baik dalam sistem maupun integritas penyelenggara di tingkat bawah, seluruh proses pada akhirnya bermuara pada hasil pemungutan suara yang dihitung dengan kehadiran seluruh saksi peserta Pemilu, Panitia Pengawas, dan masyarakat pada umumnya dengan menggunakan daftar pemilih riil. Dengan daftar pemilih riil tersebut maka daftar yang digunakan secara nyata dalam pemungutan suara di TPS adalah daftar pemilih yang ditetapkan oleh KPU dengan langsung mencoret jika ada nama ganda atau yang tidak berhak memilih, misalnya anak di bawah umur, anggota TNI/Polri, dan orang yang sudah meninggal dunia, serta menambahkan pemilih jika ada yang menggunakan KTP atau Paspor, sehingga pemilih yang demikian sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Termohon adalah pemilih riil dan bukan pemilih fiktif;
[3.43] Menimbang bahwa fokus keberatan para Pemohon secara kualitatif dan kuantitatif, berpusat pada DPT yang memuat NIK, Nama, NIK dan alamat yang ganda yang dijadikan sebagai dasar bagi dalil adanya pemilih fiktif dan penggelembungan suara bagi satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, yang kemudian dimuat dalam petitum permohonan baik secara tunggal maupun alternatif. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon I menyatakan bahwa dari soft copyyang diterimanya dari Termohon, terdapat data sejumlah 25.303.054 orang yang memiliki NIK ganda, 11.003.117 orang dengan NIK dan nama ganda, 6.026.805 orang dengan NIK, nama, tempat dan tanggal lahir yang ganda, serta 4.956.102 orang dengan NIK, nama, tempat tanggal lahir dan alamat ganda, yang secara
keseluruhan dihitung sejumlah 47.289.078, yang berpotensi menguntungkan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu, Pemohon II menyatakan Termohon dengan sengaja atau lalai menyebabkan terjadinya penambahan suara yang tidak sah di 25 Provinsi kepada pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 sebesar 28.658.634 suara, dan terdapat sejumlah 22.764.981 data pemilih bermasalah karena NIK ganda, NIK dan nama yang sama, DPT tanpa NIK dan DPT yang datanya kosong;
[3.44] Menimbang bahwa sepanjang dalil Pemohon I tentang pemilih bermasalah sejumlah 47.289.078 dan Pemohon II yang mengemukakan adanya penggelembungan sejumlah 28.658.634 suara untuk pasangan calon Nomor Urut 2 dan adanya data pemilih bermasalah sejumlah 22.764.981, tidak dapat diterima kebenarannya menurut hukum, karena selain Pemohon I dan Pemohon II tidak menguraikan secara rinci dan jelas NIK ganda, NIK dan nama yang ganda; NIK, nama, tanggal lahir yang sama; dan NIK, nama, tanggal lahir, dan alamat sama, penghitungan para Pemohon tersebut juga tidak dapat ditelusuri dengan aplikasi piranti lunak yang kompatibel untuk itu. Berdasarkan analisis dari data yang diajukan Pemohon berupa soft copy DPT yang diperoleh dari Termohon (Bukti PI-12 dan PII-36) memang ditemukan terjadi NIK ganda, nama ganda, tempat tanggal lahir ganda, dan alamat ganda. Untuk NIK yang ganda ditemukan sejumlah 11.966.195 sebanding dengan 6,78% dari jumlah DPT berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum No. 316/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 8 Juni 2009 sejumlah 176.395.015. Untuk kombinasi NIK dan Nama yang ganda ditemukan sejumlah 4.630.441 sama dengan 2,63% dari 176.395.015. Sementara itu, untuk kombinasi NIK, nama, dan tempat tanggal lahir ditemukan sejumlah 3.676.196 atau 2,08% dari 176.395.015, sedangkan kombinasi NIK, nama, tempat tanggal lahir, dan Alamat yang ganda ditemukan sebesar 3.642.090 atau 2,05% dari 176.395.015;
[3.45] Menimbang bahwa akan tetapi meskipun demikian oleh karena tidak terintegrasinya pemutakhiran DPT antara Termohon di tingkat pusat dan daerah, maka penggunaan soft copy DPT tidak dapat dijadikan pedoman akhir untuk menentukan jumlah dan rincian DPT yang sebenarnya. Oleh karena, DPT dalam bentuk soft copy tersebut seharusnya didukung dengan DPT riil yang berada di masing-masing TPS untuk memperoleh angka yang sebenarnya, sehingga Mahkamah tidak mungkin dihadapkan untuk menilai bukti-bukti yang tidak dapat dipersandingkan (comparing the incomparable);
[3.46] Menimbang bahwa setelah mencermati semua alat bukti, baik bukti elektronik, tulisan, maupun saksi yang berkenaan dengan masalah DPT yang dianggap bermasalah atau fiktif, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun tidak dapat dikesampingkan terjadinya kesalahan dalam penyusunan DPT by design untuk daerah tertentu, jumlah pemilih bermasalah dalam DPT yang ditunjukkan dengan bukti soft copy, dan pelanggaran Undang-Undang yang dilakukan Termohon dalam penetapan DPT, Mahkamah akan memberi pendapat terhadap seluruh permasalahan DPT yang memunculkan pertanyaan apakah benar Pemilihan Umum telah dilaksanakan tanpa DPT, setelah mempertimbangkan hal-hal berikut:
bahwa jumlah pemilih secara nasional yang ditetapkan dalam DPT dengan Keputusan KPU tanggal 31 Mei 2009 adalah 176.367.056. Jumlah pemilih tersebut ditetapkan pula pada tanggal 8 Juni 2009 sejumlah 176.395.015 orang, sehingga bertambah dari DPT semula sejumlah 27.959 pemilih. Jumlah pemilih yang kemudian ditetapkan pada tanggal 6 Juli 2009 adalah sejumlah 176.411.434 pemilih. Jumlah pemilih dalam DPT pasca Pilpres sebagaimana direkap dari hasil penghitungan suara menjadi 176.375.196, sehingga berkurang 44.378 pemilih. Pemilih yang terdaftar dalam DPT tersebut dan menggunakan hak pilihnya sejumlah 127.983.625 dan suara sah sejumlah 121.504.481, termasuk yang menggunakan KTP, dan suara tidak sah sejumlah 6.479.144, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
NO
PROPINSI
DPT
KTP
DPT MENGGUNAKAN HAK PILIH
1
NAD
3.008.235
5.065
2.309.256
2
Sumatera Utara
9.472.577
24.494
6.058.836
3
Riau
3.647.420
2.675
2.414.969
4
Kepulauan Riau
1.243.586
6.013
760.629
5
Bengkulu
1.273.212
1.173
881.922
6
Sumatera Barat
3.321.507
12.754
2.2341.797
8
Bangka Belitung
833.096
1.662
572.737
9
Sumatera Selatan
5.314.087
7.228
3.969.388
10
Lampung
5.496.836
2.012
4.127.993
11
Jawa Barat
30.124.175
59.395
23.079.427
12
Banten
7.152.428
34.399
5.308.663
13
DKI Jakarta
7.668.058
60.453
5.178.575
14
Jawa Tengah
26.323.595
35.995
18.630.444
15
DI Yogyakarta
2.780.987
3.606
2.101.357
16
Jawa Timur
29.770.268
49.010
20.922.324
17
Kalimantan Timur
2.474.351
10.430
1.652.264
18
Kalimatan Tengah
1.607.949
3.113
1.052.557
19
Kalimantan Barat
3.217.953
3.039
2.364.248
20
Kalimantan Selatan
2.593.599
4.185
1.817.122
21
Bali
2.696.817
9.356
1.990.901
22
NTB
3.242.086
7.121
2.441.809
23
NTT
2.813.603
4.887
2.230.681
24
Sulawesi Selatan
5.834.408
20.294
4.324.844
25
Sulawesi Barat
786.556
791
595.060
26
Sulawesi Tengah
1.760.709
3.407
1.374.758
27
Sul-Tenggara
1.558.299
3.176
1.131.362
28
Gorontalo
710.097
1.146
577.859
29
Sulawesi Utara
1.743.009
1.993
1.303.089
30
Maluku
1.062.380
-
807.991
31
Maluku Utara
739.218
240
567.298
32
Papua
2.184.177
-
1.870.090
33
Papua Barat
575.356
-
429.287
34
Luar Negeri
1.147.660
-
351.640
TOTAL
176.375.196
382.540
127.163.035
bahwa hak memilih bagi warga negara yang telah berusia minimal 17 tahun atau sudah/pernah kawin dalam Pilpres [vide Pasal 27 ayat (1) UU 42/2008] didasarkan atas terdaftar atau tidaknya warga negara Indonesia dalam daftar pemilih (vide Pasal 28 UU 42/2008), sehingga Termohon sebagai penyelenggara Pemilu wajib mendaftar mereka dalam daftar pemilih [vide Pasal 27 ayat (2) UU 42/2008]. Oleh karena itu, kelalaian penyelenggara Pemilu (KPU) apalagi kalau merupakan kesengajaan untuk tidak mendaftar warga negara yang telah memenuhi syarat hak pilih dalam daftar pemilih, apapun alasannya, pada dasarnya merupakan penghilangan hak pilih warga negara dalam Pemilu;
bahwa daftar pemilih dalam Pilpres didasarkan pada daftar pemilih pada pemilu Legislatif sebagai Daftar Pemilih Sementara (DPS) [Pasal 29 ayat (1) UU 42/2008] yang kemudian dimutakhirkan oleh Penyelenggara Pemilu (KPU beserta jajarannya) untuk kemudian menjadi DPT Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden [vide Pasal 29 ayat (4) UU 42/2008] dan sudah harus ditetapkan 30 hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 29 ayat (5) UU 42/2008];
bahwa pengawasan terhadap penyusunan DPS dan DPT dilakukan oleh Bawaslu beserta jajarannya agar tidak terjadi kelalaian atau kesengajaan dari penyelenggara Pemilu yang dapat merugikan WNI yang mempunyai hak pilih (vide Pasal 31 dan Pasal 32 UU 42/2008);
bahwa pengubahan, baik berupa penambahan atau pengurangan daftar pemilih dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh setiap anggota KPU dalam semua tingkatan setehal ditetapkan sebagai DPT merupakan pelanggaran Pemilu (vide Pasal 209 UU 42/2008);
bahwa dalam Pemilu dan Wakil Presiden tahun 2009, Termohon telah menetapkan DPT sebanyak 4 (empat) kali, yaitu:
Keputusan KPU 302/2009 tanggal 31 Mei 2009 jumlah pemilih tetap dalam DPT secara nasional adalah 176.367.056 orang;
Keputusan KPU 316/2009 tanggal 8 Juni 2009 jumlah pemilih tetap dalam DPT adalah 176.395.015 orang;
Keputusan KPU 356/2009 tanggal 6 Juli 2009 jumlah pemilih tetap dalam DPT adalah 176.411.434 orang;
Keputusan KPU 129/BA/KPU/VII/2009 tanggal 23 Juli 2009 jumlah pemilih dalam DPT (riil) sebanyak 176.375.196 orang;
bahwa daftar pemilih dalam Pilpres memang tidak pernah fixed meskipun kisarannya tetap berjumlah 176 juta lebih yang kalau rata-rata dari empat perubahan DPT tersebut adalah 176.000.000 + 387.175 = 176.387.175. Dengan kata lain, pergeseran dari DPT 31 Mei 2009 ke DPT 8 Juni 2009 sebesar 176.395.015-176.367.056 = 27.959, pergeseran dari DPT 8 Juni 2009 ke DPT 6 Juli 2009 sebesar 176.411.434 - 176.395.015 = 16.419, sehingga seluruh pergeseran bertambah sejumlah 27.959 + 16.419 = 44.378, kemudian riilnya berkurang lagi menjadi 44.378 - (176.411.434 - 176.375.196) = 44.378 - 36.238 = 8.140;
bahwa perubahan DPT diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, Mahkamah berpendapat perubahan yang dilakukan secara administratif oleh Termohon sebenarnya dilandasi oleh itikad baik semata, dikarenakan banyak
warga negara yang mempunyai hak pilih namun belum terdaftar sebagai pemilih. Hal tersebut juga terjadi oleh karena adanya perubahan jumlah pemilih di beberapa kabupaten/kota, seperti misalnya perubahan status penduduk, pemilih telah dewasa/kawin, TNI/Polri yang telah pensiun, ataupun penduduk tersebut memang belum terdaftar sebagai pemilih;
bahwa Mahkamah sependapat dengan keterangan Ahli Yudi Latif untuk sebagian dan tidak sependapat untuk sebagian lainnya. Mahkamah sependapat dengan Ahli Yudi Latif sepanjang keterangannya bahwa sebuah proses pemilu yang tidak dilakukan melalui pendaftaran dan pencatatan pemilih dengan cermat sehingga banyak warga negara yang tidak terdaftar dan tidak dapat menggunakan hak pilihnya adalah cacat hukum sehingga dapat dinyatakan tidak sah, tanpa harus dikaitkan dengan kontestan mana yang dirugikan atau diuntungkan. Akan tetapi ketika ditanyakan kepada Ahli Yudi Latif, apakah dirinya akan tetap berpendapat bahwa Pemilu tahun 2009 cacat hukum atau KPU telah melanggar Undang-Undang jika ada fakta bahwa KPU telah mengumumkan daftar pemilih sementara secara terbuka dan memberi kesempatan dalam waktu tertentu yang cukup kepada setiap warga negara untuk menambahkan nama dirinya di dalam daftar tersebut jika belum tercantum, maka Ahli menjawab, “... kalau begitu KPU dalam posisi yang
benar”.
Oleh karena KPU dapat membuktikan bahwa pihaknya telah membuat dan mengumumkan daftar sementara secara terbuka dan besar-besaran (vide Bukti T-5) yang harus diperbaiki jika ada permintaan warga negara yang namanya belum tercantum dan karena dalam faktanya tidak sedikit warga negara yang kemudian meminta namanya ditambahkan di dalam daftar tersebut sehingga nama-nama di dalam daftar pemilih tetap menjadi bertambah maka kualifikasi cacat hukum seperti yang dikemukakan oleh Ahli tidaklah beralasan dan harus dikesampingkan;
bahwa keterangan Ahli Teknologi Informasi (TI) Justiani yang diajukan oleh Pemohon I hanya menerangkan pentingnya TI, keterlibatan dirinya sebagai ahli TI dalam Pemilu di negara lain, pemborosan biaya dalam kesalahan pilihan TI, ketertinggalan quick count, dan sebagainya yang tidak ada relevansinya dengan sengketa hasil Pemilu dalam perkara a quo. Menurut Mahkamah keterangan tersebut memang mungkin ada gunanya untuk keperluan lain seperti untuk audit manajemen KPU, untuk peningkatan kualitas Pemilu yang
akan datang atau untuk pemeriksaan (penyelidikan) penggunaan biaya TI oleh KPU namun tidak ada relevansinya dengan perkara a quo karena tidak dapat menunjukkan causal verband dengan kesalahan penetapan hasil Pemilu. Oleh karena itu, keterangan Ahli tersebut dikesampingkan. Selain itu dalam penetapan hasil Pemilu KPU tidak menggunakan data TI, melainkan data manual;
bahwa kecurangan-kecurangan yang terjadi di dalam Pemilu selain bersifat sporadis (tidak sistematis) dan pelakunya bukan hanya penyelenggara KPU maupun pendukung kontestan tertentu, melainkan juga dilakukan oleh simpatisan Pemohon II (vide Bukti PT-35 mengenai vonis hukuman pidana) maka tidaklah dapat dibuat suatu kualifikasi bahwa kecurangan-kecurangan Pemilu bersifat sistematis untuk menguntungkan satu kontestan. Dengan mendasarkan pada fakta tidak terkonsentrasinya kecurangan dan tidak signifikannya suara kecurangan untuk mempengaruhi hasil Pemilu, apalagi sebagiannya sudah diselesaikan secara hukum baik pidana maupun administrasi maka menurut Mahkamah tidak terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif;
bahwa meskipun jumlah pergeseran DPT tidak signifikan, namun telah menunjukkan bahwa KPU tidak cukup mampu mengelola pendaftaran pemilih, karena selain data administrasi kependudukan (DP4) yang disiapkan oleh Pemerintah memang belum/tidak sempurna, juga karena KPU terlalu mudah mengakomodasi berbagai tekanan, sehingga terombang-ambing dan begitu mudah melakukan perubahan DPT. Bahwa tidak tuntasnya masalah DPT juga karena baik penyelenggara Pemilu maupun peserta Pemilu begitu mudah untuk menyatakan, “kalau tidak puas selesaikan saja di Mahkamah Konstitusi”;
[3.47] Menimbang bahwa Mahkamah dalam menentukan kriteria pemilih ganda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (2) UU 10/2008 haruslah memenuhi kesamaan semua unsur yang memuat Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih;
[3.48] Menimbang bahwa terkait dengan isu pemilih ganda berdasarkan soft copy DPT karena memiliki NIK yang sama jika diukur dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU 10/2008 dan Pasal 29 UU 42/2008, meskipun ada ternyata tidak signifikan. Pemilih ganda adalah pemilih yang memiliki identitas yang sama dan digunakan oleh seorang pemilih yang unsur-unsurnya secara kumulatif meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat. Akan tetapi, tidak ada satupun pemilih ganda yang memenuhi kelima unsur tersebut. Menurut keterangan Ahli Ir. H. Irman, M.Si. (Direktur Pendaftaran Penduduk, Departemen Dalam Negeri), jika tidak memenuhi kelima unsur tersebut maka tidak ada pemilih ganda. Namun berdasarkan analisis terhadap Bukti PI-12 dan Lampiran PII-36, Mahkamah menemukan pemilih yang memenuhi kesamaan empat unsur (NIK, nama, tanggal lahir, dan alamat) sejumlah 3.624.090 atau 2,05% dari 176.395.015 pemilih. Oleh karena jumlahnya tidak signifikan, lagipula didasarkan pada soft copy yang menurut Termohon bukan merupakan DPT yang akurat dan tidak digunakan secara riil, maka dalil para Pemohon tidak berdasar hukum dan harus dikesampingkan. Terhadap dalil para Pemohon mengenai NIK kosong, pertimbangan di atas berlaku pula secara mutatis mutandis;
[3.49] Menimbang bahwa oleh karena secara riil dalam penggunaan hak pilih pihak Termohon menggunakan daftar pemilih riil di setiap TPS, maka tidak terdapat bukti bahwa telah terjadi penambahan ataupun penghilangan hak suara secara tidak sah terhadap pemilih. Dengan daftar pemilih riil maka basis data yang digunakan adalah DPT yang ditetapkan oleh KPU, namun sesuai dengan kebijakan KPU, langsung diperbaiki di TPS pada saat pemungutan suara. Jika ada pemilih ganda akan langsung dicoret, tetapi jika ada pemilih yang belum terdaftar langsung ditambahkan dengan menggunakan KTP atau Paspor. Dengan demikian, penetapan KPU tentang hasil Pilpres adalah berdasar data riil;
[3.50] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, sepanjang menyangkut masalah DPT, Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan soft copy DPT tidak dapat dijadikan pedoman akhir untuk menentukan jumlah dan rincian DPT yang sebenarnya karena seharusnya DPT dalam bentuk soft copy harus didukung dengan DPT riil yang berbasis masing-masing TPS. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak berdasar hukum dan harus dikesampingkan, karena: (1) para Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya; (2) perubahan-perubahan jumlah pemilih dalam semua DPT yang dipersoalkan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (bahkan hanya sekitar 44.000 pemilih), karena semua DPT selalu berkisar pada jumlah 176.000.000 pemilih. Fakta hukum menunjukkan perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 adalah 73.874.562 suara (60,80%). Seandainya pun perbedaan suara-suara DPT yang telah dimutakhirkan, kemudian dikurangkan pada perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 maka komposisi perolehan suara tidak berubah secara signifikan; (3) Data yang dipergunakan untuk menentukan perolehan suara oleh KPU adalah daftar pemilih riil, bukan DPT yang sepenuhnya bersumber dari soft copy; (4) Fakta hukum menunjukkan perubahan-perubahan DPT yang dilakukan sebelum tanggal 8 Juli 2009 jumlahnya sangat tidak signifikan. Selain itu menurut Mahkamah, perubahan-perubahan dilakukan demi kemanfaatan bagi warga negara (agar semakin membuka peluang penggunaan hak) dan hal itupun dilakukan karena desakan Pasangan Calon Nomor Urut 1 dan Pasangan Calon Nomor Urut 3;
[3.51] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, Termohon telah terbukti melakukan pemutakhiran DPT yang melampaui tenggat waktu sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang. Namun demikian, walaupun tindakan Termohon dapat dianggap melanggar asas kepastian hukum, akan tetapi perubahan DPT yang dilakukan oleh Termohon didasari atas asas kemanfaatan bagi seluruh pihak, tidak terkecuali bagi para pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, Termohon memiliki alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dalam mengeluarkan kebijakan untuk memperbaharui DPT melewati jangka waktu yang telah ditetapkan Undang-Undang. DPT yang berubah-ubah tidak dapat menyebabkan Pemilu menjadi tidak sah, sebab adanya asas kemanfaatan bagi kepentingan warga negara dan agenda ketatanegaraan. Akan tetapi, secara formal Termohon telah melakukan pelanggaran prosedur dan berlaku tidak profesional sebagaimana dinyatakan juga secara resmi oleh Bawaslu di dalam persidangan Mahkamah bertanggal 6 Agustus 2009;
4. Pelanggaran-pelanggaran Pemilu lainnya
[3.52] Menimbang bahwa masalah-masalah kualitatif Pemilu lainnya, seperti kasus beredarnya formulir yang menyerupai formulir C-1 PPWP di Kota Tangerang yang dibuat oleh Partai Demokrat (keterangan Saksi Pemohon I Karmadi Ngawiran dan Achmad Zen, Bukti PI-17), namun formulir tersebut telah ditarik atas perintah Panwas dan tidak ada satu TPS pun yang terbukti menggunakan formulir tersebut pada saat penghitungan suara. Meskipun demikian, masalah pidana yang mungkin ada dalam kasus tersebut dapat terus diproses. Terhadap adanya sosialisasi yang menggunakan spanduk cara penyontrengan yang dibuat KPU dan kemudian ditarik kembali, dan lain-lain pelanggaran Pemilu belum dapat dinilai sebagai telah terjadi pelanggaran secara sistematis dan masif terhadap prinsip-prinsip Pemilu yang luber dan jurdil;
[3.53] Menimbang bahwa dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan, secara kualitatif Pilpres 2009 memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
Kelemahan dalam Undang-Undang yang mengatur Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008), antara lain:
UU 42/2008 juncto UU 10/2008 terlalu cepat mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai salah satu persyaratan bagi penyusunan daftar pemilih, sementara administrasi kependudukan masih belum tertib sebagaimana dikehendaki oleh UU 23/2006;
UU 42/2008 junctis UU 10/2008 dan UU 22/2007 tidak atau kurang memberikan empowering kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta jajarannya, sehingga pengawasan Pemilu tidak efektif dan sekedar sebagai formalitas;
UU 42/2008 tidak atau belum mengakomodasi kemungkinan penggunaan KTP dan paspor bagi warga negara yang memenuhi persyaratan hak pilih untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT;
Kelemahan KPU sebagai penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mudah dipengaruhi oleh berbagai tekanan publik, termasuk oleh para peserta Pemilu, sehingga terkesan kurang kompeten dan kurang profesional, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya;
Masalah kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar tidaknya dalam DPS dan DPT, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak;
Budaya “siap menang dan siap kalah” dalam Pemilu secara elegan belum dihayati oleh Peserta Pemilu beserta para pendukungnya;
[3.54] Menimbang bahwa meskipun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 masih banyak kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan, serta berbagai pelanggaran Pemilu sebagian terbukti dan beralasan, namun menurut Mahkamah tidak terjadi pelanggaran Pemilu yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang dapat berakibat Pemilu kehilangan keabsahannya.
Masalah yang Bersifat Kuantitatif
[3.55] Menimbang bahwa Pemohon I menyatakan Termohon telah melakukan penggelembungan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang diambil dari suara fiktif sejumlah 25.303.054 suara yang harus dikurangkan terhadap suara yang ditetapkan Termohon untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 sejumlah 73.874.562 suara dikurangi dengan 25.303.054 suara sehingga sisanya 48.571.408 suara;
Bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya Pemohon I tidak mengajukan bukti berkaitan dengan penggelembungan suara dimaksud melainkan hanya merujuk pada bukti-bukti yang berkaitan dengan persoalan DPT;
[3.56] Menimbang bahwa sebaliknya Termohon keberatan atas penambahan objek sengketa berkaitan dengan penggelembungan suara karena dalam permohonan Pemohon yang didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 29 Juli 2009, Pemohon I tidak mendalilkan masalah pengitungan suara dalam Pilpres Tahun 2009, namun dalam perbaikan permohonan, Pemohon I melakukan perubahan permohonan dengan menambah objek sengketa in casu penggelembungan suara karenanya Termohon memohon kepada Mahkamah agar penambahan objek sengketa dimaksud dikesampingkan;
[3.57] Menimbang bahwa terhadap perselisihan hukum dimaksud Mahkamah telah berpendapat mengenai insiden-insiden yang muncul dan menjadi fakta dalam persidangan sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tentang suara fiktif sejumlah 25.303.054 suara, setelah diteliti dengan saksama suara fiktif yang didalilkan oleh Pemohon I didasarkan pada hasil penggandaan NIK dari 33 provinsi sejumlah 25.303 .054 suara, kemudian Pemohon I mengasumsikan jumlah perolehan suara Pihak Terkait sejumlah 73.874.562 suara harus dikurangi 25.303 .054 suara, sehingga suara Pihak Terkait bersisa 48.571.408 suara adalah dalil-dalil yang bersifat asumtif belaka tanpa disertai dengan bukti-bukti yang relevan dan bernilai yuridis, karenanya dalil-dalil Pemohon I tidak berdasar dan beralasan hukum dan harus dikesampingkan;
[3.58] Menimbang bahwa sepanjang dalil Pemohon I yang menyatakan Termohon melakukan pengurangan suara Pemohon I dengan melakukan pengurangan TPS yang sebelumnya pada Pemilu Legislatif berjumlah 519.000 TPS menjadi 450.000 TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, sehingga Pemohon kehilangan suara sebanyak 70% dari total suara sebesar 69.000 TPS x 500 suara per-TPS sama dengan 34.500.000 suara, sehingga berjumlah 24.150.000. Dengan demikian seharusnya suara yang diperoleh Pemohon I adalah 15.081.814 ditambah 24.150.000 sama dengan 39.231.841 suara.
Bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya Pemohon I tidak mengajukan bukti berkaitan dengan pengurangan suara dimaksud melainkan hanya merujuk pada bukti-bukti yang terkait dengan persoalan DPT;
Bahwa sebaliknya Termohon membantah dalil-dalil Pemohon I dengan mengemukakan alasan hukum bahwa penetapan jumlah TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dilaksanakan berdasarkan ketentuan UU 42/2008 yang ditindaklanjuti melalui Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan suara di TPS dalam Pilpres Tahun 2009. Dengan demikian perbedaan jumlah pemilih terjadi bukan karena faktor penyelenggara Pemilu menghilangkan 69.000 TPS melainkan sebagai pelaksanaan Undang-Undang;
[3.59] Menimbang bahwa berdasarkan perselisihan hukum di atas, menurut Mahkamah pengurangan TPS sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.34] dan jika dikaitkan dengan dalil Pemohon I yang menyatakan bahwa Pemohon I kehilangan 70% dari total suara sebesar 69.000 TPS x 500 suara per-TPS yang setara dengan 34.500.000 suara atau sebanyak 24.150.000 suara adalah bersifat asumsi belaka karena Pemohon I memastikan bahwa 70% suara dari 34.500.000 memilih Pemohon I tanpa disertai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan validitas dan otentisitasnya. Lebih-lebih Pemohon I sama sekali tidak memperhitungkan adanya kemungkinan suara yang tidak sah dari 69.000 TPS tersebut karenanya dalil-dalil Pemohon I sama sekali tidak berdasar dan beralasan hukum sehingga harus dikesampingkan;
[3.60] Menimbang bahwa Pemohon I menyatakan PPS di tiap-tiap TPS telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan mencontreng sendiri di lima kabupaten/kota di Provinisi Papua atau terdapat 20,5 % pemilih fiktif dan ditemukannya formulir C-1 sudah dibagikan kepada saksi pasangan calon tertentu sebelum penghitungan suara dimulai;
[3.61] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon I mengajukan Bukti PI-17 berupa Lampiran Model C-1 PPWP dan Bukti PI-18 berupa kliping koran Kompas tanggal 25 Juli 2009 dan majalah Tempo edisi 13 – 19 Juli 2009 serta dua orang saksi masing-masing saksi yang bernama Karmadi Ngawiran yang pada pokoknya menerangkan bahwa di TPS 17 Kelurahan Kledeng, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang menemukan formulir Model C-1 yang tidak tertulis nama Pasangan Calon Nomor Urut 1 dan Pasangan Calon Nomor Urut 3, melainkan hanya tertulis Pasangan Calon Nomor Urut 2 dan Saksi melaporkan kejadian tersebut kepada Panwas kecamatan kemudian telah
ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sementara itu, saksi Achmad Zen pada pokoknya menerangkan bahwa saksi menemukan di lapangan bahwa saksi Pasangan Calon Nomor Urut 2 telah mendapat Formulir C-1 sebelum dimulainya penghitungan suara;
[3.62] Menimbang bahwa sebaliknya Termohon menolak dalil Pemohon I karena Pemohon I tidak menguraikan dengan jelas dugaan perbuatan melanggar hukum di Provinsi Papua berupa pencontrengan yang dilakukan bukan oleh pemilih melainkan oleh PPS. Pemohon I hanya menyebutkan di 5 kabupaten/kota di Provinsi Papua tetapi tidak menunjuk nama kabupaten/kota dimaksud. Begitu juga Pemohon I tidak secara jelas menyebutkan dimana peristiwa itu terjadi dan dilakukan oleh siapa;
[3.63] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon I di atas, menurut Mahkamah, Pemohon I hanya mengajukan satu alat bukti (vide Bukti PI-17) dan keterangan saksi tetapi dari bukti yang diajukan dan keterangan saksi tidak menggambarkan terjadinya pelanggaran Pemilu yang serius sebagaimana keterangan saksi Achmad Zen yang menyatakan bahwa pelanggaran dimaksud telah ditindaklanjuti oleh Panwaslu setempat dan secara signifikan tidak mempengaruhi perolehan suara masing-masing pasangan calon. Sebaliknya, Termohon dalam keterangannya menyatakan bahwa formulir C-1 dimaksud hanyalah untuk kepentingan internal Pasangan Calon Nomor Urut 2 dan tidak
dimaksudkan untuk menggantikan dokumen resmi yang ada pada Termohon. Lebih-lebih Pemohon I tidak mampu membuktikan di muka sidang seberapa besar pengaruh dokumen yang telah tercetak nama Pasangan Calon Nomor Urut 2 terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon. Oleh karenanya, dalil pemomohon I sepanjang pelanggaran Pemilu sebagaimana diuraikan dalam permohonannya halaman 25 butir 2.17 dan 2.18 tidak beralasan hukum sehingga dalil-dalil Pemohon I harus dikesampingkan;
[3.64] Menimbang bahwa Pemohon II menyatakan hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon adalah salah atau tidak benar atau setidak-tidaknya telah keliru dikarenakan terjadi penyimpangan dan/atau kecurangan dan/atau kesalahan baik terhadap hasil penghitungan suara maupun terkait dengan perbuatan curang, pelanggaran-pelanggaran dan/atau penyimpangan yang bersifat masif, terstruktur, dan sistematis yang dilakukan Termohon di 25 Provinsi yakni, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Lampung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat disebabkan adanya penambahan suara yang tidak sah yang dilakukan dengan sengaja bagi Pasangan Calon Nomor Urut 2 sebanyak 28.658 .634 suara.
Bahwa Pemohon II juga mendalilkan dengan adanya penambahan suara yang tidak sah telah mengakibatkan terjadinya selisih suara antara Pemohon II dan Pihak Terkait sebanyak 45.215.927 suara dikurangi 32.548.105 suara sehingga bersisa 12.667.822 suara;
Bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya Pemohon II mengajukan bukti surat yang diberi tanda bukti PII-6 sampai dengan bukti PII-52 dan dua belas Saksi serta seorang Ahli;
Sebaliknya, Termohon membantah seluruh dalil-dalil Pemohon II dengan mengemukakan alasan hukum bahwa dalil Pemohon II kabur (obscuur libel), karena Pemohon II sama sekali tidak menjelaskan bagaimana atau dengan cara apa penambahan suara yang tidak sah terjadi, Pemohon II tidak menguraikan secara rinci hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon II, serta Pemohon II tidak mampu menjelaskan mengapa perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 hanya memperoleh 45.215.927 suara atau 48,70% suara. Bukti surat berupa Bukti PII-6 sampai dengan Bukti PII-30 tidak mempunyai kekuatan hukum karena dibuat dan ditandatangani oleh Fadli Zon yang bukan personil penyelenggara Pemilu melainkan sebagai Sekretaris Tim Kampanye Nasional Pasangan Calon Nomor Urut 1;
Bahwa untuk mendukung sanggahannya, Termohon mengajukan bukti surat T-1 sampai dengan T.29.b;
Bahwa Pihak Terkait mendukung dalil-dalil Termohon dengan mengemukakan alasan hukum bahwa tidak ada keberatan yang diajukan oleh para saksi pasangan calon pada setiap TPS di 33 Provinsi yang berkenaan dengan kecurangan ataupun adanya kesalahan penghitungan dalam berita acara rekapitulasi di setiap TPS, tingkat PPK, tingkat KPU kabupaten/kota maupun KPU provinsi karenanya dalil Pemohon tentang adanya indikasi kecurangan yang bersifat sistematis sehingga Pemilu harus diulang di 25 (dua puluh lima) provinsi adalah dalil yang harus ditolak dan dikesampingkan. Pemohon II tidak dapat membuktikan bentuk kesengajaan, siapa yang yang melakukan, kapan dan di mana penggelembungan suara yang tidak sah yang menguntungkan Pihak Terkait sebanyak 28.658.634 suara;
Bahwa untuk mendukung keterangannya, Pihak Terkait mengajukan bukti tertulis yang diberi tanda Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-34; [3.65] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil Pemohon II beserta bukti-bukti surat yang diajukan, keterangan Saksi, sanggahan Termohon, dan keterangan Pihak Terkait, Mahkamah terlebih dahulu perlu mencermati bukti- bukti surat yang diajukan Pemohon II dikaitkan dengan dalil-dalil permohonannya sebagai berikut.
Bahwa Bukti PII-6 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Sumatera Utara yang terdiri atas 28 kabupaten/kota, suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 1.395.533 suara, Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 1.518.479 suara dan Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 303.687 suara, didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 2.715.639 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa Bukti PII-7 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Sumatera Barat yang terdiri atas 19 kabupaten/kota, suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 125.422 suara, suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 546.051 suara dan suara Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 323.731 suara, didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 2.715.639 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa Bukti PII-8 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Sumatera Selatan yang terdiri atas 15 kabupaten/kota, suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 1.518.648 suara, suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 1.191.419 suara, dan suara Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 244.245 suara, didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 884.032 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa Bukti PII-9 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Bengkulu yang terdiri atas 9 kabupaten/kota, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 197.566 suara, Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 302.468 suara, dan Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 107.338 suara, didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 224.311 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa Bukti PII-10 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Lampung yang terdiri atas 11 kabupaten/kota, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 963.228 suara, suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 983.293 suara, dan suara Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis tertulis 225.426 suara, didalilkan Pemohon menggelembung secara tidak sah sebanyak 1.682.398 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa Bukti PII-11 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi DKI Jakarta yang terdiri atas 6 kabupaten/kota, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 1.028.227 suara, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 3.070.227 suara, dan perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 464.257 suara. Didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 473.390 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2;
Bahwa Bukti PII-12 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Jawa Barat yang terdiri atas 26 kabupaten/kota, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 5.793.987 suara, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 5.885.185 suara, dan perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 1.925.533 suara, didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 8.620.693 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2.
Bahwa Bukti PII-13 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Banten yang terdiri atas 7 kabupaten/kota, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 1.399 .285 suara, Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 1.423.507 suara, dan Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 410.270 suara, didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 8.620.693 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2.
Bahwa Bukti PII-14 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Jawa Tengah yang terdiri atas 35 kabupaten/kota, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 6.641.311 suara, Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 4.351.476 suara, dan Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 1.553.372 suara.
Bahwa Bukti PII-15 berupa Rekapitulasi Perolehan Suara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri atas 5 kabupaten/kota, perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 tertulis 555.071 suara, Pasangan Calon Nomor Urut 2 tertulis 639.541 suara, dan Pasangan Calon Nomor Urut 3 tertulis 201.389 suara, didalilkan Pemohon II menggelembung secara tidak sah sebanyak 579.646 suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2.