Lompat ke isi

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 019-020/PUU-III/2005

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 019-020/PUU-III/2005  (2005) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








P U T U S A N

Nomor 028-029/PUU-IV/2006

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445, selanjutnya disebut UU PPTKI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), diajukan oleh:

I. PEMOHON PERKARA NOMOR 028/PUU-IV/2006

1. JAMILAH TUN SADIAH, Tempat/tanggal lahir Bogor, 6 November 1986, Umur 20 tahun, beralamat di Kampung Parung Panjang Atas RT. 01, RW. 08, Leuwiliang; 2. NURYANIH, Tempat/tanggal lahir Bogor, 1 Januari 1987, Umur 19 tahun, beralamat di Kampung Parung Panjang Lebak RT. 02, RW. 07, Leuwiliang; 3. SITI MUNAWAROH, Tempat/tanggal lahir Bogor, 6 Juni 1988, Umur 18 tahun, beralamat di Kampung Sengkol, Leuwiliang; 4. ROHMAWATI, Tempat/tanggal lahir Bogor, 2 April 1988, Umur 18 tahun, beralamat di Kampung Parung Panjang Lebak RT. 02, RW. 07, Leuwiliang; 5. DANIATI, Tempat/tanggal lahir Bogor, 10 Desember 1986, Umur 20 tahun, beralamat di Kampung Parung Panjang Lebak RT. 03, RW. 07, Leuwiliang;

berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 20 November 2006, para Pemohon tersebut masing-masing memberikan kuasa kepada:

1. SOEKITJO J.G., Jabatan Ketua Umum/Koordinator LSM Indonesia Manpower Watch, Alamat di Jalan Casablanca (Kampung Melayu Besar) Nomor 55 Jakarta Selatan 12480, dan di Jalan Karehkel Nomor 26 RT. 01/08 Leuwiliang;


2. KURNIA WAMILDA PUTRA, S.H., LL.M., Jabatan Anggota LSM Indonesia Manpower Wacth, Alamat di Jalan Casablanca (Kampung Melayu Besar) Nomor 55 Jakarta Selatan 12480, dan di Jalan Pemuda Nomor 712, Jakarta Timur 13220;

Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------------- Pemohon I;

II. PEMOHON PERKARA NOMOR 029/PUU-IV/2006

1. ESTI SURYANI, Tempat/tanggal lahir Magetan, 13 Oktober 1986, Umur 20 tahun, beralamat di Dusun Jaranan RT. 02, RW. 02, Desa Ngadirejo, Kecamatan Kawedanan, Magetan; 2. MARTINA SEPTI MAYASARI, Tempat/tanggal lahir Lampung, 9 September 1987, Umur 19 tahun, beralamat di Sumurlipan RT. 05, RW. 02, Kelurahan Negara Saka, Kecamatan Jabung, Lampung Timur, Lampung; 3. DENIYATI, Tempat/tanggal lahir Bumirestu, 23 Juli 1986, Umur 20 tahun, beralamat di Dusun Bumirestu RT. 029/RW. 07, Kelurahan Bumirestu, Kecamatan Palas, Lampung Selatan; 4. SUMIYATI, Tempat/tanggal lahir Subang, 12 April 1986, Umur 20 tahun, beralamat di Desa Bojong Sari RT. 10, RW. 04, Desa Sukatani, Kecamatan Compreng, Subang;

berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 18 Desember 2006 dan 13 Desember 2006, para Pemohon tersebut masing-masing memberikan kuasa kepada SANGAP SIDAURUK, S.H. dan HARISON MALAU, S.H. pekerjaan Advokad/Konsultan Hukum yang berkantor di SANGAP & PARTNERS, beralamat di Jalan Raya Jenderal Basuki Rachmad Nomor 21, Jakarta Timur 13410;

Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------------- Pemohon II;

Telah membaca permohonan para Pemohon;

Telah mendengar keterangan para Pemohon;

Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;

Telah mendengar keterangan ahli dari para Pemohon;

Telah mendengar keterangan ahli dari Pemerintah;

Telah membaca kesimpulan dari para Pemohon;


Telah memeriksa bukti-bukti para Pemohon;

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa Pemohon I telah mengajukan surat permohonan pada bulan Desember 2006 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 28 Desember 2006 dengan registrasi Nomor 028/PUU-IV/2006 dan diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 17 Januari 2007;

Pemohon II telah mengajukan surat permohonan bertanggal 20 Desember 2006 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Desember 2006 dengan registrasi Nomor 029/PUU-IV/2006, dan diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 17 Januari 2007 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Januari 2007;

Menimbang bahwa para Pemohon tersebut di atas, di dalam permohonannya telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

I. PERKARA NOMOR 028/PUU-IV/2006

Bahwa Pemohon Jamilah Tun Sadiah, Nuryanih, Siti Munawaroh, Rohmawati, dan Daniati masing-masing adalah Calon Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri yang tidak bisa diberangkatkan ke Negara tujuan kerja masing-masing, oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta, dalam hal ini PT. Gayung Mulya IKIF, berdomisili di Jakarta dengan surat pernyataan penolakan Calon Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, tertanggal 15 Oktober 2006. Dalam Surat Penolakan tersebut disampaikan alasan �belum cukup umur� sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, yaitu yang mensyaratkan berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun apabila akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan;

Pemohon memberikan kuasa kepada Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Manpower Watch dengan surat kuasa bertanggal 20 November 2006 untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan tujuan agar kiranya Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap anak kalimat dari Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 39 Tahun 2004 yang berbunyi �kecuali bagi Calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan berusia 21 (dua puluh satu) tahun�;

Adapun yang menjadi dasar-dasar diajukannya permohonan ini adalah sebagai berikut;

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1. Bahwa Pasal 24C UUD 1945 mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan tersebut juga diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK); 2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut dibatasi oleh Pasal 60 UU MK yang berbunyi, �Terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali�. Ketentuan lain yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Pasal 47 UU MK yang berbunyi, �Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum yang tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum�, artinya bahwa sejak perkara tersebut diputus oleh Mahkamah Konstitusi, maka putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya upaya hukum lain seperti banding, kasasi, peninjauan kembali ataupun verzet; 3. Bahwa permohonan Pemohon yang melakukan mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan merupakan suatu permohonan ulangan, banding atau peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Maret 2006 dalam perkara Nomor 019/PUU/III/2005 dan Nomor 020/PUU/III/2005, karena permohonan demikian bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas; 4. Bahwa permohonan a quo ditujukan untuk melakukan pengujian terhadap anak kalimat Pasal 35 huruf a UU PPTKI, dengan alasan sebagai berikut:


4.1. Mahkamah Konstitusi belum pernah melakukan pengujian dan membuat keputusan terhadap anak kalimat Pasal 35 huruf a UU PPTKI; Permohonan terhadap pengujian Pasal 35 huruf a UU PPTKI (yang meliputi seluruh kalimat) pernah diminta untuk diuji melalui Perkara Nomor 020/PUU-III/2005 dimana permohonannya pada waktu itu adalah suatu organisasi berbentuk yayasan yang bernama Yayasan Indonesia Manpower Watch;

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada tanggal 28 Maret 2006 terhadap Perkara Nomor 20/PUU-III/2005 tersebut menolak legal standing Yayasan Indonesia Manpower Watch, sehingga terhadap materi yang diajukan Pemohon tidak dilakukan pengujian;

Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Pasal 35 huruf a, khususnya pada anak kalimat ��kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang- kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun� belum pernah dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi;

4.2. Mahkamah Konstitusi hanya melakukan pengujian Pasal 35 huruf d UU PPTKI. Bahwa permohonan untuk melakukan pengujian terhadap UU PPTKI juga pernah dilakukan vide Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dimana Pemohonnya adalah Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI);

Permohonan tersebut juga dilakukan untuk menguji Pasal 35 tetapi hanya huruf d saja dan tidak meliputi huruf a;

Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Maret 2006, Mahkamah Konstitusi mengabulkan Pemohon dari APJATI yaitu dengan menyatakan bahwa Pasal 35 huruf d UU PPTKI tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

5. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1. Permohonan Pemohon untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 35 huruf a haruslah dianggap sebagai permohonan yang berdiri sendiri yang tidak terkait dengan permohonan vide Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan Nomor 020/PUU-III/2005, dan juga bukan


merupakan pengulangan pemeriksaan terhadap perkara yang sama (nebis in idem); 5.2. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa perkara ini dan melakukan pengujian Pasal 35 huruf a UU PPTKI terhadap UUD 1945 dengan alasan tidak terjadinya nebis in idem berdasarkan kewenangan secara umum yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK;

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kuasa Pemohon 1. Bentuk organisasi kuasa Pemohon adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bahwa cikal bakal organisasi kuasa Pemohon adalah sebuah LSM pembela buruh migran yang keberadaannya telah melampaui waktu 20 tahun. Keberadaannya sebagai LSM perburuhan tersebut dikuatkan dengan �Deklarasi Bogor� pada tanggal 10 Mei 1990 dan pada bulan Mei 1995. Dalam deklarasi tersebut telah disusun sebuah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga secara sederhana, dan secara resmi didaftarkan sebagai LSM di Dirjen Pembinaan Masyarakat Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Nomor 004/DIII.2/I/ 2007, bertanggal 17 Januari 2007;

Dengan pendaftaran dan adanya surat keputusan dari Dirjen Pembinaan Masyarakat tersebut, kuasa Pemohon/Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Manpower Watch (selanjutnya disebut LSM IMW) telah resmi sebagai LSM terdaftar;

2. LSM diakui legal standing-nya dalam yurisprudensi Mahkamah Konstitusi. Keberadaan LSM untuk melakukan permohonan (legal standing) diakui dalam yurispridensi di Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Migas yang diajukan oleh Pemohon merupakan perkumpulan LSM, Majelis menyatakan bahwa terlepas dari terbukti tidaknya kedudukan hukum para Pemohon sebagai badan hukum atau tidak, namun berdasar anggaran dasar masing-masing perkumpulan yang mengajukan permohonan a quo, ternyata tujuan perkumpulan tersebut adalah untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interest advocacy) yang di dalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo.


Karenanya Mahkamah Konstitusi berpendapat, para Pemohon (LSM) tersebut memiliki legal standing. (Kutipan buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, oleh Maruarar Siahaan, S.H., hal. 91);

Berdasarkan putusan tersebut, telah dilakukan suatu terobosan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menyimpang dari Pasal 51 Ayat (1) UU MK, di mana keberadaan LSM yang memiliki formulasi anggaran dasar tertentu (public interest advocacy) dapat menjadi Pemohon mewakili sebagian masyarakat yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang;

3. LSM IMW adalah LSM yang memiliki tujuan perjuangkan Kepentingan Umum (public interest advocacy) Sesuai dengan Akta Pendirian LSM IMW Nomor 11, tanggal 13 Desember 2006 dibuat di hadapan Ny. Irma Bonita, S.H., Notaris di Jakarta, salah satu maksud dan tujuan didirikannya perkumpulan Pemohon/IMW yang tertuang di dalam Pasal 3 Angka 5 adalah untuk pemerhati dan membela/mengadvokasi TKI-LN (Buruh Migran Indonesia) yang bermasalah atau mengalami musibah, sejak pra pemberangkatan, di saat bekerja di luar negeri dan kepulangannya ke tanah air/kampung halamannya;

Dengan maksud dan tujuan perkumpulan demikian dan aktifitas sehari-hari kuasa Pemohon sebagai pembela buruh migran, nyatalah bahwa kuasa Pemohon adalah perkumpulan yang juga memiliki tujuan perjuangkan kepentingan umum (public interest advocacy);

4. Tujuan dilakukannya permohonan oleh kuasa Pemohon adalah untuk membela kepentingan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri yang dilanggar oleh berlakunya UU PPTKI. Kuasa Pemohon mewakili Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 35 huruf a UU PPTKI disebabkan adanya fakta bahwa undang- undang tersebut telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon selaku calon Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (yang dikenal sebagai buruh migran). Hak-hak apa saja yang dilanggar nantinya akan kuasa Pemohon uraikan dalam permohonan. Fakta adanya pelanggaran hak-hak para Pemohon itu merupakan alasan kuasa Pemohon sebagai pembela TKI-LN untuk mengajukan permohonan;


5. Kesimpulan Sesuai dengan fakta-fakta dan konsep di atas, kedudukan kuasa Pemohon (legal standing) dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan kondisi dan ketentuan yang ada dan berlaku, di mana jelas kuasa Pemohon adalah sebuah LSM terdaftar yang bermotif public interest advocacy bagi TKI-LN, yang secara praktik diterima untuk menjadi pihak dalam sidang di Mahkamah Konstitusi sekaligus dalam permohonan a quo adalah selaku penerima kuasa dari Pemohon.

III. Pokok Permasalahan dan Alasan-Alasan Permohonan Pengujian Materiil UU PPTKI. Berikut ini akan diuraikan oleh kuasa Pemohon hal-hal yang menjadi alasan dari permohonan pengujian materiil Pasal 35 UU PPTKI.

KONSEP PERLINDUNGAN HAK UNTUK BEKERJA

1. HAK BEKERJA WARGA NEGARA DILINDUNGI OLEH KONSTITUSI. Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�. Di dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 juga diatur mengenai hak untuk bekerja yang berbunyi �Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�;

Kedua pasal tersebut disusun dengan gaya bahasa hukum yang mudah difahami yang inti dari pasal-pasal tersebut adalah bahwa setiap warga negara, tanpa melihat suku atau ras, agama, tingkatan pendidikan dan usia, jenis kelamin, orientasi dan status politik dan klasifikasi-klasifikasi sosial ekonomi budaya dan biologis, berhak atas pekerjaan dan imbalan yang layak bagi kemanusiaan dalam suatu hubungan kerja. Hak tersebut, juga meliputi hak untuk mendapat perlakuan adil demi untuk mendapatkan pekerjaan dan imbalan;

Dalam kehidupan di Indonesia tidak diperbolehkan adanya diskriminasi dalam hal menyediakan lapangan pekerjaan dan imbalan berdasarkan patokan dan klasifikasi di atas;

Konsep ini secara umum berlaku di seluruh negara di dunia yang menjunjung demokrasi, keterbukaan, persamaan dan perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia;


Adanya suatu sikap, praktik, konsep, ketentuan dan peraturan yang bertentangan dengan konsep konstitusi haruslah dilarang atau setidak- tidaknya kalau telah terjadi dapat dihapuskan.

2. DEFINISI DEWASA SESUAI DENGAN KONSEP DAN KETENTUAN YANG ADA. Sesuai dengan konsepsi yang dibakukan oleh badan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk perburuhan yaitu International Labour Organization (ILO) di mana konsep ini telah diterima secara luas di negara-negara di dunia termasuk oleh Indonesia, batasan seseorang untuk memulai suatu pekerjaan (penuh waktu dan dibayar) adalah 18 tahun. ILO dan negara- negara di dunia juga sepakat bahwa anak-anak (di bawah 18 tahun) tidak diharapkan untuk menjadi pekerja profesional. Toleransi yang diberikan ILO dan negara-negara tersebut adalah untuk anak-anak diperbolehkan melakukan pekerjaan paruh waktu, di mana hasilnya (imbalan) tidak menjadi penopang hidup keluarganya;

Hal ini berarti untuk memulai profesi sebagai pekerja (formal atau informal) seseorang harus sudah berusia sekurang-kurangnya 18 tahun;

Di Negara Indonesia mempekerjakan anak-anak bertentangan dengan konstitusi [secara tersirat dicantumkan dalam Pasal 28B Ayat (2)]. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Undang-undang tersebut juga melarang adanya eksploitasi secara ekonomi bagi seorang anak;

Sesuai dengan konsepsi ILO di atas, Negara Indonesia memandang bahwa:

(1) batasan usia anak adalah sampai seseorang yang belum berumur 18 tahun; dan

(2) anak-anak dilarang untuk dieksploitasi secara ekonomi;

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud oleh konsep dan ketentuan yang berlaku adalah bahwa orang dewasa (bukan anak- anak) adalah seseorang yang telah berusia diatas 18 tahun;


3. SINKRONISASI Sesuai dengan pengaturan hak-hak seperti yang diatur dalam konstitusi dan diselaraskan dengan definisi dewasa (yang layak untuk bekerja) baik oleh ILO maupun ketentuan positif Negara Indonesia, dapat disimpulkan bahwa di Negara Indonesia, seseorang yang telah berusia 18 tahun lah yang berhak memiliki dan diperbolehkan atas suatu pekerjaan. Batasan usia inilah yang menjadi patokan universal (termasuk di Indonesia) dalam membuka lapangan pekerjaan di masyarakat. Setiap tindakan atau ketentuan yang menutup peluang untuk bekerja bagi seorang warga negara yang berusia 18 tahun harus dianggap diskriminatif yang oleh karenanya harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;

PASAL 35 HURUF A BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI

PENDAPAT MAHKAMAH KONSTITUSI

Sebelum memasuki uraian Pasal 35 huruf a, Pemohon akan mengutip pendapat Mahkamah Konstitusi mengenai pembatasan usia yang diatur dalam Pasal 35 huruf a dalam Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan Nomor 020/PUU-III/2005.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa �syarat usia tertentu sangat tepat agar supaya dapat terhindar praktik mempekerjakan anak-anak dibawah umur, ... Larangan tersebut dapat diterima karena justru bermaksud untuk melindungi pencari kerja yang secara moral, hukum dan kemanusiaan perlu dilindungi. Seseorang yang telah dewasa memerlukan pekerjaan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya tanpa membedakan apakah seseorang tersebut lulusan SLTP atau bukan...�

Hanya saja pendapat Mahkamah Konstitusi tentang usia (anak-anak atau dewasa) tercampur dengan batasan minimum pendidikan;

Yang menarik bahwa Mahkamah Konstitusi telah berpendapat bahwa �pembatasan sekurang-kurangnya 18 tahun kecuali bagi TKI yang akan bekerja pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 tahun adalah sesuai dengan konsep dan ketentuan umum yang ada�. Mahkamah Konstitusi tidak membedakan antara usia 18 tahun dan usia 21 tahun, sehingga secara analogis dengan alasan tertentu semua dianggap sama


yaitu (pembatasan tersebut) dilakukan untuk mencegah praktik mempekerjakan anak-anak di bawah umur;

Hal ini amat disayangkan oleh karena sesuai dengan fakta-fakta dan konklusi di atas tadi telah disebutkan bahwa seseorang yang telah berusia 18 tahun lah yang berhak memiliki dan diperbolehkan atas suatu pekerjaan. Secara analogis Mahkamah Konstitusi telah berpendapat bahwa �Walaupun usia seseorang telah melebihi 18 tahun, tetapi bilamana TKI-LN tersebut direncanakan untuk bekerja pada Pengguna perseorangan maka dia dianggap tidak dewasa lagi dan oleh karenanya harus mencapai usia 21 tahun terlebih dahulu untuk dapat memulai pekerjaan tersebut�;

URAIAN PENDAPAT KUASA PEMOHON.

Kuasa Pemohon sesuai dengan konsepsi dan pengaturan positif yang berlaku di negara Indonesia, bahwa eksploitasi ekonomi terhadap anak- anak harus dilarang. Kegiatan ekonomi praktis yang melibatkan anak-anak harus dikurangi dan ditiadakan secara sistematis. Tetapi pada saat yang sama kuasa Pemohon juga memandang perlu dibukanya kesempatan secara luas oleh Pemerintah bagi tersedianya pekerjaan untuk angkatan kerja (18 tahun ke atas);

Menurut kuasa Pemohon, kedua hal tersebut bukan suatu yang mudah untuk dikerjakan tetapi juga bukan merupakan tugas yang mustahil bagi Pemerintah. Konsistensi sikap Pemerintahlah yang diperlukan untuk mencegah ledakan pengangguran;

Pasal 35 huruf a pada anak kalimat �...kecuali bagi TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun�, merupakan pengaturan yang mencerminkan tidak konsistennya sikap Pemerintah atau pembuat undang-undang. Dilihat dari sudut manapun (konsepsi dan hukum positif), pembatasan demikian adalah berlebihan. Pembuat undang-undang mengatur demikian dengan alasan �Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek


kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi�. (Penjelasan atas Pasal 35 huruf a UU PPTKI).

Alasan tersebut menurut Pemohon tidak tepat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

1. Secara logis, yang rawan mendapat pelecehan seksual bukan hanya pekerja yang berusia di bawah 21 tahun, tetapi juga mengancam kepada seluruh lapisan umur tenaga kerja; 2. Dalam praktiknya, bukan hanya pada Pengguna perseorangan saja ada ancaman pelecehan seksual, tetapi juga pada bidang pekerjaan lain (penjaga toko, restoran, dan sebagainya); 3. Jarang atau tidak pernah ditemukan pelecehan seksual terhadap TKI pria berumur di bawah 21 tahun. Sehingga pembatasan demikian akan sangat merugikan TKI-LN yang berjenis kelamin pria.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan oleh kuasa Pemohon bahwa secara konsepsi pembatasan yang diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI bertentangan dengan konsepsi dan logika umum yang wajar; Pembatasan yang tidak jelas arah dan tujuannya seperti itu otomatis bertentangan dengan hak-hak bagi warga negara sebagaimana diatur Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan� dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi �Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�.

IV. KESIMPULAN Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.

DIKTUM PETITUM

Berdasarkan uraian tersebut, kuasa Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima baik permohonan kuasa Pemohon untuk menguji secara materiil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang


Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri terhadap UUD 1945; 2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 pada anak kalimat yang berbunyi �...kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun� bertentangan dengan UUD 1945; 3. Menyatakan bahwa materi muatan pada anak kalimat Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tersebut diatas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 5. atau memutuskan keputusan lain yang baik dan bermanfaat bagi tenaga kerja dan calon tenaga kerja dan masyarakat pada umumnya. Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon I telah mengajukan bukti-bukti surat/tulisan. Bukti-bukti tersebut oleh Pemohon I telah diberi tanda Bukti P-1 s.d. Bukti P-22, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Di Luar Negeri; 2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Bukti P-3 : Fotokopi sebagian pasal dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang; 4. Bukti P-4 : Fotokopi Surat Kuasa dari Pemohon Jamilah Tun Sadiah, dkk., kepada Soekitjo JG, dkk ., bertanggal 20 November 2006; 5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Pernyataan Penolakan Calon Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri, bertanggal 15 Oktober 2006; 6. Bukti P-6 : Fotokopi Surat Keterangan LP3ES kepada Indonesia Manpower Wacth (IMW) bertanggal 27 November 2006; 7. Bukti P-7 : Fotokopi Akta Notaris Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Manpower Watch, Nomor 11 bertanggal 13 Desember 2006;


8. Bukti P-8 : Fotokopi Tanda Terima dari Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Direktorat Fasilitas Organisasi Politik Kemasyarakatan Departemen Dalam Negeri, bertanggal 14 Desember 2006; 9. Bukti P-9 : Fotokopi buku dengan Judul Mengenal Lebih Dekat Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 10. Bukti P-10 : Fotokopi Buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Maruarar Siahaan, Penerbit Konpres, halaman 24 - 29; 11. Bukti P-11 : Fotokopi buku Intisari Hukum Acara Perdata, karangan Izaac S. Laihitu, S.H., dan Fatimah Achmad, S.H., halaman 24 � 29; 12. Bukti P-12 : Fotokopi Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, karangan Chidir Ali, S.H., Penerbit Armico Bandung, halaman 243 � 250; 13. Bukti P-13 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU-IV/ 2005, tanggal 28 Maret 2006, halaman 104 � 109; 14. Bukti P-14 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; 15. Bukti P-15 : Fotokopi Deklarasi Bogor Anggaran Dasar Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Manpower Watch pada tanggal 10 Mei 1990 dan diperbaharui pada tanggal 10 Mei 2005; 16. Bukti P-16 : Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Nomor 004/DIII.2/I/2007, bertanggal 17 Januari 2007; 17. Bukti P-17 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 18. Bukti P-18 : Surat dari PT. Gayung Mulya Ikif No.467/SKt/GMI/X/2006 tanggal 15 Oktober 2006 perihal Penolakan Pemrosesan ke Negara Saudi Arabia atas nama Nuryanih; 19. Bukti P-19 : Surat dari PT. Gayung Mulya Ikif No.468/SKt/GMI/X/2006 tanggal 15 Oktober 2006 perihal Penolakan Pemrosesan ke Negara Saudi Arabia atas nama Rohmawati; 20. Bukti P-20 : Surat dari PT. Gayung Mulya Ikif No.469/SKt/GMI/X/2006 tanggal 15 Oktober 2006 perihal Penolakan Pemrosesan ke Negara Saudi Arabia atas nama Daniati;


21. Bukti P-21 : Surat dari PT. Gayung Mulya Ikif No.470SKt/GMI/X/2006 tanggal 15 Oktober 2006 perihal Penolakan Pemrosesan ke Negara Saudi Arabia atas nama Siti Munawaroh; 22. Bukti P-22 : Surat dari PT. Gayung Mulya Ikif No.471/SKt/GMI/X/2006 tanggal 15 Oktober 2006 perihal Penolakan Pemrosesan ke Negara Saudi Arabia atas nama Jamilah Tun Sadiah;

II. PERKARA NOMOR 029/PUU-IV/2006

Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 35 huruf a UU PPTKI karena pasal tersebut terdapat pada bagian kalimat atau frasa yang berbunyi �calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang- kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun�;

Adapun yang menjadi dasar-dasar diajukannya permohonan ini adalah sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI. 1. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil (judicial review) diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 Ayat (1) huruf a UU MK; - Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi �Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar��; - Pasal 10 Ayat (1) huruf a UU MK yang berbunyi �Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�;

2. Bahwa UU PPTKI diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004 oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 Ayat (1) huruf a UU MK, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, menguji dan memutus permohonan Pemohon; 3. Bahwa permohonan pengujian materiil terhadap Pasal 35 huruf a UU PPTKI telah pernah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 020/PUU-III/2005, akan tetapi Mahkamah Konstitusi menimbang Pemohon (selaku Yayasan) belum sah sebagai badan hukum privat dan


tidak mempunyai kapasitas sebagai Pemohon (vide Putusan Perkara Nomor 020/PUU-III/2005, halaman 89), maka Mahkamah Konstitusi berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (vide Putusan Perkara Nomor 20/PUU-III/2005 halaman 107), oleh karena itu Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 020/PUU-III/2005 tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 4. Bahwa oleh karena permohonan dalam Perkara Nomor 020/PUU-III/2005 diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi �tidak dapat diterima� (niet ontvankelijk verklaard), dengan pertimbangan pada legal standing para Pemohon, dengan demikian pokok perkara dalam permohonan Perkara Nomor 020/PUU-III/2004 tersebut belum diperiksa dan belum diputuskan; 5. Bahwa oleh karena pokok Perkara dalam Perkara Nomor 020/PUU-II/2005 tersebut belum diperiksa dan belum diputuskan maka permohonan ini tidak bertentangan dengan Pasal 42 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;

Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo; II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON. 1. Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK yang berbunyi �Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu : a. perorangan WNI; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik dan privat; atau d. lembaga negara�.

2. Bahwa kedudukan hukum (legal standing) Pemohon adalah sebagai perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK. 3. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri. Pemohon telah melengkapi dokumen-dokumen awal yang


diperlukan untuk mendaftarkan diri sebagai calon Tenaga Kerja Indonesia agar dapat ditempatkan bekerja di luar negeri, yaitu: 4. Bahwa sebagai persyaratan awal Pemohon telah menyiapkan dokumen- dokumen sebagai berikut; a. Pemohon ESTI SURYANI memiliki dokumen Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Kartu Keluarga, dan Paspor No. AA 300484 ke Negara Hongkong (Lampiran 1a, 1b, 1c, 1d ); b. Pemohon MARTINA SEPTI MAYASARI memiliki dokumen Kartu Tanda Penduduk, dan Kartu Keluarga (Lampiran 2a, 2b); c. Pemohon DENIYATI memiliki dokumen Kartu Tanda Penduduk, dan Kartu Keluarga (Lampiran 3a, 3b); d. Pemohon SUMIYATI memiliki dokumen Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran dan berstatus Kawin (Lampiran 4a, 4b, 4c);

5. Bahwa Pemohon ESTI SURYANI pernah bekerja sebagai TKI di Hongkong yang mendaftarkan diri pada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (selanjutnya disebut PPTKIS) PT. Bama Mapan Bahagia, tetapi karena adanya ketentuan Pasal 35 huruf a tersebut, PPTKIS menolak/tidak menerimanya sebagai calon TKI dengan alasan karena baru berusia 20 tahun; 6. Bahwa Pemohon MARTINA SEPTI mendaftarkan diri sebagai calon TKI pada PPTKIS PT. Manpower Indonesia, tetapi karena adanya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTK, maka PPTKIS menolak/tidak menerimanya sebagai calon TKI dengan alasan karena baru berusia 19 tahun; 7. Demikian pula dengan Pemohon DENIYATI dan SUMIYATI tidak diterima sebagai calon TKI karena adanya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI, padahal keduanya telah berusia berusia 19 tahun ditambah pula dengan SUMIYATI yang telah berkeluarga; 8. Pemohon tersebut diatas memiliki latar belakang yang berbeda satu dengan lainnya, akan tetapi seluruhnya telah berusia lebih dari 18 tahun yang dalam hal ini mempunyai hak konstitusional berupa hak atas pekerjaan dan atau hak bekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, akan tetapi hak konstitusional para Pemohon tersebut tereleminir oleh ketentuan Pasal 35 huruf a UU


PPTKI yaitu pada kalimat�calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun�;

Berdasarkan uraian di atas, maka Pemohon tersebut diatas mempunyai kedudukan hukum dan kepentingan konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 35 huruf a UU PPTKI terhadap UUD 1945 karena mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat, menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon atas pekerjaan; III. ALASAN-ALASAN HUKUM PERMOHONAN 9. Pasal 51 Ayat (3) huruf b UU MK yang berbunyi �Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: huruf b. materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�. 10. Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang PPTKI- LN bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945; � Pasal 35 huruf a yang berbunyi �Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: huruf a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun; � Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�; � Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi �Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�;

11. Bahwa hak atas pekerjaan dan atau hak bekerja yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan hak asasi manusia, hal tersebut juga diatur/ dijamin dalam UUD 1945 telah diabaikan oleh Pasal 35 huruf a UU PPTKI, karena dalam pasal tersebut terdapat bagian kalimat atau frasa yang berbunyi �calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun�;


12. Bahwa untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya manusia harus terpenuhi kebutuhan dasarnya, dan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut salah satunya adalah terpenuhinya hak atas pekerjaan dan atau hak bekerja [Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945]. Oleh karenanya hak untuk bekerja yang berkaitan langsung dengan hak untuk mencari nafkah sangatlah erat hubungannya dengan hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya; 13. Bahwa sekalipun ada kewajiban warga negara Indonesia untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, tetapi pembatasan tersebut telah didefinisikan oleh Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945 itu sendiri yaitu �...semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis�; Apabila tidak terdapat pembedaan atau diskriminasi terhadap usia warga negara Indonesia yang sudah dewasa (berusia 18 tahun keatas) untuk menjadi calon TKI sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTK, maka tidak ada sama sekali pertentangan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Lain halnya apabila dalam keadaan hamil atau berusia belum dewasa tentunya bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama atau keamanan dan ketertiban umum;

Sebaliknya dengan adanya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI justru secara langsung atau tidak langsung telah memperkecil peluang kerja bagi angkatan kerja usia produktif untuk bekerja di luar negeri, padahal disisi lain rendahnya kesempatan bekerja di dalam negeri telah sampai pada level yang memprihatinkan yang pada akhirnya (dapat) mengganggu keamanan dan ketertiban umum;

14. Bahwa seorang warga negara Indonesia yang telah berusia 18 tahun sampai dengan 20 tahun tidak dapat bekerja kepada Pengguna perorangan di luar negeri merupakan bentuk ketentuan yang diskriminatif


dan menutup hak atas pekerjaan dan hak bekerja yang diatur dan dijamin dalam UUD 1945; 15. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa apabila terdapat pekerjaan yang tidak memerlukan syarat tertentu, tetapi justru pembuat undang-undang membebankan syarat yang tidak relevan dengan jenis pekerjaan yang tersedia, terhadap hal demikian perlu untuk dikaji, apakah tidak akan mengakibatkan tertutupnya kesempatan bagi sekelompok warga negara untuk mendapatkan pekerjaan karena tidak memenuhi syarat yang dibebankan oleh undang undang dan bahkan apakah hal tersebut tidak menghilangkan hak konstitusional seseorang untuk bekerja (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU-III/2005 tanggal 28 Maret 2006, halaman 105); 16. Bentuk pembatasan usia yang diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI dengan pertimbangan atau dengan tujuan �meminimalisasi pelecehan seksual� (Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI) merupakan pertimbangan yang mengkesampingkan fakta, sebagai berikut: - Pelecehan seksual kepada para TKI yang bekerja diluar negeri, sebagian besar justru terjadi pada TKI yang telah berumur diatas 21 tahun karena oleh �pelaku� dianggap sudah lebih matang; - TKI yang bekerja pada Pengguna perorangan tidak mutlak/harus oleh jenis kelamin wanita; - Sangat banyak Calon TKI yang berusia antara 18 sampai dengan 20 tahun akan tetapi tidak dapat ditempakan untuk bekerja karena adanya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKILN;

17. Bahwa kematangan kepribadian dan emosi adalah bersifat relatif sehingga tidak semata-mata terpatri pada usia, hal tersebut sebagaimana dialami oleh Pemohon SUMIYATI yang telah berusia 20 tahun dan sudah menikah, tentunya tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang belum matang aspek kepribadian dan emosinya tetapi karena adanya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI, Pemohon SUMIYATI tidak dapat memperoleh pekerjaan atau bekerja diluar negeri padahal di dalam negeri lowongan pekerjaan atau kesempatan bekerja tidak ada, demikian pula dengan Pemohon ESTI SURYANI yang telah berusia 20 tahun dan sudah mempunyai pengalaman bekerja di luar negeri selama 2 tahun di


Hongkong tidak pernah mengalami hal-hal yang dijadikan pertimbangan adanya Pasal 35 huruf a UU PPTKI akan tetapi tidak dapat lagi bekerja di luar negeri; 18. Selain daripada itu, adanya persyaratan usia dalam Pasal 35 huruf a berdasarkan pertimbangan kematangan kepribadian dan emosi, tidak konsisten dengan diberlakukannya prosedur wajib pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diatur dalam Pasal 48 s.d. Pasal 50 UU PPTKI. Apabila seorang calon TKI telah dinyatakan lulus test/pemeriksaan kesehatan dan psikologi, maka tentunya calon TKI yang bersangkutan telah memiliki kesiapan mental maupun kesehatannya untuk bekerja di luar negeri, dengan kata lain tidak harus telah berusia 21 tahun untuk bekerja pada Pengguna perseorangan; 19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convension Nomor 138 Concering Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3835 menetapkan �batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun�;

IV. PETITUM Berdasarkan uraian atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Menerima permohonan Pemohon; 2. Menyatakan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445) sepanjang bagian kalimat atau frasa yang berbunyi �bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun� bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja


Indonesia Di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445) sepanjang kalimat atau frasa �kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun� tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon II telah mengajukan bukti-bukti surat/tulisan. Bukti-bukti tersebut oleh Pemohon II telah diberi tanda Bukti P-1 s.d. Bukti P-9, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi sebagian pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Di Luar Negeri; 2. Bukti P-2 : Fotokopi sebagian pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; 3. Bukti P-3 : Fotokopi Surat PT. Bama Mapan Bahagia Nomor 016/B/BMB/REK /XII/2006, Perihal Penolakan proses Calon Tenaga Kerja Indonesia, bertanggal 11 Desember 2006 yang ditujukan kepada Esti Suryani; 4. Bukti P-4 : Fotokopi Surat PT. Manpower Indonesia Nomor 007/12/06/EXT/ EKS, Perihal Penolakan Permohonan, bertanggal 15 Desember 2006 yang ditujukan kepada Martina Septi Mayasari; 5. Bukti P-5 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU- III/2005 tanggal 28 Maret 2006, halaman 105; 6. Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.138 Concerning Minimum Age For Admission To Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja); 7. Bukti P-7 : Fotokopi sebagian pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah; 8. Bukti P-8 : Surat PT. Bina Karya Lestari Nomor 1023/BKW/XII/2006, Perihal Penolakan Untuk Pendaftaran Sebagai Calon TKI, tertanggal 13 Desember 2006 yang ditujukan Sdri. Deniyati;


9. Bukti P-9 : Surat PT. Bina Lestari Nomor 1024/BKW/XII/2006, Perihal Penolakan Untuk Pendaftaran Sebagai Calon TKI, tertanggal 13 Desember 2006 yang ditujukan kepada Sdri. Sumiyati; Menimbang bahwa selain mengajukan bukti surat/tulisan tersebut diatas, Pemohon II telah pula menyampaikan Lampiran 1.a s.d. Lampiran 4.c, sebagai berikut:

1. Lampiran 1.a : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia Nomor 12.19.13. 531086.2002, atas nama Esti Suryani dikeluarkan oleh Kantor Kecamatan Magetan tertanggal 19 Januari 2004; Hongkong Identity Card Nomor W839762 (A) tertanggal 29 September 2005 atas nama Esti Suryani dikeluarkan oleh Pemerintah Negara Hongkong;

2. Lampiran 1.b : Fotokopi Surat Tanda Tamat Belajar No. 04 DI1191374 tertanggal 25 Juni 2001 atas nama Esti Suyani dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional R.I SLTP Kewedanan, Magetan; 3. Lampiran 1.c : Fotokopi Kartu Keluarga No.10/19/00258/2001 atas nama Sarju tertanggal 02 Januari 2001 dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Ngadirejo, Magetan; 4. Lampiran 1.d : Fotokopi Paspor No. AA 300484 atas nama Esti Suryani tertanggal 07 Juli 2005 dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Madiun, Jawa Timur; 5. Lampiran 2.a : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia Nomor 08.07.03/2008/471/2006, atas nama Martina Septi Mayasari dikeluarkan oleh Kantor Kecamatan Jabung, Lampung tertanggal 02 Juni 2006; 6. Lampiran 2.b : Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 0763, atas nama Suharno, dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Negara Saka, Lampung; 7. Lampiran 3.a : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia Nomor 1081102015.1087.23071986, atas nama Deniyati dikeluarkan oleh Kantor Kecamatan Palas, Lampung Selatan, tertanggal 29 Juni 2006 ;


8. Lampiran 3.b : Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 181102015/73, atas nama Ladarin, dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Bumirestu, Lampung; 9. Lampiran 4.a : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia Nomor 3215092006.0103448, atas nama Sumiyati Bt Kusnadi dikeluarkan oleh Kantor Kecamatan Compreng, Subang, tertanggal 04 Mei 2006; 10. Lampiran 4.b : Fotokopi Kutipan Akte Kelahiran Nomor 10257/1st/2006, atas nama Sumiyati, dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Subang; 11. Lampiran 4.c : Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 3213152305061212, atas nama Kusnadi B. Amad, dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Sukatani, Subang, Jawa Barat; Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 15 Februari 2007, Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah memberikan keterangan secara lisan dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis bertanggal 14 Februari 2007, opening statement bertanggal 15 Februari 2007 dan tambahan keterangan tertulis bertanggal 15 Maret 2007 yang diserahkan di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 20 Maret 2007, yang memberikan keterangan sebagai berikut:

1. KETERANGAN TERTULIS PEMERINTAH I. UMUM

Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup - bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri, sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi Iebih berharga baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Oleh karena itu hak atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati;

Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�. Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam


negeri menyebabkan banyaknya Warga Negara Indonesia mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan berkerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatife berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI;

Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi;

Pada hakikatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan dan perlindungan bagi tenaga kerja secara balk. Pemberian pelayanan penempatan dan perlindungan secara baik didalamnya memuat prosedur yang jelas serta mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit- belit dan aman. Pengaturan yang menganut prinsip-prinsip tersebut diatas akan meminimalisir kemungkinan eksploitasi kasus-kasus yang mungkin terjadi terhadap TKI;

Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di diluar negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam dan bahkan berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan;

Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat sederhana/sumir, sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini


diatasi melalui pengaturan dalam keputusan menteri serta peraturan pelaksanaannya.

Dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi dan diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur dalam undang- undang tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan mampu merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dan berbagai upaya dan perlakuan eksploitatif dari siapapun;

Dengan mengacu kepada Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, maka undang-undang ini intinya harus memberi perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya;

Dikaitkan dengan praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah menjadi kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan dan sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah. Namun Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan Pemerintah Propinsi maupun kabupaten/kota serta institusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia Iangsung berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat asasi bagi manusia, maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek komitmen, profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak- hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi;

Setiap tenaga kerja yang bekerja di Iuar wilayah negaranya merupakan orang pendatang atau orang asing di negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada kondisi yang mungkin di Iuar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui bahwa pada kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga


kerja itu sendiri, sehingga tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di Iuar negeri. Pembatasan yang utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di Iuar negeri. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi terhadap TKI;

Pemenuhan hak warga Negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan kesempatan kerja yang ada di Iuar negeri. Kelompok masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang mempunyai pendidikan atau keterampilan yang relatif tinggi;

Sementara itu bagi calon TKI yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah, seringkali pada umumnya dipekerjakan pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan yang rentan terhadap eksploitasi, maka hal tersebut diperlukan pengaturan yang berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Dalam situasi yang demikian, maka diperlukan campur tangan pemerintah yang bertujuan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang maksimal;

Perbedaan pelayanan atau perlakuan tersebut, bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan. Karena itu dalam undang-undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah adanya persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi;

Telah dikemukakan di atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan adalah berkaitan dengan hak asasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam undang-undang ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya persyaratan salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk bekerja di Iuar negeri;


Tidak adanya satu saja dokumen, sudah berisiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk bekerja di negara penempatan. Kondisi ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhada perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang eksploitatif lainnya di negara tujuan penempatan;

Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan perundang- undangan, termasuk didalamnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special Missions) Tahun 1969, dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Undang-Undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI. Dengan demikian undang-undang ini diharapkan disamping dapat menjadi instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di luar negeri maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa �Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara�.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon


yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undang- undang menurut Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005 ) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Menurut para Pemohon bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI, maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Karena itu perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan UU PPTKI. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut


penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian atas berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; Kemudian jika Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya UU PPTKI, maka hal ini perlu dipertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan? para calon tenaga kerja Indonesia, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, para pengurus dan/atau anggota LSM IMW atau LSM IMW itu sendiri yang menyatakan sebagai badan hukum privat;

Pemerintah berpendapat para Pemohon baik yang bertindak untuk diri sendiri dan/atau mewakili kuasanya, maupun yang bertindak sebagai LSM IMW yang memilik kegiatan sebagai pemerhati, pelindung dan pembela Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, juga sebagai perusahaan yang bergerak dalam rangka perekrutan dan penempatan TKI, bukan merupakan pihak yang secara langsung atau tidak langsung dirugikan oleh keberlakuan ketentuan undang- undang yang dimohonkan untuk diuji;

Selain itu, perlu juga dipertanyakan mengenai keabsahan LSM IMW (dahulu Yayasan IMW) itu sendiri yang menyatakan sebagai badan hukum privat, apakah kedudukannya sebagai badan hukum privat telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU-III/2005 tanggal 28 Maret 2006);

Pemerintah berpendapat, karena kedudukan dan keabsahan LSM IMW belum berbadan hukum (vide keterangan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), dan karenanya tidak dapat mewakili untuk dan atas nama para calon tenaga kerja Indonesia ke luar negeri untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo;

Karena itu Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-Undang a quo, karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah


Konstitusi, maupun berdasarkan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi RI;

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard;

III. TANGGAPAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UU PPTKI.

Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan Iebih lanjut atas permohonan pengujian Undang-Undang a quo, terlebih dahulu disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa permohonan pengujian beberapa ketentuan UU PPTKI terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk ketentuan Pasal 35 huruf a, pernah diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasific (AJASPAC), Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI), seperti terdaftar pada registrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 019/PUU-III/2005 dan 020/PUU-III/2005; 2. Bahwa permohonan kembali terhadap ketentuan Pasal 35 huruf a UU PTKI terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (register perkara Nomor 028-029/PUU-IV/2006), juga diajukan oleh para Pemohon maupun oleh kuasa hukum yang sama; 3. Bahwa terhadap permohonan pengujian tersebut pada angka 1 diatas, telah diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi, diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum, pada tanggal 28 Maret 2006, dengan putusan: - Menyatakan permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 020/PUU- III/2005 (yang dimohonkan oleh Soekitjo. JG. dkk), tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklraad); - Menyatakan permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 019/PUU- III/2005, dikabulkan sebagian (ketentuan Pasal 35 huruf d);

4. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, dan dipertegas dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili


pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sehingga terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh; 5. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali; 6. Pemerintah berpendapat bahwa permohonan pengujian Undang-Undang a qua yang diajukan oleh para Pemohon (register perkara Nomor 028- 029/PUU-IV/2006), memiliki kesamaan syarat-syarat konstitusionalitas yang dijadikan alasan para Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo yang diajukan para Pemohon terdahulu (register perkara Nomor 019-020/PUU-III/2005), sehingga sepatutnyalah permohonan para Pemohon tersebut untuk dikesampingkan (vide Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang).

Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat permohonan pengujian Undang-Undang a quo tidak dapat diajukan kembali (ne bis in idem). Terhadap dalil-dalil para Pemohon, Pemerintah dapat memberikan keterangan/argumentasi sebagai berikut: Bahwa Pasal 35 menyatakan, "Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan": a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun�;

Ketentuan diatas dianggap bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945;

- Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi (2) "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang la yak bagi kemanusiaaan"; - Pasal 28D Ayat (2) yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�;

Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, Pemerintah dapat menyampaikan keterangan sebagai berikut:


Bahwa keberatan Pemohon terhadap ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang diangap secara langsung atau tidak langsung telah memperkecil peluang kerja bagi angkatan kerja usia produktif untuk bekerja di luar negeri dan merupakan bentuk ketentuan yang diskriminatif dan menutup hak atas pekerjaan dan hak bekerja yang diatur dan dijamin UUD 1945. dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut :

a. Bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perorangan kondisi kerjanya sangat rentan terhadap berbagai permasalahan yang harus dihadapi sendiri, karena faktor subjektivitas sangat kental dan pengguna perorangan tidak jarang melanggar rambu-rambu, sehingga diperlukan kesiapan fisik dan mental untuk melindungi diri sendiri. Karena itu Pemerintah berpendapat usia minimal 21 (dua puluh satu) tahun dianggap mampu untuk melindungi diri sendiri dalam melaksanakan pekerjaan di luar negeri. Lain halnya bagi TKI yang bekerja di luar Pengguna perorangan yang ketentuan normatifnya sudah jelas, maka usia minimal 18 (delapan belas) tahun sudah dapat dipekerjakan;

b. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU-III/2005 tanggal 28 Maret 2006, halaman 106 menyatakan "Selain syarat yang lain: (a) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan betas) tahun kecuali bagi TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun; (b) sehat jasmani dan rohani; (c) tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan. Syarat usia tertentu adalah sangat tepat agar supaya dapat terhindarkan praktik mempekerjakan anak-anak di bawah umur, demikian juga syarat sehat jasmani dan rohani serta adanya larangan terhadap seorang yang sedang hamil dimaksudkan untuk melindungi agar tidak membahayakan kesehatan balk anak yang dikandung maupun ibunya. Larangan tersebut dapat diterima karena justru bermaksud untuk melindung pencari kerja yang secara moral, hukum dan kemanusian perlu dilindungi�.

Dengan demikian nampak jelas bahwa ketentuan usia minimal (21 tahun) bagi calon TKI ke luar negeri yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan, semata-mata bertujuan untuk melindungi calon TKI itu sendiri dari kemungkinan perlakuan eksploitasi tanpa batas oleh pengguna, juga


dalam rangka memupuk dan menumbuhkan sikap tanggung jawab atas keselamatan jiwa dan raga tenaga kerja itu sendiri;

Dari uraian tersebut diatas, ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak merugikan hak dan/kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945;

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil- adilnya (ex aequo et bono); 2. OPENING STATEMENT PEMERINTAH 1. Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaanI�.


Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri menyebabkan banyaknya Warga Negara Indonesia mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan berkerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di Iuar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri, namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI; 2. Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan pengaturan agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi; 3. Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam dan bahkan berkembang ke arah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan; 4. Dikaitkan dengan praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke Iuar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan Pemerintah. Namun Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota serta institusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia Iangsung berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat asasi bagi manusia, maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, balk dari aspek komitmen, profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-ha'k asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi; 5. Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah negaranya merupakan orang pendatang atau orang asing di Negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada kondisi yang


mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut harus mengakui bahwa pada kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di Iuar negeri. Pembatasan yang utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di Iuar negeri. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi terhadap TKI. Oleh karena itu persyaratan dalam perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a sampai dengan d UU PPTKI adalah merupakan persyaratan yang bersifat komulatif; 6. Tenaga kerja Indonesia yang bekerja pada Pengguna perseorangan kondisi kerjanya sangat rentan terhadap berbagai permasalahan yang harus dihadapi sendiri, karena faktor subjektifitas sangat kental dan Pengguna perseorangan tidak jarang melakukan pelanggaran norma-norma yang berlaku bagi TKI ketika masih di tanah air, sehingga diperlukan kesiapan fisik dan mental untuk melindungi diri sendiri. Oleh karena itu Pemerintah berpendapat bahwa usia 21 tahun telah mampu untuk melindungi diri sendiri dalam melaksanakan pekerjaan pada Pengguna perseorangan di luar negeri. Lain halnya bagi TKI yang bekerja di luar Pengguna perseorangan yang ketentuan normatifnya sudah jelas, maka usia 18 tahun sudah dapat dipekerjakan; 7. Pada sidang perkara terdahulu (Perkara Nomor 019-020/PUU-III/2005) antara lain telah diuji ketentuan Pasal 35 huruf a dan huruf d Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimohon oleh Pemohon melalui kuasa hukum yang sama yaitu Sdr. Soekitjo JG, dkk. dan Sdr. Sangap Sidauruk S.H., dkk. Perkara tersebut telah diperiksa, dan diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2006 dengan putusan sebagai berikut : - Menyatakan permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 020/PUU- III/2005 (yang dimohonkan oleh Soekitjo. JG dkk.), tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklraad); - Menyatakan permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 019/PUU-


III/2005, dikabulkan sebagian (ketentuan Pasal 35 huruf d);

8. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan dipertegas dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sehingga terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh; 9. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya.

3. TAMBAHAN KETERANGAN TERTULIS PEMERINTAH Bahwa Pemerintah tetap pada keterangan tertulisnya bertanggal 14 Pebruari 2007, untuk memperkuat keterangan tertulis tersebut, Pemerintah mengutip keterangan ahli R.Goenawan Oetomo,S.H. yang dikemukakan pada persidangan tanggal 1 Maret 2007, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :

� Bahwa ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang mesyaratkan usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi calon TKI yang akan bekerja pada Pengguna perseorangan dimasudkan agar calon TKI yang bersangkutan mampu melindungi diri terhadap tindak kekerasan dan pelanggaran hukum, karena bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna yang dapat mendorong TKI berada dalam keadaan yang rentan terhadap tindak kekerasan dan pelanggaran hukum termasuk pelecehan seksual; � Usia 21 (dua puluh satu) tahun dipandang telah matang dari aspek kepribadian dan emosi dibandingkan dengan usia 18 tahun, sehingga dapat melindungi dirinya sendiri; � Bahwa istilah diskriminasi harus dipandang dalam pengertian yang positif dan negatif. Walaupun terhadap perbedaan persyaratan usia bagi calon TKI 18 (delapan belas) tahun yang bekerja di sektor formal sedangkan calon TKI berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bekerja pada Pengguna perseorangan, maka perbedaan persyaratan tersebut merupakan diskriminasi positif dalam rangka memberikan perlindungan bagi calon TKI yang bersangkutan. Oleh karena itu ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak bertentangan dengan UUD 1945;


� Bahwa dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 mengatur "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian". Dengan demikian nampak jelas ketentuan usia minimal 21 (dua puluh satu) tahun bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan, semata-mata bertujuan untuk melindungi calon tenaga kerja itu sendiri terhadap tindak kekerasan dan pelanggaran hukum termasuk pelecehan seksual. Oleh karena itu ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI sudah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945;

Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian UU PPTKI terhadap UUD 1945, memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (2), Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah pula menyampaikan keterangan tertulisnya bertanggal 19 Februari 2007 yang diserahkan melalui Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Maret 2007, yang menguraikan sebagai berikut:


KETERANGAN TERTULIS DPR

A. Pasal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang dimohonkan untuk diuji materiil Pasal 35 huruf a yang berbunyi "Perekrutan calon Tenaga Kerja Indonesia oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon Tenaga Kerja Indonesia yang telah memenuhi persyaratan:

a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang- kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun� ;

B. Hak konstitusional Pemohon. Rumusan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dianggap oleh Pemohon telah melanggar hak konstitusionalnya yaitu hak atas pekerjaan dan/atau hak bekerja untuk mempertahankan kehidupannya yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana diatur dan dijamin dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu:

1. Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak"; 2. Pasal 28D Ayat (2) menyatakan bahwa "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja";

Oleh karena secara langsung atau tidak langsung Pasal 35 huruf a tersebut dengan pembatasan umur yang disyaratkan telah memperkecil peluang bagi siapa saja untuk bekerja di luar negeri. Berdasarkan hal tersebut diatas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar memutuskan Pasal 35 huruf a sepajang kalimat "kecuali bagi calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun" dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; C. Keterangan DPR RI Terhadap Permohonan Pemohon adalah sebagai berikut: 1. Hak memperoleh pekerjaan atau hak untuk bekerja (baik di dalam maupun di luai negeri) dalam kerangka mempertahankan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi, dihormati dan dilindungi. Hal inilah yang menjadi prinsip


dasar dari lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri; 2. Dengan semakin minimnya kesempatan bekerja di dalam negeri pada satu sisi, dan pada sisi lain semakin terbuka dengan luas kesempatan kerja di luar negeri, maka meningkat pula TKI yang berkeinginan untuk bekerja di luar negeri baik pada sektor formal maupun sektor informal (umumnya yang bekerja pada Pengguna perseorangan sebagai house keeper); 3. Sejalan dengan makin meningkatnya minat TKI untuk bekerja di luar negeri, berdasarkan informasi data dan fakta yang ada dilapangan terlihat semakin meningkat pula kasus-kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI, bahkan sudah ada yang berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan; 4. Kasus-kasus yang menimpa TKI di Iuar negeri tidak saja sangal merendahkan harkat dan martabat tenaga kerja yang bersangkutan sebagai manusia sehingga tidak dapat menjalankan/menggunakan haknya untuk bekerja guna memperoleh kehidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi Pasal 27 Ayat (2), tetapi juga dapat merendahkan harkat dan martabat negara Indonseia sebagai bangsa yang berdaulat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan; 5. Mengacu pada uraian diatas dan berdasarkan ketentuan Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 inilah, maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 ini sebagai dasar hukum guna melindungi setiap Warga Negara Indonesia yang ingin/akan menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri dengan perlindungan keselamatan tenaga kerja baik dari sisi fisik, moral maupun harkat dan martabat kemanusiaannya; 6. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 diatur ketentuan-ketentuan mulai dari proses perekrutan calon tenaga kerja, penempatannya, sampai dengan kepulangan tenaga kerja yang bersangkutan ke tanah air, yang kesemuanya ditujukan guna memberikan perlindungan hukum terhadap Warga Negara Indonesia yang ingin menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri dalam rangka mempertahankan kehidupannya yang layak bagi kemanusiaan; 7. Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 memuat ketentuan


mengenai pengecualian bagi calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun lebih didasarkan pada pertimbangan memberikan perlindungan hukum bagi calon TKI di luar negeri guna menjamin kesejahteraan anak balk dari segi lahir maupun batin, sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang memberikan batasan umur anak untuk dijamin kesejahteraannya sampai dengan usia 21 Tahun; 8. Pembatasan usia minimal 21 tahun bagi Calon TKI yang yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan adalah suatu persyaratan yang memang diperlukan untuk jenis pekerjaan dimaksud, mengingat dalam praktiknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mengakibatkan TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan perlakuan- perlakuan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya; Sesorang yang telah berusia 21 tahun dianggap telah betul-betul mempunyai kematangan dari segi emosi dan kepribadian, dimana hal tersebut sangat diperlukan jika seseorang Calon TKI yang akan bekerja di luar negeri pada Pengguna peseorangan yang dalam melaksanakan pekerjaannya tersebut selalu mempunyai hubungan personal yang sangat intens dengan Pengguna, sehingga pada saat-saat tertentu dapat melindungi dirinya sendiri, mengingat kesempatan pertama perlindungan terbaik muncul dari tenaga kerja itu sendiri sebelum orang lain memberikan perlindungan;

Berdasarkan uraian diatas, ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, tetapi justru mengatur mengenai pemberian perlindungan dan jaminan kesejahteraan anak sebagaimana diamanatkan juga dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

9. Pembatasan usia minimum sebagaimana dimasud pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, karena berdasarkan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang


wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis�; Berdasarkan uraian diatas, kami berpendapat Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 1 Maret 2007, telah didengar keterangan dibawah sumpah/janji ahli dari para Pemohon bernama Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Perburuhan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:

KETERANGAN AHLI PROF. DR. ALOYSIUS UWIYONO, S.H.,M.H. � Pasal 35 huruf a UU PPTKI mengatur mengenai pembatasan umur bagi pekerja atau buruh migran yang akan bekerja pada Pengguna perseorangan. Pasal dimaksud menurut ahli bertentangan dengan hak dasar manusia untuk melakukan pekerjaan dan bertentangan dengan asas equality before the law, dengan alasan sebagai berikut: - bahwa pada dasarnya manusia hidup di dunia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu hak bekerja merupakan hak fundamental dan hak dasar setiap manusia. Agar setiap warga negara mendapatkan haknya, maka negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Jika Pemerintah tidak dapat menciptakan lapangan pekerjaan, maka yang dapat dilakukan oleh negara adalah memberikan kemudahan-kemudahan kepada setiap warga negaranya untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, maka ketentuan Pasal 35 huruf a bertentangan dengan hak dasar manusia untuk melakukan pekerjaan; - bahwa ketentuan Pasal 35 huruf a bertentangan dengan asas equality before the law. Pembedaan umur antara yang kurang dari 22 tahun dan yang lebih dari 22 tahun merupakan diskriminatif karena seseorang yang umurnya kurang dari 22 tahun tidak dapat bekerja pada Pengguna perseorangan, sedangkan seseorang yang umurnya lebih dari 22 tahun dapat bekerja pada Pengguna


perseorangan. Setiap orang mempunyai hak untuk melakukan pekerjaan, sehingga hak tersebut tidak dapat dibatasi. Dalam kaitan ini ahli mengambil contoh, misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 telah membatasi wanita untuk bekerja pada malam hari, namun setelah adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, wanita boleh bekerja pada malam hari dengan suatu syarat mendapat izin dari Depnaker. Pembatasan dimaksud jelas menghilangkan kesempatan bekerja bagi wanita untuk bekerja pada malam hari. Pada dasarnya pembatasan-pembatasan tersebut dilakukan sebagai upaya perlindungan, tetapi perlindungan dimaksud bukan untuk melindungi pada pekerja, tetapi justru mengekang, bahkan mengeliminir hak pekerja; Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pembatasan dengan perlindungan adalah merupakan suatu hal yang berbeda, sehingga ketentuan Pasal 35 Ayat (2) bertentangan dengan hak dasar melakukan pekerjaan dan bertentangan dengan asas equality before the law;

� Bahwa alasan pembatasan sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a adalah tidak tepat. Jika dikaji lebih lanjut bahwa pelecehan seksual tidak selalu terjadi pada mereka yang berumur di bawah 22 tahun tetapi dapat pula terjadi pada mereka yang berumur di atas 22 tahun. Ahli berpendapat bahwa jika Pemerintah akan membatasi hak warga negaranya, seharusnya pembatasan tersebut dituangkan dalam bentuk pengecualian. Bahwa pengecualian tersebut mendasarkan kepada syarat-syarat tertentu, sehingga apabila seseorang ingin memperoleh pengecualian dimaksud, maka orang tersebut harus dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Dalam pengecualian, ahli mengambil contoh hukum perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan diatur bahwa seseorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu orang dengan suatu syarat yaitu sang istri tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri. Aturan ini hanya berlaku pada suami yang istrinya tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri, sehingga aturan ini merupakan aturan yang dikecualikan. Dalam hukum pidana, misalnya orang menumpang kapal, kemudian kapal tersebut pecah di tengah laut, karena dalam suasana mempertahankan hidupnya, salah seorang membunuh yang lain dengan perkiraan bahwa papan tersebut tidak kuat ditumpangi 2 orang. Menghilangkan nyawa orang lain merupakan perbuatan pidana dan pelakunya dapat dijatuhi pidana, namun karena perbuatan tersebut dilakukan dengan keterpaksaan untuk melindungi hidupnya, maka pembunuhan demikian adalah


dibolehkan menurut hukum pidana. Pembunuhan tersebut merupakan bentuk yang dikecualikan yang tidak dapat diberlakukan kepada setiap orang. � Bahwa tujuan dibentuknya UU PPTKI adalah untuk memberikan perlindungan, namun perlindungan tersebut tidak dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam memberikan perlindungan pada TKI, misalnya menciptakan sistem penempatan TKI yang betul memihak kepada TKI atau TKW; � Bahwa apabila dalam hukum perburuhan diatur syarat-syarat tertentu untuk mendapatkan pekerjaan, maka hal justru akan mengekang atau mengeliminir hak warga negara. Dengan dikeluarkannya Konvensi ILO Nomor 138, ketentuan yang mengatur mengenai pembedaan pembatasan umur telah dicabut. Dalam Konvensi ILO diatur bahwa batasan usia bagi seorang yang diperbolehkan untuk bekerja adalah berusia 15 tahun. Aturan batasan usia untuk bekerja tersebut tidak membedakan jenis-jenis pekerjaan dalam sektor industri maupun non industri; � Bhwa jika dibandingkan ketentuan Pasal 1601 BW dengan ketentuan dalam UU PPTKI, maka ketentuan Pasal 1601 BW lebih bagus daripada ketentuan yang diatur dalam UU PPTKI. Meskipun Pasal 1601 BW lahir 2000 tahun yang lalu, tetapi isinya sejalan dengan UUD 1945 yaitu telah mengatur hak warga negara untuk bekerja. Di dalam pasal tersebut pada pokoknya dinyatakan, �seseorang belum dewasa membuat perjanjian kerja, jika dalam waktu 6 minggu atau 1 setengah bulan tidak ada keberatan/perlawanan dari walinya, maka perjanjian tersebut dianggap sah�. Ahli sependapat, jika perlindungan kerja dilakukan oleh negara, namun negara tidak boleh membatasi hak seseorang untuk melakukan pekerjaan, bahkan terhadap seseorang yang belum dewasa harus diberi hak untuk melakukan pekerjaan, aturan inilah yang dimaksud UUD 1945 yang menjamin hak seorang untuk melakukan pekerjaan; � Bahwa diskriminasi dibedakan menjadi dua kelompok diskriminasi, yaitu yang diskriminasi merugikan dan diskriminasi yang tidak merugikan. Kemudian diskriminatif tidak merugikan dibagi lagi menjadi dua yaitu direct discrimination dan indirect discrimination. Direct discrimination adalah pembedaan karena kemampuannya dan indirect discrimination adalah pembedaan karena kodratnya. Menurut ahli, diskriminasi yang dilarang adalah discrimination atau diskriminasi yang merugikan dan jika dikaitkan dengan Pasal 35 huruf a, maka pasal tersebut membatasi hak untuk bekerja.


Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 1 Maret 2007, telah didengar keterangan dibawah sumpah/janji ahli dari Pemerintah bernama R. Goenawan Oetomo, S.H., Ketua Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, pada pokoknya menguraikan sebagai berikut:

KETERANGAN AHLI R. GOENAWAN OETOMO, S.H. � Bahwa pelecehan seksual bukan satu-satunya alasan yang dijadikan dasar untuk membatasi usia TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, tetapi pembatasan tersebut bersifat umum yaitu selain untuk menghindarkan adanya pelecehan seksual juga untuk mencegah adanya tindakan kekerasan dan pelanggaran hukum, sehingga TKI yang dipekerjakan pada Pengguna perseorangan diharapkan betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Pengecualian tersebut diberlakukan hanya terhadap TKI yang bekerja pada sektor informal yaitu TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, dengan pertimbangan sebagai berikut: - dipandang dari aspek kepribadian dan emosi, bahwa pekerja yang berusia 21 tahun lebih matang dari pada pekerja yang berusia 18 tahun; - dipandang dari segi pendidikan, bahwa pekerja yang berusia 21 tahun lebih memiliki pengalaman dibanding dengan pekerja yang berusia 18 tahun; - dipandang dari segi hukum, bahwa pasal yang terkandung dalam UUD 1945 merupakan norma dasar yang diberlakukan secara umum yang tentunya pasal tersebut belum dapat langsung dioperasionalkan di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan bentuk-bentuk hukum yang tingkatannya lebih rendah dari pada UUD 1945, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah yang akan mengatur lebih rinci dengan argumentasi dan tujuan yang jelas dalam bentuk hukum. Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, menyatakan �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�. Pasal tersebut tidak dapat langsung diterapkan dalam masyarakat karena pekerja yang belum dewasa tidak dapat melakukan perbuatan hukum, Menurut BW bahwa seseorang diangap dewasa apabila sudah berumur 21 tahun. UUD 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai umur, oleh karena itu diperlukan undang- undang pelaksananya yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Perburuhan. Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pembatasan umur sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak bertentangan


dengan UUD 1945, karena pada dasarnya hukum selalu membuat norma- norma tertentu dengan tujuan dan alasan yang jelas dan pasti benar;

� Ahli mengakui bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI memang membatasi atau bersifat diskriminasi, tetapi tidak setiap diskriminasi itu dilarang. Diskriminasi dibagi menjadi 2 yaitu diskriminasi positif yang memberikan perlindungan dan diskriminasi negatif yang memberikan batasan. Diskriminasi dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI merupakan diskriminasi positif dan hal tersebut diperbolehkan, yang dilarang adalah diskriminasi yang bersifat negatif. Diskriminasi negatif dilarang karena diskriminasi tersebut tidak menguntungkan seseorang yang haknya dibatasi. TKI yang belum berusia dibawah 21 tahun yang ditolak menjadi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, semestinya bersyukur karena UU PPTKI telah memberikan perlindungan dari kemungkinan-kemungkinan terjadinya suatu perbuatan kekerasan atau perbuatan melanggar hukum. Pasal 35 huruf a UU PPTKI merupakan sebuah pemikiran dari pembuat undang-undang untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang bekerja diluar negeri. Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa ketentual Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945; � Pembentukan UU PPTKI telah melalui proses yang panjang, yaitu diajukan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi kemudian diajukan ke Sekretaris Negara dan selanjutnya dibahas oleh Pemerintah dan DPR dengan perdebatan dan diskusi yang bertingkat. Pembatasan usia terhadap TKI tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada TKI yang bersangkutan. Bentuk perlindungan Pemerintah tersebut dituangkan dalam UU PPTKI yaitu dengan memberikan batasan usia 21 tahun terhadap TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan. Dengan usia 21 tahun tersebut, TKI dianggap memiliki kematangan kepribadian dan emosi, sehingga dapat melindungi dirinya sendiri. Perlindungan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan menuangkannya dalam bentuk undang-undang dengan memberikan batasan usia 21 tahun kepada TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan. Perlindungan tersebut dituangkan dalam undang-undang karena Pemerintah tidak dapat masuk ke rumah tangga Pengguna perseorangan di luar negeri untuk memberikan perlindungan langsung kepada TKI yang bersangkutan;


� Bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada wanita, tetapi TKI laki-laki pun kemungkinan juga mengalami hal yang serupa, hanya saja pelecehan seksual pada TKI laki-laki tidak sebanyak yang dialami TKI wanita; Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II mengajukan kesimpulan tertulis masing-masing bertanggal 13 Maret 2007 dan 15 Maret 2007 yang disampaikan di Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada tanggal 13 Maret 2007 dan tanggal 15 Maret 2007 yang isi selengkapnya ditunjuk dalam berkas perkara;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini;

PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; 2. Apakah para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo; Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

1. KEWENANGAN MAHKAMAH Menimbang bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama


dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain, untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945;

Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah pengujian undang-undang, in casu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445, selanjutnya disebut UU PPTKI), oleh karena itu Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon tersebut;

2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU MK dan Penjelasannya, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara;

Menimbang bahwa sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. harus ada hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang- undang; c. kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak- tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dan undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi;


Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonan pengujian UU PPTKI terdiri atas 2 (dua) kelompok Pemohon, yaitu:

A. Pemohon dalam Perkara Nomor 028/PUU-IV/2006 adalah Jamilah Tun Sadiah, Nuryanih, Siti Munawaroh, Rohmawati, Daniati; B. Pemohon dalam Perkara Nomor 029/PUU-IV/2006 adalah Esti Suryani, Martina Septi Mayasari, Deniyati, Sumiyati; Menimbang bahwa para Pemohon tersebut di atas adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan alasan tidak dapat bekerja di luar negeri karena terhalang oleh adanya ketentuan tentang batas usia bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk Pengguna perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI. Atas dasar itu, para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 telah dirugikan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UU PPTKI. Namun, khusus mengenai status Soekitjo J.G. dan Kurnia Wamilda Putra, S.H., LL.M. yang mengatasnamakan Indonesia Manpower Watch selaku kuasa Pemohon tidak akan dipertimbangkan. Ketentuan mengenai kuasa untuk beracara di Mahkamah Konstitusi akan diatur tersendiri dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UU MK;

Menimbang bahwa oleh karena para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai Pokok Permohonan;

3. Pokok Permohonan Menimbang, para Pemohon, sebagaimana telah dijelaskan dalam Duduk Perkara, mendalilkan pada pokoknya bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang berbunyi, �Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: a. ... kecuali bagi Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun.�; bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�, dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, �Setiap orang berhak untuk bekerja


serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

I. Perkara Nomor 028/PUU-IV/2006 � bahwa Pemohon adalah Calon Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (selajutnya disebut Calon TKI-LN) yang tidak dapat diberangkatkan ke luar negeri oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta (selanjutnya disebut PPTKIS) PT. Gayung Mulya IKIF; � bahwa PT. Gayung Mulya IKIF menolak memberangkatkan Pemohon karena adanya ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang mensyaratkan usia 21 (dua puluh satu) tahun terhadap TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan; � bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI khusus pada anak kalimat yang berbunyi �...kecuali bagi TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun�, menurut Pemohon, merupakan pengaturan yang mencerminkan tidak konsistennya sikap Pemerintah atau pembuat undang-undang. Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI menyatakan �Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi�. Menurut Pemohon alasan pembatasan usia bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan tersebut adalah tidak tepat, karena: - pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada pekerja yang berusia di bawah 21 tahun, tetapi juga mengancam kepada seluruh lapisan umur tenaga kerja; - pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, tetapi juga terjadi pada pekerja yang bekerja pada bidang pekerjaan lain; - pelecehan seksual jarang terjadi pada TKI pria berumur di bawah 21 tahun, sehingga pembatasan usia sangat merugikan TKI laki-laki;


- secara konsepsi, pembatasan yang diatur dalam anak kalimat Pasal 35 huruf a UU PPTKI bertentangan dengan konsepsi dan logika yang wajar; - pembatasan yang tidak jelas arah dan tujuannya seperti tersebut di atas bertentangan dengan hak-hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 serta hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja menurut Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945; - dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan dan imbalan berdasarkan patokan dan klasifikasi pekerjaan tidak diperbolehkan adanya diskriminasi;

II. Perkara Nomor 029/PUU-IV/2006 � bahwa Pemohon adalah Calon TKI yang tidak dapat diberangkatkan ke luar negeri oleh PPTKIS PT. Bama Mapan Bahagia dan PPTKIS PT. Manpower Indonesia, karena belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI; � bahwa pembatasan usia 21 (dua puluh satu) tahun kepada TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan adalah merupakan bentuk ketentuan yang diskriminatif dan menutup hak atas suatu pekerjaan dan hak bekerja sebagaimana diatur dalam UUD 1945; � bahwa pembatasan usia dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI bukan yang dimaksudkan pembatasan dalam Pasal 28J UUD 1945, karena Pasal 28J telah mendefinisikan pembatasan, yaitu �Semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis�; � bahwa bentuk pembatasan usia yang diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI dengan tujuan untuk meminimalisir pelecehan seksual adalah tidak sesuai dengan fakta-fakta sebagai berikut: - pelecehan seksual kepada para TKI yang bekerja di luar negeri, sebagian besar justru terjadi pada TKI yang telah berumur di atas 21 tahun karena oleh �pelaku� dianggap sudah lebih matang;


- TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan tidak mutlak berjenis kelamin wanita; - hak untuk bekerja yang berkaitan langsung dengan hak untuk mencari nafkah sangatlah erat hubungannya dengan hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan; - ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI sangat merugikan calon TKI yang berusia antara 18 sampai dengan 20 tahun, karena tidak dapat bekerja pada Pengguna perseorangan; - seorang warga negara Indonesia yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun tidak dapat bekerja pada Pengguna perseorangan di luar negeri merupakan bentuk ketentuan yang diskriminatif serta menutup hak atas pekerjaan dan hak bekerja yang diatur dan dijamin UUD 1945; Menimbang bahwa guna mendukung dalil-dalilnya, para Pemohon selain mengajukan bukti-bukti surat/tulisan, telah mengajukan pula seorang ahli bernama Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Perburuhan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 1 Maret 2007;

Ahli Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H. Keterangan selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut:

� bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI mengatur mengenai pembatasan umur kepada TKI yang akan bekerja pada Pengguna perseorangan. Pada dasarnya pembatasan itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, tetapi dalam praktiknya perlindungan tersebut justru mengekang dan bahkan mengeliminir hak pekerja. Ahli berpendapat bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI bertentangan dengan hak dasar manusia untuk melakukan pekerjaan dan bertentangan dengan asas equality before the law; � bahwa alasan pembatasan sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI adalah tidak tepat, karena pelecehan seksual tidak selalu terjadi pada mereka yang berumur di bawah 22 tahun, tetapi dapat pula terjadi mereka yang berumur di atas 22 tahun;


� bahwa diskriminasi itu dibedakan menjadi 2, yaitu diskriminasi yang merugikan dan diskriminasi yang tidak merugikan. Hal yang dilarang adalah diskriminasi yang merugikan, jika dikaitkan dengan Pasal 35 huruf a UU PPTKI, maka pasal tersebut telah membatasi hak untuk bekerja; Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar pula keterangan lisan Pemerintah, dan membaca keterangan tertulis Pemerintah bertanggal 14 Februari 2007, serta tambahan keterangan tertulis Pemerintah bertanggal 15 Maret 2007.

Keterangan Pemerintah Keterangan selengkapnya telah diuraikan dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut:

� bahwa perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri, oleh karena itu diperlukan adanya batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di Iuar negeri. Pembatasan tersebut mencakup beberapa hal, misalnya keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di Iuar negeri. Oleh karena itu diperlukan pengaturan yang berbeda dengan mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi. Perbedaan pelayanan atau perlakuan tersebut, tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, tetapi pembedaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan; � bahwa TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan sangat rentan terhadap berbagai permasalahan, sehingga diperlukan kesiapan fisik dan mental untuk melindungi dirinya sendiri. Pemerintah berpendapat bahwa usia minimal 21 (dua puluh satu) tahun dianggap mampu untuk melindungi diri sendiri dalam melaksanakan pekerjaan di luar negeri. Perlakuan tersebut berbeda dengan TKI yang bekerja pada sektor formal yang ketentuan normatifnya sudah jelas dan kondisi kerjanya bersifat kolektif yang dapat saling melindungi, oleh karena itu usia minimal 18 (delapan belas) tahun sudah dapat dipekerjakan; � bahwa pembatasan usia 21 tahun kepada calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI, semata-mata bertujuan untuk melindungi calon TKI yang bersangkutan dari kemungkinan adanya perlakuan eksploitasi tanpa batas oleh Pengguna, juga untuk memupuk dan menumbuhkan sikap tanggung jawab atas keselamatan jiwa


dan raga tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945; Menimbang bahwa terkait permohonan a quo, Mahkamah telah pula membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat bertanggal 19 Februari 2007.

Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Keterangan tertulis selengkapnya telah diuraikan dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

� bahwa Pasal 35 huruf a UU PPTKI memuat ketentuan pengecualian kepada calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang- kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun lebih didasarkan pada pertimbangan memberikan perlindungan hukum bagi calon TKI di luar negeri guna menjamin kesejahteraan anak baik dari segi lahir maupun batin, sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang memberikan batasan umur anak untuk dijamin kesejahteraannya sampai dengan usia 21 Tahun; � bahwa pembatasan usia minimal 21 tahun bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan adalah suatu persyaratan yang memang diperlukan untuk jenis pekerjaan tersebut. Hal itu mengingat karena dalam praktiknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna yang dapat mengakibatkan TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan perlakuan-perlakuan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya; � bahwa seseorang yang telah berusia 21 tahun dianggap mempunyai kematangan dari segi emosi dan kepribadian, sehingga diharapkan dapat melindungi dirinya sendiri; � bahwa pembatasan usia 21 tahun sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, karena pembatasan demikian diperbolehkan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945;


Menimbang bahwa guna mendukung dalil-dalilnya, Pemerintah telah mengajukan seorang ahli bernama R. Gunawan Oetomo, S.H., Ketua Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 1 Maret 2007.

Ahli R. Gunawan Oetomo, S.H. Keterangan selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

� bahwa pelecehan seksual bukan satu-satunya alasan untuk membatasi usia TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, tetapi pembatasan tersebut bersifat umum yaitu untuk mencegah tindakan kekerasan dan pelanggaran hukum; � bahwa tidak semua diskriminasi itu dilarang, pembatasan usia sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI termasuk diskriminasi positif yang diperbolehkan, karena pembatasan demikian bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dari perbuatan kekerasan atau pelanggaran hukum lainnya; � bahwa usia 21 tahun dianggap lebih memiliki kematangan kepribadian dan emosi, sehingga dapat melindungi diri sendiri; � bahwa Pemerintah tidak dapat memberikan perlindungan langsung kepada TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan di luar negeri, karena ada aturan di negara penempatan yang melarang negara pengirim untuk masuk ke rumah tangga Pengguna. Oleh karena itu, bentuk perlindungan Pemerintah dituangkan dalam UU PPTKI yaitu memberikan batasan usia 21 tahun kepada TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan; Menimbang bahwa setelah mendengar dan membaca keterangan semua pihak sebagaimana telah diuraikan di atas, serta bukti-bukti yang diajukan para Pemohon, yang menjadi masalah pokok (legal issue) dari permohonan a quo adalah apakah pembatasan usia minimal 21 (dua puluh satu) tahun sebagai syarat bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan di luar negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI melanggar hak konstitusional Pemohon yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, sehingga ketentuan demikian harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;


Menimbang bahwa sebelum menjawab pokok permasalahan di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

� bahwa salah satu kewajiban negara adalah memberikan perlindungan terhadap warga negara dan kepentingannya. Kewajiban demikian secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yang, antara lain, berbunyi, �Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia....� Kewajiban negara untuk melindungi warga negara dan kepentingannya itu kini telah diterima dan telah berlaku sebagai prinsip universal sebagaimana tercermin dalam berbagai ketentuan hukum internasional, baik yang berupa hukum kebiasaan maupun hukum internasional tertulis, misalnya ketentuan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik (Vienna Convention on Diplomatic Relation), yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982. Pasal 3 Ayat (1) huruf b Konvensi dimaksud dengan tegas menyatakan bahwa salah satu tugas perwakilan diplomatik adalah �melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan hukum internasional� (protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its nationals, within the limits permitted by international law); � bahwa kewajiban negara sebagaimana diuraikan di atas, dalam hubungannya dengan warga negara (termasuk badan hukum Indonesia) yang berada di luar negeri, juga ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang dalam Bab V-nya bahkan secara khusus mengatur tentang �Perlindungan Kepada Warga Negara Indonesia�. Namun, dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang berada di luar yurisdiksi teritorialnya, terdapat pembatasan-pembatasan dan/atau larangan yang ditentukan oleh hukum internasional yang berlaku umum (general international law) yang membatasi keleluasaan suatu negara untuk melaksanakan kewajibannya itu. Pembatasan atau larangan demikian timbul karena berlakunya prinsip umum dalam hukum internasional bahwa �suatu negara berdaulat dilarang melakukan tindakan yang bersifat pelaksanaan kedaulatan terhadap negara berdaulat lainnya� (par im parem non habet imperium);


Menimbang bahwa ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan ini, in casu Pasal 35 huruf a UU PPTKI, adalah ketentuan yang mengatur tentang warga negara Indonesia yang akan menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang dipekerjakan pada Pengguna perseorangan. Sebagai tenaga kerja yang bekerja pada perseorangan di wilayah negara lain, keleluasaan bertindak negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk melindungi warga negaranya yang berada dalam kondisi demikian menjadi sangat terbatas karena negara terikat oleh pembatasan-pembatasan yang ditentukan dan diakui oleh hukum internasional. Salah satu implikasinya adalah negara tidak mungkin melakukan tindakan langsung dan seketika terhadap suatu pelanggaran hukum yang menimpa warga negara Indonesia yang bekerja pada Pengguna perseorangan itu karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip par im parem non habet imperium sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan kata lain, tatkala keadaan semacam itu terjadi, pada tahap permulaan, langkah yang perlu diambil akan sangat bergantung pada warga negara Indonesia itu sendiri dan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut. Dalam hubungan inilah faktor kematangan kepribadian dan emosi warga negara Indonesia yang bersangkutan sangat berperan. Bahwa undang-undang menentukan batas usia dimilikinya kematangan kepribadian dan emosi demikian adalah 21 (dua puluh satu) tahun, hal itu tidaklah dapat dikatakan sebagai ketentuan yang menghalangi hak seseorang untuk bekerja, lebih-lebih hak untuk hidup. Dalil demikian tidak dapat diterima bukan saja karena: pertama, tidak adanya kriteria yuridis yang bersifat umum tentang batas usia kematangan kepribadian dan emosi yang berlaku untuk kondisi semacam itu, yang berarti bahwa dalam kondisi demikian penentuan tentang batas kematangan kepribadian dan emosi itu merupakan domain negara untuk menentukan pembatasannya; kedua, juga karena dasar pemikiran yang melandasi penentuan pembatasan usia itu justru karena adanya kesadaran akan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan terhadap warganya yang berada dalam kondisi di mana negara tidak mungkin untuk melakukan tindakan perlindungan itu secara leluasa dikarenakan adanya pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional. Oleh karena itu, persyaratan yang mengandung pembatasan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI, adalah sejalan dengan prinsip pembatasan yang secara objektif dan rasional dibenarkan oleh tujuan yang sah (objectively and reasonably justified by a legitimate aim);


Menimbang pula bahwa pembatasan usia minimal seseorang untuk bekerja dan menjalankan pekerjaan tertentu termasuk hal yang diperbolehkan kepada pembuat undang-undang untuk membatasinya. Alasan pembatasan dimaksud bersifat subjektif yang dapat melahirkan beberapa alternatif, sehingga sangat mungkin menimbulkan pro dan kontra terhadap alasan tersebut sebagaimana alasan yang termuat dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI. Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI itu merupakan salah satu contoh alasan mengenai pentingnya persyaratan usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi TKI yang dipekerjakan pada Pengguna perseorangan di luar negeri. Hal demikian, bukanlah merupakan masalah konstitusionalitas undang-undang a quo, sehingga dalil para Pemohon sepanjang berkenaan Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;

Menimbang, di samping itu, apabila jalan pikiran para Pemohon diikuti maka seolah-olah hak untuk bekerja itu mengalir (derivative) dari hak hidup. Padahal, antara hak untuk bekerja dan hak hidup adalah dua kelompok hak yang berbeda. Hak untuk bekerja adalah bagian dari kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan hak hidup adalah bagian dari hak-hak sipil dan politik. Kedua kelompok hak asasi manusia ini memiliki karakter yang sangat berbeda satu sama lain. Hak-hak sipil dan politik, yang di dalamnya termasuk hak hidup, adalah hak-hak yang di dalamnya negara bersifat pasif dan dapat dituntutkan (enforceable rights). Sedangkan dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang di dalamnya termasuk hak untuk bekerja, peranan negara diharuskan bersifat aktif dan pemenuhannya tidak dapat dituntut secara individual (non-enforceable rights). Dengan demikian, jelaslah bahwa hak untuk bekerja tidaklah mengalir (derivative) dari hak hidup, tetapi merupakan hak yang mengalir dari hak ekonomi, sosial dan budaya;

Menimbang pula bahwa pendirian Mahkamah tentang prinsip perlindungan negara terhadap warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri tersebut di atas, secara umum telah diuraikan dalam Putusan Nomor 019-020/PUU-III/2005, yang antara lain menyatakan �Syarat usia tertentu adalah sangat tepat agar supaya dapat terhindarkan praktik mempekerjakan anak-anak di bawah umur, demikian juga syarat sehat jasmani dan rohani, serta adanya larangan terhadap seorang yang sedang hamil dimaksudkan untuk melindungi agar tidak membahayakan kesehatan baik anak yang dikandung maupun ibunya. Larangan tersebut dapat diterima karena


justru bermaksud untuk melindungi pencari kerja yang secara moral, hukum, dan kemanusiaan perlu dilindungi�.

Menimbang, selain itu, para Pemohon juga mendalilkan Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang mensyaratkan usia 21 tahun kepada TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan telah mendiskriminasikan hak-hak para Pemohon untuk bekerja dan hak atas suatu pekerjaan, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa untuk melihat apakah ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI bersifat diskriminatif atau bukan, terlebih dahulu harus diketahui apakah yang dimaksud dengan pengertian diskriminatif dalam ruang lingkup hukum hak asasi manusia (human rights law). Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi, �Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya�. Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 (LN RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558). Article 2 ICCPR berbunyi, �Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status�.

Menimbang dengan demikian, diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna (color), jenis kelamin (sex), bahasa (language), kesatuan politik (politcal opinion). Lagi pula, dalam praktik yang dijalankan oleh Masyarakat Eropa, sebagaimana tercantum dalam Council Directive 2007/78/EC of 27 November 2000 establishing a general framework for equal


treatment in employment and occupation, dalam Article 6 dinyatakan, �(1) Notwithstanding Article 2(2), Member States may provide that differences of treatment on grounds of age shall not constitute discrimination, if, within the context of national law, they are objectively and reasonably justified by a legitimate aim, including legitimate employment policy, labour market and vocational training objectives, and if the means of achieving that aim are appropriate and necessary. Such differences of treatment may include, among others:

(a). the setting of special conditions on access to employment and vocational training, employment and occupation, including dismissal and remuneration conditions, for young people, older workers and persons with caring responsibilities in order to promote their vocational integration or ensure their protection; (b). the fixing of minimum conditions of age, professional experience or seniority in service for access to employment or to certain advantages linked to employment;�

Menimbang, berdasarkan uraian di atas, telah ternyata bagi Mahkamah bahwa ketentuan yang terkandung dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI bukanlah merupakan penghapusan hak terhadap suatu pekerjaan, tetapi merupakan persyaratan yang dapat dibenarkan dalam rangka pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang dipekerjakan pada Pengguna perseorangan di luar negeri. Dari uraian di atas, telah ternyata pula Pasal 35 huruf a UU PPTKI tidak mengandung sifat diskriminatif sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dan juga tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945. Lagi pula, kedua ketentuan UUD 1945 dimaksud tidak mengatur hak konstitusional yang berkaitan dengan diskriminasi;

Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, permohonan para Pemohon yang mendalilkan Pasal 35 huruf a UU PPTKI bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 telah ternyata tidak beralasan, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan ditolak;

Mengingat Pasal 56 Ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia


Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

MENGADILI

Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak.

Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Rabu, 11 April 2007, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari ini, Kamis, 12 April 2007 oleh 8 (delapan) Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap Anggota dan H.M. Laica Marzuki, Maruarar Siahaan, Soedarsono, H.A.S. Natabaya, H. Abdul Mukthie Fadjar, H. Harjono, serta I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon dan Kuasa Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau yang mewakili.

K E T U A,

JIMLY ASSHIDDIQIE

ANGGOTA-ANGGOTA,

H. M. LAICA MARZUKI MARUARAR SIAHAAN

SOEDARSONO H.A.S. NATABAYA

H. ABDUL MUKTHIE FADJAR H. HARJONO

I DEWA GEDE PALGUNA

      • *** ***


PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Terhadap putusan Mahkamah yang menolak permohonan para Pemohon tersebut di atas, empat Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan H. Harjono sebagai berikut.

HAKIM KONSTITUSI H.M. LAICA MARZUKI

Para Pemohon dalam perkara ini mempersoalkan persyaratan sekurang- kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun bagi calon TKI yang akan bekerja pada Pengguna perseorangan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 35 huruf a UU PPTKI, yang oleh para Pemohon dipandang bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945;

Pasal 35 huruf a UU PPTKI berbunyi, �Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:

a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun; b. .... c. .... d. ....� Para Pemohon menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya pasal a quo, tatkala mereka selaku calon TKI tidak dapat diberangkatkan ke luar negeri oleh pelaksana penempatan TKI swasta karena mereka belum ternyata berusia 21 tahun, sebagaimana disyaratkan pasal a quo;

Para Pemohon dalam permohonan pengujian mereka terhadap pasal a quo sesungguhnya mempersoalkan hak konstitusional mereka in casu atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, dan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dalam perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sebagaimana dijamin konstitusi, berdasarkan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945;

Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�.


Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, �Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�;

Menurut Ahli Prof. Dr. Aloysius Uwiyono,S.H, M.H. di persidangan, manusia pada dasarnya hidup di dunia harus bekerja. Kalau tidak maka dia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, hak bekerja merupakan hak fundamental, hak dasar bagi setiap manusia. Ahli berpendapat, persyaratan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun bagi calon TKI yang akan bekerja pada Pengguna perseorangan, menurut Pasal 35 huruf a UU PPTKI, bertentangan dengan hak dasar manusia, dan bersifat diskriminatif, karena bertentangan dengan asas equality before the law;

Pertama-tama, perlu kiranya mempertimbangkan alasan pembuat undang- undang (de wetgever) berkenaan dengan persyaratan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan;

Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI berbunyi:

�Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi�.

Apakah pasal a quo mengandung muatan diskriminasi, serta melanggar asas equality before the law?

Konstitusi melarang diskriminasi, serta tidak memperkenankan adanya pelanggaran asas equality before the law. Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, �Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya�;

Dalam pada itu, in casu article 6 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang telah diratifikasi dan disahkan oleh Pemerintah Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 (LN.RI Tahun 2005 Nomor 118 dan TLN.RI Nomor 4557), menegaskan:

1. The States Parties to the present Covenant recognize the right to work, which includes the right of everyone to the opportunity to gain his living by work which


he freely chooses or accepts, and will take appropriate steps to safeguard this right; 2. The steps to be taken by State Party to the present Covenant to achieve the full realization of this right shall include technical and vocational guidance and training programmes, policies and techniques to achieve steady economic, social and cultural development and full and productive employment under conditions safeguarding fundamental political and economic freedoms to the individual; Pasal a quo memuat dua persyaratan usia bagi calon TKI yang akan dipekerjakan di Luar Negeri, yakni :

a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun bagi calon TKI yang akan dipekerjakan di perusahaan atau tempat kerja semacamnya; b. berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan; Sebagaimana dikemukakan pada Penjelasan pasal a quo, persyaratan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan karena Pembuat Undang-Undang (de wetgever) mengkhawatirkan bahwa dalam praktiknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Menurut Pembuat Undang-Undang, pada pekerjaan di tempat Pengguna perseorangan diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi, agar resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi;

Alasan pertimbangan (ratio legis) Pembuat Undang-Undang dimaksud mengandung unreasonable distinction terhadap kedua kelompok calon TKI. Bagaimana menjamin bahwa terhadap TKI wanita yang berusia 21 (dua puluh satu) tahun tidak bakal terjadi kasus pelecehan seksual bagi dirinya di tempat Pengguna perseorangan, dimana TKI wanita bekerja. Kasus sedemikian bahkan dapat terjadi bagi TKI wanita yang telah berusia 33 tahun, yang menurut Penjelasan pasal a quo telah memiliki kematangan kepribadian dan emosi. Sebaliknya, bagaimana menjamin bahwa tidak bakal terjadi kasus-kasus pelecehan seksual bagi TKI-TKI wanita yang bekerja di perusahaan;


Perbedaan perlakuan yang unreasonable terhadap persyaratan usia bagi kedua kelompok calon TKI dimaksud tidak ternyata merupakan upaya perlindungan bagi calon TKI yang akan bekerja di tempat Pengguna perseorangan, tetapi merupakan pembatasan belaka bagi suatu kelompok calon TKI tertentu yang tidak ternyata dapat bekerja di tempat Pengguna perseorangan karena belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, sedangkan kelompok calon TKI lainnya dapat bekerja di perusahaan atau tempat semacamnya, dengan persyaratan sekurang-kurangnya berusia 18 (delapan belas) tahun. Terjadi perlakuan yang unreasonable terhadap dua kelompok TKI berkenaan dengan persyaratan usia yang berbeda, yakni 18 tahun dan 21 tahun;

Discrimination happens when someone is treated worse (less favourable in legal terms) than another person in the some situation (Community Legal Service, London, June 2001). Pengertian anak, menurut Pasal 1 angka 26 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas ) tahun;

Anak, menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, anak-anak di bawah 18 tahun tidak boleh digunakan sebagai pekerja;

Menurut Ahli Prof. Dr. A. Uwiyono, SH, MH, dengan diberlakukannya Konvensi ILO Nomor 138, yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, batasan usia anak untuk bekerja adalah 15 (lima belas) tahun. Ahli Uwiyono memahami bahwa ILO sendiri menyadari, pembatasan usia adalah diskriminasi;

Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon beralasan guna dikabulkan karena bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, yakni memuat pembatasan usia, yang tidak memungkinkan para Pemohon mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, dan hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja secara bebas menurut pilihan, bagi para Pemohon (� on grounds of age discrimination �) .


HAKIM KONSTITUSI H. ABDUL MUKTHIE FADJAR Permohonan para Pemohon mengenai pengujian Pasal 35 huruf a Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (selanjutnya disingkat UU PPTKI) terhadap UUD 1945, sepanjang mengenai frasa �... kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun�, seharusnya dikabulkan, dengan argumentasi sebagai berikut :

1. Penjelasan Pasal 35 huruf a UU PPTKI yang berbunyi �Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul- betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi.� Alasan yang tercantum dalam Penjelasan tersebut dan juga dipakai oleh Pemerintah dalam keterangannya di persidangan menurut pendapat saya tidak mempunyai dasar- dasar konstitusional yang kuat, baik secara filosofis, secara sosiologis, maupun secara yuridis, karena : a. Secara filosofis, tidak cukup alasan untuk membedakan TKI usia 18 tahun dengan TKI usia 21 tahun dari kemungkinan mengalami pelecehan seksual dan dari sudut kematangan emosional. Selain itu, secara filosofis pula, justru pemerintah/negara harus membuka berbagai kemungkinan bagi warga negaranya untuk bekerja, termasuk bekerja di Luar Negeri apabila pekerjaan di dalam negeri sulit diperoleh. Bukankah hak setiap warga negara dan setiap orang untuk bekerja telah dijamin dalam Konstitusi kita, yakni Pasal 27 Ayat (2) �Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�; juga Pasal 28D Ayat (2) �Setiap orang berhak untuk bekerja ...� Bekerja terkait dengan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan (Pasal 28A UUD 1945), sehingga hak untuk bekerja merupakan hak asasi manusia, sebagaimana ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) 1948 �Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta hak dan perlindungan atas pengangguran� (Everyone has the right to work, to free


choice of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment). Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Justru karena hak atas pekerjaan ini termasuk HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, maka Pemerintah/Negara tidak sekedar hanya menghormati (to respect) dan melindungi (to protect), malahan harus memenuhinya (to fulfil); b. Secara sosiologis, realitas menunjukkan bahwa terjadinya pelecehan seksual terhadap TKI di Luar Negeri relatif prosentasenya sangat kecil dan tidak terjadi pada usia 18 tahun, tetapi justru pada usia di atasnya. Realitas juga menunjukkan bahwa negara/pemerintah tidak/belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warga negaranya; c. Secara yuridis, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menentukan hal-hal sebagai berikut: (i) Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi (Pasal 5); (ii) perusahaan dilarang untuk mempekerjakan anak-anak, kecuali kalau mereka sudah berusia 13 sampai 15 tahun (Pasal 68); (iii) Pasal 76 mengatur bahwa perempuan berusia di bawah 18 tahun tidak diijinkan untuk bekerja antara jam 23.00 � 07.00. Kemudian dalam Konvensi ILO 1973 Nomor 138 (Minimum Age Convention) ditentukan bahwa usia minimum untuk bekerja tidak boleh kurang dari usia wajib belajar (schooling), yakni tak boleh kurang dari 15 tahun [Pasal 2 Ayat (3)] dan dalam Pasal 3 Ayat (1) ditentukan bahwa �The minimum age for admission to any type of employment or work which by its nature or the circumstances in which it is carried out is likely jeopardise the health, safety or morals of young persons shall not be less than 18 years.� Selain itu, usia 18 tahun menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak dikategorikan sebagai anak (vide Pasal 1 Angka 1);

2. Meskipun ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang a quo ditujukan kepada kepada pelaksana penempatan calon TKI swasta dengan ancaman pidana apabila dilanggar [Pasal 103 Ayat (1) huruf c], tetapi berimplikasi luas bagi pencari kerja (TKI) yang berusia di bawah 21 tahun, yaitu berupa hambatan bagi mereka untuk bekerja pada Pengguna perseorangan (misal sebagai pembantu rumah tangga atau sopir) di luar negeri. Padahal, kondisi kualitas sumber daya


manusia (SDM) TKI mayoritas memang masih dalam kapasitas sebagai pembantu rumah tangga. Apakah mereka akan dibiarkan sebagai pengangguran di dalam negeri? 3. Ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang PPTKI-LN yang mensyaratkan usia 21 tahun bagi TKI untuk bekerja pada Pengguna perseorangan di luar negeri, telah menciderai hak asasi manusia, yakni hak untuk bekerja dan hak atas perlindungan dari pengangguran, yang berarti telah menciderai Konstitusi. Sehingga sudah sepantasnya apabila ketentuan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

HAKIM KONSTITUSI MARUARAR SIAHAAN Larangan yang terdapat dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, meskipun ditujukan terhadap Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI), yang menyangkut syarat-syarat rekruitmen, khususnya batas usia �...sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun apabila akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan�, memiliki implikasi langsung terhadap para pencari kerja yang belum mencapai usia 21 tahun;

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang merupakan pedoman dalam menyusun kebijakan dan strategi pembangunan Ketenagakerjaan di Indonesia, didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Undang- undang tersebut telah menetapkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi, dan tenaga kerja Indonesia tersebut ditentukan setiap orang yang berusia 18 (delapan belas) tahun. Hal demikian juga bersesuaian dengan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sebagaimana juga diakui oleh Pemerintah dan DPR dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja), pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Bahkan dapat dimaknai sebagai sarana mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa dirinya menjadi lebih berharga bagi dirinya, keluarga maupun lingkungannya. Oleh karena itu hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi. Pengakuan atas hak untuk bekerja sebagai


hak asasi manusia, telah dimuat dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi; �Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�;

Hak setiap orang untuk bekerja merupakan hak asasi yang sangat erat berkaitan atau berhubungan dengan hak untuk hidup, yang diatur dan dilindungi dalam Pasal 28I Ayat 1 UUD 1945, sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa memiliki dukungan untuk menopang kehidupannya, berupa sandang dan pangan yang memadai, yang akan diperoleh melalui upah atau penghasilan dari pekerjaannya. Seseorang akan dirampas hidupnya, jika haknya untuk memperoleh sarana pendukung kehidupannya melalui pekerjaan yang diperolehnya juga dirampas. Oleh karena itu hak atas pekerjaan yang memungkinkan seseorang memperoleh sandang dan pangan untuk menopang hidupnya, sangat berhubungan erat dengan hak untuk hidup. UUD 1945 menetapkan standar yang jauh lebih maju dan tegas, karena dibeberapa Negara lain, right to livelihood yang dipandang merupakan komponen integral dari right to life, diperoleh melalui interpretasi dalam putusan Hakim sebagai evolving new rights dari right to life yang diatur dalam Konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Agung India dalam perkara Olga Tellis v Bombay Municipal Corp, dikatakan antara lain bahwa:

�Hak untuk hidup tidak bisa dibatasi hanya pada keberadaan secara fisik saja, tetapi juga meliputi hak untuk hidup secara bermartabat dengan kebutuhan hidup dasar, dengan mana hak untuk hidup meliputi hak untuk melaksanakan fungsi dan kegiatan yang menghasilkan kebutuhan untuk mengekspresikan diri. Ekspresi hidup bukan hanya eksistensi phisik, melainkan lebih luas lagi mencakup full enjoyment of life, which includes the right of enjoyment of pollution-free water and air. Dalam masyarakat yang beradab, hak untuk hidup harus mencakup tidak hanya kebutuhan dasar sandang dan pangan, tetapi juga hak atas lingkungan hidup yang layak serta akomodasi yang wajar untuk tinggal�. (Prof. M.P. Jain, Indian Constitutional Law, Wadhwa Nagpur, Fifth Edition 2004, hal. 1123)

Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, yang mempersyaratkan rekruitmen tenaga kerja untuk Pengguna perseorangan sekurang- kurangnya 21 tahun, yang merupakan pengecualian atas tenaga kerja pada


umumnya yang dipersyaratkan usia 18 tahun, ditentukan berdasar pemikiran bahwa Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan TKI, yang dapat menyebabkan TKI yang bersangkutan menjadi korban pelecehan seksual. Untuk bidang pekerjaan demikian diperlukan aspek kepribadian dan emosi yang matang, sehingga risiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi. Argumen demikian termuat dalam Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, Keterangan Pemerintah dan DPR maupun keterangan ahli yang diajukan Pemerintah. Sebagai bentuk perlindungan terbaik terhadap TKI harus muncul dari diri TKI sendiri melalui pembatasan utama untuk rekruitmen yaitu syarat keterampilan, pendidikan dan usia minimum untuk bekerja di luar negeri, sehingga dapat dihindarkan keadaan yang dapat merendahkan harkat dan martabat TKI sendiri maupun harkat dan martabat Negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan;

Tidak dapat disangkal bahwa memberikan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, adalah merupakan tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia, yang sekaligus menjadi sumber kewajiban dan wewenang Konstitusional Pemerintah. Karenanya adalah merupakan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan mewujudkan (to respect, to protect, and to fulfil) hak asasi manusia sedemikian rupa, dan dalam kerangka itu pula, karena UUD 1945 tidak memperlakukan Hak Asasi Manusia tersebut sebagai sesuatu yang absolut, negara boleh menentukan pembatasan-pembatasan tertentu dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis, pembatasan mana ditetapkan dalam undang-undang. Dengan kata lain pembatasan yang dilakukan haruslah wajar dan masuk akal (reasonable and rational) sedemikian rupa tanpa menghilangkan kewajiban konstitusionalnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negara;

Akan tetapi perlindungan warga negara untuk menjaga martabatnya sendiri dan martabat negara, seyogyanya dilakukan melalui kebijakan negara, dalam konteks masalah tenaga kerja yang dihadapi dewasa ini dengan menyediakan


informasi bagi negara, dan akses bagi TKI, yang memungkinkan TKI memperoleh perlindungan hukum di negara penyedia pekerjaan. Data yang dikemukakan Pemohon memberi petunjuk bahwa presentase pelecehan seksual tidak signifikan dibandingkan dengan pelanggaran hukum yang dialami TKI, untuk membenarkan pembatasan usia TKI untuk bekerja pada Pengguna perseorangan. Terlebih lagi Pemerintah pun tidak memberi data usia pada umumnya korban pelecehan seksual. Klausul perjanjian kerja yang membuka kemungkinan perlindungan yang intensif, maupun perjanjian antara negara penyedia dengan Pengguna TKI, yang menjamin penegakan hukum bagi TKI, serta upaya-upaya berkelanjutan dari Pemerintah melalui Perwakilan di negara Pengguna, belum ternyata dilakukan secara optimal. Pengabaian (constitutional omission) semacam itu adalah masalah konstitusi yang mendasar, yang menyebabkan pembatasan dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menjadi tidak reasonable and rational, karena pembatasan usia yang dilakukan menyebabkan terjadinya pembedaan perlakuan terhadap TKI yang akan bekerja pada Pengguna perseorangan yang merupakan diskriminasi. Pembatasan demikian merupakan pelanggaran hak untuk bekerja sebagai hak asasi yang menjadi bagian dari hak untuk hidup, sebagai hak yang paling mendasar, yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, yang tidak dapat dikesampingkan tanpa alasan yang konstitusional. Oleh karena itu, seyogyanya Mahkamah mengabulkan permohonan, dan menyatakan Pasal 35 huruf a tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

HAKIM KONSTITUSI H. HARJONO

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:

a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas ) tahun kecuali bagi calon TKI yang dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;

Meskipun ketentuan tersebut ditujukan untuk pelaksana pemempatan TKI swasta, namun akan mempunyai akibat langsung kepada Pemohon sebagai calon TKI, karena Pemohon yang belum berusia 21 tahun akan ditolak oleh pelaksana penempatan TKI apabila Pemohon akan bekerja untuk Pengguna perseorangan di luar negeri dengan dasar belum usia 21 tahun. Seseorang yang telah berumur 18


tahun sebenarnya sudah termasuk dalam pengertian dewasa hal tersebut terbukti bahwa dalam banyak ketentuan undang-undang memberikan pengertian dewasa mereka yang telah berumur lebih dari 17 tahun. Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Batas Minimum Usia Untuk Bekerja telah disahkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. Bahwa dalam Lampiran undang-undang tersebut Pemerintah Indonesia telah membuat pernyataan mengenai Usia Minimum Untuk diperbolehkan bekerja sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 (lima belas) tahun. Bahwa Konvensi menetapkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak kurang dari 18 tahun , kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun. Dengan demikian usia bekerja minimum 18 tahun bagi TKI telah memenuhi ketentuan pernyataan Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, dan batasan yang disarankan oleh Konvensi; Dalam UUD 1945 hak untuk bekerja mempunyai dasar dalam Pasal 28A yaitu hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, hal demikian adalah jelas karena banyak orang yang tidak dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya disebabkan oleh faktor tidak dipenuhi kebutuhan minimum untuk hidup karena yang bersangkutan tidak bekerja sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu secepatnya seseorang dapat bekerja adalah semakin baik, lebih- lebih lagi bagi masyarakat pedesaan atau kelas bawah, kebutuhan demikian dirasakan sangat mendesak tidak saja untuk kebutuhan dirinya sendiri bahkan tidak jarang untuk kebutuhan yang lebih besar yaitu keluarganya; orang tua dan saudara- saudaranya yang masih di bawah umur. Tiadanya lowongan kerja menjadikan semakin tidak adanya kepastian bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa �Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�. Adanya kekhawatiran akan dilanggarnya ketentuan ini tidaklah kemudian dengan serta merta lalu dibuat peraturan yang kemudian justru membuat orang kemudian sulit atau terhalangi untuk bekerja dengan demikian akan menjadikan posisinya semakin sulit;

Dalam kaitannya dengan TKI, yang artinya seseorang harus meninggalkan wilayah Indonesia untuk bekerja, adanya larangan yang ternyata kemudian dapat membatasi kebebasan seseorang untuk pergi ke luar negeri haruslah juga


dipertimbangkan, hal demikian berkait dengan adanya hak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945 yang antara lain berbunyi ; � �Setiap orang bebas � memilih pekerjaan, ... , memilih tempat tinggal di wilayah negara Indonesia dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali�. Dengan ketentuan ini pada asasnya seseorang bebas untuk meninggalkan wilayah Indonesia untuk keperluan apa pun dengan motif apapun. Tentu hal yang demikian dapat dibatasi hanya apabila kepergiannya untuk menghindari pelaksanaan atau kewajiban hukum yang dikenakan kepadanya dan larangan demikian harus dilakukan dengan melalui prosedur hukum dan alasan yang jelas. Seorang TKI yang akan pergi keluar negeri mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain untuk pergi ke luar negeri, hal demikian dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945. Dengan demikian persyaratan usia yang dicantumkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 disamping dapat merugikan hak konstitusional seseorang untuk bekerja, juga secara tidak langsung dapat merugikan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945 apabila diduga bahwa seseorang yang akan meninggalkan wilayah negara tersebut dimaksudkan untuk bekerja di luar negeri.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut di atas maka seharusnya permohonan para Pemohon dikabulkan.

PANITERA PENGGANTI,

SUNARDI