Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 006/PUU-IV/2006

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 006/PUU-IV/2006  (2006) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








PUTUSAN

Nomor 006/PUU-IV/2006

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan Putusan dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh :

1. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) beralamat di Jalan. Siaga II Nomor 31, Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Telp (021) 7972662, 398 99777 dalam hal ini diwakili oleh Asmara Nababan, S.H., lahir di Siborong- borong, 2 September 1946, Kristen, WNI, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------ PEMOHON I;

2. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) beralamat di Jalan. Borobudur Nomor 14, Jakarta Pusat dalam hal ini diwakili oleh Ibrahim Zakir, lahir di Jakarta, 31 Mei 1951, Islam, WNI, Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras);

Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------- PEMOHON II;

3. Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), beralamat di Perumahan Depok Mulya III Blok AF 3 Tanah Baru, Depok, Jawa Barat, Telp (021) 775 0677 dalam hal ini diwakili oleh Ester Indahyani Yusuf, S.H., lahir di Malang, 16 Januari 1971, Kristen, WNI, Ketua Dewan Pekerja Solidaritas Nusa Bangsa (SNB);

Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------- PEMOHON III;

4. Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), beralamat di Jalan. Diponegoro Nomor 9, Jakarta Pusat, Telp (021) 319 00627 dalam hal ini diwakili oleh Rachland Nashidik, lahir di Tasikmalaya, 27 Februari 1966, Islam, WNI, Direktur Eksekutif; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------- PEMOHON IV;

� 5. Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), beralamat di Jalan. Kramat V No. I C, Jakarta Pusat dalam hal ini diwakili oleh Soenarno Tomo Hardjono, lahir di Solo, 24 Nopember 1934, Islam, WNI, Ketua Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65)

Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------- PEMOHON V;

6. Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB) beralamat di Jalan. Taman Singotoro Nomor 13, Candi Baru, Semarang, Jawa Tengah dalam hal ini diwakili oleh Sumaun Utomo, lahir di Surabaya, 18 Agustus 1923, Kristen, WNI, Ketua Umum Lembaga; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------- PEMOHON VI;

7. Raharja Waluya Jati, lahir di Jepara, 24 Desember 1969, Islam, WNI, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jalan. Mede II No. 11 Utan Kayu Utara Matraman, Jakarta Timur, Telp (021) 813 8274;

Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------- PEMOHON VII;

8. H. Tjasman Setyo Prawiro, lahir di Semarang, 3 Maret 1924, Islam, WNI, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jalan. Raya Pondok Gede No 19, Rt. 015/Rw. 011, Kelurahan Kramat Jati, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, Telp (021) 9147026;

Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------- PEMOHON VIII;

• Pemohon Nomor I sampai dengan VI adalah Pemohon yang merupakan Badan Hukum Privat; • Permohon Nomor VII sampai dengan VIII merupakan Pemohon Individual (perorangan);

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 29 Agustus 2005 memberikan kuasa kepada :

1. A.H. Semendawai, S.H., LL.M; 2. Asfinawati, S.H; 3. Betty Yolanda, S.H; 4. Chrisbiantoro, S.H; 5. Edwin Partogi, S.H; 6. Erna Ratnaningsih, S.H; 7. Fajrimei. A. Gofar, S.H; 8. Gatot, S.H;

� 9. Haris Azhar, S.H; 10. Hermawanto, S.H; 11. Ignatius Heri Hendro Harjuno, S.H; 12. Indria Fernida, S.H; 13. Indriaswati D. Saptaningrum, S.H., LL.M; 14. Ines Thioren Situmorang, S.H; 15. Poengki Indarti, S.H., LL.M; 16. Sondang Simanjuntak, S.H., LL.M; 17. Sri Suparyati, S.H; 18. Supriyadi Widodo Eddyono, S.H; 19. Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M; 20. Uli Parulian Sihombing, S.H; 21. Wahyu Wagiman, S.H; 22. Yusuf Suramto, S.H; 23. Zainal Abidin, S.H;

Kesemuanya adalah Advokat dan Pembela Umum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), dan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia (YAPHI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran memilih domisili hukum di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan. Diponegoro No. 74, Jakarta Pusat, yang bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------ Para Pemohon;

Telah membaca surat permohonan Pemohon;

Telah mendengar keterangan Pemohon;

Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;

Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis ahli dalam negeri dan ahli dari luar negeri serta saksi-saksi yang diajukan oleh pihak Pemohon;

Telah mendengar keterangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.;

� Telah mendengar dan membaca keterangan mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang KKR;

Telah membaca kesimpulan Pemohon.

Telah membaca kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;

Telah memeriksa bukti-bukti;

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan Pengujian 

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU KKR) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Selasa tanggal 28 Maret 2006 dan telah diregistrasi pada hari Rabu tanggal 29 Maret 2006 dengan Nomor 006/PUU-IV/2006, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada pada hari Selasa tanggal 25 April 2006, yang menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan jaminan kepada 

warga negara Indonesia atas penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) terbukti dengan dicantumkannya aturan-aturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam amandemen UUD Kedua 1945. Dengan demikian, seluruh rakyat Indonesia terutama korban dari pelanggaran hak asasi manusia berhak atas implementasi dari jaminan tersebut secara adil dan tanpa diskriminasi;

Bahwa salah satu langkah yang digariskan dalam rangka melaksanakan 

UUD 1945 tersebut adalah dengan ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai apa yang harus dilakukan dengan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, dimana salah satunya adalah perlunya dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggotanya dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang;

� Bahwa sebagai upaya untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu dibentuklah aturan perundang-undangan mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) melalui Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2004 selain daripada undang-undang yang dibuat sebelumnya, yakni UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, ternyata UU KKR memiliki suatu kelemahan prinsipil mengenai proses pencarian kebenaran dan pencapaian rekonsiliasi, yang pada akhirnya akan sangat berbahaya bagi sejarah bangsa Indonesia;

Suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mensyaratkan adanya suatu 

proses pencarian kebenaran yang dilandasi atas fakta-fakta yang terungkap yang kemudian dijadikan “official history” suatu bangsa. Untuk itu, segala pengakuan melalui komisi ini harus diberikan secara penuh atau “full truth” dan harus ada kesempatan untuk memverifikasi dan melakukan investigasi yang memadai untuk memperoleh kebenaran yang nyata. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga mensyaratkan jaminan terpenuhinya hak-hak korban secara adil dan tanpa diskriminasi, dan tidak boleh menempatkan korban dalam posisi yang tidak seimbang dan tertekan. Suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga mensyaratkan terpenuhinya prinsip-prinsip hak asasi manusia, sehingga maksud dan tujuan komisi tersebut, yakni menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tetap dalam kerangka prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal;

Namun ternyata UU KKR tidak memberikan jaminan-jaminan tersebut, 

malah sebaliknya menegasikan prinsip-prinsip yang seharusnya dimiliki oleh suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Bahwa ternyata pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Komisi Kebenaran itu juga telah melanggar UUD 1945 yang telah memberikan jaminan atas penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia;

Sementara itu, pasal-pasal dalam UUD 1945 memberikan jaminan atas 

persamaan di depan hukum [Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1)], jaminan tidak diperlakukan diskriminatif [Pasal 28I Ayat (2)], pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil [Pasal 28D Ayat (1)], penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis [Pasal 28I Ayat (5)], serta perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai tanggung jawab negara. Konsekuensinya,

� undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia harus menjamin (1) jaminan bagi para korban untuk tidak mengalami diskriminasi, (2) jaminan bagi para korban untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya, (3) jaminan bagi para korban untuk mendapatkan perlindungan dari undang-undang yang dibuat dan bukan sebaliknya justru tidak melindungi korban, (4) jaminan bahwa undang- undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia tersebut memenuhi prinsip- prinsip hukum yang berlaku secara universal dan diakui oleh negara-negara yang beradab;

Ketika undang-undang yang mengatur tentang Komisi Kebenaran dan 

Rekonsiliasi, yakni UU KKR tidak memenuhi jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945, maka sudah selayaknya UU ini diuji oleh Mahkamah Konstitusi agar hak-hak dari korban tetap terpenuhi. Sungguh berbahaya apabila sebuah komisi yang idealnya mengupayakan keadilan distributif justru malah memberikan ketidakadilan;

Manakala hak yang melekat pada korban, yakni hak atas pemulihan 

digantungkan dengan keadaan lain, yakni amnesti maka jelaslah hal ini bertentangan dengan jaminan yang diberikan oleh UUD 1945. Selanjutnya, ketika hak korban untuk menempuh upaya hukum ditutup oleh undang-undang maka kembali jaminan keadilan yang diberikan oleh UUD 1945 terlanggar. Lebih jauh lagi, ketika prinsip hukum yang berlaku secara universal melarang amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat, namun justru undang-undang ini menjelaskan sebaliknya, maka negara Indonesia tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan prinsip hukum tersebut. Indonesia adalah negara hukum yang demokratis yang menjamin pelaksanaan hak asasi manusia seperti dimaksud UUD 1945, oleh karenanya aturan yang bertentangan dengan prinsip hukum yang diakui negara beradab ini, akan pula bertentangan dengan UUD 1945

Patut dicatat bahwa yang menjadi objek dari undang-undang tentang 

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang terdiri dari Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Kejahatan serius tersebut merupakan kejahatan internasional dimana pelakunya merupakan musuh seluruh umat manusia (hostis humanis generis) dan penuntutan terhadap pelakunya merupakan kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes). Oleh karena itu, penggunaan prinsip-prinsip yang diakui secara internasional harus tercakup di dalam UU KKR,

� seperti prinsip-prinsip yang terdapat dalam “Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity” (E/CN.4/2005/102/Add.1 08 Februari 2005), karena UUD 1945-pun mengakui prinsip-prinsip yang diakui bangsa-bangsa beradab ini. Sebaliknya, ketika UUD 1945 dinyatakan tidak mengakui prinsip-prinsip ini, maka hal itu sama saja menyatakan bahwa Indonesia bukanlah bagian dari bangsa-bangsa yang beradab;

Oleh karena itu, untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia 

sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka segala bentuk ketidak-adilan dalam UU KKR dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. UUD 1945 sebagai konstitusi yang menjamin perlindungan bagi seluruh Warga Negara Indonesia harus dapat menjamin agar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk berdasarkan UU KKR menjadi komisi yang sesuai dengan mandatnya, yakni mengungkapkan kebenaran yang nyata agar dapat mendorong proses rekonsiliasi demi masa depan bangsa ini;

II. DASAR HUKUM DIAJUKANNYA PERMOHONAN :

1. Bahwa Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu”. 3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangannya untuk melakukan pengujian undang- undang (UU) terhadap UUD yang juga didasarkan pada Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI Tahun 1945”.

� 4. Bahwa oleh karena objek permohonan Hak Uji ini adalah UU KKR, maka berdasarkan peraturan tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan ini.

III. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN KONSTITUSIONAL PEMOHON.

5. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum; 6. Melihat pernyataan tersebut maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap Warga Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga Negara. Dengan kesadaran inilah para Pemohon kemudian, memutuskan untuk mengajukan permohonan pengujian UU KKR yang bertentangan dengan semangat dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat dalam UUUD 1945; 7. Bahwa Pasal 51 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu : (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang- undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara.”

PEMOHON BADAN HUKUM PRIVAT:

8. Bahwa para Pemohon dari Pemohon Nomor I s.d VI adalah Pemohon yang merupakan Badan Hukum Privat yang memiliki legal standing dan menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan ini dengan menggunakan prosedur organization standing (legal standing); 9. Bahwa para Pemohon dari Nomor I s.d IV memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang karena terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) disahkannya UU KKR sehingga menyebabkan hak konstitusional para Pemohon dirugikan;

� 10. Bahwa doktrin organization standing atau legal standing merupakan sebuah prosedur beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah dianut dalam berbagai peraturan perundangan di Indonesia seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 11. Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, legal standing telah diterima dan diakui menjadi mekanisme dalam upaya pencarian keadilan, yang mana dapat dibuktikan antara lain: a. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 060/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD 1945; b. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 003/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945; c. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap UUD 1945; d. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 820/PDT.G/1988/PN.JKT.PST (kasus WALHI melawan Indorayon) antara Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) melawan Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat (BKPM Pusat), Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Kependudukan dan Pengadilan Nomor 154/PDT.G/2001/PN.JKT.PST (kasus gugatan APBD Jakarta) antara Koalisi Ornop untuk Transparansi Anggaran yang terdiri dari INFID, UPC, YLKI, FITRA, JARI, ICW, KPI, YAPPIKA melawan DPRD DKI Jakarta dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Daerah Khusus Ibukota Jakarta; e. Putusan Pengadilan Nomor 213/PDT.G/2001/PN.JKT.PST (Kasus Sampit) antara KONTRAS, YLBHI, PBHI, ELSAM, APHI melawan Presiden Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia,

� Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, Kepala Kepolisan Resort Kotawaringin Timur, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah; f. Dalam kasus penghentian penyidikan dalam perkara dugaan korupsi di Pusat Listrik Tenaga Uap Paiton, Majelis Hakim mengakui hak Organisasi Non-Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mengajukan gugatan mewakili kepentingan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; g. Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 154/Pdt/G/2004/PN.Bdg tanggal 27 Agustus 2004 antara Lembaga Advokasi Satwa (LASA) melawan Markas Kepolisian Daerah Jawa Barat;

12. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik/umum adalah organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu: a. Berbentuk badan hukum atau yayasan; b. Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut; c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

13. Bahwa Pemohon I s.d VI adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia; 14. Bahwa tugas dan peranan para Pemohon I s.d VI dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia telah secara terus-menerus mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia; 15. Bahwa tugas dan peranan Pemohon I s.d VI dalam melaksanakan kegiatan- kegiatan penegakan, perlindungan dan pembelaan hak-hak asasi manusia, dalam hal ini mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam memperjuangkan penghargaan dan penghormatan nilai-nilai hak asasi

� manusia terhadap siapapun juga tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, dll. Hal ini tercermin di dalam Anggaran Dasar dan/atau akta pendirian para Pemohon (Bukti P-2a, P-2b, P-2c, P-2d); 16. Bahwa dasar dan kepentingan hukum para Pemohon Nomor I s.d VI dalam mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 dapat dibuktikan dengan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga lembaga dimana para Pemohon bekerja. Lembaga Pemohon I s/d VI berbentuk badan hukum atau yayasan; dalam Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi, serta telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasar-nya; a. Dalam Pasal 5 Anggaran Dasar dari Pemohon I, Perkumpulan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), disebutkan ELSAM berdasarkan atas Pembukaan UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kemudian dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa ELSAM bertujuan mewujudkan tatanan masyarakat yang berpegang teguh pada nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi, baik dalam rumusan hukum maupun pelaksanaannya; b. Dalam Pasal 6 dari AD/ART Pemohon II, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), disebutkan bahwa Kontras bertujuan (1) menumbuhkan demokrasi dan keadilan yang berbasis pada keutuhan kedaulatan rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi termasuk yang berbasis gender. (2) Menciptakan demokrasi dan keadilan dengan menghormati dan mendasarkan pada kebutuhan dan kehendak rakyat sebagai subjek dari demokrasi. (3) Menumbuhkan, mengembangkan dan memajukan pengertian dan penghormatan akan nilai-nilai hak asasi manusia pada umumnya dan khususnya meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat, baik kepada pejabat maupun warga negara biasa agar sadar akan hak dan kewajibannya sebagai subjek hukum; c. Dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Pemohon III, Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), disebutkan bahwa yayasan ini berasaskan Pancasila dan UUD 1945 dan prinsip-prinsip normatif hak asasi manusia khususnya

� konvensi PBB mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi ras serta nilai-nilai kemanusiaan yang universal; d. Dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Pemohon IV, Perkumpulan IMPARSIAL, menyatakan bahwa IMPARSIAL berasaskan pada prinsip-prinsip Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia Semesta, Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Di dalam Pasal 4 AD/ART lembaga ini dinyatakan bahwa maksud dan tujuan perkumpulan IMPARSIAL ini adalah untuk : (1) mendorong tumbuhnya inisiatif masyarakat sipil untuk menjadi tulang punggung yang lebih luas dalam atmosfir transisi yang demokratis dan berkeadilan; (2) memajukan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya kontrol atas perilaku serta pertanggungjawabannya terhadap pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia; (3) membangun dasar-dasar jawaban atas problem keadilan di Indonesia yang berbasis pada realitas ekonomi, sosial dan politik melalui studi empiris; (4) mendorong lahirnya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Keadilan serta terbentuknya pengadilan bagi pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan menyiapkan turunan undang-undang, antara lain Undang-Undang Perlindungan Saksi; e. Dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Pemohon V, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), dinyatakan bahwa lembaga ini berasaskan keadilan, persamaan dan kemanusiaan sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila yang demokrasi. Dalam Pasal 5 Ayat (1) dan (3) dinyatakan bahwa lembaga dibentuk dengan maksud untuk mengungkap fakta-fakta kebenaran sejarah peristiwa pasca 65 yang hasilnya akan diberikan kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti dan membantu keluarga korban pasca peristiwa 65 yang terlantar sesuai dengan kemampuan lembaga; f. Dalam Pasal 4 perubahan anggaran dasar Pemohon VI, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Pegawai Negeri Korban Rezim ORBA (LPR KROB) dinyatakan LPRKROB ini berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 4 dinyatakan maksud dan tujuan lembaga ini adalah (1) menghimpun semua korban Tragedi September 1965 dari rezim otoriter Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto; (2) memperjuangkan rehabilitasi sepenuhnya atas status dan hak-hak politik dan sosial ekonomi korban

� rezim Orde Baru dan mengembalikan hak-haknya sebagai Warga Negara Republik Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia;

17. Bahwa para Pemohon Nomor I s.d VI dalam mencapai maksud dan tujuannya telah melakukan berbagai macam usaha/kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya tersebut. Hal mana yang telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten) : a. Bahwa dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang berpegang kepada nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, dan demokrasi, baik dalam rumusan hukum maupun dalam pelaksanaannya, Pemohon I (ELSAM) telah (i) melakukan pengkajian terhadap kebijakan-kebijakan (policies) dan atau hukum (laws and regulations), penerapannya, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, masyarakat; (ii) mengembangkan gagasan dan konsepsi atau alternatif kebijakan atas hukum yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan melindungi hak asasi manusia; (iii) melakukan advokasi dalam berbagai bentuk bagi pemenuhan hak-hak, kebebasan, dan kebutuhan masyarakat yang berkeadilan; (iv) menyebarluaskan informasi berkenaan dengan gagasan, konsep, dan kebijakan atau hukum yang berwawasan hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan di tengah masyarakat luas, dimana kegiatan tersebut dilaksanakan dalam bentuk: 1. Studi kebijakan dan/atau hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia; 5. Penerbitan.

b.1. Bahwa dalam menumbuhkan demokrasi dan keadilan yang berbasis pada keutuhan kedaulatan rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi termasuk yang berbasis gender, Pemohon II (Kontras) telah mengadvokasi kasus– kasus pelanggaran hak asasi manusia berat baik yang terjadi sebelum

� disahkannya Undang–Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia maupun setelah disahkannya Undang–Undang tersebut. Kasus pelanggaran hak asasi manusia berat sebelum disahkannya Undang–Undang No. 26 Tahun 2000, di antaranya Kasus Penculikan aktivis 1998, kasus Kerusuhan Mei 1998, kasus Tanjung Priok, kasus Talangsari Lampung dan penembakan Mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II serta kasus–kasus lainnya. Termasuk juga pertemuan rutin di tingkat komunitas korban dan mahasiswa dengan memberikan penyuluhan hukum, diskusi serta pemutaran film; b.2. Bahwa dalam menciptakan demokrasi dan keadilan dengan menghormati dan mendasarkan pada kebutuhan dan kehendak rakyat sebagai subjek dari demokrasi, Pemohon II telah melakukan workshop- workshop bersama korban untuk merumuskan bersama aktivitas- aktivitas advokasi yang strategis sebagai upaya perubahan kebijakan yang tidak berkeadilan kepada korban/rakyat;

b.3. Bahwa dalam menumbuhkan, mengembangkan dan memajukan pengertian dan penghormatan akan nilai-nilai hak asasi manusia pada umumnya dan khususnya meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat, baik kepada pejabat maupun warga negara biasa agar sadar akan hak dan kewajibannya sebagai subjek hukum, Pemohon II intens melakukan kampanye hak asasi manusia-nya lewat seminar, diskusi publik serta beberapa publikasi lainnya seperti poster, stiker, buku-buku, di tingkatan nasional maupun jaringan lokal beserta basis- basisnya. Selain itu Pemohon II juga terlibat dalam berbagai upaya perubahan kebijakan berupa perumusan materi-materi legislasi serta lobby-lobby strategis kepada aparatur negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif);

c. Bahwa Pemohon III (SNB) yang didirikan sebagai respon atas kejadian kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang telah menimbulkan jatuhnya ribuan korban tindakan kekerasan. PEMOHON III memberikan pendampingan bagi para korban baik berupa bantuan psikologis, tempat tinggal sementara dan kemudian bantuan advokasi. Berpijak dari kasus Mei tersebut, Pemohon III melihat bahwa kejadian itu hanyalah merupakan letupan dari politik segregasi dan rasial yang diterapkan oleh Negara

� untuk menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Indonesia. Politik segregatif tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk kebijakan rasis baik tidak tertulis maupun tertulis dalam bentuk perundang-undangan. Fokus kerja Pemohon III sejak itu adalah untuk melakukan advokasi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial yang jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai universal dan UUD 1945. Advokasi tersebut dilakukan antara lain dalam bentuk: 1. Memberikan bantuan hukum terhadap berbagai korban yang mengalami berbagai tindakan diskriminatif baik berdasarkan ras, etnis, agama dan keyakinan politik; 2. Melakukan kajian terhadap segala bentuk peraturan yang diskriminatif berdasarkan ras, etnis, agama dan keyakinan politik; 3. Mengajukan Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis kepada pemerintah dan DPR; 4. Melakukan kampanye penghapusan segala bentuk diskriminasi di tingkat nasional maupun internasional baik melalui forum seminar, penerbitan buku, dll.

d. Bahwa dalam upaya perlindungan, pemajuan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, Pemohon IV (IMPARSIAL) telah melakukan upaya- upaya, antara lain sebagai berikut: 1. Melakukan pendataan pelanggaran hak asasi manusia; 2. Melakukan penerbitan riset dan laporan yang berkaitan dengan Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan; 3. Melakukan pengkajian terhadap Rancangan UU, UU dan aturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia; 4. Melakukan advokasi dan kampanye berkaitan dengan isu Teroris, Kebebasan Sipil, Pertahanan dan Keamanan, Perlindungan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, Hukuman Mati, pelanggaran hak asasi manusia khususnya di Aceh dan Papua;

� 5. Melakukan studi dan kajian terhadap peraturan-peraturan yang bertentangan dengan aturan Hak Asasi Manusia Universal dan UUD 1945, dan mengajukan alternatif kebijakan kepada Pemerintah dan DPR, misalnya terhadap UU Teroris, UU TNI dan RUU Rahasia Negara; 6. Melakukan pendidikan Hak Asasi Manusia dan kerjasama jaringan kepada para Pembela Hak Asasi Manusia di Aceh dan Papua; 7. Melakukan lobby dan kerjasama internasional untuk meningkatkan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya terhadap para Pembela Hak Asasi Manusia; 8. Membentuk dan mengembangkan organisasi dan jaringan hak asasi manusia nasional dan internasional, antara lain Koalisi untuk Kebebasan Masyarakat Sipil dan Solidaritas Pembela Hak Asasi Manusia.

e. Bahwa dalam upaya perlindungan, pemajuan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, Pemohon V, LPKP 65, telah melakukan pengungkapan fakta-fakta kebenaran sejarah peristiwa pasca 65 yang hasilnya diberikan kepada pemerintah. LPKP 65 juga turut membantu keluarga korban pasca peristwa 65 yang terlantar. Disamping itu, LPKP 65 juga telah berperan serta membantu pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan maksud dan tujuan Pembukaan UUD 1945. f. Pemohon VI (LPR KROB) yang didirikan pada tanggal 16 Januari 2000 adalah suatu organisasi massa Non Pemerintah yang bertujuan untuk rehabilitasi korban G 30 S 1965, yang terdiri dari semua lapisan masyarakat, dari pegawai pemerintah berpangkat tinggi sampai rakyat biasa yang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses peradilan oleh rezim fasis Soeharto. Bahwa dalam upaya perlindungan, pemajuan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, LPR KROB telah melakukan upaya- upaya, antara lain sebagai berikut: 1. Menghimpun para korban G 30 S 1965 dan membantu mengentaskan kedukaan yang mereka alami; 2. Membela dan melindungi para korban;

� 3. Mendesak Pemerintah untuk mencabut peraturan yang represif yang masih berlaku sampai sekarang, seperti Keppres Nomor 28 Tahun 1975, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 1981, dll; 4. Mengorganisir gerakan-gerakan massa mendesak kepada pemerintah untuk mencabut peraturan-peraturan represif yang disponsori oleh rezim Soeharto; 5. Membentuk dan mengembangkan jaringan organisasi Non Pemerintah yang progresif dalam rangka mengalahkan sisa-sisa pemerintah ORBA yang masih dominan di semua tingkatan birokrasi.

18. Bahwa usaha-usaha perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pemohon I s/d VI telah dicantumkan di dalam UUD 1945, yang dalam permohonan ini terutama Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4) dan Pasal 28I Ayat (5); 19. Bahwa usaha-usaha perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pemohon I s.d VI telah dicantumkan di dalam undang-undang nasional, yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 20. Bahwa usaha-usaha perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pemohon I s.d VI telah dicantumkan pula di dalam berbagai prinsip-prinsip hukum Internasional tentang Hak Asasi Manusia; 21. Bahwa selain itu Pemohon I s.d VI memiliki hak konstitusional untuk memperjuangkan haknya secara bersama untuk kepentingan bangsa dan negara ini. Menurut Pasal 28C Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”. 22. Sementara itu, persoalan Hak Asasi Manusia yang menjadi objek UU KKR yang diujikan merupakan persoalan setiap umat manusia karena sifat universalnya sehingga bahkan persoalan HAM tidak hanya menjadi urusan para Pemohon yang nota bene langsung bersentuhan dengan persoalan HAM, namun juga menjadi persoalan setiap manusia di dunia ini.

� 23. Lebih jauh, pengajuan permohonan pengujian UU KKR merupakan wujud dari kepedulian dan upaya para pemohon untuk perlindungan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. 24. Bahwa dengan demikian, adanya Pasal 1Aayat (9) , Pasal 27, Pasal 44 dari UU KKR berpotensi melanggar hak konstitusi dari Pemohon I s.d VI, dengan cara langsung maupun tidak langsung, merugikan berbagai macam usaha- usaha yang telah dilakukan secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan untuk perlindungan pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia termasuk mendampingi dan memperjuangkan hak-hak korban hak asasi manusia yang selama ini telah dilakukan oleh Pemohon I s.d VI.

PEMOHON PERORANGAN

25. Bahwa para Pemohon dari Nomor VII s/d VIII merupakan Pemohon-Pemohon individu Warga Negara Republik Indonesia yang merupakan korban dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang akan menjadi subjek dari UU No. 27 Tahun 2004 dan berpotensi dirugikan hak-hak konstitusinya atau terkena dampak atau dirugikan keberadaannya secara langsung akibat adanya pasal-pasal dalam UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; 26. Bahwa Pemohon VII adalah korban dalam kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998. (Bukti P- 4a dan P-4b.1, P-4b.2); 27. Bahwa Pemohon VII telah diculik secara paksa oleh Tim yang terdiri dari sebelas orang yang dinamai Tim Mawar. Korban ditangkap di RSCM lalu dimasukkan ke dalam jeep merah dengan mata ditutup kain hitam dengan tangan terborgol ke belakang. Selama dalam perjalanan, korban dibawa berputar-putar hingga berhenti disuatu tempat yang kemudian diketahui sebagai Posko Cijantung, yang diketahui kemudian sebagai markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Selama dalam penyekapan, korban diinterogasi dan mengalami penyiksaan seperti dipukul, didudukkan di bawah sebuah kursi lipat, ditodong dengan sepucuk pistol, dipaksa tidur tengkurap dibalok es dengan pakaian lepas. Kemudian Pemohon VII pada tanggal 25 April 1998 dilepas oleh para penculiknya dengan ancaman kalau ia kembali melakukan

� aktivitas politik maka keluarganya akan mengalami resiko terburuk. Setelah diancam, Pemohon diberi tiket kereta api menuju tempat keluarganya di Jepara. Hingga saat ini masih terdapat empat belas orang yang belum kembali berkaitan dengan kasus penghilangan paksa 1997-1998; 28. Bahwa Pemohon VIII adalah korban yang merupakan bekas tahanan politik dan telah ditahan tanpa melalui proses persidangan karena dituduh (stigmatisasi) terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa G-30/S. (Bukti P-5); 29. Bahwa PEMOHON VIII mengalami proses penangkapan secara sewenang- wenang kemudian ditahan selama 14 tahun tanpa ada proses peradilan apapun. PEMOHON VIII juga mengalami tindak penyiksaan selama di tahanan dan terus mengalami diskriminasi perdata dan politik yang dilakukan oleh negara setelah ia lepas dari tahanan hingga kini. Hak-hak kepemilikan dan hak-hak perburuhan yang ia miliki juga dirampas oleh negara; 30. Bahwa dengan demikian Pemohon VII dan VIII merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia, sehingga selayaknya mendapatkan hak-haknya yang secara otomatis melekat pada dirinya seperti hak atas restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dan prinsip hukum hak asasi manusia internasional yang secara prinsip dan praktik diakui pula oleh Indonesia, seperti Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Basic Principles and Guidelines on The Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res. 2005/35, U.N. Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.11, The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, U.N. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1, serta konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia; 31. Bahwa berkaitan dengan hal-hal dilanggarnya jaminan bagi hak-hak korban tersebut maka hak dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon telah dirugikan;

Para Pemohon Memiliki Kapasitas Sebagai Pemohon Uji Materiil.

32. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas para Pemohon sudah memenuhi kualitas maupun kapasitas baik sebagai Pemohon “Perorangan Warga

� Negara Indonesia” maupun Pemohon “Badan Hukum Privat” dalam rangka pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Karenanya, jelas pula para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan menguji UU KKR terhadap UUD 1945; 33. Bahwa pasal-pasal dalam UU KKR melanggar jaminan bagi para korban untuk tidak mengalami diskriminasi, jaminan bagi para korban untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya, jaminan bagi para korban untuk mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang, jaminan bahwa Undang- Undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia tersebut memenuhi prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal dan diakui oleh negara- negara yang beradab. Oleh karena itu, kepentingan-kepentingan korban pelanggaran HAM yang dirugikan dalam pasal-pasal UU KKR, sebagaimana disebutkan dan diuraikan selanjutnya dalam alasan-alasan permohonan, merupakan kerugian para Pemohon baik sebagai lembaga yang mewakili kepentingan hukum korban, maupun sebagai individu korban yang akan menjadi subjek undang-undang tersebut;

IV. Alasan-Alasan Permohonan Mengajukan Hak Uji Materiil.

- Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 27 Ayat (1), 28D Ayat (1), 28I Ayat (2) UUD 1945;

1. UUD 1945 Melarang Diskriminasi, Menjamin Persamaan di Depan Hukum

dan Menghormati Martabat Manusia;

34. Bahwa UUD 1945 memberikan jaminan-jaminan kepada Warga Negara Indonesia yang meliputi hal-hal sebagai berikut: Pasal 27 Ayat (1):

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;

Pasal 28D Ayat (1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;

� Pasal 28I Ayat (2):

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;

2. Pasal 27 UU KKR Telah Menegasikan Jaminan atas Anti Diskriminasi, 

Persamaan di Depan Hukum dan Penghormatan Martabat Manusia yang di Jamin oleh UUD 1945;

35. Berkaitan dengan jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945, maka ketentuan Pasal 27 UU KKR telah menegasikan jaminan-jaminan tersebut, dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut: Pasal 27 UUKKR menyatakan bahwa :

“Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.”

Lebih jauh, pada Bagian Umum dari Penjelasan UU KKR tersebut menyata kan:

“Apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan amnesti tersebut beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban harus diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak, maka kompensasi dan/atau rehabilitasi tidak diberikan oleh negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.”

a. Ketentuan Pasal 27 UU KKR yang membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi bergantung pada pemberian maaf dan bukan pada substansi perkara, telah mendiskriminasi korban dan melanggar jaminan atas perlindungan dan persamaan di depan hukum dan penghormatan terhadap martabat manusia; b. Bahwa berdasarkan Pasal 27 UU KKR dan Penjelasannya, pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) hanya dapat diberikan apabila permohonan

� amnesti dikabulkan. Hal ini telah menegasikan hak korban terhadap pemulihan karena pemulihan korban sama sekali tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya amnesti; c. Bahwa lebih jauh, konsep Amnesti dalam Pasal 27 UU KKR mensyaratkan adanya pelaku. Konsekuensinya, tanpa adanya pelaku yang ditemukan, maka amnesti tidak akan mungkin diberikan. Akibat berikutnya, korban pun tidak mendapat jaminan atas pemulihan; d. Ketentuan ini pun telah mendudukkan korban pelanggaran HAM dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan, sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung kepada pemberian amnesti; e. Implikasi dari perumusan Pasal 27 UU KKR ini akan memberikan ketidakadilan kepada korban pelanggaran HAM. Sebab korban harus berharap agar pelaku yang selama ini telah membuat korban menderita bisa mendapatkan amnesti Sebab, apabila pelaku tidak mendapatkan amnesti, maka hak korban atas pemulihan yakni kompensasi dan rehabilitasi tidak bisa korban dapatkan dan korban harus menempuh upaya lain yang tidak pasti;

36. Dengan demikian, ketentuan Pasal 27 UU KKR telah membuat kedudukan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku dan telah mendiskriminasi hak atas pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) yang melekat pada korban dan tidak bergantung pada pelaku. Pasal-pasal tersebut juga tidak menghargai korban yang telah menderita akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dialaminya;

3. UUD 1945 Mengakui Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hak Asasi Manusia;

37. Bahwa sebagai Konstitusi Negara yang beradab, UUD 1945 sejalan dan konsekuen dengan prinsip-prinsip yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab di seluruh dunia sebagaimana dinyatakan Pasal 55 dan 56 UN Charter; Article 55

With a view to the creation of conditions of stability and well-being which are necessary for peaceful and friendly relations among nations based on respect

� for the principle of equal rights and self-determination of peoples, the United Nations shall promote :

higher standards of living, full employment, and conditions of economic and social progress and development;

solutions of international economic, social, health, and related problems; and international cultural and educational co-operation; and

universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.

Article 56

All Members pledge themselves to take joint and separate action in co- operation with the Organization for the achievement of the purposes set forth in Article 55;

38. Bahwa Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945 mengakui bahwa Indonesia menganut prinsip Negara hukum yang demokratis, yang karenanya pelaksanaan hak asasi manusia diatur dan dijamin melalui aturan perundang-undangan. Jaminan hukum ini harus mencakup nilai-nilai hak asasi manusia yang terkandung di dalam hukum internasional; 39. Bahwa pengakuan prinsip-prinsip internasional secara nyata dipertegas melalui Amandemen UUD 1945, dimana segala ketentuan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945, termasuk pula Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945, telah mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia Internasional yang bersifat universal tersebut; 40. Bahwa dengan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang bersifat universal sebagaimana diakui oleh UUD 1945, maka UU No. 27 Tahun 2004 pun juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum tentang hak asasi manusia yang telah diakui secara internasional tersebut, termasuk yang termaktub di dalam Basic Principles and Guidelines on The Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res. 2005/35, U.N. Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.11 (Bukti P-6), dan The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, U.N. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1

� (Bukti P-7), serta konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia; 41. Bahwa selain itu, keberlakuan sumber internasional tentang hak asasi manusia juga ditegaskan dan diakui melalui aturan perundang-undangan lainnya, yakni Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Bukti P-8), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Bukti P-9), dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Bukti P-10). Sehingga tidak diragukan lagi bahwa ketentuan hukum di Indonesia mengakui prinsip-prinsip hak asasi manusia universal; 42. Bahwa lebih jauh, pengakuan atas keberlakuan sumber internasional juga telah dipraktekkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, 24 Februari 2004) (Bukti P-11) dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tanggal 03 Maret 2005 (Bukti P-12); 43. Bahwa semangat dari semua peraturan nasional itu sejalan dengan semangat yang terdapat dalam sejumlah instrumen hukum internasional dan regional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Bukti P-13); 44. Bahwa dalam TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tersebut pada bagian Menimbang huruf b menyatakan: a bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah rnengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi rnanusia dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Selanjutnya bagian Menimbang huruf c menegaskan sebagai berikut :

bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.

� 45. Bahwa dalam Penjelasan Umum UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa : “Pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia.”

46. Bahwa dalam Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyatakan Hak Asasi Manusia: “harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional”.

47. Bahwa keberlakuan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional ini juga telah diakui melalui Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, 24 Februari 2004) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU- II/2004 mengenai Pengujian UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tanggal 03 Maret 2005. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memuat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik sebagai dasar pertimbangan hukum; 48. Oleh karena UUD 1945 secara tegas mengakui prinsip-prinsip hukum internasional, maka secara otomatis pengakuan UUD 1945 tersebut meliputi prinsip-prinsip internasional mengenai hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, perlindungan dari diskriminasi, serta jaminan atas persamaan di depan hukum dan pengakuan martabat manusia sebagaimana diatur Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 juga mencakup prinsip-prinsip mengenai hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia tersebut;

4. Hak Atas Pemulihan (Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi) Merupakan Hak Korban Sekaligus Kewajiban Negara untuk Memenuhinya:

49. Bahwa karena objek dari UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross

� violations of human rights) yang merupakan kejahatan internasional, maka prinsip-prinsip dan pedoman yang tercantum dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (C.H.R. Res. 2005/35) harus tercakup dalam ketentuan mengenai pemulihan menurut UUKKR, yakni yang terdapat pada Pasal 27 UU tersebut; 50. Bahwa ketentuan internasional tersebut memberikan jaminan atas hak-hak korban, termasuk juga jaminan atas tiadanya diskriminasi, jaminan atas persamaan di depan hukum, dan jaminan atas penghormatan martabat manusia sebagaimana juga dijamin oleh UUD 1945; 51. Bahwa Pasal 10 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law menyatakan bahwa: Victims should be treated with humanity and respect for their dignity and human rights, and appropriate measures should be taken to ensure their safety, physical and psychological well being and privacy, as well as those of their families. The State should ensure that its domestic laws, to the extent possible, provide that a victim who has suffered violence or trauma should benefit from special consideration and care to avoid his or her re traumatization in the course of legal and administrative procedures designed to provide justice and reparation;

52. Bahwa aturan mengenai pemulihan ini harus mencakup prinsip kelayakan, efektivitas dan proses yang cepat, serta menjamin bahwa korban mendapatkan akses menuju keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11, Pasal 15, dan Pasal 17; .. Pasal 11 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law menyebutkan:

� Remedies for gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law include the victim’s right to the following as provided for under international law: (a) Equal and effective access to justice; (b) Adequate, effective and prompt reparation for harm suffered; and (c) Access to relevant information concerning violations and reparation mechanisms;

.. Pasal 15 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law menyebutkan: Adequate, effective and prompt reparation is intended to promote justice by redressing gross violations of international human rights law or serious violations of international humanitarian law. Reparation should be proportional to the gravity of the violations and the harm suffered. In accordance with its domestic laws and international legal obligations, a State shall provide reparation to victims for acts or omissions which can be attributed to the State and constitute gross violations of international human rights law or serious violations of international humanitarian law. In cases where a person, a legal person, or other entity is found liable for reparation to a victim, such party should provide reparation to the victim or compensate the State if the State has already provided reparation to the victim;

.. Pasal 17 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law menyebutkan: States shall, with respect to claims by victims, enforce domestic judgements for reparation against individuals or entities liable for the harm suffered and endeavour to enforce valid foreign legal judgements for reparation in accordance with domestic law and international legal obligations. To that end, States should provide under their domestic laws effective mechanisms for the enforcement of reparation judgements.

� 53. Bahwa dalam hal pemberian pemulihan ini tidak diperbolehkan adanya diskriminasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, yakni: The application and interpretation of these Principles and Guidelines must be consistent with international human rights law and international humanitarian law and be without any discrimination of any kind or ground, without exception;

54. Bahwa hak korban dan kewajiban Negara dalam hal pemulihan tidak boleh dibatasi ataupun dikurangi dan harus mencakup prinsip-prinsip di dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 26 yang berbunyi: Nothing in these Principles and Guidelines shall be construed as restricting or derogating from any rights or obligations arising under domestic and international law. In particular, it is understood that the present Principles and Guidelines are without prejudice to the right to a remedy and reparation for victims of all violations of international human rights law and international humanitarian law. It is further understood that these Principles and Guidelines are without prejudice to special rules of international law;

55. Bahwa prinsip mengenai hak korban atas pemulihan dan kewajiban Negara memberi pemulihan diakui oleh konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yakni Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) melalui UU No. 5 Tahun 1998 (Bukti P-14a dan 14b), Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) melalui UU No. 29 Tahun 1999 (Bukti P-15a dan 15 b), dan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of Child) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 (Bukti P-16a dan 16b); 56. Bahwa hak korban atas pemulihan telah diakui pula dalam hukum nasional yang tercantum dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

� Hak Asasi Manusia, Pasal 14 huruf a dan huruf b Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, dan Pasal 9 Konvensi Hak Anak; 57. Bahwa Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan menyebutkan: 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan kompensasi; 2. Dalam pasal ini tidak ada apapun yang boleh mengurangi hak korban atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam hukum nasional;

58. Bahwa Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial menyebutkan : Negara-negara pihak akan menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang berada di bawah yurisdiksinya melalui pengadilan nasional yang berwenang serta lembaga-lembaga Negara lainnya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial yang melanggar hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasarnya yang bertentangan dengan Konvensi ini, serta hak atas ganti rugi yang memadai atau memuaskan dari pengadilan tersebut atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi itu.

Dan Penjelasan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan, negara pihak juga harus menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah yuridiksinya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial serta hak atas ganti rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi.

59. Bahwa Pasal 39 Konvensi Hak Anak menyebutkan : Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuhan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantaran apa pun, …

60. Bahwa melalui ratifikasi konvensi internasional di atas, secara otomatis negara Indonesia telah mengakui hak atas pemulihan dan kewajiban negara memberikan pemulihan;

� 61. Bahwa dengan demikian, hak atas pemulihan (right to reparation), yang terdiri dari kompensasi, restitusi dan rehabilitasi adalah hak yang melekat pada korban. Dalam hal ini, Negara berkewajiban untuk memberikan pemulihan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat tanpa ada kaitannya apakah pelakunya diberikan amnesti atau tidak. Bahkan tidak bergantung pula pada apakah pelakunya dapat ditemukan atau tidak, hal ini sejalan dengan Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res. 2005/35, dikatakan bahwa “Seseorang dipandang sebagai korban tanpa bergantung pada apakah pelakunya teridentifikasi, ditahan, dituntut, ataupun dinyatakan bersalah …”: (Pasal 9). Berikut bunyi teks asli pasal tersebut: A person shall be considered a victim regardless of whether the perpetrator of the violation is identified, apprehended, prosecuted, or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim.

62. Bahwa selanjutnya Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law ini juga menyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk: “Menyediakan akses pada keadilan (access to justice) yang layak dan efektif kepada mereka yang mengklaim sebagai korban dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau hukum humaniter, tanpa memandang siapa yang menjadi penanggung jawab utama atas kejahatan tersebut” (Pasal 3). Sebagaimana tertulis secara lengkap sebagai berikut: The obligation to respect, ensure respect for and implement international human rights law and international humanitarian law as provided for under the respective bodies of law, includes, inter alia, the duty to:

(a) Take appropriate legislative and administrative and other appropriate measures to prevent violations;

(b) Investigate violations effectively, promptly, thoroughly and impartially and, where appropriate, take action against those allegedly responsible in accordance with domestic and international law;

(c) Provide those who claim to be victims of a human rights or humanitarian law violation with equal and effective access to justice, as described

� below, irrespective of who may ultimately be the bearer of responsibility for the violation; and

(d) Provide effective remedies to victims, including reparation, as described below;

63. Bahwa kewajiban negara atas pemulihan ini telah diakui sebagai prinsip hukum internasional dan bahkan konsepsi hukum umum berdasarkan pada kasus utama Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice), yakni kasus Chorzow Factory tahun 1927 dan 1928 (Factory at Chorzow, Jurisdiksi, Putusan No. 8, 1927, P.C.I.J., Seri A, No. 9, dan Factory at Chorzów, Merit, Putusan No. 13, 1928, P.C.I.J., Seri A, No. 17). (Bukti P- 17a dan P-17b); 64. Bahwa karena hak pemulihan adalah kewajiban negara, maka pemenuhan hak atas pemulihan ini dilakukan oleh negara dan pemenuhan hak ini tidak terikat pada kondisi lain, misalnya ada tidaknya penghukuman maupun pengampunan (amnesti) kepada pelaku; 65. Oleh karena itu, hak atas pemulihan merupakan hak yang melekat pada korban yang tidak tergantung pada amnesti terlepas dari apakah pelakunya ditemukan atau tidak dan Negara berkewajiban untuk memenuhi hak korban tersebut;

5. Pasal 27 UU KKR Mencabut Hak Korban Atas Pemulihan

66. Bahwa berdasarkan argumentasi-argumentasi di atas, maka perumusan Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 telah dengan sengaja mencabut hak korban atas pemulihan; 67. Bahwa dengan mensyaratkan pemberian hak atas pemulihan dengan pemberian amnesti kepada pelaku mengharuskan korban mengetahui atau mengenali pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Padahal pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak mudah diidentifikasi baik disebabkan karena keterbatasan korban, bentuk kejahatannya (contohnya penghilangan paksa), maupun oleh keterbatasan sub komisi investigasi yang tidak mampu menemukan pelaku langsung maupun tidak langsung, maka sang korban tidak akan mendapatkan haknya atas kompensasi dan rehabilitasi;

� 68. Bahwa apabila korban telah diakui sebagai korban oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, namun karena berbagai pertimbangan pelakunya tidak mendapatkan amnesti, maka korban tidak akan mendapatkan haknya atas kompensasi dan rehabilitasi. Dalam hal ini korban kembali harus menderita karena harus menghadapi proses yang tidak pasti apakah akan ada suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc atau jikapun ada tidak terdapat jaminan apakah korban akan mendapatkan haknya tersebut; 69. Dengan demikian, Pasal 27 UUKKR justru dengan semena-mena membatasi hak yang melekat pada korban, yakni hak atas pemulihan;

6. Pasal 27 UU KKR Menempatkan Korban dalam Posisi yang tertekan dan tidak seimbang dengan Pelaku.

70. Bahwa perumusan Pasal 27 menempatkan korban dalam posisi yang tidak menguntungkan dimana korban sulit untuk memberikan keputusannya secara bebas; 71. Korban harus menghadapi ketiadaan pilihan yang bebas, yakni harus menerima apapun pengakuan pelaku, kemudian memberikan maaf dan berharap agar maafnya tersebut dapat membantu pelaku mendapatkan amnesti. Hal ini terpaksa dilakukan korban agar mendapat kepastian mengenai haknya akan kompensasi dan rehabilitasi; 72. Keadaan ini akan semakin diperparah ketika korban merupakan orang yang tidak mampu atau begitu menderita semakin harus menderita karena harus terpaksa memberikan persetujuannya mengenai proses pemaafan untuk amnesti ini tanpa didasari atas kesepakatan yang bebas; 73. Atau, jikapun Korban tidak memberikan maafnya, korban dengan terpaksa harus berharap agar si Pelaku mendapatkan amnesti supaya Korban bisa mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi;

7. Pasal 27 UU KKR Merupakan Bentuk Diskriminasi Yang Nyata terhadap Korban

74. Oleh karena itu, segala ketentuan yang membatasi hak korban atas pemulihan dan yang menegasikan kewajiban Negara memberi pemulihan ini adalah salah satu bentuk diskriminasi, dan ketidaksamaan di hadapan

� hukum, serta juga bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. 75. Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah mengadopsi the Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, UN Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1. Salah satu tujuan penting Kumpulan Prinsip ini adalah untuk menjadi pedoman bagi komisi kebenaran. 76. Bahwa ditegaskan dalam Prinsip 31 dalam the Updated Set of Principles for the Protectionand Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity tersebut mengenai the Right and Duties Arising Out of the Obligation to Make Reparation, bahwa : “[a]ny human rights violation gives rise to a right to reparation on the part of the victim or his or her beneficiaries, implying a duty on the part of the State to make reparation...”

77. Selanjutnya, Prinsip 32 dalam dokumen tersebut di atas tentang Reparation Procedures menegaskan bahwa : “…in exercising this right, they shall be afforded protection against intimidation and reprisals.”

78. Bahwa dokumen sebelumnya yang juga memuat Kumpulan Prinsip Perlindungan Hak Asasi Manusia, The Administration of Justice and the Human Rights of Detainees : The Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and Political), E/CN.4/Sub.2/1997/20, (Joinet Principles) (Bukti P-18), dalam lampirannya pada Paragraf 32 dari ditegaskan bahwa: “Amnesty cannot be accorded to perpetrators of violations before the victims have obtained justice by means of an effective remedy. It must have no legal effect on anyproceedings brought by victims relating to the right to reparation”.

79. Namun sebaliknya, rumusan Pasal 27 UU KKR justru telah menafikkan kewajiban Negara atas pemberian pemulihan tersebut dengan membuat hak atas pemulihan tergantung pada pemberian amnesti;

� 80. Dengan demikian, apabila Pasal 27 UU KKR dijalankan, maka negara telah bertindak diskriminatif terhadap korban;

8. Pasal 27 UU KKR Bertentangan dengan UUD 1945

81. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hak konstitutional para Pemohon, baik sebagai korban pelanggaran HAM maupun sebagai pendamping korban yang mewakili kepentingan korban untuk mendapatkan jaminan persamaan di depan hukum, jaminan atas pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta jaminan untuk bebas dari perlakuan diskriminatif, telah terlanggar oleh ketentuan Pasal 27 UU Nomor 27 Tahun 2004. Dengan demikian rumusan Pasal 27 UUKKR bertentangan UUD 1945 khususnya Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

IV.2. Pasal 44 UU No. 27 Tahun 2004 Bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

82. Bahwa Pasal 44 UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menyatakan sebagai berikut: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.”

1. Pasal 44 UU KKR Menutup Kemungkinan Korban untuk Mendapatkan Keadilan Melalui Lembaga Peradilan.

83. Bahwa Penjelasan Umum Alinea Ketiga UU KKR menyatakan sebagai berikut: “Untuk mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang berat perlu dilakukan langkah-langkah konkrit dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 47 Ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain amanat tersebut, pembentukan UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini juga didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang menugaskan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai lembaga ekstra yudisial…”

� 84. Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum UU No. 27 Tahun 2004 tersebut, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah lembaga ekstra yudisial; 85. Bahwa berdasarkan Salim’s Ninth Collegiate : English-Indonesian Dictionary, Dra. Salim, MA, Modern English Press, Edisi Pertama, Januari 2000, halaman 531, (Bukti P-19) ekstra yudisial berarti di luar pengadilan atau hukum. Istilah ekstra yudisial ini dalam literatur hukum sering dipahami juga dengan penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga seperti mediasi, arbitrasi, atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam konteks KKR, maka ekstra yudisial dapat dipahami sebagai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di luar mekanisme pengadilan. 86. Bahwa berdasarkan pengertian KKR sebagai lembaga ekstra yudisial tersebut di atas, maka KKR tidak dimaksudkan sebagai pengganti pengadilan (Pengadilan Hak Asasi Manusia) dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Melainkan dimaksud sebagai pelengkap (komplementer) dari penyelesaian melalui mekanisme pengadilan. Sebab, KKR tidak memastikan pertanggungjawaban pidana secara individual, tetapi mencari dan menemukan kebenaran pola umum semua kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang pernah terjadi (dalam satu kurun waktu tertentu), dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan untuk memulihkan demokrasi kepada pemerintah; 87. Prinsip bahwa KKR sebagai pelengkap (complement) ini telah berkembang secara internasional, dan ditegaskan kembali dalam Kumpulan Prinsip Perlindungan Hak Asasi Manusia melalui Prinsip 8 The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity tentang Definition of Commission’s Terms of Reference yang berbunyi sebagai berikut: To avoid conflicts of jurisdiction, the Commission’s Terms of Reference must be clearly defined and must be consistent with the principle that Commissions of inquiry are not intended to act as substitutes for the civil, administrative or criminal courts. In particular, criminal courts alone have jurisdiction to establish individual criminal responsibility, with a view as appropriate to passing judgement and imposing a sentence;

� 88. Penegasan bahwa KKR adalah pelengkap dan tidak dapat menggantikan proses yudisial juga dinyatakan dalam Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against Impunity and for International Justice (Maret 2002), (Bukti P-20), sebagai berikut: Non-judicial commissions of inquiry (such as "truth and reconciliation" commissions) and judicial procedures, far from excluding each other, are mutually complementary in the fight against impunity and for international justice. The constitution and activity of these commissions cannot, however, replace judicial procedures.

89 Bahwa menurut pendapat Prof. William A. Schabas, anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi negara Sierra Leone, (Bukti P-21) bahwa :

“The TRC doesn’t provide perpetrator with a forum to escape procecution... The TRC counts on voluntary testimony from perpetrators, including the “big fish”, and it has already found considerable willingness from those involved to came forward and talk about what they have done.”

(Interview Human Rights Feature dengan Prof. William A. Schabas International Commissioner, TRC Sierra Leone, “TRC Does Not Provide a Forum to Escape Procecution”. http://www.hrdc.net/sahrdc/hrfchr59/Issue5/ impunity.htm)

90. Bahwa menurut pendapat ahli hukum internasional Prof. Aryeh Neier, mantan Ketua Human Rights Watch bahwa “Truth Commissions can exist side by side with prosecutions, as the case in Argentina until another president, President Menem, pardoned those who had been convicted by the courts in Argentina and also issued pardons to those who were still facing trial”. 91. Karena bersifat komplementer, maka UU No. 27 Tahun 2004 tidak boleh menutup kemungkinan untuk mendapatkan keadilan melalui lembaga peradilan;

92. Bahwa Pasal 44 UU No. 27 Tahun 2004 memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan pengadilan, dan kemudian KKR ini dapat menggantikan pengadilan;

93. Bahwa Pasal 44 UU No. 27 Tahun 2004 telah bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas

� pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 94. Bahwa setiap orang berhak mendapatkan penyelesaian secara hukum melalui proses yudisial yang adil dan tidak memihak; 95. Jaminan atas akses menuju keadilan merupakan bentuk pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum yang berkeadilan (right to access to justice). Akibatnya, hak konstitutional para Pemohon telah terlanggar; 96. Bahwa Pasal 44 UU KKR yang memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial; 97. Dengan demikian Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Oleh sebab itu, hak konstitusional PARA PEMOHON baik sebagai individu korban pelanggaran HAM yang menjadi subjek Undang- undang yang diujikan maupun sebagai lembaga yang mewakili kepentingan korban telah terlanggar;

2. Pasal 44 UUKKR Menghilangkan Kewajiban Negara Untuk Menuntut dan Menghukum Pelaku

98. Bahwa Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 menentukan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. 99. Bahwa “perlindungan dan penegakan” (to protect) yang diatur dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 mengandung makna bahwa negara wajib menyediakan mekanisme hukum yang dapat memenuhi hak untuk mendapatkan keadilan, terutama hak korban pelanggaran hak asasi manusia; 100. Bahwa untuk memastikan hak untuk mendapatkan keadilan, maka negara mempunyai kewajiban untuk menuntut pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan. Kewajiban ini merupakan kewajiban konstitusional dan internasional yang tidak dapat dipertukarkan dengan kepentingan politik; 101. Bahwa pemeriksaan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui KKR tidak berarti kewajiban negara untuk menghukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia menjadi hilang;

� 102. Bahwa pengaturan dalam Pasal 44 UU KKR yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc apabila peristiwa tersebut telah diselesaikan melalui KKR, telah menghilangkan kewajiban negara dalam menuntut pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana yang diatur dalam hukum internasional, baik yang tertuang dalam praktik (International Customary Law) maupun perjanjian-perjanjian internasional (International Treaties); 103. Bahwa dengan demikian Pasal 44 UU KKR telah bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945. Oleh sebab itu, hak konstitusional PARA PEMOHON baik sebagai individu korban pelanggaran HAM yang menjadi subjek Undang- undang yang diujikan maupun sebagai lembaga yang mewakili kepentingan korban telah terlanggar;

IV.3. Pasal 1 Ayat (9) UU KKR Bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 28D Ayat (1) dan 28I Ayat (5) UUD 1945

104. Bahwa amnesti dalam UU KKR dimaksudkan untuk diberikan kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights); 105. Bahwa Pasal 1 Ayat (9) UU KKR menjelaskan pengertian amnesti dalam UU KKR adalah sebagai berikut : “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

1. Amnesti untuk Pelaku Palanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat tidak Konsisten dengan Implementasi Pelaksanaan Hak Azasi Manusia Sebagaimana Yang Dilindungi UUD 1945;

106. Bahwa Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

107. Bahwa Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945 menyatakan: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan.”

� 108. Bahwa dari ketentuan kedua pasal UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa konstitusi memberikan jaminan atas pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara yang demokratis; 109. Sebagai negara yang demokratis dan beradab, maka UUD 1945 juga mengakui prinsip hukum yang telah diakui di seluruh dunia bahwa amnesti tidak dapat diberikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Apabila terdapat ketentuan yang bertentangan dengan prinsip tersebut, maka ketentuan tersebut juga bertentangan dengan implementasi pelaksanaan hak asasi manusia dan jaminan atas perlindungan hukum sebagaimana dijamin UUD 1945;

2. Obyek dari UU KKR adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang merupakan Kejahatan Internasional.

110. Bahwa selanjutnya, menurut UU KKR, yang menjadi objek dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) UU KKR, yakni: “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.”

111. Kemudian Pasal 1 Ayat (4) menjelaskan bahwa : “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.”

112. Pelanggaran hak asasi manusia berat yang dimaksud di atas mengacu pada pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal pada UU No. 26 Tahun 2000 berikut ini :

Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:

Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau

� memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia :

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :

a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

� i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.

113. Bahwa sesuai dengan Penjelasan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, uraian mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berat itu sejalan dengan klausul mengenai yuridiksi International Criminal Court (ICC) dalam The Rome Statute of International Criminal Court, dimana International Criminal Court (ICC) mengakui bahwa kejahatan tersebut merupakan “kejahatan yang paling serius dalam komunitas internasional secara keseluruhan” atau “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”, mencakup kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi; 114. Bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, telah diakui oleh seluruh dunia sebagai kejahatan internasional dan Negara memiliki kewajiban untuk menuntut dan menghukum pelaku kejahatan tersebut; 115. Bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut, terutama genosida dan penyiksaan, juga telah diakui sebagai jus cogens atau peremptory norms yang karenanya pelaku kejahatan tersebut merupakan hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia) dan penuntutan terhadap pelakunya merupakan obligatio erga omnes (kewajiban seluruh umat manusia); 116. Bahwa pengakuan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sebagaimana dimaksud UU KKR, sebagai kejahatan internasional telah diakui dan berkembang sejak lama, sebagaimana diatur dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nurenberg atau Charter of the International Military Tribunal at Nuremberg (1945), Piagam Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh atau Charter of the International Military Tribunal for the Far East (1946), Statuta Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia atau Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993), Statuta Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, atau International Criminal Tribunal for Rwanda (1994), dan Statuta Roma atau Statute of the International Criminal Court (1998);

� 3. Amnesti untuk Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Bertentangan dengan Hukum Internasional.

117. Bahwa telah secara kuat diakui : amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat bertentangan dengan hukum internasional; 118. Namun Pasal 1 Ayat (9) UU No. 27 Tahun 2004 justru menjelaskan bahwa amnesti diberikan kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat sehingga pasal ini bertentangan dengan prinsip hukum yang telah diakui masyarakat internasional dimana Indonesia termasuk sebagai bagian di dalam komunitas tersebut; 119. Perserikatan Bangsa-Bangsa secara konsisten telah berulang kali menegaskan bahwa amnesti tidak dapat diberikan kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat; 120. Di tahun 1992, Sidang Umum PBB secara tegas menolak amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat (sebagaimana dimaksud UU Nomor 27 Tahun 2004) dengan mengadopsi Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance, yang menyatakan bahwa bagi mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan ini "shall not benefit from any special amnesty law or similar measures that might have the effect of exempting them from any criminal proceedings or sanction." (Bukti P-22); 121. Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam General Comment 20 Pasal 7 [Kovenan Hak Sipil dan Politik] (Bukti P-23) menyatakan bahwa "that some States have granted amnesty in respect of acts of torture. Amnesties are generally incompatible with the duty of the States to investigate such acts” (General Comment 20 concerning Article 7, replaces General Comment 7 concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or Punishment); 122. Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24 (Bukti P- 24) menyatakan sebagai berikut: o While recognizing that amnesty is an accepted legal concept and a gesture of peace and reconciliation at the end of a civil war or an internal armed conflict, 4 the United Nations has consistently maintained the position that amnesty cannot be granted in respect of international crimes,

� such as genocide, crimes against humanity or other serious violations of international humanitarian law. o At the time of the signature of the Lomé Peace Agreement, the Special Representative of the Secretary-General for Sierra Leone was instructed to append to his signature on behalf of the United Nations a disclaimer to the effect that the amnesty provision contained in article IX of the Agreement (" absolute and free pardon") shall not apply to international crimes of genocide, crimes against humanity, war crimes and other serious violations of international humanitarian law. This reservation is recalled by the Security Council in a preambular paragraph of resolution 1315 (2000). o In the negotiations on the Statute of the Special Court, the Government of Sierra Leone concurred with the position of the United Nations and agreed to the inclusion of an amnesty clause which would read as follows: "An amnesty granted to any person falling within the jurisdiction of the Special Court in respect of the crimes referred to in articles 2 to 4 of the present Statute shall not be a bar to prosecution." With the denial of legal effect to the amnesty granted at Lomé, to the extent of its illegality under international law, the obstacle to the determination of a beginning date of the temporal jurisdiction of the Court within the pre-Lomé period has been removed;

123. Laporan Sekjen PBB tentang The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004, (Bukti P- 25) menyatakan hal-hal sebagai berikut : - United Nations-endorsed peace agreements can never promise amnesties for genocide, war crimes, crimes against humanity or gross violations of human rights (Paragraph 10); - Carefully crafted amnesties can help in the return and reintegration of both groups and should be encouraged, although, as noted above, these can never be permitted to excuse genocide, war crimes, crimes against humanity or gross violations of human rights (Paragraph 32);

� - Reject any endorsement of amnesty for genocide, war crimes, or crimes against humanity, including those relating to ethnic, gender and sexually based international crimes, ensure that no such amnesty previously granted is a bar to prosecution before any United Nations- created or assisted court (Paragraf 64 point [c]).

124. Bahkan dalam Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity (E/CN.4/2004/88), 27 Februari 2004 (Bukti P-26) pada Paragraf 32 menyatakan sebagai berikut: As developments in Argentina, Sierra Leone and other countries suggest, there are prudential as well as principled reasons for States to resist demands for amnesties that violate their international obligations, even if conditions do not permit them to undertake prosecutions immediately.

Pada Paragraf 28 sampai Paragraf 32, Laporan ini juga memuat daftar sumber-sumber hukum termasuk putusan-putusan pengadilan yang menguatkan posisi larangan terhadap amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat hukum di berbagai belahan dunia telah mempraktikkan prinsip menentang amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

125. Daftar sumber-sumber hukum di atas lalu dikuatkan kembali dan dilengkapi dalam Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102), 18 Februari 2005, Paragraf 50-51. (Bukti P-27); 126. Selain itu the Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1) secara tegas memberikan pedoman bagi Negara-negara termasuk badan- badan peradilan dalam menentukan sikapnya mengenai impunity. Prinsip 24 mengenai Restrictions and Other Measures Relating to Amnesty menyatakan sebagai berikut : Even when intended to establish conditions conducive to a peace agreement or to foster national reconciliation, amnesty and other measures of clemency shall be kept within the following bounds :

� (a) The perpetrators of serious crimes under international law may not benefit from such measures until such time as the State has met the obligations to which principle 19 refers or the perpetrators have been prosecuted before a court with jurisdiction – whether international, internationalized or national - outside the State in question; (b) Amnesties and other measures of clemency shall be without effect with respect to the victims’ right to reparation, to which principles 31 through 34 refer, and shall not prejudice the right to know; (c) Insofar as it may be interpreted as an admission of guilt, amnesty cannot be imposed on individuals prosecuted or sentenced for acts connected with the peaceful exercise of their right to freedom of opinion and expression. When they have merely exercised this legitimate right, as guaranteed by articles 18 to 20 of the Universal Declaration of Human Rights and 18, 19, 21 and 22 of the International Covenant on Civil and Political Rights, the law shall consider any judicial or other decision concerning them to be null and void; their detention shall be ended unconditionally and without delay; (d) Any individual convicted of offences other than those to which paragraph (c) of this principle refers who comes within the scope of an amnesty is entitled to refuse it and request a retrial, if he or she has been tried without benefit of the right to a fair hearing guaranteed by articles 10 and 11 of the Universal Declaration of Human Rights and articles 9, 14 and 15 of the International Covenant on Civil and Political Rights, or if he or she was convicted on the basis of a statement established to have been made as a result of inhuman or degrading interrogation, especially under torture.

127. Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, (Resolution : 2004/72, Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004, (Bukti P-28) dalam Point 3 juga menegaskan sebagai berikut : …amnesties should not be granted to those who commit violations of human rights and international humanitarian law that constitute crimes, urges States to take action in accordance with their obligations under international law and welcomes the lifting, waiving, or nullification of amnesties and other immunities;

� 128. Selain dari badan PBB, larangan amnesti terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini juga ditegaskan dalam yurisprudensi dari berbagai pengadilan di dunia; 129. Dalam kasus di Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia (ICTY), putusan majelis Banding kasus Penuntut v. Furundzija, 10 Desember 1998, menilai bahwa domestik amnesti yang meliputi kejahatan-kejahatan, seperti penyiksaan, yang memiliki status jus cogens tidak akan mendapat pengakuan internasional secara legal. (Paragraph 155) (Bukti P-29). Berdasarkan hal tersebutlah maka kejahatan penyiksaan yang telah mendapatkan amnesti tetap diadili oleh pengadilan internasional; 130. Yurisprudensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-American secara konsisten menegaskan sikapnya yang melarang amnesti bagi pelanggaran hak asasi manusia berat, antara lain dalam kasus Barios Altos (Barios Altos case, IACHR, Vol. 75, Series C), 14 Maret 2001 2000 (Bukti P-30) pada Point 4 putusan, pengadilan menyatakan bahwa amnesti “bertentangan dengan Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika, akibatnya tidak mempunyai efek hukum” (to find that amnesty laws no. 26479 and no. 26492 are incompatible with the american convention on human rights and, consequently, lack legal effect). Dalam salah satu pertimbangannya Majelis Hakim kasus Barrios Altos tersebut menyatakan sebagai berikut: This Court considers that all amnesty provisions, provisions on prescription and the establishment of measures designed to eliminate responsibility are inadmissible, because they are intended to prevent the investigation and punishment of those responsible for serious human rights violations such as torture, extrajudicial, summary or arbitrary execution and forced disappearance, all of them prohibited because they violate non-derogable rights recognized by international human rights law. (Paragraf 41)

131. Putusan Pengadilan yang menyatakan amnesti bagi pelaku pelanggar hak asasi manusia yang berat dilarang dan berakibat tidak memiliki efek hukum kembali dipertegas oleh berbagai putusan pengadilan, antara lain : Trujillo Oroza v. Bolivia, (IACHR), Reparations, Judgement, 27 February 2002, Vol. 92, Serie C, paragraf 160; El Caracazo case v. Venezuela, (IACHR), Reparations, Judgment, 29 August 2002, Vol. 95, Serie C, paragraf 119;

� Myrna Mack Chang v. Guatemala case, (IACHR), Judgement, 25 November 2003, Vol. 101, Serie C, paragraf 276. (Bukti P-31 a, b, c) 132. Selain sumber hukum di atas, Prinsip Princeton tentang Yurisdiksi Universal pada Prinsip 7 (1) (Bukti P-32) menyatakan bahwa: “Amnesties are generally inconsistent with the obligation of states to provide accountability for serious crimes under international law as specified in Principle in 2(1).”

133. Tidak hanya itu, Indonesia juga terikat dengan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi yang memuat larangan amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998. Konvensi Menentang Penyiksaan memberikan kewajiban kepada Negara peserta untuk menghukum pelaku penyiksaan, dimana tindak pidana penyiksaan ini termasuk ke dalam bagian pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud UU No. 27 Tahun 2004 jo UU No. 26 Tahun 2000. 134. Genosida, penghilangan paksa dan tindak penyiksaan telah diakui sebagai jus cogens atau peremptory norms. Oleh karena itu, bagi pelaku pelanggaran berat tersebut berlaku universal jurisdiction. Contohnya pada putusan kasus Augusto Pinochet di Spanyol dan Inggris yang menegaskan keberlakuan universal jurisdiction bagi tindak penyiksaan. Dengan melekatnya norma jus cogens ini maka pelakunya dinyatakan sebagai hostis humanis generis atau musuh segala umat manusia, serta menjadi kewajiban negara untuk melakukan penuntutan (obligatio erga omnes); 135. Bahwa benar pemberian amnesti merupakan wewenang Presiden, namun berdasarkan prinsip hukum, amnesti tidak dapat diberikan kepada diberikan kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat; 136. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat memiliki tempat yang tertinggi dalam bentuk kejahatan. Karena itulah terdapat prinsip hukum yang melarang amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Oleh sebab itu, keberadaan kata-kata “yang berat” dalam rumusan Pasal 1 Ayat (9): “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan

� pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” bertentangan dengan prinsip hukum dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum;

4. Pasal 1 ayat (9) UU KKR Bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945

137. Oleh karena Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28I Ayat (5) menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan hak asasi manusia dijamin oleh undang-undang, maka UU Nomor 27 Tahun 2004 harus konsisten dengan jaminan konstitusi tersebut; 138. Sejalan dengan pengakuan prinsip-prinsip hak asasi manusia oleh negara Indonesia melalui Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana disebut di atas, maka pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta jaminan pelaksanaan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945 mencakup pula pengakuan atas prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional; 139. Dengan pencantuman aturan yang melanggar prinsip-prinsip hukum dalam UU KKR, khususnya Pasal 1 Ayat (9), maka hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta jaminan atas penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis telah terlanggar; 140. Karena definisi mengenai amnesti dalam Pasal 1 Ayat (9) UUKKR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui komunitas yang beradab dalam masyarakat dunia dan Indonesia termasuk sebagai bagian dari komunitas bangsa yang beradab tersebut, maka amnesti untuk pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (5) UUD 1945; 141. Oleh sebab itu, hak konstitusional para Pemohon baik sebagai individu korban pelanggaran HAM yang menjadi subjek Undang-Undang yang

� diujikan maupun sebagai lembaga yang mewakili kepentingan korban telah terlanggar; 142. Berdasarkan uraian-uraian di atas, para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Permohonan Uji Materil UU KKR terhadap UUD 1945, sebagai berikut : 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU para Pemohon; 2. Menyatakan materi muatan Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945; 3. Menyatakan materi muatan Pasal 44 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945; 4. Menyatakan materi muatan Pasal 1 Ayat (9) UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945; 5. Menyatakan materi muatan Pasal 27, Pasal 44 dan Pasal 1 Ayat (9) UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat/tertulis yang dilampirkan dalam permohonan dan bukti-bukti tersebut telah dibubuhi meterai dengan cukup, dan diberi tanda Bukti P - 1 sampai dengan Bukti P – 36 yaitu:

1. Bukti P - 1 : Foto copy Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;

2. Bukti P - 2.a : Foto copy Anggaran Dasar ELSAM;

P - 2.b : Foto copy Anggaran dasar dan Perubahan Anggaran Dasar 

Kontras;

P - 2.c : Foto copy Anggaran Dasar Solidaritas Nusa Bangsa (SNB);

� P - 2.d. : Foto copy Akte Pendirian Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL);

3. Bukti P - 3. a1 : Foto Copy Anggaran Dasar LPKP 65.

Bukti P - 3. a2 : Foto Copy Surat Keterangan Lepas No. SK 

6911/INREHAB/B-2/IX/1978 tanggal 27 September 1978 atas nama Soenarno Tomo Hardjono, Ketua Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65).

Bukti P - 3. b1 : Foto Copy Perubahan Anggaran Dasar LPKP-KROB.
Bukti P - 3. b2 : Foto Copy Surat Perintah Perubahan Status Penahanan No. 

SPRINTBAS/766/TPD/XII/1977 tanggal 20 Desember 19777, atas nama Sumaun Utomo Ketua Umum Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB).

4. Bukti P - 4 a : Foto Copy Surat Komnas HAM Panggilan sebagai saksi tertanggal 1 Desember 2005, untuk Rahardjo Waluyo Djati;

Bukti P- 4b1 : Foto Copy Kliping Koran Harian Republika tanggal 11 

September 1998, ”Pius Bersaksi ke PusPom, untuk lengkapi Berkas”

Bukti P- 4 b2 : Foto Copy Kliping Koran Harian Media Indonesia tanggal 8 

September 1998 ” Pius Berencana Kunjungi Cijantung”.

5. Bukti P - 5 : Foto Copy Surat Keputusan No. Skep-55/ KOPKAM/XII/1979 tentang pengembalian 2045 Orang Tahanan G.30.S/PKI Golongan “B” ke Masyarakat tertanggal 5 Desember 1979 dan Petikan Daftar Lampiran Surat Kepustusan Pangkopkamtib No. SKEP-55/ KOPKAM/XII/1979 atas nama Tjasman Setyo Prawiro.

6. Bukti P - 6 : Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. res. 2005/35, U.N. Doc. E/CN.4/2005/ L.10/Add.11;

7. Bukti P - 7 : Promotion and Protection of Human Rights : Impunity, Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Diane Orentlicher,

� Addendum Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, [hereinafter Updated Set of Principles to Combat Impunity], E/CN.4/2005/102/Add.1, 8 February 2005;

8. Bukti P - 8 : Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

9. Bukti P - 9 : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

10. Bukti P - 10 : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

11. Bukti P - 11 : Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, 24 Februari 2004)

12. Bukti P - 12 : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tanggal 03 Maret 2005;

13. Bukti P - 13.a : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik);

Bukti P - 13.b. : International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);

14. Bukti P - 14.a : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia);

Bukti P - 14.b : Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or

� Degrading Treatment or Punishment;

15. Bukti P - 15.a : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965);

Bukti P - 15.b : Convention on the Elimination of All Forms of Racial 

Discrimination;

16. Bukti P - 16.a : Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak);

Bukti P - 16.b : Convention on the Rights of the Child;

17. Bukti P - 17.a : The Factory at Chorzow , Jurisdiction, Permanent Court of International Justice, 26 July 1927, Judgement No. 8, 1927, Publications of the Permanent Court of International Justice, Serie A. No. 9;

Bukti P - 17.b. : The Factory at Chorzów, Merits, Permanent Court of 

International Justice, 13 September 1928, Judgement Nomor 13, 1928, Publications of the Permanent Court of International Justice, Serie A. No. 1;

18. Bukti P - 18 : The Administration of Justice and the Human Rights of Detainees : The Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and Political), E/CN.4/Sub.2/1997/20, (Joinet Principles);

19. Bukti P - 19 : Salim’s Ninth Collegiate : English-Indonesian Dictionary, Drs. Peter Salim, MA, Modern English Press, Edisi Pertama, Januari 2000, halaman 531;

20. Bukti P - 20 : Foto Copy Brussels Principles against Impunity and for International Justice, adopted by the Brussels Group for International Justice, following on from colloquium “The Fight against Impunity : Stakes and Perspectives” (Brussel, March 11-13 2002);

21.Bukti P – 21 : Foto Copy Impunity,Truth Commissions: Peddling Impunity?, Interview Professor William A. Schabas (International

� Commissioner, TRC Sierra Leone) : “TRC Does Not Provide a Forum to Escape Prosecution”, Human Rights Features Volume 6, Issue 5, 14-20 April 2003

22. Bukti P–22 : Foto Copy Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance, General Assembly Resolution 47/133 of 18 December 1992

23. Bukti P – 23 : Foto Copy General Comment No. 20 : Replaces General Comment 7 Concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or Punishment (Art. 7) : 10/03/92, CCPR General Comment No. 20 (General Comments)

24. Bukti P–24 : Foto Copy Report of the Secretary General on The Esthablishment

of a Special Court for Sierra Leone S/200/915, 4 October 2000

25. Bukti P – 25 : Foto Copy The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, Report of the Secretary General, (S/2004/616), 23 August 2004

26. Bukti P – 26 : Foto Copy Promotion and Protection of Human Rights : Impunity, Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity, By Professor Diane Orentlicher, E/CN.4/2004/88, 27 February 2004

27. Bukti P – 27 : Foto Copy Promotion and Protection of Human Rights: Impunity, Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Diane Orentlicher, E/CN.4/2005/102, 18 February 2005

28. Bukti P – 28 : Foto Copy Impunity : Commission on Human Rights Resolution : 2004/72 (E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004

29. Bukti P – 29 : Foto Copy Prosecutor v. Anto Furundzija, Judgement, Case No : IT-95-17/1-T, date : 10 December 1998

30. Bukti P – 30 : Foto Copy Inter American Court of Human Rights Barrios Altos case, (Chumbipuma Aguirre et al versus Peru, AIACHR, Vol. 75, Series C, 14 March 2001

� 31.Bukti P – 31a : Foto Copy Trujillo Oroza v. Bolivia (IACHR), Reparations, Judgement, 27 February 2002 Vol. 92, Serie C, Paragraf 160

Bukti P – 31b : El Caracazo Case v. Venezuela (IACHR), Reparations, 

Judgement, 29 August 2002, Vol. 95, Serie C, Paragraf 11

Bukti P – 31c : Foto Copy Myrna Mack Chang v.Guatemala Case (IACHR) 

Judgement, 25 November 2003, Vol. 101, Serie C,Paragraf 276

32. Bukti P - 32 : Foto Copy Princeton Principles on Universal Jurisdiction

33. Bukti P - 33 a : Foto Copy Commentary on the Bill on the Truth and Reconciliation Commission of Indonesia, 3 February 2000; oleh Douglass Cassel, Priscilla Hayner dan Paul Van Zyl.

Bukti P - 33 b : Foto Copy Komentar terhadap RUU Komisi Kebenaran dan 

Rekonsiliasi di Indonesia. (Terjemahan);

34. Bukti P - 34 a : Foto Copy Tackling the Challenges Facing an Indonesian Truth Commission, 8 Maret 2000; oleh Douglass Cassel, Priscilla Hayner dan Paul Van Zy;

Buktri P - 34 b : Foto Copy Beberapa Pemikiran Mengenai Pembentukan 

komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia (Terjemahan);

35. Bukti P - 35 a : Foto Copy Comment by the International Center for Transitional Justice on the Bill Establishingh a truth and Reconcuiliation Commission in Indonesia;

Bukti P - 35 b : Foto Copy Komentar oleh CTJ (Pusat Internasional bagi 

Keadilan Transisional) Atas Undang-undang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia;

36. Bukti P - 36a : Foto Copy Menimbang-nimbang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Kompas Sabtu 4 Maret 2000;

Bukti P - 36b : Foto Copy Urgensi segera Dibentuknya Komisi Kebenaran 

dan Rekonsiliasi, Sorotan, Kompas, Senin 10 Juni 2002 oleh Satya Arinanto;

� Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan dipersidangan, pihak pemerintah memberikan pula keterangan tertulis, bertanggal 23 Mei 2006 pada persidangan hari Selasa tanggal 23 Mei 2006, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada Hari Selasa tanggal 23 Mei 2006, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut.:

I. UMUM

Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, yang bersifat universal dan kekal abadi. Karena itu hak asasi manusia harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, ditegakkan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun baik orang per-orang sebagai individu maupun oleh Pemerintah;

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes again humanity, genocide), yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran serta menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi guna mencapai persatuan dan kesatuan nasional. Pengungkapan kebenaran juga bertujuan untuk kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi. Selain amanat tersebut diatas, pembentukan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini juga didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang menugaskan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk menelusuri dan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, perlu dilakukan langkah-langkah konkret dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menyatakan : Ayat (1) " Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi "; Ayat (2) " Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana

4

� dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang". Selain bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang- undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi ini juga melaksanakan Rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah yang ditempuh adalah pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Pembentukan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi antara lain didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. Adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas, sehingga korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya masih belum mendapatkan kepastian mengenai latar belakang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap korban. Selain belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi atas penderitaan yang mereka alami, pengabaian atas tanggung jawab ini telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan yang besar terhadap institusi hukum karena negara dianggap memberikan pembebasan dari hukuman kepada para pelaku; 2. Penyelesaian secara menyeluruh terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sangat urgen dan mendesak untuk segera dilakukan karena masih adanya sikap sebagian masyarakat yang cenderung sinis, apatis dan tidak puas terhadap cara penanganan Pemerintah pada pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Disamping itu, faktor ketegangan politik yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tidak boleh diabaikan dan dibiarkan terus berlarut-larut tanpa adanya kepastian

� penyelesaiannya; 3. Dengan di ungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi guna menegakkan persatuan dan kesatuan nasional;

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara substansial berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum (due process of law), tetapi lebih terfokus mengenai pencarian dan pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti, pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, sehingga diharapkan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi dan persatuan nasional.

Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission), pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus diidentifikasi. Apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden;

Apabila permohonan amnesti tersebut beralasan dan cukup memadai untuk dikabulkan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, harus diberikan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden maka kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi tidak diberikan oleh Negara, dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut ditindaklanjuti untuk diproses/diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nombr 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

� Apabila terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diperiksa dan diputus oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka Pengadilan Hak Asasi Manusia Adhoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) tidak lagi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian pula sebaliknya, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berwenang untuk menangani penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut. Dengan demikian, putusan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc bersifat final dan mengikat (final and binding).

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission), dibentuk berdasarkan asas-asas kemandirian, bebas dan tidak memihak, kemaslahatan, keadilan, kejujuran, keterbukaan, perdamaian, dan persatuan bangsa. Kedepan diharapkan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang terjadi pada masa lalu dapat diselesaikan diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian (rekonsiliasi) sesama anak bangsa dalam rangka menegakkan persatuan dan kesatuan nasional dengan semangat saling pengertian dan saling memaafkan;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

� Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:

a. Adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; c. Bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2), Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga apakah kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

� Pemerintah beranggapan bahwa aktivitas para Pemohon baik yang berkedudukan sebagai perseorangan maupun sebagai badan hukum privat yang perduli terhadap pemajuan, perlindungan dan penegakan keadilan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia berjalan sebagaimana mestinya tidak terganggu dan tanpa terkurangi sedikitpun hak dan kewajibannya atas berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sehingga tidak terdapat hubungan spesifik (khusus) maupun hubungan sebab akibat (causal verband) antara Pemohon dengan konstitusionalitas keberlakuan Undang-Undang a quo;

Kemudian jika para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka hal ini perlu dipertanyakan hak konstitusional para Pemohon mana yang dirugikan?, apakah para Pemohon sebagai perseorangan itu sendiri, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia, para korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau kebanyakan masyarakat yang peduli terhadap hak asasi manusia, karena para Pemohon tidak secara tegas menjelaskan siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-undang a quo;

Karena itu Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan argumentasi dan penjelasan Pemerintah tentang materi pengujian

� Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;

III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi.

Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi , yaitu :

1. Pasal 1 Ayat (9) "Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”; 2. Pasal 27 "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan"; Pasal 19 "Subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dalam Pasal 16 huruf b, bertugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat "

Pasal 16 huruf b “Subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dan c "subkomisi pertimbangan amnesti";

3. Pasal 44 "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc";

Bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2), Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut :

Pasal 27 Ayat (1) "Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya":

Pasal 28D Ayat (1) "Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ";

� Pasal 28I:

Ayat (2) "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;

Ayat (4) "Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah';

Ayat (5) "Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan';

Sehubungan dengan anggapan/alasan para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Para Pemohon dalam permohonannya beranggapan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, akan memberikan ketidakadilan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, karena pelaku yang telah membuat korban menderita bisa mendapatkan amnesti, sebaliknya bila pelaku tidak mendapatkan amnesti maka hak-hak korban atas pemulihan yaitu berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak bisa didapatkan dan korban harus menempuh upaya lain; Dengan demikian, ketentuan tersebut telah membuat kedudukan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat, karena terhadap korban diberikan persyaratan yang cukup berat untuk mendapatkan hak atas pemulihan (right to reparation) berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang merupakan hak yang melekat pada korban tergantung kepada apakah pelakunya ditemukan atau tidak dan apakah pelakunya diberikan amnesti atau tidak. Menurut para Pemohon hak atas pemulihan (right to reparation) merupakan kewajiban negara.

Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersebut diatas, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) merupakan sebuah ikhtiar kolektif yang mengedepankan "nilai-nilai islah" dari bangsa Indonesia dalam rangka

� perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia, yang pada masa lalu (sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat (gross violations of human rights) seringkali dinisbikan bahkan dianggap tidak ada, bahkan tanpa dipermasalahkan dan diselidiki siapa pelaku, siapa korbannya dan berapa jumlah korbannya. b. Bahwa salah satu esensi yang sangat penting dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu adalah antara pelaku dan korban saling memaafkan (pasal 29 Undang- undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang °Komisi Kebenaran dan Reonsiliasi), guna terwujudnya rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional seperti diamanatkan oleh Ketetapan MPR-RI No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional). Kedepan diharapkan tidak terulang dan terjadi lagi, seperti pepatah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) Argentina yang menyebutnya sebagai "Nunca Ma'as" (jangan terulang lagi), di Afrika Selatan menggunakan istilah "to forgive but not to forget", atau dengan sindiran yang menggelitik "Tu paux marcher sur I'Afrique, main n'est rnarche pas sur I'Africain" (anda boleh berjalan diatas tanah Afrika, tetapi jangan sekali-kali berjalan diatas orang Afrika).

c. Bahwa apabila pelaku mengakui kesalahannya secara sukarela, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan, maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan memutus pemberian rekomendasi amnesti kepada Presiden secara mandiri dan objektif, hal ini bertujuan agar penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak terus berlarut-larut yang pada gilirannya dapat menghambat pencapaian tujuan rekonsiliasi nasional; d. Bahwa apabila pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak bersedia dan mengakui kesalahannya, tidak mengakui kebenaran fakta- fakta serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku

� pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak untuk mendapatkan amnesti dari Presiden dan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut dapat diajukan ke pengadilan HAM ad hoc berdasarkan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. e. Bahwa Pemerintah berpendapat ketentuan Pasal 27 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat apabila permohonan amnesti dikabulkan oleh Presiden, merupakan perimbangan kedudukan antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang pada gilirannya dapat menciptakan rasa keadilan da!am masyarakat (vide Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; f. Bahwa bila terjadi penolakan permohonan amnesti oleh Presiden, hal ini bukanlah akhir dari perjuangan menegakkan keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa lalu, terutama bagi korban atau ahli warisnya. Justru dengan ditolaknya permohonan amnesti terbuka ruang dan peluang bagi korban atau ahli warisnya untuk menuntut hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada Negara (vide Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Untuk itu, dapat dikatakan bahwa amnesti merupakan haknya pelaku yang beritikad baik (good faith, geode trow), yang secara tulus mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahannya dimasa lalu, sedangkan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi merupakan hak korban atau ahli warisnya yang harus diberikan oleh Negara;

Dari uraian tersebut diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 27 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional

� para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2), Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Menurut para Pemohon dalam permohonannya beranggapan ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, telah menutup kemungkinan. korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk mendapatkan keadilan melalui lembaga peradilan.

Para Pemohon menyimpulkan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah memposisikan sebagai lembaga yang sama dengan lembaga peradilan, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga dapat menggantikan pengadilan, padahal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan lembaga ekstra yudisial yang dimaksudkan sebagai pelengkap (komplementer) dari penyelesaian melalui mekanisme pengadilan. Sehingga menurut para Pemohon hal tersebut telah menutup akses setiap orang (korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat) untuk mendapatkan penyelesaian melalui proses yudisial yang adil dan tidak memihak.

Dengan demikian ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc apabila peristiwa tersebut telah diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, telah menghilangkan kewajiban Negara dalam menuntut pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sebagaimana diatur dalam hukum internasional, baik yang tertuang dalam praktik (international customary law) maupun dalam perjanjianperjanjian international (international treaties).

Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersebut diatas, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang pengadilan HAM tidak menutup

� kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; b. Bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) tidak berfungsi sebagai pengganti (substitusi) terhadap pengadilan hak asasi manusia (sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), yang tidak mengatur proses penuntutan hukum (due process of law), tetapi hanya mengatur tentang poses pengungkapan kebenaran; pemberian konpensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban dan pemberian amnesti kepada pelaku. Karena itu putusan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukan merupakan objek Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 9 Ayat (5) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi); c. Bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan lembaga yang bersifat ad hoc yang mendukung adanya kepastian hukum bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, karena itu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bersifat sementara dan keberadaannya dibatasi oleh waktu, sehingga pada saat batasan waktu yang tersedia telah habis maka terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu dapat ditempuh penegakan hukum melalui pengadilan HAM ad hoc; d. Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diberbagai Negara telah menciptakan pergeseran konsep keadilan (concept of justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan/balas dendam (retributive justice/prosecutorial justice) ke arah keadilan dalam bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang bersifat dan mengarah pada keadilan restorative (restorative justice/community based justice) yang menekankan pentingnya aspek penyembuhan (restoratif) bagi mereka yang menderita karena kejahatan; e. Bahwa akhir-akhir ini Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mulai menganjurkan pendayagunaan konsep restorative justice secara lebih luas dalam system peradilan pidana melalui United Nation Declaration on

� the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, hat ini sejalan dengan maksud dan tujuan dibentuknya Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menekankan penyelesaian terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui mekanisme diluar pengadilan (out of court system); Dari uraian tersebut diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 44 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Keberatan para Pemohon dalam permohonannya beranggapan ketentuan Pasal 1 Ayat (9) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bertentangan dengan hukum internasional, karena amnesti yang diberikan kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh komunitas yang beradab dalam masyarakat dunia, dan Indonesia termasuk bagian dari komunitas bangsa yang beradab tersebut.

Sehingga menurut para Pemohon, walaupun amnesti merupakan wewenang Presiden, namun berdasarkan prinsip hukum internasional tidak dapat diberikan kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat, karena pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat dikategorikan sebagai musuh segala umat manusia (hostis humanis generis), karenanya merupakan kewajiban Negara untuk melakukan penuntutan (obligation erga omnes);

Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersabut diatas, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 27 Tanun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), hal ini menunjukkan adanya sikap kehati-hatian

� (prudential principle) yang amat mendalam da!am memberikan amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah secara sukarela mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahannya dimasa lalu; b. Bahwa pengungkapan fakta-fakta atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) pada kenyataannya masih banyak mengalami kendala dan hambatan yang cukup signifikan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara tuntas yang pada gilirannya menirnbulkan ketidakpuasan masyarakat khususnya korban atau ahli warisnya, juga telah menimbulkan ketegangan politik yang dapat menghambat rekonsiliasi dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan nasional; c. Bahwa atas hal tersebut diatas perlu dilakukan langkah-langkah yang ditempuh untuk mengungkapkan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukurn, amnesti, rehabilitasi maupun alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat; d. Bahwa pada hakekatnya Negara (Pemerintah) tetap berkewajiban untuk melakukan penuntutan terhadap pe!aku kejahatan tindak pidana maupun pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat, bila pelaku tidak barsedia mengakui kebenaran fakta-fakta dan mengakui kesa!ahannya serta tidak bersedia meminta maaf dan menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu tersebut diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc; Dari uraian tersebut diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 1 Ayat (9) Undang-undang Nornor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I ay.at (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

� IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyal kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan: - Pasal 1 Ayat (9); - Pasal 27; - Pasal 44

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2), Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945; 5. Menyatakan Pasal 1 Ayat ( 9), Pasal 27, dan Pasal 44 Undang.-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan dipersidangan, pihak pemerintah memberikan pula keterangan tertulis tambahan bertanggal 16 Agustus 2006, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada Hari Rabu tanggal 23 Agustus 2006 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

Menindaklanjuti persidangan di Mahkamah Konstitusiatas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

� Tahun 1945, yang dimohonkan oleh Asmara Nababan, SH dkk, pada tanggal 23 Mei 2006; tanggal 21 Juni 2006; tanggal 04 Juli 2006 dan tanggal 02 Agustus 2006, dan untuk melengkapi keterangan pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan hormat disampaikan Tambahan Keterangan Tertulis Pemerintah sebagai berikut:

Bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang terjadi pada .masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas, sehingga korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya masih belum mendapatkan kepastian penyelesaian hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut.

Selain itu, korban atau ahli warisnya juga belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi atas penderitaan yang mereka alami. Untuk itu pengabaian atas tanggung jawab tersebut dapat menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan yang besar terhadap institusi hukum karena negara dianggap memberikan pembebasan dari hukuman kepada para pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Untuk menelusuri dan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, perlu dilakukan langkah-langkah konkret dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menyatakan: Ayat (1) "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi "Ayat (2)" Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang”.

Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) merupakan sebuah ikhtiar kolektif yang mengedepan kan "nilai-nilai islah" dari bangsa Indonesia, dan kehendak "saling memaafkan antara pelaku dan korban" dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, yang pada masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) peristiwa-

� peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat (gross violations of human rights) seringkali dinisbikan bahkan dianggap tidak ada, bahkan tanpa dipermasalahkan dan diselidiki siapa pelaku, siapa korbannya dan berapa jumlah korbannya.

Kedepan diharapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak terulang dan terjadi lagi, seperti pepatah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) Argentina yang menyebutnya sebagai "Nunca Ma'as" (jangan terulang lagi), di Afrika Selatan menggunakan istilah "to forgive but not to forget", atau dengan sindiran yang menggelitik "Tu paux marcher sur I'Afrique, mais n'est marche pas sur I'Africain" (anda boleh berjalan diatas tanah Afrika, tetapi jangan sekali-kali berjalan diatas orang Afrika).

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara substansial berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum (due process of law), tetapi lebih terfokus mengenai pencarian dan pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti, pemberian konpensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, sehingga diharapkan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi dan persatuan nasional. Karena itu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berfungsi sebagai pengganti (substitusi) terhadap pengadilan hak asasi manusia.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diberbagai Negara telah menciptakan pergeseran konsep keadilan (concept of justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan/balas dendam (retributive justice/prosecutorial justice) ke arah keadilan dalam bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang bersifat dan mengarah pada keadilan restorative (restorative justice/community based justice) yang menekankan pentingnya aspek penyembuhan (restoratif) bagi mereka yang menderita karena kejahatan.

Bahwa akhir-akhir ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai menganjurkan pendayagunaan konsep restorative justice secara lebih luas dalam system peradilan pidana melalui United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, hal ini sejalan

� dengan maksud dan tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menekankan penyelesaian terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui mekanisme diluar pengadilan (out of court system).

Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah mohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Bahwa Tambahan Keterangan Pemerintah bersifat penegasan kembali terhadap Keterangan Pemerintah baik tertulis maupun Iisan yang telah disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Mei 2006, kecuali penjelasan/argumentasi yang belum disampaikan pada persidangan terdahulu, Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Keberatan Para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang- undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menyatakan : "Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” dapat disampaikan kembali hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti secara tegas diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan : "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” b. Sehingga jika presiden memutuskan untuk memberikan amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights), maka hal tersebut tentunya telah dipertimbangkan secara cermat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). c. Lebih lanjut pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights), juga

� mempertimbangkan dan memperhatikan rekomendasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Selain itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum wajib mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh masyarakat (Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

Dari uraian diatas, Pemerintah secara tegas menyatakan pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights), telah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain itu prinsip kecermatan dan kehati-hatian (prudential principle) menjadi perhatian yang serius dengan memperhatikan masukan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi maupun masyarakat pada umumnya.

Karena itu Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 1 angka 9 

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menyatakan : "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan", dapat disampaikan kembali hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat apabila permohonan amnesti dikabulkan oleh Presiden, merupakan perimbangan kedudukan antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang pada gilirannya dapat menciptakan rasa, keadilan dalam masyarakat (vide Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

� b. Bahwa bila terjadi penolakan permohonan amnesti oleh Presiden, hal ini bukanlah akhir dari perjuangan menegakkan keadilan atas, pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu, terutama bagi korban atau ahli warisnya. Justru dengan ditolaknya permohonan amnesti terbuka ruang dan peluang bagi korban atau ahli warisnya untuk menuntut hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada Negara (vide Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi. terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).

Pemerintah berpendapat bahwa Ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak dapat dijadikan ukuran untuk mengkonstruksi bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi justru merupakan konsistensi dan konsekuensi atas ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itu dapat dibuktikan bahwa jika amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) ditolak oleh Presiden, tetapi kompensasi dan rehabilitasi tetap diberikan kepada korban atau ahli warisnya, maka dapat menimbulkan hal-hal:

a Tidak terdapatnya kesamaan atau keseimbangan kedudukan dalam dan/atau dihadapan hukum antara pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban, yang harus sama-sama mendapatkan perlakuan dan perlindungan hak asasi manusia.

b. Jika amnesti terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat ditolak oleh Presiden, tetapi terhadap korban tetap diberikan rehabilitasi, hal tersebut telah menyalahi Iogika hukum.

Karena itu Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 27 Undang- undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

� 3. Keberatan para Pemohon terhadap ketententuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dianggap telah menutup kemungkinan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan, karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dianggap telah memposisikan sebagai lembaga yang sama dengan lembaga peradilan, bahkan dapat menggantikan pengadilan, padahal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan lembaga ekstra yudisial yang dimaksudkan sebagai pelengkap (komplementer) dari penyelesaian melalui mekanisme pengadilan.

Terhadap hal tersebut diatas, Pemerintah dapat menjelaskan dan menegaskan kembali hal-hal sebagai berikut :

a. Bahwa ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip hukum bagi pencari keadilan (justiciabelen) terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (vide ketentuan Pasal 43 Ayat (1) yang menyatakan "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”

b. Lebih lanjut ketentuan Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang'menyatakan bahwa: "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi': c. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diberlakukan dapat ditempuh melalui Pengadilan HAM ad hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Dengan demikian, keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pembentukannya tidak dimaksudkan sebagai pelengkap (komplementer) maupun pengganti (substitusi) lembaga peradilan, tetapi dimaksudkan

� sebagai lembaga alternatif yang dapat dipilih oleh korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau ahli warisnya terhadap penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Karena itu, Pemerintah berpendapat penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan pilihan sendiri korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau ahli warisnya, Pemerintah tidak berkepentingan untuk mengarahkan atau menggiring korban atau ahli warisnya untuk memilih penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat apakah melalui Pengadilan HAM Ad hoc atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Atas hal-hal tersebut diatas, Pemerintah berpendapat Pasal 44 Undang- undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.;

Demikian Tambahan Keterangan Tertulis Pemerintah, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Keterangan Pemerintah tertulis dan lisan yang disampaikan terdahulu, agar kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat menjadikan bahan pertimbangan dalam memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang aquo.

Menimbang, bahwa selain memberikan keterangan lisan didalam persidangan pada hari Selasa tanggal 23 Mei 2006, DPR telah menyerahkan keterangan tertulisnya bertanggal 31 Mei 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada Hari Rabu tanggal 07 Juni 2006 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

Mengenai Pokok Materi Permohonan

Di dalam permohonannya, Pemohon menyatakan, dengan diberlakukannya Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, para Pemohon menganggap hak kostitusionalnya dirugikan dengan alasan bahwa Pasal 1 Ayat (9) Undang-Undang

� Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keberadaan kata-kata “yang berat” dalam rumusan Pasal 1 Ayat (9) :“Amnesti adalah Pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”, pasal ini dianggap bertentangan dengan prinsip hukum dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum.

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: karena ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 telah menegasikan jaminan atas anti diskriminasi, persamaan di depan Hukum dan penghormatan martabat manusia yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan membuat kedudukan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku dan telah mendiskriminasikan hak atas pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) yang melekat pada korban dan tidak bergantung pada pelaku.

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Karena ketentuan pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 memposisikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai lembaga yang menjalankan fungsi peradilan sehingga menutup peluang bagi setiap orang atau korban untuk mendapat penyelesaian melalui proses peradilan.

Terhadap permohonan tersebut dapat disampaikan keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa Pembentukan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi didasarkan pada pertimbangan:

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas, sehingga korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya

� masih belum mendapatkan kepastian mengenai latar belakang terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat terhadap korban. Selain belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi atas penderitaan yang mereka alami, pengabaian atas tanggungjawab ini telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidak percayaan yang besar terhadap institusi hukum karena negara dianggap memberikan pembebasan dari hukuman kepada para pelaku. Penyelesaian menyeluruh terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sangat urgent untuk segera dilakukan karena ketidakpuasan dan ketegangan politik tidak boleh dibiarkan terus berlarut-larut tanpa kepastian penyelesaiannya. Dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi nasional. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 47 Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Tentang landasan hukum dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai sebuah jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat, selain hal-hal yang menjadi kewenangan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

2. Bahwa tujuan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa; dan untuk mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian.

3. Bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, didasarkan pada beberapa asas diantaranya, yaitu:

- Asas kemandirian, asas ini merupakan suatu asas yang digunakan komisi dalam melaksanakan tugasnya bebas dari pengaruh pihak manapun; - Asas bebas dan tidak memihak, asas ini mengandung makna bahwa komisi dalam melaksanakan tugas pengungkapan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berdasarkan fakta-fakta yang ada, dan tidak diskriminatif;

� - Asas kejujuran, asas ini mengandung makna bahwa Komisi dalam melaksanakan penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat harus mempunyai integritas yang tinggi, lurus hati, tidak berbohong, atau tidak melakukan perbuatan curang; - Asas keterbukaan, asas ini mengandung makna yang memberikan hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dengan tetap mempertahankan perlindungan hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara; - Asas perdamaian, asas ini mengandung makna bahwa dalam menyelesaikan perselisihan sebagai akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak untuk diselesaikan secara damai, misalnya korban memaafkan pelaku dan pelaku memberikan restitusi kepada korban;

4. Bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan hak ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat apabila permohonan amnesti dikabulkan oleh Presiden, merupakan perimbangan kedudukan antara pelaku dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang pada gilirannya untuk menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Amnesti adalah hak konstitusional presiden yang diberikan oleh konstitusi (dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, korban dari pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang pelakunya telah mendapat amnesti berhak untuk mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi dari Negara;

5. Bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bertujuan semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan seseorang (pillorying) atau menuntut, tetapi lebih pada usaha untuk memperoleh kebenaran yang pada akhirnya bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis antara pelaku, korban dan masyarakat. yang ketiga-tiganya pada dasarnya merupakan korban kejahatan;

� Keadilan dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sinonim dengan pengungkapan secara lengkap (complete disclosure) atas semua kejadian dengan menghadapkan dan mempertemukan secara jujur pelaku dan korban dengan menghindari hukum acara yang rumit. Proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertujuan menghindarkan terulangnya kejadian serupa di masa datang melalui proses rekonsiliasi dan tidak semata-mata mengarah pada pemidanaan atas dasar kemanusiaan dan kesadaran adanya rasa saling ketergantungan dalam masyarakat (community interdependence);

Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas dipandang 

sama pentingnya dengan pemidanaan dan/atau rehabilitasi pelaku kejahatan. Dengan demikian, secara terintegrasi dilihat adanya saling membutuhkan satu sama lain. Korban dan pelaku ditempatkan dalam posisi yang sama pentingnya dalam satu bangunan sosial.

6. Bahwa Pasal 44 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang mengatur mengenai pelangaran HAM yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad-hoc, tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berfungsi subtitusi (menggantikan) terhadap Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi tidak mengatur proses penuntutan hukum tetapi hanya mengatur mengenai:

- proses pengungkapan kebenaran; - proses pemberian kompensasi. restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban; dan - proses pertimbangan amnesti kepada pelaku;

Sehingga dalam rangka memberikan kepastian hukum, pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang telah diungkap dan diselesaikan oleh komisi tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.

7. Bahwa terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat yang tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia

� menyesali perbuatannya, maka yang bersangkutan kehilangan haknya mendapat amnesti dan dapat diajukan ke Pengadilan HAM ad-hoc.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Sehingga dari rumusan Pasal 29 Ayat (3) tersebut dapat diartikan bahwa Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial;

8. Bahwa Pasal 1 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menyatakan bahwa amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dapat dijelaskan bahwa secara universal pemahaman amnesti dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mempunyai makna khusus dan lebih terukur. Amnesti dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar mengakui sepenuhnya keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat semata-mata dimotivasi oleh aspek politis (associated with political objectives) yang bersifat proporsional. Motif lain, seperti keuntungan pribadi, kebencian individual, sakit hati, iri hati yang bersifat pribadi, tidak dapat dijadikan dasar amnesti. Selanjutnya pemohon amnesti harus bersedia didengar secara terbuka untuk menjawab pertanyaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, penasihat hukum korban dan/atau korban sendiri;

Menimbang bahwa pada persidangan pada hari Rabu, tanggal 21 Juni 2006, telah didengar keterangan saksi dan ahli dibawah sumpah yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya sebagai berikut:

Saksi Pemohon Marullah

- Saksi adalah sebagai korban kasus tanjung Priok tahun 1984;

- Bahwa pada saat kejadian kasus Tanjung Priok tahun 1984, Saksi masih berumur 15 Tahun mengikuti ceramah Agama yang disampaikan oleh Ustad Amir Biki, dan masyarakat menuntut agar Ustad dan pengurus pengajian yang berjumlah 4 orang yang ditahan di Kodim agar dibebaskan;

- Bahwa seluruh jamaah terus mendesak kepada Ustad Amir Biki, yang jumlahnya puluhan ribu orang berdemo mendatangi Kodim dan menuntut 4

� orang yang ditahan itu dibebaskan, namun sesampainya didepan Kodin para Jemaah telah dihadang pagar betis oleh pasukan tentara;

- Bahwa pada saat itu terdengan tembakan dan ada korban yang terluka dan ada pula yang meninggal, saya sempat ikut mengangkat mayat-mayat itu dikumpulkan didekat Mosolla;

- Bahwa saksi adalah salah satu korban penyiksaan dalam kasus Tanjung Priok;

- Bahwa saksi Ditahan di Guntur, LP Cimanggis, dan dipindahkan ke Rutan Salemba dan disidangkan dalam persidangan Anak-anak dan divonis 20 Bulan dipotong selama dalam tahanan, dalam sisa hukumannya dijalani di LP Cipinang selama 17 Bulan;

- Bahwa saksi adalah salah satu saksi hidup yang menunjukkan tempat-tempat korban pembunuhan yang dikuburkan antara lain dipekuburan Pondok Rangon, di Mengkok, dan dipekuburan Tipar Cakung;

- Bahwa saksi adalah salah satu dari ke 13 orang korban yang mendapatkan Kompensasi sebesar Rp 21.000.000,- (dua puluh satu juta rupiah);

Ahli Pemohon Dr. Tamrin Amal Tomagola (Ahli Sosiologi UI);

- Bahwa penghilangan hak-hak asasi manusia itu bertentangan dengan isi kalimat 

pertama dari Mukadimah.

- Bahwa hak-hak kemerdekaan manusia itu adalah tugas dan kewajiban negara 

untuk melindungi segenap warganya.

- Bahwa perdamaian antara semua pihak dalam rangka bangsa dan negara ini ada 

satu nilai yang dibela yaitu persatuan Indonesia, kekompakan seluruh unsur-unsur komponen bangsa dan negara, maka dengan ini jangan sampai ada segala macam tata cara yang nantinya akan dilakukan didalam KKR, yang itu justru akan meninggalkan luka yang tetap menganga tidak terobati, dan membuat kelompok- kelompok atau komponen bangsa itu tetap mempunyai jarak dan saling tidak percaya;

- Bahwa umat Islam atau kelompok Islam adalah kelompok yang paling menderita, 

yang dipinggirkan oleh Orde Baru, dan di Indonesia ini hanya ada dua kekuatan politik yang kuat, yaitu kekuatan militer dan kekuatan Islam;

- Bahwa kekerasan stuktural pada saat suatu akses terhadap alat-alat kekerasan 

sudah dimonopoli oleh negara dan alat Negara, sedangkan pihak lain terutama

� kelompok Islam sama sekali diniscayakan untuk memiliki akses-akses tersebut.

- Sebenarnya yang harus menjadi fokus dan point of concern dari seluruh proses 

KKR ini adalah korban, korban itu adalah point of concern dan hak-hak korban itu, termasuk hak untuk memaafkan dan mengampuni (primarily not solely), dan tidak semuanya, sebagian secara hukum negara bisa mengampuni, utama dan pertama adalah hak korban untuk melakukan pengampunan yang dalam hal Presiden disebut Amnesti;

- Jadi secara hak pengampunan itu adalah ditangan korban dan itu yang harus 

diupayakan dengan mekanisme yang penuh di KKR itu supaya terjadi karena kalau kita bisa selesaikan secara antar kelompok, mengapa kita harus bawa dan diselesaikan di Pengadilan;

Ahli Pemohon Dr. Asvi Warman Adam, APU., (Ahli Sejarah/Sejarahwan)

- Ahli akan kembali kepada masa sebelum Tahun 1965 ketika pada saat itu kekuatan politik itu bersumber atau berada di 3 (tiga) tangan yaitu Presiden Soekarno, Angkatan Darat dan PKI, namun pada level ditingkat bawah Masyarakat sudah terjadi konflik, konflik-konflik itu terjadi antara orang-orang PKI, BPI dan Ormasnya dengan kalangan Islam konflik-konflik itu disebabkan oleh apa yang disebut dengan aksi sepihak;

- Tanggal 30 September atau tanggal 1 Oktober 1965 pecah keseimbangan diantara Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI , Soekarno secara bertahan dan bertahap kemudian tersingkir dan PKI diangap sebagai dalang dalam peristiwa itu. Tahun 1965 – 1966 terjadi pembunuhan massal yang terjadi didaerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali;

- Pasukan RPKAD kemudian melatih pemuda-pemuda setempat, yang pertama pemuda kalangan Islam dan kemudian terjadilah penangkapan-penangkapan disertai dengan pembunuhan massal;

- Yang kedua untuk kasus di Indonesia sangatlah berbeda dengan kasus di Afrika Selatan, disana demikian banyak pelaku yang bersedia untuk memberikan kesaksian/pengakuan, karena mereka akan diberikan Amnesti. Hukum lebih tegak daripada di sini, dan mereka takut karena bila tidak melakukan kesaksian atau pengakuan mereka takut diseret ke Meja Pengadilan dan menurut mereka lebih baik begitu untuk menyelamatkan mereka, akan tetapi di Indonesia yang diadili dipengadilan HAM Ad hoc pun dibebaskan;

� - Yang ketiga kalau korban baru diberikan kompensasi, setelah ada amnesti mungkin akan terjadi kongkalikong juga karena korban mengharapkan kompensasi dan bisa berkompromi dengan pelaku, yang akan menceritakan kesaksiannya yang ringan-ringan saja;

- Bahwa pengakuan yang diberikan oleh para korban sangatlah terbatas dan berakibat merugikan dari hasil KKR, karena KKR ini merupakan pengungkapan kebenaran dari masa lampau yang selama ini tertutup, yang selama ini dalam sejarah resmi Indonesia, ditutup-tutupi dan digelapkan.

- Bahwa pasal yang menggantungkan nasib korban kepada amnesti dari pelaku sangat tidak adil dan juga mustahil dilakukan, hendaknya terlepas dari hak-hak korban untuk mendapat kopensasi itu melekat pada korban, jangan dikaitkan dengan sipelaku;

- Pada masa Orde Baru, hal itu dilakukan untuk mendiskriditkan Bung Karno dan menyanjung-nyanjung Soeharto disamping itu juga untuk menghancurkan suatu kelompok masyarakat, yang dianggap PKI atau PNI dan lain-lain;

- Menjadikan sejarah kembali sebagai alat pembebas, salah satunya adalah KKR, yang memberikan kesempatan kepada para korban untuk menceritakan pula yang mereka alami, ini bagian juga secara psikologi healing pengobatan menceritakan penderitaannya dulu;

Menimbang bahwa pada persidangan hari Selasa, tanggal 4 Juli 2006, telah didengar keterangan 1 (satu) orang saksi dan 3 (tiga) orang ahli dibawah sumpah yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya sebagai berikut:

Saksi Pemohon Mugiyanto

- Saksi adalah aktivis SMID, korban selamat penculikan/penghilangan aktivis Tahun 1998

- Saksi diculik pada tanggal 13 Maret 1998 dirumah kontrakan saksi di Klender pada pukul 19.00 malam oleh petugas dibawa dengan kendaraan dan berhenti di Pos Koramil duren sawit, setelah diintrerogasi kemudian dibawa lagi ke Kodim Jakarta Timuer.

- Saksi pada waktu itu sebagai aktivis mahasiswa, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMIK), yang memperjuangkan otonomi kampus anti menolak intervensi militer di kampus, demontrasi menuntut penurunan harga dan

� juga isu-isu nasional. Sekarang Saksi masuk dalam organisasi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).

- Saksi di pindahkan ke Kodam Jaya dan disitu juga diinterogasi dan disiksa selama 2 hari 2 malam, kemudian dipindahkan lagi ke Polda Metro Jaya disitu diperiksa dan di tuduh melanggar pasal-pasal anti subversi dan ditahan selama 3 bulan dari tanggal 15 Maret sampai 6 Juni 1998. Saksi dilepaskan karena ada perubahan Pemerintahan dari Pemerintahan Soeharto kepada Pemerintahan Presiden Habibie dan beliau mencabut Undang-Undang anti subversi.

- Saksi adalah satu dari 9 korban yang selamat sementara teman-teman anggota organisasi mencatat peristiwa penculikan aktivis tahun 1997-1998 itu ada 13 orang yang masih hilang dan 1 orang lagi yang dulunya dinyatakan hilang dan beberapa hari kemudian ditemukan sudah meninggal.

- Menurut saksi Pengadilan team mawar sangat belum menyentuh para pelaku, yang sudah dilakukan Pemerintah dan itu sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh korban, keluarga korban dan oleh saksi itu sendiri.

- Saksi sangat prihatin karena sampai saat ini kami sebagai warga yang baik, akan tetapi masyarakat tetap mempunyai anggapan bahwa kami sebagai orang Komunis, melawan pemerintah dan juga dicap sebagai fundamentalis, dan dampak-dampak yang kami rasakan adalah adanya diskriminasi, pemiskinan, pembodohan inilah kebijakan negara yang tidak adil.

Ahli Pemohon Rudi Muhammad Rizky, S.H., LL.M. (Dosen Hukum Internasional, Hukum HAM, Hukum Humaniter Internasional FH. Univ Pajajaran Bandung, Hakim Ad hoc Pengadilan HAM, Ahli Independen PBB, Bidang HAM dan Solidaritas Internasional)

- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini didirikan, kalau secara formal itu sudah memenuhi persyaratan sebagai KKR, seperti yang dicantumkan 8 persyaratan menurut Dougatt Principle, syarat minimum untuk 1 KKR. Yang pertama adalah didirikan oleh badan legislatif atau eksekutif yang dipilih secara demokratis, kemudian komisi harus memiliki kewenangan yang luas, mandatnyapun juga luas.

- Komisi harus berwenang untuk merekomendasikan reparasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat, kemudian amnesti berharap pelaku harus ditolak bagi pelaku yang menolak untuk bekerjasama dengan komisi atau menolak untuk membuka secara penuh kejahatanyang pernah mereka lakukan.

� - Penghukuman terhadap pelaku itu adalah sebetulnya obligation of the menkind as a whole, kewajiban terhadap umat manusia secara keseluruhan. Sedangkan victim compensation itu adalah untuk kepentingan korban atau ahli warisnya. Ini adalah ILC draft article mungkin ini banyak dipertanyakan daya memikatnya, tetapi kami yakin bahwa ini adalah dari sudut hukum internasional dan mengikat, karena memenuhi sebagai pendapat para ahli.

- Dari latar belakang Undang-Undang Nomor 27 itu salah satunya adalah untuk mengungkapkan kebenaran demi kepentingan korban dan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Jadi kepentingan korban di sini cukup mengemuka dan berkaitan dengan kewajiban atas remedi yang efektif.

- Pasal 27 dari Undang-Undang Nomor 27 ini adalah ”Kompensasi dan Rehabilitasi” dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan, ini tentunya akan menegaskan hak korban, karena amnesti itu harus diberikan. Amnesti itu harus diberikan apabila pelaku mengakui kesalahan, kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya dan bersedia minta maaf kepada korban dan ahli warisnya.

Ahli Pemohon Prof. Dauglas Cassel. (Dosen Hukum Pidana Internasional & Hukum Perang Internasional di Lillian McDermott, Sekolah Hukum Notredam, Amerika Serikat)

- Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tahun 2004 telah gagal untuk memenuhi tugas Indonesia sebagai Negara dan gagal untuk menghormati hak dari korban, keluarga dan juga masyarakatr Indonesia berdasarkan Hukum HAM Internasional. Hal ini ada 3 (tiga) cara:

1. Telah gagal menginvestigasi dan mengemukakan kebenaran tentang Kasus manapun yang sehubungan dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian sebelum tahun 2000.

2. Karena gagal untuk memberikan reparasi kepada korban dan Keluarga nya.

3. Telah gagal untuk menuntut dan secara layak menghukum para pelaku nya.

- Karena Indonesia merupakan anggota PBB dan juga Indonesia bagian dari piagam PBB karena merupakan suatu treaty atau perjanjian yang mengikat negara-negara. Berdasarkan Pasal 55 dan 56 dari piagam PBB semua negara

� bertanggung jawab terhadap HAM, berdasarkan perjanjian hukum internasional, suatu perjanjian itu harus diterjemahkan sebagai tindakan yang harus dilakukan oleh negara, sebagai tindakan kelanjutan yang harus dilakukan oleh negara.

- World Court atau pengadilan dunia sejak tahun 1927, dimana mensyaratkan adanya reparasi bagi setiap pelanggaran hak internasional, negara memiliki kewajiban untuk melakukan investigasi yang tuntas dan efektif, memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, menuntut dan menghukum pelaku, serta korban dan juga keluarganya memiliki hak untuk kebenaran atau mengetahui tentang kebenaran, serta memiliki hak untuk keadilan didalam bentuk penuntutan dan juga penghukuman terhadap pelaku;

- Sumber-sumber hukum dari kewajiban ini, antara lain terbagi dalam 3 (tiga) hal yang termasuk dalam Pasal 2.1 dari Covenant tentang investigasi:

1. Investigasinya harus tuntas;

2. Investigasinya harus efektif, dan

3. Semua pelaku harus bisa terindentifikasi;

- Penting untuk mengemukakan tentang ruang lingkup dari pemulihan yang efektif itu harus termasuk didalamnya tidak saja hanya akses keadilan. tetapi harus meliputi 5 (lima) elemen:

1. Restitusi, yaitu merupakan restitusi dari hak milik atau juga nama baik dari si Korban;

2. Kompensasi, dalam bentuk uang bagi kerugian-kerugian;
3. Rehabilitasi, termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis;
4. Tidakan-tindakan untuk memuaskan, termasuk didalamnya adalah 

Pengakuan oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggung jawab negara dan juga permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi;

5. Jaminan, bahwa ini tidak akan terulang lagi atau non repetisi;

- Pelanggaran umum yang ada di dalam Undang-Undang ini adalah masalah penuntutan dan juga penghukuman. Hukum internasional secara umum sebenarnya mendukung amnesti, tetapi ada pembatasan bagi pemberian amnesti berdasarkan hukum internasional, dan pembatasan tersebut berlaku secara khusus bagi genasida dan kejahatan terhadap kemunusiaan, dimana sebenarnya ini merupakan subjek dari Undang-Undang Komisi Kebenaran.

� Beberapa sumber yang berbeda-beda memberikan larangan yang berbeda- beda atau pembatasan yang beda-beda pula terhadap amnesti;

Ahli Pemohon Prof. Paul Van Zyl. (Dosen Hukum Internasional, Pengadilan Transisi, Hukum Internasional di Univ, New York dan Univ. Colombia USA, Mantan Eksekutif Sekretaris Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan)

- Bahwa bentuk dari Komisi Kebenaran Indonesia yan ada saat ini itu gagal untuk memenuhi standart yang dibuat oleh PBB tersebut, bahwa berdasarkan internasional standart hal tersebut dibuat untuk mencapai kebenaran dan keadilan;

- Satu-satunya yang mengajukan diri untuk menyatakan kebenaran lalu kemudian mengajukan amnesti itu adalah polisi dari Afrika Selatan. Karena adanya suatu persidangan yang berhasil dan kemudian menghukum Polisi. Dan kalau Militer Indonesia tidak takut untuk penuntutan dari kejahatan HAM berat yang dilakukan, maka kecil sekali alasannya untuk kemudian mempercayai bahwa mereka akan mau mengajukan diri dan menyatakan kebenaran lalu kemudian mengajukan untuk memperoleh amnesti. Kemudian KKR ini tidak akan berhasil untuk memperoleh kebenaran, dan akan menjadi sumber malu yang besar bagi pemerintah baik secara domestik maupun secara internasional;

- Bahwa konvensi tentang hak sipil dan politik ini sudah diadopsi ke dalam hukum domestik, begitu juga untuk konvensi terhadap anti penyiksaan didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 7 dari Undang-Undang tersebut menyatakan Provisi yang diatur didalam hukum internasional tentang HAM yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia. Maka akan dianggap berlaku atau secara hukum mengikat di Indonesia bahwa apa yang tercantum dalam Undang- Undang Komisi Kebenaran ada beberapa provisinya yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Internasional, sebagaimana diatur dalam konvensi Internasional hak sipil dan hak politik dan juga konvensi internasional anti penyiksaan. Ketentuan ini adalah Pasal 1 Ayat (9), Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 44, dimana berdasarkan pasal-pasal tersebut diperbolehkan bahwa Komisi itu merekomendasikan kepada Presiden bahwa pelaku pelanggaran HAM berat bisa mendapatkan amnesti;

- Amnesti yang diatur di dalam Undang-Undang KKR juga melanggar Pasal 6 dari ICCPR, dalam artikel 6 dikatakan bahwa ”Setiap manusia memiliki hak yang diwariskan untuk hidup”. Hak ini harus dilindungi oleh hukum atau Undang-Undang dan tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang menghilangkan haknya, dan

� dimana dalam hal ini yurisprudensi juga mengatakan bahwa hak untuk hidup tersebut termasuk di dalamnya adalah kewajiban negara untuk menginvestigasi pembunuhan untuk membawa ke dalam keadilan siapapun orang yang bertanggang jawab bagi kematian atau pembunuhan itu;

- Dalam Pasal 2 Ayat (3) dari ICCPR dimana disitu dikatakan bahwa setiap negara pihak ”titk-titik” melakukan ” titik-titik” untuk menjamin bahwa semua orang haknya atau kebebasannya yang dikenal disini dilanggar harus memperoleh pemulihan yang efektif, bahwa merupakan suatu kewajiban negara untuk memberikan reparasi kepada para korban. Pasal 27 dari Undang-Undang KKR juga merupakan pelanggaran terhadap konvensi anti penyiksaan, dimana Pasal 14 Ayat (1) dikatakan bahwa negara harus menjamin korban dari penyiksaan memperoleh pemulihan dan memiliki hak yang dapat diberlakukan untuk kompensasi yang cukup dan adil termasuk tindakan-tindakan sebagai rehabilitasi penuh;

- Bahwa human right komisi sekarang di repleced atau digantikan oleh Human Right Council. Dan bahwa Pemerintah Indonesia itu memegang suatu peranan yang penting didalam council tersebut. Prinsip 24 dan prinsip 19 untuk masalah ini relevan, dimana dikatakan amnesti dan bentuk-bentuk tindakan lain harus dibatasi untuk bisa menjaga dengan ikatan-ikatan tertentu;

- Tentang prinsip-prinsip dasar dan juga pedoman untuk hak memperoleh pemulihan, dimana hal itu diberlakukan oleh Majelis Umum PBB pada 16 Desember 2005, dalam Pasal 12 dikatakan bahwa korban dari pelanggaran berat hukum internasional HAM harus memperoleh akses yang seimbang untuk pemulihan yudisial yang efektif, berdasarkan hukum internasional. Dimana Undang-Undang Komisi Kebenaran yang ada sekarang itu telah gagal dan tidak sesuai dengan trend Internasional, dimana sekarang trend Internasional adalah untuk memperoleh “ kebenaran dan kadilan”;

Menimbang bahwa pada persidangan hari Rabu, tanggal 2 Agustus 2006, telah didengar keterangan dari Ketua KOMNAS HAM, Mantan Ketua PANSUS RUU KKR Drs. Sidarto Danusubroto, S.H. (selain bemberi keterangan lisan juga menyampaikan keterangan tertulis bertanggal 02 Agustus 2006, yang diterima di Kepaniteraan Hari Rabu tanggal 02 Agustus 2006, jam 15.00 WIB) dan 1 (satu) orang Ahli dari luar negeri di bawah sumpah yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya sebagai berikut:

� Ahli Pemohon Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. (sebagai Ketua KOMNAS HAM)

1. Bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan tentang pengadilan HAM, tetapi masalah Pengadilan HAM ini di atur lebih lanjut di dalam UU Nomor 26 Tahun 2000.

2. Bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu dapat diselesaikan melalui dua avenue hukum, untuk mencapai keadilan. Avenue pertama, melalui Pengadilan HAM Ad hoc, pembentukannya atas usul DPR kepada Presiden, kemudian Presiden mengeluarkan Keppres. Avenue kedua, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 3. Apabila benar itu suatu kebenaran yang uncontestable, maka konpensasi dan rehabilitasi itu tidak bisa dikaitkan dengan dikabulkan atau tidak dikabulkannya amnesti oleh Presiden. Apa penyebab Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi memverifikasi kebenaran suatu peristiwa, pelanggaran HAM berat yang terjadi? Siapa pelakunya dan siapa yang menjadi korban? 4. Jadi amnesti tidak bisa menjadi syarat untuk sebuah pembayaran kompensasi dan rehabilitasi. Karena amnesti itu merupakan proses tersendiri dan bersifat kondisional. Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan; “Dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya dan bersedia minta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia untuk memaafkan, maka komisi memutus pemberian amnesti itu secara mandiri dan objektif”. Jadi secara mandiri dan objektif tidak bisa dikaitkan dengan kompensasi dan rehabilitasi, karena kompensasi dan rehabilitasi itu menjadi tanggung jawab Negara dan terkait dengan fakta –fakta yang di temukan oleh Komisi Kebenaran. 5. Berkenaan dengan Pasal 44 menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28D, dan Pasal 28I yang menyatakan; “Dalam hal ini pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad hoc”. Pasal 44 itu sebagai akibat logis dan dianutnya konsepsi yang dirumuskan dalam pasal 29 Ayat (2) dan (3). Amnesti itu hanya bisa diberikan oleh Presiden, dan direkomendasikan oleh KKR kepada Presiden apabila syarat tersebut dipenuhi. 6. Jika KKR di proses melalui Pengadilan HAM Ad hoc, maka proses Pengadilan HAM Ad hoc akan digelar apabila permohonan amnesti itu ditolak. Terkait

� dengan Pasal 7 Ayat (1) huruf i menyatakan; “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, KKR mempunyai wewenang menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti apabila perkara sudah didaftarkan ke Pengadilan HAM”. Jadi penolakan permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau amnesti itu dikaitkan dengan sebuah perkara, sudah didaftarkan atau tidak ke Pengadilan HAM. 7. Jika kasus pelanggaran HAM berat tidak mungkin diselesaikan melalui KKR, maka dapat melalui Pengadilan HAM Ad hoc. Tapi jika dalam suatu kasus tertentu permasalahan pelanggaran HAM berat, lebih tepat diselesaikan melalui KKR.

Ahli Pemohon Sidarto Danusubroto (Mantan Ketua PANSUS RUU KKR)

1. Bahwa proses dibentuknya Undang-Undang diharapkan dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat pada Undang-Undang yang terdahulu. Ahli ingin mengatakan bahwa lebih baik Undang-Undang lahir dengan sedikit cacat dari pada tidak sama sekali. Karena pembentukan Undang-Undang itu bukanlah hal yang mudah dan sederhana. 2. Dengan keberadaan Undang-Undang KKR, mengenai Truth telling yaitu pengungkapan kebenaran pada masa orde baru merupakan suatu hal yang sangat jarang untuk dibicarakan, saat ini menjadi terakomodasi dalam hukum. Pertama kali truth telling diwadahi oleh hukum walaupun sekarang sudah tidak terakomodasi lagi oleh hukum. Delegasi Afrika Selatan pernah menanyakan “Kenapa Truth telling sudah tidak terakomodasi lagi oleh hukum?” Ahli mengatakan karena tidak sesuai dengan kultural budaya kita. Jelasnya hukum sudah memadahi, tetapi tidak sesuai dengan budaya Indonesia. 3. Terkait dengan Pasal 27 yang dapat mengeliminir keberadaan Pasal 19 . Mengenai Pasal 27 terkait dengan Pasal 19, pasal yang ditujukan hak uji materil kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan oleh Presiden. Ketika PANSUS membahas Pasal 27, belasan korban pelanggaran HAM berat menyatakan keberatan terhadap pasal tersebut. 4. Penolakan terhadap Pasal 27 yang disampaikan oleh para korban pelanggaran HAM berat dan Lembaga Bantuan Hukum yang memperjuangkan hak korban sangat dimengerti. Namun konstelasi politik pada waktu itu membuat fraksi-

� fraksi di DPR menerima rumusan Pasal 27 seperti adanya sekarang ini. Penerimaan rumusan Pasal 27 oleh DPR RI adalah hasil dari musyawarah fraksi-fraksi yang terdapat didalam DPR, sehingga pembahasan Undang- Undang KKR tidak sampai berlarut-larut dan deadlock. Apabila hal ini terjadi maka dapat dipastikan proses pembahasan mengenai Pasal 27 akan mengalami penundaan dan kemungkinan besar akan dilanjutkan oleh Anggota DPR berikutnya masa bakti Tahun 2004-2009. Dan tentunya harus lebih memahami substansi dan filosofi dari Undang-Undang KKR. 5. Pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime sehingga penyelesaiannya tidak dapat mempergunakan ketentuan hukum yang sudah ada, seperti KUHP dan sebagainya, harus melalui jalur khusus. Untuk itu dengan amanat Pasal 104 Ayat 39 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia telah dibentuk suatu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Undang-Undang ini diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia baik perorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam menegakkan hukum, keadilan, rasa aman, baik perorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran HAM berat. 6. Tap MPR Nomor V juga menyebutkan perlunya dibentuk KKR (transitional justice). Didalam KKR tersebut terdapat Avenue Pengadilan Ad Hoc, dan Avenue Pengadilan KKR. Ini disebut Complementary law, langkah yang ditempuh adalah pengungkapan kebenaran, truth telling, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, Amnesti, rehabiltasi, dan alternatife lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan didalam masyarakat. 7. Mengenai Pasal 1 Ayat (9), amnesti adalah hak pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Pasal 1 adalah merupakan ketentuan umum, sehingga yang diatur didalam pasal ini, ada hal yang bersifat normatif. Selain itu juga, apa yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (9) ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan; “bahwa Presiden memberi Amnesti dan abolisi dengan menyatakan bahwa Pasal 1 Ayat (9) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Perdebatan panjang yang cukup melelahkan selama 16 bulan menunjukkan bahwa proses untuk melahirkan UU yang diharapkan dapat

� dipergunakan untuk mengubur masa lalu yang kelam bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. 0leh sebab itu, dalam berbagai kesempatan, saya sebagai Ketua Pansus selalu mengatakan bahwa lebih baik Undang-Undang ini lahir dengan agak “cacat” dari pada tidak sama sekali.

Namun demikian, beberapa hal penting yang perlu dicatat dari hasil yang sudah dicapai oleh Pansus adalah :

1. DPR RI telah berusaha menjalankan tugas yang diamanatkan oleh rakyat sesuai amanat TAP MPR Nomor V/MPR/2000 dengan sebaik-baiknya, walaupun sangat disadari bahwa hasil tersebut belumlah maksimal sehingga dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak yang berkepentingan. Perlu dipahami bahwa setiap keputusan penting, terlebih lagi bila hal tersebut menyangkut kehidupan jutaan orang tentang sesuatu hal yang sangat sensitif, pastilah akan menimbulkan perdebatan dan perbedaan sikap dalam menanggapi dan memahaminya. Namun demikian, menurut pendapat beberapa kalangan, seperti Masyarakat Peduli Hukum, hasil akhir dari pekerjaan DPR RI (Pansus RUU KKR) masih lebih baik bila dibandingkan dengan draft awal yang disampaikan oleh pemerintah, yang dapat dilihat dari beberapa perubahan signifikan yang telah dilakukan, diantaranya adalah :

a. Pengungkapan kebenaran yang selama ini khususnya pada masa Orde Baru merupakan sesuatu hal yang sangat "alergi" untuk dibicarakan, dengan keberadaan UU tentang KKR menjadi terakomodasi dalam hukum, melalui pembentukan sub-komisi seperti yang diatur dalam Pasal 16 yaitu : a. subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; dan c. subkomisi pertimbangan amnesti.

b. Jumlah anggota komisi yang semula diusulkan berjumlah 15 orang disepakati ditambah menjadi 21 orang yang terdiri dari 3 orang pimpin an, 9 orang anggota sub komisi penyelidikan dan klarifikasi; 5 orang anggota subkomisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, dan 4 orang anggota subkomisi pertimbangan amnesti.

c. Panitia seleksi yang dalam draft ditentukan 5 orang dengan komposisi 3 unsur pemerintah dan 2 unsur masyarakat, diubah menjadi 2 dari pemerintah dan 3 dari unsur masyarakat.

� d. Masa kerja komisi dari yang diusulkan selama 3 tahun dan dapat diperpanjang selama 2 tahun, akhirnya diubah menjadi menjadi 5 tahun dan dapat diperpanjang 2 tahun.

Perlu dipahami bahwa ada 2 (dua) masalah penting yang mengundang perdebatan panjang dalam pembahasan RUU KKR, yaitu mengenai pengungkapan kebenaran dan Pasal 27. Banyak pihak yang merasa "keberatan" dicantumkannya ketentuan mengenai pengungkapan kebenaran dalam UU, karena dengan demikian akan membuka peluang bagi terbukanya berbagai persoalan bangsa yang selama ini berusaha untuk "dilupakan". Sedangkan terkait dengan Pasal 27, keberatan berasal dari pihak korban dan keluarga korban, karena Pasal 27 ini dapat diartikan akan mengeliminir keberadaan Pasal 19.

TANGGAPAN TERHADAP PASAL YANG DIAJUKAN HAK UJI MATERIIL

1. Pasal 27 : Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.

Ketika Pansus membahas Pasal 27, ada sekitar 15 organisasi korban yang menyatakan keberatan dengan pemberlakuan pasal ini, diantaranya adalah Forum komunikasi Eks Menteri Kabinet Dwikora Korban Penyalahgunaan Supersemar, Tim Advokasi Jajaran TNI AD, Tim Advokasi Jajaran TNI AU, Tim Advokasi Jajaran TNI AL, Tim Advokasi Jajaran Polri Paguyuban Korban Orde Baru, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM, Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa '65 Bali. Keberatan atau penolakan terhadap ketentuan Pasal 27 yang disampaikan oleh korban dan lembaga yang selama ini memperjuangkan hak-hak korban sangat dipahami. Namun konstalasi politik pada waktu itu membuat fraksi- fraksi di DPR menerima rumusan Pasal 27 seperti adanya sekarang. Penerimaan DPR RI terhadap keberadaan pasal ini adalah sebagai bentuk kompromi sehingga pembahasan RUU KKR tidak sampai berlarut-larut dan deadlock. Kalau hal ini terjadi, maka dapat dipastikan proses pembahasan mengalami penundaan dan kemungkinan besar akan dilanjutkan oleh anggota DPR RI periode 2004 - 2009, yang tentunya harus belajar dari awal untuk memahami substansi dan filosofi dari RUU KKR. Dengan demikian, pembahasannya akan Iebih berkepanjangan, dan dikhawatirkan saksi-saksi

� hidup yang masih ada akan berkurang satu demi satu, dan keberadaan KKR nantinya tidak akan terlalu signifikan lagi karena sudah semakin kehilangan momentum. Oleh sebab itu, ketika RUU KKR disahkan, mayoritas anggota Pansus berpendapat bahwa keberatan pihak-pihak yang masih merasa kurang puas sebenarnya dapat disalurkan melalui beberapa wadah yang sudah tersedia seperti misalnya mengajukan "Hak Uji Materil" kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan saat ini.

2. Pasal 44: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan "extra ordinary 

crimes" sehingga penyelesaiannya juga tidak dapat mempergunakan ketentuan hukum yang sudah ada, seperti misalnya KUHP, sehingga harus melalui "jalur khusus". Untuk itu, sesuai dengan amanat Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah dibentuk suatu Undang- Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Nomor 26 Tahun 2000), yang diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman, baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Disamping adanya Pengadilan HAM ad hoc, TAP MPR Nomor V/MPR/2000 

juga menyebutkan perlunya dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang merupakan lembaga extra-yudicial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perUndang-Undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah yang ditempuh adalah pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Hal pertama yang sudah menjadi kesepakatan semua pihak ialah bahwa 

Rekonsiliasi, yang di dalamnya termasuk Rehabilitasi nasional, merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan dan

� Kesatuan Nasional, yang berlanjut ke dalam suatu paket dengan pemberlakuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ad hoc, serta merupakan bagian dari pelaksanaan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara negara, yang sejalan dengan maksud dan tujuan Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama Pasal 28A – 28J tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Salah satu dasar pemikiran terpenting yang melandasi betapa mendesaknya 

dilakukan Rekonsiliasi dan Rehabilitasi nasional adalah untuk menunjukkan perwujudnyataan upaya bangsa Indonesia menuju ke masa depan yang lebih baik dengan meninggalkan dendam politik dan trauma masa lalu.

Beranjak dari pemahaman tersebut di atas, maka Pansus RUU KKR membuat 

rumusan Pasal 44 seperti yang ada saat ini. Memang dapat dipahami bahwa dalam berbagai teori pengertian KKR sebagai lembaga ekstra yudisial adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di luar pengadilan. Namun Kalau kasus-kasus yang sudah diungkap dan diselesaikan oleh Komisi masih dapat diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc, maka :

a. Tujuan yang diuraikan di atas tidak akan tercapai, b. Tidak ada kepastian hukum, baik bagi pelaku maupun bagi korban. c. Tidak ada pelaku yang mau mempergunakan KKR sebagai mekanisme

penyelesaian masalah pelanggaran HAM.

3. Pasal 1 Ayat (9): Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 1 adalah merupakan Ketentuan Umum, sehingga yang diatur pada 

bagian ini adalah hal-hal yang bersifat normatif. Selain itu, apa yang diatur dalam Pasal 1 ayat (9) ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”:

Pasa 28D Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa : Setiap orang berhak atas 

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum, sedangkan Pasa 28I Ayat (5) menegaskan bahwa : Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi

5

� manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan. Dengan demikian, tidak ada relevansinya menyatakan Pasal 1 Ayat (9) bertentangan dengan UUD; dan diajukan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Konstitusi.

Ahli Pemohon Prof. Naomi Roht-Arriaza (Ahli Transitional Justice, Hukum HAM Internasional, Universitas California, USA)

1. Definisi korban bisa ditemukan didalam deklarasi, mengenai prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban dari kejahatan dan penyalahgunaan kewenangan. Hal Ini sudah diadopsi oleh Resolusi General Assembly pada tanggal 29 November 1985. Seseorang yang disebut sebagai korban adalah mereka yang secara individu atau secara kolektif telah menderita suatu kesengsaraan, termasuk didalamnya luka secara fisik maupun secara mental, juga penderitaan emosi, kerugian ekonomi dan juga gangguan substansi terhadap hak-hak mereka yang fundamental. 2. Seseorang itu dapat dianggap sebagai korban, tanpa peduli apakah pelakunya itu berhasil diidentifikasi atau tidak, ditangkap atau tidak, dituntut atau tidak, dan tanpa memperdulikan tentang hubungan persaudaraan antara si korban dengan si pelaku. Jadi ini merupakan suatu prinsip dasar, siapa yang disebut sebagai korban, tidak bisa dipengaruhi apakah si pelakunya itu dapat diidentifikasi atau tidak, dan itu juga berlaku sama untuk amnesti. 3. Bahwa negara tidak hanya harus memberikan pemulihan dan reparasi. Tetapi negara juga harus meyakinkan atau menjamin bahwa paling tidak hukum domestiknya memberikan suatu perlindungan dengan apa yang diisyaratkan oleh tanggung jawab atau kewajiban internasional. Resolusi tersebut juga menyatakan bahwa negara harus memberikan atau menyediakan bagi mereka yang menyatakan diri sebagai korban dari pelanggaran HAM atau pelanggaran hukum perang dengan suatu akses yang efektif dan setara untuk memperoleh keadilan. Negara juga harus memberikan ganti rugi yang efektif bagi korban, termasuk didalamnya reparasi. 4. Kewajiban untuk memberikan reparasi diatur didalam semua aspek, sebagai mana diatur dalam hukum internasional. Didalam ruang lingkup, sifat alamiahnya, bentuknya, dan juga untuk penentuan siapa yang dapat memperoleh akibat atau manfaat dari itu tidak dapat dimodifikasi oleh negara tersebut dan juga negara tidak bisa menolak untuk comply atau mematuhinya

� dengan membuat hal-hal yang berbeda didalam prvfisi atau ketentuan hukum domestik 5. Berdasarkan hukum internasional korban pelanggaran HAM berat adalah korban yang hak asasi manusianya dilanggar. Jadi pada poin dimana kejahatan atau kekerasan tersebut dilakukan, maka pada saat itulah orang tersebut memperoleh status sebagai korban. Negara akan memberikan hak kepada korban pelanggaran untuk memperoleh akses keadilan dan juga untuk memperoleh pemulihan atau reparasi. Jadi ini adalah dua hak yang terpisah tetapi saling berhubungan. 6. Bahwa praktik di Indonesia, berbeda dengan praktik di negara-negara lain. Dapat dikatakan bahwa prosedurnya berbeda, karena prosedurnya bersifat insidentil, dimana prosedurnya dapat dilihat dari masing-masing insiden dan tidak memberikan kesempatan bagi korban pelangaran HAM berat untuk melihat suatu prosedur berdasarkan pola keseluruhan. 7. Amnesti itu diperbolehkan sesudah konflik. Meskipun demikian ada pembatasan yang membatasi, dimana kejahatan-kejahatan tertentu yang tidak boleh diberikan amnesti. Dimana berdasarkan praktik yang ada saat ini dan juga berdasarkan hukum, dikatakan bahwa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang terbatas dan tidak dapat diberikan amnesti. Ini adalah suatu kesepakatan internasional yang termuat didalam perjanijan-perjanjian, misalnya treaty anti torture atau anti penyiksaan, dimana Indonesia juga merupakan bagian dari perjanjian tersebut. 8. KKR memperbolehkan beberapa bentuk amnesti yang paling banyak diketahui, misalnya KKR Afrika Selatan, dimana KKR Afrika Selatan membolehkan Amnesti sebagai ganti atau tukar menukar dengan kebenaran, akan tetapi bagi mereka yang tidak secara keseluruhan atau secara total menyatakan kebenaran akan di tuntut, begitu juga berlaku sama untuk reparasi terhadap korban. Menurut Undang-Undang Indonesia amnesti itu mungkin tidak diberikan tetapi tetap saja si korban ini mungkin tidak dapat melanjutkan kasusnya. 9. KKR yang terdapat di Timor Timur, memiliki prosedur rekonsiliasi didalam masyarakat sebagai bagian dari prosedur dari KKR tersebut. Tetapi itu hanya berlaku untuk kejahatan-kejahatan minor atau kejahatan yang lebih ringan. Di Colombia tidak ada KKR, tetapi ada Undang-undang tentang kedamaian dan

� keadilan, dimana Undang-Undang tersebut memperboleh- kan pengurangan masa hukuman 5 (lima) tahun. Dalam hal ini, Negara Colombia hanya menyatakan kebenaran dan reparasi, tetapi tidak menyediakan amnesti. Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulannya yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa tanggal 29 Agustus 2006;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam Berita Acara Persidangan dianggap telah termasuk dan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas.

Menimbang bahwa terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam perkara ini, yaitu:

1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan yang diajukan oleh para Pemohon; 2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; 3. Pokok permohonan yang menyangkut konstitusionalitas undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon.

Terhadap ketiga hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai 

berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH

Menimbang Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

� kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus tentang hasil pemilihan umum.” Ketentuan tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK);

Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4429, selanjutnya disebut UU KKR) terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon tersebut.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)

Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:

a. perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Menimbang bahwa selain itu, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya, Mahkamah telah menentukan lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK, sebagai berikut:

a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

� b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Menimbang bahwa dalam menjawab persoalan apakah para Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian ini, maka harus diperiksa (i) dalam kualifikasi apakah para Pemohon akan dikategorikan, dan (ii) hak konstitusional apa yang dimiliki dan dirugikan dengan berlakunya UU KKR;

Memimbang bahwa Pemohon I sampai dengan VI mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf c, akan tetapi berdasar alat-alat bukti yang diajukan, tidak ditemukan adanya pengesahan sebagai badan hukum yang telah dilakukan Departemen Hukum dan HAM sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Di lain pihak, Pemohon I sampai dengan VI tersebut yang mendasarkan diri pada apa yang oleh Pemohon sendiri disebut sebagai organisational standing, hanya sebagai perkumpulan, yang belum memperoleh kedudukan sebagai badan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tersebut hanya dapat dikualifikasikan sebagai perorangan warganegara atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Dengan demikian kualifikasinya sama dengan Pemohon VII dan VIII sebagai perorangan warga negara Indonesia.

Menimbang para Pemohon mendalilkan bahwa yang menjadi hak konstitusional adalah hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) untuk tidak disiksa, hak untuk hidup, dan hak untuk memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi yang dijamin oleh UUD 1945. Berlakunya UU KKR, telah didalilkan merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena UU KKR dianggap memberi jaminan, penghormatan dan perlindungan HAM para Pemohon sebagaimana

� disebut Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945, terutama karena Pasal 1 angka 9 Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, menentukan syarat kompensasi dan rehabilitasi digantungkan pada dikabulkannya amnesti, hal mana dapat menegasi hak atas rehabilitasi dan kompensasi sebagai HAM, yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi menurut UUD 1945 tanpa syarat, menjadi tidak pasti.

Menimbang bahwa Pasal 1 angka 9 UU KKR berbunyi, Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Pasal 27 UU KKR berbunyi, ”Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.

Pasal 44 UU KKR berbunyi, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc”.

Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut:

1. Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin oleh undang-undang yang sesuai dengan undang-undang dasar. 2. Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang persamaan di depan hukum dan di pemerintahan serta menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang mengatur jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” serta Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 berbunyi, ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

� 3. Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945, yang mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Menimbang Pemohon VII dan VIII, masing-masing adalah perseorangan yang mendalilkan dirinya sebagai korban penculikan dan penghilangan paksa tahun 1997-1998, dan bekas tahanan politik selama 14 tahun atas tuduhan terlibat G-30-S tanpa diadili dan dinyatakan bersalah. Berdasarkan anggapan bahwa UU KKR telah bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 tersebut di atas dan merugikan hak konstitusional Pemohon VII dan VIII terutama untuk Pasal 28D Ayat (1) yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 28I Ayat (1) yang berbunyi, ”Hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa ...”, Pasal 28I Ayat (4) yang berbunyi, ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”, Mahkamah berpendapat hak konstitusional Pemohon VII dan VIII yang tersebut di atas yang dianggap telah dirugikan oleh UU KKR dimaksud sehingga oleh Mahkamah dapat diterima sebagai pihak yang memenuhi syarat Pasal 51 Ayat (1) UU MK. Oleh karena itu Pemohon VII dan VIII mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan ini. Adapun tehadap Pemohon I sampai dengan VI sebagai lembaga sosial masyarakat yang memberi advokasi dan perhatian serta perjuangan untuk membela hak-hak asasi para korban pelanggaran HAM dan bahkan telah ikut serta dalam dengar pendapat di DPR dalam proses pembentukan UU KKR, yang menganggap HAM yang dimuat dalam UUD sebagai hak dan kepentingan mereka sebagai warga negara, maka sesuai dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU- III/2005, serta Nomor 003/PUU-III/2005 Mahkamah berpendapat Pemohon I sampai dengan VI memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

� Sementara itu dua orang hakim konstitusi H.AS. Natabaya dan H.Achmad Roestandi, berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan VI tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk beracara di hadapan Mahkamah. Hal ini didasarkan bahwa para Pemohon I sampai dengan VI selaku asosiasi yang mendalilkan sebagai korban menurut undang-undang a quo tidak beralasan, karena selaku asosiasi menurut hukum pidana tidaklah mungkin para Pemohon dapat dikualifikasi sebagai korban pelanggaran HAM berat menurut Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sedangkan para Pemohon VII dan VIII, selaku perorangan juga tidak dapat dikualifikasi sebagai korban menurut undang-undang a quo disebabkan para Pemohon tidak memenuhi pengertian korban yang diatur Pasal 1 Angka 5 juncto Pasal 1 Angka 4 UU KKR. Lebih-lebih lagi lembaga KKR yang mempunyai kewenangan untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat belum terbentuk, khususnya kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat masih prematur.

III. POKOK PERMOHONAN

Menimbang bahwa dalil permohonan Pemohon menyatakan Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 27 UU KKR membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara.

2. Amnesti dalam Pasal 27 UU KKR mensyaratkan adanya pelaku. Konsekuensinya tanpa adanya pelaku yang ditemukan, maka amnesti tidak akan mungkin diberikan, sehingga korban tidak mendapat jaminan atas pemulihan;

3. Ketentuan ini telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung pada pemberian amnesti.

4. Implikasi dari perumusan Pasal 27 UU KKR telah membuat kedudukan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku dan telah mendisriminasikan hak atas pemulihan yang melekat pada korban, dan tidak bergantung pada pelaku

� dan tidak menghargai korban yang telah menderita akibat pelanggaran HAM yang berat yang dialaminya.

5. Pasal 44 UU KKR memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan lembaga pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial.

6. Pengaturan Pasal 44 UU KKR yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan HAM Ad Hoc, apabila pemeriksaan tersebut telah diselesaikan melalui KKR telah menghilangkan hak negara dalam menuntut pelaku pelanggaran HAM yang berat sebagaimana yang diatur dalam hukum internasional baik yang diatur dalam praktik maupun dalam perjanjian- perjanjian internasional.

7. Amnesti bagi pelanggaran HAM berat bertentangan dengan hukum internasional, namun dalam rumusan Pasal 1 Angka 9 UU KKR justru menjelaskan bahwa amnesti diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat sehingga pasal tersebut bertentangan dengan prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat internasional.

Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya para Pemohon telah 

mengajukan alat-alat bukti surat yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-36b, dua orang saksi, dan enam orang ahli yang keterangannya telah diuraikan secara lengkap dalam duduk perkara yang pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Keterangan Saksi.

1. Saksi Marullah: - Bahwa saksi adalah salah satu korban penyiksaan dalam kasus Tanjung Priok yang ditahan di Guntur, LP Cimanggis, kemudian dipindahkan ke Rutan Salemba. Saksi disidangkan dalam persidangan anak-anak dan divonis 20 bulan penjara dipotong selama dalam tahanan, dan sisa hukumannya dijalani di LP Cipinang selama 17 bulan;

- Bahwa saksi adalah salah satu saksi hidup yang menunjukkan tempat-tempat 

korban pembunuhan yang dikuburkan antara lain di Pekuburan Pondok Rangon, di Mengkok, dan di Pekuburan Tipar Cakung. Saksi adalah salah satu dari ke-13 orang korban yang mendapatkan kompensasi sebesar

Rp 21.000.000,- (dua puluh satu juta rupiah).

� 2. Saksi Mugiyanto: - Saksi sebagai aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMIK) yang memperjuangkan otonomi kampus dan menolak intervensi militer di kampus, diculik pada tanggal 13 Maret 1998 dirumah kontrakan saksi di Klender pada pukul 19.00 WIB oleh petugas dibawa dengan kendaraan dan berhenti di Pos Koramil Duren Sawit, setelah diintrerogasi kemudian dibawa lagi ke Kodim Jakarta Timur;

- Saksi dituduh melanggar pasal-pasal antisubversi dan ditahan di Kodim Jakarta Timur, dipindahkan ke Kodam Jaya, kemudian ke Polda Metro Jaya selama tiga bulan dari tanggal 15 Maret sampai dengan 6 Juni 1998. Saksi dilepaskan karena ada perubahan pemerintahan dari Pemerintahan Soeharto kepada Pemerintahan Presiden Habibie dan beliau mencabut Undang-Undang Antisubversi;

- Saksi adalah satu dari sembilan korban yang selamat sementara teman- teman anggota organisasi mencatat peristiwa penculikan aktivis tahun 1997-1998 itu ada 13 orang yang masih hilang dan seorang lagi yang dulunya dinyatakan hilang, beberapa hari kemudian ditemukan sudah meninggal;

- Menurut saksi, Pengadilan Tim Mawar belum menyentuh para pelaku, sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh korban, keluarga korban, dan oleh saksi sendiri;

- Saksi sangat prihatin karena sampai saat ini saksi sebagai warga yang baik, akan tetapi masyarakat tetap mempunyai anggapan bahwa saksi sebagai orang komunis, melawan pemerintah dan juga dicap sebagai fundamentalis, dan dampak-dampak yang saksi rasakan adalah adanya diskriminasi, pemiskinan, dan pembodohan. Ini merupakan kebijakan negara yang tidak adil.

Keterangaan Ahli:

1. Ahli Dr. Tamrin Amal Tomagola:

- Bahwa penghilangan HAM itu bertentangan dengan isi kalimat pertama dari Pembukaan UUD 1945 dan hak-hak kemerdekaan manusia itu adalah tugas dan kewajiban negara untuk melindungi segenap warganya;

- Bahwa perdamaian antar semua pihak dalam rangka persatuan Indonesia dan kekompakan seluruh unsur-unsur komponen bangsa dan negara, maka KKR

� diharapkan tidak justru meninggalkan luka yang tetap menganga tidak terobati, dan membuat kelompok-kelompok atau komponen bangsa itu tetap mempunyai jarak dan saling tidak percaya;

- Sebenarnya yang harus menjadi fokus dan point of concern dari seluruh proses KKR ini adalah korban dan hak-hak korban, termasuk hak untuk memaafkan dan mengampuni. Yang utama dan pertama adalah hak korban untuk melakukan pengampunan yang dalam hal Presiden disebut amnesti;

- Oleh karena itu, hak pengampunan berada di tangan korban yang harus diupayakan dengan mekanisme yang penuh di KKR agar dapat diselesaikan antarkelompok, tanpa harus melalui pengadilan;

2. Ahli Dr. Asvi Warman Adam, APU.:

- Sebelum tahun 1965, kekuatan politik bersumber atau berada di tangan tiga unsur, yaitu Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Namun pada level di masyarakat sudah terjadi konflik yang melibatkan PKI, BPI, dan ormasnya dengan kalangan Islam. Konflik-konflik itu disebabkan oleh aksi sepihak;

- Pada tanggal 30 September atau tanggal 1 Oktober 1965 pecah keseimbangan di antara Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Soekarno secara bertahap tersingkir dan PKI dianggap sebagai dalang peristiwa itu. tahun 1965 – 1966 terjadi pembunuhan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali;

- Kemudian pasukan RPKAD melatih pemuda setempat, terutama pemuda kalangan Islam, setelah mana kemudian terjadilah penangkapan- penangkapan disertai dengan pembunuhan massal;

- Kasus di Indonesia sangat berbeda dengan kasus di Afrika Selatan, di mana 

banyak pelaku yang bersedia untuk memberikan kesaksian/pengakuan, karena mereka akan diberikan amnesti. Mereka takut karena bila tidak melakukan kesaksian atau pengakuan, mereka akan diseret ke meja pengadilan;

- Kalau korban diberikan kompensasi setelah ada amnesti, mungkin akan terjadi 

kongkalikong juga karena korban mengharapkan kompensasi dan dapat berkompromi dengan pelaku, yang akan menceritakan kesaksiannya yang ringan-ringan saja;

- Pasal yang menggantungkan nasib korban kepada amnesti pelaku, sangat tidak adil dan juga mustahil dilakukan. Hak korban untuk mendapat kompensasi melekat pada korban, tidak dikaitkan dengan si pelaku;

� - Menjadikan sejarah kembali sebagai alat pembebas, salah satunya adalah KKR, yang memberikan kesempatan kepada para korban untuk menceritakan apa yang mereka alami. Ini juga merupakan bagian dari psychological healing, yaitu penyembuhan dengan menceritakan penderitaannya di masa lalu.

3. Ahli Rudi Muhammad Rizky, S.H., LL.M.:

- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara formal sudah memenuhi persyaratan sebagai KKR, menurut Dougatt Principle. Syarat minimum untuk KKR, adalah didirikan oleh badan legislatif atau eksekutif yang dipilih secara demokratis, kemudian komisi harus memiliki kewenangan yang luas, dengan mandat yang luas juga;

- Komisi harus berwenang untuk merekomendasikan reparasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat. Sedang bagi pelaku yang menolak untuk bekerjasama dengan komisi atau menolak untuk membuka secara penuh kejahatan yang pernah mereka lakukan, amnesti terhadapnya juga ditolak;

- Penghukuman terhadap pelaku sesungguhnya adalah obligation of the man kind as a whole, kewajiban terhadap umat manusia secara keseluruhan. Sedangkan victim compensation itu adalah untuk kepentingan korban atau ahli warisnya;

- Salah satu latar belakang UU KKR adalah untuk mengungkapkan kebenaran demi kepentingan korban dan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Kepentingan korban mengemuka dan berkaitan dengan kewajiban atas remedi yang efektif;

- Pasal 27 dari UU KKR ini menyangkut ”kompensasi dan rehabilitasi” yang 

dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Amnesti harus diberikan apabila pelaku mengakui kesalahan, kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia minta maaf kepada korban dan ahli warisnya;

4. Ahli Prof. Douglas Cassel:

- UU KKR telah gagal untuk memenuhi kewajiban Indonesia sebagai negara dan gagal untuk menghormati hak dari korban, keluarga dan juga masyarakat Indonesia berdasarkan Hukum HAM Internasional dalam tiga cara:

� Pertama, gagal menginvestigasi dan mengemukakan kebenaran tentang kasus manapun yang berhubungan dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum tahun 2000;

Kedua, gagal untuk memberikan pemulihan kepada korban dan keluarganya;

Ketiga, gagal untuk menuntut dan secara layak menghukum para pelakunya;

- Indonesia sebagai anggota PBB, berdasarkan Pasal 55 dan 56 Piagam PBB sebagai perjanjian hukum internasional bertanggung jawab terhadap HAM;

- World Court atau pengadilan dunia sejak tahun 1927, mensyaratkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melakukan investigasi yang tuntas dan efektif, memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, menuntut dan menghukum pelaku. Korban memiliki hak untuk mengetahui kebenaran, serta memiliki hak untuk memperoleh keadilan di dalam bentuk penuntutan dan juga penghukuman terhadap pelaku;

- Ruang lingkup dari pemulihan yang efektif itu harus termasuk di dalamnya tidak saja hanya akses keadilan, tetapi harus meliputi lima elemen, yaitu:

1. Restitusi, merupakan restitusi dari hak milik atau juga nama baik dari si korban;

2. Kompensasi, dalam bentuk uang bagi kerugian-kerugian;

3. Rehabilitasi, termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis;

4. Tindakan-tindakan untuk memuaskan, termasuk di dalamnya adalah pengakuan oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggung jawab negara dan juga permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi;

5. Jaminan bahwa pelanggaran HAM tidak terulang lagi atau non repetisi;

- Ada pembatasan bagi pemberian amnesti berdasarkan hukum internasional, dan pembatasan tersebut berlaku secara khusus bagi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan subjek dari UU KKR;

� 5. Ahli Prof. Paul Van Zyl:

- Bahwa bentuk dari Komisi Kebenaran Indonesia yang ada saat ini gagal untuk memenuhi standar yang dibuat oleh PBB untuk mencapai kebenaran dan keadilan dan bukan kebenaran atau keadilan;

- Satu-satunya KKR yang memberikan amnesti terhadap pelanggaran HAM berat di dunia adalah KKR Afrika Selatan, tetapi keberadaan KKR di Afrika Selatan yang memperbolehkan amnesti itu merupakan suatu pengecualian, bukan merupakan suatu aturan. Alasannya, pengecualian tersebut karena pemerintah apartheid itu menyatakan bahwa demokrasi tidak dapat masuk ke Afrika Selatan kalau amnesti tidak diberikan dan Nelson Mandela serta pemimpin gerakan HAM Afrika Selatan setuju dan memberi janji yang sifatnya konstitusional amnesti tersebut. Oleh karena itu juga maka konstitusi Afrika Selatan yang baru memuat klausul yang memperbolehkan amnesti bagi pelanggaran HAM berat. Seandainya hal itu tidak termuat dalam konstitusi Afrika Selatan, maka Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan tidak akan dapat menerima amnesti tersebut;

- Bahwa konvensi tentang hak sipil dan politik ini sudah diadopsi ke dalam hukum domestik, begitu juga untuk konvensi terhadap anti penyiksaan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan aturan hukum internasional tentang HAM yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berlaku dan secara hukum mengikat di Indonesia;

- Bahwa beberapa pasal yang tercantum dalam UU KKR merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, sebagaimana diatur dalam konvensi internasional hak sipil dan hak politik dan juga konvensi internasional anti penyiksaan. Ketentuan dimaksud adalah Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 44 UU KKR, di mana berdasarkan pasal- pasal tersebut diperbolehkan bahwa Komisi itu merekomendasikan kepada Presiden bahwa pelaku pelanggaran HAM berat bisa mendapatkan amnesti;

- Amnesti yang diatur di dalam UU KKR melanggar Pasal 6, Pasal 2 Ayat (3) dari ICCPR;

- Bahwa Human Rights Commission sekarang telah digantikan oleh Human Right Council, di mana Indonesia memegang peranan penting dalam dewan tersebut;

� 6. Ahli Prof. Naomi Roht-Arriaza:

- Negara tidak hanya harus memberikan pemulihan kepada korban tetapi juga harus meyakinkan atau menjamin bahwa paling tidak hukum nasionalnya memberikan suatu perlindungan terhadap HAM sesuai dengan yang dipersyaratkan sebagai tanggung jawab atau kewajiban internasional. Negara juga harus memberikan atau menyediakan akses yang efektif untuk memperoleh keadilan bagi mereka yang menyatakan diri sebagai korban pelanggaran HAM; - Berdasarkan hukum internasional, korban pelanggaran HAM berat adalah korban yang HAM-nya dilanggar. Pada saat di mana kejahatan atau kekerasan tersebut dilakukan, maka pada saat itulah orang tersebut memperoleh status sebagai korban. Negara akan memberikan hak kepada korban pelanggaran untuk memperoleh akses keadilan dan juga untuk memperoleh pemulihan atau reparasi. Hal ini merupakan dua hak yang terpisah tetapi saling berhubungan; - Amnesti itu diperbolehkan sesudah konflik. Meskipun demikian ada pembatasan, di mana kejahatan tertentu yang tidak boleh diberikan amnesti. Berdasarkan praktik yang ada saat ini dan juga berdasarkan hukum, dikatakan bahwa terhadap genosida dan kejahatan kemanusiaan tidak dapat diberikan amnesti. Ini adalah suatu kesepakatan internasional yang termuat di dalam perjanijan-perjanjian, misalnya treaty anti torture atau anti penyiksaan, di mana Indonesia juga merupakan bagian dari perjanjian tersebut; - KKR Afrika Selatan memperbolehkan amnesti sebagai ganti atau tukar menukar dengan kebenaran, akan tetapi bagi mereka yang tidak secara keseluruhan atau secara total menyatakan kebenaran akan di tuntut; - KKR Timor Timur memiliki prosedur rekonsiliasi di dalam masyarakat sebagai bagian dari prosedur dari KKR tersebut. Tetapi itu hanya berlaku untuk kejahatan-kejahatan minor atau kejahatan yang lebih ringan. Di Columbia tidak ada KKR, tetapi ada undang-undang tentang kedamaian dan keadilan, di mana undang-undang tersebut memperbolehkan pengurangan masa hukuman lima tahun. Dalam hal ini, Negara Columbia hanya menyatakan kebenaran dan reparasi, tetapi tidak menyediakan amnesti;

� Menimbang bahwa Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Mantan Ketua Pansus RUU KKR, dan Ketua Komnas HAM telah memberikan keterangan tertulis dan lisan dalam persidangan, yang selengkapnya telah termuat dalam uraian mengenai duduk perkara yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

1. Pemerintah:

a. Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and Reconsiliation Commission) merupakan sebuah ikhtiar kolektif yang mengedepankan "nilai-nilai islah" dari Bangsa Indonesia dalam rangka perlindungan dan penegakkan HAM, yang pada masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM). Peristiwa- peristiwa pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights) seringkali dinisbikan bahkan dianggap tidak ada, bahkan tanpa dipermasalahkan dan diselidiki siapa pelaku, siapa korbannya dan berapa jumlah korbannya. b. Bahwa salah satu esensi yang sangat penting dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu adalah antara pelaku dan korban saling memaafkan (Pasal 29 UU KKR), guna terwujudnya rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional seperti diamanatkan oleh Ketetapan MPR-RI Nomor V/TAP/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Kedepan diharapkan tidak terulang dan terjadi lagi, seperti pepatah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and Reconsiliation Commission) Argentina yang menyebutnya sebagai "Nunca Ma'as" (jangan terulang lagi), di Afrika Selatan menggunakan istilah "to forgive but not to forget";

c. Bahwa apabila pelaku mengakui kesalahannya secara sukarela, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan, maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan memutus pemberian rekomendasi amnesti kepada Presiden secara mandiri dan objektif, hal ini bertujuan agar penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak terus berlarut-larut yang pada gilirannya dapat menghambat pencapaian tujuan rekonsiliasi nasional;

� d. Bahwa apabila pelaku pelanggaran HAM berat tidak bersedia dan mengakui kesalahannya, tidak mengakui kebenaran fakta-fakta serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM berat tersebut kehilangan hak untuk mendapatkan amnesti dari Presiden dan kasus pelanggaran HAM berat tersebut dapat diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Pengadilan HAM. e. Bahwa bila terjadi penolakan permohonan amnesti oleh Presiden, hal ini bukanlah akhir dari perjuangan menegakkan keadilan atas pelanggaran HAM berat, yang terjadi pada masa lalu, terutama bagi korban atau ahli warisnya. Justru dengan ditolaknya permohonan amnesti terbuka ruang dan peluang bagi korban atau ahli warisnya untuk menuntut hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada Negara (vide Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat), sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM; f. Pembentukan KKR diberbagai Negara telah menciptakan pergeseran konsep keadilan (concept of justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan/balas dendam (retributive justice/prosecutorial justice) ke arah keadilan dalam bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang bersifat dan mengarah pada keadilan restoratif (restorative justice/community based justice) yang menekankan pentingnya aspek penyembuhan (restoratif) bagi mereka yang menderita karena kejahatan. g. Bahwa akhir-akhir ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai menganjurkan pendayagunaan konsep restorative justice secara lebih luas dalam sistem peradilan pidana melalui United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, hal ini sejalan dengan maksud dan tujuan dibentuknya UU KKR, yang menekankan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat melalui mekanisme di luar pengadilan (out of court system). Untuk itu, dapat dikatakan bahwa amnesti merupakan hak pelaku yang beritikad baik (good faith, goede trouw), yang secara tulus mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu, sedangkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi merupakan hak korban atau ahli warisnya yang harus diberikan oleh negara;

� 2. Dewan Perwakilan Rakyat:

a. Bahwa pembentukan Undang-Undang tentang KKR didasarkan pada pertimbangan:

Penyelesaian menyeluruh terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM sangat urgent untuk segera dilakukan karena ketidakpuasan dan ketegangan politik tidak boleh dibiarkan terus berlarut-larut tanpa kepastian penyelesaiannya. Dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi nasional. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 47 UU Pengadilan HAM, tentang landasan hukum dibentuknya KKR sebagai sebuah jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat, selain hal-hal yang menjadi kewenangan dari UU Pengadilan HAM.

b. Bahwa tujuan pembentukan KKR adalah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa; dan untuk mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian.

c. Bahwa UU KKR, didasarkan pada asas-asas, yaitu kemandirian, bebas dan tidak memihak, kejujuran, keterbukaan, dan perdamaian;

d. Bahwa ketentuan dalam Pasal 27 UU KKR yang mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan hak ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran HAM berat apabila permohonan amnesti dikabulkan oleh Presiden, merupakan perimbangan kedudukan antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat yang pada gilirannya untuk menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Amnesti adalah hak konstitusional Presiden yang diberikan oleh konstitusi (dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, korban dari pelanggaran HAM berat yang pelakunya telah mendapat amnesti berhak untuk mendapatkan kompensasi dan rehabilitasi dari negara;

e. Bahwa KKR tidak bertujuan semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan seseorang (pillorying) atau menuntut, tetapi lebih pada

� usaha untuk memperoleh kebenaran yang pada akhirnya bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis antara pelaku, korban, dan masyarakat yang ketiga-tiganya pada dasarnya merupakan korban kejahatan;

Keadilan dalam KKR sinonim dengan pengungkapan secara lengkap (complete disclosure) atas semua kejadian dengan menghadapkan dan mempertemukan secara jujur pelaku dan korban dengan menghindari hukum acara yang rumit. Proses KKR bertujuan menghindarkan terulangnya kejadian serupa di masa datang melalui proses rekonsiliasi dan tidak semata-mata mengarah pada pemidanaan atas dasar kemanusiaan dan kesadaran adanya rasa saling ketergantungan dalam masyarakat (community interdependence);

Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas dipandang sama pentingnya dengan pemidanaan dan/atau rehabilitasi pelaku kejahatan.

f. Bahwa Pasal 44 UU KKR, yang mengatur mengenai pelanggaran HAM yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc, tidak bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 karena KKR tidak berfungsi subtitusi (menggantikan) terhadap Pengadilan HAM sesuai dengan ketentuan UU Pengadilan HAM. Dalam hal ini UU KKR tidak mengatur proses penuntutan hukum tetapi hanya mengatur mengenai:

- proses pengungkapan kebenaran; - proses pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban; dan - proses pertimbangan amnesti kepada pelaku;

Sehingga, dalam rangka memberikan kepastian hukum pelanggaran hak asasi manusia berat yang telah diungkap dan diselesaikan oleh Komisi tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.

g. Bahwa terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat yang tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka yang bersangkutan kehilangan haknya

� mendapat amnesti dan dapat diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Ayat (3) UU KKR. Sehingga, dari rumusan Pasal 29 Ayat (3) tersebut dapat diartikan bahwa UU KKR tidak menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial;

h. Bahwa Pasal 1 Ayat (9) UU KKR, yang menyatakan bahwa amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dapat dijelaskan bahwa secara universal pemahaman amnesti dalam KKR mempunyai makna khusus dan lebih terukur. Amnesti dalam KKR hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar mengakui sepenuhnya keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat semata-mata terkait oleh motivasi politik (associated with political objectives) yang bersifat proporsional;

3. Mantan Ketua Pansus RUU KKR [Mayjen. Pol. (Purn.) Drs. Sidarto Danusubroto, S.H.]:

a. DPR telah berusaha menjalankan tugas yang diamanatkan oleh rakyat sesuai amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 dengan sebaik- baiknya, walaupun sangat disadari bahwa hasil tersebut belumlah maksimal sehingga dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak yang berkepentingan. Hasil akhir dari pekerjaan DPR (Pansus RUU KKR) dipandang masih lebih baik bila dibandingkan dengan draft awal yang disampaikan oleh Pemerintah.

b. Dua masalah penting yang mengundang perdebatan panjang dalam pembahasan RUU KKR, yaitu Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 5 UU KKR mengenai pengungkapan kebenaran dan Pasal 27 UU KKR. Banyak pihak yang merasa "keberatan" dicantumkannya ketentuan mengenai pengungkapan kebenaran dalam UU, karena dengan demikian akan membuka peluang bagi terbukanya berbagai persoalan bangsa yang selama ini berusaha untuk "dilupakan". Sedangkan terkait dengan Pasal 27, keberatan berasal dari pihak korban dan keluarga korban, karena Pasal 27 ini dapat diartikan akan mengeliminir keberadaan Pasal 19.

c. Ketika Pansus membahas Pasal 27, ada sekitar 15 organisasi korban yang menyatakan keberatan dengan pemberlakuan pasal ini, di antaranya adalah Forum Komunikasi Eks Menteri Kabinet Dwikora Korban Penyalahgunaan

� Supersemar, Tim Advokasi Jajaran TNI AD, Tim Advokasi Jajaran TNI AU, Tim Advokasi Jajaran TNI AL, Tim Advokasi Jajaran Polri Paguyuban Korban Orde Baru, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM, Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa '65 Bali. Keberatan atau penolakan terhadap ketentuan Pasal 27 UU KKR yang disampaikan oleh korban dan lembaga yang selama ini memperjuangkan hak-hak korban sangat dipahami. Namun konstelasi politik pada waktu itu membuat fraksi- fraksi di DPR menerima rumusan Pasal 27 UU KKR seperti adanya sekarang. Penerimaan DPR terhadap keberadaan pasal ini adalah sebagai bentuk kompromi sehingga pembahasan RUU KKR tidak sampai berlarut- larut dan deadlock, dan dikhawatirkan saksi-saksi hidup yang masih ada akan berkurang satu demi satu, sehingga keberadaan KKR nantinya tidak akan terlalu signifikan lagi karena sudah semakin kehilangan momentum. Oleh sebab itu, ketika RUU KKR disahkan, mayoritas anggota Pansus berpendapat bahwa keberatan pihak-pihak yang masih merasa kurang puas sebenarnya dapat disalurkan melalui beberapa wadah yang sudah tersedia seperti misalnya mengajukan "Hak Uji Materil" kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yang dilakukan saat ini.

d. Pasal 44 Pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc.

Pelanggaran HAM berat merupakan "extra ordinary crimes" sehingga penyelesaiannya juga tidak dapat mempergunakan ketentuan hukum yang sudah ada, seperti misalnya KUHP, sehingga harus melalui "jalur khusus". Untuk itu, sesuai dengan amanat Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, telah dibentuk suatu UU Pengadilan HAM, yang diharapkan dapat melindungi HAM, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman, baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran HAM berat.

Di samping adanya Pengadilan HAM Ad Hoc, TAP MPR Nomor V/MPR/2000 juga menyebutkan perlunya dibentuk KKR, yang merupakan lembaga extra-judicial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan

� mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

Hal pertama yang sudah menjadi kesepakatan semua pihak ialah bahwa rekonsiliasi, yang di dalamnya termasuk rekonsiliasi nasional, merupakan amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan dan Kesatuan Nasional, yang berlanjut ke dalam suatu paket dengan pemberlakuan UU Pengadilan HAM Ad Hoc, serta merupakan bagian dari pelaksanaan perintah konstitusi kepada segenap penyelenggara negara, yang sejalan dengan maksud dan tujuan Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama Pasal 28A – 28J tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

4. Komnas HAM yang diwakili Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M.:

a. Bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan tentang pengadilan HAM, tetapi masalah Pengadilan HAM ini di atur lebih lanjut di dalam UU Pengadilan HAM.

b. Bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu dapat diselesaikan melalui dua avenue hukum, untuk mencapai keadilan. Avenue pertama, melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, pembentukannya atas usul DPR kepada Presiden, kemudian Presiden mengeluarkan Keppres. Avenue kedua, melalui KKR. c. Apabila benar itu suatu kebenaran yang uncontestable, maka kompensasi dan rehabilitasi itu tidak dapat dikaitkan dengan dikabulkan atau tidak dikabulkannya amnesti oleh Presiden. d. Amnesti tidak bisa menjadi syarat untuk sebuah pembayaran kompensasi dan rehabilitasi. Karena amnesti itu merupakan proses tersendiri dan bersifat kondisional. Pasal 29 Ayat (2) UU KKR menyebutkan, “Dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka Komisi memutus pemberian rekomendasi amnesti secara mandiri dan

� objektif.” Jadi secara mandiri dan objektif tidak bisa dikaitkan dengan kompensasi dan rehabilitasi, karena kompensasi dan rehabilitasi itu menjadi tanggung jawab negara dan terkait dengan fakta-fakta yang ditemukan oleh Komisi Kebenaran. e. Berkenaan dengan Pasal 44 UU KKR yang menyatakan, dalam hal pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28D, dan Pasal 28I UUD 1945. Pasal 44 itu sebagai akibat logis dan dianutnya konsepsi yang dirumuskan dalam Pasal 29 Ayat (2) dan (3). Amnesti itu hanya bisa diberikan oleh Presiden, dan direkomendasikan oleh KKR kepada Presiden apabila syarat tersebut dipenuhi. f. Jika KKR di proses melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, maka proses Pengadilan HAM Ad Hoc akan digelar apabila permohonan amnesti itu ditolak. Terkait dengan Pasal 7 Ayat (1) huruf g UU KKR menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Komisi mempunyai wewenang menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, apabila perkara sudah didaftarkan ke pengadilan hak asasi manusia. Jadi penolakan permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau amnesti itu dikaitkan dengan sebuah perkara, sudah didaftarkan atau tidak ke Pengadilan HAM. g. Jika kasus pelanggaran HAM berat tidak mungkin diselesaikan melalui KKR, maka dapat melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Tetapi jika dalam suatu kasus tertentu permasalahan pelanggaran HAM berat, lebih tepat diselesaikan melalui KKR.

PENDAPAT MAHKAMAH

Menimbang bahwa sebelum memasuki substansi perkara, maka secara mendasar keputusan pembuat undang-undang yang menentukan kebijakan rekonsiliasi sebagai satu penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM, bukan hanya sebagai keputusan politik melainkan sebagai sebuah mekanisme hukum yang dituangkan dalam satu UU KKR. Hal tersebut menyebabkan penilaian terhadapnya dilakukan terutama adalah dari prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, yang memuat falsafah dan pandangan

� hidup bangsa yang merupakan ruh atau spirit UUD 1945. Di samping itu, diadopsinya Bab XA sebagai bagian dari UUD 1945 dengan perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yang mengandung jaminan dan perlindungan HAM, juga menyebabkan uji konstitusionalitas UU KKR tersebut akan didasarkan pada jaminan dan perlindungan HAM yang dianut UUD 1945, dengan mana akan dipertimbangkan konsistensinya dengan jaminan dan perlindungan HAM yang menjadi bagian UUD 1945 tersebut.

Menimbang bahwa sebagai satu bangsa yang menyatakan falsafah dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara didasarkan pada Pancasila sebagai cita-hukum (rechtsidee) dan cita-negara (staatsidee), maka keterbukaan pikiran dan hati untuk melihatnya haruslah dalam kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih luas, dengan maksud untuk menelusuri kembali pelanggaran HAM yang berat tersebut untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional. Hal demikian harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat, dengan lebih dahulu memahami konflik yang terjadi secara objektif meskipun harus menempuh kemungkinan risiko yang tidak kecil, agar dapat dicapai satu keadaan yang aman dan damai yang memungkinkan dilaksanakan pembangunan ekonomi, sosial, dan politik secara optimal, dengan harapan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Di pihak lain, sebagai anggota PBB yang telah menerima prinsip-prinsip HAM PBB yang sesungguhnya telah termuat dalam UUD 1945, maka dalam menafsirkan UUD 1945, dokumen-dokumen PBB tentang HAM juga turut dipertimbangkan oleh Mahkamah;

Menimbang bahwa atas dasar paradigma yang demikian, Mahkamah akan memberi pendapat terhadap permohonan Pemohon sebagai berikut;

1) Pasal 27 UU KKR

Pasal 27 tersebut menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19, yaitu pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga

� korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindak lanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM.

Pengaturan ini mengandung kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lain, terutama sekali antara bagian yang mengatur:

a. Pelaku telah mengakui kesalahan, kebenaran fakta dan menyatakan penyesalan serta kesediaan minta maaf kepada korban.

b. Pelaku dapat mengajukan Amnesti kepada Presiden.

c. Permohonan dapat diterima atau dapat ditolak.

d. Kompensasi dan atau rehabilitasi hanya diberikan jika amnesti dikabulkan Presiden.

e. Jika amnesti ditolak, perkara diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.

Pencampuradukan dan kontradiksi yang terdapat dalam Pasal 27 UU KKR adalah menyangkut tekanan yang melihat pada pelaku secara perorangan dalam individual criminal responsibility, padahal peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, baik pelaku maupun korban serta saksi-saksi lainnya sungguh-sungguh sudah tidak mudah ditemukan lagi. Rekonsiliasi antara pelaku dan korban yang dimaksud dalam undang-undang a quo menjadi hampir mustahil diwujudkan, jika dilakukan dengan pendekatan individual criminal responsibility. Mestinya dengan pendekatan demikian, yang digantungkan pada amnesti hanyalah restitusi, yang merupakan ganti rugi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga. Di pihak lain, jika tujuannya adalah rekonsiliasi, dengan pendekatan yang tidak bersifat individual, maka yang menjadi titik tolak adalah adanya pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang menjadi ukuran untuk rekonsiliasi dengan memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Kedua pendekatan tersebut, dalam hubungan dengan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi tidak dapat digantungkan pada satu pokok masalah yang tidak mempunyai keterkaitan. Karena, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden, yang pengabulan atau penolakannya tergantung kepada Presiden.

� Fakta bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang sesungguhnya merupakan kewajiban negara untuk menghindari atau mencegahnya, dan timbulnya korban yang seharusnya HAM-nya dilindungi negara, telah cukup untuk melahirkan kewajiban hukum baik pada pihak negara maupun individu pelaku yang dapat diidentifikasi untuk memberikan restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi kepada korban, tanpa persyaratan lain. Penentuan adanya amnesti sebagai syarat, merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945. Hal demikian juga merupakan praktik dan kebiasaan secara universal sebagaimana telah dimuat dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law And Serious Violations of International Humanitarian Law, yang menetapkan adanya adequate, effective and prompt reparation for harm sufferred, yang dimaksudkan untuk memajukan keadilan dalam penanganan pelanggaran HAM berat, dengan memberikan reparation yang proporsional sesuai dengan bobot pelanggaran dan kerugian yang dialami. Hal demikian merupakan tafsiran yang digunakan untuk melihat Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (5), sehingga dengan alasan tersebut permohonan Pemohon mengenai Pasal 27 UU KKR cukup beralasan.

2) Pasal 44 UU KKR

Pasal 44 UU KKR berbunyi, ”Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.”

Dari Penjelasan Umum UU KKR dapat disimpulkan bahwa tugas KKR adalah untuk mengungkap kebenaran serta menegakkan keadilan dan untuk membentuk budaya menghargai HAM guna mewujudkan rekonsiliasi untuk mencapai persatuan nasional, karena adanya pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. KKR tidak menyangkut proses penuntutan hukum, tetapi mengatur proses pengungkapan kebenaran, pemberian restitusi, dan/atau rehabilitasi serta memberi pertimbangan amnesti. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah KKR merupakan substitusi atau pengganti pengadilan atau tidak. Penjelasan umum juga secara tegas menentukan bahwa apabila pelanggaran HAM berat telah diputus oleh KKR, maka Pengadilan

� HAM Ad Hoc tidak berwenang memutuskan, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian juga sebaliknya jika Pengadilan HAM Ad Hoc telah memutus, KKR tidak berwenang memutus. Meskipun dikatakan bahwa KKR hanya merupakan alternatif terhadap Pengadilan HAM dan bukan merupakan badan penegakan hukum, maka jelas bahwa dia merupakan satu mekanisme alternative dispute resolution, yang akan menyelesaikan satu perselisihan HAM secara amicable dan apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Walaupun dalil-dalil Pemohon mengutip argumen dan prinsip HAM internasional yang menentang impunitas, akan tetapi penyelesaian pelanggaran HAM secara demikian telah diterima dalam praktik internasional, misalnya di Afrika Selatan, dan telah dikenal pula dalam hukum adat. Ketertutupan proses hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc apabila memperoleh penyelesaian di KKR adalah akibat yang logis dari satu mekanisme alternative dispute resolution sehingga tidak perlu dilihat sebagai pembenaran impunitas. Karena, pada umumnya, penyelesaian dengan mekanisme hukum terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, telah mengalami kesukaran dengan berlalunya jangka waktu yang lama yang menyebabkan hilangnya alat-alat bukti untuk dijadikan dasar pembuktian dalam pendekatan individual criminal responsibility. KKR juga dengan pengaturan dalam UU KKR, bertujuan untuk menegakkan keadilan sejauh masih dimungkinkan dalam mekanisme penyelesaian secara alternatif. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat tidak terlihat dasar dan alasan konstitusional yang cukup untuk mengabulkannya, terutama karena ketentuan tersebut hanya berlaku untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM;

3) Pasal 1 Angka 9 UU KKR

Pasal 1 Angka 9 UU KKR menetapkan bahwa ”Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pengertian pelanggaran HAM berat ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 UU KKR sebagai “pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana ditentukan UU Pengadilan HAM, yang dalam Pasal 7 menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat itu meliputi a. Kejahatan genosida,

� b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.” UU Pengadilan HAM yang merujuk pada Statute of Rome On International Criminal Court mengkualifikasikan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan yang paling serius dalam komunitas internasional secara keseluruhan. Praktik internasional maupun General Comment Komisi HAM PBB umumnya berpendapat bahwa amnesti tidak diperkenankan dalam pelanggaran HAM berat. Dikatakan bahwa meskipun KKR dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberadaan perdamaian dan rekonsiliasi nasional, tapi perlu upaya yang menentukan batasan terhadap amnesti, yaitu pelaku tidak boleh diuntungkan oleh amnesti tersebut. Amnesti seyogianya tidak mempunyai akibat hukum sepanjang menyangkut hak korban untuk memperoleh pemulihan (reparation), dan lagi pula amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi dan hukum humaniter internasional yang merupakan kejahatan, yang tidak meperbolehkan amnesti dan kekebalan bentuk lainnya.

Meskipun General Comment dan Laporan Sekjen PBB tersebut belum diterima sebagai hukum yang mengikat, tampaknya pengertian demikian merupakan muatan UUD 1945 yang mengatur tentang prinsip-prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia yang dimuat dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan, Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, Pasal 28 Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945 yaitu perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara. Akan tetapi Pasal 1 Angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan berkait dengan pasal- pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan tersebut dikesampingkan dan akan dipertimbangkan lebih lanjut bersamaan dengan pasal-pasal yang terkait dengan amnesti, sebagaimana akan diuraikan di bawah;

Menimbang bahwa meskipun yang dikabulkan dari permohonan hanya Pasal 27 UU KKR, akan tetapi oleh karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal yang dikabulkan tersebut, maka dengan dinyatakannya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Hal ini terjadi karena keberadaan Pasal 27

� tersebut berkaitan erat dengan Pasal 1 Angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal 7 Ayat (1) huruf g, Pasal 25 Ayat (1) huruf b, Pasal 25 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 Ayat (1), dan Pasal 29 UU KKR. Padahal, keberadaan Pasal 27 dan pasal yang terkait dengan Pasal 27 UU KKR itu merupakan pasal-pasal yang sangat menentukan bekerja atau tidaknya keseluruhan ketentuan dalam UU KKR sehingga dengan menyatakan tidak mengikatnya secara hukum Pasal 27 UU KKR, maka implikasi hukumnya akan mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menimbang bahwa hal dimaksud dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskipun permohonan (petitum) yang diajukan Pemohon hanya menyangkut Pasal 1 Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui. Akan tetapi meskipun demikian, perkembangan yang terjadi dan karena kebutuhan kemasyarakatan, menyebabkan aturan demikian juga tidak diperlakukan lagi secara mutlak. Pertimbangan keadilan dan kepantasan telah dijadikan juga alasan, sebagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1970, tanggal 4 Februari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih, kemudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Lagi pula dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan Penggugat kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, Hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi

� Hakim Konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian undang-undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud menghendakinya, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan. Hal demikian juga menjadi praktik yang lazim diterapkan di Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya, Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987) berbunyi, ”The Constitutional Court shall decide only whether or not the requested statute or any provision of the statute is unconstitutional: Provided, That if it is deemed that the whole provisions of the statute are unable to enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested provision, a decision of unconstitutionality may be made on the whole statute” (Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan inkonstituionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut). Mahkamah pun telah menerapkan hal tersebut, misalnya Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;

Menimbang bahwa di samping itu perlu diperhatikan hal-hal berikut yang dijumpai dalam UU KKR:

1. Bahwa KKR berwenang untuk menerima pengaduan, mengumpul informasi dan bukti-bukti pelanggaran HAM berat, memanggil saksi dan kemudian mengklarifikasi pelaku/korban, menentukan kategori HAM berat dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 18 UU KKR), menarik kesimpulan tentang adanya pelanggaran HAM berat, siapa pelaku dan korban, serta adanya permintaan maaf, yang dalam penjelasan umum UU KKR dikatakan adalah dalam bentuk Putusan KKR yang bersifat final dan mengikat. Kalau

� Keputusan KKR berisi pengabulan kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi [Pasal 25 Ayat (1) huruf a], maka putusan yang final dan mengikat tersebut tidak mempunyai daya ikat (binding force) kalau amnesti ditolak. Pelaku dan korban atau Pemerintah juga tidak terikat dengan putusan yang digantungkan atas syarat amnesti tersebut. Dengan demikian, kewenangan KKR merupakan satu hal yang tidak pasti. 2. Pasal 28 Ayat (1) menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Akan tetapi Pasal 29 Ayat (1) menyatakan dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi amnesti wajib diputuskan oleh KKR. Dengan digunakannya kata dapat dalam Pasal 28 Ayat (1) dan kata wajib dalam Pasal 29 Ayat (1), maka tidak ada konsistensi dalam UU KKR yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). 3. Jikalau pelaku mengakui kebenaran fakta, menyesal dan bersedia minta maaf kepada korban, tetapi korban tidak memaafkan maka KKR memutus pemberian amnesti secara mandiri dan objektif. Keadaan ini merupakan sesuatu yang tidak memberikan dorongan bagi pengungkapan kebenaran dan justru menyebabkan tidak akan adanya pihak yang bersedia mengungkapkan kebenaran dan mengakui fakta yang sebenarnya. 4. Jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan dan tidak bersedia menyesali maka pelaku akan kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan akan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam kasus demikian ada kemungkinan akan terjadi sengketa kewenangan antara KKR dan DPR, karena Pasal 42 dan 43 UU Tahun 2000, menyatakan untuk menentukan adanya pelanggaran HAM berat yang diduga terjadi, untuk diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc harus melalui keputusan politik DPR. Apakah dalam hal demikian wewenang KKR berdasar Pasal 23 UU KKR yang telah melakukan klarifikasi pelaku dan korban tentang pelanggaran HAM berat, yang menurut UU KKR dilakukan dengan bentuk keputusan, yang bersifat final dan mengikat, menjadi kehilangan daya laku, atau putusan KKR tentang adanya pelanggaran HAM berat demikian telah cukup untuk membawa kasus tersebut untuk diadili di depan Pengadilan HAM Ad Hoc tanpa memerlukan putusan DPR.

� Rekonsiliasi membuka peluang alternatif bagi pelaku untuk mengakui perbuatannya tanpa berhadapan dengan proses hukum biasa. Pelaku mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan sikapnya terhadap kasus yang melibatkannya.

UU KKR tidak memberikan kepastian terhadap pelaku yang akan memilih KKR untuk menyelesaikan kasusnya. Pasal 28 Ayat (1) UU KKR menyatakan dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka Komisi dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU KKR dapat disimpulkan bahwa untuk adanya rekonsiliasi harus dipenuhi; (1) pengungkapan kebenaran, (2) pengakuan, (3) pengampunan. Sehingga, apabila ketiga hal tersebut tidak dapat dipastikan dipenuhi maka rekonsiliasi tidak akan ada. Apabila suatu kasus tidak terungkap kebenarannya yaitu baik tentang peristiwa, tempat, waktu, dan pelaku maka jelas rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan. UU KKR tidak memuat ketentuan yang secara langsung menyatakan bahwa ditolaknya amnesti akan menyebabkan pelaku dapat diproses secara hukum, melainkan menentukan bahwa penolakan terhadap amnesti menyebabkan pelaku harus bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dari keseluruhan uraian tersebut jelas bahwa UU KKR tidak mendorong pelaku untuk menyelesaikan perkaranya melalui KKR, karena mengandung banyak ketidakpastian hukum. Sementara itu, apabila korban atau ahli warisnya, karena tidak bersedia memaafkan, dapat saja kemudian melaporkan pelaku kepada aparat hukum berdasarkan bukti- bukti pengakuan yang dibuat oleh pelaku. Karena ketentuan ini membuka peluang terjadinya pengakuan yang memberatkan dirinya sendiri (self- incrimination), maka akan sulit mengharapkan terjadinya rekonsiliasi yang menjadi tujuan UU KKR. UU KKR tidak dengan tegas mengatur apakah suatu proses rekonsiliasi dapat terjadi tanpa adanya pemberian maaf oleh korban atau ahli warisnya. Ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UU KKR dapat menimbulkan persoalan pada kasus di mana justru korban yang berinisiatif untuk mengadukan/melapor ke KKR. Seharusnya sudah sejak dari awal, yaitu pada saat korban memilih jalur KKR untuk menyelesaikan kasusnya, korban telah memiliki kehendak untuk bersedia memaafkan pelaku. Apabila korban tidak

� memiliki kehendak untuk memaafkan pelaku maka proses peradilan merupakan alternatif yang disediakan dan bukan melalui jalur rekonsiliasi. Dengan kata lain, dalam rekonsiliasi dibutuhkan kesediaan yang bersifat timbal balik, baik dari pelaku maupun dari korban.

5. Terhadap pengaduan yang disertai dengan permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, komisi wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan (Pasal 24 UU KKR).

Menjadi pertanyaan apakah materi yang harus diputus oleh Komisi dalam jangka 90 hari, termasuk juga putusan tentang pengungkapan “kebenaran atas pelanggaran HAM berat“ (vide Pasal 1 angka 3 dan Pasal 5 UU KKR).

Pasal 25 Ayat (1) menyatakan bahwa Keputusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat berupa:

a. mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau b. memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti.

Dengan adanya rumusan Pasal 25 Ayat (1) tersebut yang wajib diputus oleh Komisi dalam jangka 90 hari adalah permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti. Ketentuan tersebut dilengkapi dengan Pasal 25 Ayat (3), (4), (5), dan (6), serta Pasal 26 yang menetapkan jangka waktu proses pengambilan putusan terhadap permohonan amnesti. Sedangkan untuk memutuskan hasil temuannya yaitu yang berupa pengungkapan kebenaran tentang adanya pelanggaran HAM berat UU KKR tidak menentukan batas waktu. Dengan adanya batasan waktu untuk memutus permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti dalam jangka 90 hari, apabila jangka waktu tersebut telah terlewati sedangkan pengungkapan kebenaran masih dalam proses penyidikan dan klarifikasi yang memerlukan waktu lebih dari 90 hari apakah permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti harus diputus lebih dahulu. Sebuah pengaduan atau laporan dapat disampaikan kepada Komisi, dan setelah adanya pengaduan tersebut Komisi harus melakukan penyelidikan dan klarifikasi baik terhadap peristiwanya sendiri maupun pelakunya.

� Pasal 24 berisi ketentuan yang mengatur apabila Komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat, yang disertai permohonan amnesti, kata “disertai” diartikan bahwa permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan pengaduan atau laporan pelanggaran HAM berat. Persoalannya adalah, amnesti hanya mungkin kalau telah jelas siapa pelaku pelanggaran HAM berat, dan kepada pelaku diberi hak untuk mengajukan atau memohon amnesti, sedangkan hak menentukan ada pada Presiden. Bagaimana dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan pelaku yang belum terklarifikasi dapat menyertakan permohonan amnesti. Pelaku pelanggaran baru dapat ditentukan setelah KKR mengungkapkan kebenaran adanya pelanggaran HAM berat yang di dalam pengungkapan tersebut ditemukan pula pelakunya. Dengan demikian Pasal 24 ini menimbulkan kerancuan yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum karena di dalam pasal ini termuat batasan waktu 90 hari. Amnesti baru dapat dimohon, direkomendasikan, dan diberikan kalau sudah diketahui dengan pasti siapa pelaku pelanggaran. Kemungkinan terungkapnya pelaku sejak awal dapat terjadi apabila terdapat “pengakuan“ tentang pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 huruf a, atau apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28. Pasal 24 prosesnya berbeda dengan Pasal 23 huruf a. Pasal 24 prosesnya berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) huruf a, yaitu menjadi kewenangan subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, artinya korbanlah yang aktif melakukan pengaduan atau laporan. Sedangkan Pasal 23 huruf a, di mana pelaku aktif membuat “pengakuan” menjadi wewenang dari subkomisi pertimbangan amnesti. Dengan demikian, secara juridis tidak logis, jika permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan amnesti diajukan bersama-sama dengan pengaduan atau laporan, yang wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 24 UU KKR.

Menimbang bahwa semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub

� dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.

Mengingat Pasal 56 Ayat (2) dan Ayat (3) serta Pasal 57 Ayat (1) dan Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

MENGADILI

- Mengabulkan Permohonan para Pemohon;

- Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

- Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Senin, 4 Desember 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Kamis, 7 Desember 2006, oleh kami Jimly Asshiddiqie,

� selaku Ketua merangkap Anggota, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, Harjono, Soedarsono, H.M. Laica Marzuki, I Dewa Gede Palguna, .Abdul Mukthie Fadjar, serta H. Achmad Roestandi, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.

K E T U A
TTD.

Jimly Asshiddiqie.

ANGGOTA-ANGGOTA

TTD. TTD.
H.A.S Natabaya. Harjono
TTD. TTD.
Soedarsono. H. M. Laica Marzuki.
TTD. TTD.
Abdul Mukthie Fadjar. H. Achmad Roestandi.
TTD. TTD.
I Dewa Gede Palguna. Maruarar Siahaan.

PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINIONS)

Terhadap putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan para Pemohon tersebut di atas, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (disesnting opnions), sebagai berikut:

Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Bahwa dalam penentuan pihak-pihak yang memiliki kedudukan hukum 

(legal standing) sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan

� pengujian undang-undang, menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pihak atau pihak-pihak dimaksud haruslah:

(1) menjelaskan kualifikasinya, apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang), sebagai badan hukum, ataukah sebagai lembaga lembaga negara; dan (2) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada angka (1) sebagai akibat diberlakukannya suatu undang-undang.

Sementara itu, sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah hingga saat ini, untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, harus dipenuhi lima syarat, yaitu:

(1) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (2) Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; (3) Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; (5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Bahwa UU KKR adalah undang-undang yang bersifat khas, karena 

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu dan kemudian diarahkan kepada lahirnya rekonsiliasi demi terwujudnya persatuan nasional, sebagaimana ditegaskan dalam konsiderans menimbang khususnya huruf a dan b dan Penjelasan Umum undang- undang a quo. Dengan demikian, pada dasarnya, hanya ada dua pihak yang paling berkepentingan langsung dengan berlakunya undang-undang a quo, yaitu korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Oleh karena itu

� maka, pada dasarnya, dua pihak itu pula yang mungkin dirugikan hak-hak konstitusionalnya oleh berlakunya undang-undang a quo.

Bahwa dengan pertimbangan demikian, berdasarkan bukti-bukti yang 

ditemukan selama persidangan, maka Pemohon V, VI, VII, dan VIII prima facie dapat dianggap memenuhi kriteria pertama dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yaitu sebagai sekelompok perorangan warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo, di mana anggapan itu harus dibuktikan leih lanjut. Di samping itu, yang juga menjadi pertanyaan adalah apakah para Pemohon dimaksud (Pemohon V, VI, VII, VIII) memenuhi lima syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, hal itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan terhadap pokok atau substansi permohonan. Dengan demikian, kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dimaksud (Pemohon V, VI, VII, VIII) baru akan dapat ditentukan bersamaan dengan pemeriksaan terhadap pokok atau substansi permohonan.

Tentang Pokok atau Substansi Permohonan

Bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 1 angka (9), Pasal 27, dan 

Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya sebagai berikut:

(1) Pasal 1 angka (9) UU KKR yang berbunyi, “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”, menurut Pemohon, bertentangan dengan UUD 1945 karena: a. Pelanggaran HAM yang berat memiliki tempat tertinggi dalam bentuk kejahatan. Karena itu terdapat ketentuan yang melarang amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM yang berat; b. Definisi mengenai amnesti dalam pasal tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh komunitas yang beradab dalam masyarakat dunia, dan Indonesia termasuk dalam komunitas bangsa yang beradab tersebut, sehingga amnesti untuk pelaku pelanggaran HAM berat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;

� c. Amnesti bagi pelanggaran HAM yang berat bertentangan dengan hukum internasional, namun rumusan Pasal 1 angka (9) UU KKR justru menjelaskan bahwa amnesti diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat sehingga pasal tersebut bertentangan dengan hukum yang telah diakui oleh masyarakat internasional di mana Indonesia termasuk sebagai bagian dari komunitas tersebut;

(2) Pasal 27 UU KKR yang berbunyi, “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”, bertentangan dengan UUD 1945 karena: a. Ketentuan Pasal 27 UU KKR tersebut membuat hak korban atas kompensasi dan rehabilitasi bergantung pada pemberian maaf dan bukan pada substansi perkara, juga mendiskriminasikan korban, dan melanggar jaminan atas perlindungan dan persamaan di depan hukum dan penghormatan terhadap martabat manusia; b. Berdasar ketentuan Pasal 27 UU KKR tersebut dan Penjelasannya, pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) hanya dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan, sehingga telah menegasikan hak korban terhadap pemulihan padahal pemulihan korban sama sekali berhubungan dengan ada-tidaknya amnesti; c. Konsep amnesti dalam Pasal 27 UU KKR mensyaratkan adanya pelaku. Konsekuensinya, tanpa ditemukannya pelaku maka amnesti tidak mungkin diberikan, sehingga korban tidak mendapat jaminan atas pemulihan. Ketentuan tersebut juga telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung pada pemberian amnesti; d. Implikasi perumusan Pasal 27 UU KKR akan memberikan ketidakadilan kepada korban sebab korban harus berharap agar pelaku yang selama ini telah membuat korban menderita bisa mendapatkan amnesti, sehingga hak korban atas pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) tidak bisa korban dapatkan dan korban harus menempuh upaya lain yang tidak pasti; e. Pasal 27 UU KKR telah membuat kedudukan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku, dan telah mendiskriminasikan hak atas pemulihan (kompensasi dan rehabilitasi) yang melekat pada korban dan tidak bergantung pada pelaku. Pasal 27 UU KKR juga tidak menghargai korban

� yang telah menderita akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dialaminya. Oleh karena itu, segala ketentuan yang membatasi hak korban atas pemulihan dan yang menegasikan kewajiban negara untuk memberi pemulihan itu adalah salah satu bentuk diskriminasi dan ketidaksamaan di hadapan hukum serta bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil; f. Berdasarkan alasan-alasan di atas, hak konstitusional Pemohon, baik sebagai korban maupun pendamping korban, untuk mendapatkan jaminan persamaan di depan hukum, jaminan atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta jaminan untuk bebas dari perlakuan diskriminatif telah dilanggar oleh ketentuan Pasal 27 UU KKR.

(3) Pasal 44 UU KKR yang berbunyi, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc”, bertentangan dengan UUD 1945 karena: a. Pasal 44 UU KKR, yang memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan pengadilan, telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial; b. Pengaturan Pasal 44 UU KKR, yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc apabila peristiwa tersebut telah diselesaikan melalui KKR, telah menghilangkan kewajiban negara dalam menuntut pelaku pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam Hukum Internasional, baik yang tertuang dalam praktik (international customary law) maupun perjanjian-perjanjian internasional (international treaties);

Terhadap dalil-dalil Para Pemohon tersebut, terlebih dahulu perlu ditegaskan bahwa ketiga ketentuan yang dimohonkan pengujian tersebut tidak boleh dibaca dan dipahami secara sendiri-sendiri dan terlepas dari konteks keseluruhan ketentuan dalam UU KKR. Oleh karena itu, dalam menilai konstitusionalitas ketentuan-ketentuan UU KKR yang dimohonkan pengujian dimaksud, terlebih dahulu perlu dikemukakan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

� o bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia adalah salah satu syarat melekat yang tidak dapat diabaikan; o bahwa penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia demikian terbukti bukan hanya dari diaturnya secara tersendiri bab tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 (Bab XA) dan diundangkannya sejumlah undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia maupun yang berkaitan dengan upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, tetapi juga dengan diratifikasinya instrumen-instrumen hukum internasional yang berkenaan dengan hak asasi manusia; o bahwa sehubungan dengan keikutsertaan Indonesia sebagai pihak (party) dalam berbagai perjanjian internasional, termasuk di dalamnya yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia, Pasal 4 ayat (2) Undang- undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatakan, “Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku”. Dengan demikian, keikutsertaan Indonesia ke dalam berbagai instrumen hukum internasional dalam bidang hak asasi manusia tersebut secara implisit menunjukkan tiga hal: (a) konfirmasi bahwa instrumen-instrumen hukum internasional tersebut adalah sejalan dengan UUD 1945 yang menghormati, melindungi, dan menjamin pemenuhan hak- hak asasi manusia; (b) oleh karena itu Indonesia terikat untuk melaksanakan segala ketentuan dalam instrumen-instrumen hukum internasional tersebut; (c) keterikatan untuk melaksanakan segala ketentuan instrumen hukum internasional dimaksud, yang di dalamnya Indonesia menjadi pihak (party), bukanlah didasari oleh doktrin supremasi hukum internasional atas hukum nasional melainkan semata-mata karena ketentuan-ketentuan dalam berbagai instrumen hukum internasional dimaksud telah diterima sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia melalui proses ratifikasi, sehingga harus diasumsikan adanya praanggapan

� bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya hal mana tidak terjadi selama berlangsungnya proses pemeriksaan terhadap permohonan a quo; o bahwa dalam praktik pelaksanaan di tingkat nasional, ketentuan-ketentuan berbagai instrumen hukum internasional yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia yang berat, in casu dalam kaitannya dengan persoalan amnesti, telah berkembang dua pendapat atau interpretasi: - pertama, pendapat yang menyatakan bahwa terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak berlaku pemberian amnesti; - kedua, pendapat yang menyatakan bahwa dengan adanya klausula dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang menyerahkan pelaksanaan ketentuan-ketentuannya menurut hukum nasional masing- masing negara pihak berarti bahwa pemberian amnesti terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimungkinkan sepanjang hal itu tidak secara tegas dinyatakan dilarang dalam instrumen hukum internasional yang bersangkutan dan sepanjang hal itu oleh negara yang bersangkutan dipandang lebih bermanfaat untuk mencapai tujuan yang lebih besar daripada menghukum pelaku;


Bahwa dengan alasan-alasan di atas dan dengan menilai ketiga ketentuan UU KKR yang dimohonkan pengujian (Pasal 1 angka 9, Pasal 27, Pasal 44) dalam konteks keseluruhan ketentuan UU KKR, maka terhadap permohonan a quo saya berpendapat:

• Konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD 1945 bukan saja karena wewenang untuk memberikan amnesti, menurut UUD 1945, memang merupakan kewenangan Presiden setelah mendengar pertimbangan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, melainkan juga karena pemberian amnesti dalam konteks keseluruhan ketentuan UU KKR adalah dimaksudkan menjamin untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu rekonsiliasi demi tercapainya persatuan nasional; • Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 namun bukan sepenuhnya karena alasan sebagaimana didalilkan Pemohon melainkan karena ketentuan

� Pasal 27 UU KKR dimaksud tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan baik kepada korban maupun pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Ketentuan Pasal 27 UU KKR tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti yang sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak setelah mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa yang bersangkutan adalah korban. Juga tidak adil bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak [Pasal 29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak. Sebaliknya, ketentuan Pasal 27 UU KKR juga tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaku, karena tidak terdapat jaminan dalam undang-undang a quo bahwa pelaku akan dengan sendirinya memperoleh amnesti setelah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Hal itu dikarenakan, menurut ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, jika korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka “Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif”. Undang-undang a quo tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa “Komisi memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif” itu. Namun, dengan mengikuti penalaran yang wajar, dalam frasa tersebut tetap terdapat kemungkinan bahwa pelaku tidak direkomendasikan untuk mendapatkan amnesti, meskipun ia telah mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban dan atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. • Pasal 44 UU KKR tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena justru pada ketentuan Pasal 44 itulah salah satu kunci penting tercapainya tujuan pembentukan UU KKR digantungkan, yaitu apakah para pihak (korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat) akan memilih jalan di luar pengadilan (in casu penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) ataukah melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.

� Menimbang bahwa meskipun telah cukup alasan untuk menyatakan Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945, permohonan a quo tidak serta-merta dapat dinyatakan dikabulkan karena alasan-alasan sebagai berikut:

• Permohonan dapat dinyatakan dikabulkan manakala tidak terdapat keragu- raguan perihal kedudukan hukum (legal standing) pihak yang mengajukan permohonan sehingga tujuan pengabulan permohonan tercapai yaitu pulihnya hak-hak konstitusional pemohon yang terlanggar sebagai akibat diberlakukannya ketentuan undang-undang yang inkonstitusional atau, setidak- tidaknya, hak-hak konstitusional pemohon tidak lagi dirugikan. Sementara itu, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, berdasarkan bukti-bukti yang ada selama berlangsungnya persidangan, status para Pemohon sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat belum sepenuhnya terbukti. Hal itu dikarenakan Pasal 1 angka 5 UU KKR memberi definisi korban sebagai, “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya”. Selama berlangsungnya persidangan, hal-hal yang terungkap adalah bahwa para Pemohon, sebagaimana disebutkan di atas (Pemohon V, VI, VII, VIII), mengalami penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak- hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari suatu peristiwa atau perbuatan pada masa lalu. Yang menjadi pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan dimaksud merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat? Dalam hal inilah timbul keragu-raguan karena: a. di satu pihak, Pasal 1 angka 4 UU KKR menyatakan bahwa yang dimaksud pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Menurut UU Pengadilan HAM, Pasal 7, pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi (a) kejahatan genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Sehingga, dalam hubungannya dengan para Pemohon a quo, pertanyaannya kemudian adalah apakah para Pemohon ini merupakan korban kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan?

� Masalahnya adalah, menurut Pasal 43 ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu, yang berarti termasuk penentuan apakah kejahatan itu merupakan kejahatan kejahatan genosida ataukah kejahatan terhadap kemanusiaan, ditentukan oleh pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian apakah “penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya” yang dialami para Pemohon di atas merupakan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, hal itu digantungkan pada sikap atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga, dilihat dari sudut pandang ini, para Pemohon a quo belum dapat sepenuhnya memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. di pihak lain, UU KKR menyatakan bahwa KKR memiliki beberapa subkomisi, satu di antaranya adalah subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 16 huruf a). Subkomisi ini, menurut Pasal 18 huruf f UU KKR, memiliki kewenangan “menentukan kategori dan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat” sebagaimana dimaksud dalam UU Pengadilan HAM. Dengan ketentuan ini berarti, subkomisi penyelidikan dan klarifikasilah yang berwenang menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu dan sekaligus menentukan jenisnya, yaitu apakah pelanggaran dimaksud adalah kejahatan genosida ataukah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dilihat dari sudut pandang ini pun “penderitaan fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya” yang dialami para Pemohon a quo, pada saat ini, belum dapat dipastikan apakah merupakan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau tidak, karena KKR (termasuk subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat) hingga saat ini belum terbentuk; c. uraian pada huruf a dan b di atas menunjukkan bahwa penentuan kedudukan hukum para Pemohon a quo, atau siapa pun yang mengalami peristiwa yang serupa dengan yang dialami para Pemohon ini, telah diombang-ambingkan oleh dua ketentuan undang-undang dan tidak ada

� penyelesaian. Memang, Mahkamah ini dapat saja menafsirkan bahwa tatkala penyelesaian yang dipilih untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di masa lalu adalah melalui KKR maka yang berlaku adalah ketentuan dalam UU KKR, karena Pasal 47 ayat (1) UU Pengadilan HAM mengatakan, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”. Namun, kalaupun penafsiran ini yang dipegang oleh Mahkamah, tetap saja para Pemohon a quo tidak dapat ditentukan kedudukan hukum (legal standing)-nya pada saat ini karena harus menunggu terbentuknya KKR terlebih dahulu dan dengan asumsi bahwa KKR nantinya akan menentukan bahwa apa yang dialami para Pemohon a quo adalah sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, entah itu berupa kejahatan genosida ataukah kejahatan terhadap kemanusiaan.

• Selanjutnya, bahkan seandainya pun pada saat ini KKR telah terbentuk dan telah menentukan bahwa apa yang dialami oleh para Pemohon a quo adalah sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu, sehingga dengan demikian para Pemohon a quo memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, pengabulan permohonan para Pemohon a quo untuk Pasal 27 UU KKR justru akan menimbulkan kerugian yang lebih besar pada para Pemohon a quo. Hal ini disebabkan oleh adanya ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU KKR, yang rumusannya telah dikutip di atas. Seseorang atau suatu kelompok orang, menurut penalaran yang normal, sangat kecil kemungkinannya untuk mau pengakui kesalahan atau mengakui kebenaran fakta-fakta bahwa ia pernah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu dan kemudian meminta maaf tanpa adanya jaminan bahwa dengan pengakuan dan permintaan maafnya itu orang atau kelompok orang tersebut akan mendapatkan amnesti. Akibat selanjutnya, maka ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu juga akan menjadi sulit untuk diungkap, padahal pengungkapan demikian justru merupakan kondisi atau syarat yang tak dapat ditiadakan untuk dapat dilakukannya pemulihan terhadap hak-hak para Pemohon a quo. Dengan demikian, maka pengabulan Pasal 27

� dengan bertolak dari jalan pikiran para Pemohon a quo, sebagaimana telah diuraikan di atas, dan tanpa melihat konteks UU KKR secara keseluruhan, justru berakibat meniadakan kemungkinan para Pemohon a quo memperoleh kompensasi dan rehabilitasi, yang berarti para Pemohon a quo menjadi lebih dirugikan.

Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, mengikuti jalan pikiran para Pemohon a quo, pemohonan ini seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Karena, setidak-tidaknya dengan menyatakan permohonan ini tidak dapat diterima, masih lebih besar kemungkinannya bagi Pemohon untuk mendapatkan kompensasi.

PANITERA PENGGANTI

TTD.

Alfius Ngatrin.