Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 004/SKLN-IV/2006
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
P U T U S A N
Nomor 004/SKLN-IV/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Drs. H. M. Saleh Manaf, Nomor KTP. 10.1210.180950.1001, Tempat tanggal lahir, Meulaboh, 18 September 1950, Agama Islam, Pekerjaan Bupati Bekasi, Provinsi Jawa Barat, beralamat di Jl. Senayan III Nomor 2, Lippo Cikarang, Taman Olympia, Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi; 2. Drs. Solihin Sari, Nomor KTP. 10.1210.301069.1002, Tempat, tanggal lahir, Bekasi, 30 Oktober 1969, Agama Islam, Pekerjaan Wakil Bupati Bekasi, Provinsi Jawa Barat, beralamat di Perum Taman Beverly, Jl. Palem Kenari I Nomor 23, Lippo Cikarang, Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Selatan, Bekasi; Berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 3 Maret 2006, Pemohon tersebut di atas, memberi kuasa kepada Dr. Iur Adnan Buyung Nasution dkk., memilih domisili hukum di kantor Adnan Buyung Nasution & Partners Law Firm, yang beralamat di Gedung Sampoerna Strategic Square, Tower B, Lantai 18 Jl. Jenderal Sudirman Kav. 45-46 Jakarta, 12930;
Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon;
Terhadap
1. Presiden Republik Indonesia, berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 20 Maret 2006, memberi kuasa kepada Menteri Hukum Dan HAM RI, dan Menteri Sekretaris Negara RI, dan memilih domisili hukum di Kantor Sekretaris Negara Jl. Veteran Nomor 16, Jakarta, selanjutnya disebut sebagai Termohon I;
� 2. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, berdasarkan surat kuasa khusus Nomor 183/546/S.J., bertanggal 20 Maret 2006, memberi kuasa kepada Progo Nurjaman, H.R. dkk., dan memilih domisili hukum di Kantor Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia beralamat di Jl. Medan Merdeka Utara Nomor 7, Jakarta, selanjutnya disebut sebagai Termohon II; 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi, beralamat di Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi, Desa Sukamahi, Kecamatan Cikarang Pusat, Bekasi, Jawa Barat, sebagai Termohon III.
Telah membaca surat permohonan Pemohon;
Telah mendengar keterangan Pemohon;
Telah mendengar keterangan Termohon I;
Telah mendengar keterangan Termohon II;
Telah mendengar keterangan Termohon III;
Telah mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon;
Telah mendengar keterangan Ahli dari Termohon I;
Telah membaca keterangan tertulis Termohon I;
Telah membaca keterangan tertulis Termohon II;
Telah membaca keterangan tertulis Termohon III;
Telah membaca keterangan tertulis para Ahli dari Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Telah membaca kesimpulan akhir Pemohon;
DUDUK PERKARA
Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonannya dengan surat bertanggal 10 Maret 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, pada hari Jumat tanggal 10 Maret 2006 dan diregistrasi dengan Nomor 004/SKLN-IV/2006, serta perbaikan permohonan Pemohon bertanggal 29 Maret 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Rabu tanggal 29 Maret 2006, pada dasarnya Pemohon mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
� Adapun alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon adalah Bupati/Wakil Bupati Bekasi selaku Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi yang sah berdasarkan: i. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, (Bukti P-2); ii. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, (Bukti P-3); iii. Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan Bupati Bekasi bertanggal 21 Januari 2004 (Bukti P-4); serta iv. Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan Wakil Bupati Bekasi bertanggal 21 Januari 2004 (Bukti P-5);
2 Bahwa kedudukan Pemohon sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi merupakan hasil
dari suatu proses pemilihan yang sah dan demokratis, sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a dan c dan Pasal 40
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah;
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berbunyi:
�Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis�.
Pemilihan Bupati secara demokratis tersebut dalam pelaksanaannya pada Tahun 2003, dilakukan oleh DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi:
�
�DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk a) memilih Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota�
Mekanisme pemilihan Bupati/Wakil Bupati menurut Pasal 40 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun1999 adalah sebagai berikut:
(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.
(2) Setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya kepada satu pasang calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dari pasangan calon yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4);
(3) Pasangan calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden;
3. Pengesahan Bupati/Wakil Bupati oleh Presiden dalam pelaksanaannya
didelegasikan kepada Menteri Dalam Negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan,
Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sedangkan untuk pelantikan Bupati/Wakil Bupati oleh Presiden, dalam
pelaksanaannya didelegasikan kepada Gubernur sebagaimana diatur dalam Pasal
36 ayat (3) PP Nomor 151 Tahun 2000;
4. Pemungutan suara dalam proses pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi masa
jabatan tahun 2003-2008, sudah dilaksanakan pada tanggal 3 November 2003
oleh seluruh anggota DPRD Bekasi, dengan hasil perolehan suara dari 45 anggota
DPRD adalah sebagai berikut:
i. pasangan Drs. H.M. Saleh Manaf dan Drs. Solihin Sari memperoleh 24 suara;
ii. pasangan H. Wikanda Darmawijaya dan Abdul Rasyad Irwan Siswadi
memperoleh 11 suara; dan
iii. pasangan Drs. H. Damanhuri Husein dan Drs. H. Adhy Firdaus memperoleh 10
suara.
Hasil pemilihan tersebut kemudian ditetapkan dalam Keputusan DPRD Kabupaten
Bekasi Nomor 29/KEP/170-DPRD/2003 bertanggal 9 Desember 2003 tentang
Penetapan Nama Pasangan Calon Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Bekasi Masa
�
Jabatan Tahun 2003-2008 (Bukti P-1). Berdasarkan kewenangan yang
didelegasikan dari Termohon I sebagaimana diuraikan dalam butir 3, selanjutnya
Termohon II mengesahkan Drs. H.M. Saleh Manaf dan Drs. Solihin Sari sebagai
Bupati/Wakil Bupati Bekasi masa jabatan tahun 2003-2008 sebagaimana
disebutkan dalam butir 1 di atas.
5. Bahwa sejak pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan sebagai Bupati dan
Wakil Bupati Bekasi pada tanggal 21 Januari 2004, Pemohon selaku Kepala
Pemerintahan Daerah Kabupaten Bekasi masa jabatan 2003-2008 telah
melaksanakan tugas, kewenangan dan hak konstitusionalnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (2), (5), dan (6) UUD 1945, yaitu: 1) mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan; 2) menjalankan otonomi seluas-luasnya; dan 3)
menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan. Adapun jenis serta jumlah produk hukum yang
sudah dilaksanakan oleh Pemohon dalam rangka menjalankan tugas,
kewenangan, dan hak Konstitusional sebagaimana dimaksud di atas, selama
tahun 2004 sampai dengan tahun 2005, diantaranya adalah:
a. 20 (dua puluh) Peraturan Daerah;
b. 69 (enam puluh sembilan) Keputusan/Peraturan Bupati (yang bersifat
mengatur);
c. 672 (enam ratus tujuh puluh dua) Keputusan Bupati (yang bersifat penetapan);
dan
d. 7 (tujuh) Instruksi Bupati yang sebagian dilampirkan sebagai bukti (Bukti P-11).
6. Bahwa secara tiba-tiba, pada tanggal 16 Januari 2006 Pemohon dipanggil oleh
Gubernur Jawa Barat yang memberitahukan bahwa Pemohon diberhentikan oleh
Termohon II dari jabatannya selaku Bupati/Wakil Bupati Bekasi masa jabatan
2003-2008. Kepada Pemohon, Gubernur kemudian menyerahkan; (i) Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 tertanggal 4
Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
131.32-36 Tahun 2004 tertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan
Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa
Barat; dan (ii) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-12 Tahun
2006 bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam
�
Negeri Nomor 131.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat. Oleh karena
ada kesalahan dalam pencantuman nomor, maka SK Mendagri Pemberhentian
Wakil Bupati Bekasi Nomor 132.32-12 Tahun 2006 tersebut kemudian diperbaiki
dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006
bertanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
7. Bahwa sejak diberhentikan oleh Termohon II, Pemohon tidak dapat melaksanakan
kepentingan langsung Pemohon, yaitu melaksanakan tugas, kewenangan dan hak
konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2), (5), dan (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
ayat (2):
�Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan�.
ayat (5):
�Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan�.
ayat (6):
�Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan�.
8. Pemohon menilai bahwa tindakan Termohon II, yaitu memberhentikan Pemohon
dari jabatannya selaku Bupati/Wakil Bupati Bekasi, merupakan tindakan yang
melampaui kewenangannya sebagaimana ditentukan dalam konstitusi karena
tindakan tersebut nyata-nyata dilakukan tanpa melalui mekanisme pemberhentian
yang sah sebagaimana diatur dalam Konstitusi, yaitu Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Bupati
selaku Kepala Pemerintahan Daerah dipilih secara demokratis. Pemilihan
dimaksud pada waktu itu mengacu kepada mekanisme pemilihan sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang dilaksanakan oleh
DPRD. Berdasarkan prinsip a contrario actus yang berlaku universal dalam ilmu
hukum, maka yang berwenang memberhentikan Kepala Daerah adalah DPRD.
Prinsip dimaksud telah dijadikan pedoman oleh Mahkamah Konstitusi dalam
�
Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004, pada bagian pertimbangan hukum
angka 5 yang menyatakan:
�Sesuai dengan prinsip a contrario actus, yang berlaku universal dalam ilmu
hukum, maka pembatalan suatu tindakan hukum harus dilakukan menurut cara
dan oleh badan yang sama dalam pembentukannya. Guna menjamin kepastian
hukum sebagaimana terkandung dalam prinsip negara hukum menurut Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
karena lembaga yang menetapkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah adalah KPUD, maka KPUD pula yang seharusnya diberi
kewenangan untuk membatalkannya�.
9. Berdasarkan prinsip tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Termohon II telah
melanggar Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 karena Termohon II sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk
memberhentikan Pemohon, dimana yang berwenang untuk memberhentikan
Pemohon hanyalah DPRD, karena merupakan kewenangan konstitutif DPRD
sebagai pelaksanaan dari asas kedaulatan rakyat. Alasan dan mekanisme
pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50,
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Pasal
29 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Pemberhentian Kepala Daerah oleh
DPRD itu pun tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang, akan tetapi harus
memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan secara limitatif sebagaimana
diatur dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004.
Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 berbunyi:
�Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan�.
Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 berbunyi:
�Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena:
a) berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
b) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
�
c) tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah;
d) dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah;
e) tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
f) melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah�.
10. Lebih-lebih sampai saat ini DPRD Kabupaten Bekasi tidak pernah
memberhentikan Pemohon dari jabatannya sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi
sebagaimana diungkapkan Termohon III dalam sidang pemeriksaan di Mahkamah
Konstitusi dalam perkara Nomor 004/SKLN-IV/2006. Dengan demikian terbukti
tindakan Termohon II yang memberhentikan Pemohon dari jabatannya tanpa ada
keputusan dari DPRD tersebut telah melanggar Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945 jo. Pasal 29 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
11. Bahwa pemberhentian Bupati/Wakil Bupati selaku Kepala Pemerintahan Daerah
tanpa melalui mekanisme pemberhentian oleh DPRD hanya bisa dilakukan oleh
Termohon I apabila Bupati/Wakil Bupati Bekasi terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau
lebih, atau melakukan perbuatan makar atau perbuatan lainnya yang dapat
memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde)
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 dan 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004.
Pasal 30 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30 :
�Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap�.
Pasal 31 ayat (2) :
�Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain
�
yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap�.
12. Terlebih lagi, kewenangan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah
berada pada Termohon I sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu. Itu
pun bisa dilakukan oleh Termohon I apabila memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam undang-undang sebagaimana ditentukan di atas. Termohon I
sendiri tidak dapat memberhentikan Pemohon hanya berdasarkan pada putusan
MA RI, apalagi Termohon II. Oleh karena kewenangan hanya berada pada
Termohon I, maka sudah seharusnya Termohon I mengoreksi tindakan Termohon
II yang merupakan pembantu dari Termohon I. Selain itu seluruh tindakan dari
Termohon II merupakan tanggung jawab dari Termohon I, karena Termohon I
yang mengangkat dan memberhentikan Termohon II sebagaimana ditentukan
dalam konstitusi Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 berbunyi:
(1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara;
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
13. Bahwa menurut Termohon II dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 004/SKLN/2006 pada tanggal 21
Maret 2006, tindakan Termohon II yang memberhentikan Pemohon didasarkan
atas Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (�MA RI�) Nomor 436
K/TUN/2004 yang pada pokoknya membatalkan SK Mendagri Pengangkatan
Bupati Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 dan SK Mendagri
Pengangkatan Wakil Bupati Nomor 132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari
2004 (Bukti P-9).
14. Pemohon menilai tindakan MA RI untuk memeriksa SK Mendagri Pengangkatan
Bupati Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 dan SK Mendagri
Pengangkatan Wakil Bupati Nomor 132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari
2004 telah melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan ketentuan yang
diatur dalam Pasal 2 huruf (g) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa Keputusan Panitia Pemilihan,
�
baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum (in casu) tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
15. Terbitnya SK Mendagri Pengangkatan Bupati Nomor 131.32-36 Tahun 2004
bertanggal 8 Januari 2004 dan SK Mendagri Pengangkatan Wakil Bupati Nomor
132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 merupakan satu rangkaian
kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dari proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Bekasi masa jabatan 2003-2008 yang menjadi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab DPRD Kabupaten Bekasi, sehingga termasuk dalam ruang
lingkup politik dari suatu badan legislatif yang tidak dapat diperiksa, diadili, serta
diputus oleh Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2
huruf (g) Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004. Selain itu dasar bahwa Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak
berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus hasil suatu pemilihan yang
bersifat umum dipertegas dengan adanya jurisprudensi MA RI sebagaimana
tertuang dalam Putusan Nomor 482 K/TUN/2003 tertanggal 18 Agustus 2004,
yang menyatakan:
�Bahwa Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan perbuatan-perbuatan
hukum yang termasuk dalam ruang lingkup politik dan didasarkan pada
pandangan-pandangan politis para pemilih maupun yang dipilih. Hasil Pilkades
juga merupakan hasil dari suatu pemilihan yang bersifat umum di lingkungan desa
yang bersangkutan, oleh karenanya keputusan hasil Pilkades tidak termasuk
pengertian KTUN menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 (Vide Pasal 2
huruf (g) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986)�.
Dengan demikian terbitnya SK Mendagri Pengangkatan Bupati Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 dan SK Mendagri Pengangkatan Wakil Bupati Nomor 132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 yang didasarkan pada dan merupakan tindak lanjut dari Keputusan DPRD Nomor 29/KEP/170- DPRD2003 bertanggal 9 Desember 2003 secara jelas merupakan produk hukum badan legislatif sebagai representasi dari keinginan atau suara rakyat (vox populi vox dei/suara rakyat adalah suara Tuhan), sehingga di luar kewenangan MA RI Termohon I untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap kesalahan dan kekeliruan MA RI ini, Pemohon telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap Putusan MA RI Nomor 436 K/2004 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan MA RI dengan nomor registrasi 01 PK/TUN/2006.
�
16. Bahwa pemberhentian Bupati/Wakil Bupati selaku Kepala Daerah oleh Termohon
II yang didasarkan atas Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak
pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Selain itu tidak ada satu aturan pun yang memberikan kewenangan secara
langsung kepada Termohon II untuk memberhentikan Bupati/Wakil Bupati selaku
Kepala Pemerintahan Daerah. Kewenangan Termohon II untuk memberhentikan
Bupati/Wakil Bupati hanyalah berasal dari pendelegasian kewenangan yang
dimiliki oleh Termohon I.
17. Namun demikian, meskipun Termohon II merasa memiliki kewenangan
memberhentikan Bupati/Wakil Bupati berdasarkan Putusan MA RI Nomor 436
K/TUN/2004 tersebut, quod non, ternyata Termohon II telah keliru dalam
melaksanakan substansi Putusan MA RI Nomor 436 K/TUN/2005 karena dalam
pertimbangan hukum Putusan MA tersebut berbunyi:
�Bahwa d isamping hal-hal tersebut di atas, karena keadaan sudah berubah yang
terjadi di lapangan yang tidak memungkinkan bagi Penggugat/Pemohon Kasasi
diangkat kembali menjadi Bupati karena sudah ada Bupati dan Wakil Bupati
terpilih, maka gugatan Penggugat/Pemohon Kasasi�.
Dengan demikian, MA sudah memiliki pendirian dan menyatakan sikap yang jelas tentang proses pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi masa jabatan tahun 2003- 2008, yaitu mengakui adanya Bupati/Wakil Bupati terpilih berdasarkan Keputusan DPRD Nomor 29/KEP/170-DPRD2003 bertanggal 9 Desember 2003 yang menetapkan Drs. H.M. Saleh Manaf dan Drs. Solihin Sari sebagai Bupati/WakilBupati Bekasi lebih-lebih sampai saat ini Keputusan DPRD Nomor 29/KEP/170-DPRD2003 bertanggal 9 Desember 2003 tidak pernah dinyatakan batal atau dicabut. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka tindakan Termohon II yang memberhentikan Pemohon nyata-nyata sudah melebihi kewenangannya.
18. Bahwa salah satu tugas konstitusional Pemohon selaku kepala pemerintahan
daerah adalah menetapkan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18
ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal
25 huruf c dan d Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berbunyi:
�
�Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan�.
Pasal 25 huruf c Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 berbunyi:
�Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD�.
Pasal 25 huruf d Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 berbunyi:
�Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama�.
19. Bahwa pada tanggal 28 Februari 2006, Termohon III telah pula mengabaikan
kewenangan Pemohon sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 25 huruf c dan d
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut di atas karena telah membuat
keputusan mengenai peraturan daerah tentang APBD tanpa melibatkan Pemohon,
yaitu mengeluarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Bekasi Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 bertanggal 28 Pebruari 2006 tentang
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi terhadap
ditetapkannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006 menjadi Peraturan Daerah tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006,
dimana salah satunya menetapkan anggaran untuk pelaksanaan pemilihan
kepala/wakil kepala daerah secara langsung. Dengan demikian, tindakan
Termohon III tersebut juga sudah melampaui kewenangannya dan merugikan
kepentingan langsung Pemohon.
PERMOHONAN PROVISI
1. Bahwa akibat tindakan-tindakan Termohon II dan Termohon III sebagaimana
diuraikan di atas, telah timbul sengketa kewenangan lembaga negara yang
merugikan kepentingan langsung Pemohon, antara Pemohon dengan Termohon I,
Termohon II dan Termohon III yang mengakibatkan terganggunya roda
pemerintahan daerah Kabupaten Bekasi, karena Pemohon tidak dapat
melaksanakan tugas, wewenang dan hak konstitusionalnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
�
2. Bahwa Pemohon merasa berkepentingan supaya, sebelum adanya putusan
Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan sengketa
kewenangan ini dapat tetap melaksanakan hak-hak konstitusionalnya sebagai
kepala pemerintahan daerah Kabupaten Bekasi masa jabatan tahun 2003-2008
dan guna menghindari kerugian yang semakin besar yang diderita oleh Pemohon
maupun kepentingan masyarakat luas di Kabupaten Bekasi.
3. Berkaitan dengan penunjukan Sekretaris Daerah sebagai pelaksana tugas untuk
melaksanakan tugas sehari-hari sampai dengan Presiden mengangkat Pejabat
Kepala Daerah, kewenangan Pelaksana Tugas sebagaimana diatur dalam Surat
Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10
Desember 2001 tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil sebagai
Pelaksana Tugas dalam angka 2 huruf g adalah:
�Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai pelaksana tugas tidak memiliki
kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat
seperti pembuatan DP3, penetapan surat keputusan, penjatuhan hukuman
disiplin dan sebagainya�.
Atas dasar itu, maka ada beberapa kewenangan mendasar yang tidak dapat
dilakukan oleh Pelaksana Tugas (Plt), yaitu kewenangan untuk menetapkan produk
hukum dan kebijakan, diantaranya berupa:
a. Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapat Belanja Daerah (APBD)
Kabupaten Bekasi Tahun Anggaran 2006;
b. Kebijakan di bidang kepegawaian yang belum bisa diterapkan terkait dengan
kebijakan mutasi, rotasi dan promosi, domosi serta penetapan CPNSD;
c. Kebijakan untuk melakukan perjanjian-perjanjian kerjasama dengan pihak
ketiga.
4. Berdasarkan Pasal 63 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 untuk selanjutnya
disebut UUMK, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang
memerintahkan pada Pemohon dan/atau Termohon untuk menghentikan
sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan
Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
oleh Mahkamah Konstitusi dimaksud, dan guna menghindari kerugian Pemohon
karena tidak bisa melaksanakan tugas konstitusionalnya yang berakibat pada
�
terganggunya roda pemerintahan Kabupaten Bekasi yang dapat merugikan
kepentingan umum masyarakat Kabupaten Bekasi, maka Mahkamah Konstitusi
perlu mengeluarkan suatu penetapan yang memerintahkan Termohon II untuk
menghentikan sementara pelaksanaan SK Mendagri Pemberhentian Bupati Nomor
131/2006 dan SK Mendagri Pemberhentian Wakil Bupati Nomor 132/2006 serta
memerintahkan Termohon III untuk menghentikan sementara pelaksanaan
Keputusan DPRD Nomor 6/2006.
MENGENAI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf (b) UUMK, pada
pokoknya disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
OBJEK SENGKETA
Bahwa yang menjadi objek sengketa dalam permohonan ini adalah tindakan Termohon II dan tindakan Termohon III sebagaimana sudah diuraikan di atas.
PARA PIHAK
Bahwa para pihak yang bersengketa dalam dalam perkara ini adalah Pemohon, Bupati/Wakil Bupati Bekasi selaku Kepala Pemerintahan Kabupaten Bekasi dengan Presiden Republik Indonesia sebagai Termohon I, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia sebagai Termohon II, dan DPRD Kabupaten Bekasi sebagai Termohon III.
Bahwa para pihak adalah lembaga negara yang kedudukan/kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pemohon adalah Bupati/Wakil Bupati Bekasi selaku kepala pemerintahan daerah
kabupaten yang kedudukannya sebagai lembaga negara diatur dalam Pasal 18
ayat (2), (3), (4), (5), dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
�
2. Presiden Republik Indonesia sebagai Termohon I adalah lembaga negara yang
kedudukannya diatur dalam Pasal 4, 5, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, dan 23F
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia sebagai Termohon II, adalah lembaga
negara yang kedudukannya diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
4. DPRD Kabupaten Bekasi sebagai Termohon III adalah lembaga negara yang
kedudukannya diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, para pihak yaitu Pemohon, Termohon I, Termohon II, dan
Termohon III adalah lembaga negara yang memperoleh kewenangannya
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MENGENAI KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Pasal 61 UUMK menyebutkan bahwa �Pemohon adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan�.
2. Pemohon adalah Bupati/Wakil Bupati Bekasi sebagai kepala pemerintahan daerah
Kabupaten Bekasi yang kedudukannya diatur dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (4), (5)
dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon
dalam hal ini diwakili oleh Drs. H.M. Saleh Manaf dan Drs. Solihin Sari masing-
masing berturut-turut sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi yang telah dilantik
oleh dan mengucapkan sumpah jabatan di depan Gubernur Jawa Barat pada
tanggal 21 Januari 2004 sebagaimana dibuktikan dengan Berita Acara
Pengangkatan Sumpah Jabatan Bupati Bekasi, Berita Acara Pengangkatan
Sumpah Jabatan Wakil Bupati Bekasi, SK Mendagri Pengangkatan Bupati Nomor
131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 dan SK Mendagri
Pengangkatan Wakil Bupati Nomor 132/2004. Dengan demikian, Pemohon
berdasarkan Pasal 25 huruf (f) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 berhak
mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
�
3. Bahwa yang menjadi dasar Permohonan ini adalah karena Pemohon memiliki
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan, yaitu
tindakan Termohon II dan tindakan Termohon III tersebut diatas yang
mengakibatkan Pemohon mengalami kerugian konstitusional karena tidak dapat
melaksanakan tugas konstitusionalnya, sebagaimana diamanatkan dalam
Konstitusi Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak selaku Pemohon di hadapan Mahkamah Konstitusi
dalam Permohonan ini. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini.
Berdasarkan seluruh penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, maka
Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara ini untuk memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM PROVISI:
Memerintahkan kepada Termohon I, Termohon II dan Termohon III untuk
menghentikan sementara pelaksanaan:
(i) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 tertanggal
4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
131.32-36 Tahun 2004 tertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan
Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa
Barat;
(ii) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 tertanggal
19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat; dan
(iii) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor
06/KEP/172.2-DPRD/2006 tertanggal 28 Pebruari 2006 tentang Persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi terhadap Ditetapkannya
�
Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Bekasi Tahun 2006 menjadi Peraturan Daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006. Sampai ada
putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa Termohon II tidak berwenang untuk memberhentikan
Pemohon dengan menerbitkan:
- Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006
bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang
Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi
Provinsi Jawa Barat; dan
- Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006
bertanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
3. Menyatakan bahwa Termohon III tidak berwenang untuk menetapkan Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 06/KEP/172.2-
DPRD/2006 bertanggal 28 Pebruari 2006 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi terhadap Ditetapkannya Rancangan Peraturan
Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi
Tahun 2006 menjadi Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006;
4. Menyatakan batal demi hukum:
4.1 Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006
bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang
Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi
Provinsi Jawa Barat;
�
4.2 Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 tahun 2006
tertanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian
dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
4.3 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor
06/KEP/172.2-DPRD/2006 tertanggal 28 Februari 2006 tentang Persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi terhadap
Ditetapkannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006 menjadi Peraturan
Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Bekasi Tahun 2006;
5. Memerintahkan Termohon I cq Termohon II untuk mengesahkan dan melantik
kembali Pemohon sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi masa jabatan tahun
2003-2008 serta memulihkan dan/atau mengembalikan segala hak dan
kewenangan konstitusionalnya;
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan didasarkan pada rasa
keadilan dan kepatutan.
Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon
mengajukan alat-alat bukti tertulis sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 29/KEP/170-DPRD/2003 bertanggal 9 Desember 2003 tentang Penetapan Nama Pasangan Calon Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Bekasi Masa Jabatan Tahun 2003-2008;
2. Bukti P-2 : Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
3. Bukti P-3 : Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
�
4. Bukti P-4 : Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan Bupati Bekasi
tertanggal 21 Januari 2004;
5. Bukti P-5 : Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan Wakil Bupati Bekasi tertanggal 21 Januari 2004;
6. Bukti P-6 : Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.32-11 Tahun 2006 bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
7. Bukti P-7 : Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-12 Tahun 2006 bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
8. Bukti P-8 : Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 132.32-35 Tahun 2006 bertanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
9. Bukti P-9 : Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 436 K/TUN/2004 tanggal 6 Juli 2005;
10. Bukti P-10 : Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 bertanggal 28 Februari 2006 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi terhadap Ditetapkannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006 menjadi Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006;
�
11. Bukti P-11.a: Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2004
tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Bekasi, ditetapkan di Bekasi pada tanggal 10 Mei 2004 dan
diundangkan di Bekasi pada tanggal 14 Mei 2004;
12. Bukti P-11.b: Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan kepada Desa, disahkan di Bekasi pada tanggal 27 April 2005 dan diundangkan di Bekasi pada tanggal 4 Juli 2005;
13. Bukti P-11.c: Peraturan Bupati Bekasi Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pasar pada Dinas Pasar dan Kebersihan Kabupaten Bekasi, ditetapkan di Bekasi pada tanggal 21 September 2005;
14. Bukti P-11.d: Instruksi Bupati Bekasi tentang Penghematan Energi;
15. Bukti P-12: Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-20/V.24- 25/99 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil sebagai Pelaksana Tugas;
Bahwa Majelis telah memeriksa seluruh bukti-bukti dan dokumen-dokumen yang diajukan oleh Pemohon tersebut di atas;
Presiden Republik Indonesia sebagai Termohon I:
Selanjutnya terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon I menyampaikan keterangan lisan dan tertulisnya pada persidangan tanggal 19 April 2006 yang dibacakan pada persidangan hari itu juga, pada pokoknya sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
1. Objek sengketa dalam perkara a quo, sebagaimana dapat disimpulkan dari
salinan perbaikan permohonan Pemohon tanggal 29 Maret 2006, pada
dasarnya adalah tindakan Termohon II dan Termohon III. Tindakan Termohon
II yang dimaksud adalah pemberhentian Pemohon dari jabatannya masing-
masing selaku Bupati dan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, dan
tindakan Termohon III adalah persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD Kabupaten Bekasi Tahun 2006 tanpa melibatkan Pemohon.
�
2. Menurut Pemohon, tindakan-tindakan Termohon II dan Termohon III tersebut
telah menimbulkan sengketa kewenangan lembaga negara yang merugikan
kepentingan Iangsung Pemohon, antara Pemohon dengan Termohon I,
Termohon II dan Termohon III yang mengakibatkan terganggunya roda
pemerintahan daerah Kabupaten Bekasi karena Pemohon tidak dapat
melaksanakan tugas, wewenang dan hak konstitusionalnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004.
3. Pemberhentian Pemohon dari jabatannya masing-masing selaku Bupati dan
Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, dilakukan oleh Termohon II
berdasarkan:
a. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 tanggal 4
Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
131.32-36 Tahun 2004 tertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan
Pemberhentian dan Pengesahan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat; dan
b. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-12 Tahun 2006 tanggal 4
Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
131.32-37 Tahun 2004 tertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan
Pemberhentian dan Pengesahan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat
jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 tanggal
19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 131.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
4. Menurut Pemohon, Termohon I seharusnya mengoreksi tindakan Termohon II
karena merupakan pembantu Termohon I. Selain itu, seluruh tindakan
Termohon II merupakan tanggung jawab dari Termohon I yang mengangkat
dan memberhentikan Termohon II sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi
Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
� II. KEDUDUKAN HUKUM TERMOHON I
1. Termohon I sependapat dengan Pemohon, bahwa Termohon II secara
konstitusional merupakan pembantu Termohon I:
a) Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar;
b) Pasal 4 ayat (2) menentukan, dalam melakukan kewajibannya Presiden
dibantu oleh satu orang Wakil Presiden; dan
c) Pasal 17 ayat (1) menentukan, Presiden dibantu oleh Menteri-menteri
negara;
d) Pasal 17 ayat (2) menentukan, Menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden;
e) Pasal 17 ayat (3) menentukan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu
dalam pemerintahan.
2. Termohon II adalah Menteri Dalam Negeri yang diangkat Presiden berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 187/M.Tahun 2004 jo. Keputusan Presiden Nomor
8/M.Tahun 2005 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 187/M.Tahun
2004.
3. Berdasarkan ketentuan di atas, adalah benar bahwa secara konstitusional
kedudukan Termohon II merupakan pembantu Termohon I dan benar pula
bahwa Termohon II telah diangkat oleh Termohon I menjadi Menteri Dalam
Negeri. Kendati kedudukan Termohon II yang sedemikian, tidak lantas
diartikan sebagaimana dikemukakan Pemohon, bahwa seluruh tindakan
Termohon II merupakan tanggung jawab Termohon I.
4. Menurut Termohon I, setiap menteri negara termasuk Termohon II memiliki
kewenangan atribusian yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yakni membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan. Karena itu sejalan dengan pengertian kewenangan atribusian
maka setiap menteri menjalankan kewenangannya itu atas kuasanya sendiri
dan atas tanggung jawabnya sendiri, termasuk tanggung jawab di depan
hukum atas tindakan yang dilakukan baik berupa tindakan hukum
(rechtshandelingen) maupun tindakan yang bersifat nyata (faitelijke
handelingen).
�
III. TINDAKAN HUKUM TERMOHON II
1. Tindakan hukum Termohon II dalam perkara a quo, menurut pendapat
Termohon I termasuk dalam lapangan hukum administrasi atau hukum tata
usaha negara, berupa suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Keputusan Tata Usaha Negara, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, adalah
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit,
individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
3. Selanjutnya yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004, adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka tindakan hukum Termohon II
memberhentikan Pemohon dari jabatannya selaku Bupati dan Wakil Bupati
Bekasi adalah memiliki kualifikasi hukum yang sama dengan tindakan
Termohon II mengangkat Pemohon selaku Bupati dan Wakil Bupati Bekasi
Provinsi Jawa Barat.
5. Pengangkatan Pemohon selaku Bupati dan Wakil Bupati Bekasi Provinsi
Jawa Barat dilakukan Termohon II, berdasarkan:
a) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 tanggal
8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat; dan
b) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tanggal
8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
�
6. Tindakan hukum Termohon II mengangkat Pemohon selaku Bupati dan
Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat menimbulkan Sengketa Tata
Usaha Negara, antara H. Wikanda Darmawijaya (sebagai Penggugat) dan
Menteri Dalam Negeri (sebagai Tergugat) dan Drs. H.M. Saleh Manaf
(Tergugat II/Intervensi).
7. Sengketa Tata Usaha Negara, menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata usaha Negara, baik
di Pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
8. Sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat tindakan hukum Termohon II
mengangkat Pemohon selaku Bupati dan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa
Barat, pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan keputusan
pengangkatan tersebut batal dan memerintahkan untuk dicabut melalui
Putusan Mahkamah Agung Nomor 436 K/TUN/2004 tanggal 6 Juni 2006;
9. Setiap orang, termasuk setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
terkait dengan suatu sengketa wajib mematuhi putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 116 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, memuat akibat
hukum jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara .tidak melaksanakan
putusan pengadilan yang mencantumkan kewajiban untuk mencabut
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan:
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi, jika dalam waktu 4 (empat) bulan
setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dikirimkan, tidak dicabut;
b) Pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif;
�
c) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan tersebut
diumumkan pada media masa cetak setempat oleh Panitera.
10. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan
hukum Termohon II mencabut :
a. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 tanggal
8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat; dan
b. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tanggal
8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, adalah sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Karena itu pula Termohon I tidak
perlu melakukan koreksi apalagi menjatuhkan sanksi adminsitratif,
karena tindakan Termohon II adalah dalam rangka melaksanakan
putusan pengadilan tingkat kasasi yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Ketaatan kepada putusan lembaga peradilan, dilakukan
dalam rangka menegakkan supremasi hukum.
11. Pemohon mengakui meskipun tidak dinyatakan secara terang bahwa
tindakan hukum Termohon II memberhentikan Pemohon dari jabatannya
masing-masing selaku Bupati dan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat
terletak di lapangan hukum Tata Usaha Negara. Hal ini terlihat dari fakta
hukum bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
(PK) ke Mahkamah Agung atas putusan kasasi Sengketa Tata Usaha
Negara tersebut, dengan nomor registrasi 01 PK/TUN/2005.
12. Termohon I tidak berada dalam posisi untuk menyampaikan pembelaan atas
pendapat Pemohon bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah
Agung tidak berwenang mengadili hasil pemilihan Bupati/Wakil Bupati,
namun Termohon I merasa perlu memberi catatan atas pernyataan
permohonan tersebut. Adalah benar, bahwa menurut Pasal 2 huruf g
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004, Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara.
�
13. Menurut Termohon I, ketentuan pengecualian di atas tidak dimaksudkan
untuk mengurangi sifat hukum keputusan komisi pemilihan umum sebagai
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi lebih menunjukkan, bahwa
penyelesaian sengketa yang timbul dari Keputusan Komisi Pemilihan Umum
tidak menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara karena
kewenangan tersebut telah diserahkan kepada lembaga lain, yakni kepada
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan untuk sengketa pemilihan
kepala daerah diberikan kepada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
14. Menurut Termohon I, Pemohon kurang cermat meneliti ketentuan-ketentuan
di atas, karena ketentuan-ketentuan itu mengatur sengketa hasil pemilihan
umum, sementara sengketa yang diperiksa, diadili, dan diputus Pengadilan
Tata Usaha Negara yang sekarang dipermasalahkan, bukanlah sengketa
hasil pemilihan umum atau hasil pemilihan kepala daerah, tetapi sengketa
atas tindakan hukum Termohon II mengangkat Pemohon selaku
Bupati/Wakil Bupati Bekasi, yang dinilai oleh PTUN dan Mahkamah Agung
terbukti dilakukan berdasarkan hal-hal yang mengandung cacat hukum dan
cacat administrasi. Pemohon dalam permohonannya secara eksplisit juga
mengakui bahwa pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi dilakukan oleh
DPRD Bekasi. Pemilihan itu belum dilakukan secara langsung oleh rakyat di
daerah tersebut, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.
Karena itu, dalam kasus ini tidak mungkin akan ada sengketa hasil Pemilu
atau sengketa Pilkada Bupati/Wakil Bupati, yang jika terjadi sengketa
yurisdiksinya berada pada Mahkamah Konstitusi atau Pengadilan Tinggi.
15. Pemohon menyatakan bahwa Termohon II telah keliru dalam melaksanakan
substansi Putusan Mahkamah Agung, dengan mengacu pada pertimbangan
hukum dari putusan tersebut. Pernyataan Pemohon ini haruslah ditolak.
Sesuai sifatnya, pertimbangan hukum putusan pengadilan berfungsi sebagai
pijakan hakim dalam mengambil keputusan atas perkara yang diperiksa.
Putusan hakim, tertuang dalam diktum atau amar putusan. Diktum atau
�
amar putusan itulah yang mengikat para pihak yang berperkara, bukan
pertimbangan hukumnya. Apabila terjadi inkonsistensi antara pertimbangan
hukum dengan diktum atau amar putusan, maka para pihak dapat
melakukan upaya hukum agar pengadilan yang Iebih tinggi melakukan
koreksi terhadap inkonsistensi itu. Dalam hal terjadi inkonsistensi antara
pertimbangan hukum dengan diktum atau amar putusan perkara pada
tingkat kasasi, mungkin saja dilakukan upaya peninjauan kembali. Namun
adalah langkah yang tidak semestinya, jika Pemohon dalam permohonan ini,
mengambil bagian tertentu dari pertimbangan hukum putusan perkara di
tingkat Mahkamah Agung, untuk dijadikan sebagai dalil dalam permohonan
di Mahkamah Konstitusi. Apalagi dalam pertimbangan hukum yang dikutip
Pemohon, bahwa telah terjadi perubahan keadaan di lapangan sehingga
tidak memungkinkan bagi Penggugat/Pemohon Kasasi diangkat kembali
menjadi Bupati karena sudah ada Bupati dan Wakil Bupati yang dipilih,
maka menurut hemat kami, pertimbangan Mahkamah Agung tersebut tidak
secara tepat menggambarkan keadaan yang melingkupi perkara a quo.
IV. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa, Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk, antara lain, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
2. Pasal 61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menentukan bahwa, Pemohon dalam sengketa kewenangan
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
3. Bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan di atas, beberapa isu hukum yang
dapat dikemukakan:
a. Bagaimana konsepsi lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; apakah dengan disebutkannya
�
suatu lembaga atau badan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sudah dianggap cukup untuk
mengkategorikannya sebagai lembaga negara;
b. Apakah yang dimaksud dengan kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Apakah benar terjadi sengketa kewenangan antara Pemohon dan
Termohon I, Termohon II, dan Termohon III.
4. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 balk
sebelum maupun setelah amandemen, tidak ditemukan ketentuan yang
dapat memberi gambaran mengenai konsepsi lembaga negara yang
dimaksud Undang-Undang Dasar. Begitu pula keterangan mengenai hal
tersebut juga tidak diketemukan baik dalam risalah sidang-sidang
pembentukannya (BPUPKI), pengesahannya (PPKI) maupun dalam sidang-
sidang perubahannya (PAH I MPR). Risalah Rapat Tertutup PAH I Badan
Pekerja MPR tanggal 26 September 2001, menyimpulkan antara lain, "tidak
ada suatu pernyataan atau pembicaraan yang secara khusus terungkap
dalam rapat-rapat PAH I yang memberikan definisi atau batasan pasti
tentang apa yang dimaksud dengan lembaga negara". Namun pembentuk
undang-undang, dalam hal ini Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, termasuk kami sendiri yang pada waktu itu
menjadi Menteri Kehakiman dan HAM dan mewakili Presiden dalam
membahas RUU tersebut, menginginkan agar lembaga-lembaga negara
yang kemungkinan bersengketa itu secara umum dipahami sebagai
lembaga-lembaga negara pada tingkat pusat, seperti MPR, DPR, DPD,
Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan lainnya, bukan
lembaga-lembaga pemerintahan yang ada pada tingkat daerah.
Pencantuman sebuah lembaga atau nama jabatan di dalam konstitusi
tidaklah secara otomatis harus dikategorikan sebagai lembaga negara. Para
pembuat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, tidak pernah
membayangkan kalau Mahkamah Konstitusi akan berwenang memeriksa
dan memutus perkara pada tingkat pertama dan terakhir, seperti sengketa
kewenangan antara Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota
dengan DPRD. Atau malahan juga sengketa kewenangan antara Bupati
�
dengan Wakil Bupati, Walikota dengan Wakil Walikota. "Nawaitu" para
pembuat Undang-Undang Dasar memang bermaksud agar Mahkamah
Konstitusi hanya menangani perkara-perkara yang fundamental yang
berkaitan langsung dengan Konstitusi. Tidak terbayangkan oleh pembentuk
Undang-Undang Dasar dan undang-undang, sembilan hakim Mahkamah
Konstitusi yang hanya membentuk satu majelis itu, akan menangani perkara
Iebih dari 1000 Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang ada
sekarang ini. Belum lagi Gubernur/Wakil Gubernur dan DPRD Provinsi,
ditambah dengan DPRD Kabupaten/Kota yang ada di seluruh tanah air.
5. Adapun Bupati, memang disebutkan di dalam Pasal 18 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun judul dari Bab VI
yang membawahi Pasal yang menyebutkan Bupati itu adalah "Pemerintahan
Daerah". Karena itu, dalam konteks judul bab tersebut sejalan dengan
sistem penafsiran Eropa Kontinental yang mempengaruhi hukum tata negara
kita, kami berpendapat bahwa Bupati bukanlah lembaga negara, melainkan
lembaga pemerintahan daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
merinci ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dengan jelas menyebutkan dalam Ketentuan Umum
angka 3, bahwa "Pemerintah Daerah" antara lain adalah Bupati. Dengan
demikian, bertambah jelas di mana kita harus mengkategorikan Bupati,
apakah termasuk kategori sebagai lembaga negara ataukah lembaga
pemerintahan daerah. Sementara Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak menyebutkan keberadaan Wakil Bupati.
6. Pemohon sendiri dalam Bab III angka 29 permohonannya dengan tegas
menyebutkan bahwa Pemohon (Bupati/Wakil Bupati Bekasi) adalah "kepala
pemerintahan daerah", yang benar adalah "kepala pemerintah daerah" dan
sama sekali tidak mendalilkan bahwa Pemohon adalah lembaga negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003.
7. Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003,
�
dengan jelas menyebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi antara
lain untuk memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara "yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar". Para penyusun
Undang-Undang Dasar yang nanti insya Allah juga mohon diperkenankan
untuk didengar keterangannya sebagai ahli dalam memeriksa permohonan
ini maupun kami sendiri yang dahulu ikut menyusun Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mengartikan kata-kata "yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar", benar-benar
sebagai kewenangan yang secara eksplisit diberikan oleh Undang-Undang
Dasar. Misalnya, Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang
harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. Jika Presiden sendiri saja mengesahkan undang-undang tanpa
membahasnya dan mendapat persetujuan DPR, maka hal itu jelas
menimbulkan sengketa kewenangan. Pasal 24C ayat (2) menyebutkan
bahwa memutus pembubaran partai politik dan perselisihan hasil pemilihan
umum adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika Mahkamah Agung
memutus kasus ini, maka tindakan itu menimbulkan sengketa kewenangan
dengan Mahkamah Konstitusi. Jika kewenangan lembaga negara itu tidak
secara eksplisit diberikan oleh Undang-Undang Dasar, tetapi misalnya
diberikan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang
Iebih rendah, maka sengketa atas kewenangan itu tidaklah menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya. Para pembuat
Undang-Undang Dasar maupun pembuat undang-undang tidak pernah
membayangkan bahwa Mahkamah Konstitusi akan memeriksa permohonan-
permohonan seperti itu.
8. Pertanyaannya sekarang, apakah Bupati dan Wakil Bupati yang kami sendiri
berpendapat bahwa keduanya bukanlah lembaga negara adakah lembaga
itu memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar ?
Pemohon sendiri dalam Bab III angka 29 tidak mendalilkan adanya
kewenangan itu, melainkan menyebutkan "kedudukan" Bupati/Wakil Bupati.
Menurut Pemohon, Bupati/Wakil Bupati Bekasi sebagai "kepala
pemerintahan daerah", kedudukannya diatur dalam Pasal 18 ayat (2), (3),
(4), (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
�
1945. Pemohon telah salah mengutip ketentuan Pasal 18 Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menyebutkan Bupati/Wakil
Bupati sebagai kepala pemerintahan daerah. Padahal Pasal 18 ayat (4)
menyebut Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati sebagai "kepala pemerintah
daerah" dan bukan kepala "pemerintahan daerah". Kewenangan yang diatur
dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (5) dan (6) adalah kewenangan "pemerintahan
daerah" dan sama sekali bukan kewenangan bupati sebagai kepala
pemerintah daerah. Baik dalam teori hukum administrasi daerah maupun di
dalam semua Undang-undang tentang pemerintah daerah yang pernah kita
miliki, antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 maupun dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun
2004, dengan jelas dibedakan pengertian "Pemerintahan Daerah" dengan
"Pemerintah Daerah". Yang dimaksud dengan "Pemerintahan Daerah" pada
tingkat Kabupaten bukan hanya Bupati/Wakil Bupati, tetapi termasuk pula
DPRD. Kewenangan yang diatur ,dalam Pasal 18 Undang-Undang Negara
Republik Indonesia adalah kewenangan pemerintahan daerah, bukan
kewenangan Bupati sebagai kepala pemerintah daerah. Paling tidak,
kewenangan pemerintahan di daerah itu telah terbagi antara Bupati dengan
DPRD.
9. Tidak ada keraguan bagi kami, bahwa Presiden/Termohon I menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah
lembaga negara. Kewenangan-kewenangan Presiden pun dengan jelas
diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Namun, apakah Menteri, dalam hal
ini Menteri Dalam Negeri, termasuk pula sebagai lembaga negara dan
apakah kewenangannya juga diberikan oleh Undang-Undang Dasar?
Profesor Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara dan Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, memberikan penafsiran yang luas tentang Iembaga-
Iembaga negara, yang menurut beliau dapat berjumlah 28 atau Iebih
lembaga negara. Menteri dan Bupati digolongkan pula sebagai lembaga
negara, yang semuanya potensial untuk bersengketa. Setiap persengketaan
yang timbul menjadi kewenangan lembaga yang kebetulan sedang beliau
pimpin untuk diperiksa dan diputuskan pada tingkat pertama dan terakhir.
Sebagaimana telah kami katakan tadi yang di waktu yang lalu juga telah
�
bertindak sebagai pembentuk undang-undang tidaklah sependapat dengan
Profesor Jimly Asshiddiqie untuk memberikan penafsiran yang begitu Iuas
tentang lembaga negara. Seperti telah kami kemukakan tadi, tidaklah berarti
semua lembaga atau nama jabatan seperti Menteri, Gubernur, Bupati dan
Walikota, yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar, haruslah
dikategorikan sebagai lembaga negara, apalagi jika dikaitkan dengan
kewenangannya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, sehingga
potensial untuk bersengketa. Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 17 ayat (3) menyebutkan setiap
Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Apa
sesungguhnya kewenangan Menteri dalam "bidang-bidang tertentu dalam
pemerintahan" itu tidaklah disebutkan secara rinci oleh Undang-Undang
Dasar. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar
tidaklah memberikan kewenangan eksplisit kepada Menteri, yang berpotensi
menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Kedudukan
Menteri adalah di bawah Presiden dan membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan. Karena itu jelas bahwa Menteri itu adalah nama jabatan di
bawah lembaga negara, yakni Presiden. Menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden, sehingga kepada Presiden para Menteri-
menteri itu bertanggung jawab.
Dalam keadaan seperti itu sukar untuk membayangkan kemungkinan timbul
sengketa kewenangan, misalnya antara Menteri dengan Presiden. Jika
Presiden tidak setuju dengan kebijakan seorang Menteri, Presiden dapat
dengan serta merta memberhentikan Menteri yang bersangkutan.
10. Oleh karena kami berpendapat bahwa Menteri yang sebenarnya bukanlah
lembaga, melainkan nama jabatan, karena lembaganya adalah "kementerian
negara" sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah lembaga negara, dan
kewenangannya tidak diberikan secara jelas oleh Undang-Undang Dasar,
maka menjadi pertanyaan bagi kami, dalil Pemohon dalam permohonan
sengketa kewenangan antar lembaga negara, yang sedang diperiksa ini.
�
Apakah kewenangan untuk memberhentikan Bupati/Wakil Bupati adalah
kewenangan sebuah lembaga negara yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar ? Pemohon sendiri dalam angka 8, 9, 10 dan 11 permohonannya
tidak dapat mendalilkan adanya kewenangan itu. Pemohon malah merujuk
kepada ketentuan Pasal 49 dan 50 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
jo Pasal 29, 30 dan 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
mekanisme dan alasan-alasan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati.
Pemohon mendalilkan bahwa Termohon II sama sekali tidak memiliki
kewenangan untuk memberhentikan Pemohon dengan merujuk ketentuan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Padahal pasal itu mengatur pemilihan Bupati yang harus dilakukan
secara demokratis. Pasal itu tidak mengatur pemberhentian bupati, dan
bahkan juga tidak mengatur kewenangan DPRD untuk memberhentikan
bupati. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
secara eksplisit mengatur bahwa pemilihan Bupati harus dilakukan secara
Iangsung oleh rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004. Yang penting pemilihan itu dilakukan secara demokratis.
Pemilihan yang dilakukan oleh DPRD pun sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dapat dikategorikan sebagai
pemilihan yang demokratis pula. Jadi, kalau prinsip "a contrario actus" harus
dipahami secara kaku, maka jika bupati dipilih secara demokratis oleh
DPRD, maka DPRD pula yang berwenang memberhentikannya. Kalau
bupati dipilih secara demokratis oleh rakyat dalam pemilihan Iangsung,
maka menurut prinsip "a contrario actus", maka DPRD pun tidak berwenang
untuk memberhentikan bupati. Yang berwenang adalah rakyat yang telah
memilihnya. Karena itu prinsip "a contrario actus" tidak dapat diterapkan
begitu saja, tanpa mekanisme pengaturan Iebih lanjut melalui konstitusi atau
undang-undang. Konstitusi Amerika Serikat memuat pasal-pasal
impeachment, demikian pula Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, walaupun Presiden/Wakil Presiden dipilih Iangsung
oleh rakyat.
11. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka Termohon I berpendapat, dalam
permohonan yang sedang diperiksa ini, tidak ada sengketa kewenangan
antara Pemohon dan Termohon I dan Termohon II. Pemohon dan Termohon
�
II bukanlah lembaga negara, dan kewenangannyapun tidak secara eksplisit
diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Istilah Bupati di dalam Pasal 18 ayat
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahkan
tidak Iebih daripada sekedar nama jabatan sebagai Kepala Pemerintah
Daerah. Pemerintah daerah itulah yang dapat dikategorikan sebagai
lembaga, tetapi bukan lembaga negara, melainkan lembaga pemerintah
daerah sebagai bagian dari pemerintahan daerah. Sama halnya dengan
istilah menteri, tidaklah Iebih daripada sekedar nama jabatan. Lembaga
pemerintah yang dipimpinnya ialah "kementerian negara" sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Karena itu tidak ada kewenangan yang
dipersengketakan yang dapat dikategorikan sebagai kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutusnya pada tingkat
pertama dan terakhir. Kalaupun hendak dikatakan ada "sengketa
kewenangan", maka "sengketa kewenangan" itu terjadi antara Termohon II
dan Termohon III karena tindakan hukum pihak yang disebut pertama
melampaui atau mengabaikan wilayah kewenangan Termohon III.
12. Kedudukan Pemohon, dengan demikian semata-mata sebagai akibat dari
tindakan hukum Termohon II menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara
berupa pemberhentian Pemohon dari jabatannya selaku Bupati dan Wakil
Bupati Bekasi, dan jika muncul sengketa akibat tindakan tersebut, menurut
ketentuan hukum yang berlaku merupakan kompetensi absolut Peradilan
Tata Usaha Negara. Hal ini serupa benar dengan sengketa yang muncul
atas tindakan Termohon II mengangkat Pemohon selaku Bupati dan Wakil
Bupati Bekasi, yang kemudian dinyatakan batal dan harus dicabut
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, seperti telah kami kemukakan di awal keterangan ini.
13. Oleh karena kami berpendapat bahwa dalam permohonan yang sedang
diperiksa ini tidak ada sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan kasus ini adalah
murni kasus Tata Usaha Negara yang menjadi kompetensi absolut
Pengadilan Tata Usaha Negara, maka permohonan Pemohon yang meminta
putusan provisi menjadi tidak relevan.
�
14. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, Termohon I memohon
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan:
a. Menolak permohonan Pemohon dalam provisi; dan
b. Tidak menerima (niet ontvankelijk verklard) permohonan Pemohon,
karena perkara a quo tidak termasuk kompetensi Mahkamah Konstitusi
dan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
mengajukan perkara tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia sebagai Termohon II:
Selanjutnya terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon II
menyampaikan keterangan lisan dan tertulis pada persidangan tanggal 19 April
2006, yang dibacakan dalam persidangan itu juga, pada pokoknya sebagai berikut:
I. Umum
1. Bahwa penyelenggaraan Pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selengkapnya berbunyi :
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden.
2. Kemudian juga diatur dalam Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
(1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara;
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
(3) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
3. Dalam penyelenggaraan pemerintahan apabila terjadi sengketa Tata Usaha
Negara maka badan hukum wajib diselesaikan melalui peradilan Tata
Usaha Negara sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dirubah dengan Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
� II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa Pemohon sesuai ketentuan Pasal 61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, jelas tidak punya kepentingan terhadap kewenangan yang dipersengketakan, karena dalam permohonan ini Pemohon mengatasnamakan sebagai lembaga negara, yaitu sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi, bahwa dengan keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 tertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32- 36 tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-12 Tahun 2006 tertanggal 4 Januari 2006, yang kemudian dirubah dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-35 tanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan uraian pada butir 1 di atas, maka Pemohon tidak lagi berkedudukan sebagai Bupati maupun Wakil Bupati Bekasi, sehingga kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon bukan lagi sebagai Lembaga Negara.
2. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengatakan bahwa tindakan Termohon II tersebut merupakan tindakan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dst, pendapat tersebut adalah tidak benar, karena tindakan Termohon II dalam mengeluarkan/menerbitkan Keputusan Nomor 131.32-11 Tahun 2006 tanggal 4 Januari 2006 dan Nomor 132.32-12 Tahun 2006 tanggal 4 Januari 2006 yang kemudian dirubah dengan Keputusan Nomor 132.32-35 Tahun 2006 tanggal 19 Januari 2006 adalah sudah sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Termohon II menerbitkan keputusan pemberhentian terhadap Bupati dan Wakil Bupati tersebut, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 436 K/TUN/2004 tanggal 6 Juli 2005 yang amar putusannya antara lain: menyatakan batal Keputusan Tergugat Nomor 131.32-36 tanggal 8
�
Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, dan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal 8 Januari 2004 tentang
Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati
Bekasi Provinsi Jawa Barat dan mencabut Keputusan Tergugat Nomor
131.32-36 tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat, dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal 8 Januari 2004
tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil
Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) butir b Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Berdasarkan uraian tersebut, maka kedudukan (legal standing) dari Pemohon yang mengatasnamakan sebagai lembaga negara adalah tidak sah, karena sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-11 tanggal 4 Januari 2006 dan Nomor 132.32-35 tanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan. Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat maka sejak saat itu kedudukan Pemohon tidak lagi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
III. POKOK PERMOHONAN
Penggugat (Sdr. H. Wikanda) mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 19 Pebruari 2004 dan terdaftar dalam Register Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
�
021/G.TUN/2004/PTUN-JKT, dimana sebagai Tergugat I Menteri Dalam Negeri
dan Tergugat II Intervensi Drs. H.M. Saleh Manaf.
1. Objek Gugatan adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36
tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal 8 Januari 2004
tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil
Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
2. Dasar Penggugat mengajukan gugatan adalah bahwa Keputusan yang
dikeluarkan oleh Tergugat I yang dijadikan sebagai objek gugatan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian yang
menjadi materi gugatan Penggugat adalah bahwa Keputusan Pengangkatan
Calon Bupati atas nama Drs. H.M. Saleh Manaf dinilai cacat administrasi
dan cacat yuridis sebagai calon, karena belum memperoleh ijin dari
atasannya sebagaimana diisyaratkan oleh Peraturan Perundang-undangan.
3. Bahwa pada tanggal 6 Juli 2005 Mahkamah Agung RI mengeluarkan
putusan yang isinya: Menyatakan batal Keputusan Tergugat Nomor 131.32-
36 tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal 8 Januari 2004
tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil
Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan Memerintahkan Tergugat untuk
mencabut Surat Keputusan yang menjadi objek gugatan.
4. Bahwa Termohon II dalam menerbitkan Keputusan Nomor 132.32-11 Tahun
2006 tanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 131.32-36 tanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan
Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi
Jawa Barat dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal
8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat selain karena
perintah undang-undang, adanya desakan dari DPRD Kabupaten Bekasi
dengan Keputusan DPRD Nomor 27/Kep/172.1-DPRD/2005 tanggal 22
�
September 2005 menyatakan sikap yang intinya mendukung Putusan
Mahkamah Agung dan mendesak serta mengusulkan agar Menteri Dalam
Negeri melaksanakan Amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 436
K/TUN/2004 tanggal 6 Juli 2005 dan melaksanakan eksekusi terhadap
Jabatan Bupati Bekasi dan Wakil Bupati Bekasi, disamping itu juga surat
dari Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor PTUN-
JKT.PRK.021-1223-2005 tanggal 26 Desember 2005 yang menyatakan
bahwa "sesuai dengan ketentuan Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dirubah dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
berbunyi :
"Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi".
Maka Surat Keputusan Tergugat Nomor 131-32-36 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat tanggal 8 Januari 2004 dan Surat Keputusan Nomor 132-32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat tanggal 8 Januari 2004, menurut hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
5. Pemohon melalui kuasa hukumnya Adnan Buyung Nasution & Partners
tanggal 10 Maret 2006 mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara dimana Pemohon mengajukan keberatan terhadap
pemberhentian Sdr. Drs. H.M. Saleh Manaf selaku Bupati Bekasi dan Sdr.
Drs. Solihin Sari selaku Wakil Bupati Bekasi masa jabatan 2003-2008 yang
tidak berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
yang menyatakan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
diberhentikan karena:
�
a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah dan/atau Wakil
Kepala Daerah;
d. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah;
e. Tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah;
f. Melanggar larangan bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
Dalil yang disampaikan Pemohon berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah tidak tepat
karena Termohon II melaksanakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
436 K/TUN/2004 tanggal 6 Juli 2005 yang berdasarkan Pasal 116 ayat (2)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (lex specialis
derogat lex generalis)
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut, Termohon II
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan
putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
2. Menolak permohonan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang�Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 tertanggal 4 Januari 2006 tentang
�
Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun
2004 tertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
5. Menyatakan Sah dan Memiliki kekuatan Hukum yang mengikat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 tertanggal 19 Januari 2006 tentang
Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 tanggal 8
Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
Namun apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo
et bono) dengan menjunjung tinggi sikap kenegarawanan.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi sebagai Termohon III:
Selanjutnya terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon III pada persidangan tanggal 19 April 2006 telah memberikan keterangan secara lisan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa DPRD Kabupaten Bekasi dalam menetapkan Perda Nomor
06/KEP/172.2-DPRD/2006 melalui pembahasan 4 (empat) tahapan, yaitu:
a. Tahap pertama, Bupati menyampaikan rancangan APBD tahun anggaran
2006;
b. Tahap kedua, pandangan fraksi-fraksi terhadap rancangan tersebut;
c. Tahap ketiga, Bupati menyampaikan tanggapan atas pandangan fraksi-
fraksi.
d. Tahap keempat, sidang pengambilan putusan;
2. Bahwa pada saat pembahasan tahap pertama sampai dengan tahap ketiga,
Pemohon terlibat langsung, karena sebagai Bupati/Wakil Bupati;
3. Bahwa pada pembahasan tahap keempat, Pemohon tidak ikut pembahasan
karena pada saat itu keluarlah SK Mendagri tentang pemberhentian Pemohon
sebagai Bupati/Wakil Bupati. Oleh karena pembahasan RAPBD telah
dilaksanakan sampai tahap ketiga, sedangkan pada pembahasan tahap
keempat Pemohon selaku Bupati/Wakil Bupati berdasarkan surat Mendagri
�
diberhentikan, maka pembahasan dilanjutkan oleh Plt Bupati bersama DPRD
Kabupaten Bekasi untuk pengambilan putusan dan pleno memutuskan
pembahasan tidak perlu dimulai dari awal lagi, maka menurut Termohon III,
tindakan Penetapan Perda tersebut tidak melampaui kewenangan Pemohon.
Bahwa Termohon III pada persidangan tanggal 16 Mei 2006 telah
menyampaikan keterangan tertulis, yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
1. Terpilihnya pasangan Pemohon dalam proses pemilihan kepala daerah
Kabupaten Bekasi untuk masa jabatan periode 2003 - 2008 secara
demokratis oleh DPRD Kabupaten Bekasi pada tanggal 3 Nopember 2003
dengan perolehan suara sebanyak 24 suara dari 45 orang anggota DPRD
Kabupaten Bekasi, pada waktu itu dilandasi serta didasarkan oleh payung
hukum sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun
2001, dengan demikian mekanisme atas kedudukan Pemohon selaku
Kepala Daerah yang telah dipilih oleh DPRD Kabupaten Bekasi sebagai
Wakil Rakyat Kabupaten Bekasi secara politis telah terpenuhi, namun
demikian dikarenakan kedudukan Kepala Daerah tidak saja bersifat politis
akan tetapi apabila kami menafsirkan atas ketentuan Pasal 18 ayat (1) ayat
(2) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. berpendapat bahwa secara legal formil Kepala Daerah selaku pejabat
negara maka harus tunduk pada ketentuan Hukum Administratif Tata Usaha
Negara.
2. Didudukkannya DPRD Kabupaten Bekasi selaku pihak Termohon III dalam
perkara a quo, menurut Pemohan adalah adanya tindakan berupa
pengeluaran persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Kabupaten Bekasi Tahun Anggaran 2006 tanpa sepengetahuan dan
melibatkan Pemohon selaku Kepala Daerah, sehingga tindakan dimaksud
dianggap telah menimbulkan suatu sengketa kewenangan antar lembaga
negara yang merugikan. kepentingan langsung Pemohon sebagaimana
dimaksud Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Dasar
�
1945 jo. Pasal 25 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
II. KEDUDUKAN HUKUM TERMOHON III
Bahwa secara inplisit kedudukan DPRD selaku lembaga negara tidak
secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, namun demikian sebagai dasar pijakan hukum keberadaannya,
diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa:
"Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-angotanya dipilih melalui pemilihan umum�;
Dari bunyi ketentuan tersebut kami berpendapat bahwa mekanismenya melalui pemilihan umum, namun secara limitative keberadaan atas kedudukan DPRD telah dijabarkan oleh ketentuan lain yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, didalam Pasal 24 disebutkan dengan jelas bahwa "Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara�;
III.KETERANGAN TERMOHON III
Menyikapi atas adanya permohonan Pemohon dalam perkara ini, yang pada dasarnya menyatakan bahwa atas tindakan Termohon III yang telah mengeluarkan keputusannya menyetujui dan menetapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD Tahun Anggaran 2006 sesuai Keputusan DPRD Kabupaten Bekasi Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 tanggal 28 Februari 2006 menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi tanpa melibatkan Pemohon selaku Bupati dan Wakil Bupati dianggap telah melampaui kewenangan Termohon III sehingga dikualifikasikan merugikan Pemohon secara konstitusional sehingga menjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara. Untuk itu dalam kesempatan ini ijinkan Kami untuk beda penafsiran dan tidak sependapat dengan Pemohon. Hal ini dikarenakan sesuai ketentuan dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6) dinyatakan dengan tegas bahwa, Pemerintahan
�
Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan.
Dari bunyi ketentuan di atas, khususnya atas kalimat "Pemerintahan daerah�, Kami sependapat dengan Termohon I bahwa pengertian atas kalimat dimaksud, tidak hanya Pemohon (Bupati/Wakil Bupati) akan tetapi termasuk DPRD di dalamnya, sehingga mengandung arti bahwa Pengeluaran Keputusan Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 tanggal 28 Februari 2006 adalah sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Termohon III sebagai penyelenggara negara di tingkat Kabupaten Bekasi, hal ini senafas dengan Pasal 76 dan Pasal 77 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Oleh karena itu Kami beranggapan bahwa pengeluaran Keputusan Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 tanggal 28 Februari 2006 tidak melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang baik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun ketentuan hukum lainnya, selain dari itu atas ditetapkannya Keputusan Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 tanggal 28 Februari 2006, tidak serta merta mempunyai kekuatan hukum untuk segera dilaksanakan. Hal ini dikarenakan sesuai ketentuan Pasal 186 Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masih belum bersifat final karena harus dievaluasi oleh Gubernur.
Berdasarkan urain tersebut diatas, Termohon III menyikapi bahwa atas pengeluaran Keputusan Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi terhadap ditetapkannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006 Menjadi Peraturan Daerah Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006, bukan tindakan yang ilegal atau setidaknya melampaui kewenangan Termohon III.
�
Bahwa Pemohon pada persidangan tanggal 16 Mei 2006, mengajukan 2
(dua) orang saksi dan 3 (tiga) orang ahli yang semuanya memberikan keterangan
di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi I: Drs. H. Masyhuri Malik
� Saksi sebagai anggota DPRD Kabupaten Bekasi periode 1999 - 2004;
� Saksi terlibat langsung proses pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi periode
2003 - 2008;
� Bahwa proses pemilihan dilakukan melalui tahapan-tahapan, yakni:
.. Pembentukan Tata Tertib Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi;
.. Pembentukan Panitia Pemilihan (Panlih);
.. Selanjutnya Panlih, melakukan; pendaftaran calon,penjaringan calon,rapat
paripurna, dan uji publik;
� Bahwa setelah Panitia Pemilihan melakukan pemeriksaan persyaratan
administrasi, kemudian ditetapkan calon Bupati/Wakil Bupati Bekasi yang
memenuhi syarat dan dapat mengikuti Pilkada Bupati/Wakil Bupati Kabupaten
Bekasi, yaitu:
1. Pasangan Drs. H. Saleh Manaf & Solihin Sari;
2. Pasangan H. Wikanda Darmawijaya & Abdul Rasyad;
3. Pasangan Drs. H.Damanhuri Husein & Drs.H.Adhy Firdaus;
� Bahwa terhadap ketetapan tersebut di atas, peserta Pilkada Bupati/Wakil
Bupati Bekasi maupun masyarakat tidak ada yang mengajukan keberatan atau
pengaduan;
� Bahwa sidang paripurna I, dengan agenda untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati
terhadap 3 (tiga) pasangan calon yang ditetapkan tersebut, dihadiri oleh 45
anggota dewan, dengan perolehan suara masing-masing pasangan sebagai
berikut:
1. Pasangan Drs. H. Saleh Manaf & Solihin Sari = 24 suara;
2. H. Wikanda Darmawijaya & Abdul Rasyad = 11 suara;
3. Drs. H.Damanhuri Husein & DRs.H.Adhy Firdaus = 10 suara.
� Bahwa proses pemilihan sampai dengan dilakukannya penghitungan suara
berjalan lancar dan disaksikan oleh semua fraksi (5 fraksi) yang ada dan tidak
ada pasangan yang mengajukan keberatan terhadap proses tersebut.
�
� Bahwa keributan terjadi sesaat akan dibacakan berita acara, tetapi keributan
tersebut bukan mempersoalkan hasil pemilihan Bupati/Wakil Bupati tetapi hal
lain yang tidak terkait dengan proses pemilihan;
� Bahwa sidang paripurna II dengan agenda Pembacaan dan Penandatanganan
Berita Acara, dalam hal ini anggota dewan yang hadir sebanyak 26 Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang terdiri dari seluruh fraksi yang ada;
� Proses persidangan dilakukan sesuai dengan tata tertib, yaitu oleh karena
belum memenuhi quorum, sidang ditunda 1 (satu) jam, dan setelah sidang
dibuka lagi dan juga anggota dewan yang hadir tetap 26 anggota DPRD, maka
sidang ditunda lagi selama 1 (satu) jam lagi, namun hingga berakhirnya
penundaan anggota dewan yang hadir tetap berjumlah 26 anggota, maka
sesuai tata tertib sidang dapat dilanjutkan;
� Tahapan berikutnya, yakni dilakukan uji publik selama 3 (tiga) hari, ternyata
dalam tenggat tersebut tidak ada keberatan ataupun pengaduan baik dari para
peserta pilkada maupun masyarakat;
� Selanjutnya sidang paripurna III, agenda menetapkan calon Bupati/Wakil Bupati
terpilih sesuai perolehan suara terbanyak, yang dihadiri oleh 27 anggota
dewan, yakni berdasarkan perolehan suara, maka ditetapkan Drs. H.M. Saleh
Manaf dan Drs. Solihin Sari sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi masa jabatan
Tahun 2003 � 2008;
� Bahwa proses selanjutnya, Panlih memproses semua administrasi terkait
dengan pemilihan tersebut dan melaporkan kepada Gubernur Jawa Barat dan
Mendagri RI. untuk dapat ditindak lanjuti, hingga akhirnya diterbitkan SK.
Mendagri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian
dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat; dan SK.
Mendagri Nomor 132.32-37 tentang Pengesahan Pemberhentian dan
Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat;
� Bahwa Pemohon sebagai Bupati dan Wakil Bupati (Drs. H. Saleh Manaf dan
Drs. Solihin Sari) diambil sumpahnya pada tanggal 21 Januari 2004 dan
Pemohon sejak diambil sumpah sampai dengan keluarnya surat pemberhentian
sebagai Bupati/Wakil Bupati telah melaksanakan tugas selama 2 tahun;
� � Bahwa Pemohon selama menjalankan tugas tersebut, DPRD Kabupaten Bekasi tidak pernah mengadakan rapat membahas memberhentian Bupati/Wakil Bupati dan/atau mencabut keputusan DPRD tentang penetapan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih;
Saksi II: Drs. Adil Makmur Santoso
� Saksi sebagai Panitia Pemilihan (Panlih) Bupati/Wakil Bupati Bekasi;
� Dasar kerja Panlih SK. Nomor 16/Kep.170/2003;
� Bahwa Pemohon sebagai calon berstatus PNS telah memperoleh ijin atasan,
sehingga lolos persyaratan administrasi sebagai calon Bupati;
� Bahwa setelah syarat-syarat calon dinyatakan lengkap, maka Panlih
mengirimkan berkas tersebut kepada Gubernur;
� Bahwa pada saat Panlih mengirim berkas tersebut tidak ada pihak yang
mengajukan keberatan;
Ahli I: Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid
� Bahwa dalam keadaan normal Mendagri tidak dapat mengangkat dan
memberhentikan Bupati/Wakil Bupati tanpa usulan DPRD;
� Bahwa menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kewenangan bidang
pertanahan diserahkan kepada daerah, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid
mengeluarkan Keppres tentang penundaan penyerahan kewenangan
pertanahan kepada aparat otonom lembaga daerah, sehingga kedudukan BPN
hingga sekarang masih merupakan lembaga pusat;
� Bahwa Presiden tidak dapat menolak penetapan calon Bupati/Wakil Bupati
yang diajukan oleh DPRD, sepanjang seluruh persyaratan dan prosedur telah
dipenuhi, yang dapat dilakukan hanya menunda keputusan;
� Bahwa terhadap keputusan Mendagri tentang pemberhentian tanpa usulan
DPRD dilihat dari undang-undang, keputusan tersebut tidak punya dasar
hukum, dengan demikian dapat dipersoalkan sah atau tidak.
� Bahwa secara formal Pemohon bisa dianggap dirinya sebagai Bupati/Wakil
Bupati, walaupun tidak dapat masuk kantor;
� Bahwa Bupati/Wakil Bupati dengan menggunakan istilah lain disebut pejabat
negara, sebagai bukti keduanya menerima pensiun sebagai pejabat; jadi
�
Bupati/Wakil Bupati adalah pejabat negara dan diperlakukan sebagai pejabat
negara dan berhak atas pensiun sebagai pejabat negara;
� Bahwa kewenangan konstitusional itu bukan terbatas pada referensi yang
tertulis dalam Undang-Undang Dasar, tetapi pada seluruh undang-undang yang
merupakan turunan dari Undang-Undang Dasar, karena undang-undang
sebagai penjabaran yang lebih bisa dipahami oleh masyarakat;
� Bahwa Putusan Tata Usaha Negara tidak mengurangi kewenangan Presiden
untuk mengambil keputusan sesuai undang-undang;
� Bahwa perbedaan pemerintah daerah dan pemerintahan daerah, yaitu
pemerintah daerah adalah sistem pemerintahan yang berlaku di daerah, jadi
tidak terbatas pada organ, tetapi seluruh sistem, seluruh proses, sedang
pemerintahan daerah adalah kepala eksekutif daerah;
� Bahwa Bupati menurut undang-undang disebut kepala daerah, yang
mempunyai fungsi sebagai kepala daerah sekaligus sebagai kepala
pemerintahan daerah;
� Bahwa menurut Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, secara logika yang punya kewenangan adalah pemerintah daerah;
� Bahwa yang dimaksud lembaga negara adalah institusi, kerangka organisasi,
sedang pejabat negara adalah orang, maka pejabat negara melekat pada
lembaga negara;
Ahli II: Topo Santoso, S.H.,M.H.
Bahwa ahli Pemohon, pada persidangan tanggal 16 Mei 2006, disamping
menyampaikan keterangan secara lisan juga menyampaikan keterangan secara
tertulis, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Mengenai tindakan Mendagri mengeluarkan SK Nomor 131.32-11 Tahun 2006 dan 132.32-37 Tahun 2006 yang pada pokoknya memberhentikan Saleh Manaf dan Solihin Sari sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi periode tahun 2003- 2008 berdasarkan Putusan MA Nomor 436 K/TUN/2004
Mengenai masalah ini ada dua hal yang perlu dibahas :
1) Keputusan Mendagri bertentangan dengan sifat dan ketentuan pemilihan
yang demokratis.
�
Keputusan Mendagri mengeluarkan SK Nomor 131.32-11 Tahun 2006 dan
132.32-37 Tahun 2006 yang pada pokoknya memberhentikan Saleh Manaf
dan Solihin Sari sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi periode tahun
2003-2008 merupakan tindakan yang bertentangan dengan sifat dan
ketentuan pemilihan kepala daerah yang demokratis (yang dalam konteks
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dilaksanakan oleh DPRD). Mendagri
tidak berwenang memberhentikan atau mengeluarkan keputusan yang
berimplikasi pada berhentinya Bupati dan Wakil Bupati Bekasi karena
Mendagri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan tersebut.
Hal ini didasarkan pada :
a. pada prinsipnya Keputusan Mendagri/Pemerintah untuk mensahkan Bupati/Wakil Bupati Bekasi tidak berdiri sendiri melainkan hanya tindakan prosedural sebagai hasil tindak lanjut dari penetapan DPRD berdasarkan hasil dari pemilihan demokratis yang dilakukan oleh DPRD Kab. Bekasi, yang sudah sah secara hukum.
Hal ini sesuai dengan Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi :
"Pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden."
Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 151 Tahun 2000 yang berbunyi :
�Apabila hasil penghitungan suara satu pasangan calon telah mendapat perolehan suara sekurang-kurangnya setengah ditambah satu dari jumlah anggota DPRD yang hadir, pemilihan satu pasangan calon dinyatakan selesai."
b. hasil pemilihan yang demokratis hanya bisa dilawan dan dibatalkan (avoidance) melalui cara tertentu (election petition/election dispute) yang putusannya harus selesai sebelum pejabat hasil pemilihan itu disahkan dan dilantik. Dalam kaitan pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi proses untuk menyelesaikan gugatan hasil pemilihan (election petition/election dispute) ini dilakukan oleh Panitia Pemilih (Panlih) melalui mekanisme Uji Publik sebagaimana ditentukan pada :
- Pasal 9 PP Nomor 151 Tahun 2000 jo. Pasal 7 Keputusan Pimpinan DPRD Nomor 16 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa Panitia
�
Pemilihan (Panlih) mempunyai tugas; huruf (g) Melaksanakan
kegiatan yang berkaitan dengan Uji Publik apabila terdapat
pengaduan;
- Pasal 32 Keputusan DPRD Nomor 14 Tahun 2003 ("Tatib") jo. Pasal 25 PP Nomor 151 Tahun 2000 yang pada intinya menyatakan bahwa:
"Panlih melakukan pengujian publik untuk menerima pengaduan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran yang diduga terjadi sebelum, selama dan setelah Rapat Paripurna Khusus Tingkat l, yang berlangsung selama 3 (tiga) hari kerja" ;
Dengan demikian, jika hasil pemilihan tersebut tidak disanggah dan dibatalkan melalui mekanisme election petition/election dispute maka hasil tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi. Yang harus dilakukan selanjutnya adalah proses pengesahan atau peresmian pejabat tersebut.
c. Dalam kasus Bupati/Wakil Bupati Bekasi proses pemilihan sudah dilangsungkan, tidak ada protes atau gugatan pada proses election petition/election dispute dan sudah dikeluarkan Penetapan DPRD tentang pemilihan tersebut, serta sudah keluar Keputusan Mendagri yang mengesahkan pejabat yang bersangkutan, dengan demikian masalah pemilihan dan pengesahan Bupati/Wakil Bupati Bekasi periode tahun 2003-2008 sudah selesai dan tidak ada lagi permasalahan menyangkut pemilihan Bupati/Wakil Bupati. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada :
- Pasal 37 Tatib jo. Pasal 26 ayat (1) dan (2) PP Nomor 151 Tahun
2000 yang pada pokoknya menyatakan bahwa :
"apabila tidak terdapat pengaduan dalam pelaksanaan uji publik
maka DPRD menetapkan pasangan calon terpilih"
- tindakan hukum apapun dari Mendagri yang berakibat pada
pembatalan hasil pemilihan demokratis yang sudah selesai adalah
tidak sah. Pembatalan hasil pemilihan demokratis hanya bisa
dilakukan melalui proses dan prosedur yang diatur secara tegas
dalam undang-undang.
Hal-hal yang diuraikan di atas dapat disepadankan dengan ketentuan
Pilkada sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 dimana seorang kepala daerah yang terpilih secara demokratis oleh
rakyat dan ditetapkan oleh KPUD hanya dapat digugat melalui suatu
�
election petition/election dispute yang diajukan kepada Mahkamah
Agung/Pengadilan Tinggi. Jika mekanisme gugatan ini sudah
diselesaikan maka, calon terpilih itu kemudian ditetapkan dan dilantik.
Selanjutnya, tidak ada lagi upaya gugatan melalui PTUN atau peradilan
lainnya.
2) Tindakan Mendagri bertentangan dengan substansi Putusan MA Nomor 436
K/TUN/2004 karena Putusan MA Nomor 436 K/TUN/2004 jelas-jelas
menyatakan :
"Bahwa disamping hal-hal tersebut di atas, karena keadaan sudah berubah
yang terjadi di lapangan yang tidak memungkinkan bagi Pemohon Kasasi
diangkat kembali menjadi Bupati karena sudah ada Bupati dan Wakil Bupati
terpilih, maka gugatan Penggugat/Pemohon Kasasi dalam petitum butir ke-5
harus ditolak".
Dengan melihat pendapat MA di atas, maka jelaslah bahwa putusan MA dalam kasus ini "hanya" menyatakan bahwa Keputusan Mendagri yang dipersengketakan di PTUN dibatalkan, tetapi hal ini tidak mempengaruhi fakta hukum bahwa sudah ada Bupati/Wakil Bupati yang sudah sah dan sudah dilantik, bahkan sudah melaksanakan tugas dan wewenangnya. Lebih jauh lagi, melalui putusannya ini MA tidak memerintahkan Mendagri melakukan suatu tindakan hukum yang dapat menyebabkan Bupati/Wakil Bupati Bekasi diberhentikan dari kedudukannya.
2. Mengenai tindakan Mendagri memberhentikan seorang BupatilWakil Bupati berdasarkan suatu Putusan PTUN
Mendagri tidak dapat memberhentikan Bupati/Wakil Bupati berdasarkan suatu putusan PTUN. Hal ini didasarkan pada :
1) Putusan PTUN dalam kasus Bupati/Wakil Bupati Bekasi tidak dapat diiadikan sandaran untuk mengeluarkan suatu keputusan yang berimplikasi pada pemberhentian Bupati/Wakil Bupati Bekasi dari kedudukannya, sebab :
a. Putusan PTUN tidak dapat mengkoreksi proses pencalonan (termasuk persyaratan calon) Bupati/ Wakil Bupati dalam suatu pemilihan.
Sesuai Pasal 35 (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 jo. Pasal 9 PP Nomor 151 Tahun 2000 jo. Pasal 7 Keputusan Pimpinan DPRD Nomor 16 Tahun 2003 kewenangan untuk memeriksa berkas persyaratan/
�
penyaringan dan melaksanakan administrasi yang berkaitan dengan
kegiatan penetapan pasangan bakal calon dan pasangan calon berada
pasangan calon diputuskan oleh DPRD. Dalam kaitan ini DPRD
Kabupaten Bekasi telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
28/Kep/170-DPRD/2003 tentang Penetapan Pasangan Bakal Calon
menjadi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bekasi masa jabatan
2003-2008. Dengan demikian proses pencalonan sudah selesai, dan
tidak bisa dikoreksi, sekalipun oleh PTUN. Oleh sebab itu adalah tidak
tepat apabila PTUN memeriksa dan memutus "syarat calon sesuai PP
Nomor 151 Tahun 2000, misalnya melampirkan ijin atasan." Pengadilan
(dalam hal ini PTUN) tidak diberi wewenang oleh Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 untuk memeriksa dan memutus soal sah/tidaknya syarat
pencalonan kepala daerah.
b. Putusan PTUN tidak dapat mengkoreksi proses pemilihan Bupati/ Wakil Bupati.
Masalah proses pemilihan menjadi tanggung jawab Panlih dan hasilnya ditetapkan oleh DPRD, dan proses yang terjadi di dalam pemilihan itu tidak dapat dikoreksi oleh PTUN. Tidak ada satupun ketentuan perundang-undangan yang memberi landasan bahwa proses pemilihan kepala daerah dapat diperiksa dan diputus oleh PTUN. Dalam Putusan Nomor 436 K/TUN/2004, MA secara jelas menyatakan bahwa "... tetapi yang menjadi sengketa adalah prosedur administratif yang ditempuh oleh Tergugat/Termohon Kasasi selaku Menteri Dalam Negeri dalam menindaklanjuti dan melakukan tindakan tindakan hukum Tata Usaha Negara setelah selesai proses pemilihan tersebut.
c. Putusan PTUN tidak dapat mengkoreksi hasil pemilihan.
Putusan PTUN tidak dapat mengkoreksi hasil pemilihan kepala berdasarkan putusan PTUN, pada esensi dan hakekatnya, Mendagri tidak dapat mengoreksi hasil pemilihan kepala daerah yang sudah ditetapkan oleh DPRD, sebab upaya mengkoreksi hasil pemilihan hanya bisa dilakukan melalui election petition/election dispute yang dalam kaitan pemilihan Bupati/ Wakil Bupati Bekasi telah dilakukan melalui mekanisme Uji Publik yang dijalankan oleh Panlih.
�
2) Putusan PTUN pada kasus ini meskipun berkenaan dengan Keputusan
Mendagri (Keputusan TUN) tetapi tidak dapat membatalkan hasil dari suatu
pemilihan demokratis yang berada di luar wewenang Mendagri/Pemerintah.
Jika Mendagri memberhentikan Bupati/Wakil Bupati telah membatalkan
(avoidance) suatu hasil pemilihan demokratis yang bukan wewenangnya
dan tidak sesuai dengan ketentuan mengenai bagaimana menyanggah
suatu hasil pemilihan (election petition/election dispute).
Hasil pemilihan yang demokratis hanya bisa disanggah dan dibatalkan (avoidance) melalui suatu cara tertentu (election petition/election dispute). Dalam kaitan sengketa pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bekasi, proses untuk menyelesaikan gugatan hasil pemilihan (election petition/election dispute) dilakukan oleh Panitia Pemilih dengan mekanisme Uji Publik sebagaimana ketentuan pada Pasal 9 PP Nomor 151 Tahun 2000 jo. Keputusan Pimpinan DPRD Nomor 16 Tahun 2003 Pasal 7 yang menyatakan bahwa Panitia Pemilihan (Panlih) mempunyai tugas:
- huruf (g) Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan Uji Publik apabila terdapat pengaduan.
3) Karena Bupati/Wakil Bupati sudah secara sah terpilih dan dilantik, hasil pemilihan tidak dapat dibatalkan melalui keputusan Mendagri, yang bisa terjadi adalah pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dengan alasan tertentu yang secara tegas telah diatur oleh undang-undang. Pemberhentian sesuai undang-undang itu (khususnya merujuk pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 29 - 31) dapat dilihat dari dua aspek:
(a) aspek alasan pemberhentian ; dan
(b) aspek subyek yang dapat memberhentikan. Dalam Pasal 29 - Pasal 31
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Kedua aspek itu berkaitan, yaitu: DPRD dapat mengusulkan pemberhentian
kepala daerah/wakil kepala daerah dengan alasan berakhir masa jabatan,
tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan, tidak lagi memenuhi
syarat, melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban,
dan melanggar larangan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah; dan
Presiden dapat memberhentikan bupati/walikota tanpa mekanisme
�
pemberhentian oleh DPRD dengan alasan terbukti melakukan Tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun atau melakukan perbuatan makar atau perbuatan lainnya yang
dapat memecah belah NKRI, berdasarkan putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).
Tanpa adanya hal-hal di atas maka pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati merupakan tindakan tidak sah, sekalipun mendasarkan diri pada putusan PTUN.
3. Mengenai apakah pemberhentian Bupati/wakil Bupati oleh Mendagri tanpa melalui Keputusan DPRD ataupun pendelegasian kewenangan dari Presiden merupakan suatu sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati oleh Mendagri tanpa melalui keputusan DPRD ataupun pendelegasian kewenangan dari Presiden merupakan tindakan yang tidak memiliki landasan menurut Pasal 18 (4) UUD 1945 maupun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004; dengan demikian merupakan suatu tindakan melawan hukum (tidak memiliki hak untuk itu, bertentangan dengan hukum positif, serta bertentangan dengan hak pihak lain). Oleh sebab itu, pemberhentian Bupati/Wakil Bupati oleh Mendagri ini merupakan suatu sengketa kewenangan antar lembaga negara. Hal ini dilandasi oleh :
a. Alasan-alasan pemberhentian kepala daerah sudah diatur secara jelas dan
tegas oleh undang-undang dan bersifat limitatif khususnya dalam Pasal 29 -
Pasal 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004;
b. Subjek atau lembaga yang berwenang untuk memberhentikan atau
mengusulkan pemberhentian juga telah diatur secara tegas dan limitative
dalam Pasal 29 - Pasal 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004;
c. Proses pemberhentian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan
khususnya Pasal 29 - Pasal 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004;
d. Tindakan Mendagri yang membatalkan SK yang berakibat pemberhentian
Bupati/Wakil Bupati Bekasi adalah bertentangan dan tidak sesuai dengan
alasan pemberhentian, tidak sesuai dengan subyek atau lembaga yang
berwenang memberhentikan atau mengusulkan pemberhentian, dan tidak
sesuai dengan proses atau prosedur pemberhentian.
�
Ahli III: Denny Indrayana, S.H.,LLM., Ph.D.
Bahwa pada persidangan tanggal 16 Mei 2006, Ahli Denny Indrayana,
disamping menyampaikan keterangan secara lisan juga menyampaikan
keterangan secara tertulis, yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PIHAK
a. Berkait dengan kedudukan hukum dalam perkara SKLN, dasar hukum yang perlu diperhatikan adalah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik lndonesia sendiri menyimpulkan bahwa: berdasarkan Pasal 61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, untuk mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara SKLN, tiga syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. baik Pemohon maupun Termohon harus merupakan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
2. harus ada kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh
Pemohon dan Termohon, dimana kewenangan konstitusional Pemohon
diambil alih dan/atau terganggu oleh tindakan Termohon;
3. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung dengan
kewenangan konstitusional yang dipersengketakan.
c. Terkait dengan Pemohon (Bupati/Wakil Bupati Bekasi) maka, Ahli
berpendapat bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) dalam perkara a quo dengan alasan sebagai berikut:
A. TENTANG TIDAK ADA PENGATURAN SECARA JELAS
a. Berbeda dengan masa sebelum perubahan UUD 1945, tidak ada
aturan perundangan yang secara jelas menyebutkan apa saja
lembaga negara, terutama yang dapat menjadi pihak dalam SKLN di
hadapan Mahkamah Konstitusi.
b. Sebelum perubahan UUD 1945, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978
menegaskan bahwa MPR adalah "lembaga tertinggi negara"
sedangkan "lembaga negara" adalah: Presiden, DPA, DPR, BPK dan
MA.
c. Pasca perubahan UUD 1945, istilah "lembaga negara" kembali
�
muncul dalam Pasal 24C ayat (1) juga di dalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun tanpa
ada kejelasan apa sajakah lembaga negara dimaksud.
d. Tidak adanya pencantuman secara jelas tersebut berarti: apa sajakah
lembaga negara yang bisa menjadi pihak dalam SKLN di hadapan
Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada penafsiran Mahkamah
sendiri. Fleksibilitas tersebut di satu sisi menimbulkan problem
penafsiran, namun di sisi lain memberi ruang bagi Mahkamah jika
dikemudian hari ada lembaga negara yang sengketa kewenangannya
masuk dalam yurisdiksi Mahkamah Konstitusi.
e. Berkait dengan perkara a quo apakah Pemohon dan para Termohon
adalah lembaga negara yang dapat menjadi pihak dalam SKLN di
hadapan Mahkamah Konstitusi harus dianalisa secara hati-hati;
B. TENTANG ORGAN KONSTITUSI
a. Sebelum menjawab apakah Pemohon mempunyai legal standing,
perlu dipertegas dulu apakah yang dimaksud dengan anak kalimat
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 61 ayat (1) Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003: "lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar".
b. Ada dua jenis istilah yang perlu dibahas berkait dengan anak kalimat
tersebut: yaitu: (1) lembaga/organ negara (state organ); dan (2)
lembaga/organ konstitusi (constitutional organ). Tentang perbedaan
istilah ini dapat dilihat dari tulisan Anke Freckman dan Thoman
Fregerich ketika menjelaskan sistem hukum di Jerman.
c. Berdasarkan doktrin tersebut, maka anak kalimat �lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar" lebih
merujuk pada lembaga/organ konstitusi (constitutional organ).
d. Perlunya pembedaan antara lembaga negara (state organ) dengan
organ konstitusi (constitutional organ) tercermin dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Republik lndonesia Nomor 005/PUU-I/2003,
yang menjelaskan:
�Mahkamah berpendapat bahwa dalam sistem ketata negaraan
lndonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai
�
lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya
atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang
dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang
dibentuk atas dasar Keppres�.
e. Artinya, Pemohon dan Termohon dalam perkara SKLN tidak cukup
hanya menjadi lembaga negara (state organ) tetapi lebih jauh harus
menjadi organ konstitusi (constitutional organ), yaitu lembaga negara
yang: (1) eksistensinya; maupun (2) kewenangannya bersumber dari
Undang-Undang Dasar.
f. Putusan Nomor 004/PUU-I/2003 berpendapat:
�Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan
kewenangannya ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah
Konstitusi bukanlah organ undang-undang melainkan organ Undang-
Undang Dasar. la adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah
undang-undang�.
Senada dan sebangun Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 menegaskan:
�Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Mahkamah bukanlah organ undang-undang melainkan organ Undang-Undang Dasar�.
Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Nomor 004/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 tersebut jelaslah Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan anak kalimat "lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar" adalah organ Undang-Undang Dasar atau organ konstitusi (constitutional organ).
g. Selanjutnya, istilah organ konstitusi juga disebutkan oleh A. Mukhtie
Fadjar dan Maruarar Siahaan dalam Putusan Nomor 068/SKLN-
II/2004, meskipun ada pada dissenting opinion. Keduanya
mengatakan bahwa:
.... konstitusi merupakan hukum yang tertinggi dalam suatu negara
dan juga konstitusi sebagai kerangka kerja sistem pemerintahan dan
sebagai sumber kewenangan organ-organ konstitusi�..
Pendapat kedua hakim konstitusi tersebut semakin menegaskan organ konstitusi (constitusional organ) adalah lembaga yang
�
kewenangannya bersumber dari konstitusi, dan adalah lembaga
negara yang mempunyai kedudukan hukum untuk berperkara dalam
SKLN di hadapan Mahkamah Konstitusi.
h. Sebagai perbandingan, Ziyad Motala dan Cyril Ramaphosa ketika menjelaskan Pasal 181 ayat (1) Konstitusi Afrika Selatan tentang The Public Prosecutor, The Human Rights Commission, The Commission for the Promotion and Protection of the Rights of Cultural Religious and Linguistic Communities, The Commission for Gender Equality, The Auditor General dan The Electoral Commission berargumen bahwa komisi-komisi independen itu tidak hanya Lembaga Negara (state institutions) tetapi adalah juga organ konstitusi yang independen (independent constitutional organs);
C. TENTANG BUPATI SEBAGAI ORGAN KONSTITUSI YANG MEMPUNYAI KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) SEBAGAI PEMOHON DALAM PERKARA A QUO.
a. Berdasarkan penjelasan di atas, patut disimpulkan bahwa dalam
perkara a quo Pemohon adalah "lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar" atau
Pemohon patut diklasifikasikan sebagai organ konstitusi, karena:
Bupati adalah organ konstitusi atau organ Undang-Undang Dasar
(constitutional organ), yaitu lembaga negara yang eksistensinya dan
kewenangannya bersumber dari UUD 1945.
b. Perlu dicatat, penyebutan Bupati disini juga berarti Bupati/Wakil
Bupati sebagaimana tertulis dalam Permohonan a quo, karena
jabatan tersebut adalah satu kesatuan sebagai Kepala Daerah di
Kabupaten yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Sebagaimana ditegaskan:
�Seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah di samping merupakan dua organ jabatan yang
dapat dibedakan, juga merupakan satu kesatuan institusi kepala
daerah�.
�
c. Keberadaan dan kewenangan konstitusional Bupati secara eksplisit
diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang pada intinya
mengatakan Bupati adalah "kepala pemerintah daerah" kabupaten.
d. Makna Pasal 18 ayat (4) tersebut jelas menegaskan Bupati
memegang kewenangan konstitusional fungsi eksekutif di daerah
tingkat kabupaten. Karenanya ada pendapat bahwa kata pemerintah
(bukan pemerintahan) dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berarti;
hanya menunjuk kepada institusi pelaksana atau eksekutif saja yaitu
dalam rangka melaksanakan peraturan perundangan.
e. Bupati sebagai unsur dalam pemerintahan daerah, bahkan secara
tegas diatur eksistensinya dalam Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (5), (6)
dan (7); serta kewenangannya dalam Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6).
Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6) memang merupakan kewenangan
Pemohon sebagai unsur pemerintahan daerah. Tetapi harus dipahami
bahwa kewenangan pemerintahan daerah itu adalah kewenangan
yang secara langsung, satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan,
merupakan kewenangan yang melekat pada Bupati sebagai organ
konstitusi. Tanpa keberadaan Bupati, kewenangan konstitusional
pemerintahan daerah tidak akan pemah dapat dilaksanakan.
f. Bahwa sebagai kepala daerah yang merupakan unsur pemerintahan
daerah, tanpa bersama-sama dengan DPRD Kabupaten sekalipun,
Bupati, Gubemur dan Walikota patut mempunyai kedudukan hukum
sendiri untuk menjadi pihak dalam SKLN dihadapan Mahkamah
Konstitusi. Jika kasus sengketa kewenangannya berkait dengan
kewenangan konstitusional Bupati, maka Bupati dapat mempunyai
legal standing sendiri di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana salah satu pendapat menegaskan:
��dapat saja Gubemur mengajukan permohonan perkara atas dasar
kewenangannya sebagai kepala pemerintah daerah ...� apakah DPRD
dan Gubemur sendiri-sendiri dapat mempunyai legal standing sangat
tergantung kasusnya in concreto.
g. Apalagi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, organ konstitusi
adalah organ "... yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang
�
secara langsung wewenangnya diatur dan diturunkan dari Undang-
Undang Dasar�.
h. Berdasarkan pendapat terakhir tersebut, maka kewenangan
konstitusional suatu organ konstitusi adalah juga yang diturunkan dari
UUD 1945, dan karenanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pelaksanaan dari
Pasal 18 ayat (1) dan (7) UUD 1945 sudahlah tentu mengatur turunan
kewenangan konstitusional dari Bupati selaku Kepala Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah undang-undang
atribusi berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, sehingga
kewenangan Bupati sebagai kepala daerah patut diklasifikasikan
sebagai kewenangan konstitusional atau kewenangan yang
bersumber langsung dari UUD 1945.
i. Putusan Nomor 002/SKLN-IV/2006, dalam pertimbangan hukumnya
menegaskan bahwa:
�Bahwa Kepala Daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota
terpilih, menurut ketentuan ... masih mempersyaratkan pengesahan
pengangkatan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dan
pelantikan oleh Gubemur atas nama Presiden .... Dengan demikian,
pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Terpilih belum menjadi
kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
juncto UU Pemda juncto PP Nomor 6 Tahun 2005�.
j. Bahwa berdasarkan putusan tersebut, berarti yang dipersoalkan
Mahkamah Konstitusi adalah belum adanya pengesahan
pengangkatan sebagai Walikota dan Wakil Walikota, tetapi tidaklah
dipersoalkan sama sekali Walikota dan Wakil Walikota sebagai organ
konstitusi. Patut diartikan bahwa: Mahkamah Konstitusi berpendapat
jika pengesahan pelantikan sudah dilakukan, maka Walikota dan
Wakil Walikota terpilih adalah organ konstitusi yang mempunyai
kedudukan hukum dalam SKLN.
k. Bahwa karena posisi Walikota dan Wakil Walikota adalah sama
dengan Bupati dan Wakil Bupati, yaitu sebagai kepala pemerintah
daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka dengan
demikian patut disimpulkan bahwa Bupati dan Wakil Bupati pun
�
adalah organ konstitusi yang yang mempunyai kedudukan hukum
dalam SKLN.
l. Pendapat bahwa organ konstitusi adalah "pemerintahan daerah" tidak
didukung dengan teknik legal drafting. Frase itu dalam Pasal 18 UUD
1945 ditulis dengan huruf kecil, berbeda dengan organ konstitusi
lainnya yang ditulis dengan huruf besar. Justru Bupati bersama-sama
dengan Gubemur dan Walikota serta Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah ditulis dengan huruf besar, yang berarti semakin menegaskan
posisinya sebagai organ konstitusi bandingkan misalnya dengan
penulisan Pemerintah Pusat yang justru dengan huruf besar (Pasal 18
ayat (5) UUD 1945) atau dengan komisi pemilihan umum, duta serta
konsul yang ditulis dengan huruf kecil.
D. TENTANG PEMBERHENTIAN BUPATI TIDAK MENGHILANGKAN
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DALAM PERKARA
A QUO.
a. Pemberhentian Bupati dengan SK Mendagri dalam perkara a quo
tidak dapat menghilangkan hak konstitusional Bupati sebagai organ
konstitusi untuk dapat mengajukan permohonan SKLN ke hadapan
Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut karena, pemberhentian itu
sendirilah yang menjadi objek sengketa kewenangan yang perlu diuji.
b. Dalam perkara a quo, Pemohon mendalilkan bahwa pemberhentian
tersebut adalah penyalahgunaan kewenangan oleh para Termohon.
Bahwa seharusnya tidak ada impeachment atas Bupati yang terpilih
secara demokratis berdasarkan putusan peradilan tata usaha negara.
c. Karenanya, penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) para
Termohon tersebut justru tidak boleh dijadikan dasar menghilangkan
hak konstitusional dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
d. Sebagai contoh, jika Presiden diberhentikan oleh MPR di luar
mekanisme impeachment yang ada di konstitusi, misalnya
berdasarkan putusan peradilan tata usaha negara, maka
pemberhentian yang unconstitutional tersebut tidak dapat
menghilangkan hak konstitusional Presiden untuk mengajukan
�
permohonan SKLN melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan
MPR ke hadapan Mahkamah Konstitusi.
E. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA
TERMOHON DALAM PERKARA A QUO.
a. Bahwa untuk syarat perkara SKLN di hadapan Mahkamah Konstitusi,
maka selain Pemohon, para Termohon juga haruslah organ konstitusi,
maka perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
b. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (Termohon I) adalah organ
konstitusi sebagaimana secara jelas ditegaskan dalam Putusan
Nomor 068/SKLN-II/2004, bahwa Pasal 4, 5, 10, 11, 12, 14, 15, 16,
17,dan 23F UUD 1945 adalah menunjukkan kedudukan Presiden
sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar (organ konstitusi), dan karenanya mempunyai
kedudukan hukum untuk menjadi pihak dalam perkara SKLN
dihadapan Mahkamah Konstitusi, khususnya sebagai Termohon I
dalam perkara a quo.
c. MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA (Termohon II)
adalah organ konstitusi karena: (1) eksistensinya dinyatakan dalam
Pasal 17 ayat (1) s.d. (4) UUD 1945; (2) kewenangannya diatur dalam
Pasal 17 ayat (3) UUD 1945.
d. Memang di dalam Pasal 17 UUD 1945 tidak secara eksplisit
menyebutkan "Menteri Dalam Negeri" tetapi sewajibnya tidak satupun
metode interpretasi konstitusi (constifutional interpretation) yang
dapat membantah bahwa Menteri Dalam Negeri adalah termasuk
dalam klasifikasi menteri-menteri yang ada dalam pasal tersebut,
khususnya yang membidangi urusan dalam negeri.
e. Apalagi, terminologi "Menteri Dalam Negeri" disebutkan secara jelas
dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ketika bersama-sama dengan
Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan berposisi sebagai
pelaksana tugas kepresidenan (triumvirat). Hal tersebut semakin
menegaskan bahwa Menteri Dalam Negeri adalah lembaga negara
yang eksistensi dan kewenangannya diatur dalam UUD 1945,
sehingga patut diklasifikasikan sebagai organ konstitusi dan
�
karenanya mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam
perkara SKLN di hadapan Mahkamah Konstitusi.
f. Dalam keterangannya Menteri Dalam Negeri (Termohon II) sendiri
sama sekali tidak mempersoalkan kedudukan hukumnya sebagai
organ konstitusi. Bahkan Presiden (Termohon I) yang mempersoalkan
kedudukan hukum Termohon II, dalam keterangannya mengakui
bahwa:
�...setiap menteri negara termasuk Termohon II memiliki kewenangan
atribusian yang diberikan oleh UUD Negara Rl Tahun 1945, yakni
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.�
g. Dari kutipan di atas terlihat bahwa Termohon I tidak konsisten dengan
argumennya bahwa Termohon II bukanlah lembaga negara yang
mempunyai kedudukan hukum dalam perkara SKLN. Dari kutipan di
atas justru dapat disimpukan bahwa: Termohon II mempunyai
kewenangan atribusian yang diberikan oleh UUD 1945. Philipus
Hadjon dkk. berpendapat, kewenangan atribusi adalah, "kewenangan
yang melekat pada suatu jabatan". Lebih jauh dijelaskan,
kewenangan atribusi dalam:
Pasal 1 angka 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya:
�wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan�.
h. Jelaslah bahwa Pasal 1 angka 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 di atas
membedakan antara kewenangan atribusi dengan kewenangan
delegasi. Kewenangan terakhir diartikan terjadi jika ada
pelimpahan/pemindahan kewenangan yang ada. Artinya, dengan
menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri mempunyai kewenangan
atribusi dari UUD 1945, Termohon I berargumen bahwa Menteri
Dalam Negeri mempunyai kewenangan yang langsung, bukan
kewenangan pelimpahan, dari UUD 1945.
i. Sebagai perbandingan, di Afrika Selatan ada kasus yang
memposisikan menteri sebagai pihak dalam perkara SKLN di
hadapan Mahkamah Konstitusi: kasus Execufive Council of the
Westem Cape. Kasus tersebut para pihaknya adalah Executive
�
Council of Province of the Westem Cape v. The Minister for Provincial
Affair and Constitutional Development, yang mempersengketakan
persoalan batas wilayah.
j. KESIMPULAN: karena Termohon II mendapat kewenangan
atribusi, yang langsung melekat padanya, dari UUD 1945 maka
sewajibnya Termohon II/Menteri Dalam Negeri patut
diklasifikasikan sebagai lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar (organ konstitusi), dan
karenanya mempunyai kedudukan hukum untuk menjadi pihak
dalam perkara SKLN dihadapan Mahkamah Konstitusi, yaitu
sebagai Termohon II dalam perkara a quo.
k. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH BEKASI (Termohon III)
adalah organ konstitusi karena: (1) eksistensinya dinyatakan dalam
Pasal 18 ayat (3) UUD 1945; (2) kewenangannya diatur dalam Pasal
18 ayat (2), (5) dan (6) UUD 1945.
l. Masalah eksistensi menurut Pasal 18 ayat (3) semestinya tidak ada
masalah. Apalagi, lebih jauh, sebagai unsur pemerintahan daerah,
eksistensi dan kewenangan Termohon III juga diatur berdasarkan
Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (5), (6) dan (7).
m. Yang perlu lebih diklarifikasi adalah kewenangan konstitusional yang
dimiliki Termohon III. Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6) memang
merupakan kewenangan Termohon III sebagai unsur pemerintahan
daerah. Tetapi harus dipahami bahwa kewenangan pemerintahan
daerah itu adalah kewenangan yang secara langsung, satu kesatuan
dan tidak dapat dipisahkan, merupakan kewenangan yang juga
melekat pada DPRD sebagai organ konstitusi. Tanpa keberadaan
DPRD, kewenangan konstitusional pemerintahan daerah tidak akan
pernah dilaksanakan.
n. Lebih jauh berdasarkan Pasal 18 ayat (4) yang memberikan
kewenangan konstitusional pada Gubernur, Bupati, Walikota sebagai
kepala pemerintah daerah, yang nota bene adalah fungsi eksekutif,
maka dengan metode interpretasi a contrario patut diartikan bahwa
DPRD adalah organ konstitusi yang menjalankan kewenangan
konstitusional legislatif di daerah.
�
o. Bahwa DPRD, tanpa bersama-sama dengan kepala daerah sekalipun,
patut mempunyai kedudukan hukum sendiri untuk menjadi pihak
dalam SKLN di hadapan Mahkamah Konstitusi. Jika kasus sengketa
kewenangannya berkait dengan kewenangan konstitusional DPRD,
maka DPRD dapat mempunyai legal standing sendiri di hadapan
Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana salah satu pendapat
menegaskan,"apakah DPRD dan Gubernur sendiri-sendiri dapat
mempunyai legal standing sangat tergantung kasusnya in concreto.�
p. Apalagi berdasarkan pendapat bahwa ada kewenangan konstitusional
yang secara langsung diatur dan diturunkan dari Undang-Undang
Dasar, maka kewenangan konstitusional Termohon III yang ada
dalam Pasal 40, 41 dan 42 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
adalah juga kewenangan konstitusional yang diturunkan langsung
dari UUD 1945, karena undang-undang tersebut merupakan
pelaksanaan langsung (atribusi) dari Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Sehingga kewenangan DPRD dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 patut diklasifikasikan sebagai kewenangan
konstitusional, atau kewenangan yang bersumber langsung dari UUD
1945.
q. KESIMPULAN: berdasarkan argumen-argumen di atas patut
disimpulkan bahwa DPRD Bekasi adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan atau paling tidak diturunkan secara
langsung oleh Undang-Undang Dasar (organ konstitusi) dan
karenanya patut mempunyai kedudukan hukum untuk menjadi
pihak dalam perkara SKLN dihadapan Mahkamah Konstitusi,
yaitu sebagai Termohon III dalam perkara a quo.
F. TENTANG SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA.
a. Sebagaimana diuraikan di atas, untuk menjadi perkara SKLN, salah
satu syarat yang harus dipenuhi berdasarkan Putusan Nomor
002/SKLN-IV/2006 adalah adanya kewenangan konstitusional yang
dipersengketakan oleh Pemohon dan Termohon, dimana
kewenangan konstitusional Pemohon diambil alih dan/atau
terganggu oleh tindakan Termohon.
�
b. Perlu diperjelas apakah yang dimaksud dengan sengketa
kewenangan konstitusional. Sengketa kewenangan konstitusional
terjadi di antara organ konstitusi atas kewenangan yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar. Yang dimaksud dengan kewenangan
konstitusional harus diartikan pula mencakup hak konstitusional
organ konstitusi.
c. Sengketa kewenangan konstitusional terjadi apabila: (1) organ
konstitusi dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya
mengambil alih dan/atau mengganggu kewenangan konstitusional
organ konstitusi yang lain; (2) organ konstitusi karena tidak
melaksanakan kewenangan konstitusionalnya menyebabkan organ
konstitusi lain kewenangannya diambil alih dan/atau terganggu.
d. Dalam perkara a quo, ada dua sengketa kewenangan konstitusional
yang terjadi, yaitu: (1) Termohon II telah mengganggu kewenangan
konstitusional Pemohon ketika melakukan pemberhentian di luar
kewenangan konstitusional yang dimilikinya; dan (2) Tindakan
Termohon III, yang membiarkan kewenangan konstitusionalnya untuk
memberhentikan Pemohon dibiarkan oleh Termohon II;
e. Sengketa kewenangan konstitusional yang pertama pemberhentian
secara unconstitutional Pemohon oleh Termohon II terjadi karena
Pemohon diberhentikan tidak secara demokratis. Padahal, Pemohon
sebagai organ konstitusi mempunyai hak konstitusional untuk dipilih
secara demokratis dan karenanya pun wajib diberhentikan secara
demokratis pula.
f. Ketentuan dipilih secara demokratis adalah kewenangan dan hak
konstitusional yang melekat pada diri Pemohon sebagaimana secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur;
Bupatii sebagai kepala pemerintah daerah kabupaten dipilih secara
demokratis.
g. Secara metode a contrario, karena ada kewenangan dan hak
konstitusional untuk dipilih secara demokratis, maka Pemohon patut
diartikan mempunyai kewenangan dan hak konstitusional untuk
diberhentikan secara demokratis.
�
h. Dalam perkara a quo jelaslah Termohon II telah memberhentikan
Pemohon secara tidak demokratis, karena mendasarkannya pada
putusan pengadilan tata usaha negara, yang sama sekali tidak
dikenal dalam ranah hukum pemberhentian Bupati/Pemohon.
i. KESIMPULAN: Karena proses pemberhentian yang tidak
demokratis tersebut, Termohon II telah mengganggu
kewenangan konstitusional Pemohon selaku kepala pemerintah
daerah (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945) serta selaku unsur
pemerintahan daerah Kabupaten Bekasi (Pasal 18 ayat (2), (5)
dan (6) UUD 1945). Karenanya, jelaslah, telah ada sengketa
kewenangan konstitusional antara Pemohon dengan
Termohon II.
j. Sengketa kewenangan konstitusional yang kedua berkait dengan
DPRD Kabupaten Bekasi sebagai Termohon III yang membiarkan
kewenangan konstitusionalnya untuk memberhentikan Bupati
Bekasi/Pemohon dilangkahi oleh Termohon II yang mengakibatkan
kewenangan konstitusional Pemohon terganggu.
k. Kewenangan konstitusional Termohon III untuk memberhentikan
Pemohon dapat disimpulkan dari Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 jo.
Pasal 29 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang diantaranya
mensyaratkan keterlibatan Termohon III.
l. Pelibatan Termohon III dalam pemberhentian Pemohon tersebut
adalah sejalan dengan prinsip hukum universal a contrario actus,
yaitu pemberhentian Bupati harus dilakukan oleh badan yang
berwenang memilihnya. Karena Pemohon dipilih oleh Termohon III,
maka memang sewajarnya Termohon III terlibat dalam pemberhentian
Pemohon.
Tentang prinsip a contrario actus, telah diakui dalam Putusan Nomor
072 - 073/PUU-II/2004 yang mengatakan:
Sesuai dengan prinsip a contrario actus ... maka pembatalan suatu tindakan hukum harus dilakukan menurut cara dan oleh badan yang sama dengan pembentukannya. Guna menjamin kepastian hukum sebagaimana terkandung dalam prinsip negara hukum menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka karena lembaga yang menetapkan
�
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
KPUD, maka KPUD pula yang seharusnya diberi kewenangan untuk
membatalkannya.
m. KESIMPULAN: karena Termohon III membiarkan saja
kewenangan konstitusionalnya untuk terlibat dalam
pemberhentian Pemohon dilangkahi oleh Termohon II, dan
pembiaran tersebut menyebabkan kewenangan konstitusional
Pemohon selaku kepala pemerintah daerah (Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945) serta unsur pemerintahan daerah Kabupaten Bekasi
(Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6) UUD 1945) terganggu, maka patut
disimpulkan telah terjadi sengketa kewenangan konstitusional
antara Pemohon dengan Termohon III.
G. TENTANG PEMOHON HARUS MEMPUNYAI KEPENTINGAN
LANGSUNG DENGAN KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG
DIPERSENGKETAKAN
Bahwa karena sengketa kewenangan konstitusional yang pertama dan kedua telah menyebabkan kewenangan konstitusional Pemohon sebagai kepala pemerintah daerah/Bupati Kabupaten Bekasi (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945) maupun sebagai unsur pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6) UUD 1945) terganggu, diantaranya tidak dapat lagi menjalankan fungsi-fungsi eksekutifnya selaku Bupati Bekasi, maka jelaslah bahwa syarat adanya kepentingan langsung hubungan kausal, causal verband antara kewenangan yang dipersengketakan dengan Pemohon telah terpenuhi.
II. TENTANG KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Berdasarkan argumen-argumen di atas telah jelas bahwa para pihak (Pemohon dan Termohon) adalah:
1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar;
2. Telah ada sengketa kewenangan konstitusional yang menyebabkan
menyebabkan kewenangan konstitusional Pemohon sebagai kepala
�
pemerintah daerah/Bupati Kabupaten Bekasi (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945)
maupun sebagai unsur pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat (2), (5) dan (6)
UUD 1945) terganggu; dan
3. Gangguan itu mempunyai kepentingan langsung hubungan kausal, causal
verband antara kewenangan yang dipersengketakan dengan Pemohon.
Maka Mahkamah Konstitusi patut memeriksa kasus a quo berdasarkan
kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga
negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24C UUD 1945.
TENTANG PERKARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA, BUKAN
PERKARA TATA USAHA NEGARA
a. Perlu ditegaskan, Mahkamah Konstitusi mempunyai yurisdiksi karena yang
diperiksa adalah sengketa kewenangan konstitusional, sengketa tata negara
bukan perkara tata usaha negara.
b. Termasuk keputusan tata usaha negara jika di samping ada keputusan
pelaksanaan (executive decision) juga ada keputusan bebas (discretionary
decision). Padahal secara tegas dinyatakan oleh Termohon I bahwa: Termohon
II tidak mempunyai keputusan bebas ketika memberhentikan Pemohon.
c. Perkara yang melibatkan sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga
negara apakah berkait dengan pemecatan atau hal lainnya memang
seharusnya menjadi perkara sengketa kewenangan lembaga negara di
hadapan Mahkamah Konstitusi, dan tidak menjadi sengketa tata usaha negara.
d. Sebagai perbandingan, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memeriksa
perkara sengketa kewenangan dalam hal terjadi pemecatan organ konstitusi.
Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional (KRHN):
�Apabila perkara sengketa kewenangan tersebut melibatkan tindakan
pemecatan atau penghilangan sebuah lembaga negara, putusan Mahkamah
Konstitusi juga bisa digunakan sebagai dasar hukum pengembalian
kewenangan sebuah lembaga atau sebuah jabatan.
e. Terlebih dalam perkara a quo ada unsur sengketa antara pemerintah pusat
(Termohon II) dengan kepala daerah sekaligus unsur pemerintahan daerah
(Pemohon). Dalam hal demikian, sebaiknya yang menjadi forum penyelesaian
�
adalah Mahkamah Konstitusi, karena yang terjadi adalah sengketa
kewenangan konstitusional.
f. Sebagai perbandingan bahwa sengketa kewenangan konstitusional antara
pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah adalah yurisdiksi Mahkamah
Konstitusi bahkan di negara kesatuan sekalipun, dapat dilihat, misalnya: Pasal
167 ayat (4)(a) Konstitusi Afrika Selatan dan Pasal 111 ayat (1) butir 4
Konstitusi Korea Selatan.
g. Meski hal sengketa kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah itu tidak
secara eksplisit di atur dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi, hal itu bukan
berarti Mahkamah tidak mempunyai yurisdiksi atas sengketa demikian. Apalagi
Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 terdapat klausula, "Hubungan antara pemerintah
pusat dengan pemerintahan daerah...". Klausul demikian harus diartikan jika
ada hubungan konstitusional kemungkinan pula terjadi sengketa konstitusional
karena interaksi hubungan tersebut.
IV. PENUTUP
Dari argumen-argumen hukum di atas patut ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak ada aturan yang jelas tentang siapakah lembaga negara yang bisa maju
menjadi pihak dalam perkara SKLN di hadapan Mahkamah Konstitusi. Tidak
adanya aturan itu berarti menyerahkan keputusannya kepada mekanisme
persidangan dan pemeriksaan perkara di Mahkamah Konstitusi sendiri.
2. Lembaga negara yang bisa maju ke hadapan Mahkamah Konstitusi seharusnya
tidak semata-mata lembaga negara (state organ), namun adalah lembaga yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; atau lebih tepat disebut
Organ Konstitusi (constitutional organ).
3. Para pihak dalam perkara a quo adalah organ konstitusi karena keberadaan
dan kewenangannya diatur dalam UUD 1945. Termasuk sebagai organ
konstitusi adalah Pemohon yang antara lain dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
secara eksplisit disebut mempunyai kewenangan sebagai kepala pemerintah
daerah (eksektutif di daerah), yang dengan demikian patut diartikan
memberikan kewenangan legislatif daerah kepada DPRD Bekasi (Termohon
III); Di samping tentunya kewenangan yang melekat pada Pemohon dan
Termohon III selaku unsur pemerintahan daerah.
�
4. Sengketa kewenangan konstitusional dalam perkara a quo terjadi ketika
Termohon II menyalahgunakan kewenangan konstitusionalnya untuk
memberhentikan Pemohon namun justru secara tidak demokratis, dan
akibatnya mengganggu pelaksanaan kewenangan konstitusional Pemohon.
Sengketa kewenangan konstitusional lebih jauh terjadi ketika Termohon III
membiarkan kewenangannya untuk ikut serta dalam pemberhentian Pemohon
diambil alih begitu saja oleh Termohon II, yang sekali lagi pembiaran oleh
Termohon III itu menyebabkan kewenangan konstitusional Pemohon
terganggu.
5. Mahkamah Konstitusi mempunyai yurisdiksi atas perkara a quo, yang bukan
sengketa TUN karena, Termohon III tidak punya keputusan bebas (diskresi)
ketika memberhentikan Pemohon, mengandung unsur sengketa antara organ
konstitusi, yang lebih tepat diselesaikan di hadapan Mahkamah Konstitusi;
Yurisdiksi Mahkamah Konstitusi semakin jelas karena ada unsur sengketa
antara pemerintah pusat (Termohon II) dengan pemerintahan daerah
(Pemohon) atau antara pemerintahan daerah (Pemohon dan Termohon III)
yang di beberapa negara merupakan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa perkaranya.
Bahwa Termohon I pada persidangan tanggal 16 Mei 2006, mengajukan ahli
yang semuanya di bawah sumpah memberikan keterangan yang pada pokoknya
sebagai berikut:
Ahli I: Harun Kamil, S.H.
. Bahwa latar belakang proses dan kesimpulan akhir amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terkait dengan Pasal 24C ayat (1)
khususnya tentang masalah sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945;
.. bahwa mengenai lembaga negara itu sendiri satu-satunya tercantum di dalam
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
.. lembaga negara yang dimaksud menurut kesepakatan saat itu adalah lembaga
negara yang berada di pusat;
�
Jadi dari awal pembicaraan kita sudah membedakan antara lembaga yang
namanya pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, kita juga berangkat
dari pemikiran bahwa pemisahan kekuasaan itu adalah kekuasaan yang
namanya eksekutif, yudikatif dan legislatif, maka bicara tentang masalah tingkat
pusat dan daerah yang kita sepakati pada waktu itu pengertian lembaga negara
adalah organ yang mengurus secara nasional yang kedudukannya tidak berada
di bawah organ lain.
Ahli Ii: Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
. Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
memberikan definisi atau penyebutan secara tegas mengenai lembaga negara,
tiada penegasan ini haruslah dilihat dalam alam pikir dan pemahaman yang
berkembang pada saat Undang-Undang Dasar itu dirumuskan. Para perumus
Undang-Undang Dasar itu sangat terpengaruh oleh pemahaman mengenai
lembaga negara sebelumnya; Jadi lembaga negara yang dipahami adalah
lembaga negara dalam kerangka yang dikenal sebelumnya baik lembaga tinggi
negara dan lembaga tertinggi negara. Namun demikian satu-satunya istilah
lembaga negara dalam Undang-Undang Dasar ini hanya ditemukan dalam Pasal
24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
. Bahwa lembaga negara yang dimaksud khusus dalam Pasal 24C Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, yaitu lembaga negara
atau alat kelengkapan negara dalam pemahaman selama ini pada tingkat pusat
atau tingkat nasional yang tidak merupakan bagian;
. Bahwa yang dimaksud kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan yang secara tegas
tertulis dan eksplisit di berikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, tidak menggunakan istilah kewenangannya diberikan oleh
konstitusi, karena bisa jauh dan meluas dalam kewenangan-kewenangan yang
lain dari Undang-undang; jadi kewenangan yang dilahirkan oleh Undang-undang
walaupun oleh kewenangan konstitusional bukan pengertian Pasal 24C UUD 1945.
�
Ahli III: Drs. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.
. Bahwa yang dimaksud memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, misalnya yang berkaitan dengan lembaga-lembaga pemegang
kekuasaan, yaitu DRP,Presiden, MA, DPD, MPR, BPK dan MK.
. Jika kita bicara dari sudut kekuasaan yang dimiliki, adalah kekuasaan pemerintah
negara ada di Presiden, kekuasaan pembentuk undang-undang ada di DPR,
kekuasaan kehakiman ada di MA dan MK, sehingga kami ingin mengatakan bahwa
pada waktu itu timbul satu pemikiran kalau nanti misalnya ada sengketa antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau pemerintah daerah dengan
pemerintah daerah, mahkamah akan kewalahan, oleh karena itu perlu dibatasi.
Dengan demikian lembaga negara dimaksud adalah lembaga negara yang
kewenangannya sudah diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
Bahwa Pemohon disamping menghadirkan ahli dalam persidangan pada
tanggal 16 Mei 2006, juga menyerahkan keterangan ahli secara tertulis yang pada
pokoknya sebagai berikut:
Keterangan Tertulis ahli : Prof. Dr.H. Kuntana Magnar, S.H.,M.H.
1. Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan objek
sengketa (permohonan SKLN dari Bupati/Wakil Bupati Bekasi).
Seperti diketahui, menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
�Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk ......., memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar ........�.
Adapun subjek sengketa dalam kasus ini, yaitu:
- Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, selaku Pemohon.
- Presiden R.I, selaku Termohon I.
- Mendagri, selaku Termohon II.
- DPRD Kabupaten Bekasi, selaku Termohon III
Sedangkan objek sengketanya, Pemohon keberatan atas:
�
1.1. Tindakan Termohon II yang memberhentikan Pemohon sebagai Bupati
Kabupaten Bekasi dengan menerbitkan Surat Keputusan Mendagri No.
131/2006 dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi dengan Surat Keputusan
Mendagri No. 132/2006
1.2. Tindakan Termohon III yang mengeluarkan Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 06/KEP/172.23-DPRD/2006
tertanggal 28 Februari 2006 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Bekasi terhadap ditetapkannya Rancangan Peraturan
Daerah Tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi
Tahun 2006 menjadi Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006.
Dalam hubungan ini, berwenang tidaknya Mahkamah Konstitusi memutus perkara
yang menjadi objek sengketa di sini, tergantung dari:
a. Apakah ada sengketa kewenangan negara.
b. Apakah para pihak memenuhi syarat sebagai lembaga negara.
c. Apakah lembaga negara dimaksud, kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar.
Berkenaan dengan hal tesebut di atas, maka mohon perhatian terhadap ketentuan
Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (2) dan (3) , Pasal 18 ayat (4) dan 18A UUD 1945,
menyatakan:
Pasal 4 ayat (1) :
�Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar�.
Pasal 17 ayat (2) dan (3):
(2) �Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden�
(3) �Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan�.
Pasal 18 ayat (4) :
(4) �Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis�.
Pasal 18A :
(1) �Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah�.
�
(2) �Hubungan keuangan, pelayan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang�.
Ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, menyatakan :
(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah berhenti karena :
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c diberhentikan karena :
a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat baru;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah;
e. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
f. melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
(3) Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b
diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna
dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.
(4) Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan kepada
Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD
bahwa Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah tidak lagi memenuhi
syarat, melanggar sumpah/janji jabatan tidak melaksanakan kewajiban
dan/atau melanggar larangan.
b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui
Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
DPRD yang hadir.
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD
itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau
�
tidak melaksanakan kewajiban DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk
memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah kepada Presiden.
e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD
menyampaikan usul tersebut.
Ketentuan Pasal 30 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan:
(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden
tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan:
(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap
keamanan negara.
(2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden
tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar, dan/atau
perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Memperhatikan fakta hukum yang terurai dan dimuat dalam peraturan-peraturan
perundangan-undangan, maka :
1. Berdasarkan ketentuan Pasal 18A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 29 sampai dengan Pasal 31 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jelas telah diatur
mekanisme pemberhentian Bupati secara limitatif sedangkan produk hukum
yang diterbitkan oleh Termohon I jelas bertentangan dengan peraturan
perundangan tersebut, sehingga karenanya telah menimbulkan sengketa
kewenangan negara;
2. Berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), dan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
�
1945 para pihak jelas telah memenuhi syarat sebagai lembaga negara, dengan
catatan bahwa kelembagaan negara Mendagri melekat pada lembaga negara
Presiden (tidak berdiri sendiri).
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 18A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terbukti bahwa para pihak
sebagai lembaga negara kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar.
Dengan demikian, maka Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa perkara
menjadi objek sengketa.
2. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Bupati/Wakil Bupati.
Kedudukan (keberadaan dan kewenangan) Kepala Daerah (hanya Kepala
Daerah/tanpa Wakil), diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Pasal 18 ayat (4). Atas dasar itu, Kepala Daerah
merupakan "Lembaga Negara".
Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , menyatakan:
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
3. Mengenai kewenangan Konstitusional Presiden untuk memberhentikan Bupati/Wakil Bupati Bekasi.
.. Mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 27 ayat (2) dan
(3), Pasal 29 ayat (4) huruf a, e, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 ayat (5), (7),
Pasal 33 ayat (1), (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 109 ayat (1),
(2), Pasal 111 ayat (1), (2), maka Presiden memiliki kewenangan untuk
memberhentikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/
Wakil Walikota. Tetapi dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c dan f Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, tidak jelas bagaimana prosedur/tata cara
memberhentikannya.
� 4. Mengenai kewenangan DPRD Kabupaten Bekasi dalam membahas dan menetapkan APBD tanpa melibatkan Bupati/Wakil Bupati.
.. Ketentuan Pasal 18 Ayat (2), (5) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan:
Ayat (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.
Ayat (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Ayat (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Bertolak dari ketentuan :
- Pasal 25 huruf c Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah
mempunyai tugas dan wewenang : "menetapkan peraturan daerah yang
telah mendapat persetujuan bersama DPRD".
- Pasal 25 huruf d Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah
mempunyai tugas dan wewenang : "menyusun dan mengajukan rancangan
peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama".
- Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD
mempunyai tugas dan wewenang: "membentuk Peraturan Daerah yang
dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama". (jo
Pasal 78 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003, DPRD
Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang: "membentuk peraturan
daerah yang dibahas dengan Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan
bersama").
- Pasal 42 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD
mempunyai tugas dan wewenang: "membahas dan menyetujui Rancangan
Peraturan Daerah tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah" (jo
Pasal 78 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003, DPRD
Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang menetapkan APBD
Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Bupati/Walikota).
�
.. Melalui ketentuan-ketentuan tersebut, dapat diketahui :
b. Bentuk peraturan tentang APBD adalah Peraturan Daerah.
c. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. RAPERDA APBD, selalu/harus berasal dari Kepala Daerah/Pemda. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 :
"RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR".
Dengan demikian, bagaimana mungkin DPRD Kabupaten Bekasi dapat membahas dan menetapkan APBD tanpa melibatkan Bupati/Wakil Bupati.
5. Mengenai sah tidaknya produk hukum yang dibahas dan ditetapkan DPRD
Kabupaten Bekasi tanpa melibatkan Bupati/Wakil Bupati.
.. Sehubungan dengan adanya produk hukum (dalam bentuk perda) yang
dibahas dan ditetapkan DPRD Kabupaten Bekasi tanpa melibatkan
Bupati/Wakil Bupati, adalah "batal demi hukum" (`van rechtswegenietig').
Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut (yaitu dalam hal ini Perda
APBD Kabupaten Bekasi), dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya
batal secara hukum, karena tidak dibuat oleh badan/pejabat yang berwenang
(yaitu Kepala Daerah/Bupati dan DPRD), sehingga tidak memenuhi syarat
dasar yuridis.
.. Pasal 25 huruf a, b, c, d, e, f dan g Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
yaitu :
Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang :
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD;
b. Mengajukan rancangan peraturan daerah;
c. Menetapkan peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD
kenada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
�
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
Keterangan tertulis ahli : Prof. Dr. Harun Alrasid: 1. Mengenai Mendagri tidak berwenang memberhentikan Bupati.
1.1 Soal pemberhentian Kepada Daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bab IV, Bagian Keempat, Paragraf Keempat. Pasal 29, ayat (2), yang menyebutkan 6 dasar pemberhentian (entslagsgronden) sebagaimana dinyatakan dalam huruf a s/d. f Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 15 Oktober 2004.
1.2. Secara yuridis tidak bisa dibenarkan adanya alasan tambahan, karena sudah diatur secara limitatif dalam ketentuan tersebut di atas, kecuali melalui perubahan undang-undang.
1.3. Pemberhentian Kepala Daerah dengan alasan melanggar sumpah/janji jabatan (dasar pemberhentian huruf d) atau tidak melaksanakan kewajiban (dasar pemberhentian huruf e) dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPR Daerah.
1.4. Pendapat DPR Daerah sebagaimana dimaksud dalam butir 3 di atas, diputuskan dalam rapat paripurna DPR Daerah yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota DPR Daerah yang bersangkutan (quorum sidang) dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir (quorum pengambilan putusan).
1.4.1. Jika Mahkamah Agung mengabulkan permintaan DPR Daerah dan memutuskan bahwa Kepala Daerah memang terbukti melanggar sumpah/ janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, maka tindak lanjutnya ialah DPR Daerah mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah kepada Presiden, yang berwenang memberhentikan Kepala Daerah (wewenang ini tidak bisa didelegasikan).
1.4.2. Usul dimaksud dalam butir 4 di atas, diputuskan dalam rapat paripurna DPR Daerah yang dihadiri oleh 3/4 jumlah anggota (quorum sidang) dan disetujui oleh 2/3 jumlah anggota yang hadir (quorum putusan).
�
1.5. Pemberhentian Kepala Daerah di luar kedua alasan tersebut di atas, tidak
perlu melibatkan Mahkamah Agung.
2. Apakah Menteri Dalam Negeri berwenang memberhentikan Bupati?
Tidak!, karena yang berwenang ialah Presiden dan tidak ada aturan hukum (leqal rule,
rechtsregel) yang membolehkan Presiden untuk mendelegasikan kewenangan
tersebut. Ada 6 (enam) dasar pemberhentian Kepala Daerah (entslaqsqronden) yang
tercantum dalam Pasal 29, ayat (2), Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
3. Apakah Presiden dapat mendelegasikan kewenangan memberhentikan Bupati
kepada Menteri Dalam Negeri?
Sudah dijawab di atas.
4. Apakah Keputusan Menteri Dalam Negeri memberhentikan Bupati/Wakil Bupati
Bekasi masa jabatan 2003-2008, yaitu Drs. H.M. Saleh Manaf/Drs. Solihin Sari,
masing-masing dengan S.K. Nomor 131.32-11 Tahun 2006 tanggal 4 Januari
2006 dan S.K. Nomor 132.32-35 Tahun 2006 tanggal 19 Januari 2006
merupakan tindakan hukum tata usaha negara?
Bukan!, karena soal pengisian jabatan, d.p.l. penunjukan pemangku jabatan
(aanwijzing der ambtsdragers) termasuk dalam bidang hukum tata negara (vide
Logemann, Het Staatsrecht van Indonesie (cet. Ke-3, 1955), hal. 18).
Bahwasanya soal pemberhentian atau kehilangan jabatan (ambtsverlies) termasuk dalam bidang hukum tata negara, lihat Logemann, Over de theorie van een stelliq staatsrecht (Penerbit Saksama, 1954, hal. 132).
Bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 30 Mei 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Selasa tanggal 30 Mei 2006, yang pada pokoknya sesuai dengan permohonan yang diuraikan di atas;
Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
�
PERTIMBANGAN HUKUM
KEWENANGAN MAHKAMAH DAN KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah sebagaimana diuraikan di atas;
Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mendalilkan telah terjadi sengketa kewenangan lembaga negara antara Pemohon dengan Termohon I, Termohon II, dan Termohon III. Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon ataupun Termohon I, Termohon II, dan Termohon III adalah lembaga negara yang kedudukannya diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sengketa kewenangan lembaga negara tersebut disebabkan oleh tindakan Termohon II menerbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 bertanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Jawa Barat, dan tindakan Termohon III menetapkan Keputusan DPRD Kabupaten Bekasi Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 bertanggal 28 Februari 2006 tentang Persetujuan DPRD Kabupaten Bekasi terhadap ditetapkannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006. Di samping itu, menurut Pemohon, Termohon I seharusnya mengoreksi tindakan Termohon II karena Termohon II merupakan pembantu Termohon I. Tindakan Termohon II merupakan tanggung jawab dari Termohon I yang mengangkat dan memberhentikan Termohon II sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945;
Menimbang bahwa selain mendalilkan telah terjadi sengketa kewenangan antara Pemohon dan para Termohon sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon juga mengajukan permohonan provisi. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa oleh karena permohonan provisi dimaksud berkait dengan
�
permohonan pokok, maka permohonan provisi tersebut akan dipertimbangkan
bersama-sama dengan pertimbangan tentang permohonan pokok;
Menimbang, untuk memperkuat dalilnya bahwa telah terjadi sengketa kewenangan antara Pemohon dengan Termohon I, Termohon II, dan Termohon III, Pemohon di samping mengajukan dasar-dasar alasan bahwa baik Pemohon maupun para Termohon adalah lembaga negara, mengajukan juga ahli-ahli yang terdiri atas:
(1) Prof. Dr. Muhammad Ryaas Rasyid, M.A.;
(2) Topo Santoso, S.H., M.H.;
(3) Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
Dalam keterangannya sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkara di atas, ketiga ahli tersebut pada intinya menyatakan bahwa para Termohon adalah lembaga negara atau menyatakan bahwa dalam sengketa antara Pemohon dan para Termohon, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo;
Menimbang bahwa atas permohonan Pemohon tersebut para Termohon telah didengar pendapatnya dalam persidangan yang pada dasarnya mendalilkan bahwa Pemohon dan Termohon II bukanlah lembaga negara dan permohonan yang diajukan Pemohon adalah murni sengketa tata usaha negara dan bukan sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945. Sementara itu, Termohon II mendalilkan bahwa tindakan Termohon II menerbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 bertanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Jawa Barat adalah untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 436 K/TUN/2004 bertanggal 6 Juli 2005 yang berdasarkan Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Di samping menyampaikan dalil-
�
dalilnya sendiri, Termohon I juga mengajukan ahli-ahli dalam persidangan untuk
didengar keahliannya, yaitu:
(1) Harun Kamil S.H.;
(2) Hamdan Zoelva, S.H., M.H.;
(3) Drs. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.;
Keterangan lengkap ketiga ahli tersebut telah diuraikan dalam duduk perkara di atas.
Pada intinya, para ahli tersebut menyatakan bahwa Bupati bukanlah lembaga negara
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945. Atas kedudukan ketiga ahli
tersebut Pemohon berkeberatan karena ketiganya adalah Anggota Panitia Ad Hoc
MPR 1999-2004 yang terlibat dalam perubahan UUD 1945, sehingga seharusnya
kedudukannya adalah sebagai saksi dan bukan ahli. Terhadap keberatan Pemohon
tersebut, Mahkamah berpendirian bahwa yang dimaksud dengan �keterangan ahli�
adalah �keterangan yang diberikan oleh seseorang yang karena pendidikan dan/atau
pengalamannya memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam yang berkaitan
dengan permohonan, berupa pendapat yang bersifat ilmiah, teknis, atau pendapat
khusus lainnya tentang suatu alat bukti atau fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan
permohonan�, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005;
Menimbang bahwa menurut ketentuan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang, antara lain, untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
Menimbang bahwa dengan adanya permohonan Pemohon, Mahkamah memandang perlu untuk mempertimbangkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945. Kemudian barulah dapat ditetapkan apakah memang benar permohonan Pemohon termasuk dalam pengertian sengketa kewenangan lembaga negara, sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan yang diajukan oleh Pemohon;
�
Menimbang bahwa untuk menentukan pengertian apa yang dimaksud dengan
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan dasar-dasar
mengapa proses peradilan dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa kewenangan
lembaga negara sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Kebutuhan untuk menyediakan prosedur penyelesaian sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar tersebut
timbul karena kekuasaan kenegaraan didistribusikan secara fungsional yang
pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga yang ditetapkan oleh undang-undang dasar.
Kekuasaan yang diberikan kepada lembaga negara tersebut sifatnya saling
membatasi antara yang satu dengan yang lain (checks and balances). Setelah
mengalami perubahan, UUD 1945 tidak mengenal lagi lembaga tertinggi negara
sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan demikian, tidak ada lagi
lembaga negara yang kedudukannya lebih tinggi yang keputusannya dapat dijadikan
rujukan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara;
Menimbang bahwa undang-undang dasar, di samping sebagai sumber hukum yang tertinggi karena memuat norma-norma hukum yang mendasar bagi penyelenggaraan negara, juga mengatur mekanisme hubungan antar lembaga negara. Aturan tentang mekanisme kerja yang terdapat dalam undang-undang dasar tersebut harus berjalan sebagaimana ditentukan oleh undang-undang dasar. Apabila terdapat komponen dalam mekanisme tersebut yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yang salah satu sebab di antaranya adalah karena adanya lembaga negara yang bertindak di luar kewenangannya, maka hal tersebut perlu dikembalikan pada mekanisme yang seharusnya. Koreksi hukum terhadap inkonstitusionalitas mekanisme tersebut dilakukan oleh lembaga peradilan tersendiri yaitu Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dengan maksud untuk menghindari penyelesaian yang semata-mata bersifat politis yang didasarkan atas kekuasaan belaka. Selain itu, karena mekanisme yang terkandung dalam konstitusi terbentuk oleh norma-norma hukum yang terdapat dalam konstitusi, maka fungsi Mahkamah Konstitusi untuk mengoreksi penggunaan wewenang yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada lembaga negara supaya digunakan sesuai dengan konstitusi, adalah termasuk dalam pengertian tugas Mahkamah Konstitusi dalam menjaga dan menegakkan konstitusi. Dalam menetapkan apakah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo serta
�
menetapkan apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan a quo, Mahkamah mendasarkan pendapatnya tentang pengertian
�sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar� pada pertimbangan tersebut di atas;
Menimbang bahwa dalam setiap undang-undang dasar, hal utama yang perlu diatur adalah kewenangan-kewenangan kenegaraan dan kemudian kewenangan tersebut diberikan kepada organ atau lembaga negara tertentu. Aspek lembaga negara baru menjadi relevan setelah lembaga negara tersebut diberi kewenangan. Sebagai contoh, di Amerika kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Kongres, di Inggris kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Queen (Ratu) di dalam Parlemen yang terdiri atas House of Commons dan House of Lords, sedangkan di Indonesia kekuasaan legislatif diberikan kepada DPR. Adalah suatu keniscayaan bahwa kewenangan tersebut memerlukan organ yang melaksanakan sehingga hubungan antara kewenangan dan organ pelaksananya sangat erat bahkan dapat dikatakan tidak terpisahkan. Dengan perspektif sebagaimana tersebut di atas, maka rumusan �sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar� haruslah dipahami bahwa yang merupakan inti dalam rumusan tersebut adalah persoalan �kewenangan�. Dengan demikian, menurut rumusan tersebut di atas, objectum litis dari sengketa kewenangan sebagaimana dimaksud adalah �kewenangan tentang hal apa�. Sedangkan, tentang �siapa pemegang kewenangan� tersebut atau siapa yang diberi kewenangan akan dilihat dalam ketentuan undang-undang dasar. Adanya kata �lembaga negara� dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus dimaknai tidak terpisahkan dengan �kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar�. Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan, sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;
�
Penempatan kata �sengketa kewenangan� sebelum kata �lembaga negara�
mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 adalah memang �sengketa kewenangan� atau tentang �apa
yang disengketakan� dan bukan tentang �siapa yang bersengketa�. Pengertiannya
akan menjadi lain apabila perumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut
berbunyi, ��sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar�. Dalam rumusan yang disebut terakhir, hal yang merupakan pokok
persoalan adalah pihak yang bersengketa, yaitu lembaga negara dan tidak menjadi
penting tentang objek sengketanya. Sehingga, apabila demikian rumusannya, maka
sebagai konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan menjadi forum penyelesai
sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi yang dipersengketakan
oleh lembaga negara, dan hal yang demikian menurut Mahkamah bukanlah maksud
dari Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan ��sengketa lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar�, Mahkamah
Konstitusi akan berwenang untuk memutus sengketa apapun yang tidak ada sangkut-
pautnya sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga
negara, sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara;
Menimbang bahwa kata �lembaga negara� dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak terpisahkan dengan frasa �yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar�. Dengan dirumuskannya anak kalimat �lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar�, secara implisit memang terkandung pengakuan bahwa terdapat �lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar�. Dengan demikian, pengertian lembaga negara harus dimaknai sebagai genus yang bersifat umum yang dapat dibedakan antara �lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar� dan �lembaga negara yang kewenangannya bukan dari Undang-Undang Dasar�. Dalam Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Mahkamah Konstitusi telah mengakui keberadaan lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar melainkan oleh peraturan perundang-undangan lainnya, dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
Menimbang bahwa kata �lembaga negara� terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga mana yang dimaksud
�
oleh Pasal 24C ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan
lembaga negara oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada
uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah
sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan-
kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada
lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Karena kewenangan
sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan
negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan
yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama
apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan
kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945;
Menimbang bahwa rumusan �sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar�, mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis �kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar�, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah;
Menimbang bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UUMK menyatakan:
Ayat (1) : �Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan�;
�
Ayat (2) : �Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang
dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang
menjadi termohon�.
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai hukum acara yang memungkinkan pemeriksaan sengketa kewenangan dimulai atau dibuka di Mahkamah Konstitusi karena dengan demikian ada pihak yang lebih dahulu mengajukan permohonan. Mahkamah tidak dapat atas inisiatif sendiri memeriksa perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan ketentuan tersebut di atas tidak mengubah hakikat kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah untuk hanya memeriksa sengketa kewenangan lembaga negara atas dasar apa yang disengketakan (objectum litis) dan bukan kewenangan untuk memutus sengketa karena pihak yang bersengketa (subjectum litis). Hal tersebut telah diuraikan dalam pendapat Mahkamah sebelumnya;
Menimbang bahwa dengan dasar pemikiran di atas Mahkamah baru dapat menetapkan apakah permohonan Pemohon termasuk dalam pengertian sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 24C UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memutus permohonan a quo;
POKOK PERKARA
Menimbang bahwa objectum litis dari permohonan Pemohon adalah:
(1) �kewenangan Termohon II dalam menerbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 bertanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan kewenangan Temohon II dalam menerbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 bertanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Jawa Barat�;
(2) �kewenangan Termohon III menetapkan Keputusan DPRD Kabupaten Bekasi Nomor 06/KEP/172.2-DPR/2006 bertanggal 28 Februari 2006 tentang
�
Persetujuan DPRD Kabupaten Bekasi terhadap ditetapkannya Rancangan
Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Bekasi Tahun 2006�;
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Termohon II dalam penerbitan 2 (dua) Surat Keputusan tersebut di atas telah melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) sebagaimana ditentukan dalam konstitusi karena tindakan tersebut nyata-nyata dilakukan tanpa alasan dan tanpa melalui mekanisme pemberhentian yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18A UUD 1945 juncto Pasal 29 sampai dengan Pasal 31 UU Nomor 32 Tahun 2004;
Menimbang bahwa Pemohon mendasarkan kewenangan pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18A UUD 1945, namun Mahkamah berpendapat bahwa substansi kedua Pasal tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan kewenangan pemberhentian terhadap Pemohon. Dalam menentukan isi dan batas kewenangan yang menjadi objectum litis suatu sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah tidak hanya semata-mata menafsirkan secara tekstual bunyi dari ketentuan undang-undang dasar yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga melihat kemungkinan adanya kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) guna menjalankan kewenangan pokok tertentu tersebut. Kewenangan-kewenangan tersebut dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang. Dalam menafsirkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar, ahli Prof. Dr. Muhammad Ryaas Rasyid, M.A. dalam persidangan menyatakan bahwa kewenangan konstitusional bukan hanya terbatas pada referensi yang tertulis pada undang-undang dasar, tetapi pada seluruh undang-undang yang merupakan turunan dari pada undang-undang dasar. Sedangkan, ahli Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. menyatakan bahwa kewenangan konstitusional adalah kewenangan yang langsung dari undang-undang dasar ataupun diturunkan dari undang-undang dasar. Terhadap pendapat ke dua ahli yang menyatakan bahwa kewenangan turunan dari undang-undang dasar atau undang-undang yang diturunkan dari undang-undang dasar termasuk dalam pengertian kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar, Mahkamah berpendapat bahwa pengertian kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar dapat ditafsirkan tidak hanya yang tekstual saja tetapi juga termasuk di
�
dalamnya kewenangan implisit yang terkandung dalam suatu kewenangan pokok dan
kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok, namun tidak
seluruh kewenangan yang berada dalam undang-undang karena diturunkan dari
undang-undang dasar dengan serta-merta termasuk dalam pengertian yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pembuat undang-undang berdasarkan undang-undang
dasar, diberi wewenang membentuk lembaga negara dan memberi kewenangan
terhadap lembaga negara yang dibentuknya tersebut, namun apabila pembentukan
lembaga negara dan pemberian kewenangan kepada lembaga negara sebagaimana
ditetapkan dalam undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar,
Mahkamah dapat melakukan pengujian materiil undang-undang sedemikian terhadap
UUD 1945. Di samping itu, pembentuk undang-undang dapat juga membentuk
lembaga negara dan memberikan kewenangan kepada lembaga negara itu,
walaupun tidak diperintahkan oleh UUD 1945. Dengan demikian, tidak setiap
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang harus dimaknai sebagai
kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang dasar;
Menimbang bahwa dalil Pemohon yang menyatakan Termohon II telah melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) menurut Mahkamah tidaklah dapat diuji secara langsung dengan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18A UUD 1945, tetapi berdasarkan Pasal 29 sampai dengan Pasal 31 UU Nomor 32 Tahun 2004. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18A UUD 1945 bukanlah sebuah ketentuan yang memberi kewenangan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota, tetapi adalah norma undang-undang dasar yang mengikat kepada pembuat undang-undang dalam mengatur pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar pemilihan kepala daerah tidak dilakukan secara penunjukan atau pengangkatan, melainkan dengan cara demokratis yaitu melalui pemilihan langsung ataupun pemilihan melalui lembaga perwakilan. Pembuat undang-undang oleh undang-undang dasar diberi kewenangan penuh untuk memilih salah satu cara. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18A UUD 1945 tidak merupakan dasar atau sumber kewenangan dari kepala daerah baik kewenangan pokok, kewenangan implisit, maupun kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota;
�
Menimbang, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pemberhentian
yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri adalah bertentangan dengan prinsip
a contrario actus, Mahkamah berpendapat prinsip tersebut haruslah diterapkan secara
terbatas, yaitu pada saat melakukan penafsiran terhadap ketentuan yang tidak secara
jelas mengatur tentang tata cara pemberhentian kepala daerah. Di samping itu, Pasal
18 ayat (4) memang nyata-nyata dimaksudkan sebagai norma tentang tata cara
pemilihan saja dan tidak mengatur tentang pemberhentian Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Ketentuan yang mengatur alasan dan tata cara pemberhentian kepala
pemerintah daerah diserahkan kepada pengaturan undang-undang. Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 menjadi salah satu dasar hukum pembentukan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 khusus yang berkaitan dengan tata cara pemilihan kepala pemerintah
daerah, namun bukan satu-satunya dasar hukum untuk menentukan alasan
pemberhentian kepala pemerintah daerah. Di samping pemberhentian dengan cara
demokratis yang melibatkan DPRD, undang-undang secara demokratis dapat
menambahkan cara lainnya yang mempunyai alasan yang rasional dan konstitusional,
yaitu Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, untuk memberhentikan kepala pemerintah daerah
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, yang berbunyi:
�Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap�. Demikian pula Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi, �Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap�. Dengan demikian, prinsip a contrario actus tidak ada relevansinya dengan pemberhentian, karena alasan pemberhentian merupakan masalah hukum. Sehingga, mekanisme pemberhentiannya pun harus mengikuti proses hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 33 Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan Termohon I tidak berhubungan dengan prinsip a contrario actus;
�
Menimbang bahwa Pemohon menyatakan tindakan Termohon II melampaui
kewenangannya (ultra vires) karena pemberhentian Pemohon tidak didasarkan atas
ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 33 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
yang mengatur tentang alasan atau dasar kepala daerah berhenti dari jabatannya.
Sejalan dengan pendapat Mahkamah di atas bahwa kewenangan lembaga negara
tidak cukup hanya dilihat secara tekstual tetapi juga adanya kewenangan yang implisit
yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan
(necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang pengaturannya
dapat saja dimuat dalam undang-undang, maka Mahkamah berkesimpulan bahwa
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 sampai dengan 33 Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 bukanlah merupakan kewenangan kepala daerah baik secara
tekstual, implisit, maupun kewenangan yang diperlukan (necessary and proper)
untuk melaksanakan kewenangan pokok yang diberikan oleh undang-undang dasar.
Oleh karenanya, ketentuan dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 33 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tidak dapat dijadikan sebagai dasar objectum litis oleh kepala
daerah dalam sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 sampai
dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur keterlibatan
DPRD dalam pemberhentian kepala daerah dengan cara memberikan kewenangan-
kewenangan tertentu. Apabila terjadi pemberhentian kepala daerah yang tidak sesuai
dengan ketentuan tersebut, seharusnya yang berkepentingan dalam persoalan
pemberhentian demikian adalah DPRD, bukan Pemohon. Dengan demikian,
kewenangan tersebut tidak termasuk dalam pengertian kewenangan kepala daerah
yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga apabila timbul sengketa dari pelaksanaan
ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
maka hal tersebut bukanlah kewenangan dari Mahkamah untuk memeriksa,
mengadili, dan memutusnya;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa sengketa Pemohon dengan Termohon II bukanlah sengketa kewenangan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sehingga permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 61 UUMK. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak beralasan.
�
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan tindakan Termohon III yaitu
mengeluarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi
Nomor 06/KEP/172.2-DPRD/2006 bertanggal 28 Februari 2006 sudah melampaui
kewenangannya dan merugikan kepentingan langsung Pemohon, karena
mengabaikan kewenangan Pemohon yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD
1945 juncto Pasal 25 huruf c dan huruf d Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004;
Menimbang bahwa berdasarkan dalil Pemohon sebagaimana tersebut di atas, objectum litis antara Pemohon dan Termohon III adalah kewenangan pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pemerintahan daerah adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 karena diberikan kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Pemohon yang mendalilkan dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah sebagai Bupati Bekasi. Dalam hubungannya dengan kapasitas yang didalilkan yaitu Bupati, UUD 1945 mengatur dalam Pasal 18 ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Selain ketentuan tersebut, Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas yang telah jelas disebut kewenangannya adalah pemerintahan daerah yang kewenangan tersebut diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Meskipun Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah kepala pemerintah daerah, namun Pasal ini tidak menyebutkan apa yang menjadi kewenangan kepala pemerintah daerah dan hal ini adalah wajar karena ruang lingkup kewenangan tersebut baru dapat ditetapkan apabila perintah Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 dilaksanakan yaitu dengan ditetapkan dalam undang-undang. Kewenangan kepala daerah sangatlah berkaitan dengan kewenangan pemerintahan daerah, karena kepala daerah adalah kepala pemerintah daerah, tentunya akan sangat tidak tepat apabila kewenangan kepala daerah tidak dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh
�
pemerintahan daerah. Keseluruhan kewenangan tersebut diatur dalam undang-
undang, yaitu undang-undang yang melaksanakan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal
18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (6) adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang dasar kepada pemerintahan daerah dan sekaligus juga perintah kepada
pembuat undang-undang agar kewenangan tersebut tidak diabaikan dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945. Dalam
hubungannya dengan pembuatan peraturan daerah, kewenangan kepala pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditentukan dan diatur oleh undang-
undang. Sedangkan yang dilarang oleh undang-undang dasar apabila kewenangan
membuat peraturan daerah sama sekali ditiadakan. Pelaksanaan kewenangan
tersebut tentunya akan disesuaikan dengan pelaksanaan asas otonomi dan tugas
pembantuan yang diatur oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat
mengatur secara berbeda tata cara pembuatan peraturan daerah yang berlaku untuk
daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan bahkan daerah yang termasuk
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18B UUD 1945;
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Bupati adalah organ pemerintahan yang juga lembaga negara dalam proses pembuatan peraturan daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Kewenangan Bupati tersebut diberikan oleh undang-undang, dan di dalam undang-undang tersebut tidak terdapat kewenangan implisit atau kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok Bupati yang diberikan oleh undang-undang dasar. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa sengketa yang terjadi antara Pemohon dan Termohon III bukanlah sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan;
Menimbang bahwa Pemohon juga mengingatkan kepada Termohon I untuk mengoreksi tindakan Termohon II dalam tindakannya menerbitkan Surat Keputusan yang dipermasalahkan oleh Pemohon, namun Pemohon tidak secara jelas menguraikan tindakan yang dimohonkan kepada Mahkamah terhadap Termohon I, sehingga permohonan menjadi kabur (obscuur libel). Di samping itu Mahkamah berpendapat bahwa Termohon I tidak mengoreksi tindakan Termohon II tidak
�
termasuk dalam pengertian sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945. Oleh karenanya permohonan Pemohon tidak
beralasan;
Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan putusan provisi untuk memerintahkan kepada Termohon I, Termohon II, dan Termohon III menghentikan sementara pelaksanaan:
(i) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006
bertanggal 4 Januari 2006;
(ii) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006
bertanggal 19 Januari 2006;
(iii) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor
06/KEP/172.2-DPRD/2006 bertanggal 18 Februari 2006.
Terhadap permohonan provisi tersebut Mahkamah berpendapat bahwa dengan
telah dipertimbangkannya substansi permohonan sebagaimana tersebut di atas, maka
permohonan provisi tersebut tidak lagi relevan untuk dipertimbangkan;
Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya menilai bahwa tindakan Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk memeriksa SK Mendagri tentang Pengangkatan Bupati Nomor 131.32-36 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 dan SK Mendagri tentang Pengangkatan Wakil Bupati Nomor 132.32-37 Tahun 2004 bertanggal 8 Januari 2004 telah melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, Mahkamah berpendapat bahwa terhadap dalil tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam putusan ini, karena Pemohon tidak menjadikan penilaiannya pada putusan tersebut sebagai objectum litis kewenangan lembaga negara a quo.
Menimbang bahwa oleh karena objectum litis dalam permohonan a quo bukan merupakan sengketa kewenangan sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 ayat (1) UUMK, sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
�
Mengingat Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4316).
M E N G A D I L I :
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi dengan seorang Hakim Konstitusi mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan dua orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) pada hari Selasa, tanggal 11 Juli 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Rabu, tanggal 12 Juli 2006, oleh kami Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua merangkap Anggota, Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Maruarar Siahaan, S.H., Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., H. Achmad Roestandi, S.H., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., dan Soedarsono, S.H., masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Wiryanto, S.H., M.Hum. sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Termohon I/kuasanya, Termohon II/kuasanya, dan Termohon III.
Ketua,
Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Anggota,
Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Prof. H.A.S Natabaya. S.H. LL.M.
�
Maruarar Siahaan, S.H. Prof. Dr. H. M Laica Marzuki, S.H.
Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H. M.S. H. Achmad Roestandi, S.H.
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Soedarsono, S.H.
Alasan Berbeda (Concurring Opinion)
Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.
I. Kewenangan Mahkamah
Bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan ditegaskan kembali
dalam Pasal 10 ayat (1) UUMK, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk in casu memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar.
Bahwa permohonan Pemohon yang diajukan dalam perkara ini didalilkan sebagai sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, sehubungan dengan pemberhentian Pemohon Drs. H.M. Saleh Manaf selaku Bupati Bekasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 tanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi, Provinsi Jawa Barat dan Pemohon Drs. Solihin Sari selaku Wakil Bupati Bekasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 tanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri
�
Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian
dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat dan
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi Nomor
06/KEP/172.2-DPRD/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang Persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi terhadap ditetapkannya Rancangan
Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Bekasi Tahun 2006 menjadi Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2006.
Oleh karena itu, merupakan suatu constitutioneele vraagstuk: apakah jabatan Bupati dan Wakil Bupati termasuk lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar? Apakah Bupati dan Wakil Bupati dapat bertindak sebagai pihak (een partij zijnde) dalam sengketa kewenangan lembaga negara, menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945?
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menetapkan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Bupati sebagai kepala pemerintah daerah kabupaten merupakan penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten, bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menetapkan, bahwasanya Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Wakil Bupati atau wakil kepala daerah kabupaten dipilih dan dilantik bersama-sama Bupati atau kepala daerah kabupaten (Pasal 107 ayat (1) Undang- undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah). Keduanya merupakan satu kesatuan jabatan publik. DPRD Kabupaten Bekasi termasuk pihak (Termohon III) dalam perkara ini. Bupati, wakil Bupati dan DPRD adalah in casu lembaga- lembaga negara yang terdapat di daerah.
Presiden (Termohon I), selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara, adalah Pemerintah Pusat, in casu Menteri Dalam Negeri (Termohon II) selaku menteri negara [Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 17 ayat (1), (3) UUD 1945, dijabarkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah] adalah lembaga-lembaga negara di tingkat pusat.
�
Berdasarkan pasal-pasal konstitusi dimaksud, perkara yang diajukan
Pemohon dapat dipertimbangkan sebagai perkara sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh
karenanya, Mahkamah memiliki kewenangan memeriksa dan memutus perkara ini.
II. Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Bahwa terlepas Pemohon telah diberhentikan selaku Bupati/Wakil Bupati
Kabupaten Bekasi/Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi oleh Termohon II
Menteri Dalam Negeri, namun hal pemberhentian keduanya berkaitan dengan
kepentingan langsung Pemohon terhadap kewenangan lembaga negara yang
dipersengketakan. Pemohon dapat dipandang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam perkara ini.
III. Pokok Perkara
Permohonan Pemohon mempersoalkan hal kewenangan in casu Termohon Menteri Dalam Negeri yang memberhentikan Pemohon Drs. H.M. Saleh Manaf selaku Bupati Bekasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 Tahun 2006 tanggal 4 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi, Provinsi Jawa Barat, dan Pemohon Drs. Solihin Sari selaku Wakil Bupati Bekasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 tanggal 19 Januari 2006 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Wakil Bupati Bekasi Provinsi Jawa Barat.
Bahwa kedua Surat Keputusan pemberhentian yang dikeluarkan oleh Termohon II (Menteri Dalam Negeri) dimaksud adalah didasarkan pada keputusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 436 K/TUN/2004 tanggal 6 Juli 2005 dalam perkara Pemohon Kasasi, H. Wikanda Darmawijaya melawan 1. Menteri Dalam Negeri (Termohon Kasasi I). 2. Drs. H.M. Saleh Manaf (Termohon Kasasi II, semula Tergugat Intervensi), yang amarnya pada pokoknya menyatakan batal atau tidak sah SK Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-36 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Bekasi, Jawa
�
Barat dan menyatakan batal atau tidak sah pula SK Menteri Dalam Negeri Nomor
132.32-37 Tahun 2004 tentang Pengesahan Pemberhentian dan Pengesahan
Wakil Bupati Bekasi, Jawa Barat, dan memerintahkan Tergugat Menteri Dalam
Negeri untuk mencabut kedua SK Menteri Dalam Negeri tersebut.
Bahwa walaupun jabatan publik Bupati Bekasi dan Wakil Bupati Bekasi tergolong lembaga negara (een gedeelte van staatsorgaan) yang mewakili jabatan Kepala Daerah Kabupaten Bekasi dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bekasi namun karena Surat Keputusan Termohon Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32- 11 tanggal 4 Januari 2006 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 Tahun 2006 tanggal 19 Januari 2006 yang dipersoalkan Pemohon selaku fundamentum petendi dikeluarkan Menteri Dalam Negeri selaku Pejabat Tata Usaha Negara maka tindakan menteri dalam mengeluarkan kedua Surat Keputusan (SK) dimaksud adalah dalam rangka melakukan perbuatan keputusan tata usaha negara, lazim disebut beschikkingsdaad van de administratie. Karena itu, tindakan pemberhentian terhadap kedua Pemohon adalah dilakukan menteri dalam kaitan kedudukan menteri selaku een gedeelte van administratie orgaan, bukan mewakili lembaga negara (het is geen vertegenwoordiger van staatsorgaan).
Bahwa menurut Pasal 2 huruf e Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara (K.TUN) adalah K.TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-11 tanggal 4 Januari 2006 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132.32-35 tanggal 19 Januari 2006 yang dijadikan Pemohon selaku fundamentum petendi, tergolong K.TUN-K.TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan, oleh karena itu tidak dapat digugat ulang, bak persinggahan terakhir dari kereta api malam. Het is een eindpunt van deze trein.
Bahwa dalam pada itu, menurut Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) UU Nomor 9 Tahun 2004, dalam hal tergugat (badan atau pejabat tata usaha negara) ditetapkan harus melaksanakan kewajiban untuk in casu mencabut suatu K.TUN yang dinyatakan batal oleh Pengadilan dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan tidak
�
ternyata kewajiban tersebut dilaksanakannya, penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan agar melaksanakan putusan pengadilan
tersebut. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan
pada media massa setempat oleh Panitera sejak tidak dipenuhinya putusan
dimaksud.
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Termohon Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan K.TUN�K.TUN in litis adalah memenuhi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Bahwa oleh karena itu, adalah beralasan manakala permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion):
1. Hakim Konstitusi Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H.,M.S.
�Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil�
(Penjelasan Umum UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi)
1. Pasal 61 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (disingkat
UUMK) menentukan bahwa dalam �Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang
Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar� dipersyaratkan bahwa:
(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang
dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang
menjadi termohon.
�
Dari ketentuan Pasal 61 UUMK tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukum
Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 menyimpulkan bahwa:
a. baik pemohon maupun termohon harus merupakan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
b. harus ada kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh pemohon
dan termohon, di mana kewenangan konstitusional pemohon diambil alih
dan/atau terganggu oleh tindakan termohon;
c. pemohon harus mempunyai kepentingan langsung dengan kewenangan
konstitusional yang dipersengketakan.
Persoalannya dalam kasus a quo (Perkara Nomor 004/SKLN-IV/2006) adalah:
a. Apakah Pemohon, yaitu Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Bekasi dan para
Termohon, yaitu Termohon I (Presiden RI), Termohon II (Menteri Dalam
Negeri), serta Termohon III (DPRD Kabupaten Bekasi) dapat dikualifikasikan
sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang diberikan oleh
UUD 1945 (kewenangan konstitusional)?
b. Adakah kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh Pemohon dan
para Termohon?
c. Apakah Pemohon memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan
konstitusional yang dipersengketakan tersebut?
2. Pendapat saya atas ketiga permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemohon, yaitu Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Bekasi adalah termasuk
lembaga negara yang namanya disebut dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
sebagai kepala pemerintah daerah dan mempunyai kewenangan
konstitusional sebagaimana ditentukan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan
ayat (6) UUD 1945, yaitu bersama DPRD Bekasi:
1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan (ayat 2);
�
2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (ayat 5);
3) menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (ayat 6).
Pemohon sudah benar apabila tetap mendalilkan diri sebagai Bupati/Wakil
Bupati yang mempunyai kewenangan konstitusional, yang oleh karena itu
adalah lembaga negara, sebab meskipun surat pengesahan pengangkatannya
sudah dicabut oleh Termohon I (termasuk melekat di dalamnya Menteri Dalam
Negeri), tetapi justru pencabutan tersebut adalah merupakan pengambilan
kewenangan yang adalah merupakan objek sengketa kewenangan
konstitusional yang menjadi inti kasus ini. Pengakuan akan Bupati/Wakil
Bupati atau Walikota/Wakil Walikota sebagai lembaga negara yang mempunyai
kewenangan konstitusional secara implisit dan a contrario juga dapat
disimpulkan dari pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor
002/SKLN-IV/2006.
Sedangkan Termohon I, yaitu Presiden RI termasuk lembaga negara yang
mempunyai kewenangan konstitusional yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (1),
Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 20 ayat (4), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3),
Pasal 24B ayat (3), dan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Termohon II, yaitu
Menteri Dalam Negeri, tidak termasuk lembaga negara yang mempunyai
kewenangan konstitusional, karena sebagai pembantu Presiden, menteri
kewenangannya melekat pada diri Presiden, sehingga Menteri Dalam Negeri
tidak bisa menjadi termohon, tetapi tindakannya adalah atas nama atau
dianggap sebagai tindakan Presiden (Termohon I). Termohon III, DPRD
Kabupaten Bekasi adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan
konstitusional bersama Bupati/Wakil Bupati Bekasi sebagai unsur
pemerintahan daerah.
b. Tentang kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh Pemohon dan
para Termohon adalah sebagai berikut:
1) Bahwa kewenangan konstitusional Pemohon sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Kabupaten Bekasi yang bersama DPRD Kabupaten Bekasi yang
�
tercantum dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) UUD 1945, telah
diambil, diganggu, dan bahkan dicabut oleh Termohon I (melalui tangan
Menteri Dalam Negeri, yang dijadikan Termohon II) dengan pencabutan
keputusan pengesahan pengangkatan Pemohon atas dasar yang
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 juncto UU Nomor 22
Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004, yakni bahwa sebagai
Bupati/Wakil Bupati yang telah dipilih secara demokratis oleh DPRD
Kabupaten Bekasi, tetapi pemberhentiannya dilakukan secara tidak
demokratis, karena tidak melibatkan DPRD Kabupaten Bekasi dan tidak
didasarkan atas alasan-alasan yang ditentukan oleh UU Pemerintahan
Daerah. Penggunaan alasan dengan dalih melaksanakan Putusan
Mahkamah Agung (MA) dalam kasus sengketa Tata Usaha Negara (TUN)
tidaklah tepat, karena masalah pengangkatan dan pemberhentian kepala
daerah yang harus dipilih secara demokratis, apakah pemilihan secara tidak
langsung (oleh DPRD) atau pemilihan secara langsung, sesungguhnya
betapapun, termasuk kategori keputusan panitia pemilihan/komisi pemilihan
umum daerah yang sudah harus juga dipahami oleh Termohon I (termasuk
di dalamnya Menteri Dalam Negeri) sebagai bukan termasuk kompetensi
absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berpuncak pada MA
(vide UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Apalagi
dalam pertimbangan hukumnya, MA secara tidak langsung juga telah
mengakui bahwa telah ada Bupati/Wakil Bupati terpilih, sehingga
seharusnya Termohon I termasuk di dalamnya Menteri Dalam Negeri tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil/mencabut kewenangan
konstitusional Pemohon jika tidak ada persetujuan DPRD yang telah
memilih dan menetapkan pengangkatannya sebagai Bupati/Wakil Bupati
secara demokratis.
2) Bahwa kewenangan Pemohon sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Kabupaten Bekasi yang antara lain untuk menetapkan peraturan daerah,
termasuk peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) telah diabaikan oleh Termohon III, yaitu DPRD Kabupaten
Bekasi yang adalah merupakan unsur pemerintahan daerah Kabupaten
�
Bekasi. Terlebih lagi bahwa Raperda RAPBD adalah selalu merupakan
usul inisiatif kepala pemerintah daerah.
c. Tentang kepentingan langsung Pemohon, jelas bahwa Pemohon memiliki
kepentingan langsung agar kewenangan konstitusionalnya yang telah diambil
oleh para Termohon dikembalikan kepada Pemohon agar Pemohon dapat
menunaikan kewenangan konstitusionalnya dengan baik. Terlebih lagi bahwa
Pemohon telah selama 2 (dua) tahun melaksanakan kewenangan
konstitusionalnya yang tiba-tiba harus terhenti karena tindakan para Termohon.
3. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus tersebut
adalah merupakan kasus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto UUMK, dalam
hal mana Pemohon termasuk kategori lembaga negara yang mempunyai
kewenangan konstitusional (Pemohon memiliki legal standing) yang telah diambil,
diganggu, dan bahkan dicabut oleh para Termohon secara melawan hukum.
Sehingga permohonan Pemohon cukup beralasan yang sudah sewajarnya apabila
Mahkamah mengabulkannya. Perlu diperhatikan, bahwa keberadaan Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUMK adalah
�untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan yang stabil�, pada hal,
tindakan para Termohon telah mengganggu stabilitas penyelenggaraan
pemerintahan Kabupaten Bekasi yang telah dijalankan oleh Pemohon selama dua
tahun dengan baik.
1. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H.
Dalam perkara ini Bupati/Wakil Bupati Bekasi yang dipilih dan ditetapkan
sebagai Bupati terpilih pada tahun 2003 oleh DPRD Kabupaten Bekasi, dan disahkan
dengan Keputusan Mendagri sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi serta diambil
sumpahnya pada tanggal 8 Januari 2004, telah diberhentikan oleh Mendagri dengan
surat keputusan tertanggal 4 Januari 2006, persis 2 (dua) tahun setelah menjalankan
tugasnya. SK Mendagri tersebut dikeluarkan sebagai lanjutan dari Putusan
Mahkamah Agung Nomor 436 K/TUN/2004 yang menyatakan batal SK Mendagri
tentang pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati terdahulu dan memerintahkan
Mendagri mencabut surat keputusan tersebut. Sebagai akibatnya kemudian dalam SK
Mendagri tentang pembatalan SK pengangkatan terdahulu, Bupati dan wakil Bupati
�
diberhentikan. Berbeda dengan mayoritas hakim MK, kami berpendapat ini
merupakan kewenangan MK yang harus diputus MK.
I
Sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan
lembaga negara yang diperolehnya dari UUD 1945, dan kemudian dengan
penggunaan kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional
lembaga negara lain. Dalam arti ini, maka lembaga negara yang lebih rendah
kedudukannya, dalam arti yang secara stricto sensu juga tidak disebut lembaga
negara, tetapi yang juga lembaga negara yang memiliki tugas-tugas secara
konstitusional menurut UUD, termasuk dalam kategori ini. Apapun tafsiran yang
diberikan terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD, jelas bahwa wewenang sebagai kepala
daerah, yang memimpin sebagian tugas pemerintahan daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah, maka kewenangan itu diberikan UUD 1945
melalui �Pemilihan secara demokratis�. Wewenang menjalankan Pemerintahan
Daerah, diberikan kepada Bupati, dan lembaga DPRD, jelas adalah berasal dari
UUD 1945. Tidak ada faedahnya untuk menafsirkannya secara lain, karena perolehan
kewenangan untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan tersebut dalam
menjalankan otonomi seluas-luasnya, menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan tersebut, tidak berbeda
dengan kewenangan yang diterima dan diberikan UUD 1945 kepada Presiden dan
DPR. Justru akan terasa kegagalannya untuk menegakkan Konstitusi sebagai hukum
tertinggi yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum dan
Konstitusi, jikalau mengambil tafsiran yang bersifat restriktif dan tanpa dasar yang
cukup. Original intent dari pembuat UUD, merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan, akan tetapi merupakan fakta yang diakui secara universal, bahwa
pembuat UUD juga harus memberikan keleluasaan bagi Mahkamah untuk melakukan
penyesuaian dalam memenuhi tuntutan dinamika perkembangan zaman dan
kebutuhan praktek (The Court needs to adapt to meet the demands of the unknown
future), dan hemat kami pembuat UUD tidaklah pernah bermaksud menghambat
Mahkamah untuk memiliki keleluasaan melakukan penyesuaian akan tuntutan
kebutuhan dalam rangka melaksanakan tujuannya mengawal Konstitusi. Demokrasi
dan keseluruhan sistem kelembagaannya adalah satu karya yang terus tumbuh,
sebagaimana juga ditunjukkan oleh negara-negara yang lebih dulu maju, yang tidak
�
mampu diatur oleh pembuat UUD secara sempurna sehingga tidak lagi membutuhkan
tafsiran dalam kenyataan politik.
Persoalan pokok yang harus dijawab terlebih dahulu adalah, apakah keputusan pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang merupakan kelanjutan pemilihan kepala daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Sebelum melihat ketentuan UU Pemerintahan Daerah, maka jika memang aturan dalam UU memberi peran pada Presiden dan Mendagri untuk mengeluarkan SK pengangkatan Bupati dimaksud, tetapi Pejabat TUN dimaksud tidak memiliki diskresi penuh untuk menilai kecakapan dan kelayakan seseorang sebelum mengangkat/menghentikannya menjadi Bupati/Wakil Bupati atau kemudian hal itu dilakukan Mendagri hanya berdasarkan Putusan MA yang telah berkekuatan, ukuran atau tolok ukur yang digunakan dalam menentukan apakah ini merupakan sengketa kewenangan yang disebut Pasal 24C UUD 1945, ialah apakah keputusan Mendagri tersebut didasarkan pada kebebasan diskresi. Hal demikian juga menjadi relevan kalau terjadi kelalaian Hakim dalam menerapkan aturan UU dan Konstitusi, sebagaimana didalilkan Pemohon, maka sengketa ini tunduk pada jurisdiksi MK, sehingga karenanya MK berwenang mengadili perkara ini, karena penggunaan wewenang Mendagri secara tidak tepat telah menghilangkan kewenangan yang diemban oleh Bupati yang telah bertugas sebagai Kepala Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Kabupaten Bekasi.
Persoalan kewenangan ini harus dilihat dari segi batasan antara hukum tata negara dengan Hukum Administrasi Negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, Hukum Tata Negara meliputi juga Hukum Administrasi Negara, yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warganegara dan hak asasinya. Jadi dalam arti luas juga mencakup hubungan bukan saja antar lembaga negara, tetapi juga antara lembaga negara dengan warganegara. Oleh karena definisi yang demikian, maka tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan antara PTUN dengan Mahkamah Konstitusi, dengan akibat terjadinya kemungkinan overlap diantara kedua kewenangan tersebut. Tetapi satu ukuran yang jelas dapat dilihat dari batasan yang ditetapkan sebagai diluar kewenangan PTUN yaitu hasil pemilihan sebagai lembaga demokrasi. Pengesahan atau pengukuhan hasil pemilihan kepala daerah berupa keputusan
�
Presiden atau Mendagri, meskipun formil adalah satu keputusan TUN yang final,
individual dan konkrit, akan tetapi Mendagri sebagai pejabat TUN dalam kaitan
pengesahan Bupati/Kepala daerah hasil Pilkada, berwenang membuat SK bukan
dengan satu kewenangan diskresioner, yang menilai dengan ukuran-ukuran yang
ditetapkan oleh UU, melainkan hal itu hanya pengesahan/pengukuhan. Perselisihan
tentang dipenuhi tidaknya syarat untuk ikut pemilihan terletak dalam wewenang
panitia pemilihan (sekarang KPUD), dan Mendagri sebagai pejabat TUN tidak memiliki
kewenangan diskresioner untuk menentukan seorang Bupati terpilih tidak memenuhi
syarat itu, sebagaimana kewenangan TUN dalam mengangkat pejabat TUN atau
pegawai lainnya. Dalam UU Pemerintahan Daerah yang menetapkan sebagai Kepala
Daerah berdasarkan hasil pemungutan suara, adalah DPRD dan Mendagri bertugas
mengukuhkan atau mengesahkan. Hal tersebut harus dilihat dan dinilai bukan dari
segi hukum tata usaha negara, melainkan dari segi hukum tata negara, yaitu sebagai
satu mekanisme hubungan antar lembaga negara yang pejabatnya diisi secara
demokratis. SK pengangkatan atau pengesahan itu tidak dapat dilihat sebagai
keputusan TUN yang murni, karena sesungguhnya hal itu hanya merupakan satu
perbuatan hukum tata negara sebagai kewenangan yang diatur secara konstitusional
dan karenanya harus dinilai secara konstitusional, yang menyangkut hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah di dalam prinsip negara kesatuan.
Pengukuhan dengan SK Mendagri tersebut merupakan satu penyelesaian
administrasi ketata negaraan bukan Keputusan TUN, karena menyangkut pengisian
pejabat publik melalui mekanisme demokratis sebagaimana ditentukan UUD 1945.
Kalau SK Mendagri demikian memiliki fungsi konstitutif dalam menentukan kedudukan
kepala daerah, maka yang menetapkan seorang menjadi kepala daerah bukan
pemilihan secara demokratis, melainkan pengangkatan oleh Mendagri atau Presiden.
Hal demikian, jika benar, jelas bertentangan dengan UUD 1945, karena yang
menentukan dan menetapkan seorang menjadi kepala daerah adalah pemilihan
demokratis.
Wilayah kekuasaan MK adalah untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan Konstitusi yang dilanggar dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara, dengan menerapkan uji konstitusionalitas juga ketika terjadi perselisihan (dispute) yang didalilkan bahwa lembaga negara tertentu melaksanakan kewenangannya justru menghilangkan kewenangan lembaga negara lain atau melanggar kewenangan
�
konstitusionalnya. Atas dasar uraian dan alasan-alasan diatas, kami berpendapat MK
berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa ini.
II
Pemohon adalah lembaga negara yang telah diuraikan di atas, memperoleh kewenangannya dari UUD 1945 meskipun rincian wewenangnya secara derivatif diatur kemudian dalam UU. Pemohon sebagai pemegang jabatan (ambtsdrager) tidak dapat dipisahkan dari jabatan bupati (ambt) tersebut, terutama dalam kondisi dinamis, wewenang lembaga (ambts) yang memperoleh wewenang tersebut dari UUD 1945 hanya dapat dilaksanakan melalui pejabatnya (ambtsdrager). Pemohon sebagai Bupati yang telah dipilih dalam Pilkada oleh DPRD secara demokratis, sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dan kemudian disahkan dengan mengangkat yang bersangkutan dengan SK Mendagri dan disumpah di depan Gubernur Jabar, adalah sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, yang bersama-sama DPRD menjalankan otonomi seluas-luasnya, dan berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (4) dan (5) UUD 1945]. Dengan demikian wewenangnya sebagai Bupati didasarkan atas pemilihan yang demokratis, untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah dengan otonomi yang seluas-luasnya, yang dilengkapi dengan kewenangan menetapkan Perda dan peraturan lainnya. Dengan ukuran demikian, lepas dari keterangan Termohon I (Presiden) tanggal 19 April 2006, dan ahli yang diajukan Termohon I yang menunjukkan original intent drafter amandemen UUD 1945 tidak bermaksud demikian, tidaklah bermanfaat untuk menyatakan bahwa Bupati bukan lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, meskipun kemudian diperinci dalam UU Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, karena perkara casu quo, sesungguhnya tidak dapat dibayangkan sebelumnya oleh Pembuat perubahan UUD. Peristiwa hukum (tata negara) yang tidak bersesuaian dengan UUD, tidak boleh dibiarkan hanya karena tidak disebut secara tegas apakah sengketa yang dihadapkan kepada MK masuk dalam kategori pengaduan konstitusi (constitutional complaint) yang belum merupakan kewenangan MK dalam tugasnya untuk mengawal konstitusi. Lepas dari original intent para perancang perubahan UUD 1945 dan tidak adanya aturan yang tegas yang memberikan kewenangan demikian kepada MK, menurut hemat kami, Hakim Konstitusi justru berkewajiban untuk menemukan hukumnya, baik melalui interpretasi maupun konstruksi atau
�
penghalusan hukum. Hal ini menjadi sangat penting, karena hemat kami tidak boleh
dibiarkan timbulnya keadaan dimana pemerintahan (daerah) menjadi tidak stabil, tidak
effektif dan tidak effisien karena MK tidak menemukan hukum yang menjadi dasar
kewenangannya menyelesaikan perkara a quo. Asas pokok yang diletakkan dalam
konstitusionalisme, yang meletakkan UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi, harus
menjadi sumber legitimasi dan dasar keberadaan aturan perundang-undangan yang
lebih rendah maupun keputusan pemerintahan (government act). Dari asas tersebut
Hakim dapat merumuskan norma konstitusi (Judge-made constitutional law) bahwa
semua lembaga negara yang beroleh kewenangannya dari UUD 1945, tidak
diperkenankan untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan ataupun membuat
keputusan yang bertentangan dengan UUD. MK sebagai forum penyelesaian
sengketa ketata negaraan demikian, tidak boleh membiarkan dirinya untuk tidak
mengambil keputusan secara aktif dan substantif jika dihadapkan pada persoalan
yang demikian, karena membiarkan hal demikian tidak menyumbang terhadap
pengelolaan kehidupan bernegara yang stabil berdasar Konstitusi yang justru menjadi
tugasnya.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Tata Negara melalui perubahan besar UUD 1945, dengan kewenangannya terutama untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara, akan memiliki titik singgung dengan kewenangan peradilan TUN. Hal tersebut akan terjadi jika sengketa kewenangan lembaga negara juga dilihat dari aspek penggunaan kewenangan lembaga negara dengan mengeluarkan surat keputusan (SK), terutama dalam pengesahan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme yang ditentukan dalam UUD 1945, yaitu pemilihan secara demokratis. Mekanisme menyelesaikan titik singgung antara dua badan peradilan yang setara demikian, tidak tersedia sebagaimana halnya Mahkamah Agung berwenang memutus sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan ditingkat yang lebih rendah. Oleh karena itu, selama meeting of mind antara MA dan MK belum tercapai dalam hal seperti itu, maka MK mau tidak mau harus melakukan penilaian sendiri berdasar bukti-bukti dan keyakinannya untuk mempertimbangkan dan memutus apakah benar ada kewenangan absolut PTUN yang dilanggar jika MK memeriksa dan memutus perkara yang demikian. Perubahan UUD 1945 yang terjadi secara revolusioner tersebut, seharusnya memaksa lembaga judikatif untuk melakukan pemahaman bersama atas implikasi perubahan UUD 1945 terhadap kewenangan masing-masing. Kalau itu tidak terjadi, MK harus mempertimbangkannya
�
sendiri, baik kewenangan MK maupun MA (The Italian Constitutional Court, Corte
Coztitutionale, 2004, hal. 37-38).
III
Sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945 dapat didefinisikan sebagai �sengketa yang timbul dalam bidang tata negara sebagai akibat satu lembaga negara menjalankan kewenangannya yang diberikan UUD 1945, telah menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga negara lain�. Dengan definisi yang demikian, maka satu sengketa kewenangan lembaga negara dapat terjadi karena satu lembaga negara menjalankan wewenangnya secara bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan perbuatan lembaga negara yang dapat disebut Perbuatan Melawan Hukum Konstitusi (PMHK). Seorang Bupati/Wakil Bupati terpilih secara demokratis yang ditetapkan oleh DPRD -sekarang oleh KPUD- tetap dianggap sebagai Bupati/Wakil Bupati, selama belum diberhentikan karena masa jabatannya habis, atau karena alasan melakukan melakukan tindak pidana diberhentikan Presiden tanpa usul DPRD, atau atas usul DPRD (vide Pasal 29, 30, 31, dan 32 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Persoalan titik singgung antara kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Peradilan TUN harus dilihat dari segi batasan antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, hukum tata negara juga meliputi hukum administrasi negara, yang mengatur organisasi negara, hubungan antar perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warga negara serta hak asasinya. Oleh karena definisi sengketa tata negara dan batasan hukum tata negara dan administrasi negara yang ada dalam domain hukum publik yang sama, maka tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan PTUN dengan MK, yang berakibat boleh jadi timbul overlap kewenangan, karena lembaga negara juga dapat mengeluarkan keputusan yang sifatnya�individual, konkrit dan final�, akan tetapi dikeluarkan bukan atas dasar kebebasan diskresioner pejabat Negara. Memang benar bahwa SK Mendagri dalam pengangkatan dan pemberhentian seorang kepala/wakil kepala daerah merupakan tindakan pejabat TUN, yang didasarkan pada UU Pemda (UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagai mana diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa:
�
�Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Jabatan TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata�.
Menurut Pasal 47 juncto Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto Nomor 9 Tahun 2004, keputusan yang memenuhi syarat demikian merupakan objek sengketa yang menjadi kewenangan Peradilan TUN untuk memeriksa dan memutus. Yang menjadi persoalan apakah setiap penetapan tertulis pejabat TUN yang memenuhi syarat konkrit, individual dan final demikian harus selalu menjadi objek sengketa yang menjadi kewenangan PTUN? Hemat kami jelas tidak. Ketentuan yang memuat batasan apa yang menjadi penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final yang dikeluarkan badan atau jabatan TUN, untuk dapat dikatakan menjadi objek sengketa TUN, masih memiliki syarat lain dan mengenal pengecualian tertentu. Keputusan TUN yang dapat menjadi objek sengketa TUN adalah keputusan dimana pejabat yang berwenang mengeluarkannya memiliki kebebasan (diskresi) untuk mengeluarkan keputusan tersebut atau tidak, serta ada kebebasan dalam menentukan kapan dan bagaimana caranya keputusan dikeluarkan. Penetapan yang bersifat deklaratoir selalu dianggap bersifat terikat, dan dikatakan demikian jika eksistensi penetapan tersebut didikte saja (letterlijk) oleh peraturan dasarnya (Indroharto S.H., Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik, Lembaga Penelitian Dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Bogor Jakarta, 1999, hal. 153). Pengecualian lain yang disebut secara tegas adalah Keputusan Panitia Pemilihan yang berkenaan dengan hasil pemilihan umum, baik di pusat maupun di daerah (Pasal 2 huruf g UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Surat Keputusan Mendagri dalam pengangkatan Kepala Daerah terpilih bukanlah sebagai penetapan pejabat TUN yang didasarkan pada kebebasan diskresi pejabat TUN, melainkan hanyalah satu penetapan deklaratoir yang bersifat terikat, yang diperintahkan oleh Pasal 40 UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 109 ayat (2) di mana Kepala Daerah terpilih disahkan oleh Presiden. Yang memilih, menetapkan dan mengangkat seseorang menjadi kepala daerah sesungguhnya adalah mekanisme demokrasi itu sendiri, dan tidak ada kebebasan diskresioner bagi Presiden atau Mendagri untuk mengeluarkan penetapan lain bagi orang yang tidak dipilih oleh DPRD atau rakyat. Persoalan pokok yang harus
�
dijawab sekarang adalah apakah keputusan TUN yang menyangkut pengangkatan
dan pemberhentian Bupati, yang merupakan kelanjutan pemilihan Kepala Daerah,
tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Hemat kami dengan definisi dan
pengecualian apa yang menjadi keputusan TUN yang menjadi objek sengketa TUN
sebagaimana telah diuraikan di atas, jawabannya telah jelas tidak.
Satu hal yang amat penting untuk dijadikan ukuran menentukan batas kewenangan antara peradilan TUN dengan peradilan tata negara, adalah dengan melihat kewenangan konstitusional Bupati Kepala Daerah. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6), maka Bupati Kepala Daerah yang bersama sama dengan DPRD menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, dan untuk itu berwenang menetapkan perda dan peraturan lain. Pelaksana tugas Bupati yang ditunjuk oleh Mendagri yang tidak dipilih secara demokratis, tidak memiliki kewenangan konstitusional demikian untuk turut serta dalam pembuatan Perda dan/atau pengesahan Perda, dan pengesahan rancangan Perda APBD menjadi Perda APBD. Kewenangan konstitusional demikian hanya diberikan UUD 1945 kepada Bupati yang dipilih secara demokratis. Oleh karenanya DPRD Kabupaten Bekasi yang turut serta bersama dengan Plt. Bupati Bekasi, yang tidak dipilih secara demokratis menetapkan Perda yang demikian, telah turut melakukan perbuatan yang melanggar konstitusi (Perbuatan Melawan Hukum Konstitusi), hal mana merupakan kewenangan konstitusional Bupati yang dipilih secara demokratis. Tentu saja sengketa ini adalah sengketa tata negara, yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Masih terdapat dua argumentasi yang diajukan dalam menilai kewenangan MK dan bukan kewenangan PTUN MA yang akan menjadi forum mengadili sengketa ini, yaitu karena dikatakan (i) yang menjadi sengketa adalah prosedur administratif yang ditempuh Mendagri dalam menindak lanjuti dan melakukan tindakan hukum tata usaha negara setelah selesai proses pemilihan tersebut, yaitu adanya masalah izin atasan yang harus dimiliki seorang calon Bupati untuk ikut dalam pemilihan dan prosedur pengiriman berkas pengesahan calon pasangan Bupati terpilih; (ii) dikeluarkannya SK Mendagri yang membatalkan pengesahan pasangan Bupati/Wakil Bupati terpilih, adalah sebagai pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan tetap yang merupakan kewajiban hukum Mendagri. Dalam masalah prosedur administratif yang dianggap cacat, sesungguhnya hal itu merupakan kewenangan Panitia Pemilihan untuk menentukannya, karena syarat izin adalah
�
masalah eligibility seorang calon, yang sebelum pemilihan dilaksanakan sudah harus
menampung setiap keberatan tentang itu, dan akan menerima atau menolak
keberatan demikian, yang menjadi kewenangan adminsitratif Panitia Pemilihan dan
bukan merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kewenangan PTUN. Hal
demikian analog dengan seluruh penyelesaian sengketa administratif dalam pemilihan
umum, yang bukan merupakan sengketa hukum yang menjadi kewenangan badan
peradilan tetapi kewenangan adminsitratif KPU/KPUD. Kalau masalah ini ditangani
sebagai sengketa TUN, akan terjadi ketidakpastian hukum yang luas atas hasil
pemilihan kepala daerah yang juga menimbulkan ketidakstabilan dalam
pemerintahan. Ketidaksempurnaan prosedur administratif dalam pengiriman berkas
penetapan pasangan calon terpilih oleh DPRD, tidak selalu berakibat kebatalan surat
keputusan yang dibuat atas dasar berkas penetapan pasangan calon terpilih,
karena asas proporsionalitas juga harus diperlakukan dalam menilai hal ini, yaitu
apakah kekurangan tersebut sedemikian rupa tidak dapat diperbaiki sehingga harus
dibatalkan, terutama dengan melihat ukuran pada berpengaruh tidaknya hal tersebut
pada hasil pilihan suara yang diperoleh Bupati terpilih dan implikasi pembatalan pada
masa jabatan yang telah berlangsung untuk masa yang signifikan. Asas
Proporsionalitas sesungguhnya hanya satu asas yang didasarkan pada akal sehat
(common sense) yang merupakan asas dasar satu pemerintahan yang baik (good
governance). Asas itu dapat ditafsirkan bahwa akibat kebatalan dapat diterapkan: (a)
jika tujuan untuk menertibkan tidak dapat dicapai melalui tindakan lain; (b) jika tujuan
itu dapat dicapai lebih baik atau lebih effektif melalui tindakan pembatalan, berdasar
kriteria effisiensi dengan hasil yang lebih baik, dan (c) jika persoalan yang dihadapi
dapat diselesaikan dengan lebih effektif melalui kewenangan pembatalan (dirumuskan
dari prinsip subsidiaritas atau proporsionalitas yang diatur dalam Pasal 5 Perjanjian
Masyarakat Eropa/European Community Treaty) sebagaimana ditafsirkan dalam
pelaksanaannya; Hilaire Barnett dalam Constitutional & Administrative Law, Fourth
Edition, Cavendish Publishing Limited, London-Sidney, 2003 hal. 244-245.
Di samping alasan bahwa sengketa seperti kasus Bupati Bekasi a quo yang bukan merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kompetensi absolut PTUN MA, melainkan merupakan sengketa tata negara yang menjadi kompetensi absolut MK, maka argumen yang menyatakan lahirnya SK Mendagri yang membatalkan pengesahan pengangkatannya sebagai pelaksanaan kewajiban hukum akibat putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, maka
�
Presiden dan Mendagri tetap memiliki kewajiban untuk menilai, apakah pelaksanaan
kewajiban hukum demikian tidak bertentangan dengan kewajiban konstitusional yang
lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan antara dua kewajiban hukum, maka Presiden
juga harus memilih untuk melaksanakan kewajiban hukum yang lebih tinggi yang
diatur dalam UUD 1945, dan mengesampingkan kewajiban hukum yang lebih rendah.
Kewajiban konstitusional demikian lahir dari Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) dan (6)
yang menentukan kewajiban konstitusional Presiden untuk menghormati masa
jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang terpilih secara demokratis. Dia tetap
akan menjalankan Pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya melalui
wewenang konstitusional untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya,
terkecuali karena alasan meninggal dunia, atau melakukan tindak pidana maupun
karena adanya proses impeachment yang dilakukan DPRD. Dapat dipastikan
kewajiban hukum untuk menghormati dan melaksanakan Putusan Mahkamah Agung
yang demikian pasti berada dalam hirarki yang lebih rendah dilihat dari hirarki aturan
perundang-undangan yang melahirkan kewajiban hukum yang dimuat dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Konsolidasi di bidang kewenangan ini sangat perlu disegerakan,
agar tidak menimbulkan akibat pada stabilitas pemerintahan daerah yang telah
dipangku untuk masa yang signifikan, tetapi terganggu akibat penerapan kewenangan
yang tidak proporsional.
Putusan MA yang telah berkekuatan tetap, tidak relevan diajukan untuk membenarkan tindakan Termohon II karena putusan yang demikian tidak mempunyai kekuatan mengikat sama sekali (buiten effect) karena bertentangan dengan kewajiban Termohon I dan II berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004. Meskipun bukan merupakan kewenangan MK untuk menilai putusan MA, namun konsekuensi bahwa Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang menjadi dasar legitimasi segala aturan di bawahnya, termasuk putusan MA, menyebabkan hal ini tidak dapat dielakkan. Apalagi UU Nomor 5 Tahun 86 juncto UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, mengecualikan sengketa hasil pemilihan demikian sebagai objek sengketa TUN. Seandainya juga benar ada proses administratif yang dilalaikan sebelum dikeluarkannya SK Mendagri yang mengesahkan pengangkatan Bupati terpilih, maka ukuran relevansi dan signifikansi yang diletakkan pada akibat hukum kelalaian administrasi demikian tergantung pada berpengaruh tidaknya kelalaian administratif tersebut pada hasil pemilihan yang dilakukan secara demokratis dalam perolehan angkanya, sebagai wujud kedaulatan
�
rakyat. Kalau tidak, maka alasan itu tidak cukup signifikan dan tidak proporsional
untuk membatalkan hasil pemilihan demokratis; langkah yang benar untuk itu adalah
memberi kesempatan memperbaiki kekurangan administratif tersebut. Stabilitas
Pemerintahan harus menjadi faktor yang harus dipertimbangkan sebelum
pengambilan putusan pembatalan pengangkatan Bupati/Wakil Bupati, apalagi setelah
menjalankan roda Pemerintahan Daerah selama 2 (dua) tahun, dan dengan jangka
masa jabatan yang terbatas, lamanya proses pengambilan putusan harus turut
menjadi faktor yang dipertimbangkan. Hakim Konstitusi dalam menjalankan
kewenangannya, akan selalu turut menjaga stabilitas pemerintahan tersebut.
IV
Sumber kewenangan Pemohon adalah UUD 1945, tidak dapat diukur atau dinilai dengan aturan yang lebih rendah yang tidak serasi/incompatible dengan Konstitusi tersebut. Kalau hal itu dilakukan, maka setiap organ yang menilai dan melaksanakan hasil penilaian tersebut secara demikian, telah melanggar kewajiban konstitusionalnya untuk menjalankan dan menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai aturan dasar. Termohon I, II, dan III yang menjalankan kewenangannya atas dasar Putusan TUN Mahkamah Agung tersebut, didasarkan pada hukum yang lebih rendah secara bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan aturan dasar sebagai hukum tertinggi tersebut, dan telah melaksanakannya bertentangan dengan kewajiban konstitusionalnya. Putusan badan peradilan yang berkekuatan demikian seharusnya diperlakukan sebagai putusan yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (buiten effect) dan tidak dapat dilaksanakan sama sekali (non-executabel), kerena jika terjadi pertentangan antara 2 (dua) kewajiban yang didasarkan atas dua tingkat aturan hukum yang berbeda, baik lembaga negara yang memiliki wewenang maupun MK yang memutus sengketa kewenangan lembaga negara harus mendahulukan Konstitusi. Terutama juga hal demikian dapat disimpulkan dari sumpah jabatan Presiden yang akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dengan memegang teguh UUD dan menjalankannya dengan selurus-lurusnya Sistem Konstitusi dalam dirinya mengandung uji Konstitusional, dan ketika timbul benturan antara aturan konstitusi dan aturan perundang-undangan yang lebih rendah, pejabat negara wajib terikat untuk menghormati aturan Konstitusi dan mengesampingkan aturan perundang-undangan yang lebih rendah. Hal ini lahir dari prinsip bahwa setiap tindakan/perbuatan dan aturan perundang-undangan dari semua otoritas yang diberi
�
wewenang oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan UUD itu
sendiri sebagai hukum yang tertinggi, dengan konsekuensi bahwa aturan atau
tindakan demikian menjadi �batal demi hukum� dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Menyangkal hal ini akan mengingkari kedudukan UUD sebagai
Hukum Dasar yang tertinggi dan sumber kewenangan lembaga negara. Hal itu secara
tidak sah akan mengukuhkan keadaan bahwa wakil atau pelaksana itu lebih besar
dari prinsipal atau pelayan lebih besar dari majikannya. �To deny this would be to
affirm that the deputy is greater than his principal; that the servant is above his master;
that the representatives�are superior to the people themselves� (Alexander Hamilton,
The Federalist Papers, Mentor Book, The New American Library,1961, hal. 467).
Berdasar seluruh uraian diatas, kami berpendapat Termohon II atas nama Termohon I dan Termohon III tidak berwenang melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan tersebut, dengan segala akibat hukum tentang kebatalan (ultra vires) terhadap keputusan yang diambil berdasar kewenangan yang inkonstitusional tersebut. Oleh karenanya seluruh permohonan seyogyanya harus dikabulkan.
PANITERA PENGGANTI
Wiryanto, S.H., M.Hum.