Puisi Afrizal Malna: Kajian Semiotika/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persoalan bahasa puisi menempati kedudukan tersendiri jika dibandingkan dengan pemakaian bahasa dalam prosa. Sang penyair dengan keistimewaan yang dimilikinya, yaitu dengan apa yang disebut dengan poetics license, dapat menggunakan kebebasannya menjelajahi dunia kata hingga melampaui kejelasan. Ini mungkin disebut dengan kegelapan sebuah puisi. Bahkan, dengan mengelak mematuhi regularitas gramatikal dalam sebuah kalimat, seorang penyair bisa dikatakan bersembunyi di balik bahasa. Kadangkala bahasa puisi memang bisa ditangkap oleh pembacanya, seperti puisi pamflet dari Rendra. Namun, banyak juga bahasa puisi yang kurang komunikatif dengan para pembacanya.

Ketika seorang penyair menemukan gayanya tersendiri, Ia pun disebut sebagai penyair yang menempatkan diri dalam identitas dan keunikan puisi yang sifatnya tertentu. Tentu saja, Penemuan itu bukan berasal dari ruang hampa. Ada pengaruh yang secara intelektual memberi warna, gaya, tema, dan pandangan dari pemikirannya. Bagi penyair Afrizal Malna, puisi tidak hanya merupakan medan estetika dan menghasilkan keindahan kata-kata. Dalam kasus kepenyairan Malna, puisi-puisinya merupakan tempat kata-kata menemukan makna yang tidak konvensional. Puisi baginya membuat benda-benda seperti hidup dan bicara layaknya manusia berkata-kata.

Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku. 
(Warisan Kita, Malna, 1995: 58).

Benda-benda yang 'berbicara' dalam kata-kata seakan tertempel dalam ruang, batu-batu, kaleng-kaleng, perabotan, dan sepatu sebagai benda-benda urban yang telah melahirkan sebuah gaya kepenyairan Malna yang khas di antara barisan penyair Indonesia kontemporer.

Dalam membaca puisi Malna, kita seakan menemukan suasana dan metafor yang terinspirasi dari benda-benda yang tidak alamiah, lanskap, abstraksi imajinasi yang tidak lazim kita temukan dalam puisi-puisi yang banyak diilhami oleh dunia ekesterior kita, seperti hal yang senantiasa melingkupi kehidupan jasmani manusia: angin, cuaca, matahari, dan sebagainya. Kekhasan yang muncul dari puisi Malna adalah persoalannya dengan kata-kata, bahasa.

Dalam sebuah kolofon buku puisinya yang diterbitkan pada tahun 2002, Malna sebagai penyair kontemporer Indonesia dengan gamblang menyatakan 'kredo' kepenyairannya. Kredo itu menyiratkan sikap kepenyairan Afrizal Malna tentang kata:

"kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Dunia referen — yang tinggal dalam memori kita atau pelabelan sosial (stereotip), seperti seekor ular yang terus mengintai dan siap menerkam setiap teks... Bahasa adalah dunia binatang dalam mulut kita" (Malna, 2002). Bagi Malna, sejak dahulu kata tidak terlepas dari beban yang dibawakannya dalam berkomunikasi. Dalam konteks penafsiran, sebuah kata telah dirancang sebagai sesuatu yang mengandung konsep tentang referen secara sepihak. Itulah yang dinamakannya dengan stereotipe. Tampaknya kredo seperti itu merupakan sebuah gambaran umum tentang ketidakpercayaan sang penyair terhadap kata yang diciptakan oleh manusia dalam dunia komunikasi. Dengan demikian, bahasa juga tidak bebas dari cengkeraman ideologi.

Pergumulan lebih jauh Malna dalam puisinya adalah persoalan stereotip dunia ketiga yang dalam diskursusnya disebut dengan persoalan poskolonial, yaitu persoalan identitas dunia yang terombang-ambing dalam modernitas yang datang dari dunia pertama seiring usainya kolonialisme teritorial. Dalam sebuah interviewnya dengan seorang kritikus dari Spanyol, Malna mengutip pendapat penyair Amir Hamzah bahwa keterombang-ambingan identitas itu, antara kolonialisme yang masih meninggalkan jejaknya dengan modernisme berawal ketika Malaka dikalahkan oleh Armada Portugis. Penaklukan itu menurutnya telah mengakibatkan 'kehancuran' budaya Melayu. Dengan menairk garis lurus, kehancuran budaya baginya juga berarti kehancuran bahasa: kehancuran bahasa juga berarti kehancuran, bahkan, kematian puisi (Malna, 2002).

Bagi Malna, "kematian puisi" terjadi ketika sang penyair, yang dalam hal ini adalah dirinya sendiri, tidak lagi berangkat dari tradisi yang primordial sebagaimana banyak penyair Indonesia lainnya yang dipengaruhi oleh tradisi yang melahirkan mereka untuk kemudian meloncat menjadi penyair modernis. Konsekuensi dalam dunia kepenyairan dan dunia intelektual seperti itu, yaitu antara jejak-jejak kolonialisme dan modernisme, adalah keterbelahan identitas dan moral. Penyair ini menganggap keterperangkapannya dalam modernitas adalah sebagai akibat dari keterbelahan identitas yang dihadapinya. Di satu sisi, ia adalah seorang penyair yang tumbuh di sebuah kota, yaitu Jakarta, tempat pertemuan beragam budaya dan tradisi. Di sana terjadi peleburan baru dan terbentuknya sebuah bahasa dan identitas yang hampir sama sekali baru, bahkan menyebabkan keterputusannya dengan akar budaya. Di sisi lain ia menyadari bahwa ia berada di daerah "perbatasan" di tengah dunia yang dilanda oleh modernitas dengan jejak-jejak kolonialisme masa lalu, kapitalisme, bahkan globalisasi ekonomi yang direkamnya dalam puisi-puisinya, dan penataan kembali budaya nasional oleh negara berkembang seperti Indonesia, demokrasi. Karena itulah persoalan puisi baginya bukanlah hal yang sederhana, tetapi bahkan ia memuat gagasan besar yang tengah berlangsung dalam kebudayan kita.

Gagasan yang terlihat dalam puisinya menunjukkan kritik penyair dalam dunia yang serba tanggung ini. Puisinya hadir dengan mengandung tanda-tanda kegelisahan sang penyair di tengah persoalan sosial walaupun tidak mengandung romantisme yang sering menjadi ciri literer penulisan puisi. Untuk memahami pusinya, kita bisa mendekatinya secara semiotis. Secara semiotis puisinya menunjukkan keunikan tidak hanya pada tataran bahasa, tetapi juga pada tanda-tanda budaya.

1.2 Masalah

Dengan alasan yang dikemukakan dalam latar belakang, masalah dalam penelitian ini dibatasi pada dua persoalan, yaitu sebagai berikut.

  1. Bagaimana bahasa puisi dan tema-tema yang terdapat dalam puisi Afrizal terbentuk secara semiotis?
  2. Bagaimana sistem pertandaan itu berfungsi dalam sajak Afrizal Malna?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan bagaimanakah sikap penyair terhadap bahasa sebagai salah satu persoalan identitas? Apakah gambaran konsep pemakaian bahasa dari penyair yang dipengaruhi oleh 'pandangan dunia' penyair? Selain itu, penelitian ini bertujuan menemukan tema yang menjadi perhatian penyair dalam melihat kehidupan sosial budaya di sekitarnya melalui analisis semiotika.

1.4 Landasan Teoretis

Penelitian ini menggunakan teori semiotika. Penulis melihat dalam puisi Malna terdapat permainan semiotis yang intens, terutama dalam tingkatan bahasa sebagai media dan kemudian pada tingkatan komunikasi sastra yang tidak lazim, yaitu apa yang disebut oleh Malna berpikir dengan gambar. Ia juga mengemukakan bahwa permainan semiotis, yaitu "rekayasa semiotika' dalam puisinya sangat tinggi (Malna, 1999: 134).

Timbulnya rekayasa semacam itu berkenaan dengan tema puisi ataupun gagasan kepenyairan Malna dalam memaknai dunia sekitar yang ditandai oleh berbagai benda komoditas kunsumerisme oleh massa (konsumen). Penafsiran Sang penyair terhadap benda-benda yang menghasilkan pencitraan dunia konsumerisme ini sekaligus merupakan pengandajan bagi puisinya. Dalam dunia pencitraan itu terlihat dua jenis makna yang ada dalam produk konsumerisme (benda-benda) yang para pemakainya memaknai konsumsi benda-benda itu hanya dari citraan yang dihasilkan dari kemasan dan fungsi. Akan tetapi, para pemakainya menemukan maknanya bukan dari nilai yang lebih huhur yang dikandung di dalamnya (Malna, 1999: 134).

Dari sini Malna berangkat untuk beralih meninggalkan penulisan puisi yang berdasarkan “tradisi literer” yang menjadi kecenderungan ketika itu, seperti eksplorasi imajinasi dari Sapardi Djokodamono ataupun gaya ptwisi Goenawan Mohamad yang Jiris dan bersahaja. Ia menyatakan bahwa dengan berkutat pada benda-benda urban itulah ia juga mendeklarasikan Puisinya sebagai “berpikir dengan gambar'. Puisi Malna pun seakan terpesona dengan pendptaan rantai semiotts yang har dengan pambar dan melahirkan proses penandaso vang dikatakannya bersifat kacan alan yang dipamakannya denpan sChuah fleksibilitas dalam konmusikasi pursanya dengan perabaca (Mana, 1998, 131). Karena itu, penelitian ini memakai teori semiotika yang dikemukakan oleh pemrakarsa ilmu linguistik modern, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Semiotika merupakan istilah yang dikemukakan oleh filsuf pragmatisme Amerika Serikat Charles Sander Pierce (1839-1914) untuk menamakan apa yang disebutnya “dogma resmi tanda”. Sementara itu, dalam waktu yang hampir bersamaan melalui karyanya Cours de Linguistigue Generale (1915), Saussure (dalam Newton, 1988: 170) menyatakan bahasa merupakan salah satu bagian dari ilmu tentang tanda yang disebut dengan 'semiologi . Jadi, maksud keduanya tidaklah jauh berbeda.

Jika Pierce memaksudkan bahasa sebagai sistem tanda, walaupun tidak terlalu menonjol, sebagai bagian dari semiotika umum, ilmu tanda dari tradisi Saussurean justru menganggap semua tanda, mulai dari yang verbal hingga yang nonverbal sebagai praktik budaya, seperti busana, sajian makan seperti pembahasan semiotika oleh Barthes dibentuk oleh sistem bahasa. Dengan kata lain, tanda-tanda dalam praktik kebudayaan dibaca sebagai sistem bahasa (Selden, 1989: 56).

Saussure telah mendudukkan konsep fundamental kajian Jingusitik modern yang juga nantinya melahirkan aliranstrukturalisme di Prancis dalam bukunya Course de Linguistigue Generale. Ia mengemukakan empat prinsip penting sistem bahasa, yaitu berupa pasangan oposisi penanda-petanda (siguifier-signifted), yang merupakan basis dari ilmu tanda itu), langue-purole, sintagmatig-paradigmatig, dan sinkronis-diakronis (Saussure, 1978).

Semiotika mempunyai tiga komponen pokok, yaitu tanda (sigri). Jambang (symibol), dan isyarat (signal) (Santosa, 1993: 4). Tanda merupakan representasi material objek yang dirujuk, tanda bersifat kasat mata, yaitu ia bisa berupa benda, kejadian, tulisan, bahasa, peristiwa, dan sebagainya. Lambang adalah suatu tanda yang telah 'dimuati' dengan makna tertentu yang biasanya bersifat kultural, situasional, dan kondisional (Santosa, 1993: 4-5). Isyarat merapakan tempat terjadinya pertukaran informasi antara subjek dan objek untuk melakukan suatu Hndakan dalam waktu itu juya. Jika kita melihat sistem tanda yang diajukan oleh Peirce, kita mengenal ada tiga macam tanda, yaitu ikon, indeks, simbol, Ikon merupakan tanda yang bersifat alami, yang memiliki kesamaan bentuk. Tanda ini menginformasikan atau menandakan hubungan tanda dengan benda yang dirajuknya atau petandanya, Contoh ikon adalah gambar, misalnya gambar hewan yang menandakan langsung hewan yang dimaksudkan, atau potret yang terdapat di kartu pengenal menandakan secara langsung orang yang dimaksud.

Tanda indeksional adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal, seperti awan hitam menandakan hari akan hujan, goyangan pohon yang ditiup angin menandakan arah berembusnya angin, sedangkan simbol merupakan tanda yang tidak menunjukkan hubungan yang alamiah dengan petanda. Hubungan ini bersifat arbitrer (mana suka). Tanda yang berupa simbol ini terdapat dalam bahasa yang ditentukan bunyi fonetis yang dilambangkan dengan rangkaian huruf atau yang disebut dengan kata. Kata air merujuk pada benda cair bening yang kita minum, misalnya. Akan tetapi, dalam bahasa lain, seperti dalam bahasa Inggris, konsep air itu disebut dengan water. Hubungan yang tak alamiah ini ditentukan oleh konvensi yang disetujui oleh masyarakat pemakainya (Pradopo, 1995: 120).

Van Zoest (1991) dengan sederhana menerangkan ketiga Jenis tanda itu. Tanda ikonik merupakan tanda yang tergolong Premutif karena tanda itu secara langsung menunjukkan atau mengambarkan hal yang terlihat pada benda atau tanda itu Sendiri. Contohnya adalah denah atau gambar peta yang menunjukkan arah penunjuk, Di dalam teks yang memakai bahasa, tanda ikonik lebih menunjukkan gerak suatu kejadian “tau perbuatan. Misalnya, kalimat Ia masuk, ta duduk, lalu melihat sekelilingnya. Tanda ini bersifat ikonis dengan menonjolkan Berakan yang disebutkannya.

Tanda indeksional adalah tanda yang bersifat denotatum dtas hubungan kontiguitasnya, yaitu sesuatu menunjukkan hal Yang lai. Disebutkannya, kata index dalam bahasa Prancisnya hyaniliki pengertian jari untuk menunjuk. Jadi, dalam ranah serniotika, indeks berarti tanda yang menunjukkan. Tanda ini dapat melakukan tugas semiotisnya karena keberadaan tanda tersebut bersebelahan dengan tanda yang lain. Contoh yang paling umum dari tanda ini adalah asap. Keberadaan asap bersebelahan dengan api, misalnya. Ketika terjadi kebakaran, asap merupakan salah satu petunjuk atau tanda terjadinya kebakaran. Selain itu, tanda indeksional menimbulkan suatu tindakan, pengaruh, dan perasaan tertentu bagi orang yang menemukannya. Contoh tanda ideksional ini adalah sebuah kata seruan, seperti kata "awas" yang bisa membuat pendengarnya terkesima atau tertegun.

Tanda simbolik merupakan tanda yang sifatnya lebih canggih karena tanda ini pada umumnya merupakan produk budaya yang diciptakan manusia dengan suatu konvensi sekelompok orang yang memakainya. Di dalamnya berlaku kode, aturan, dan kesepakatan untuk memberi makna suatu tanda. Contoh yang paling sering kita temukan adalah tanda lampu merah yang mengatur arus lalu lintas di sebuah persimpangan jalan.

Namun, di antara ketiga komponen itu, unsur simbol mengandung dua hal penting lainnya, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signifed). Hubungan antara keduanya itu bersifat arbitrer, yaitu tidak ada keharusan bunyi lambang, misalnya 'buku' sebagai kumpulan kertas yang berisi tulisan. Penamaan 'buku' tergantung konvensi bersama masyarakat pemakai dalam tataran langue atau sistem bahasa yang bersifat abstrak.

Setiap lambang adalah tanda, tetapi tidak setiap tanda menjadi lambang. Di dalam bahasa, setiap tanda dapat menjadi lambang (Santosa, 1993: 6). Lambang dapat berada di luar bahasa yang tertulis sebagai tanda. Kata 'menangis' dan tindakan menangis tentulah berbeda dari segi penampakan. Kata 'menangis' merupakan representasi fonetis dari referen yang dimaksudkan, yaitu suasana hati yang bisa berarti kesedihan dan juga bisa bermakna haru. Dalam penampakannya menangis' disimbolkan dengan air mata atau jeritan yang mengandung makna tertentu. Petanda, berlawanan dengan penanda yang bersifat material dan lebih cenderung konkret, adalah aspek mental, berupa konsep yang ada dalam pemahaman subjek. 1.5 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu yang menjadi data untuk dianalisis adalah data yang berupa kata dan bukan yang berupa angka. Dalam penelitian kualitatif, data dikumpulkan dari studi kepustakaan (Triyono dalam Jabrorahim dan Wulandari, 2001: 23). Data itu berupa bahan yang berhubungan langsung dengan persoalan puisi Malna, yaitu buku sumber yang memuat puisinya, kemudian buku dan artikel yang memuat kritik puisi secara umum ataupun terhadap puisi Malna sendiri. Selain itu, dari data kepustakaan juga dilakukan telaah terhadap teori pengkajian sastra, khususnya puisi, yang dalam hal ini adalah teori semiotika.

Teknik yang dilakukan dalam penulisan ini merupakan studi kepustakaan. Pertama adalah pengumpulan penentuan masalah yang dilihat dari hipotesis penulis terhadap persoalan yang ada dalam puisi Malna. Kemudian data itu dipilah dan dipilih untuk dianalisis. Berdasarkan masalah yang dikemukakan berupa pertanyaan mengenai nilai apa yang dikandung dalam karya Malna ini, penulis memilih teori yang cocok untuk pembahasan. Rangkaian teori yang telah ditentukan itu hanya merupakan bagian dari komponen analisis, yaitu berupa data lainnya yang ditemukan dalam sumber pendukung. Kemudian, penyusunan penulisan laporan ini pun dilakukan.


1.6 Sumber Data dan Percontoh

Data penelitian ini diambil dari buku puisi Afrizal Malna yang merupakan antologi puisi yang ditulisnya dari rentang waktu yang disebutkan dalam kolofon yang terdapat dalam teks puisinya, yaitu tahun 1980-2002. Sumber data itu adalah tiga buku kumpulan puisi Afrizal Malna, yaitu Arsitektur Hujan (1995) yang memuat 55 puisi, Kalung dari Teman (1999) berisi 85 puisi, dan Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002) yang berisikan 45 puisi. Sebagai catatan, buku Kalung dari Teman merupakan kumpulan puisi yang memuat kembali puisi yang dikumpulkan dalam Arsitektur Hujan Namun, beberapa di antaranya merupakan revisi kecil di sana sini dari beberapa puisi yang dilakukan Malna. Selain itu, buku tersebut memuat pula puisi yang baru.

Dari ketiga buku itu, penulis hanya mengambil 4 puisi untuk dianalisis dengan memakai teori semiotika. Alasan diambilnya empat puisi, yaitu "Asia Membaca", "Chanel OO", "Lorong Gelap dalam Bahasa", dan "Perempuan dalam Novel", sebagai bahan analisis adalah dari segi tema puisi itu memiliki persoalan menjadi perhatian utama sang penyair. Di antaranya adalah mengenai persoalan kolonialisme dan identitas, persoalan bahasa, kebudayaan massa.


1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian ini dibagi dalam empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, masalah, tujuan, kerangka teori, metode dan teknik penelitian, sumber data dan percontoh, dan sistematika penulisan.

Bab dua berisi pembahasan mengenai persoalan bahasa dan posisi puisi menurut Malna, yaitu meliputi pandangan Malna terhadap bahasa dan kata, serta diksi dalam puisinya. dan pengaruh dadaisme dalam puisinya. Bab tiga adalah pembahasan yang berisi empat analisis semiotis atas puisi Malna dan identifikasi tema puisinya, serta bab terakhir adalah kesimpulan.