Propinsi Sumatera Utara/Bab 21

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

x-small

Beberapa djenis uang ORIPS (Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera) jang mula-mula dikeluarkan untuk tanda pembajaran jang sjah dalam daerah R.I. di Sumatera.


Didaerah Tapanuli mul bulan Agustus 1947 dikelarkan pula beberapa djer uang ORITA (Oeang Reepublik Indonesia Tapanuli).

x-small

Pemerintah Kabupaten s dipulau jang terpenitu mengeluarkan pulang kertasnja sendiri jang nama ORIN (Oeang publik Indonesia Nias).


Di Kabupaten Labuhan uang Batu dikeluarkan ORLAB (Oeang Republik Labuhan Batu).

x-small

Mulai tanggal 15 September 1947 di Keresidenan Atjeh telah dikeluarkan beberapa djenis uang ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah Atjeh).

x-small

Suatu djenis dari Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara (URIPSU) jang dikeluarkan di Kutaradja.

x-small

Sedjenis Bon Contan jang dikeluarkan oleh Markas Pertahanan Atjeh Timur di Langsa untuk turut membeajai Lasjkar-lasjkar kita jang berdjuang di LangkatArea sesudah agressi Belanda jang kedua.

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN MASJARAKAT.

a. Perburuhan.
 1. Persoalan jang dihadapi.
 2. Usaha-usaha Penjelesaian Pemogokan.
 3. Organisasi -organisasi Perburuhan.
 4. Mempertinggi mutu Buruh.

b. Pendidikan Rakjat.

C. Masjarakat Sosial.

d. Kesehatan Rakjat.

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN MASJARAKAT.


A. PER BURUHAN.

1. PERSOALAN JANG DIHADAPI.
Sumatera Utara adalah salah satu propinsi Indonesia jang sesudah penjerahan kedaulatan banjak melahirkan {sic|masaalah-masaalah|masalah-masalah}} perburuhan. Ini tidak mengherankan, bila dapat dipahami, bahwa dipropinsi inilah, chususnja didaerah Sumatera Timur, banjak terdapat pertemuan modal asing dengan tenaga buruh bangsa kita. Sebab disatu pihak keinsjafan untuk menghargai diri sendiri sudah mendjalar hidup meratai kaum buruh kita, sedjadjar dengan kesedaran {sic|njsional|nasional}}, sedang dipihak lainnja kaum modal jang dengan sedapat-dapatnja memelihara aspek-aspek keekonomiannja jang bersumber dari sedjarah lampaulja, maka mudahlah timbul pergeseran-pergeseran jang terkadang meletuskan pergolakan, dengan tidak djarang pengaruh akibat-akibatnja melampau djauh dari batas-batas kepentingan kedua belah pihak itu.

Sedjak sebelum perang dunia pertama pengusaha- pengusaha bangsa Eropah telah mempunjai modal jang besar-besar didaerah ini, terutama karena keadaan tanah jang amat baik untuk perkebunan-perkebunan getah, tembakau dan lain-lain. Disamping itu sumber minjak jang terdapat di Pangkalan Brandan mendjadi sasaran eksploitasi jang tersendiri pula dari B.P.M.

Pengusaha-pengusaha modal asing itu selain mempunjai pabrik-pabrik penting untuk pembersihkan bahan-bahan mentah jang dihasilkannja, sudah barang tentu pula memerlukan objek-objek bagi penjalurkan hasil-hasil itu sebagai mata perdagangan keluar negeri (eksport). Dengan demikian timbullah kepentingan pengangkutan dan pelabuhan.

Sebagai satu-satunja perusahaan pengangkutan kereta api di Sumatera Timur, terdapat — djuga kepunjaan modal asing partikelir ― D.S.M.

Pelabuhan Belawan, dengan semakin madjunja perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur ini, merupakanlah pelabuhan jang amat penting, ditilik dari lalu-lintas perdagangan, sehingga kegiatan pelabuhan jang sebelum itu terdapat di Telukbajur (Sumatera Barat) achirnja beralih dengan pasti ke Belawan. Dengan perpindahan kegiatan ini, kedudukan-kedudukan Tandjungbalai, Labuhanbilik dan Sabang semakin berarti pula sebagai pelabuhan tambahan. Sebaliknja disebelah Barat masih tetap berarti kedudukan-kedudukan Sibolga, Meulaboh dan beberapa buah pelabuhan-pelabuhan ketjil dipulau Nias.

Diluar pulau Djawa, Sumatera Timurlah dengan Medan sebagai pusatnja merupakan daerah jang terbanjak didiami oleh bangsa asing jang berkepentingan dengan penanaman-penanaman modalnja itu. Bukan sadja perkebunan-perkebunan, pabrik-pabrik, objek-objek pengangkutan dan ekspedisi, tetapipun timbullah pula pembangunan perusahaan-perusahaan gas dan listrik beserta dengan penjaluran air, jang merupakan objek-objek vital jang dimulai sebenarnja untuk memenuhi kepentingan tuan-tuan pengusaha bangsa asing itu dan kemudian diluaskan untuk meliputi kepentingan kota seluruhnja.

Semua objek-objek perusahaan modal asing itu, jang dalam sebentar waktu sadja telah merombak suatu daerah jang ber-semak-semak belukar dan ber-paja-paja mendjadi apa jang disebut kemudian ,,cultuurgebieden", memerlukan tenaga-tenaga pekerdja, terutama karena banjaknja bagian-bagian pekerdjaan jang kasar.

Lebih-lebih untuk perkebunan-perkebunan, dimana tenaga jang diperlukan untuk itu tidak terperoleh dengan mentjukupi didaerah ini. Oleh sebab diantara lain-lain mungkin karena keenggenan bumiputera daerah ini untuk memburuh kasar, maka didatangkanlah pekerdja-pekerdja jang di,,werf" dari Djawa. Ini bersesuaian pula karena pulau Djawa diwaktu itupun sudah memerlukan pengurangan kepadatan penduduk. Dalam pada itu bukanlah rahasia lagi, bahwa mereka jang di-werf itu diberi pula gambaran-gambaran pengharapan jang muluk-muluk tentang „Deli, tanah dollar itu".

Akan tetapi bukti kemudiannja banjak benar mengetjewakan! Kampung halaman sudah djauh dimata, tetapi daerah baru jang ditempati itupun bukanlah ,,sjurga" seperti di-harap-harapkan, untuk tidak mengatakan seluruhnja „ neraka " penderitaan dan penjesalan, Jang ditemui disini oleh mereka jang di-werf dari Djawa itu hanjalah lebih banjak keruntuhan hidup, ditindjau dari ukuran-ukuran ekonomi dan tatasusila. Hatta ketika sampai terbongkarnja sendi-sendi pendjadjahan di Indonesia, perikehidupan dan perlakuan jang dialami oleh pekerdja perkebunanperkebunan itu tidak pernah mendapat perbaikan jang berarti. Istilah-istilah ,,poenale sanctie" dan „ koelie contract" tjukuplah sekadar mengingatkan kita kembali djauh kemasa jang silam, kepada pengalaman pahit jang telah ditempuh oleh pekerdja-pekerdja bangsa kita di-perkebunan-perkebunan modal asing didaerah ini. Bahkan pengalaman pahit itu mendjadi salah satu diantara tjetusan-tjetusan jang meledakkan revolusi kemerdekaan Indonesia dalam merombak susunan lama jang tak dapat lagi diterima dan jang tak harus berulang lagi itu.

Tibalah kita kemasa sesudah Proklamasi Kemerdekaan.

Semua objek perusahaan kaum modal asing itu, jang tadi sebentar telah djatuh ketangan pendudukan Djepang sebagai milik rampasan, lalu berpindah kebawah penguasaan Negara Republik Indonesia.

Akan tetapi, sebagaimana Proklamasi Kemerdekaan itupun tidak sekali gus membawa perbaikan nasib bagi seluruh bangsa kita, maka pemindahan kekuasaan atas objek-objek perusahaan kaum modal asing itu tidak pula mungkin sekali gus merubah kemelaratan kaum pekerdja bangsa kita mendjadi suatu kehidupan jang tjemerlang. Tambahan pula penguasaan itupun akan mentjapai batas waktunja, sesuai dengan manifest politik Hatta bulan Nopember 1945, dimana Pemerintah akan mengembalikan hak-milik bangsa asing. Disinilah sebenarnja terletak suatu pangkal udjian lulus atau tidaknja kita mengleksanakan pengembalian hak-milik bangsa asing dengan suatu perkembangan waktu jang berdjangka pendek itu.

Pertama-tama kemerdekaan kita bukan didasarkan atas reaksi kepada pendjadjahan Belanda semata-mata jang lamanja 3½ abad itu ditambah dengan pendudukan Djepang selama 3½ tahun. Akan tetapi didasarkan atas pokok-tjita-tjita jang lebih prinsipil, jaitu hak untuk menentukan dan bertanggung-djawab atas nasib diri sendiri. Kita pilih ini dalam bentuk suatu negara-hukum jang berdemokrasi, jang didalamnja kita menghormati hak-milik tiap perseorangan maupun badan-hukum. Azas inipun tidak kita ketjualikan terhadap hak-milik kaum pengusaha asing jang telah menanam modalnja ditanah-air kita ini, chususnja didaerah Sumatera Utara. Akan tetapi ini sudah barang tentu tidak berarti akan mengurangi tuntutan-tuntutan nasional kita padanja, terutama mengenai nasib para pekerdja bangsa sendiri.

Lama sebelum Proklamasi Kemerdekaan, perdjuangan nasional kita tidak sedikit didukung oleh perdjuangan kaum buruh. Sebaliknja penderitaan kaum buruh itu merupakan suatu titik pendorong bagi perdjuangan untuk mentjapai kemerdekaan bangsa. Sebab itu buruh dan tuntutan nasional harus sedjalan, dulu, sekarang dan nanti dalam proses pengokohan perumahan Negara kita jang sudah mulai dibina. Pokok pandangan inilah pula jang lebih-lebih harus disadari di Sumatera Utara dengan perdjuangan buruh dalam alam jang lebih luas bersama-sama dengan golongan-golongan lainnja jang sekepentingan dengan itu.

Dapatkah kita sebagai bangsa merdeka jang mendjundjung suatu negara-hukum, dengan pemulihan hak milik modal asing itu memenuhi tuntutan-tuntutan nasional kita selandjutnja dilapangan perburuhan pada objek-objek perusahaan kaum modal asing itu?

Hal ini tidaklah akan kita sangsikan, selama objek-objek perusahaan kaum modal asing itu berada dibawah penguasaan N.R.I. Djikalau selama ini perhatian kita belum tertumpah kepada soal-soal pemulihan akibat masa jang lalu karena taktik politik dan strategi pertempuran sedang menghadapi tekanan dan agressi Belanda, maka sesudah penjerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 kita lebih dapat memikirkan soal-soal seperti itu.

Agressi militer Belanda jang pertama (Djuli 1947) dan jang kedua (Desember 1948) sudah ,,melaksanakan" dengan antjaman bajonet atas pemulihan kembali hak-milik kaum modal asing atas objek-objek perusahaan mereka, jang terutama terdapat didaerah Sumatera Timur. Diluar itu sebagai kenjataan jang berlaku dibeberapa bagian tempat jang tadinja tidak tertjapai oleh agressi militer Belanda itu, pemulihan hak-milik bangsa asing itu berdjalan dengan tiada halangan sesudahnja penjerahan kedaulatan dipenghujung tahun 1949 itu.

2. USAHA PENJELESAIAN PEMOGOKAN.


Bagaimanakah dengan soal perdjuangan kaum buruh sendiri sesuai dengan tuntutan-tuntutan nasional kita pada perusahaan-perusahaan kaum modal asing itu?

Kesedaran nasional memperlihatkan lagi dirinja dalam bentuk rentetan perkembangan perdjuangan perburuhan selandjutnja.

Sebelum pendudukan tentera Belanda meluas di Sumatera Timur. buruh-buruh perkebunan terutama telah bergabung dalam organisasi „Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia" dengan singkatan Sarbupri, Dan segera sesudah pemulihan kedaulatan, organisasi-organisasi buruh, terutama buruh-buruh perkebunan aktif kembali bergerak. Bukan Sarbupri sadja, tetapi disampingnja timbul pula organisasiorganisasi baru sebagai memperdjelas, bahwa kesedaran nasional itu bangkit dengan lebih bebas dilapangan perburuhan.

Kaum buruh merasa dirinja leluasa untuk bergerak dengan tidak usah lagi terkungkung oleh tekanan-tekanan kolonial jang menghambatnia selama ini dari setiap kesempatan untuk mentjapai perbaikan nasib jang lajak sesuai dengan apa jang tertjantum dalam konstitusiSementara R.I.S., misalnja tentang pengakuan hak untuk mogok.

Apa jang tadinja tidak akan terdjadi semasa pendudukan Belanda, sekarang dengan mudahnja dapat timbul pemogokan-pemogokan, djustru segera sesudah penjerahan kedaulatan!

Semendjak itu dunia perburuhan didaerah ini tidaklah lagi merupakan ,,dunia jang tenang tenteram".

Pada umumnja dengan pemogokan-pemogokan itu kaum buruh sesudah penjerahan kedaulatan memperlihatkan, bahwa perhatian mereka ditumpahkan langsung kepada soal perbaikan nasib, jang sebelum itu tidak mungkin dilakukan. Jang sudah terang sekarang bagi kaum buruh, bahwa kaum madjikan asing itu sudah menempati kembali tempatnja jang lama. Ini, baik menurut kenjataan maupun karena ketentuan hukum, tiada dapat dimungkiri lagi. Dengan demikian, dirasakan, bahwa djalan satu-satunja lagi untuk mentjapai perbaikan jang memang sudah sedjak lama ditjita-tjitakan itu, ialah dengan menundjukkan dan mempergunakan kekuatan jang ada pada buruh sendiri. Dengan pertjaja kepada kekuatan ini, mulailah dilantjarkan tuntutan-tuntutan, jang pada umumnja dapat dikatakan berpusat pada tudjuan perbaikan upah dan djaminan-djaminan sosial. Selain dari kedua soal ini, tuntutanpun berkisar djuga disekitar kehendak untuk ikut tjampurtangan dalam perusahaan (medezeggingsschap).

Ketiga matjam soal itulah pada umumnja merupakan sebab-sebab timbulnja pemogokan-pemogokan di Sumatera Utara. Disamping jang bersifat umum itu ada pula timbul pertikaian-pertikaian karena sebab-sebab jang bersifat spesifik lokal daerah. Umpamanja di Atieh Barat dan di Atjeh Timur timbul persoalan dan pertikaian antara buruh dan madjikan sebagai akibat pengembalian perkebunan-perkebunan ditempat itu pada achir tahun 1951 kepada pemilik semula, biasanja modal asing. Demikian pula di Pangkalanbrandan dan Langsa. Tambang minjak dikedua tempat itu belum tegas status atau kedudukan hukumnja, sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan dengan para buruhnja.

Faktor lain lagi jang menimbulkan kekeruhan-kekeruhan perburuhan didaerah ini ialah karena penutupan-penutupan perkebunan tembakau ataupun penjusutan (inkrimping ) buruh. Misalnja penutupan kebun-kebun Kwala Mentjirim, Tuntungan, Deli Tua, Gelugur, Bindjei dan Padang Tjermin. Sementara itu D.A.T. (Delispoor Avros Transportonderneming ) dilikwidir dengan melepaskan lebih kurang 220 orang buruh.

Penutupan keenam buah kebun diatas menimbulkan masaalah, bahwa beribu-ribu orang buruh jang kehilangan pentjaharian dikebunkebun jang ditutup itu, lebih suka tinggal terus dibekas-bekas kebun itu sebagai petani daripada dipindahkan sebagai buruh diperkebunan tanaman keras (overjarige cultures) ditempat-tempat lain, sekalipun di Sumatera Timur djuga.

Kesimpulan sebab-sebab pemogokan dan kekeruhan perburuhan di Sumatera Utara ialah soal-soal berikut : perbaikan upah dan tjatu, pembajaran gadji selama mogok, tjampurtangan dalam perusahaan, diantaranja mengenai penentuan pegawai, pemindahan kerdja, gratifikasi, perubahan tjara kerdja, perubahan premie, tjutji tahunan, wang lembur, tundjangan kemahalan dsb.

Kaum buruh merasa benar-benar sudah lampau masanja, bahwa mereka hanja mendjadi suatu bagian dari objek-objek bagi penghasilkan keuntungan belaka untuk memperkaja kaum madjikan semata-mata !

Memang kesanalah djuga arah perdjuangan jang akan ditempuh, dimana buruh sebagai unsur penting dari masjarakat nasional harus mentjapai kesempatan untuk mengetjap keadilan hidup , jang djustru diperdjuangkan bersamaan dengan perdjuangan kemerdekaan.

Akan tetapi sebaliknja bukan tidak mungkin, bahwa pemogokanpemogokan tidak pula setiap kali mentjapaikan hasil seperti jang dimaksud.

Sebagaimana buruh tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masjarakat nasional, maka sepak terdjang buruh sendiri perlu selalu diukur dari segi kepentingan jang lebih luas, jaitu adakah laba atau ruginja terhadap kepentingan-kepentingan diluar batas perburuhan sendiri, atau lebih tegas adakah mengenai kepentingan-kepentingan umum masjarakat dan Negara ! Ini ternjata dengan adanja gelombang-gelombang pemogokan selama tahun 1950 dan 1951 , bukan kedudukan dan kepentingan madjikan belaka jang terantjam, tetapi pasaran ekonomi dan kepentingan masjarakatpun mendjadi gontjang. Bahkan lebih penting dari itu ialah bahwa penghasilan Negara sendiri turut terpukul.

Dengan tidak memungkiri, bahwa aksi buruh dengan pemogokanpemogokan itu adalah mentjapai perbaikan nasib jang sudah sedjak lama di-tjita-tjitakan, dalam hubungan jang lebih luas haruslah pula dapat kita menginsjafi, bahwa soal jang dimulai batas-batas perburuhan itu achirnja berkesudahan djua dengan akibat- akibat jang melampaui batasbatas perburuhan sendiri.

Terbuktilah bahwa penindjauan masaalah perburuhan dalam masjarakat nasional jang sedang taraf pemulihan dari akibat-akibat sedjarah jang lampau tidaklah bisa lepas dari penindjauan seluruh kepentingan jang berpadu dalam masjarakat itu . Se- tidak- tidaknja harus dilihat dalam djalinan buruh masjarakat - Negara ! Bukan soalnja se- mata-mata antara buruh dan madjikan sadja !

Sampailah sudah waktunja Pemerintah merasa terdesak untuk bertindak mengelakkan ekses - ekses jang lebih buruk dari pemakaian hak mogok itu, jaitu disaat- saat Negara belum mengizinkan sendjata buruh itu dipakai se-tadjam-tadjamnja !

Peraturan kekuasaan Militer Pusat No. 1/1951 dikeluarkan pada tanggal 13 Pebruari 1951, jang mengatur pelarangan mogok. Dapat kita pahami, apabila dipihak buruh, chususnja di Sumatera Utara terdapat sambutan jang tidak merasa puas . Aktiviteit kaum buruh pun lalu berkurang.

Sebaliknja dipihak Pemerintah sendiri bukan tidak diinsjafi, bahwa Peraturan Kekuasaan Militer Pusat itu belumlah sempurna adanja.

Kesempatan selandjutnja menghasilkan jang lebih baik, jakni pengeluaran Undang-undang Darurat No. 16/1951 pada tanggal 17 September 1951. Dengan Undang-undang Darurat ini kaum buruh tidak dilarang mogok, meskipun dalam pada itu hak buruh untuk mogok belum diberikan sepenuhnja berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara.

Dengan singkat, pemogokan tidak dilarang, tetapi sebaliknja mengingat kepentingan Negara dan masjarakat seluruhnja, pemogokan itu sedapatnja dihindarkan.

Pada mulanja kaum buruh menjambut Undang-undang Darurat inipun dengan dingin sadja , bahkan ada jang tetap tidak dapat menaruhkan kepertjajaan kepadanja.

Kira-kira dimana sebenarnja tempat jang diambil Pemerintah dengan melakukan Undang-undang Darurat No. 16/1951 itu, dapat pula ditindjau lebih djelas dari isi pidato jang telah diutjapkan oleh sdr. Kombang Harahap selaku Ketua P4D ( Panitia Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) Sumatera Utara, jaitu pada pelantikan P4D tersebut pada tanggal 29 Oktober 1951 , jang kita petikkan diantaranja sebagai berikut :

,,Salah satu keharusan dari segenap kita ialah berusaha ber-samasama menegakkan dan menjusun organisasi -organisasi buruh jang kuat dan teratur sebagai salah satu keharusan untuk dapat mewudjutkan perbaikan-perbaikan dalam lapangan perburuhan dan perekonomian, oleh karena tiap-tiap usaha dalam lapangan produksi pasti akan gagal, kalau tidak disertai dengan tenaga kaum buruh jang tersusun baik dalam sesuatu organisasi . Disamping faktor modal, maka faktor tenaga kaum buruh adalah faktor jang tidak boleh dilupakan, malahan adalah salah satu faktor jang terpenting dalam tiap- tiap produksi -proses . Adalah mendjadi kewadjiban kita bersama untuk mengerahkan kekuatan daripada kaum buruh untuk membangun segala sesuatu jang perlu dibangun, tetapi kepentingan mereka harus diperhatikan sebaik-baiknja pula.

Pengalaman djuga menjatakan, bahwa banjak pertikaian-pertikaian jang timbul djustru sebagai akibat daripada kurangnja pengertian-pengertian pada pihak-pihak jang bersengketa dan kurangnja keinsjafan, bahwa keadaan-keadaan sudah berubah dan segenap kita diharuskan dapat menjesuaikan diri dan berfikir menurut keadaan dan suasana jang telah berubah pula. Tentunja Pemerintah tidak sadja hanja memperhatikan keinginan-keinginan serta tindakan-tindakan dari organisasiorganisasi buruh, tetapi djuga dan terutama memperhatikan tindakantindakan dari kaum pengusaha, agar supaja sesuai pula dengan keinginan dan politik jang didjalankan oleh Pemerintah”.

Perkembangan selandjutnja dengan Undang-undang Darurat No. 16/1951 itu menundjukkan, bahwa aktiviteit kaum buruh jang dirasa tertekan sedjak tanggal 13 Pebruari 1951 itu kembali dapat hidup. Sebaliknja gelombang-gelombang pemogokan dapat dihindarkan dan antjaman-antjaman pemogokan dapat dibatasi. Kalaupun ada djuga terdjadi pemogokan-pemogokan setempat, maka dibandingkan dengan jang terdjadi sebelum berlakunja Undang-undang Darurat itu, pemogokan-pemogokan jang belakangan ini boleh dikata tidak ada jang berarti.

Berdasarkan statistik, maka dapat dibandingkan pemogokanpemogokan di Sumatera Utara selama tahun 1951 dengan jang berlangsung selama tahun 1952, sekadar menurut perhitungan djumlah buruh jg. mogok dan djumlah kerugian kerdja menurut hari, jaitu seperti berikut :

Tahun 1951 : mogok 32,459 orang, kerugian kerdja 657½ hari.

Tahun 1952 : mogok 30,152 orang, kerugian kerdja 344½ hari.

Seakan-akan sesudah berlakunja Undang-undang Darurat itu terdapatlah perdamaian kerdja (arbeidsvrede), setidak-tidaknja menurut ukuran jang minimaal. Tetapi kemudian, setelah timbul pula kemerosotan harga-harga produksi, maka arbeidsvrede jang minimaal itupun lenjaplah pula kembali.

Dalam rangkaian itu timbullah soal-soal pemetjatan jang hendak dilakukan madjikan, begitu pula pemindahan buruh dari satu kebun kekebun lain, semuanja menjebabkan timbulnja lagi kegontjangankegontjangan dilapangan perburuhan didaerah propinsi ini.

Antjaman-antjaman pemogokan disampaikan kepada P4D. Akan tetapi tidak semua persoalan perselisihan perburuhan jang disertai dengan antjaman-antjaman pemogokan ini dibawa kemedja perundingan oleh P4D, sebab diantaranja ada jang sebenarnja harus lebih dulu diurus dengan KPP (Kantor Penjuluh Perburuhan) di Medan.

Selama tahun 1952 terdapat 1,402 perselisihan, diantaranja 884 perselisihan kollektif dan 518 perselisihan perseorangan. Dari perselisihan-perselisihan tersebut, 430 dalam penjelesaian, 680 selesai dan hanja 129 jang dibawa ke P4D, selandjutnja 37 dioper oleh Djawatan Pengawasan Perburuhan dan 86 selesai antara buruh dengan madjikan.

Seringlah pula dalam pada itu dilupakan oleh serikat- serikat buruh, bahwa dalam sesuatu perselisihan, djika suatu pihak hendak melakukan tindakan terhadap pihak lainnja, maka satu pihak itu harus memberi tahukan tertulis maksudnja mengadakan tindakan itu kepada piha! lainnja dan djuga kepada P4D. Dan tindakan itu baru boleh dilakukan setjepat- tjepatnja tiga minggu sesudah pemberitahuan tertulis itu diterima oleh P4D.


Menurut pengalaman tidaklah pula kurang terdjadi, bahwa dalam batas 3 minggu sesudah melantjarkan antjaman pemogokan, maka antjaman itu oleh serikat buruh ditarik kembali, setelah melihat faktorfaktor jang merugikan mereka semata-mata; tidak tjukup persediaan, tidak militan dan ada jang hanja terdorong oleh nafsu marah atau keinginan pemimpin-pemimpin sadja untuk mendapat populariteit. Pada hal disinilah pula terletaknja kekuatan kaum madjikan jang waspada memperhatikan dimana terdapatnja titik-titik kelemahan kaum buruh.


Disinipun nampaklah, bahwa kaum buruh harus dapat menggunakan sebenarnja hak-hak mereka jang diatur dengan Undang-undang Darurat No. 16/1951 itu.


Dan hanja dengan keseksamaan bertindak dan dengan mengetahui sebaik-baiknja kekuatan jang ada pada diri sendiri, kaum buruh baru dapat menghadapi dan mengatasi persoalan-persoalannja dengan tegas.


Sampai disini penindjauan kita tentang sedjarah pergolakan perburuhan dipropinsi ini untuk beralih kepada persoalan bagaimana perkembangan organisasi-organisasi buruh sendiri. Dari sini kita akan mendapat gambaran sekadarnja tentang kekuatan tenaga buruh jang sebenarnja dengan kemungkinan-kemungkinan apa pula selandjutnja jang dapat diharapkan daripadanja itu bagi perdjuangan buruh sendiri pada chususnja sebagai unsur dalam mempergandakan kekuatan perdjuangan nasional kita pada umumnja bagi sedjarah kita dimasa depan.


3. ORGANISASI-ORGANISASI PERBURUHAN.


Dari uraian diatas sudah kita ketahui, bahwa lapangan perburuhan jang terdapat dipropinsi ini, terutama didaerah Sumatera Timur, adalah jang terluas di-perkebunan-perkebunan. Pengusaha-pengusaha perkebunan modal asing ini tergabung dalam AVROS dan DPV jang memiliki lebih kurang 350 buah kebun dengan memperkerdjakan kira-kira 250,000 orang buruh, Djumlah ini djika dihitung inklusif anggota keluarga mentjapai angka jang dibulatkan mendjadi satu djuta djiwa. Djadi seperlima penduduk Sumatera Utara jang berdjumlah 5 djuta djiwa itu adalah hidup dari atau berpentjaharian pada perkebunan-perkebunan, jaitu perkebunan tembakau, karet, kelapasawit, serat dan lain-lain lagi.


Ditindjau dari usaha pengangkutan, maka buruh jang bekerdja pada D.S.M. di Sumatera Timur sadja sudah ada lebih kurang 4,000 orang. Kalau usaha pengangkutan di Sumatera Utara itu kita tindjau terus, maka harus disebutkan disini buruh-buruh kereta-api di Atjeh dan disamping itu buruh-buruh pengangkutan motor jang berdjumlah puluhan ribu orang pula, Romarmas, Martimbang, Maspersada, Sibualbuali adalah untuk menjebutkan beberapa buah nama diantara usaha-usaha pengangkutan jang tersebut kemudian ini. Djumlah buruh pertambangan minjak di Sumatera Utara ada lebih kurang 3,000 orang.

Selandjutnja objek-objek dibeberapa buah pelabuhan di Sumatera Utara memperkerdjakan buruh sedjumlah lebih kurang 5,000 orang.

Kemudian kita sebutkan lagi perusahaan-perusahaan vital, seperti perusahaan Air Bersih, Gas dan Listrik (O.G.E.M.), achirnja lagi pertjetakan-pertjetakan, pabrik-pabrik es, kilang getah, minjak makan, papan, kulit dan lain-lain, jang terutama diantaranja terdapat di-kota-kota besar, diantaranja kepunjaan modal bangsa Tionghoa, djuga kepunjaan modal bangsa Indonesia sendiri.

Demikian sekadar gambaran betapa luasnja dunia perburuhan di Sumatera Utara, jang meliputi djumlah buruh kira-kira setengah djuta orang.

Seperti sudah dikatakan, sesudah Proklamasi Kemerdekaan, buruh — didaerah ini sudah ada organisasinja, terutama buruh perkebunan — jaitu Sarbupri. Organisasi ini semasa pendudukan tentera Belanda tiada memperlihatkan sepakterdjangnja, akan tetapi segera aktif kembali sesudah pemulihan kedaulatan.

Bahkan disampingnja timbul bangun organisasi-organisasi buruh lainnja, sesuai menurut kebutuhan masing-masing djenis lapangan perburuhan.

Demikian kita kenal dilapangan pengangkutan, organisasi-organisasi seperti S.B.K.B. (buruh kenderaan bermotor) dan S.B.K.A. (buruh keretaapi).

Serikat buruh jang terpenting bagi buruh pelabuhan ialah S.B.P.P.

Selandjutnia pada perusahaan-perusahaan vital kita kenal organisasiorganisasi P.B.A.B. (buruh Air Bersih) dan S.B.L.G.I. (buruh O.G.E.M.).

Dilihat dari sudut kesedaran nasional, njatalah, bahwa masa sesudah pemulihan kedaulatan itu digunakan spontan oleh kaum buruh untuk meniusun diri kedalam, serta memperlihatkan keluar apa jang dapat diperdjuangkan untuk mentiapai sesuatu jang terkandung selama ini sebagai tjita-tjita buruh, sebagai bahagian tiita-tjita nasional.

Peniusunan tenaga untuk membangun kekuatan buruh ini, dilihat dari sudut perburuhan jang begitu luas lapangannia dan lebih-lebih beraneka ragam pula tjorak djenisnja, memang sulit-kalaupun tidak mungkin — dilakukan kearah adanja satu sadja organisasi buruh, jang meliputi segala perburuhan.

Sebab itu praktis dapatlah diterima, bahwa dalam dunia perburuhan jang mengandung aneka ragam djenis lapangan itu, disusun organisasiorganisasi tersendiri jang lebih merupakan spesialisasi dalam gerakan untuk mentjapai tudiuan setiara lebih langsung.

Akan tetapi sedjarah perburuhan didaerah ini sesudah pemulihan kedaulatan tidaklah menundjukkan perkembangan sampai disitu sadja. Selain spesialisasi gerakan maka dalam satu lapangan kerdjapun terdapat berbagai organisasi buruh, artinja disamping Sarbupri umpamania ada lagi S.B.P., P.B.P., serikat-serikat buruh H.V.A., Socfin dan Deli Mij. Benar S.B.P. kemudian dilebur kedalam Sarbupri, tetapi dipihak lain P.B.P. dengan serikat- serikat buruh H.V.A., Socfin dan Deli Mij. bersatu membentuk organisasi tersendiri dengan nama Perbupri (singkatan dari Persatuan Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Kalau diperhatikan singkatan kedua nama organisasi besar disatu lapangan perburuhan ini, terlihat hanja sedikit sekali perbedaan huruf-huruf jang membentuk namanja masing-masing. Akan tetapi dalam sepakterdjang antara keduanja terkadang terdapat perbedaan, sehingga menjukarkan bagi mendapatkan tjara- tjara kerdjasama untuk menghadapi pihak madjikan jang satu itu djuga.


Pemetjahan tenaga bergerak disatu djenis lapangan kerdja seperti itu terdapat djuga dilapangan-lapangan lain. Demikianlah umpamanja dilapangan pengangkutan, disamping S.B.K.A. ada pula P.B.K.A. Malah pada perusahaan O.G.E.M. (gas dan listrik), dibawah satu nama S.B. L.G.I. telah mungkin kedjadian pemisahan gerakan buruh itu, hingga untuk dapat diikuti perkembangannja oleh umum, pernah di-bedabedakan S.B.L.G.I.-Paimin dengan S.B.G.L.I.-Zainal Abidin


Mengapa disamping adanja spesialisasi, diadakan lagi pemetjahan tenaga bergerak disatu djenis lapangan perburuhan itu ?


Djawabnja tidak dapat disembunjikan : dibelakang tabir organisasiorganisasi buruh itu tidak urung berpengaruh arus politik jang dianut oleh sesuatu partai politik!


Berbeda-bedanja pandangan didalam partai-partai politik sampai djuga terbawa-bawa kedalam gerakan organisasi -organisasi buruh, hingga sepak terdjang dalam organisasi-organisasi buruhpun ternjata sukar mentjapai suatu kesatuan sikap sebagai „buruh untuk buruh", sekalipun untuk menghadapi seorang madjikan sebagai lawan bersama.


Djustru jang memegang pimpinan organisasi-organisasi buruh tidak sunji dari menganut aliran sesuatu politik sebagai orang-orang berpartai pula. Tetapi ini sadja sedianja tidak usah mendjadikan soal. Bahkan seluruh organisasipun tiada salahnja terdiri atas buruh jang merangkap orang berpartai, se-tidak-tidaknja sadar-politik. Akan tetapi lebih utama, kalau berpolitik sebagai orang partai dapat dipisahkan dari berkebidjaksanaan sebagai anggota organisasi buruh. Memang ini sadjapun sudah mendjelaskan, bahwa sebagai buruh jang tidak berpolitik itu, bukan berarti langsung orang harus buta-politik! Djustru baik, kalau buruhpun sebagai warga-negara suatu negara-hukum jang berdemokrasi seperti Indonesia ini, harus sadar-politik. Akan tetapi politik apakah seharusnja ditempuh oleh kaum buruh sesuai dengan kepentingan mutlak buruh dalam perdjuangannja mentjapai tuntutan-tuntutan nasional, terutama jang bekerdja pada perusahaan-perusahaan kaum modal asing itu?


Pada tuntutan-tuntutan nasional inilah harus prinsipil terletak pedoman-pegangan segala sepak terdjang kaum buruh, Hanja dengan dasar dan persatuan nasional jang kompak dapat ditjapai sesuatu hasil dalam perdjuangan, terutama dilapangan perburuhan, jang di Sumatera Utara begitu luas persoalannja. Pengembalian hak-milik kaum modal asing ditanah-air kita ini tidak mesti berarti pengurangan tuntutan-tuntutan nasional kita dalam perdjuangan buruh.

Djalan sedjarah di Indonesia Merdeka sudah memperlihatkan, bahwa aspek-aspek politik dari suatu aliran ideologi mempengaruhi pertumbuhan organisasi-organisasi buruh di Sumatera Utara.

Dari pembentukan organisasi-organisasi selapangan kerdja sampai kepemusatannja dalam vaksentral-vaksentral, pengaruh politik sebagai latarbelakang itu tidak tinggal diam, hingga disamping S.O.B.S.I. perlu pula ada G.O.B.S.U., singkatan dari Gabungan Organisasi-organisasi Buruh se-Sumatera Utara.

Lebih tegas lagi dengan adanja S.B.I.I. jang tidak mempersoalkan lapangan perburuhan djenis apapun, asal buruh bersatu dan bergerak menurut ideologi Islam.

Akibat pengaruh pertjaturan politik itu djelas terlihat pada perkembangan dalam tahun 1952. Segera sesudah kongresnja jang kedua , Perbupri jang merupakan paduan dari serikat- serikat buruh H.V.A., Socfin, Deli Mij . dan P.B.P. ternjata tidak dapat lebih lama mempertahankan keutuhan persatuannja. Organisasi paduan ini petjah dengan menarik dirinja kembali serikat-serikat buruh Socfin dan H.V.A., jang kemudian membentuk paduan baru lagi dengan memakai tetap nama Perbupri. Perbupri paduan lama terus dipimpin oleh Mr. H. Silitonga, sedang paduan baru dipimpin oleh Dr. Maas.

Dalam pada itu Sarbupri-pun harus mengalami pertjahan pula dengan menarik dirinja Soufron cs. dengan S.B.P. lamanja. Achirnja pula S.B.P. ini berfusi dengan Perbupri-Dr. Maas.

Adalah sukar dimungkiri, bahwa effek-effek perpetjahan tenaga gerakan buruh itu nampak dalam kelemahan-kelemahan gerakan buruh itu sendiri dalam memperdjuangkan tuntutannja. Bukan lagi perkara mustahil, kalau persaingan timbul antara satu sama lain disatu djenis lapangan kerdja itu . Bahkan sampai pada soal pelantjaran pemogokan tidak dilupakan taktik tjari-pengaruh, berlomba banjak mentjari pengikut, jang sedianja harus digunakan untuk melemahkan madjikan sebagai lawan, tetapi selalu dipergunakan untuk menjaingi organisasi lainnja.

Dalam hubungan itu aktiviteitpun tidak djarang menjeleweng dari kepentingan mutlak buruh. Butahuruf jang masih meradjalela menghalangi massa buruh untuk dengan tegas dan sadar dapat mengudji pimpinan jang seharusnja diikut.

Sebenarnja pimpinan jang lebih banjak psychologis mengutamakan tuntutan-tuntutan jang „realistis" adalah lebih menarik bagi massa buruh jang kebanjakan masih butahuruf itu daripada pimpinan jang realisasi sepakterdjangnja memerlukan tindjauan jang lebih mendalam menurut saluran ideologi tertentu.

Djadi disatu pihak, butahuruf jang masih luas merupakan titik hambatan jang menjulitkan pada waktunja untuk memperdalam kesedaran massa buruh bagi penjusunan organisasi jang bermutu, sedang dipihak lainnja, karena adanja suasana pergeseran dan persaingan, maka pimpipimpinan-pimpinan organisasi jang adapun lebih banjak menumpahkan pikirannja kepada soal-soal perselisihan dan tuntutan-tuntutan belaka.

Titik-titik kelemahan ini tidaklah lalu begitu sadja, karena pihak madjikan tidak lepas kewaspadaannja dari mengikuti kesempatankesempatan jang baik baginja untuk mentjapai kemenangan-kemenangannja pula.

Dalam proses produksi, dimana masing-masing pihak masih melihat motief-motief keekonomiannja menurut tjara-tjara dan pandangan sendiri-sendiri, sudah barang tentu bukan hanja buruh semata-mata jang akan mengkonsolidir tenaganja untuk mengambil sebanjak- banjak keuntungan dari tiap-tiap pergolakan jang timbul. Tidak kurang pula pihak madjikan jang sekurang-kurangnja memperketjil halangan-halangan jang merintanginja dengan menggunakan kesempatan-kesempatan dari kelemahan -kelemahan pihak lawannja itu.

Dimana pergeseran meningkat antara dua buah organisasi buruh pada satu lapangan kerdja, maka disitu terasa sulitnja untuk mendapatkan tjara-tjara kerdja sama bagi menghadapi madjikan. Pihak madjikan sendiri melihat pula pembelaan kepentingan-kepentingannja dalam berbagai-bagai keharusan tertentu, jang relatif memang dapat djua diperdjuangkannja.

Dalam membela kepentingan-kepentingan itu, pihak madjikanpun mempunjai tjara-tjaranja bertindak, seperti diantaranja penutupanpenutupan perusahaan atau sekurang-kurangnja penjusutan tenaga buruh jang dipakainja. Semuanja itu dengan alasan, bahwa perusahaan hanja merugi belaka, tidak rendabel atau tidak menutupi ongkos-ongkos eksploitasi, atau perusahaan hanja dapat diteruskan dengan ukuran usaha jang lebih ketjil sadja.

Tuntutan-tuntutan jang ber-tubi-tubi dapat ditangkis, dimana tuntutan-tuntutan itu achirnja tidak sedjadjar atau tidak lagi sebanding dengan apa jang dapat dihasilkan.

Untuk penghematan maupun untuk mentjapai effisiensi perusahaan dengan memperketjil perongkosan, madjikan bertindak melakukan penglepasan buruh, bahkan dimana diperlukan setjara besar-besaran (massa-ontslag). Dalam hal ini madjikan mungkin melakukannja dengan bersendjatakan ontslagrecht tahun 1941, sekalipun dengan keharusan membajar uang pesangon dan memenuhi sjarat-sjarat jang dikehendaki oleh ontslagrecht itu.

Pendeknja, dimana terdapat titik-titik kelemahan buruh dengan tidak adanja kesatuan berpikir dalam gerakan atau dengan lebih menampakkan tjorak-tjorak perpetjahan antara satu sama lain disatu djenis lapangan kerdja, maka disitulah pihak madjikan mentjoba melantjarkan tindakan-tindakannja dengan menjesuaikan kepentingan-kepentingannja kepada jang lebih menguntungkan dari perkembangan-perkembangan maupun pergolakan jang sedang berlangsung. Disitulah pihak madjikan sampai memandang enteng hasrat-hasrat dan tuntutan-tuntutan organisasi buruh jang hendak mentjampuri urusan perusahaan. Oleh karena itu hal ini haruslah diinsafi oleh para pemimpin buruh dengan mengatasi perpetjahan- perpetjahan dan kembali berpedoman kepada kepentingan mutlak buruh dalam memenuhi tuntutan-tuntutan nasional kita pada perusahaan-perusahaan kaum modal asing itu. Kedjudjuran dan ketegasan dalam hal ini perlu benar untuk menghindarkan organisasi-organisasi buruh dari pada objek-objek politik partai-partai politik jang beraneka ideologinja itu.

Sampai disini kita tinggalkan babak sedjarah perkembangan organisasi-organisasi buruh di Sumatera Utara ini, jang tiada sunji dari mengalami pasangsurut dan pasangnaik, suka dan duka perdjuangannja.

Walaupun demikian bila ditarik garis achir kesimpulan, tidaklah kita pessimistis melihat keadaan perdjuangan jang sudah lalu itu untuk menempuh landjutan perdjuangan jang akan datang. Bagaimanapun djuga djalannja sedjarah gerakan dan perdjuangan buruh di Sumatera Utara sesudah pemulihan kedaulatan, meski kemadjuannja selalu terhalang-halang dengan terlibatnja dalam perselisihan-perselisihan, namun pengalaman-pengalaman itu semuanja memberikan kemadjuan kesedaran berorganisasi dan menimbulkan teori perdjuangan buruh jang karakteristik buat Nusa dan Bangsa.

4. MEMPERTINGGI MUTU BURUH.

Sesudah analisa penindjauan perburuhan dengan persoalan-persoalannja dan bagaimana usaha-usaha penjelesaian pemogokan serta perkembangan organisasi-organisasi perburuhan sendiri, kita kemukakan pula soal-soal, dimana akan dapat diambil pokok-pokok pandangan kearah mempertinggi mutu buruh dengan gerakannja, chususnja di Sumatera Utara.

Sesuai dengan pengantar uraian pertumbuhan perburuhan ini semula, jaitu dimana dipropinsi Sumatera Utara banjak terdapat pertemuan modal asing dengan tenaga buruh bangsa kita jang melahirkan seribusatu persoalan-persoalan sesudah pemulihan kedaulatan, perlu kita mendapat pokok-pokok kesimpulan-kesimpulan, pertama-tama mengenai usaha-usaha penjelesaian perselisihan antara buruh dengan madjikan itu ditindjau dari sudut kepentingan nasional.

Dari sedjarah perkembangan perburuhan dinegeri-negeri lain kita telah mengetahui dari zaman kezaman, bahwa hakekat utama perdjuangan buruh adalah untuk mendapat pembajaran upah jang lajak dan tjukup untuk kehidupannja beserta anak dan isterinja, dan untuk mentjegah, untung jang berlipatganda buat kesenangan madjikan belaka. Sebaliknja adalah mendjadi idam-idaman madjikan pula dengan menggunakan sedikit tenaga — berarti sedikit upah — mendapat hasil jang sebanjakbanjaknja. Disinilah letaknja sebab-sebab, — djuga ditindjau dari pergolakan perburuhan ditanah-air kita, chususnja di Sumatera Utara sesudah pemulihan kedaulatan, bahwa baik diwaktu sesudah putus hubungan kerdja maupun pada masih ada hubungan kerdja, timbul perselisihan antara buruh dengan madjikan, walaupun kedua belah pihak dapat dianggap sudi mentaati undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan.

Perselisihan itu timbul, djika salah satu pihak merasa dirugikan oleh jang lain, karena tidak mengikuti perdjandjian kerdja jang telah diikat mereka atau tidak mentaati undang-undang atau peraturan-peraturan jang ada hubungannja dengan perdjandjian kerdja itu.

Dalam menjelesaikan soal-soal perselisihan itu harus dilaksanakan tugas jang sesuai dengan semangat Undang-undang Dasar Sementara kita tentang hal perburuhan dengan berpedoman kepada adat dan kebiasaan disesetempat, kepada undang-undang dalam Burgerlijk Wetboek dan lain-lain lagi peraturan Pemerintah. Dalam semua hal ini, kebidjaksanaan dalam menghadapi sesuatu soal merupakan faktor jang amat penting pula.

Walaupun menurut hukum, hal perselisihan antara buruh dengan madjikan itu adalah „civielrechtelijk”, perantaraan jang diberikan untuk penjelesaian tiap-tiap perselisihan, selain harus memuaskan, hendaklah pula membuktikan kepada masjarakat, bahwa undang-undang dapat didjalankan dengan menguntungkan masjarakat umumnja. Dajaupaja kedjurusan ini adakalanja melampaui djiwa peraturan-peraturan dan undang-undang jang ada, untuk mendekati tjita-tjita nasional dalam soal-soal perburuhan jang terkandung dalam Undang-undang Dasar Sementara R. I. Dengan tjara demikianlah, diusahakan agar undang-undang itu djangan tetap statis, melainkan dinamis, berubah dari sehari kesehari dalam proses mentjapai bentuk jang sempurna.

Tak dapat dimungkiri, bahwa perbaikan nasib kaum buruh kita, terutama jang bekerdja pada perusahaan-perusahaan kaum modal asing itu, memang sudah mulai berdjalan dan menundjukkan gambaran perkembangan jang djauh berbeda dengan keadaan sebelum Revolusi Kemerdekaan kita.

Setidak-tidaknja pengertian „buruh” sekarang, baik dikalangan kita sendiri, maupun bagi pihak madjikan asing itu, tidak dapat disamakan lagi dengan pengertian „koelio contract”, jang semata-mata menadahkan pengharapan rezeki pada „belas rahim Tuan Besar Kebun” belaka!

Sungguhpun kehidupan kaum buruh kita sekarang belum mengatasi kehidupan normal sebeium perang, namun dalam perbandingan itu djuga tiada dapat dikatakan, bahwa kaum buruh kita itu adalah tetap mendjadi mangsa" perasan kaum modal asing semata-mata.

Akan tetapi perbaikan selandjutnja masih banjak jang harus diperdjuangkan lagi. Kita harus dapat memeriksa dimana letak titik-titik kelemahan dalam gerakan kaum buruh kita, agar disitu diadakan perbaikan kearah mentjapai hasil perdjuangan jang lebih sempurna.

Selain hubungan perselisihan dan penjelesaian antara buruh dengan madjikan maka hubungan dikalangan sesama buruh sendiri merupakan persoalan-dalam jang seharusnja dapat diatur lebih baik dan sempurna.

Baik didalam massa buruh, maupun dikalangan pimpinan organisasi serikat-serikat buruh terdapat hal-hal jang memerlukan perbaikan, seperti misalnja persoalan butahuruf jang masih meluas itu.

Untuk mempermudah usaha-usaha berorganisasi dan untuk mentjapai adanja organisasi jang bermutu, soal pembanterasan buta huruf tidak kurang pentingnja dari pada persoalan persoalan perselisihan dan tuntutan-tututan jang dilantjarkan.

Dari segi demokrasi dapat dilihat, bahwa pertimbangan suatu kollektiviteit lebih berharga daripada pertimbangan seseorang atau beberapa orang sadja, dan pertimbangan kollektiviteit itu sukar dilaksanakan selama sebagian terbesar kaum buruh butahuruf dan tiada mengenal „abc” organisasi. Oleh sebab itu tiada diherankan, kalau organisasi sedemikian lebih banjak dikemudian menurut tokoh pikiran jang terdapat dikalangan pimpinan sadja. Sebaliknja pimpinan buruhpun bukan selamanja dan seluruhnja terdiri atas tenaga-tenaga jang berpengalaman tjukup dalam lapangan berorganisasi.

Disamping kemauan dan ketulusan untuk bertanggung-djawab, maka pada umumnjapun pimpinan-pimpinan organisasi serikat buruh jang banjak dan beragam itu perlu memperdalam pengetahuan mereka tentang seluk-beluk hubungan kerdja, apalagi tentang seluk-beluk rumahtangga perusahaan jang memberi pekerdjaan. Ini besar faedahnja untuk menghindarkan agar tuntutan-tuntutan jang dilantjarkan bukanlah jang digeneraliseer dengan begitu sadja.

Aktiviteit organisasi serikat buruh, didaerah Sumatera Utara sebahagian besar dipusatkan di Medan. Akan tetapi aktiviteit itu masih sadja belum diperintji menurut keharusan dan kepentingan matjamnja pekerdjaan (vakverband) maupun hubungan-kerdja (arbeidsverband), hingga seringkali mendapat kesulitan-kesulitan jang tak terduga pada ketika melaksanakannja. Terhadap jang demikian terasalah suatu kebutuhan akan adanja suatu organisasi jang mengatur kepentingan-kepentingan vakverband dan arbeidsverband setjara chusus.

Dalam rangkaian jang belum sempurna itu terdapat lagi, bahwa masih banjak kaum pekerdja jang belum menggabungkan diri kedalam organisasi jang ada ataupun kalau diperlukan, mendirikan organisasi tersendiri. Usaha-usaha langsung dari instansi-instansi Pemerintah jang bertugas terhadap lapangan perburuhan, telah haruslah pula merupakan dorongan dan pimpinan jang merupakan perlindungan utara bagi pekerdja-pekerdja itu, baik terhadap madjikan, maupun terhadap penipuan, antjaman, intimidasi atau lainnja jang dilakukan oleh anasir-anasir lain.

Selain memperhatikan soal lapangan kerdja dengan persoalan-persoalannja jang terbagi atas vakverband dan arbeidsverband itu, adalah pula tidak kurang penting untuk memperhatikan soal mentjapai mutu para pekerdja sendiri jang lebih tinggi dari jang sudah-sudah dipelbagai djenis lapangan kerdja itu.

Seperti tadi sudah disinggung lebih dulu, pembanterasan buta-huruf adalah merupakan salah satu kuntji jang membuka pintu kemungkinan untuk mentjapai mutu-mutu ideëel jang lebih tinggi, baik buat perseorangan pekerdja sendiri, maupun buat jang lebih penting dari itu, jaitu buat kelantjaran penjusunan organisasi gerakan sekerdja.

Akan tetapi disamping segi ideëel jang lebih tinggi dalam hubungan perseorangan pekerdja dengan gerakan sekerdja dalam ikatan organisasi itu, maka adalah jang perlu diperhatikan lagi, jaitu deradjat ketjakapan vak atau ketjakapan teknis para pekerdja.

Jang sudah terang sadja, ada perbedaan jang berarti antara buruh terlatih (skilled labour) dengan buruh jang tidak terlatih (un-skilled labour).

Diantara pokok-pokok pikiran jang dipedomani oleh Pemerintah dalam melaksanakan tindakan-tindakan jang reëel untuk mempertinggi deradjat kaum buruh pada umumnjapun terhitunglah soal memberikan latihan kerdja sebanjak-banjaknja kepada tenaga- tenaga un-skilled untuk mendjadi skilled labour, buruh tjakap jang terlatih itu.

Skilled labour jang dikerahkan dalam arbeidsproces adalah djaminan bagi productieproces, jang begitu dikehendaki pada saat ini dalam perdjuangan pemulihan semesta sebagai akibat perkembangan-perkembangan jang lampau.

Djustru mengingat betapa kurangnja skilled labour itulah-jaitu bukan di Sumatera Utara sadja tetapipun diseluruh Indonesia maka haruslah dapat diinsafi, betapa pentingnja pula soal latihan kerdja untuk mempertinggi deradjat ketjakapan vak atau ketjakapan teknis kaum buruh kata pada umumnja.

Usaha ini, mengingat persediaan-persediaan kita jang serba kurang itu memang adalah lebih sudah dalam bentuk tjita-tjita daripada untuk dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh.

Buat Sumatera Utara dalam tahun 1951 baru dapat dibuka di Medan dua matjam kursus vak, jaitu kursus teknik bagian besi dan sematjam lagi bagian kaju (bangun-bangunan) dengan masing-masing mempunjai kursis 23 orang. Selain tempatnja terpaksa harus menumpang di Sekolah Teknik Pertama di Medan, maka guru-guru untuk pengadjar kursuskursus inipun harus „dipindjam" dari sekolah tersebut. Djadi tenaga dan perlengkapan belumlah dapat dikerahkan chusus kelapangan itu.

Kursus-kursus vak tersebut jang dibuka dalam bulan Djuli tahun 1951 telah diachiri dalam bulan Agustus tahun 1952. Udjian buat tukang besi diikuti oleh 15 orang, diantaranja seorang tiada lulus. Sedang udjian buat tukang kaju diikuti oleh 14 orang, diantaranja djuga seorang tiada lulus.

Mengingat kesukaran guru dan tempat tadi, maka kursus-kursus baru berikutnja tidak dibuka.

Akan tetapi betapapun banjaknja kesukaran-kesukaran jang merintang, mengingat pentingnja guna mempertinggi deradjat ketjakapan vak atau ketjakapan teknis kaum buruh kita pada umumnja itu, maka soal latihan kerdja itu haruslah mendapat perhatian lebih landjut dan dilaksanakan seterusnja.

Ada dimaksud untuk mendirikan sebuah Pusat Latihan Kerdja di Medan, jaitu untuk seluruh Sumatera.

Selandjutnja dalam garis-garis kebidjaksanaan untuk mempertinggi mutu gerakan sekerȧja buruh, maka terhitunglah pula jang terpenting usaha melatih organisasi-organisasi buruh berangsur-angsur kearah dapat berdiri sendiri, jaitu dalam lapangan :

a. keuangan organisasi,
b. mengatur hubungan-kerdja buat tiap-tiap anggota menurut djenis vak atau setjara kollektif dan
c. menetralisir organisasi serikat buruh dari sentimen jang tiada menguntungkan gerakan sekerdja.

Seperti sudah dinjatakan, adanja pergeseran antara dua buah organisasi buruh pada satu lapangan kerdja, seperti antara serikatserikat buruh jang bergabung dalam SOBSI dengan jang bergabung dalam GOBSU, menjulitkan untuk memperdapat tjara-tjara kerdjasama dalam menghadapi madjikan.

Aliran serikat-serikat buruh jang bersaingan pada satu lapangan kerdja itu mungkin nantinja dapat bersatu pada satu djangka, dimana serikat-serikat buruh itu sudah bisa berdiri sendiri dan sudah bisa memperhitungkan perdjuangan sekerdja terlepas dari sentimen atau cynisme, dimana serikat buruh itu sudah dipahami benar-benar sebagai organisasi jang merupakan alat sendjata buruh untuk mempertinggi kedudukan rohani dan djasmani para anggotanja.

Usaha-usaha mempersatukan organisasi serikat-serikat buruh, seperti ternjata dari pengalaman jang sudah-sudah, tidaklah dapat berhasil, kalau usaha-usaha itu hanja mentjapai persatuan jang bersifat formil sadja, sedang kesatuan berfikir sebenarnja dalam gerakan sekerdja itu belum diperdapat.

Pengalaman dimana pergeseran antara dua buah organisasi serikat buruh pada satu lapangan kerdja bisa meningkat tadjam, jang merugikan gerakan sekerdja untuk perbaikan nasib jang diperdjuangkannja menundjukkan, bahwa sudah datang masanja pada tiap-tiap maskapai atau ispangan kerdja sebaiknja dibentuk suatu Dewan Buruh, jang mengatur chusus hubungan kerdja, perselisihan-perselisihan upah dan lain-lainnja.

Dengan demikian segala aliran gerakan sekerdja jang masing-masing sudah mendjadi kenjataan itu tak perlu merugikan gerakan sekerdja sendiri kearah perbaikan nasib kaum buruh.

Guna mentjapai tudjuan pembentukan Dewan Buruh dimaksud, maka dipihak instansi Pemerintah jang bertugas terhadap lapangan perburuhan — dalam hal ini ialah KP2 (Kantor Penjuluh Perburuhan) dengan kantor-kantor pembantunja (KP3) di-kabupaten-kabupaten — tentu sebaiknja diperluas tenaga-tenaga teknisnja, terutama sekali di-kantor-kantor penghubung jang langsung berhadapan dengan massa buruh dengan organisasi-organisasinja pada tingkat paling bawah.

Dalam hal ini patutlah pula diketahui, bahwa pegawai teknis KP2 bahagian Gerakan Buruh, selain membutuhkan ketjakapan sosialpsychologi, perlu mempunjai pengetahuan teori tentang teknik organisasi gerakan sekerdja. Menurut pengalaman, ketjakapan dan pengetahuan jang diperlukan itu kebanjakan berkisar pada satu aliran gerakan sekerdja sadja, padahal kenjataan menghendaki adanja ketjakapan dan pengetahuan itu, jang dapat melajani kepentingan lebih dari satu aliran gerakan sekerdja.

Demikian harapan kita dalam menghadapi masadepan !

B. PENDIDIKAN RAKJAT DI SUMATERA UTARA.

Untuk menggambarkan sampai dimana sudah kegiatan pendidikan rakjat di Sumatera Utara ini, kiranja membaikkan djuga, kalau kita sepintas lalu menjedari keadaan-keadaan njata dalam mana bangsa kita berada, sewaktu ia menerima konsekwensi daripada proklamasi kemerdekaannja jang berisikan tanggungdjawab atas pengendalian nasib sendiri. Bangsa Indonesia terpaksa membela diri terhadap seranganserangan militer, ekonomis dan politis dari luar dalam keadaan rohani dan djasmani jang lemah dan parah. Kemiskinan di-mana-mana, kelesuan umum masih belum teratasi, salah faham dan pertentangan-pertentangan tradisionil diantara golongan-golongan kebudajaan, kejakinan-kejakinan, lapisan-lapisan dan partai-partai politik. Perdjuangan itu sendiri membawa serta masuknja massa sebagai pemegang peranan penting. Perobahan-perobahan tjepat terdjadi dalam pergaulan hidup, baik mengenai bentuk, maupun mengenai tjoråk hubungan-hubungannja. Pengertian baru mulai menguasai tjara berfikir, merasa dan bertindak. Pada banjak lapangan terdjadi emansipasi, golongan-golongan merebut hak-hak dan djalan-djalan masuk, ke-lingkungan-lingkungan jang sebelum itu tertutup baginja. Hak tersebut membawa rasa tanggung-djawab jang tidak djarang salah didjalankan. Sesungguhnja, dari manusia Indonesia, waktu itu dikehendaki sjarat-sjarat jang lebih berat tentang sifat serta kemampuannja, djauh lebih berat dari pada sebelum itu.

Ter-lebih-lebih setelah selesai pertarungan dengan kekerasan sendjata. Masa pembinaan memerlukan ke-aturan fikiran-fikiran penuntunan. tenaga-tenaga mentjipta, semangat mempelopori dan mewudjudkan sesuatu usaha jang konstruktif.

Maka sebagai landjutan dari kesedaran-kesedaran akan kekurangankekurangan tadi dan untuk menjelaraskan keadaan masjarakat dengan martabat tinggi dari Negara kita jang merdeka dan berdaulat, harus tiap kelemahan kita perkokoh, harus masjarakat dididik mendjadi ulet, lahir dan batin . Dalam hubungan dan tudjuan ini lahirlah Pendidikan Masjarakat sebagai satu reaksi terhadap keadaan njata itu menudju kepada satu gambaran tjita tentang hidup kebangsaan kita. Dalam hubungan ini Pendidikan Masjarakat bukanlah dilahirkan dengan kenjataan seakan-akan dapat membereskan sesuatunja dengan langsung, melainkan hanja ingin menimbulkan tenaga-tenaga kebatinan sebesar mungkin, hal mana merupakan sjarat mutlak bagi tertjapainja keberesankeberesan itu. Pendidikan Masjarakat hanjalah satu alat bagi kemadjuan dan pendidikan diri sendiri. Pun disedarinja djuga, bahwa maksud itu tidak dapat diwudjudkan dalam djangka waktu jang singkat. Tugas itu adalah tugas bagi beberapa keturunan, dan menghendaki kesabaran dalam membantu dan memupuk pertumbuhan masjarakat, jang hasilnja tidak mungkin ditjapai dengan ter-gesa- gesa, sekalipun mempergunakan alat-alat setjara massaal, tetapi bersifat zahir se-mata- mata. Disebabkan oleh hal-hal kedjadian-kedjadian, perlakuan-perlakuan jang tak dapat dielakkannja karena ia berada diluar kekuasaan kita pada masa jang silam, maka masjarakat kita mewarisi :

  1. Kekurangan tenaga-tenaga pentjipta jang berpotensi
  2. Djiwa jang ikut-ikutan.
  3. Kedangkalan, sikap tidak-perduli dan pandang-enteng.
  4. Kelemahan menghadapi kesulitan.
  5. Kegontjangan kepertjajaan atas tenaga diri sendiri.
  6. Hal menguntungkan diri sendiri jang merugikan Negara.
  7. Sisa-sisa pendjadjahan jang lain-lain.

Sebelum tahun 1950 pada Djawatan P.P.K. Sumatera ada satu bahagian jang mengurus Kursus-kursus Pembanterasan Buta Huruf, walaupun istilah nama dari bahagian jang bertugas itu merangkap satu pengertian jang lebih luas lagi. Waktu itu di Sumatera Timur dan Tapanuli sudah berdiri Kursus-kursus P.B.H., sebagian besar atas kegiatan organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan, diantaranja P.G.R.I. dan I.P.I. (Ikatan Peladjar Indonesia). Tetapi belum dapat dikatakan, bahwa hal membanteras buta huruf itu diterima oleh masjarakat dengan kesedaran, walaupun hasil pekerdjaannja mentjapai hasil djuga.

Setelah aksi militer kesatu usaha ini di Sumatera Timur dilandjutkan oleh Negara Sumatera Timur dengan membentuk sebuah Panitia Besar jang berkedudukan di Medan dan Panitia bawahan dibeberapa tempat. Di Tapanuli kursus-kursus itu tiada mengalami perobahan sampai aksi militer kedua. Selama aksi kedua banjak kursus-kursus terpaksa tutup, tetapi diantaranja masih ada djuga jang dibuka.

Pada permulaan tahun 1950 segera sesudah pemulihan pemerintahan R.I. di-daerah-daerah Renville, di Sibolga terbentuk satu Djawatan P.P.K. Prop. Tapanuli/Sumatera Timur, tidak termasuk daerah bekas N.S.T. dan didalamnja diadakan satu Bahagian jang akan melandjutkan usaha dilapangan Pendidikan Masjarakat. Di Propinsi Atjeh djuga terbentuk satu Djawatan P.P.K. dan disitu djuga diadakan differensiasi seperti di Sibolga.

Pada permulaan itu terasa sekali, bahwa masjarakat masih lesu disebabkan perdjuangan itu baru selesai, ditambah pula dengan kemiskinan jang membuat orang menumpahkan perhatiannja kepada mentjari penghidupan sadja dulu. Andjuran-andjuran untuk mendirikan kembali kursus-kursus P.B.H. di-mana-mana kurang mendapat sambutan. Lagi pula rupanja dimasa sebelum itu ada kursus-kursus jang merasa dirinja di-perinain-mainkan dalam hal „subsidi"nja.

Rasa ketjewa diantara guru-guru P.B.H. adalah umum. Karena itu usaha pertama jang harus didjalankan ialah dengan ulet membangun kursus-kursus hanja pada tempat-tempat jang dapat menerimanja dan tidak mengharapkan bantuan Pemerintah sebagai sjarat satu-satunja Apparatuur Pendidikan Masjarakat baru terdiri dari beberapa orang sadja, Pelaksanaan pembukaan kursus-kursus banjak sekali dibantu oleh Penilik-penilik Sekolah Rakjat. Makin lama makin meluas usaha tersebut, pengasuhannja tak dapat berlama-lama dibebankan lagi kepada mereka, karena itu berangsur-angsur diberbagai Ketjamatan diusahakanlah membentuk Panitia-panitia Pendidikan Masjarakat, jang terdiri dari orang-orang terkemuka dalam Ketjamatan. Tindakan seperti ini sebenarnja tidak harus diambil setjara „didatangkan dari atas”, sebab harus tumbuh dari masjarakat itu sendiri. Jang diharapkan dari pembentukan Panitia-panitia itu ialah agar usaha-usaha mendidik masjarakat dapat berlangsung dengan oto-aktiviteit masjarakat sendiri. Lambat laun mulailah nampak, bahwa banjak Panitia-panitia jang terbentuk dengan tjara itu kurang dapat memenuhi pengharapan. Ini disebabkan djuga oleh berbagai hal, misalnja dengan kurang diketahuinja arti dan tugas Pendidikan Masjarakat sedalam-dalamnja, ada pula jang ingin namanja tersebut sadja tetapi tidak memperlihatkan kegiatan. Adapula jang memang kurang perhatiannja terhadap soal-soal kemasjarakatan.

Kira-kira pada pertengahan tahun 1950 bahagian Pendidikan Masjarakat pada Djawatan P.P.K. tersebut tadi didjadikan apparatuur Inspeksi jang mendapat biaja tersendiri. Peraturan-peraturan pembiajaan kursuskursus mulai dikerdjakan. Bagi kursus-kursus jang tadinja belum pernah mendapat apa- apa pemberian bantuan jang sangat ketjilpun diterimanja dengan gembira. Akan tetapi bagi kursus-kursus baru hal itu merupakan satu perintang, karena menafsirkannja seakan-akan bantuan itu merupakan gadji atau upah.

Pada pertengahan tahun 1950 mulai berdiri sebuah Kursus Pengetahuan Umum tingkat B di Sibolga dan beberapa K¸P.U.-A dilain-lain tempat. Pada permulaannja kursus-kursus ini mendapat kundjungan ramai, seakan-akan Masjarakat pada waktu itu merasa benar-benar kekurangan akan pengetahuan. Tetapi pengharapan tersembunji jang mendorong para peladjar mengikuti kursus itu jakni untuk memperoleh kenaikan pangkat (civiel effect). Hal ini terasa mendjelma djuga dalam bentuk makin berkurangnja kegiatan beladjar, sampai mengakibatkan adanja kursus jang terpaksa ditutup.

Maksud K.P.U. untuk menghasilkan kader pembangunan tidak dapat dikatakan tertjapai pada waktu itu. Keadaan disekitar tempat adalah demikian rupa, sehingga orang-orang mendahulukan sjarat-sjarat lahir diatas kemadjuan batin, dan pangkat diatas pengetahuan. Baik dikalangan kepegawaian, maupun didalam hidup berorganisasi terdapat tendens anggapan diri jang berlebih (zelf-overschatting). Hal ini tidak mengherankan, kalau kita ingat sedjarah perdjuangan jang sedang baru ditempuhnja, selama mana kebanjakan sudah sempat merasakan diri sebagai pemegang tanggung-djawab, walaupun tidak djarang salah mendjalankan tanggung djawabnja itu.

Disamping P.B.H, dan K.P.U., soal Perpustakaan Rakjat berangsurangsur diperkenalkan djuga pada masjarakat dengan djalan mengichtiarkan berdirinja Taman-taman Pembatjaan dan Taman Perpustakaan diberbagai tempat. Walaupun Taman Perpustakaan jang agak lumajan persediaan bukunja menarik perhatian djuga, seperti jang ada di Sibolga, tak djuga dapat dikatakan bahwa masjarakat sudah benar-benar merasakan kehausan akan ilmu pengetahuan.

Kegiatan disekitar urusan Pemuda tidak dapat berdjalan dengan lantjar dan hanja terbatas pada mentjahari kontak sadja. Nampak betul bahwa pemuda- pemuda dihinggapi oleh kelesuan djuga, sehingga semua organisasi Pemuda masih passif Jang ada hanjalah runtuhan. Hal ini disadari djuga oleh beberapa pemimpin, dan mereka berichtiar menghidupkan kembali semangat berorganisasi itu, dengan djalan mengadakan di Medan dan Surabaja Konperensi-konperensi untuk membentuk front-front Pemuda. Sajang sekali usaha ini tidak timbul dari bawah. Lagi pula atjara-atjara melulu meliputi persoalan jang bertjorak politis, tapi tidak mengingat akan pembangunan jang psychologis paedagogis — sosial — konstruktif.

Pendidikan bagi Wanita baru bersifat pemberian penerangan-penerangan tentang berbagai soal jang pantas diketahui Ibu-ibu didesa-desa. Diandjurkan kepada mereka agar bergiat memasuki kursus-kursus P.B.H. Dari statistik-statistik ternjata, bahwa 60% dari peladjar P.B.H. terdiri dari kaum wanita. Kursus-kursus P.B.H. jang muridnja terdiri dari pada melulu atau sebahagian besar wanita, diadjak mengadakan peladjaran chusus jang diperlukan mereka.

Tahun 1950 masih mengalami akibat -akibat perdjuangan. Kegiatan dalam lapangan pendidikan masih berat sebelah, jakni dalam batas menjuruh anak-anak kesekolah. Orang-orang dewasa sebahagian besar dikuasai oleh fikiran memperdjuangkan kehidupan lajak . Dalam hal berorganisasi mendjelma bajangan perpetjahan (desintegratie) jang tidak djarang hampir membawa kehantjuran. Keadaan-sekitar seperti ini bagi usaha penghidupan masjarakat tentu tidak membaikkan. Karena itu usaha-usahanja harus didjalankan setjara hati-hati benar, sambil mempertjapai, bahwa potensi-potensi jang semasa perdjuangan berwudjud njata, tetapi buat sementara tertutup oleh kebutuhan-kebutuhan berbagai rupa, pada satu masa akan dapat menampakkan dirinja lagi.

Usaha-usaha jang didjalankan didalam tahun 1950 untuk memperkenalkan maksud dan tudjuan Pendidikan Masjarakat, berupa penerangan-penerangan, kundjungan-kundjungan kepada Panitia-panitia, re-organisasi-organisasi, pembentukan Kantor-kantor I.P.M. Kabupaten, tuntutan terhadap kursus-kursus dsb nja berhasil dengan meluasnja pengertian dikalangan masjarakat pada awal tahun 1951. Tidak dapat disangkal, bahwa perobahan itu djalannja perallel dengan kehidupan masjarakat jang sudah mulai lumajan dan keinsafan bahwa untuk membangun, pengetahuan pun mendjadi sjarat mutlak. Statistik P.B.H. menundjukkan gerak naik, walaupun tidak tersangkal, bahwa kegiatan mengadjar dari banjak guru-guru P.B.H. masih berdasarkan pada soal keuangan. Hal ini nampak betul pada ketika pemberian bantuan mengalami ketegunan (stagnasi). Tidak sedikit djumlahnja kursus-kursus P.B.H. jang menghentikan peladjaran. Difihak jang lain seperti masjarakat perkebunan, lingkungan-lingkungan perusahaan mengalami kepesatan, diantaranja kami sebut usaha-usaha jang dilantjarkan oleh fihak perkebunan sendiri, Serikat-serikat Buruh seperti Sarbupri dan Perbupri.

Kebangkitan dapat djuga dipastikan adanja dilapangan Kursus Pengetahuan Umum (K.P.U.) Selama tahun 1951 dapat didirikan 25 cuah K.P.U. tingkat A jang mendaftarkan murid sebanjak 886 peladjar, diantaranja 339 wanita, dengan memakai tenaga pengadjar 121 guru. Dari djumlah murid tersebut pada achir kursus hanja terdapat 365 orang pengikut udjian, dari djumlah mana lulus 276 orang. Angka-angka tersebut tidak menjangsikan. Semangat untuk menempuh terus belum dipunjai setjukupnja. Sudah tentu faktor-faktor lain ikut djuga memberi ketentuan: mutu peladjaran, mutu peladjar sebelum masuk, pengharapan-pengharapan jang spekulatif dsb.nja. Akan tetapi keadaan seperti itu tak mungkin lain. Pertanjaan, apakah para tammatan K.P.U. itu setelah mereka kembali kedalam lingkungan pekerdjaannja masing-masing merupakan kader jang berketjakapan, berbudi dan berkemauan baik, masih terlalu disangsikan. Pertama, pada satu fihak oleh karena umumnja tjorak peladjaran jang mereka terima dalam tahun 1951 itu masih tjenderung kearah pengisian otak dan kurang memperhatikan bimbingan praktis. Kedua, djumlah mereka jang tammat itu tak dapat tidak merupakan satu djumlah jang terlalu ketjil untuk dapat dikira sebagai satu tenaga jang berkenjataan. Ketiga, mereka dipersiapkan untuk lingkungan pekerdjaan jang belum berwudjud njata; jaitu desa otonoom.

Urusan Perpustakaan Rakjat berkembang dengan adanja pengirimanpengiriman kitab-kitab batjaan serta madjallah-madjallah dari Djakarta. Djuga dalam hal ini usaha jang didjalankan belum dapat dihitung sebagai satu faktor jang setjara massaal membawa masjarakat ketingkatan pengluasan pengetahuan, apalagi untuk mentjapai taraf ketjakapan membanding. Dalam mendirikan Taman-taman Perpustakaan atau Taman-taman Pembatjaan perlu djuga diperhatikan sjarat oto-aktiviteit masjarakat sendiri, tidak hanja agar buku-buku jang diberikan terdjamin pemeliharaannja, melainkan lebih-lebih untuk mengetahui, apakah permintaan mendirikan Taman Perpustakaan itu benar-benar berdasarkan hasrat membatja dari masjarakat jang meminta. Permintaan serupa itu baru diladeni setelah para peminta memperlihatkan kesungguhan, berupa kegiatan mengichtiarkan ruangan tempat membatja, tempat menjimpan kitab-kitab dan susunan pengurus jang bertanggung djawab atas penjelenggaraan.

Dalam hal urusan Pemuda diambil langkah-langkah untuk membentuk instituut-instituut jang bermaksud menggerakkan pemudapemuda kearah pendidikan diri sendiri, dalam instituut mana mereka dapat bertemu dan bertukar fikiran sebagai dasar bagi setiap bentuk kerdja-sama. Instituut- instituut itu diberi nama PANTI PEMUDA. Tetapi apakah jang dapat diharapkan dari pada maksud bertemu, bertukar fikiran dan seterusnja bekerdja-sama, djika tempat bertemunja tidak ada. Kekurangan akan rumah-rumah ataupun tempat berkumpul terasa merintangi usaha ini. Selain daripada itu faktor-faktor psychologis perlu pula mendjadi perhatian. Kalau pada permulaan dan selama perdjuangan organisasi-organisasi pemuda bersatupadu menggembleng tenaga merupakan satu lapisan jang mengambil tempat digaris-depan, nampaknja setelah berachir perdjuangan dengan kekerasan sendjata, kedjiwaan pemudapemuda itu tidak dapat begitu sadja disalurkan menghadapi tugas-tugas pembinaan. Sebahagian besar dari pemuda-pemuda jang selama revolusi dengan aktif menjertai perdjuangan merasa dirinja sudah asing bagi pekerdjaan-pekerdjaan dilingkungan desa. Sesuatu bentuk tanggungdjawab sudah sempat dipunjainja. Untuk meloloskan diri dari rasa keasingan itu nampak satu tendens pindah kekota mentjari nafkah, paling-paling djatuh sebagai tukang betja! Tidaklah mengherankan, bahwa andjuran untuk mendidik diri tidak bergema dikalangan mereka, terlepas dulu dari rasa ketjewa jang banjak menghinggapi mereka.

Diantara 5 buah Panti Pemuda jang dibangunkan pada tahun 1951 di Seluruh Sumatera Utara belum ada jang dapat dikemukakan sebagai instituut Pemuda jang memenuhi maksud. Tetapi menunggu keadaan sekitar berobah, usaha diteruskan djuga. Pada umumnja berbentuk pemberian tjeramah-tjeramah, menarik perhatian terhadap olahraga dan keinginan membatja.

Dilingkungan organisasi-organisasi wanita djuga terdapat kelesuan, bahkan djuga bajangan perpetjahan. Karena itu dianggap belum masanja untuk melaksanakan pendidikan bagi wanita jang dimulai dengan mengadjak berorganisasi, melainkan langsung sadja menggerakkan wanita-wanita jang sangat membutuhkan pendidikan primair dalam bentuk beladjar membatja dan menulis, sekedar pengetahuan tentang hidup berkesehatan, sekedar berhitung praktis dsbnja. Sementara itu kontak dengan organisasi-organisasi dimulai djuga.

Demikian djuga halnja dengan Kepanduan. Sedjak djaman Djepang organisasi-organisasi Kepanduan mengalami kemunduran, dan kelaupun satu-satu organisasi sedjak tahun 1945 memperlihatkan kebangkitan kembali, maka sampai achir tahun 1951 masing-masing organisasi dapat dikatakan bersikap djatuh-mendjatuhkan satu sama lain. Malah pada achir tahun 1951, ketika diambil inisiatip untuk membentuk sesuatu kerdja-sama diantara organisasi-organisasi Kepanduan itu, terasa harus dilakukan dengan berhati-hati, agar djangan berobah mendjadi perhubungan jang penuh sentimen dan opposisi.

Kemadjuan jang diperoleh dalam tahun 1951 hampir diseluruh lapangan dapat dibangkitkan dan dilajani berkat penambahan djumlah pegawai-pegawai Inspeksi Pendidikan Masjarakat di Daerah dan Kabupaten-kabupaten. Tidak djuga sedikit pengaruh dari pada para pamong jang membantu mewudjudkan usaha-usaha ini. Disana-sini Panitia-panitia mengalami re-organisasi, tetapi perhubungan jang sebaik-baiknja dengan mereka belum dapat dipelihara. Kemadjuan jang diperoleh itu walaupun tidak melontjat tinggi atau mendadak, namun sudah memperlihatkan tanda-tanda akan mulai menghilangnja pengaruh-pengaruh jang melemahkan jang berasal dari masa perdjuangan. Sedikit demi sedikit kesadaran untuk membangun dilapangan pendidikan mulai tampil.

Tahun 1952 dimulai dengan pergolakan. Disatu fihak perobahan jang menggontjangkan didalam sjarat pembiajaan kursus-kursus P.B.H., kelambatan peladenan administratif dalam mana semua instansi jang berhubungan dengan penjelenggaraan itu tersangkut dan mengalami kesulitan. Pada pihak lain kerenggangan perhubungan dengan Panitia Pendidikan Masjarakat di Ketjamatan-ketjamatan diatasi dengan mengadakan Konperensi-konperensi ditiap-tiap Kabupaten. Pendjelasan-pendjelasan tugas-tugas dan penjampaian tanggung-djawab berlangsung dengan intensif. Setelah hampir setiap Kabupaten mengadakannja, diadakan pula satu konperensi jang bertudjuan memberi pendjelasan tentang tugastugas djawatan, kepada pedjabat-pedjabat baru jang tidak sempat menghadiri konperensi dinas tahun 1951. Semua konperensi tersebut memberikan buah jang memuaskan. Baik tenaga-tenaga technis Pendidikan Masjarakat, maupun Panitia-panitia Ketjamatan dapat sebahagian besarnja melihat tugas-tugasnja dalam tjahaja jang lebih terang. Dengan pendjelasan, bahwa urusan Pembanterasan Buta Huruf tidaklah merupakan tugas pemerintah sadja atau tugas Pendidikan Masjarakat, melainkan merupakan satu usaha nasional, dalam mana sebenarnja seluruh lapisan, golongan harus mengambil bahagian. Dengan hal demikian maka djumlah kursus-kursus P.B.H. nampak benar kemadjuannja. Pembanterasan Buta Huruf tidak hanja mementingkan agar dalam tempoh sesingkat mungkin semua masjarakat menguasai ketjakapan membatja dan menulis sebagai formaliteit, melainkan mengutamakan hakekat dari pada membatja dan menulis itu didalam penghidupan sehari-hari setjara politis, ekonomis, sosial dan kulturil, Lambat laun dikalangan masjarakat jang masih buta huruf terasa benar keperluan untuk dapat membatja. Dikalangan orang-orang jang merasa dirinja sedikit banjaknja bertanggung-djawab atas kemadjuan masjarakat itu timbul pengertian untuk menjumbangkan tenaga.

Djadi walaupun oleh karena rasa keketjewaan jang disebabkan tidak lantjarnja pembiajaan tidak sedikit djumlahnja kursus- kursus jang bertutup, statistik menundjukkan kemadjuan pesat. Hasil usaha dari tahun 1951 dapat dipetik dengan penammatan 13.986 peladjar, bilangan mana dalam tahun 1952 bertambah lagi dengan 24.525 peladjar. lagi dengan 24.525 peladjar.

Usaha-usaha dalam lingkungan P.B.H. ini jang didjalankan sedjak semula sampai achir tahun 1951, sudah barang tentu belum dapat terlepas dari tjorak ,,bersahadja", baik oleh karena guru-guru jang memberikan peladjaran banjak benar jang tidak pernah mengetahui ilmu mendidik (apalagi metodik), melainkan ada djuga jang pengetahuannja tidak melebihi seorang tammatan S. R., maupun oleh karena kursus P.B.H. mengingini tudjuan jang lebih dari hanja ketjakapan membatja dan menulis. Itu sebabnja maka pada permulaan tahun 1952 dan seterusnja ditjari djalan memberikan didikan tambahan pada guru-guru P.B.H. dengan djalan madjallah jang chusus memuat didikan tambahan Hari-hari depan akan mewudjudkan hasil dari pada usaha tersebut. Buat sementara waktu sebagai pernjataan dari kegiatan beladjar muridmurid P.B.H. hanja dapat dikemukakan rasa terima kasih mereka terhadap pemerintah jang membuka kesempatan beladjar bagi mereka. Pun djuga sambutan-sambutan dari peladjar-peladjar untuk menjambung lagi peladjarannja jang pertama dengan menempuh peladjaran landjutan atau usaha-usaha jang praktis serta ekonomis-konstruktif dalam bentuk Kursus Kemasjarakatan Orang Dewasa.

Angka-angka tersebut diatas dibanding dengan djumlah buta huruf jang ada di Sumatera Utara dewasa ini (kira-kira 2 djuta) sememangnja belum melukiskan hasil jang gilang gemilang, apalagi kalau mengingat rentjana membasmi buta huruf ditentukan harus selesai dalam tempo 10 tahun, dari tempo mana tinggal 7 tahun lagi. Tetapi soal pelaksanaan P.B.H. ini hanja pada permulaan jang memberi kesulitan, oleh karena beberapa faktor perintang penting jang harus diatasi dulu. Lambat laun tenaga-tenaga pelaksana pun akan lebih banjak djumlahnja serta tinggi mutunja, sehingga dusun-dusun jang terpentjil pun akan dapat dipelihara. Banjak djuga dapat diharapkan dari pelaksana P.B.H. massaal. Pertjobaannja telah dilakukan disemua Kabupaten dalam bulan Agustus 1952, jang menghasilkan kesan-kesan baik tentang kemungkinan P.B.H. pertama, jakni dapat membatja, menulis, imlak dan berhitung praktis jang dapat dibatasi hingga dalam 3 bulan sadja. Sudah tentu hal ini sangat mempertjepat pembanterasan Buta Huruf. Djika kegiatan masjarakat untuk beladjar masih meningkat djuga, tak dapat disangkal bahwa potensi masjarakat akan bertambah.

Kalau didalam tahun 1951 Sumatera Utara baru mempunjai 25 buah perguruan K.P.U. tingkat A jang tjoraknja masih bersahadja djuga dan berat sebelah kepada pendidikan jang mementingkan pengluasan pengetahuan belaka, maka didalam tahun 1952, Sumatera Utara mendirikan 49 buah K.P.U.- A dan 1. buah K.P.U. tingkatan B. Tjorak peladjaran jang dikonstatir diatas tadi serta spekulasi-spekulasi peladjartentang civiel-effect, walaupun belum terbasmi seluruhnja, sudah memperlihatkan tjara berfikir jang menudju kearah maksud sedjati dariK.P.U. Diantara peladjar-peladjar tertjatat tidak sedikit orang-orang jang sudah mempunjai satu kedudukan penting dalam masjarakat, diantaranja penghulu-penghulu kampung, pegawai-pegawai dan pengandjur-pengandjur. Djumlah peladjar pada K.P.U.- A pada achir tahun 1952 tertjatat 1641 peladjar (1476 peladjar laki-laki dan 165 peladjar wanita) dengan djumlah tenaga pengadjar 233 guru. Djumlah peladjar pada K.P.U.- B pada achir tahun 1952 tertjatat 28 orang, diantaranja hanja 2 orang wanita, dengan tenaga pengadjar 6 orang. Dari 20 buah kursus K.P.U.- A jang mengadakan udjian penghabisan diperdapat hasil jang lulus 304 peladjar, jaitu rata-rata 15 peladjar tiap-tiap kursus, sehingga dapatlah diharapkan djika semua kursus setelah mengadakan penammatan, akan menammatkan 49/20 x 304 peladjar = ± 745 peladjar Hasil dari penammatan K.P.U.-B jang diadakan pada bulan Desember tahun 1952 ialah 26 orang jang lulus. Sememangnja hasil penammatan dibandingkan dengan djumlah pengikut tidak sebanding. Hal ini discbabkan, bahwa banjak djuga peladjar-peladjar jang ditengah-tengah kursus meninggalkan peladjaran-peladjaran, sebahagian oleh karena tak dapat mengikutinja, sebahagian lagi oleh karena pindah tempat, dan sebahagian pula karena tidak mendapat apa jang diharapkannja semula. Dari berbagai fihak, tempat bekerdja dari pada tammatan K.P.U. ini diperoleh kesan-kesan baik berupa dapatnja dikonstatir kesungguhan bekerdja, pengertian jang lebih luas serta kegiatan, hal-hal mana diharapkan dari orang-orang kader.

Didalam waktu depan masjarakat kita akan dapat lebih menghargakan instituut K.P.U. itu, dan tindakan terus-menerus untuk memperbaiki mutu dari pada peladjaran-peladjaran dapat diharapkan membawa manfaat.

Didalam urusan Pemuda dapat dikatakan kemadjuan berdjalan dengan lambat, walaupun berupa kenjataan angka Sumatera Utara berhasil membentuk 7 buah Panti Pemuda sebagai tambahan pada 5 buah jang sudah didirikan pada tahun 1951. Kebangunan dalam aktiviteit-aktiviteit ditjoba mentjapainja dengan mengadakan konperensi kerdja Panti Pemuda di Bogor dalam bulan Mei tahun 1952. Akan tetapi mengingat keadaan sebenarnja jang masih meliputi pergerakan pemuda, seperti telah dibahas diatas, buat sementara waktu sesuatu bentuk pessimisme jang sehat mengadjak penindjau jang teliti untuk ber-hati-hati menarik sesuatu kesimpulan. Memang disana-sini terdapat setjara berserak-serak usaha-usaha jang bersifat pembangunan kulturil dilapangan kesenian, olahraga dan pengetahuan, tetapi masih terlalu gegabah untuk menamakannja satu kebangunan. Usaha-usaha untuk mentjiptakan kontak diantara organisasi-organisasi pemuda serta meletakkan dasar bagi keinginan bertukar fikiran terus didjalankan.

Persiapan-persiapan berbentuk kontak dan penelitian dengan dan disekitar organisasi-organisasi wanita didalam tahun 1952 dapat pula memetik buahnja. Diberbagai tempat seperti di Sibolga, Medan, Hutapungkut, Muarasoma, Pematang Siantar, Tandjungbalai, Rantauprapat, Labuanbilik dan Kotapinang telah dapat dibentuk ikatan-ikatan diantara organisasi-organisasi wanita jang wudjudnja merupakan badan-badan penjelenggara berbagai pendidikan jang diperlukan oleh wanita. Beberapa diantaranja sudah pula sampai kepada tingkatan mengambil langkah-langkah persiapan mendirikan sekolah buat anak-anak dibawah umur 6 tahun, mendirikan asrama bagi peladjar-peladjar puteri, mengambil pimpinan dalam perajaan-perajaan jang berhubungan dengan kemadjuan kaum wanita, mengorganiseer Kursus-kursus Pengetahuan Umum dan P.B.H. dan vak chusus kewanitaan. Kegiatan ini sepenuhnja didasarkan kepada oto-aktiviteit organisasi-organisasi tersebut. Walaupun diberbagai tempat gerakan seperti ini belum njata berbentuk badan, namun kegiatan organisasi-organisasi wanita itu dapat diharapkan akan mendjelma djuga berupa eksponen jang penting. Pertanjaan apakah kegiatan kegiatan wanita itu sudah dapat mempengaruhi tjara berfikir masjarakat, masih terlalu siang untuk mendjawabnja. Akan tetapi tidak dapat disangkal, bahwa badan-badan seperti ini pantas diberi tempat selajaknja didalam usaha pembinaan.


Kelandjutan dari kesibukan disekitar dunia Kepanduan jang dimulai pada tahun 1951 ialah dengan terdapatnja dasar kerdja sama jang sehat diantara organisasi-organisasi Kepanduan. Pada permulaan tahun 1952 Kepanduan di Sumatera Timur sudah berhasil dengan pengusulan serta penetapan seorang Kommisaris IPINDO, jang menerima tugas-tugasnja dari IPINDO Djakarta. Sedang di Tapanuli dan Atjeh hubungan-hubungan dengan organisasi Kepanduan tetap mendjadi perhatian untuk pada satu masa dikonkretisir seperti keadaan di Sumatera Timur. Tetapi sebelum sampai ketaraf itu dapat diduga, bahwa banjak lagi kesulitan-kesulitan jang harus diatasi, diantaranja pengertian jang kurang tepat dari organisasi-organisasi baru tentang kedjiwaan asli dari hal mendjadi Pandu itu; pun djuga rintangan-rintangan jang disebabkan kekurangan alatalat, tenaga-tenaga pimpinan dan kemungkinan-kemungkinan mengadakan latihan-latihan seperlunja. Dalam tahun 1952 di Bandung telah dipersiap akan dan ditammatkan tenaga- tenaga untuk mengambil pimpinan kelak didalam usaha -usaha menghidupkan djiwa Kepanduan. Sumatera Utara sekarang mempunjai 3 orang tammatan kursus tersebut, jang menghadapi pekerjaan Kepanduan itu dengan djalan mengadakan hubungan-hubungan, latihan serta penerangan-penerangan. Kalau djiwa Kepanduan meresep dan berkembang lebih dari pada keadaan sekarang, tentulah bukan sedikit pengaruhnja.


Usaha untuk mengembangkan olahraga mempunjai beberapa segi sebagai pengisi waktu terluang jang tidak ketjil artinja dilihat dari segi pendidikan, jakni memadjukan kesehatan djasmani dan meresapkan pada masjarakat kedjiwaan sportman-ship. Tetapi objek chusus bagi Pendidikan Masjarakat dalam lapangan ini ialah pengembangan kesedaran berorganisasi, oto-aktiviteit. Oleh karena itu maka pemberian bantuan alat-alat pun disesuaikan dengan maksud itu. Organisasi-organisasi olahraga jang sudah kokoh tidaklah lagi memerlukan bantuan materiil. Jang memerlukannja ialah masjarakat di-desa-desa jang ingin mentjiptakan kumpulan-kumpulan jang didukung oleh kegiatan, tetapi tidak mampu membeli alat-alat untuk menumbuhkannja.


Walaupun didalam kota-kota di Sumatera Utara antara lain berkat peristiwa mengadakan PON-III di Medan pada tahun 1953, sudah nampak kesibukan-kesibukan berlatih, mengadakan pertandingan-pertandingan, mengadakan pertemuan-pertemuan dsb.nja, adalah mendjadi kegembiraan bagi kita, namun einginan dan kesempatan berolahraga belum setjukupnja terdapat di-daerah-daerah sekitar kota, apalagi di-desa-desa.


Disamping permainan- permainan jang umum digemari orang seperti bola kaki dan bulutangkis, Pendidikan Masjarakat mengichtiarkan memperkenalkan permainan-permainan jang lain seperti volley-ball dan ateletik. Hasil-hasil jang diperoleh didalam tahun 1952 berupa tumbuhnja organisasi-organisasi olahraga di-wilajah-wilajah luar kota. Pertandingan-




686 pertandingan jang sudah beberapa kali diadakan terhitung volley-ball sebagai permainan jang ikut digemari, dilihat setjara objektif memang masih ketjil artinja. Tetapi dengan usaha terus-menerus hasilnja akan tidak mengeketjewakan.


Bahan batjaan bagi masjarakat jang terbanteras buta hurufnja adalah satu pekerdjaan terus-menerus jang tidak boleh tidak harus dikerdjakan. Bagi peladjar-peladjar P.B.H. Pertama serta Landjutan mendjadi satu persoalan pokok bagaimana menjalurkan ketjakapan membatja jang diperoleh mereka itu agar setjara positif merupakan keuntungan jang permanen. Untuk maksud itu di Daerah I (Sumatera Utara) sudah terbuka 175 buah T. P. Pengantar, dan 174 buah T.P.R.-A. Hanja sangat disesalkan bahwa persediaan kitab-kitab adalah demikian terbatasnja (buku-buku dalam bahasa Indonesia jang setaraf dengan pengetahuan desa!), sehingga T.P. Pengantar itu belum mendjadi sumber jang setjukupnja memantjarkan pemeliharaan pendidikan untuk seterusnja. Demikian djuga T.P.R.-A. Dalam hal ini TP.R. tingkat B jang djumlahnja 26 buah tidak sebegitu hebat mengalami kesulitan, jang menjulitkan ialah tenaga penjelenggara. Semua T.P.R. jang 26 buah itu masih diladeni oleh orang-orang jang ditundjuk oleh Panitia-panitia Pendidikan Masjarakat. Tentu sadja keahlian belum dapat diharapkan dari mereka. Mengingat T.P.R. tingkat C ada 2 buah jang aktif, mempunjai persediaan buku jang agak memuaskan, mempunjai staf penjelenggara jang memadai dan dapat menghidangkan batjaan untuk kalangan terpeladjar. Minat untuk membatja masih belum seperti jang diharapkan.


Kalau dibandingkan djumlah serta hasil T.P.R. 2 di Sumatera Utara dengan nilai jang terdapat pada sesuatu perpustakaan umumnja, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa urusan Perpustakaan Rakjat masih berada dalam taraf bersahadja, walaupun dirasakan, bahwa keperluan akan T.P.R. 2 itu ber-lomba-lomba dengan usaha Pembanterasan Buta Huruf, bahkan di waktu depan mendapat titik berat sesudah rentjana P.B.H. akan selesai. Meskipun hidupnja semangat membatja bukanlah merupakan satu benda jang dapat ditumbuhkan setjara mendadak, tetapi djumlahdjumlah jang dikemukakan diatas serta perlengkapannja adalah djauh dari pada menjanggupi kebutuhan masjarakat.


Kursus Kemasjarakatan Orang Dewasa (K.K.O.D.) jang dimaksud sebagai satu instituut jang mendidik masjarakat kearah berusaha praktis, pada tahun 1952 belum dapat diberikan. Kalau dibandingkan dengan keadaan di Djawa, masjarakat di Daerah I akan lebih lambat dalam mendirikan kursus-kursus seperti ini. Salah satu faktor di Djawa jang menjuburkan pertumbuhan K.K.O.D. ini ialah padatnja penduduk dan kurangnja mata pentjaharian berupa pertanian, perternakan dan sebagainja, sehingga merupakan tjemeti tersendiri djuga bagi masjarakat untuk memikirkan penambahan penghasilan dengan usaha-usaha lain, seperti keradjinan tangan, penggiatan dari usaha-usaha jang sudah ada dsb.-nja. Faktor penghasilan tadi di Sumatera Utara tidak sedemikian dirasakan desakannja. Usaha-usaha kedjurusan pendirian- pendirian K.K.O.D. baru bersifat persiapan-persiapan dan penerangan-penerangan, jang walaupun lambat dapat diharapkan buahnja pada tahun depan dan tahun seterusnja.

Seperti disinjalir dalam kata pendahuluan, bahwa usaha-usaha Pendidikan Masjarakat buat sementara waktu masih polemis. Chusus hal ini dirasakan di Sumatera Utara, jang penduduknja boleh dikatakan kritis, dan tjara penghidupannja di banjak wilajah-wilajah menundjukkan bajangan berpeseorangan. Menggerakkan satu-satu usaha djarang mendapat sambutan dengan serta merta. Djadi potensi -potensi harus ditjarikan dalam bidangan lain daripada ,,kedjiwaan kelompok".

Kemadjuan-kemadjuan jang diperoleh sedjak pendasaran usaha Pendidikan Masjarakat hingga pada waktu ini memberikan alasan untuk menghadapi waktu depan dengan pengharapan, meskipun pada tempatnja djuga menjatakan disini, bahwa kesabaran mengasih usahausaha harus tjukup ada.


————
688

C. MASJARAKAT SOSIAL DAN TOLONG-MENOLONG


 Dalam menindjau sedjarah perkembangan kesosialan didaerah Sumatera Utara dengan menaruhkan titik-berat pada segi perkemanusiaan, maka perlu diketahui bahwa Sumatera Utara sebagai propinsi Indonesia jang letaknja terudjung disebelah Barat itu adalah meliputi 3 buah daerah dengan golongan penduduk, jang satu sama lain berlain lainan pembawaan. Berbeda-bedanja pembawaan ini adalah suatu faktor jang tak dapat diabaikan dalam melantjarkan usaha-usaha kesosialan dari segi perikemanusiaan menurut tjita-tjita kekeluargaan bangsa kita.

 Selain dari perbedaan kejakinan beragama antara satu dengan lain penduduk daerah, terdapatlah pula perbedaan tingkat penghidupan, ditilik dari segi perekonomian. Terutama didaerah Sumatera Timur, jang sedjak sebelum perang sudah terkenal sebagai daerah sasaran modal-modal besar bangsa asing, nampak njata perbedaan tingkat penghidupan itu.

 Medan sebagai ibukota propinsi merupakan pula pusat kegiatan perekonomian, dimana peranan pertama sebenarnja masih tetap terpegang ditangan bangsa asing, jang dibandingkan dengan di Tapanuli atau di Atjeh, adalah-lebih banjak djumlahnja di Sumatera Timur.

 Mulai dari kantor-kantor dan bank-banknja sebagai pusat kegiatannja diibukota propinsi ini, maka pengusaha-pengusaha asing itu sudah sedjak lama sebelum perang mendirikan perkebunan-perkebunan modern beserta pabrik-pabriknja jang menghasilkan bahan-bahan mentah penting untuk perdagangan eksport. Tidaklah pula diherankan, bahwa pada pengusaha-pengusaha asing inilah, jang umumnja terdiri atas bangsa-bangsa kulit putih terdapat tingkat kemakmuran hidup jang pertama.

 Sesudah itu terdapat pula golongan bangsa Tionghoa sebagai pemegang tingkat kemakmuran hidup jang kedua. Mereka ini terutama mengusahakan perdagangan bahan-bahan makanan dan lain-lain alat keperluan jang lebih langsung bagi penghidupan sehari-hari.

 Dan barulah kemudian terdapat bangsa Indonesia sendiri, sebagai jang menempati tingkat penghidupan jang ketiga atau terendah.

 Demikianlah, kalau ditindjau dari katjamata kebangsaan, disamping dilihat dari segi perikemanusiaan, maka diantara program-program kesosialan jang harus dilantjarkan sesudah tertjapai kemerdekaan dan kedaulatan bangsa kita, ialah dengan menghilangkan kepintjangan-kepintjangan kesosialan dilapangan kehidupan ekonomi itu, chususnja di Sumatera Utara.

 Lebih dalam haruslah dapat disedari, bahwa kepintjangan jang terlihat dimata adalah biasanja mengakibatkan pula kepintjangan dalam perasaan. Dapat kiranja dipahami, bahwa kepintjangan perasaan itulah jang selalu mudah mendjadi sumber perkembangan-perkembangan jang tidak diingini didalam masjarakat. Memang kemerdekaan jang sudah kita perdjuangkan dengan mahal itupun tidaklah lain dari menudju tertjapainja suasana kehidupan jang bebas dari kepintjangan-kepintjangan, bersih dari nafsu mementingkan diri sendiri-sendiri dan seterusnja dapat mengisi perdamaian dan kesedjahteraan hidup bersama diatas dasar harga-menghargai, tolong-menolong setjara kekeluargaan dan perikemanusiaan.


Akan tetapi kepintjangan-kepintjangan jang dialami selaina ini tidaklah dapat dihilangkan dengan sembojan-sembojan dan tjita-tjita belaka, dengan tiada disertai oleh tindakan-tindakan dan perbuatanperbuatan jang njata, berpedomankan rentjana dan perhitungan jang masak pula. Inilah djuga tugas luhur, jang memang segera harus kita penuhi sesudah terbitnja fadjar kemerdekaan untuk bertanggung djawab atas nasib diri kita sendiri !


Maka lebih dari usaha -usaha ekonomi sadja, jang memang harus dilantjarkan dengan effisiensi jang sebesar-besarnja, tidaklah pula kurang pentingnja dilantjarkan usaha-usaha dari segi perikemanusiaan didalam pemulihan kesosialan kita dari keruntuhan-keruntuhan akibat perang, pendjadjahan dan gelombang-gelombang revolusi kita sendiri.


Keruntuhan kesosialan itu tidak dapat dipulihkan dalam waktu jang dekat, melainkan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi kita sendiri dengan dilengkapi oleh usaha-usaha kita jang mengembangkan perikemanusiaan, jaitu dengan tolong-menolong antara sesama kita diatas dasar tjita-tjita kekeluargaan kita jang tradisionil : gotong-rojong !


Diperhatikan selama perkembangan sesudah kemerdekaan dan kedaulatan tertjapai, maka kegiatan-kegiatan jang dimaksud diatas njata tidak dialpakan sama sekali, sehingga dengan demikian, dibandingkan dengan keadaan semasa pendudukan Djepang, berangsur-angsur masjarakat di Sumatera Utara kembali menudju perbaikan-perbaikan,


Akan tetapi sudah teranglah ini tidak berarti, bahwa semua kepintjangan-kepintjangan dan perasaan-perasaan kepintjangan jang sudah ada itu hilang dari masjarakat.


Tekanan ekonomi masih tetap dirasai dipelbagai kalangan masjarakat.


,,Penjakit-penjakit" masjarakat masih belum dapat terbanteras sama sekali, misalnja sadja djumlah pengemis-pengemis belum dapat habis dikembalikan sebagai warga jang terhormat dalam masjarakat.


Sebaliknja tidaklah pula mutlak benar, kalau dikatakan, bahwa ,,penjakit-penjakit” masjarakat itu ialah akibat dari tekanan ekonomi semata-mata ! Anggapan demikian kiranja hanja akan merendahkan deradjat manusia dari machluk jang berpribadi untuk sanggup memperbedakan jang baik dengan jang buruk, Disinilah pula sebenarnja titik-berat harus diletakkan, bahwa pemulihan kesosialan kita dari keruntuhan-keruntuhan itu akan banjak bergantung kepada usaha-usaha jang menghidupkan dan menggembangkan perikemanusiaan sendiri !


Pribadi jang kokoh, jang mempunjai rasa-hormat-diri jang kuat, ialah benteng dalam menghadapi rupa-rupa pertjobaan hidup. Hingga bukanlah manusia harus mendjadi objek suasana sekitarnja semata-mata, tetapi sebaliknja mendjadi subjek jang dapat mengikuti dan memperhitungkan sendiri perkembangan-perkembangan jang dihadapinja. Dalam hal demikian kesanggupan itu akan mendjadi lebih besar dan lebih terdjamin lagi, dimana perasaan kesosialan berkembang dengan mekarnja. Sungguh perasaan kesosialan ini harus berakar mendalam pada bangsa kita, terutama dalam taraf-taraf sedjarah kemerdekaan kita dibina dari keruntuhan kepada pembangunan. Kegiatan ekonomi bagi pemulihan keruntuhan kesosialan itu kiranja mendjadi lebih lantjar dan lebih harmonis lagi dengan hidupnja semangat tolong-menolong antara sesama kita untuk berbuat dan berusaha dari segi perikemanusiaan.


PEMBANGUNAN DJAWATAN.


Guna pembimbing itulah dipropinsi Sumatera Utara dibentuk Djawatan Sosial, jaitu pada tanggal 17 Maret 1951, jang diperluas dengan Kantor-kantor Sosialnja dikabupaten-kabupaten.


Dalam hubungan ini lebih dahulu baik kita djelaskan, bahwa Djawatan Sosial tidak mempunjai tradisi dizaman sebelum merdeka, Dahulu usaha kesosialan hanja merupakan bahagian dari Departement van Justitie jang tugasnja berpokok kepada maatschappelijke zorg. Tudjuannja dalam banjak hal hanja menutupi kedjelekan-kedjelekan jang ada, dan bukan bersifat memperbaiki atau mendidik orang-orang jang rusak atau lemah kesosialannja.


Setelah proklamasi, oleh Republik Indonesia di Jogjakarta dilahirkan sesuatu kementerian dengan nama Kementerian Sosial dan Perburuhan. Pada awal tahun 1946 Kementerian tersebut memperluas tjabangtjabangnja keseluruh Indonesia, Sumatera Utara dalam hal ini berhubung dengan situasi pada waktu itu membentuk kantor-kantor Sosial didaerah-daerah Atjeh, Tapanuli dan Sumatera Timur daerah Republik.


Dengan segala alat jang ada padanja, Djawatan Sosial melantjarkan aksinja pertama-pertama bagi pemulihan fakir-miskin jang bergelandangan, jang kebanjakan didapati di-kota-kota besar. Sebagai kenjataan tidak selamanja tekanan ekonomi itu menjeret manusia kedjurang keruntuhan, karena tidak setiap jang bergelandang itu benar-benar karena miskin dan bernasib melarat se-mata-mata.


Dengan tidak mentjoba memandang enteng djumlah pegelandangpegelandang, pengemis-pengemis dsb itu, maka tidak urung pula diantara mereka terdapat jang hanja mendjadikan perelandangan itusebagai ,,matapentjaharian" pula. „Mereka jang demikian ini sebenarnja malas, sebab tubuhnja sehat dan masih sanggup untuk mentjari nafkah setjara jang lajak.


Lagipula diantara mereka jang sudah diasramakan, jaitu jang sudah dikumpulkan dan dirawat dirumah-rumah perawatan jang dibuka diibu-ibu-kota kabupaten, tidak djarang jang melarikan diri, dan lebih suka mengulangi hidup bergelandangan dari dididik kembali mendjadi warga jang baik.  Berhubung dengan itu oleh Djawatan Sosial diandjurkan kepada masjarakat, supaja mereka-mereka jang mengemis-mengemis dari tangga ketangga itu djangan dilajani, melainkan ditundjukkan kembali kepadanja, supaja pulang ke-rumah-rumah perawatan jang terdekat.

 Sebaliknja adanja rumah-rumah perawatan sosial itu bukanlah ditudjukan untuk menjantuni se-mata-mata mereka jang dirawat, tetapi terutama — sesuai dengan rentjana pemulihan kesosialan — adalah untuk membangkitkan dalam diri mereka jang dirawat itu djiwa baru jang segar, semangat untuk bergiat dan berusaha kearah mengurangi kepintjangan-kepintjangan kesosialan.

 Dalam hal itu tidaklah dapat dikatakan, bahwa Djawatan Sosial dengan Kantor-kantor Sosialnja dikabupaten-kabupaten itu sudahlah memadai untuk mentjapai apa jang dimaksud.

 Memang pada waktunja tidak djuga terelakkan pengertian jang timbul diantara golongan-golongan tertentu dalam masjarakat jang menjangka, bahwa Djawatan Sosial itulah suatu ,,badan" tempat mereka mengadukan nasibnja, tempat mereka meminta perlindungan dan djaminan penghidupan. Dan sebenarnja pula Djawatan Sosial dimana perlu dan mungkin ada memberikan bantuan-bantuan materiil.

 Akan tetapi dimana kemungkinan-kemungkinan sangat terbatas disegala lapangan pengeluaran materiil, maka jang diutamakan dengan Djawatan Sosial ialah membimbing golongan atau mereka-mereka jang lemah dari segi kesosialan kearah pembangunan kembali djiwa bagi pengerahan tenaga bersama, mengurangi kepintjangan-kepintjangan kesosialan itu sendiri!

 Inilah antara lain perbedaan tudjuan usaha sosial dizaman pendjadjahan dengan dizaman berpemerintahan sendiri sekarang. Kalau dulu lapangan usahanja sekedar untuk menjantuni mereka dalam bentuk maatschappelijke zorg, bagi kita jang utama ialah untuk mendidik mereka supaja dapat dan sanggup berdiri sendiri sebagai warga jang berpribadi.

 Pengertian-pengertian jang menjandarkan penghidupan kepada pemberian dan pertolongan pihak lain sadja, harus dipertipis dan achirnja dilenjapkan. Dengan demikian ber-angsur-angsur pemberian pertolongan kearah perbaikan masjarakat didjalankan dalam bentuk moril sadja, ketjuali terhadap mereka-mereka jang dianggap masih sangat memerlukan bantuan materiil. Diantaranja ialah mereka jang tiba-tiba ditimpa oleh bentjana alam, seperti kebakaran, diserang bandjir, topan dan sebagainja. Akan tetapi disinipun Djawatan Sosial tidak dapat memberikan bantuan setjukupnja, sehingga korban-korban dapat dipulihkan kembali dalam sebentar waktu . Terhadap udjud perbantuan terhadap bentjana alam Djawatan Sosial sebenarnja mempunjai funksi untuk mengisi kekosongan (vacuum) segera setelah bentjana itu timbul, jakni untuk mentjegah kemungkinan terdjadinja kemelaratan jang lebih besar dan bukan untuk mengganti kerugian jang diakibatkan bentjana itu. Selandjutnja usahanja ditudjukan untuk membangun potensi masjarakat sekitarnja dengan melalui gerakan-gerakan organisasi Dalam hal ini dapatlah dikemukakan sebagai tjontoh bentjana alam jang terdjadi pada awal tahun 1953 di beberapa tempat di Atjeh. Demikian tjepatnja datang pengisian kekosongan itu dalam bentuk menjusun dan memulihkan masjarakat dari kedjutannja semula, hingga ada diantara para penindjau jarg datang kemudian setelah bentjana terdjadi memperoleh kesan, seolah-olah berita-berita tentang bentjana alam itu terlalu di-besar-besarkan.


Demi sesungguhnja bentjana alam di Atjeh itu besar sekali !


INISIATIF RAKJAT


Selebihnja usaha-usaha Djawatan Sosial sejogjanjalah disampingi oleh usaha-usaha jang timbul dari inisiatif di-tengah-tengah masjarakat sendiri.


Sebagai tjontoh jang njata dan besar ialah santunan masjarakat terhadap pengungsian rakjat Sumatera Timur ke Tapanuli, Atjeh dan Minangkabau sebagai akibat agressi kesatu. Menurut tjatatan kasar djumlah pengungsi kedaerah Tapanuli jang terus ke Minangkabau adalah 200.000 djiwa dan ke Atjeh 150.000 djiwa. Dalam hal ini dapatlah ditemukan baiknja sambutan masjarakat diketiga daerah itu, sehingga pengungsian dilakukan dengan teratur, walaupun pada achirnja timbul djuga kesulitan-kesulitan jang agak pajah untuk mengatasinja.


Pengharapan terhadap inisiatif masjarakat selandjutnja di Sumatera Utara tidaklah tinggal pengharapkan belaka. Seperti diantaranja terbukti, bahwa disamping rumah-rumah perawatan Pemerintah jang diselenggarakan oleh Djawatan Sosial, telah timbul djuga inisiatif di-tengah-tengah masjarakat sendiri jang mengatur badan-badan amal, mendirikan rumahrumah perawatan bagi anak-anak jatim-piatu. Usaha-usaha ini tumbuh dengan suburnja dan oleh Pemerintah diberi pula subsidi.


Rumah-rumah perawatan jang diselenggarakan oleh Djawatan Sosial ialah :


Rumah-rumah Amal di Pungai (Kabupaten Langkat), Tiganderkat (Kabupaten Karo), Panaitongah (Kabupaten Simelungun), Tandjungbalai 2 buah (Kabupaten Asahan), Rantauperapat (Kabupaten Labuhanbatu), di Hephata dan di Sidikalang (Kabupaten Tapanuli-Utara). Selandjutnja Rumah-rumah Kesedjahteraan Sosial di Sibolga (Kabupaten Tapanuli-Tengah), di Padangsidempuan dan Muarasipongi (Kabupaten Tapanuli-Selatan), Langsa (Kabupaten Atjeh Timur), Takengon (Kabupaten Atjeh Tengah), Meulaboh (Kabupaten Atjeh Barat), Tapak Tuan (Kabupaten Atjeh Selatan) dan Gunung Sitoli (Kabupaten Nias).


Dirumah-rumah perawatan tersebut dirawat fakir-miskin, penderita tjatjat, orang buta, anak-anak terlantar, anak-anak nakal, jatim-piatu, dan baji jg ta' diketahui orang tuanja.


Dalam perawatan ini termasuk bekas-bekas pentjopet, hingga dengan demikian kota-kota besar boleh dikatakan bersih dari aksi pentjopetan, setidak-tidaknja tidaklah lagi begitu mentjolok mata. Diantara rumah-rumah perawatan partikelir terdapat 4 buah kepunjaan "Al-Djamijatul Washlijah", jaitu 2 di Medan, 1 di Lubukpakam dan 1 di Bindjai, dan 1 buah kepunjaan Al Ittihadijah, semuanja sebagai tempat perawatan dan pendidikan anak-anak jatim piatu. Seterusnja 2 buah kepunjaan Leger des Heils di Medan, 2 buah kepunjaan Sint Theresia Stichting di Medan, 1 buah Rumah Amal Tionghoa di Kampung besar Labuhan, 1 buah rumah amal Muhammadijah di Kotaradja dan Sigli, 4 buah Rumah Penjantunan PUSA di Atjeh, jaitu masing-masing di Takeungon, Sigli, Meulaboh dan Tapaktuan.


Menjinggung tentang usaha-usaha pokok jang telah didjalankan dapat ditjatat usaha-usaha perawatan jang telah berkembang, hingga umpamanja di Sibolga, Hephata dan Pungai, dimana rumah-rumah perawatan itu telah merupakan satu eksploitasi jang tidak melupakan dasardasar dari rumah pendidikan itu sendiri. Di Kutaradja anak-anak perawatan telah berhasil mendirikan sebuah asrama sendiri dengan hanja dipimpin oleh seorang kepala, disamping perawatan Muhammadijah jang selain memberi pendidikan umum djuga mengadjarkan usaha-usaha peternakan, pertanian dan lain-lain.


PENJAKIT MASJARAKAT.


Dalam rangkaian pemulihan penjakit-penjakit masjarakat itu mengambil tempat jang istimewa pula pembasmian pelatjuran. Selain njata-njata bertentangan dengan kesusilaan dan perikemanusiaan, pelatjuranpun dapat mendjadi sumber penularan penjakit jang berbahaja ditengah-tengah masjarakat dan merusak keturunan.

Di Sibolga pembasmian pelatjuran itu dipelopori oleh badan jang bernama „Panitya pembanterasan Pelatjuran Perzinaan”. Hasil-hasilnja ternjata baik.


Di Medan menjusul pula kemudian pembentukan „ Badan Pembanteras Kemaksiatan".


Gerakan ini mendapat sambutan jang baik dan dibantu pula oleh organisasi-organisasi wanita dan seperti pada pembanterasan pegelandangan fakir-miskin, anak-anak nakal dsb., dimana terkadang diperlukan tindakan jang ,,drastis" (tegas), maka djuga pada pembanterasan pelatjuran ini, pihak kepolisian turut memberikan bantuan.

Mereka jang ada kaum keluarganja, dikembalikan kepada kaum keluarganja dengan diberi peringatan dan nasihat jang perlu-perlu. Selainnja, jang perlu diperbaiki kembali budi-pekertinja, diasramakan dirumah perawatan sosial, dimana mereka dididik, rohani maupun djasmani. Mereka jang berpenjakit beroleh pemeriksaan dokter.


Ada djuga diantara mereka jang oleh karena gerakan pembanterasan ini berpindah kekampung dimana mereka terpaksa mengikuti tjara-tjara Kehidupan masjarakat kampung, djika mereka tidak ingin di-,,resolusi"kan oleh organisasi-organisasi rukun tetangga seperti jang telah beberapa kali terbukti,


Dengan segala usaha ini belumlah dapat dikatakan, bahwa pembanterasan 100 % dalam masaalah pelatjuran sudah berhasil, akan tetapi apa jang dinamakan pelatjuran jang menjolok mata sudah tak ada lagi diseluruh Sumatera Utara. Bagi daerah-daerah jang menurut sifatnja pembanterasan penjakit masjarakat itu tak mungkin dapat dilakukan, Djawatan Sosial telah berhasil pula melokalisir daerah operasi mereka mendjadi seketjil-ketjilnja.


Demikianlah pada garis besarnja, politik dan kebidjaksanaan penglaksanaan program pemulihan kesosialan kita jang memberi masjarakat keinsjaran dalam arti kesosialan, dengan turut sertanja berusaha memelihara ketenteraman dan keamanan djiwa dan harta di-tengah-tengah masjarakat.


Pemberian keinsafan ini didjalankan terutama dengan peneranganpenerangan lisan maupun tulisan (poster) dan tidak ketinggalan melalui tjorong radio maupun persuratkabaran.


Di-kampung-kampung diadakan pertemuan-pertemuan dengan kepala-kepala kampung, dimana diberikan ber-bagai-bagai pengertian dalam arti kesosialan itu serta diandjurkan membentuk Rukun-rukun Kampung/Tetangga, Lumbung-lumbung Desa dan sebagainja untuk mentjegah timbulnja ataupun meluasnja penjakit-penjakit masjarakat, jang membahajakan ketenteraman dan keamanan djiwa dan harta di-tengah-tengah masjarakat.


Achirnja dapat lagi ditjatatkan disini pendirian Taman Pembatjaan Sosial" di Sibolga, jang merupakan pelopor pembukaan djalan bagi anggota-anggota masjarakat kearah menambah kemadjuan dilapangan pengetahuan dan mempererat silaturrahim antara satu sama lain.


Oleh kepala-kepala Kantor Sosial di-kabupaten-kabupaten lainnja inisiatif tersebut dikembangkan pula. Ada jang dengan pimpinan dan penglaksanaan sendiri, dan ada jang atas andjuran sadja, taman pembatjaan sosial itu didirikan oleh masjarakat dengan bantuan Djawatan, seperti di Barus, Padangsidempuan dan lain-lain.


Maksud dan tudjuan ini semua tidaklah lain, agar masjarakat berangsur-angsur menambah djua ketjerdasannja dan dengan demikian mentjapai perbaikan mentaal atau budipekertinja, jang begitu penting artinja bagi usaha-usaha pemulihan kesosialan kita dari keruntuhan-keruntuhan.

Dengan memasuki tahun 1953 ini Djawatan Sosial Sumatera Utara mempunjai rentjana selain dari meneruskan objek- objek jang telah ada, djuga akan memusatkan usaha-usahanja terhadap :

a. Organisasi-organisasi rukun-tetangga dan lumbung-lumbung desa
b. memperdalam atau mengintensivir pendidikan dirumah-rumah perawatan jang kira-kira 30 buah djumlahnja itu.
c. mengadakan penjuluh sosial jang lebih luas dan merata kepada masjarakat, agar tertjapai tudjuan Kementerian sosial jang termaksud dalam kata:

Homo sacra res homini, maksudnja: maka mulialah manusia itu kepada manusia lain, dengan dasar mengutamakan ke-kita-an dari ke-aku-an.

PENGEMBALIAN PEDJUANG KEDALAM MASJARAKAT.

Pada waktu akan berachirnja tahun 1951, chususnja dibeberapa kabupaten bekas daerah Sumatera Timur, memuntjaklah kegiatankegiatan bersendjata dari bermatjam-matjam gerombolan. Gangguangangguan itu tidaklah terbatas pada perampokan-perampokan, pentjulikan sadja, akan tetapi sampai kepada pembakaran kampung-kampung, pentjegatan motor bus dan tindakan-tindakan lain jang diluar batas peri kemanusiaan.


Sabagai akibatnja timbullah lagi pengungsian-pengungsian penduduk terutama dari desa-desa jang selalu terantjam itu ke-kota-kota jang agak aman dengan terpaksa meninggalkan segenap usahanja dikampung. Dalam hal ini alat-alat keamanan negara walau dengan bantuan rakjat tidak terlalu berhasil dalam usahanja mengadakan gerakan-gerakan pembersihan terhadap gerombolan-gerombolan liar tersebut.


Ada beberapa hal jang kemudian dapat diketahui, jakni gerombolan berdjumlah ratusan tersusun dalam ber-matjam organisasi dan terdiri pada umumnja dari bekas-bekas demobilisan tentera, ex lasjkar dan pedjuang-pedjuang gerilja dulu. Mereka tak merasa puas dengan hasil kemerdekaan jang telah diperdapat sampai sekarang, tidak puas pada tindakan-tindakan Pemerintah terhadap diri mereka dan belum dapat menjesuaikan diri kepada masjarakat dan negara hukum. Disamping itu ada djuga terlihat tanda-tanda kriminaliteit jang disebabkan karena hanja mementingkan kedirian, tanda-tanda kerusakan achlak akibat kedjadian-kedjadian jang lalu.


Akan tetapi Pemerintah nasional kita masih tetap berdiri diatas semasa keadaan jang bersimpang siur itu dan dengan tidak djemu-djemunja menjusun segala kekuasaan jang ada padanja untuk mengembalikan tata tenteram itu ditengah masjarakat.


Demikianlah dengan bekerdjasama dengan beberapa djawatan lain jang erat hubungan tugasnja pada soal-soal keamanan, diambillah inisiatif baru disamping mempergiat tindakan-tindakan militer, untuk mengadakan hubungan-hubungan tertentu dengan pemimpin-pemimpin gerombolan tersebut, agar mereka suka menjerah dan disalurkan kembali kedalam masjarakat menurut bakat-bakat kesanggupannja masing-masing sebagai warga-warga jang bertanggung djawab.


Setelah menempuh ber-matjam-matjam djalan dan menghadapi berupa-rupa kesulitan technis, pada bulan Maret 1952 mulailah nampak, bahwa usaha-usaha Pemerintah akan berhasil.


Rombongan pertama ex pedjuang jang tersusun dalam organisasi B.R.R.I. dan bergerak disekitar kabupaten Deli/Serdang, berdjumlah 304 orang menjerahlah pada Pemerintah dengan segala sendjatanja. Rombongan pertama ini ditampung sementara sebelum disalurkan di Rumah Perawatan Sosial Pungai, diawasi oleh kesatuan-kesatuan mobiel.


Bahwa tjampurtangan Djawatan Sosial dalam hal ini, dilakukan dengan hati ber-debar-debar, tentulah dapat dimengerti kalau di-ingat akan tidak adanja pengalaman dan belum diperdapatnja sesuatu pernjataan apapun dari Kementerian mengenai soal-soal penampungan itu. Disamping itu ada pula suara-suara dari beberapa kalangan jang mengatakan, bahwa Djawatan Sosial tidak bertugas dalam soal-soal demikian.

Akan tetapi bertugas atau tidak, kemauan jang keras untuk ikut menjegerakan pemulihan keamanan, membawa Djawatan Sosial dengan segala konsekwensinja tjampur serta dalam soal penampungan bekasbekas gerombolan itu.

Dengan menjerahnja rombongan ke-6 (jang terachir) pada bulan Agustus 1952, rampaklah neratja keamanan menudju kepada perbaikan; dan njatalah bahwa tindakan-tindakan Pemerintah masih belum terlambat. Rakjat jang tadinja mengungsi dapat kembali kekampung halamannja meneruskan usaha-usaha kemakmuran jang terbengkalai tadinja.

Masjarakat didaerah propinsi Sumatera Utara puas dengan kebidjaksanaan dan ketjepatan bertindak Pemerintah jang dengan demikian tenaga jang tadinja aktif mengatjau, sekarang kembali dapat diharapkan mendjadi tenaga- tenaga jang menghasilkan.

Dapatlah diterangkan pula disini usaha jang didjalankan Djawatan Sosial untuk mengembalikan alam pikiran bekas-bekas pedjuang tersebut kepada suasana jang normaal dengan memberi mereka pengertianpengertian bernegara, arti negara demokrasi, pembanterasan butahuruf dan pendidikan Agama menurut kejakinan masing-masing. Disamping itu Mobrig sebagai pengawas mereka memberi pula latihan-latihan gerak badan dalam bentuk ber-matjam-matjam.

Berangsur-angsur dilangsungkan pula penjaluran anggota-anggota bekas pedjuang itu — setelah diadakan screening — kesekolah-sekolah Polisi, kelatihan-latihan pertanian, perikanan, keperusahaan-perusahaan dan kedjawatan-djawatan Pemerintah. Disamping itu ada pula jang dikembalikan kekampungnja masing-masing, berhubung telah mempunjai mata pekerjaan sendiri jang tertentu ditempatnja. Demikianlah dengan kejakinan bahwa bagaimanapun djuga hebatnja keadaan itu, kemauan jang baik akan tetap menang, Djawatan Sosial Sumatera Utara turut memberi tenaganja menjalurkan 737 anggota ex gerombolan kembali kedjalan jang benar.

Djuga seperti usaha-usaha jang lain perlu diakui, bahwa usaha ini belum seratus persen berhasil dengan sempurna, akan tetapi dengan bantuan masjarakat sendiri, kita boleh optimis, bahwa penggangguan keamanan jang bersifat melepaskan rasa tidak puas, akan dapat didjamin di Propinsi Sumatera Utara.

D. PEMELIHARAAN KESEHATAN RAKJAT.

Setelah penjerahan Djepang kepada tentera Sekutu dan pada masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bulan Agustus 1945, maka tugas Kesehatan Rakjat di Propinsi Sumatera Utara didjalankan dibawah pimpinan Dr. Djabangun untuk Keresidenan Sumatera Timur, Dr. Sinaga untuk Keresidenan Tapanuli dan Dr. Mahjudin untuk Keresidenan Atjeh.

Ketiga-tiganja langsung berada dibawah pengawasan dari dan bertanggung djawab kepada Inspektur Kesehatan Propinsi Sumatera, ketika itu Dr. Azir dan wakilnja Dr. Sahir Nitihardjo, jang mula-mula berkedudukan di Pematang Siantar, kemudian setelah agressi pertama berpindah ke Bukittinggi.

Masa pergolakan dalam tahun 1945/1947 ini tidak banjak memberi kesempatan, baik penjelenggaraan, maupun pelaksanaan kesehatan rakjat disebabkan oleh batas-batas jang tertentu.

Pada umumnja wilajah usaha dalam lapangan ini dapat dibagi dalam 2 daerah, jaitu didaerah Republik Indonesia dan didaerah pendudukan Belanda.

Usaha jang didjalankan sebelum dan sesudah agressi pertama dapat dikatakan hanja merupakan kelandjutan dari dan mempertahankan atau merawat tugas kewadjiban serta alat² dan perlengkapannja jang bersangkutan dengan kesehatan rakjat jang ditinggalkan oleh/diwarisi dari Eiseikyoku-eiseikyoku setempat.

Disamping usaha kesehatan rakjat biasa, maka pekerdjaan bertambah pula dengan adanja T.K.R. jang kemudian berturut-turut mendjadi T.R.I. dan T.N.I. dan lasjkar-lasjkar rakjat, karena Palang Merah Indonesia (P.M.I.) pada masa itu belum lagi sempurna. Segala-galanja sebahagian besar masih mendjadi beban bagi Djawatan Kesehatan. Disamping kesulitan-kesulitan lainnja pun persediaan uang, makanan dan obatobatan didalam masing-masing rumah sakit atau balai-balai pengobatan senantiasa mendjadi pikiran para jang memimpinnja.

Walaupun demikian kesehatan rakjat umumnja memuaskan, djika diperhatikan segala kekurangan jang dialaminja, misalnja tenaga-tenaga dokter-dokter, tenaga-tenaga perawatan, alat-alat kedokteran, alat-alat pengangkutan dan perlengkapan lainnja. Meskipun dalam hal materiaal tak mentjukupi namun disamping itu tenaga-tenaga dalam lapangan kesehatan tjukup mempunjai kesanggupan untuk melaksanakan pekerdjaan jang sesukar ini dengan alat-alat jang ada.

Penjakit rakjat jang meradjalela ialah tjatjar. Angka-angka tentang banjaknja korban tidak diketahui; penjakit-penjakit lainnja ialah malaria dan framboesia.

Dengan didudukinja pelabuhan-pelabuhan Padang, Sibolga dan Sabang oleh Belanda, maka perhubungan keluar sukar didapat, ketjuali di Atjeh, dimana masih terdapat tjelah-tjelah kemungkinan untuk mendapat alat-alat, obat-obat dll. dari Pemerintah Pusat atau dari Luar Negeri.

Mulai waktu R.I.S. sampai ke Negara Kesatuan pimpinan di Atjeh (dahulu Propinsi Atjeh) berada dibawah Dr. I Made Bagiastra, sedang di Tapanuli dan Sumatera Timur (dahulu Propinsi Tapanuli/Sumatera Timur) dibawah Dr. Diapari Siregar.

Usaha-usaha didaerah pendudukan Belanda ini berada dibawah Recomba setempat.

Dalam usaha untuk mengembalikan keadaan sebelum perang dunia ke II maka D.V.G. (Dienst Volksgezondheid) dipelopori oleh Nederlandse Rode Kruis dari Koninklijke Nederlands Indonesische Leger (K.N.I.L.), jang dipelbagai tempat djuga mendirikan poliklinik-poliklinik Rode Kruis. Apabila ditempat -tempat jang telah dikundjungi itu sudah ada kemungkinan-kemungkinan untuk suatu pelaksanaan usaha-usaha sipil, maka kemudian usaha selandjutnja diserahkan kepada Dienst Volksgezondheid jang berpusat di Departement van Gezondheid Djakarta.

D.V.G. ini kemudian menempatkan ditempat-tempat tersebut dokterdokternja. Djuga dikebun-kebun, misalnja di Kisaran (H.A.P.M.) dan di Laras (H.V.A.) ditempatkan D.V.G.-arts.

Adapun tentang pengiriman tenaga-tenaga perawatan dan dokterdokternja ini diselenggarakan oleh Noodcommissie van de Medische Zending di Djakarta jang bekerdja sama dengan Ministerie van Overzeesche Gebiedsdelen di s Gravenhage (Den Haag).

Kebanjakan dari tenaga-tenaga ini jang terdiri dari bangsa Belanda, membikin ikatan dinas 3 tahun dan dikirimkan ke Indonesia berdasarkan „Richtlijnen voor de Indienststelling van Personeel op de heropbouw van Nederlands-Indië" menurut Ministrieële Beschikking tgl. 29 September 1943. Selain itu banjak djuga jang pengirimannja dilakukan dengan perantaraan/bantuan pihak Zending (Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland). Disamping itu kepada D.V.G. diperbantukan pula sedjumlah 14 Officieren van Gezondheid dari Koninklijke Landmacht (K. L.).

Disebabkan karena mudahnja mendapat perhubungan keluar dan tjukup persediaan alat-alat serta perlengkapannja, maka usaha Belanda ini boleh dikatakan berhasil di Sumatera Timur, terutama dikota-kota dan perkebunan-perkebunan. Hanja tenaga-tenaga perawatan- perawatan rendahan dalam banjak hal masih merupakan rintangan baginja, oleh karena mana kebutuhan ini ditutup dengan djalan penerimaan tenagatenaga jang belum pernah mendapat/mempunjai pengalaman dalam lapangan kesehatan (leerling verpleger/sters dan ongediplomeerde verplegers/sters).

Dengan tertjiptanja Negara Sumatera Timur oleh Belanda pada achir 1947, maka organisasi kesehatan rakjat langsung berada dibawah Departement van Culturele Zaken der N.S.T., Directeur J. F. Keulemans. Kemudian nama Departement ini diganti dengan Departemen Sosial, Kebudajaan dan Pengadjaran. Setelah J. F. Keulemans meletakkan djabatannja, maka pimpinan dipegang oleh Tk. M. Bahar. Pimpinan bagian Kesehatan (Afdeling Volksgezondheid) dari departemen ini dipegang oleh dokter J. B. W. Steen, dibantu oleh hoofddistrictsarts Dr. J. F. Heroma dan Dr. A. H. Syrier.

Dalam tahun 1949 Dr. Heroma dan Dr. Syrier pulang ke negeri Belanda dan tidak diganti sehingga sedjak bulan Desember 1949 Bahagian Kesehatan dikemudikan oleh hanja seorang sadja, jaitu J. B. W. Steen.

Adapun tugas kewadjibannja ialah menjelenggarakan:

a. Administrasi jang dikerdjakan oleh sebahagian dari pegawai-pegawai dari departemen tsb.
b. Urusan Hygiene jang diselenggarakan oleh Pathologisch Laboratorium.
c. Dinas Pengobatan Gigi, dikepalai oleh Dr. Th . J. Adam.
d. Pathologisch Laboratorium, mula-mula dipimpin oleh Dr. Gerlach dan kemudian diganti oleh Dr. Th. Botman.
e. Pentjatjaran.
f. Penjelidikan malaria.
g. Rumah-rumah Sakit dan Balai-balai Pengobatan.
h. Urusan Sosial pegawai Kesehatan (perumahan, urusan mess dsb.) jang dipimpin oleh Zr. M. Pels.
i. Pengangkutan dibawah pimpinan W. F. Beems dan J. Renes.

Djuga didaerah N.S.T. penjakit tjatjar meradjalela, Pembanterasan penjakit malaria dilakukan dengan djalan penaburan malaria-oil, pembagian kelambu kepada rumah-rumah sakit; djuga dipelabuhan-pelabuhan Belawan. Dilapangan-lapangan terbang dan lingkungannja pembanterasan ini ditugaskan kepada Vliegmedische Dienst. Penjakit lainnja jang meradjalela ialah oedeem (sembab-sembab) dan kudis.

Didaerah Atjeh hanja Sabang jang diduduki oleh Belanda.

Sesudah terbentuknja Negara Kesatuan Departemen Sosial dan Kebudajaan (dalam bulan Djuni 1950 bahagian Pendidikan dan Pengadjaran mendjadi departemen tersendiri) dipetjah mendjadi 3 djawatan tersendiri, jakni djawatan Sosial, djawatan Perburuhan dan djawatan Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.

Pimpinan Djawatan Kesehatan Propinsi ini diserahkan kepada dokter Soemarsono, mula-mula sebagai Koordinator Djawatan Kesehatan Propinsi, kemudian sebagai Inspektur Kesehatan, sedang untuk daerahdaerah Atjeh dan Tapanuli didirikan Djawatan Kesehatan Keresidenan dibawah pimpinan Dr. I Made Bagiastra untuk Atjeh dan Dr. Diapari untuk Tapanuli.

Dalam masa pembangunan ini, meskipun disana sini masih terdapat perasaan kurang tanggung-djawab pada para pegawai, dengan susah pajah dalam tahun 1952 di Propinsi Sumatera Utara dapat dibuka kembali beberapa rumah-sakit dan balai pengobatan, berhubung dengan datangnja tenaga-tenaga dokter dari luar negeri dalam tahun 1952, jang dapat melajani kebutuhan masjarakat. Selandjutnja dapat djuga dibangunkan berangsur-angsur Dinas Kesehatan Sekolah, Dinas Karantina, Statistiek, Hygiëne dan lain-lain.

Oleh sebab tak ada tjatatan tentang kelahiran dan kematian, maka keadaan kesehatan rakjat jang sebenarnja, baik dalam daerah R.I. maupun dalam daerah pendudukan Belanda tak dapat diketahui.

Jang njata ialah bahwa pada tahun 1949 penjakit tjatjar meradjalela di Sumatera Utara, terlebih-lebih didaerah Atjeh; berapa banjaknja orang jang meninggal tak dapat diketahui.

Dalam tahun 1951 penjakit tjatjar ini di Sumatera Timur dan Tapanuli mendjadi kurang, sedang dari Atjeh masih diterima laporan, bahwa penjakit ini disana sini bertjabul.

Dalam tahun 1952 hanja disana sini orang jang terserang oleh penjakit tjatjar, sehingga boleh dikatakan, bahwa dalam tahun itu wabah tjatjar tak ada lagi.

Sesudah agressi kedua 14 dokter Tentera Belanda (K.L.) diperbantukan pada D.V.G. dan sebahagian besar dipekerdjakan didaerah Tapanuli, di Atjeh tak ada. Sesudah penjerahan kedaulatan dokter-dokter ini ditarik kembali dan pekerdjaan kesehatan rakjat diselenggarakan oleh dokter R.I.

Dizaman R.I.S. pegawai jang bekerdja di Tapanuli dan Atjeh adalah pegawai dari R.I. Djokja, sedang pegawai-pegawai jang bekerdja di Sumatera Timur adalah bekerdja pada N.S.T. Menurut keadaan pada pertengahan tahun 1950 jang bekerdja di Sumatera Utara ialah:

Tapanuli : 5 dokter Pemerintah dan 1 dokter partikelir (termasuk Kepala Djawatan Kesehatan Rakjat Tapanuli).
Atjeh : 6 dokter Pemerintah, diantaranja 1 didaerah Sabang (termasuk Kepala Djawatan Kesehatan Rakjat Atjeh).
Negara Sumatera Timur : 27 dokter Pemerintah dan 41 dokter partikelir.

Adapun pembagian tenaga-tenaga dokter Pemerintah didaerah-daerah ini ialah sebagai berikut:

Daerah Tapanuli 2 di Sibolga, 2 di Padangsidempuan dan 1 di Tarutung.
" Atjeh 2 di Kotaradja, 1 di Sigli, 1 di Bireuen, 1 di Langsa dan 1 di Sabang (daerah federaal).
" N.S.T. 18 di Medan, 1 di Tebing Tinggi, 1 di Bindjei, 2 di Kabandjahe, 3 di Pematang Siantar, 1 di Tandjungbalai dan 1 di Labuhan Ruku.

Dari angka-angka ini dapat dimengerti, bahwa sebahagian besar dari Propinsi Sumatera Utara tak terpelihara. Tahun 1951 tak membawa perbaikan dalam hal ini, malahan dari Sumatera Timur ada 2 orang dokter Belanda jang setelah berachir ikatan dinasnja tak bersedia lagi bekerdja pada Pemerintah. Dari Atjch 1 dokter (dari Sigli) dipindahkan ke Djakarta dan tak ada gantinja.

Baru dalam tahun 1952 untuk Tapanuli dapat didatangkan 9 dokter dari luar negeri, kebanjakan bangsa Austria, untuk Atjeh 4 orang dokter dari luar negeri dan satu dokter warganegara, dan untuk Sumatera Timur 5 dokter dari luar negeri; sebaliknja dalam tahun ini dokter dari Padangsidempuan berangkat ke Djakarta dan 1 dokter dari Langsa minta berhenti.

Dengan pegawai perawatan halnja agak berlainan. Segera sesudah Negara Kesatuan terbentuk, pegawai-pegawai „non” mendaftarkan diri dan dipekerdjakan kembali, sebahagian besar didaerah Sumatera Timur.

Kepada pegawai administrasi, sesudah Negara Kesatuan, diperintahkan untuk tinggal tetap ditempatnja masing-masing, hal mana mulamula menimbulkan kegelisahan diantara pegawai-pegawai R.I. di Tapanuli, jang antara lain menuntut supaja kepada mereka diberikan „sleutelposities" dikantor Inspeksi Kesehatan Medan. Akan tetapi berhubung dengan kekurangan perumahan di Medan jang sudah penuh sesak karena kebandjiran pegawai-pegawai dari djawatan-djawatan lain jang semula tinggal didaerah R.I. terpaksa diambil tindakan sedemikian.

Hingga sekarang kekurangan perumahan ini sangat menghambat djalannja usaha-usaha kesehatan, karena tak dapat dipindahkan pegawai dimana tenaganja dibutuhkan.


FUNKSI KEUANGAN.

Bagaimana dengan keuangan ?

Oleh karena keuangan adalah salah satu roda jang sangat penting untuk memutar segala sesuatu, baik jang mengenai perseorangan maupun mengenai Pemerintahan, maka pada tiap-tiap kali kita menoleh kebelakang, mau tak mau senantiasa tergambar dimuka kita djuga keadaan keuangan jang sebagai bensin dari motor tiap-tiap usaha.

Setelah Pemerintahan beralih dari tangan Djepang ketangan orang Indonesia, maka keruwetan keuangan jang telah dialami selama Pemerintahan Djepang mendjadi mangkin ruwet, karena uang Djepang jang tadinja berada di Kas Negeri lantas menghilang. Ini dapat dimengerti, karena sebelum Sekutu mendarat di Indonesia orang-orang Djepang semuanja mendjadi bingung, sehingga uang-uang jang ada di Kas Negeri diambilnja dan dihambur-hamburkannja tidak berketentuan.

Dengan tidak adanja uang di Kas Negeri, maka pegawai pada umumnja tidak mendapat gadji atau walaupun mendapat gadji tidak pada waktunja lagi dan sangat djarang mendapat penuh. Karena tidak dapatnja gadji maka para pegawai masing-masing berusaha mentjahari nafkahnja diluar dengan memakai sebahagian waktu dinasnja.

Belandja kantor, misalnja ongkos telepon, penerangan dan air sudah dengan sendirinja tidak dapat dibajar, sedang alat kantor, kertas, pensil dan sebagainja hanja jang ada sadja dipakai, sehingga pengiriman surat-surat jang penting tidak terganggu karena djuga segala sesuatu jang dapat diselesaikan dengan lisan, diselesaikan dengan lisan untuk menghemat kertas-kertas dan agar para pegawai dapat berganti-ganti meninggalkan kantor untuk mentjari penambah nafkah jang diterimanja dari kantor.

Jang sangat mengalami kesulitan keuangan dari semua usaha-usaha Pemerintah ialah rumah-rumah-sakit, karena orang-orang sakit itu selain harus mendapat obat dan perawatan djuga makanan jang pantas. Maka oleh karena kesulitan keuangan ini sebahagian besar dari orangorang sakit dikirim pulang oleh rumah-rumah sakit, walaupun penjakitnja belum baik. Hanja orang-orang jang berpenjakit parah dan orangorang jang tidak mempunjai famili jang sanggup memeliharanja ditahan dirumah-sakit. Ini hanja dapat dilakukan terhadap pasiën jang berpenjakit badan.

Bagaimana halnja dengan orang-orang jang berpenjakit djiwa ? Terhadap orang jang berpenjakit djiwa inilah jang sangat sulit. Tak dapat dipaksakan kepada keluarganja untuk mengambilnja dari rumah sakit. Djuga walaupun kiranja dapat dipaksakan, kembalinja orang jang berpenjakit djiwa kerumah, pasti akan lebih menjukarkan keadaan masjarakat jang pada waktu itu sudah ruwet oleh karena pemerintahan jang belum stabil.

Maka terhadap keuangan rumah sakit djiwa, Pemerintah mengambil perhatian istimewa. Sekuat tenaga jang ada padanja diusahakan untuk menjukupi kebutuhan pertama dari rumah sakit itu. Akan tetapi walaupun demikian keadaan rumah-rumah sakit tetap menjedihkan. Tiap tiap orang jang menengok keadaan rumah sakit djiwa dari dekat, tentu sangat iba hatinja melihat pakaian-pakaian dan sebagainja.

Nasib baik untuk pengurus rumah-sakit djiwa ialah setelah tentera Sekutu mendarat di Indonesia, maka pasiën Eropah, Tionghoa, Ambon, Menado dan pasiën Indonesia jang sudah teken Belanda diambilnja semua, jang mana hal ini tentu banjak mengurangkan beban jang harus dipikirkan tiap-tiap Pengurus Rumah Sakit Djiwa.

Setelah Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan uang sendiri, maka keadaan keuangan tiap-tiap usaha Pemerintah mendjadi mulai baik, terutama oleh karena nilai koers uang R.I. pada permulaan keluar uang itu ada sama tingginja dengan uang Belanda (Nica) jang diperedarkan pada waktu itu.

Tetapi nilai koers uang R.I. tidak lama dapat dipertahankan.

Dengan berkurangnja harga uang kertas Pemerintah maka keadaan pegawai-pegawai mendjadi sulit lagi, karena gadji-gadji jang sudah tentu angka-angkanja itu makin merosot nilainja. Kesulitan-kesulitan ini makin diperbesar lagi oleh infiltrasi Belanda jang berusaha sekuat tenaga mempersulit segala-galanja dengan maksud agar semua pegawaipegawai meninggalkan tjita-tjitanja. Penderitaan pegawai-pegawai R.I. didalam kota-kota jang sudah diduduki Sekutu, dimana Nica selalu mengekor tentu lain daripada penderitaan pegawai-pegawai dipedalaman, walaupun tekanan itu disegala pelosok dapat dirasai.

Sesudah agressi pertama keadaan keuangan usaha Pemerintah mangkin sukar lagi. Semua kantor-kantor Pemerintah R.I. jang berada didaerah jang diduduki Belanda diambilnja, sehingga pegawai-pegawai kantor itu terpaksa tinggal dirumah. Segala sesuatu jang mengenai permintaan pembajaran gadji pegawai-pegawai jang belum bekerdjasama dengan Belanda diurus dalam salah satu rumah pegawai itu sendiri. Oleh karena Perbendaharaan Pemerintah R.I. tidak tentu lagi tempatnja, maka dengan sendirinja urusan gadji-gadji pegawai itu mendjadi sangat kutjar-katjir djuga karena pengiriman uang dari Jogjakarta ketempat pendudukan sangat sulit.

Dan jang menderita kesulitan sangat besar ialah rumah-rumah sakit, karena walaupun kota-kota dan daerah-daerah sudah diduduki Belanda, rumah-rumah sakit besar dibiarkannja diusahakan Pemerintah R.I., karena mereka takut kalau-kalau pegawai-pegawai tidak ada jang mau bekerdja sama. Seperti diterangkan diatas rumah sakit djiwa pula jang sangat menderita, karena orang-orang sakit tidak dapat disuruh pulang.

Seperti lebih dulu dapat diketahui, setelah Negara Sumatera Tmur dibentuk dalam tahun 1948, maka keuangan N.S.T, tidak begitu sulit lagi, terutama karena semua usaha Pemerintah Belanda itu bersifat propagandistis.

Maka pada tahun 1949 diadakan anggaran N.S.T. jang berdjumlah sebesar Rp 101.095.400,— dari djumlah mana disediakan untuk Kesehatan sedjumlah Rp 9.911.600,— jang diperintjikan, buat belandja pegawai Rp 4.160.300,— buat belandja barang Rp 5.197.600,— dan buat belandja modal Rp 353.700,—, sedang anggaran tahun 1950 berdjumlah semua Rp 84.599.000,— diantaranja untuk kesehatan rakjat buat belandja pegawai Rp 4.113.200,— buat belandja barang Rp 5.842.900,— dan buat belandja modal Rp 64.200,— atau berdjumlah semua Rp 10.020.300,—.

Mengingat nilai uang pada tahun-tahun tersebut serta memperhatikan daerah-daerah jang termasuk lingkungan N.S.T. maka anggaran diatas tidak terlalu rendah.

Hanja belandja modal jang sebenarnja terlalu ketjil, akan tetapi djika diperhatikan keadaan politik pada waktu itu, maka itupun tidak dapat dikatakan terlalu ketjil.

Tentang urusan keuangan pada zaman N.S.T. itupun tidak begitu sulit. Karena setelah anggaran dimadjukan dan setelah dapat persetudjuan dari Wali Negara dan Dewan-dewannja, maka uang jang perlu dapat diminta dari pusat Perbendaharaan dengan tidak memakai otorisasi beslit, tjukup dengan „tanda setudju" dari Kantor Keuangan N.S.T., dimana pengawasan anggaran diselenggarakan.

Setelah Negara Kesatuan RI. terbentuk maka segala sesuatu jang mengenai keuangan diurus di Djakarta. Sebelum tahun 1951 kira-kira bulan September '50 anggaran mengenai tahun 1951 dimadjukan ke Kementerian Kesehatan. Karena anggaran jang dimadjukan itu tidak disetudjui dan tidak ditolak, maka uang jang diterima selama tahun 1951 tidak berdasarkan sesuatu rentjana akan tetapi hanja tjukup untuk memelihara jang sudah ada sadja. Ini dapat dimengerti karena Djakarta pada peralihan dari Pemerintahan Federaal kepada Pemerintahan Kesatuan masih sibuk mengurus segala sesuatu jang berhubungan dengan bentuk Pemerintahan baru itu. Tak usah kita heran djika pada tahun 1951 tidak ada pembangunan-pembangunan jang njata.

Baru sadja setahun berdjalan Sentralisasi, maka disusul lagi oleh otonomi dari daerah-daerah. Peralihan ini membawa kesulitan lagi terhadap keuangan. Anggaran tahun 1952 jang telah disampaikan kepada Kementerian Kesehatan tidak dapat lagi disana diurus, karena segala sesuatu jang mengenai otonomi diurus oleh Kementerian Dalam Negeri.

Oleh karena Kementerian Dalam Negeri belum mendapat kesempatan mempeladjari anggaran dari djawatan-djawatan dari ber-bagai-bagai daerah, maka untuk mendjalankan usaha jang sudah ada didaerahdaerah jang bersangkutan diberikannja uang sedjumlah besar pengeluaran selama tahun 1951. Dengan ini terhalang pula segala rentjana jang mengenai pembangunan pengluasan dan perbaikan.

Dengan adanja ketekoran sedjumlah 4 miliard dalam anggaran Republik Indonesia pada tahun 1952, maka Pemerintah mengambil keputusan untuk menghemat sehemat-hematnja dan oleh karena itu diadakan pemotongan anggaran dalam segala hal. Untuk tahun 1952 masih disediakan uang buat Kesehatan Rakjat sedjumlah 25.4 djuta guna belandja barang dan 3 djuta guna belandja modal sedang untuk tahun 1953 djumlah-djumlah tadi dikurangkan masing-masing mendjadi 21.5 djuta dan 2.25 djuta.

Maka dari angka-angka jang tersebut diatas njata, bahwa walaupun Kesehatan Rakjat Sumatera Utara berusaha membuat berbagai-bagai rentjana untuk menjelenggaran tugasnja baik mengenai kuratif maupun jang mengenai preventif segala itu selain dari mempertahankan jang ada tidak dapat dilaksanakan. Sedang mempertahankan jang sudah adapun adalah sangat sukar, karena harga-harga barang pada umumnja kian hari kian naik.


KESEMPURNAAN ADMINISTRASI.

Administrasi-administrasi keuangan pada umumnja masih djauh dari sempurna. Seperti diketahui adapun administrasi keuangan itu adalah pengetahuan tersendiri. Djika ada berpikir bahwa pengetahuan administrasi adalah suatu pengetahuan jang tidak berarti jang dapat diperoleh begitu sadja, maka orang jang berpikir demikian adalah orang jang tidak mengerti seluk-beluk administrasi.

Sebenarnja pengetahuan administrasi, istimewa mengenai keuangan, tidaklah kurang dari pengetahuan tehnik jang lain. Maka djika administrasi keuangan sekarang masih djauh dari sempurna adalah karena kurang pegawai jang mempunjai sekolah, karena pegawai-pegawai jang berpengalaman dan bersekolah pada dewasa ini sudah mendjabat pangkat jang tinggi-tinggi.

Maka dari pegawai-pegawai jang ada sekarang ini, walaupun bagaimana tidak dapat diminta jang sebagaimana mestinja. Pada dewasa ini perkiraan uang bulanan (maandelijkse verantwoording) tidak dapat diperbuat pada waktunja dan djika diperbuat selalu mengandung kesalahan-kesalahan dan kesilafan-kesilafan Bukan karena kurang teliti atau tidak mau akan tetapi terutama karena tidak mampu membuatnja. Tentu dari pegawai-pegawai jang demikian jang tidak sanggup membuat perkiraan jang sempurna tidak dapat diminta „financiëel {[--}} dan materiëelbeheer" jang sempurna.

Djika kita menoleh kepada waktu sebelum perang maka kita dapat melihat, bahwa dari tiap-tiap administrateur satu rumah sakit jang berkapasiteit dari 250 keatas diminta selain dari harus memenuhi sjarat jang tertjantum di B.B.L. (idjazah Mulo atau idjazah jang sederadjat dengan itu) didalam praktek harus pula mempunjai idjazah boekhouding. Dan pengangkatan administrateur itu, pemindahan, keangkatan pangkat d.l.l. harus atas usul Kepala Bahagian Keuangan. Dengan demikian segala perintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan tentu akan dituruti administrateur-administrateur jang bersangkutan, djika tidak, Kepala Bagian Keuangan dapat mengambil tindakan untuk kebaikan administrasi.

Selandjutnja menambah kesulitan-kesulitan jang diatas ialah peraturan-peraturan jang tidak sesuai dengan keadaan sekarang, diantara satu dan lain misalnja „surat izin membeli" dan otorisasi.

Pada umumnja otorisasi triwulan selalu terlambat diterima. Umpamanja otorisasi buat triwulan pertama diterima pada pertengahan bulan Pebruari dan mandaat atau uang baru diterima dibulan Maret. Dengan demikian keuangan ditiap-tiap objek mendjadi ruwet karenanja. Dapat dimengerti segala motor tiap-tiap usaha itu harus diputar dengan uang, dan djika uang itu tidak diterima pada waktunja nistjaja perusahaan itu djika tidak berhenti tentu lambat djalannja.

Djika otorisasi itu dikeluarkan untuk satu tahun atau dengan tjara tiap-tiap permintaan uang ditandatangani oleh instansi jang berkuasa memberikan persetudjuan, maka terlambatnja mendapat uang tidak usah empat kali setahun dialami.

Djuga harusnja ada „surat izin membeli" membawa kesukaran jang bukan ketjil terutama untuk rumah-rumah sakit. Seperti diketanui rumah-rumah sakit itu adalah sama dengan satu rumah tangga besar jang mempunjai banjak anak. Disini harus disediakan selain dari pada makanan, djuga perkakas rumah tangga dan pakaian-pakaian. Apabila rumah tangga jang besar ini harus meminta izin untuk membeli piring, mangkok, gelas dan lain-lain perkakas rumah tangga, dan belum tentu dapatnja surat izin itu, maka harus diakui, bahwa ini tentu sangat menjulitkan dalam lantjarnja pekerjaan usaha itu. Maka sebelum mendapat izin seringkali terdjadi bahwa rumah-rumah sakit membelinja lebih dahulu baru meminta izin.

Oleh karena lambatnja keluar surat izin, maka timbul pula kesulitan dalam pertanggung-djawaban kepada Pusat Perbendaharaan, karena pengeluaran-pengeluaran jang telah dilakukan untuk mana surat izin belum ada, tidak boleh dimasukkan dalam perkiraan, sehingga saldo Kas dengan saldo perkiraan tidak tjotjok lagi dan akibat saldo jang besar — jang sebenarnja tidak ada lagi — uang tidak diberikan Perbendaharaan lagi.

Mengenai pakaian-pakaianpun demikian pula. Sebenarnja pakaian bukan suatu „gebruiksartikel" akan tetapi adalah „verbruiksartikel" jang mana setelah dipakai dua atau tiga bulan maka habislah ia mendjadi tidak ada. Maka pakaian itu walaupun sebahagian dari inventaris, lain sifatnja dari barang2 inventaris lain. Pusat Perbendaharaan tetap berpegang kepada perkataan inventaris, maka menurut pendapat instansi tersebut untuk membeli pakaianpun harus lebih dahulu mendapat surat izin, djika tidak pengeluaran untuk membelinja tidak diperkenankan dimasukkan dalam perkiraan.

Kesulitan-kesulitan jang akibat sesuatu peraturan jang tidak tjotjok dengan keadaan ditambah lagi dengan berbagai-bagai hal. Dibawah ini diambil beberapa tjontoh.

Dokter-dokter jang datang dari Djakarta pada umumnja tidak membawa c.o.b.-nja sehingga gadjinja tidak dapat diminta ditempat dimana mereka itu dipekerdjakan. Oleh karena pegawai-pegawai itu harus makan, maka terpaksalah instansi jang bersangkutan memberi pandjar gadjinja jang kadang-kadang berbulan-bulan lamanja, sehingga uang Kas jang sebenarnja diperuntukkan buat belandja barang, mendjadi habis karenanja. Djuga buat pegawai-pegawai jang terlambat keluar besluit pengangkatannja harus diberikan pula pandjar jang tidak sedikit djumlahnja. Dengan demikian maka bertimbun-timbun kesulitan dalam administrasi keuangan dan lantjarnja usaha.

Diatas telah diterangkan berbagai-bagai kesulitan jang timbul diluar kemauan-kemauan pemimpin-pemimpin rumah sakit. Akan tetapi tidak hanja tinggal disitu sadja, kadang-kadang ditambah pula oleh pemimpin rumah sakit itu sendiri jang memerintahkan sesuatu jang berlawanan dari peraturan. Untuk keperluan-keperluan telah disediakan uang, maka sebenarnja hanja terbatas sampai adanja uang jang sedia itu sadja. Akan tetapi pernah djuga terdjadi, bahwa uang jang disediakan itu dilewati pengeluaran dengan tidak meminta izin lebih dahulu dari instansi jang berkuasa memberikan kredit, walaupun telah diberitahu oleh pegawai keuangan, bahwa tindakan itu membawa akibat jang sangat susah dipertanggung djawabkan.

Demikianlah kesulitan-kesulitan pada dewasa ini jang tentu lambat laun harus diperbaiki djika sama-sama mengingini lepas dari kesulitan-kesulitan itu. Keruwetan administrasi adalah keruwetan dari segala usaha. Djika administrasi keuangan Pemerintah ruwet, tentu segala usaha Pemerintah mendjadi ruwet karenanja.


FUNKSI PENGANGKUTAN.

Faktor pengangkutan buat Djawatan Kesehatan adalah penting.

Tapanuli hampir tak mempunjai kendaraan sama sekali. Atjeh dapat membeli beberapa buah oto sedan dari luar negeri. Ambulance tak ada gama sekali didaerah Tapanuli dan Atjeh.

Didaerah N.S.T. Djawatan Kesehatan mempunjai: 24 personen auto's jeeps, 11 Pick-Ups, 6 ambulances dan 3 trucks, jang boleh dikatakan mentjukupi untuk meladeni daerah N.S.T. Sesudah Negara Kesatuan, berhubung Departemen Sosial dan Kebudajaan dipetjah mendjadi 3 Djawatan tersendiri, maka kendaraan pun dibagi antara 3 djawatan tersebut, sehingga pada permulaan tahun 1951 Djawatan Kesehatan mempunjai 17 personen auto's jeeps, 11 pick-ups, 8 ambulances dan 2 trucks.

Dalam tahun 1951 dari Pemerintah Pusat tak ada diterima kendaraan sama sekali. Tapanuli dapat ditolong dengan beberapa ambulance dari Sumatera Timur.

Dalam tahun 1952 Sumatera Utara menerima dari Pemerintah Pusat 1 sedan, 15 ambulances dan 4 pick-ups, jang sebagian besar dibagikan kepada daerah-daerah jang masih kekurangan akan alat pengangkutan, jakni Tapanuli dan Atjeh. Kekurangan alat pengangkutan ini terlebihlebih dirasai sesudah djumlah dokter jang bekerdja disini bertambah, hal mana mendjadi rintangan untuk memperluas usaha-usaha kesehatan. Terutama sangat dibutuhkan kendaraan jeep, karena hanja jeep sadja dapat dipakai untuk perdjalanan didaerah Atjeh dan Tapanuli.

Di Negara Sumatera Timur ada terdapat „Distributiedienst" jang mengatur pembagian bahan-bahan makanan, pakaian dsb. Kepada pegawai-pegawai N.S.T. ada „Huisvestingsorganisatie" jang mengatur pembagian perumahan.

Peraturan restitusi (pengembalian biaja pengobatan) pun berlaku. Disamping itu Djawatan Kesehatan N.S.T. di Medan mempunjai beberapa „mess", sehingga dengan djalan demikian kesulitan perumahan dan kesulitan-kesulitan pegawai rendahan berhubung dengan mahalnja barangbarang makanan dll. dewasa itu dapat diatasi.

Sesudah Negara Kesatuan, mess inipun masih tetap dipertahankan, karena hanja dengan tjara begini pegawai-pegawai rendahan dapat tertolong.

Bagaimana halnja di Tapanuli dan Atjeh tak dapat diketahui.

Pendaftaran lahir/mati baru dimulai tahun 1952 dan buat sementara hanja didjalankan dalam beberapa kabupaten di Sumatera Timur. Angka-angka mengenai hal ini belum dapat diberikan.

RUMAH SAKIT DAN PENGOBATAN.

Didaerah Tapanuli semua rumah-rumah sakit, rumah-rumah sakit pembantu dan balai -balai pengobatan, baik kepunjaan Pemerintah maupun kepunjaan partikelir diselenggarakan oleh Pemerintah. Dalam tahun 1949, 1950 dan 1951 berhubung dengan kekurangan dokter hanja terdapat rumah-rumah sakit (jang dikepalai oleh dokter) di Sibolga, Tarutung (kepunjaan Rheinische Mission) dan Padangsidempuan. Ditempat-tempat lain hanja ada rumah-sakit pembantu, jakni jang dikepalai oleh djururawat-djururawat.

Dengan datangnja tambahan dokter dari luar negeri dalam tahun 1952, maka djumlahnja rumah-rumah sakit di Tapanuli bertambah dengan R. S. Balige, dimana dapat ditempatkan seorang dokter, R. S. Gunung Sitoli (Nias) dengan 2 dokter, R.S. Sipirok satu dokter, R.S. Sidikalang satu dokter, R.S. Pangururan satu dokter, sedang di Tarutung dapat ditambah dengan 2 dokter dan Sibolga dengan satu dokter.

Didaerah Atjeh hampir semua rumah-rumah sakit dan rumah-rumah sakit pembantu adalah kepunjaan militer atau partikelir, akan tetapi diselenggarakan oleh Pemerintah sipil.

Dalam tahun 1949 dan 1950 rumah-rumah sakit jang diselenggarakan oleh pemerintah (jang dikepalai oleh dokter) jakni Kutaradja, Sigli, Bireuen, Langsa (kepunjaan Hospitaalvereniging) dan Sabang (kepunjaan onderneming).

Dalam tahun 1951 dokter di Sigli dipindahkan ke Djakarta dan tidak ada gantinja. Baru dalam tahun 1952 dapat ditempatkan dokter di Sigli dan selain dari itu dapat ditempatkan dokter di Meulaboh (rumah sakit kepunjaan onderneming), Tapaktuan dan Takengon (rumah sakit kepunjaan P.P.N.). Dokter di Langsa jang meletakkan djabatannja diganti dengan seorang dokter Tentera.

Didaerah N.S.T. dalam tahun 1948 dan 1949 ada 8 rumah sakit umum, 2 rumah sakit djiwa, 2 rumah sakit kusta, 1 rumah sakit bersalin dan 1 rumah sakit paru-paru jang diselenggarakan oleh Pemerintah. Disamping itu terdapat 14 rumah-rumah sakit jang diselenggarakan oleh partikelir.

Pada permulaan tahun 1950 diantara rumah-rumah sakit jang diselenggarakan oleh Pemerintah ini ada 2 dikembalikan kepada jang empunja, sehingga pada waktu terbentuknja Negara Kesatuan sampai sekarang Pemerintah hanja menjelenggarakan rumah-rumah sakit sebagai berikut :

a. Deli/Serdang : Rumah Sakit Umum (kepunjaan Kotapradja)
Rumah Sakit Paru-paru (kepunjaan S.C.V.T.)
Rumah Sakit Djiwa Djalan Timor (rumah sewaD.S.M.).
Rumah Sakit Kusta Pulau Sitjanang (kepunjaan Leger des Heils).
Rumah Sakit Bersalin Medan.

b. Langkat : Rumah Sakit Umum Tandjungpura (Pemerintah).
c. Tanah Karo : Rumah Sakit Tanah Karo (kepunjaan Zending).
Leprozerie Laosimomo (kepunjaan Zending).
d. Simelungun : Rumah Sakit Pematangsiantar (kepunjaan partikelir).
Rumah Sakit Djiwa Pematang Siantar (sebahagian dari rumah pendjara Pematang Siantar).
e. Asahan : Rumah Sakit Umum Tandjungbalai (Pemerintah).
Rumah Sakit Umum Labuhan Ruku (Pemerintah).

Menurut keadaan pada tahun 1952 di Tapanuli ada 19 R.S. Pembantu dan 76 Balai Fergobatan Pemerintah, di Atjeh O.R.S. Pembantu dan 60 Balai Pengobatan Pemerintah, dan di Sumatera Timur 5 R.S. Pembantu dan 85 Balai Pengobatan Pemerintah.

Pemeliharaan terhadap orang-orang jang berpenjakit djiwa memang masih sangat mengetjewakan. Seringkali oleh Djawatan Kesehatan diterima ketjaman tentang hal ini.

Akan tetapi dalam hal ini Djawatan Kesehatan memang tak dapat berbuat apa-apa. Berhubung semendjak dari djaman Djepang Rumah Sakit Djiwa Glugur, jang dapat menampung lk. 400 orang, berturutturut diduduki oleh Balatentara Dai Nippon, Tentera Inggeris/Belanda, Barisan Pengawal N.S.T., Apris dan Apri, maka perawatan terhadap orang sakit djiwa hanja dilakukan dirumah kepunjaan Deli Spoorweg Maatschappij (D.S.M.) di Djalan Timur No. 19 Medan, dirumah pendjara Pematang Siantar jang sebahagian dipergunakan untuk ini dan mulai tahun 1952 dibahagian dari R.S.U. Kutaradja dipergunakan untuk ini.

Pemerintah Pusat akan mendirikan Rumah Sakit Djiwa jang modern, jang sampai sekarang belum dapat dilaksanakan.

Tentang urusan pengobatan gigi dapat diketahui, bahwa pada kantor D.V.G. Djakarta ada dimiliki sehelai daftar „opname instrumentarium" jang dilakukan pada bulan Desember 1947 di Tandheelkundige Dienst Medan, Dinas ini ketika itu berada dibawah pimpinan M. Swart, Coordinator Tandheelkundige Dienst D.V.G. merangkap Tandarts D.V.G. Dinas T.H.D. ini diperlengkapi dengan sebuah Tandtechnische Laboratorium.

Pelajanan untuk umum dilakukan mengenai vullingen, extractie's, prothesen, partieel, reparatie's dan operatie's. Untuk tiap-tiap sifat pekerdjaan ini atau bahagian-bahagiannja diadakan D.V.G.-tarief dan Particulier-tarief.

Tandarts Swart dalam pekerdjaan sehari -harinja dibantu oleh Tandarts Mevr. E. J. de Jonge-de Vries dan Tandarts W. J. Heukelman. Selainnja itu ada djuga dipekerdjakan 3 orang assistenten. Berhubung dengan sesuatu hal, maka pada tanggal 10 Desember 1948 pimpinan dipegang oleh Tandarts Th. J. Adam dengan dibantu oleh Tandarts A. G. H. Laumen dan techniker E. v. Rensen.

Pada tanggal 15 Oktober 1952 T.H.D. ini dipindahkan tempatnja ke R.S.U. Medan. Sewaktu djaman Federaal di Daerah N.S.T. hanja terdapat seorang dokter gigi di Medan, sedang di Atjeh dan Tapanuli sama sekali tidak ada.

Dalam tahun 1952 dapat didatangkan 2 orang dokter gigi, sehingga keadaan dalam tahun ini mendjadi 1 di Sumatera Timur, 1 di Tapanuli (Sibolga), dan 1 di Atjeh (Kutaradja).

Usaha dalam lapangan ini selandjutnja ialah perkundjungan kesekolah-sekolah rakjat didalam kotabesar Medan, tugas mana didjalankan oleh dokter gigi Pemerintah jang ada di Medan.


RAGAM PENJAKIT MENULAR

Malaria adalah penjakit jang terbanjak terdapat didaerah Sumatera Utara ini dalam keadaan chronisch-endemisch, Sampai sekarang belum pernah menimbulkan wabah atau malaria-explosie.

Menurut keadaan pada tahun 1951 di Sumatera Timur ada dipekerdjakan 9 orang mantri malaria, di Tapanuli 10 orang dan di Atjeh 6 orang. Dalam tahun 1952 djumlahnja bertambah dengan 2 orang, di Tapanuli 2 orang dan Atjeh tidak ditambah.

Pemberantasan penjakit ini sampai tahun 1951 hanja dilakukan dengan memberikan pil kinine kepada sisakit, membersihkan dan memperbaiki saluran-saluran air, menutup kolam air, menjemprot air jang tergenang dengan minjak redion atau menanam ikan kepala timah di empang-empang di daerah N.S.T.

Dalam tahun 1951 diadakan pertjobaan memberantas penjakit ini dengan menjemprot rumah-rumah dengan D.D.T. diperkebunan Negaga (Gunung Melaju, Sumatera Timur) dan karena hasilnja sangat memuaskan tjara pembasmian ini dalam tahun 1952 dilakukan djuga di Sibolga, Belawan dan disekitar perkebunan Kisaran. Hasil-hasil dari penjemprotan jang terachir ini sekarang belum dapat diberikan.

Tentang pemberantasan penjakit frambosia (puru) karena didjaman Djepang kekurangan tenaga-tenaga dan obat-obatan, hal ini tak mendapat perhatian. Penjakit ini sesudah perang dunia kedua banjak lagi terdapat di Sumatera Utara, terlebih-lebih didaerah Atjeh dan Tapanuli.

Dengan datangnja tenaga-tenaga dan obat-obatan didjaman N.S.T. maka penjakit ini di Sumatera Timur dalam tahun 1951 sudah hampir tak nampak lagi dikota-kota besar; hanja dipelosok-pelosok, misalnja dikewedanaan Deli Hulu, Serdang Hulu dan Padang Bedagai dan di Labuhan Batu.

Djuga didaerah Atjeh dan Tapanuli. Setelah ada tjukup obat-obatan, maka dikota-kota besar penjakit ini tidak didjumpai lagi. Hanja ditempat-tempat jang sukar perhubungannja dengan kota, misalnja kewedanaan-kewedanaan Atjeh Barat, Atjeh Selatan, Atjeh Tengah (Blangkedjeren) dan dipelosok-pelosok dalam daerah Tapanuli.

Pemberantasan penjakit ini pada umumnja dilakukan dengan pentjatjaran dirumah-rumah sakit, balai pengobatan; pemberantasan jang systematis dan teratur baru dapat dilakukan dalam 1952 di Tapanuli Selatan, kewedanaan-kewedanaan Deli Hulu dan Serdang Hulu menurut rentjana jang diandjurkan dan dibiajai oleh P.P.P.R. (Penjelidikan dan Pemberantasan Penjakit Rakjat) di Djokja (Treponemaposes Control Program).

Bagaimana tentang penjakit tuberculose?

Angka-angka jang sebenarnja tentang banjaknja orang jang diserang penjakit ini tak dapat diberikan. Pada waktu sekarang ini pemberantasannja sebenarnja belum dilaksanakan. Jang telah didjalankan sampai sekarang ialah hanja mengobati/merawat orang-orang jang telah diserang oleh penjakit ini (curatief).

Kini ada dipikirkan sebuah rentjana untuk memberantas penjakit ini (preventief).

Seperti telah diuraikan diatas sesudah agressi kedua penjakit kudis banjak terdapat didaerah Sumatera Utara.

Lambat laun dengan adanja rumah-rumah sakit dan balai-balai pengobatan penjakit ini mendjadi kurang, sehingga dalam tahun 1950/1951 hampir tak nampak lagi.

Tentang keadaan penjakit kelamin tak dipunjai tjatatan-tjatatan. Djuga sampai sekarang ini belum dapat diketahui djumlah (percentage) sebenarnja dari orang-orang jang berpenjakit ini, karena jang kebanjakan tidak pergi berobat kerumah sakit atau balai pengobatan.

Angka-angka mengenai penjakit mata (trachoom) ini belum ada.

Sekarang kita perhatikan pula tentang penjakit menular menurut epidemie ordonnantie.

Oleh sebab didjaman Djepang rupa-rupanja pentjatjaran terhadap penduduk tak dipentingkan lagi, maka semendjak tahun 1949 penjakit tjatjar meradjalela didaerah ini. Baru dalam tahun 1951 wabah ini mendjadi kurang.

Dalam tahun 1950 pentjatjaran di Sumatera Timur dilakukan oleh 18 menteri tjatjar, di Tapanuli dan Atjeh tak ada.

Dalam tahun 1951 dan 1952 Sumatera Timur mempunjai 18 menteri tjatjar, Tapanuli 14 orang dan Atjeh 19 orang.

Djumlah penduduk jang ditjatjar dalam tahun 1951 dan 1952 adalah menurut daftar dibawah ini:

Tahun: Daerah: Banjaknya jang ditjatjar: Banjaknya jiwa (penduduka): Percentage.
1950 Sumatera Timur 453688 1162191 39%
Atjeh *) __ __ __
Tapanuli *) __ __ __
1951 Sumatera Timur 449790 138634 33%
Atjeh 298439 138634 25%
Tapanuli 138634 1291174 11%
________ ________ ________
886863 3843526 23%
1952 Sumatera Utara 268216 1583643 17%
Atjeh 202910 1033653 28%
Tapanuli 818165 1294508 6%
642991 3911804 17%
1951 s/d Sumatera
1952 Utara 198354 3911804 51%
  • ) Tjatatan :

Tidak diperoleh laporan.

Selain dari penjakit tjatjar, penjakit menular lainnja jang sering didjumpai di daerah Sumatera Utara ini ialah penjakit typhus abdominalis, paratyphus, diphtherie, baccil dysentrie, poliomjelitis typhus abdomi.

Typhus abdominalis, paratyphus, diptherie dan baccill dysentrie belum pernah menimbulkan wabah. Penjakit ini hanja terdapat disana sini di daerah Sumatera Utara.

Poliomjelitis acuta anterior pernah menimbulkan wabah di Kabupaten Nias dalam tahun 1952.

Sekarang tentang Lembaga Pathologie (Pathologisch Laboratorium).

Sebelum perang laboratorium ini diselenggarakan oleh „Bestuur van het Pathologisch Laboratorium" di Medan.

Didjaman N.S.T. laboratorium ini dibangunkan kembali, mula- mula dibawah pimpinan Dr. Botman, kemudian sesudah penjerahan kedaulatan dibawah pimpinan Dr. C. E. de Moor.

Karena kekurangan tenaga ahli, maka dalam tahun 1951 sebenarnja dalam Pathologisch Laboratorium ini hanja dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan serologisch, bacteriologisch dan patholoog- anatomisch, sedang untuk pemeriksaan chemisch diminta bantuan dari seorang apotheker partikelir.

Pada permulaan tahun 1952 ahli patholoog-anatoom berangkat ke negeri Belanda. Sehingga sedjak itu, pemeriksaan-pemeriksaan pathologisch tak dapat dikerdjakan lagi di Pathologisch Laboratorium.

Baru pada achir tahun 1952 kami berhasil menambah tenaga ahli di Pathologisch Laboratorium dengan seorang patholoog-anatoom dan seorang apotheker. Mulai saat itu, selain pemeriksaan patholocg-anatomisch, djuga pemeriksaan-pemeriksaan chemisch dapat dikerdjakan sendiri.

Di Pathologisch Laboratorium ini sekarang dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan bacteriologisch, parasitologisch, serologisch, haematologisch, histologisch, biochemisch dan warenonderzoek.

Lembaga ini dibiajai oleh Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan). Pendjagaan dipelabuhan-pelabuhan laut/udara supaja djangan kemasukan penjakit menular sekarang belum dapat diselenggarakan semestinja. Hanja didjaman N.S.T. sampai permulaan tahun 1951 ada Dokter Pelabuhan , sesudah itu pekerdjaan ini terpaksa dirangkap oleh Inspeksi Kesehatan. Pada hal pelabuhan seperti Belawan sebenarnja harus mempunjai tenaga dokter „full-time". Djuga perlengkapan, misalnja alat-alat desinfectie, alat-alat pembasmi tikus dsb. belum lagi mentjukupi. Jang ada sekarang ialah hanja balai pengobatan, jang sebenarnja bukan pekerdjaan jang terpenting bagi Dinas karantina. Akan tetapi Pemerintah Pusat, karena insjaf akan pentingnja Dinas Karantina ini, telah menjanggupi untuk selekas mungkin memperlengkapi dinas ini.

Pharmaceutische Dienst D.V.G. Medan mempunjai Bahagian Administratie dan Bahagian Magazijn van Geneesmiddelen. Dinas ini langsung berada dibawah pengawasan Departement van Gezondheid di Djakarta Pimpinan ada ditangan tuan J. van der Mark, Militaire Apotheker 1ste Klas dan kemudian pada tanggal 26 Djanuari 1949 diserahkan kepada J. Meyer, djuga Militaire Apotheker 1ste Klas.

Berhubung karena pada achir tahun 1949 pekerdjaan untuk pihak militair Belanda sangat banjaknja, maka mulai tanggal 1 Oktober 1949 Bahagian Magazijn van Geneesmiddelen dipegang oleh C.H.J. Ditmarsch, Apotheker Assistent 1ste Klas.

Pada tanggal 4 Oktober 1949 Bahagian Administratie dipindahkan ke Departement van Culturele Zaken der N.S.T, sehingga tempat lebih lapang untuk penjimpanan obat-obatan.

Sebagaimana djuga halnja dengan kantor-kantor djawatan lain-lain pada Pharmaceutische Dienst D.V.G. Medan semendjak kedatangannja Belanda sampai achir tahun 1950 banjak dipergunakan tenaga-tenaga bangsa Tionghoa untuk djabatan-djabatan menengah dan rendanan.

Mulai tanggal 1 Agustus 1949, karena harga pasaran bagi tenaga buruh diperusahaan-perusahaan partikelir lebih tinggi, maka Pharmaceutische Dienst Medan sudah tidak mempunjai tenaga-tenaga bangsa Tionghoa lagi. Semuanja telah minta berhenti. Semula pekerdjaan dılajani oleh 3 orang ass. apthekers dan 1 orang ass. apothekers, tetapi pada achir tahun 1950 semuanja minta berhenti, a.l. disebabkan karena ikatan dinasnja telah berachir. Pegawai administrasi hanja jang tinggal ialah paling tinggi berpangkat 1ste Klerk, sedangkan semulanja ada djuga 3de Commics dan Administrateur 3de klas.

Soal pengangkutan jang terutama mendjadi pikiran ialah bagaimana dapat meladeni daerah Tapanuli, Atjeh Barat dan Atjeh Selatan/Tengah dengan tjara jang sebaik-baiknja, karena didaerah-daerah tersebut soal perhubungan tidak begitu sempurna; didaerah-daerah lainnja, terutama di Sumatera Timur, hal ini tidak mendjadi soal dengan adanja perhubungan kereta api/motor. Meski demikian, namun ditambahnja alat-alat pengangkutan untuk kesempurnaan pekerdjaan sangat diharapkan.

Semendjak tahun 1949 keadaan persediaan obat-obatan selalu dalam keadaan kekurangan atau mengchawatirkan.

Dalam tahun 1949 telah dikeluarkan untuk D.K.R. dan djawatan-djawatan Pemerintah obat-obatan, pembalut, alat-alat kedokteran dsb. berdjumlah seharga 1.k. ƒ 1.045.000,- atau rata- rata tiap bulannja ƒ 87.000,-. Dalam tahun 1950 berdjumlah 1.k. Rp. 1.137.800,66 atau rata-rata tiap bulan Rp. 95.000.


Dalam tahun 1951 berdjumlah 1.k. Rp. 1.122.454,75 atau rata-rata tiap bulan Rp. 94.000 .


Dalam ½ tahun 1952 berdjumlah 1.k. Rp. 402.365,88 atau rata-rata Dalam tiap bulan Rp. 67.000.


Pada tahun 1952 sub-depot di Sibolga dihapuskan, sehingga seluruh Sumatera Utara semendjak itu dilajani dari Medan sadja.


Persediaan Streptomycine pada achir tahun 1952 dipusatkan di RSU-RSU Sibolga, Pematang Siantar dan Medan untuk mendjaga dan memudahkan pemakaiannja oleh jang berkepentingan.


Dengan tenaga-tenaga medis-technis, selain dari pentjatjaran dalam tahun 1952 dapat berangsur-angsur diselenggarakan usaha-usaha preventief langsung dibawah pimpinan Inspeksi Kesehatan, misalnja :

a. dinas kesehatan sekolah jang didjalankan di Medan dan Langkat, dimana diadakan pemeriksaan-pemeriksaan kesehatan anak-anak Sekolah Rakjat pada waktu jang tertentu dan pemberian pengertian-pengertian tentang pendjagaan kesehatan äsb. Karena tenaga untuk ini tak mentjukupi, maka baik di Kota Besar Medan, maupun di Langkat pekerdjaan ini baru dapat dilaksanakan dibeberapa sekolah sadja .
b. dinas penerangan dan propaganda dengan mempertundjukkan film -film kesehatan dan alat -alat propaganda lainnja dipasarpasar malam dsb.
c. dinas perawatan gigi jang dilakukan disekolah-sekolah rakjat dikota Medan,
d. dinas hygiene jang mendapat tugas mengawasi perusahaan-perusahaan makanan dan minuman dikota ini, tempat-tempat penginapan dsb.
e. dinas pemberantasan penjakit kusta jang baru dimulai dengan pendaftaran orang-orang jang berpenjakit kusta diseluruh Sumatera Utara.
f. dinas consultatie-bureau jang belum sempurna.


Sampai achir tahun 1951 Sumatera Utara mempunjai tempat-tempat pendidikan djururawat di RSU Medan, RSU Pematang Siantar, R.S. Balige dan R.S. Tarutung dan R.S. Padangsidempuan. Dalam tahun 1952 tempat-tempat pendidikan ini ditambah dengan R.S.U. Kutaradja, R.S.U. Kabandjahe, R.S. Senembah Maatschappij di Tandjongmorawa dan R.S. Hollandsch-Amerikaansche Plantage Maatschappij di Kisaran (Catharina Hospitaal). Disamping itu ditundjuk sebagai tempat pendidikan bidan di R.S.U. Medan, tempat pendidikan bidan penolong di Tarutung. Di Sumatera ini pemberantasan penjakit frambosia (T.C.G. atau Treponemaposes Control Program) didjalankan di Tapanuli Selatan sedjak 1951, di Kabupaten Deli Serdang sedjak tahun 1952. Selain dari pada itu dari UNICEF diterima pembahagian susu, obat-obatan, perlengkapan-perlengkapan pendidikan djururawat dan bidan, dan sebagainja


Demikianlah tindjauan ringkas tentang Kesehatan Rakjat di Sumatera Utara.