Propinsi Sumatera Utara/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
P E N D A H U L U A N.

MILITERISME Djepang meng-romusakan peri kehidupan masjarakat dan penghidupan manusia di Sumatera Utara.

Kekuasaan fascisme Djepang mengabdikan sendi-sendi kehidupan masjarakat untuk kepentingan militerismenja.

Dari rakjat djelata jang diperbudak dengan kerdja paksa dan hasil-hasil buminja dirampas, sampai kepada kaum terpeladjar jang dipaksa menderita dan menipu rakjat, merasai genggaman militerisme Djepang.

Seluruh rakjat dipaksa berbaris dan tahu menerima perintah setjara militer.

Kepintaran militer inilah jang ditinggalkan oleh pendjadjahan Djepang sebagai djedjak didalam djiwa rakjat, terutama didalam djiwa pemuda.

Didalam kemelaratan penindisan militerisme Djepang ini maka bangsa kulit putih, chususnja orang-orang Belanda, jang sebelum itu adalah bertindak sebagai golongan jang dipertuan, menundjukkan sikap, watak dan susila jang diperbudak.

Keangkuhan jang dipertontonkan oleh Belanda sebagai pendjadjah dan kemerosotan djiwa dan semangat jang dipertundjukkan waktu melajani Djepang, memberikan kesan jang mendalam bagi orang Indonesia bagaimanapun ia sederhananja.

Orang Indonesia melihat keadaan kutjar-katjir orang-orang Belanda menghadapi runtuhnja perumahan kolonial Belanda jang kosong dan lemah itu.

Tentera Belanda didalam keadaan porak peranda mengundurkan diri ke Gunung Sjaitan di Bukit Barisan.

Didalam kesulitan jang sebesar-besarnja itu, bangsa Indonesia beladjar membanding pendjadjahan Belanda dengan sebenarnja, maka segala kekurangannja tak pernah terasa setadjam dan sedjelas ket‍ika rakjat Indonesia ditinggalkannja dengan tjara jang diperlihatkannja itu.

Maka pada saat itu timbullah pada rakjat kesedaran baru, perasaan kebangsaan jang lebih tadjam daripada waktu jang lalu.

Perasaan itu lebih dipertadjam lagi oleh propaganda ke Asia-an Djepang.

Kebentjian jang bertambah lama bertambah besar terhadap Djepang diputarkan oleh Djepang dengan agitasi dan propaganda terhadap bangsa kulit putih, orang Tionghoa dan bekas pegawai-pegawai Hindia Belanda.

Namun kebentjian terhadap Djepang disana-sini menimbulkan perlawanan, antaranja pemberontakan di Baju (Lho Seumawe) September 1942 dan di Pandrah (dekat Samalanga) pada awal 1945, dan di Pematang Siantar pada pertengahan tahun 1945. Perlawanan ini ditindas dengan seluruh kekuatan militerisme Djepang.

Sebagian dari pemimpin-pemimpin pergerakan nasional di Sumatera Utara dari masa Hindia Belanda nampaknja bekerdja sama dengan Djepang, ikut serta berbaris dan berteriak didalam barisan-barisan Djepang jang dibentuknja untuk keperluan perangnja.

Kongres Gerindo jang terachir di Djakarta pada waktu mendjelang tentera Djepang mendarat di Indonesia, menginstruksikan kepada anggota-anggotanja, jaitu, untuk :

sebagian bekerdja sama dengan Djepang dengan menjelenggarakan kesedaran kebangsaan dan mempertahankan tjita-tjita kerakjatan; sebagian menjusun kekuatan diluar Djepang guna kepentingan perdjuangan nasional;

Oleh sebab itu djuga, maka tidak mengherankan djika beberapa pemimpin-pemimpin pergerakan dari masa Hindia Belanda jang telah menundjukkan kerdja sama dengan Djepang itu, kemudian mengalami tindakan penangkapan oleh Djepang, sebagai misalnja jang dialami oleh M. Saleh Umar, M. Jacub Siregar, Abdul Xarim M. S., M. H. Manullang, Sutan Sumurung, Tengku M. Daoed Beureueh, T. M. Amin, T. M. Hassan dan M. Ridjal.

Kekuatan jang lain jang dihadapi oleh Djepang ialah gerakan di-bawah tanah jang ditinggalkan oleh Belanda atau didaratkan oleh Sekutu.

Akan tetapi kekuatan jang paling tumbuh terhadap kekerasan jang dilakukan oleh militerisme dan fascisme Djepang ialah kesedaran kebangsaan Indonesia.

Djawatan-djawatan serta perusahaan-perusahaan di Atjeh, Sumatera Timur, dan Tapanuli jang dahulu dipimpin oleh orang Belanda didja lankan oleh orang Indonesia, diawasi oleh orang Djepang jang biasanja njata tidak tjakap.

Didalam kekedjaman dan kekerasan pendjadjahan Djepang itu, rakjat di Sumatera Utara beladjar menghargai dirinja sendiri, serta mempertadjam kesedaran kebangsaannja terhadap Djepang dan djuga terhadap bangsa Asing lainnja.

Militerisme Djepang terutama sekali menudjukan propagandanja kepada angkatan muda Indonesia. Agitasi kebangsaan jang dilantjarkan oleh Djepang mendapat tempat dan sambutan pada sanubari dan djiwa pemuda Indonesia.

Pada umumnja adalah gerakan rahasia Djepang seperti Naga Hitam, Kipas Hitam dan lain-lain kolone ke-5 Djepang, buatan kempetai, kaigun dan lain-lain sangat menudjukan kegiatan terhadap pemuda Indonesia. Organisasi-organisasi buatan Djepang jang sematjam ini di Sumatera Timur ialah misalnja Talapeta (Taman Latihan Pemuda Tani).

Tudjuan daripada Talapeta ialah membentuk kader didikan Djepang. Maksud jang lain daripada Talapeta ini ialah mengadakan persiapan barisan gerilja jang diharapkan dapat membantu tentera Djepang di pegunungan apabila kemungkinan tentera Sekutu mendarat, jaitu sematjam barisan pelopor pertahanan semesta jang diharapkan oleh Djepang dapat menggembleng semangat rakjat pro Djepang dalam pertahanan dan perbekalan.

Organisasi Djepang lainnja di Sumatera Timur ialah Moku Tai dan Kenko Tai Sin Tai.

Moku Tai (Barisan Harimau) dimaksud sebagai persiapan gerilja di pegunungan; Kenko Tai Sin Tai kemudian disebut djuga Kaidjo Djikei Dan (Barisan Pantai dan Laut) diharap sebagai pengawal dan pengintai musuh tentera Djepang sepandjang pantai dan jang datang dari laut.

Pada bulan April 1944 satu angkatan Serikat jang kuat telah menjerang Sabang, menjebabkan limbung kapal, hangar, senteral listerik dan bengkel-bengkel disana mendapat kerusakan. Serangan jang sematjam ini berulang-ulang dilakukan oleh angkatan udara Serikat.

Kemudian menjusul Sigli, pemusatan tempat mengerdjakan bahan-bahan untuk kereta api, gudang-gudang di Belawan, tangki-tangki di Pangkalan Brandan dan lapangan udara di Medan.

Walaupun Djepang menguntji berita-berita dari luar negeri dan menjaring berita-berita dalam negeri, akan tetapi kenjataan-kenjataan jang berlaku tidak didustai begitu sadja oleh propagandanja.

MAIBKATRA (Madjelis Agama Islam Buat Kebaktian Asia Timur Raya) di Atjeh, Bompa (Badan Untuk Membantu Pertahanan Asia) di Sumatera Timur dan Bapen (Badan Pertahanan Negeri) di Tapanuli dengan Gyu Hoko Kai digerakkan oleh Djepang untuk menegakkan kepentingan peperangannja.

Sebagai pertjobaan untuk mendekati djiwa kerakjatan jang mendjadi dasar daripada tjita-tjita bangsa Indonesia maka Djepang mengadakan sematjam Dewan Perwakilan, jang sebetulnja tidak mempunjai hak apa-apa di Atjeh, Sumatera Timur dan Tapanuli.

Pada waktu itu Dewan ini dikenal namanja dengan Sangi Kai

Pada 7 September 1944 dimaklumkanlah oleh Djepang djandji kemerdekaan jang diutjapkan oleh perdana-menteri Kuniaki Koiso.

Alat propaganda Djepang dan badan-badan jang didirikan oleh Djepang melantjarkan djandji kemerdekaan ini sampai kekampung-kampung.

Dalam pada itu pengerahan tenaga romusa dan heiho, pengutipan paksaan bahan-bahan makanan, pengawasan dan penangkapan didjalankan oleh Djepang dengan seluas-luasnja dan sekeras- kerasnja.

Dalam pada itu pula pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia jang sedar terus menerus menjala-njalakan api dan semangat kemerdekaan di seantero bangsa Indonesia di Sumatera Utara.

Kekerasan dan kekedjaman Djepang pada hakekatnja menundjukkan kelemahannja, jaitu kenjataan musuhnja jang lebih kuat diluar dan kechawatirannja terhadap keadaan didalam.

Dengan djatuhnja bom atoom di Hirosima pada 9 Agustus 1945, Djepang mengadakan pengangkatan djabatan-djabatan wakil (Huku) dikalangan pemerintahan dan djawatan-djawatan jang penting, misalnja Huku Tyokan, Huku Somu-Butyo, Huku Sityotyo, Huku Bunsyutyo dan sebagainja dari kalangan orang Indonesia, ketjuali di Atjeh.

Mr. Teuku Mohammad Hassan dan Dr. M. Amir berangkat ke Djakarta dengan bomber Djepang untuk menghadiri sidang panitia persiapan kemerdekaan Indonesia.

Umum tidak mengetahui dengan rasmi penjerahan Djepang dengan tidak bersjarat pada 14 Agustus 1945, akan tetapi tingkah laku Djepang sendiri menggambarkan keadaan ini pada mata umum di Sumatera Utara.

Pegawai-pegawai bangsa Indonesia bekerdja dibahagian ke tenteraan Djepang mulai dari hari itu dinjatakan tidak perlu masuk kerdja kembali. Suasana kebingungan, kemarahan, kekesalan dan putus asa meliputi umumnja orang-orang Djepang.

Badan-badan dan bangunan-bangunan jang langsung guna kepentingan tentera Djepang mulai dibubarkan. Bahan-bahan makanan, bahan-bahan pakaian dan persediaan perang lainnja dibagi-bagikan atau diperdjual-belikan dipasar setjara besar-besaran.

Pada 22 Agustus 1945 Djepang memaklumkan di Sumatera Utara bahwa peperangan Asia Timur Raya sudah tidak ada lagi. Umum mengetahui bahwa Djepang sudah menjerah kalah.

Berita dan keadaan itu disambut oleh masjarakat dengan berpentjar-belah menurut golongannja dan kepentingannja.

Kekuatan-kekuatan dalam masjarakat baik jang bergandingan maupun jang bertentangan tampil menjusun dan mengatur siasatnja masing-masing. Dalam keadaan jang begini mendjalin peranan beberapa orang pemimpin jang semata- mata memperdjuangkan harapan atau kepentingan perseorangan atau golongannja.

Beberapa orang terkemuka dari masjarakat Indonesia langsung mentjari hubungan dengan orang-orang Belanda di kamp tawanan dengan mengantarkan bahan-bahan makanan.

Usaha-usaha kedjurusan Comite van Ontvangst mulai kedengaran.

Dr. Tk. Mansoer mengambil initiatief untuk mengundang para pemimpin mengadakan pertemuan dirumahnja di Djalan Radja. Atjara pembitjaraan ialah untuk mentjari persesuaian pendapat tentang pengertian istilah bekerdja sama dengan Djepang, terutama sekali jang langsung mengenai dengan pengerahan tenaga Heiho dan Gyugun untuk membantu tentera Djepang didalam peperangan.

Hasil dari pada pertemuan jang tjemas chawatir ini ialah membentuk satu panitia jang akan memberikan pendjelasan jang seperlunja kepada fihak Belanda.

Sebagai ketua dari panitia ini ditetapkan Sulthan Langkat.

Beberapa pemimpin Indonesia lainnja merasa perlu buat menjingkirkan diri sementara waktu dari Atjeh dan Tapanlui ke Sumatera Timur, dan jang dari Sumatera Timur keluar daerah Sumatera Utara jang sekarang ini.

Umumnja bagi golongan radja-radja di Tapanuli dan Uleebalang di Atjeh timbullah pengharapan bahwa kedudukan mereka akan segera kembali seperti dimasa sebelum perang dunia kedua. Ditengah-tengah ketjemasan, kechawatiran, kebimbangan, pengharapan, pertentangan, dendam, kepentingan perseorangan dan golongan, menjalalah dan berkobarlah kemudian semangat perdjuangan kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai api jang tak kundjung padam membakar segala sesuatu jang merintangi perkembangannja menegakkan PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 17 AGUSTUS 1945.