Lompat ke isi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975  (1975) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 1975

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat(2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya;

c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum;

d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.

BAB II

PENCATATAN PERKAWINAN

Pasal 2

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 3

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur,agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.

Pasal 6

(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;

e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

f. Surat kematian isteri atau suami yangterdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;

h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7

(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untukitu.

(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.

Pasal 8

Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9

Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:

a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu;

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

BAB III

TATA CARA PERKAWINAN

Pasal 10

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11

(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini,kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

BAB IV

AKTA PERKAWINAN

Pasal 12

Akta perkawinan memuat:

a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu;

b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;

c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang;

d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;

f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;

g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;

h. Perjanjian perkawinan apabila ada;

i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;

j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Pasal 13

(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.

(2) Kepada suamidan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.

BAB V

TATA CARA PERCERARIAN

Pasal 14

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 15

Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 17

Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Pasal 18

Perceraian itu terjadi terhitungpada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Pasal 19

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

Pasal 20

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suamiatau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputitempat kediaman tergugat.

(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidakjelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.

(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 21

(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediamanpenggugat.

(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 22

(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.

(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.

Pasal 23

Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 24

(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebutuntuk tidak tinggal dalam satu rumah.

(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Pasal 25

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 26

(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.

(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.

(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.

(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.

(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 27

(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.

(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir,gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 28

Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 29

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian.

(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.

(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.

Pasal 30

Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

Pasal 31

(1) Hakim yangmemeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 32

Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 33

Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 34

(1) Putusanmengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 35

(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

(2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.

(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.

Pasal 36

(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.

(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukandengan membubuhkan kata-kata "dikukuhkan" dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.

(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama.

BAB VI

PEMBATALAN PERKAWINAN

Pasal 37

Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.

Pasal 38

(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.

(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

BAB VII

WAKTU TUNGGU

Pasal 39

(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

BAB VIII

BERISTERI LEBIH DARI SEORANG

Pasal 40

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.

c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau

iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;

d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteriyang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43

Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 45

(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:

a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah);

b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).

(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran.

BAB X

PENUTUP

Pasal 46

Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.

Pasal 47

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 48

Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama maupun dalam bidangnya masing-masing.

Pasal 49

(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975;

(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintahini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 1 April 1975

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd.

SOEHARTO

JENDERAL TNI

Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 1 April 1975

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SUDHARMONO, SH.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1975