Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2011
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
NOMOR 40 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK
YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menimbang : | bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan, Pendampingan, dan Pemulihan Terhadap Anak yang Menjadi Korban atau Pelaku Pornografi; |
Mengingat : |
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
Menetapkan : | PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI. |
KETENTUAN UMUM
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang menjadi korban pornografi adalah anak yang mengalami trauma atau penderitaan sebagai akibat tindak pidana pornografi. |
(1) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi wajib dibina, didampingi, dan dipulihkan kondisi sosial dan kesehatannya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat. (2) Kewajiban membina, mendampingi, dan memulihkan kondisi sosial dan kesehatan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat. |
Dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat harus memberikan pelayanan sehingga terpenuhi kebutuhan dan kepentingan terbaik anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus berdasarkan standar pelayanan. |
(1) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat penanganan awal, pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi pedoman bagi Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dalam melakukan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
(1) Dalam hal diperlukan, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dapat mengembangkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sesuai dengan kebutuhan dan tugas fungsinya masing-masing. (2) Pengembangan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi serta dapat dipertanggungjawabkan. |
Pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat diberikan di fasilitas pelayanan kesehatan, panti sosial, pondok pesantren dan yayasan keagamaan, satuan pendidikan, dan tempat lain yang memberikan pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan. |
Petugas pada tempat pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib: a. memberikan layanan secara komprehensif; |
(1) Dalam menerima dan melayani anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terlebih dahulu harus melakukan identifikasi terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. (2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan penanganan yang tepat untuk anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
Dalam hal tempat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sesuai dengan hasil identifikasi, lembaga pelayanan tersebut dapat melakukan rujukan kepada tempat lain yang memiliki kemampuan. |
PEMBINAAN
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pembinaan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya: a. melakukan koordinasi; |
Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga sosial paling sedikit melakukan: a. bimbingan mental spiritual; |
Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga pendidikan paling sedikit melakukan: a. kegiatan penanaman nilai-nilai budi pekerti; |
Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga keagamaan paling sedikit melakukan kegiatan: a. bimbingan keagamaan yang meliputi aspek keimanan, sosial kemasyarakatan, dan akhlak; |
Dalam melaksanakan pembinaan, keluarga dan/atau masyarakat: a. mengupayakan pemecahan atas permasalahan yang dihadapi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; |
PENDAMPINGAN
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pendampingan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
Dalam melaksanakan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya menyediakan: a. pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial; |
Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga sosial melakukan: a. konseling; |
Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga pendidikan formal melakukan: a. pencegahan dengan memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya pornografi melalui pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain yang dapat mencegah terjadinya tindakan pornografi; |
(1) Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga keagamaan:
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui peningkatan:
|
Dalam melaksanakan pendampingan, keluarga dan/atau masyarakat: a. memberikan dukungan psikologis; |
PEMULIHAN
Bagian Kesatu
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya menyediakan: a. tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih; |
Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga sosial melakukan: a. terapi psikososial; |
Dalam melakukan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga pendidikan: a. memberikan bimbingan dan konseling di bawah pengawasan guru pembimbing di satuan pendidikan; dan |
Dalam melakukan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga keagamaan: a. memotivasi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama; |
Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental, keluarga dan/atau masyarakat: a. memberikan dukungan psikologis; |
Penanganan pemulihan kesehatan fisik dan mental dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih dan/atau petugas pembimbing rohani/ibadah yang kompeten. |
(1) Penanganan pemulihan kesehatan fisik dan mental dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. (2) Layanan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kuratif dan rehabilitatif. |
(1) Pemulihan kesehatan fisik dan mental yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan diberikan dalam bentuk pelayanan yang meliputi:
(2) Bentuk pelayanan pemeriksaan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
(3) Bentuk pelayanan pemeriksaan kesehatan inteligensia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
(4) Pemulihan kesehatan fisik, mental, dan kesehatan inteligensia, dilaksanakan berdasarkan standar profesi, standar operasional prosedur, dan standar pelayanan. |
Pemulihan Sosial
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pemulihan sosial terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
Dalam melaksanakan pemulihan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya: a. melakukan resosialisasi; |
(1) Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga sosial melakukan rehabilitasi sosial. (2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
|
(1) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilaksanakan dengan tahapan:
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga pendidikan memberikan bimbingan konseling yang dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi. |
Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga keagamaan melakukan: a. pemberian motivasi; |
Dalam melaksanakan pemulihan sosial, keluarga dan/atau masyarakat: a. berempati dan tidak menyalahkan atas permasalahan yang dihadapi; |
PENGAWASAN
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur. |
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 bertujuan untuk: a. menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan |
(1) Pengawasan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dilakukan melalui penilaian terhadap penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. |
PENDANAAN
Pendanaan penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
KETENTUAN PENUTUP
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 September 2011 |
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September 2011 REPUBLIK INDONESIA, |
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 8686
Salinan sesuai dengan aslinya |
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2011
TENTANG
I. | UMUM Anak merupakan harapan bangsa yang memiliki potensi besar dalam menjaga eksistensi dan kelestarian suatu bangsa dan negara. Untuk itu anak perlu dilindungi dan dijaga dari segala ancaman yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Salah satu ancaman yang cukup signifikan dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak adalah pornografi. Dampak pornografi bagi anak sangat berbahaya, karena pornografi secara cepat dan kuat menstimulasi keinginan anak untuk menjadi pecandu seksual. Anak yang telah terkena pengaruh pornografi tidak hanya menjadikannya sebagai pecandu seksual tetapi juga dapat menjadikannya sebagai pelaku kekerasan seksual. Kekerasan seksual tersebut umumnya berobjek pada anak lainnya terutama pada anak perempuan sebagai korban. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual atau korban pornografi umumnya mengalami penderitaan secara fisik, psikis, dan mental sehingga memerlukan pelayanan untuk memulihkan kondisinya baik fisik, psikis, mental, spiritual, maupun sosial anak. Dengan demikian diharapkan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dapat menjalankan aktivitasnya dan dapat hidup secara wajar dalam lingkungannya. Sementara terhadap anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual atau pelaku pornografi perlu juga diberikan pelayanan dalam memulihkan kondisinya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat. Di samping itu dapat dikatakan bahwa anak yang menjadi pelaku pornografi pada hakekatnya adalah anak yang menjadi korban pornografi. Pelayanan yang diberikan kepada anak pelaku pornografi tersebut dapat berupa pembinaan, pendampingan, dan pemulihan dengan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam rangka memberikan perlindungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengamanatkan bahwa Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental. Kewajiban tersebut hanya dapat terselenggara dengan baik apabila disertai dengan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Agar penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dilaksanakan secara optimal, maka perlu ada kerja sama yang baik antar Pemerintah dan pemerintah daerah dengan lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat. Kerja sama tersebut diperlukan mengingat anak memerlukan pelayanan lanjutan yang tidak dapat ditangani oleh satu lembaga. Untuk itu lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan kerja sama untuk saling melakukan rujukan. Selain lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan fasilitas pelayanan kesehatan, peran keluarga dan masyarakat sangat diperlukan bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk memberikan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan. Peran keluarga dan masyarakat dalam pembinaan antara lain meliputi memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dan dampak pornografi, membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, mengawasi pergaulan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, mengawasi penggunaan sarana komunikasi dan sarana informasi yang digunakan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Keluarga dan masyarakat berperan pula dalam melaksanakan pendampingan antara lain meliputi memberikan dukungan psikologis, memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya. Untuk menjamin tercapainya tujuan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan meliputi penilaian terhadap pelaksanaan norma, standar, prosedur dan kriteria, standar pelayanan minimal, dan standar operasional prosedur pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. |
II. | PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
|