Lompat ke isi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2011

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2011  (2011) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 40 TAHUN 2011

TENTANG

PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK
YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan, Pendampingan, dan Pemulihan Terhadap Anak yang Menjadi Korban atau Pelaku Pornografi;
Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
  Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Anak yang menjadi korban pornografi adalah anak yang mengalami trauma atau penderitaan sebagai akibat tindak pidana pornografi.
2. Anak yang menjadi pelaku pornografi adalah anak yang melakukan tindak pidana pornografi.
3. Pembinaan adalah serangkaian kegiatan untuk membentuk dan meningkatkan jati diri anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi kearah yang lebih baik sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik fisik, kecerdasan otak, mental, dan spiritual.
4. Pendampingan adalah suatu upaya atau proses yang dimaksudkan untuk memberdayakan diri anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sehingga dapat mengatasi permasalahan dirinya sendiri.
5. Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, dan sosial sehingga anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.
6. Pemulihan kesehatan fisik dan mental adalah upaya untuk mengembalikan kondisi kesehatan jasmani dan jiwa termasuk inteligensia dan spiritual anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sehingga mampu hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
7. Pemulihan sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi sosial anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sehingga mampu untuk kembali ke keluarga dan masyarakat dan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
8. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
10. Lembaga sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai kesejahteraan sosial.
11. Lembaga pendidikan adalah satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem pendidikan nasional.
12. Lembaga keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh Warga Negara Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
13. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
14. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama di sekitar lingkungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi yang berperan dalam pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.


Pasal 2
  (1) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi wajib dibina, didampingi, dan dipulihkan kondisi sosial dan kesehatannya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat.

(2) Kewajiban membina, mendampingi, dan memulihkan kondisi sosial dan kesehatan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 3
  Dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat harus memberikan pelayanan sehingga terpenuhi kebutuhan dan kepentingan terbaik anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 4
  Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus berdasarkan standar pelayanan.


Pasal 5
  (1) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.

(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat penanganan awal, pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 6
  Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi pedoman bagi Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dalam melakukan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 7
  (1) Dalam hal diperlukan, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dapat mengembangkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sesuai dengan kebutuhan dan tugas fungsinya masing-masing.

(2) Pengembangan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi serta dapat dipertanggungjawabkan.


Pasal 8
  Pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat diberikan di fasilitas pelayanan kesehatan, panti sosial, pondok pesantren dan yayasan keagamaan, satuan pendidikan, dan tempat lain yang memberikan pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.


Pasal 9
  Petugas pada tempat pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib:

a. memberikan layanan secara komprehensif;
b. memberikan perlindungan dan pemenuhan hak;
c. memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan; dan
d. menjaga kerahasiaan.


Pasal 10
  (1) Dalam menerima dan melayani anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terlebih dahulu harus melakukan identifikasi terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan penanganan yang tepat untuk anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(3) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar pelayanan.


Pasal 11
  Dalam hal tempat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sesuai dengan hasil identifikasi, lembaga pelayanan tersebut dapat melakukan rujukan kepada tempat lain yang memiliki kemampuan.


BAB II
PEMBINAAN


Pasal 12
  Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pembinaan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 13
  Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya:

a. melakukan koordinasi;
b. melakukan sosialisasi;
c. mengadakan pendidikan dan pelatihan;
d. meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat; dan
e. melakukan pembinaan melalui sistem panti dan nonpanti.


Pasal 14
  Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga sosial paling sedikit melakukan:

a. bimbingan mental spiritual;
b. bimbingan fisik, disiplin, dan kepribadian;
c. konseling;
d. pelayanan program pendidikan mandiri;
e. pelatihan vokasional;
f. penggalian potensi dan sumber daya; dan/atau
g. peningkatan kemampuan dan kemauan.


Pasal 15
  Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga pendidikan paling sedikit melakukan:

a. kegiatan penanaman nilai-nilai budi pekerti;
b. pengawasan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi di lembaga pendidikan;
c. pengintegrasian bahan kajian pencegahan pornografi pada mata pelajaran yang relevan;
d. kegiatan ekstrakurikuler yang mengarahkan anak agar terbebas dari pengaruh pornografi; dan
e. sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai pornografi.


Pasal 16
  Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga keagamaan paling sedikit melakukan kegiatan:

a. bimbingan keagamaan yang meliputi aspek keimanan, sosial kemasyarakatan, dan akhlak;
b. pemberian motivasi untuk memahami dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai keagamaan; dan
c. konseling keagamaan.


Pasal 17
  Dalam melaksanakan pembinaan, keluarga dan/atau masyarakat:

a. mengupayakan pemecahan atas permasalahan yang dihadapi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
b. memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dan dampak pornografi;
c. membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
d. mengawasi pergaulan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
e. mengawasi penggunaan sarana komunikasi dan sarana informasi yang digunakan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan/atau
f. melakukan kegiatan lain dalam rangka pembinaan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


BAB III
PENDAMPINGAN


Pasal 18
  Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pendampingan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 19
  Dalam melaksanakan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya menyediakan:

a. pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial;
b. tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih;
c. petugas pembimbing rohani/ibadah;
d. tenaga pendidik; dan
e. tenaga bantuan hukum.


Pasal 20
  Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga sosial melakukan:

a. konseling;
b. terapi psikologis;
c. advokasi sosial;
d. peningkatan kemampuan dan kemauan;
e. penyediaan akses pelayanan kesehatan; dan/atau
f. bantuan hukum.


Pasal 21
  Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga pendidikan formal melakukan:

a. pencegahan dengan memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya pornografi melalui pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain yang dapat mencegah terjadinya tindakan pornografi;
b. bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi dibidang bimbingan dan konseling;
c. pendidikan khusus; dan/atau
d. kegiatan lain yang diperlukan.


Pasal 22
  (1) Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga keagamaan:
a. menyiapkan pendamping yang kompeten di bidang keagamaan; dan
b. menyiapkan model dan materi pendampingan yang terencana, sistemik, berkelanjutan, dan nyaman.

(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui peningkatan:

a. kesadaran dan pengetahuan tentang dampak buruk pornografi;
b. motivasi dan keyakinan tentang kehidupan masa depan yang lebih baik; dan
c. kepercayaan diri.


Pasal 23
  Dalam melaksanakan pendampingan, keluarga dan/atau masyarakat:

a. memberikan dukungan psikologis;
b. memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya; dan/atau
c. membangun hubungan yang setara dengan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan permasalahannya.


BAB IV

PEMULIHAN
Bagian Kesatu

Pemulihan Kesehatan Fisik dan Mental


Pasal 24
  Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 25
  Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya menyediakan:

a. tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih;
b. petugas pembimbing rohani/ibadah yang kompeten;
c. pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial; dan
d. sarana dan prasarana pemulihan kesehatan fisik dan mental anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 26
  Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga sosial melakukan:

a. terapi psikososial;
b. konseling;
c. kegiatan yang bermanfaat;
d. rujukan ke rumah sakit, rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat alternatif lain sesuai dengan kebutuhan; dan/atau
e. resosialisasi.


Pasal 27
  Dalam melakukan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga pendidikan:

a. memberikan bimbingan dan konseling di bawah pengawasan guru pembimbing di satuan pendidikan; dan
b. mengantarkan ke fasilitas pelayanan kesehatan dalam hal anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi mengalami penderitaan fisik.


Pasal 28
  Dalam melakukan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga keagamaan:

a. memotivasi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama;
b. mendorong dan melibatkan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperan serta secara aktif dalam kegiatan keagamaan; dan
c. memantau anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.


Pasal 29
  Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental, keluarga dan/atau masyarakat:

a. memberikan dukungan psikologis;
b. melakukan pengasuhan secara berkelanjutan; dan
c. mendampingi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.


Pasal 30
  Penanganan pemulihan kesehatan fisik dan mental dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih dan/atau petugas pembimbing rohani/ibadah yang kompeten.


Pasal 31
  (1) Penanganan pemulihan kesehatan fisik dan mental dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.

(2) Layanan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kuratif dan rehabilitatif.


Pasal 32
  (1) Pemulihan kesehatan fisik dan mental yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan diberikan dalam bentuk pelayanan yang meliputi:
a. pemeriksaan fisik, mental, dan kesehatan inteligensia;
b. pengobatan; dan
c. pencegahan terhadap penyakit menular.

(2) Bentuk pelayanan pemeriksaan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. konseling; dan
b. terapi perorangan/individu, keluarga, dan kelompok.

(3) Bentuk pelayanan pemeriksaan kesehatan inteligensia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. identifikasi gangguan kesehatan inteligensia;
b. pemeliharaan kesehatan inteligensia; dan
c. pemulihan kesehatan inteligensia.

(4) Pemulihan kesehatan fisik, mental, dan kesehatan inteligensia, dilaksanakan berdasarkan standar profesi, standar operasional prosedur, dan standar pelayanan.


Bagian Kedua
Pemulihan Sosial


Pasal 33
  Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pemulihan sosial terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 34
  Dalam melaksanakan pemulihan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya:

a. melakukan resosialisasi;
b. memberikan penyuluhan mengenai nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agama sesuai dengan agama yang dianut anak;
c. memberikan atau meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menerima kembali anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan
d. melakukan pemantauan secara berkala.


Pasal 35
  (1) Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga sosial melakukan rehabilitasi sosial.

(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:

a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan aksesibilitas;
h. bantuan dan asistensi sosial;
i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan/atau
k. rujukan.


Pasal 36
  (1) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilaksanakan dengan tahapan:
a. pendekatan awal;
b. pengungkapan dan pemahaman;
c. penyusunan rencana pemecahan masalah;
d. pemecahan masalah;
e. resosialisasi;
f. terminasi; dan
g. bimbingan lanjut.

(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 37
  Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga pendidikan memberikan bimbingan konseling yang dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi.


Pasal 38
  Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga keagamaan melakukan:

a. pemberian motivasi;
b. pengasuhan;
c. penyuluhan keagamaan;
d. pembimbingan kemasyarakatan;
e. pembimbingan keagamaan yang berkelanjutan; dan
f. pembimbingan dan pelatihan tentang keteraturan, kedisiplinan, keteladanan dan memahami serta mengamalkan ajaran agama secara baik.


Pasal 39
  Dalam melaksanakan pemulihan sosial, keluarga dan/atau masyarakat:

a. berempati dan tidak menyalahkan atas permasalahan yang dihadapi;
b. memberikan rasa nyaman dalam meningkatkan kepercayaan diri; dan/atau
c. memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya.


BAB V
PENGAWASAN


Pasal 40
  (1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
(3) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi yang dilakukan oleh lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan atau lembaga lain yang diperlukan.


Pasal 41
  Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 42
  Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 bertujuan untuk:

a. menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan
b. meningkatkan kualitas penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


Pasal 43
  (1) Pengawasan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dilakukan melalui penilaian terhadap penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.


BAB VI
PENDANAAN


Pasal 44
  Pendanaan penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 45
  Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 9 September 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.


DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 9 September 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 8686

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


Wisnu Setiawan




PENJELASAN

ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2011

TENTANG

PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI
I. UMUM

Anak merupakan harapan bangsa yang memiliki potensi besar dalam menjaga eksistensi dan kelestarian suatu bangsa dan negara. Untuk itu anak perlu dilindungi dan dijaga dari segala ancaman yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya.

Salah satu ancaman yang cukup signifikan dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak adalah pornografi. Dampak pornografi bagi anak sangat berbahaya, karena pornografi secara cepat dan kuat menstimulasi keinginan anak untuk menjadi pecandu seksual. Anak yang telah terkena pengaruh pornografi tidak hanya menjadikannya sebagai pecandu seksual tetapi juga dapat menjadikannya sebagai pelaku kekerasan seksual. Kekerasan seksual tersebut umumnya berobjek pada anak lainnya terutama pada anak perempuan sebagai korban.

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual atau korban pornografi umumnya mengalami penderitaan secara fisik, psikis, dan mental sehingga memerlukan pelayanan untuk memulihkan kondisinya baik fisik, psikis, mental, spiritual, maupun sosial anak. Dengan demikian diharapkan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dapat menjalankan aktivitasnya dan dapat hidup secara wajar dalam lingkungannya.

Sementara terhadap anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual atau pelaku pornografi perlu juga diberikan pelayanan dalam memulihkan kondisinya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat. Di samping itu dapat dikatakan bahwa anak yang menjadi pelaku pornografi pada hakekatnya adalah anak yang menjadi korban pornografi. Pelayanan yang diberikan kepada anak pelaku pornografi tersebut dapat berupa pembinaan, pendampingan, dan pemulihan dengan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam rangka memberikan perlindungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengamanatkan bahwa Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental. Kewajiban tersebut hanya dapat terselenggara dengan baik apabila disertai dengan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

Agar penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dilaksanakan secara optimal, maka perlu ada kerja sama yang baik antar Pemerintah dan pemerintah daerah dengan lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat. Kerja sama tersebut diperlukan mengingat anak memerlukan pelayanan lanjutan yang tidak dapat ditangani oleh satu lembaga. Untuk itu lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan kerja sama untuk saling melakukan rujukan. Selain lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan fasilitas pelayanan kesehatan, peran keluarga dan masyarakat sangat diperlukan bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk memberikan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.

Peran keluarga dan masyarakat dalam pembinaan antara lain meliputi memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dan dampak pornografi, membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, mengawasi pergaulan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, mengawasi penggunaan sarana komunikasi dan sarana informasi yang digunakan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Keluarga dan masyarakat berperan pula dalam melaksanakan pendampingan antara lain meliputi memberikan dukungan psikologis, memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya.

Untuk menjamin tercapainya tujuan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan meliputi penilaian terhadap pelaksanaan norma, standar, prosedur dan kriteria, standar pelayanan minimal, dan standar operasional prosedur pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.
  1. N/A
Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan “tempat lain yang memberikan pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan” antara lain Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).

Pasal 9

Yang dimaksud dengan “petugas pada tempat pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi” antara lain pekerja sosial profesional, tenaga kesehatan, dan relawan sosial.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ketentuan ini dapat berupa fasilitasi, petunjuk teknis, bimbingan teknis, dan bantuan lainnya.

Pasal 13

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pembinaan melalui sistem panti dan nonpanti” adalah pembinaan terhadap anak yang dilakukan dalam institusi panti atau di luar panti seperti di lingkungan keluarga.

Pasal 14

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “konseling” dalam ketentuan ini adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga sosial dalam bentuk wawancara, dimana anak dibantu memahami dirinya secara lebih baik, agar anak dapat mengatasi kesulitan dalam penyesuaian dirinya terhadap berbagai peranan dan relasi serta menemukan pemecahan permasalahan yang tepat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Peningkatan kemampuan dan kemauan dalam ketentuan ini diberikan dalam bentuk antara lain:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b. pemberian stimulan;
c. pelatihan keterampilan;
d. peningkatan kepercayaan diri; atau
e. penanaman nilai-nilai etika.

Pasal 15

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan ekstrakurikuler” dalam ketentuan ini adalah kegiatan untuk menyalurkan hobi, minat dan bakat anak guna meningkatkan kemampuan, daya kreativitas, jiwa sportivitas dan rasa percaya diri antara lain melalui kegiatan olah raga, seni bela diri, seni musik, seni peran dan tari.
Huruf e
Cukup jelas.

Pasal 16

Huruf a
Yang dimaksud dengan bimbingan keagamaan dalam ketentuan ini bukan hanya bimbingan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan saja, tetapi juga antara manusia dengan manusia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 17

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” dalam ketentuan ini antara lain penempatan komputer di ruang keluarga dan pengawasan anak dalam penggunaan internet.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “advokasi sosial” dalam ketentuan ini adalah upaya memberikan pendampingan, perlindungan, dan pembelaan terhadap anak.
Advokasi sosial diberikan dalam bentuk penyadaran mengenai hak dan kewajiban, pembelaan terhadap hak dan pemenuhan hak.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Bantuan hukum bagi anak dilakukan dalam bentuk pembelaan dan/atau konsultasi hukum sesuai kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Pemberian bantuan hukum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan lain yang diperlukan” dalam ketentuan ini antara lain olahraga, kegiatan kesenian, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menunjang pulihnya peserta didik.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Huruf a
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih” dalam ketentuan ini antara lain neurolog atau spesialis ahli syaraf, psikiater, dan terapis rehabilitasi medik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 26

Huruf a
Yang dimaksud dengan “terapi psikososial” dalam ketentuan ini adalah segala upaya pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial kepada anak yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kegiatan yang bermanfaat” antara lain permainan, olahraga, keterampilan dan rekreasi sesuai kebutuhan anak.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “resosialisasi” dalam ketentuan ini adalah salah satu tahapan pelayanan rehabilitasi sosial yang bertujuan agar anak dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih” dalam ketentuan ini antara lain neurolog atau spesialis ahli syaraf, psikiater, dan terapis rehabilitasi medik.

Pasal 31

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan” dalam ketentuan ini adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat, antara lain rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, praktek perorangan dan klinik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “layanan kesehatan yang bersifat kuratif” dalam ketentuan ini adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit atau
pengendalian kecacatan agar kualitas anak dapat terjaga seoptimal mungkin.
Yang dimaksud dengan “layanan kesehatan yang bersifat rehabilitatif” dalam ketentuan ini adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan anak ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “diagnosis psikososial” dalam ketentuan ini adalah segala upaya menenangkan anak dengan cara memperbaiki psikis dan sosialnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelatihan vokasional” dalam ketentuan ini adalah proses bimbingan dan pelatihan kepada anak agar memiliki keterampilan vokasional yang memadai.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “bimbingan sosial” dalam ketentuan ini adalah berbagai bentuk kegiatan membantu anak untuk meningkatkan kemampuannya, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah, serta menjalin dan mengendalikan hubungan-hubungan sosial mereka dalam lingkungan sosialnya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pelayanan aksesibilitas” dalam ketentuan ini adalah kemudahan yang disediakan bagi anak guna mewujudkan kesamaan, kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “bantuan sosial” dalam ketentuan ini adalah segala upaya yang diarahkan untuk meringankan penderitaan, melindungi, dan memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi psikososial dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki agar anak yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
Yang dimaksud dengan “asistensi sosial” dalam ketentuan ini adalah bentuk perlindungan sosial yang bertujuan memberi bantuan kepada anak yang tidak dapat tinggal di keluarganya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “bimbingan resosialisasi” dalam ketentuan ini adalah serangkaian kegiatan untuk memfasilitasi anak yang telah memperoleh layanan pemulihan psikososial agar dapat kembali ke dalam keluarga dan masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “bimbingan lanjut” dalam ketentuan ini adalah rangkaian kegiatan untuk lebih memantapkan kemandirian anak, baik berupa konsultasi, bantuan ulang, bimbingan peningkatan/pengembangan/pemasaran maupun petunjuk lain untuk memperkuat kondisi kehidupan bermasyarakat.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “rujukan” dalam ketentuan ini adalah pengalihan wewenang kepada pihak lain, untuk menangani anak lebih lanjut karena dinilai masih membutuhkan pelayanan atau bantuan sosial lanjutan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Pasal 36

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “terminasi” dalam ketentuan ini adalah pemutusan hubungan pelayanan bagi anak.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengasuhan” dalam ketentuan ini adalah bentuk pemenuhan kebutuhan anak ketika berada di lembaga pendidikan keagamaan, seperti bimbingan pembelajaran di pesantren.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pembimbingan kemasyarakatan” dalam ketentuan ini adalah suatu proses dimana anak bekerja sama untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan sosial, merencanakan cara-cara memenuhi
kebutuhan tersebut, serta memobilisasi sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat dengan berlandaskan pada prinsip partisipasi sosial.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 39

Huruf a
Yang dimaksud dengan “empati” dalam ketentuan ini adalah kemampuan untuk mengenali, menghayati, dan memahami perasaan anak.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemantauan” dalam ketentuan ini adalah kegiatan pengamatan terhadap penyelenggaraan
pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Yang dimaksud dengan “evaluasi” dalam ketentuan ini adalah kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi secara terukur dan objektif.
Yang dimaksud dengan “pelaporan” dalam ketentuan ini adalah kegiatan penyampaian hasil evaluasi.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5237