Lompat ke isi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021  (2021) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2021
TENTANG
PENERTIBAN KAWASAN DAN TANAH TELANTAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 180 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terkait hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar;
Mengingat:
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

MEMUTUSKAN

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERTIBAN KAWASAN DAN TANAH TELANTAR.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Kawasan Telantar adalah kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati Hak Atas Tanah yang telah memiliki Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.
  2. Tanah Telantar adalah tanah hak, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara.
  3. Hak Atas Tanah adalah hak yang diperoleh dari hubungan hukum antara Pemegang Hak dengan tanah termasuk ruang di atas tanah dan/atau ruang di bawah tanah untuk menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan serta memelihara tanah, ruang di atas tanah, dan/atau ruang di bawah tanah.
  4. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada Pemegang Hak Pengelolaan.
  5. Dasar Penguasaan Atas Tanah adalah keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi orang atau badan hukum untuk memperoleh, menguasai, mempergunakan, atau memanfaatkan tanah.
  6. Pemegang Hak adalah pemegang Hak Atas Tanah.
  7. Pemegang Hak Pengelolaan adalah Pemegang Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah adalah pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Izin adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan warga masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Konsesi adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan selain badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  5. Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha adalah pihak yang memegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Instansi adalah lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota yang menerbitkan Izin/Konsesi/ Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  7. Pimpinan Instansi adalah pimpinan lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota yang menerbitkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Badan Bank Tanah yang selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus (sui generis) yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah.
  1. Aset Bank Tanah adalah semua kekayaan yang dikuasai Bank Tanah baik berwujud atau tidak berwujud yang bernilai atau berharga akibat kejadian di masa lalu yang memberikan manfaat di masa yang akan datang.
  2. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang.
  3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang.
  4. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Kementerian di provinsi.
  5. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Kementerian di kabupaten/kota.
  6. Tanah Cadangan Umum Negara yang selanjutnya disingkat TCUN adalah tanah yang sudah ditetapkan sebagai Tanah Telantar dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.


BAB II
KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN/KONSESI/PERIZINAN BERUSAHA SERTA PEMEGANG HAK, PEMEGANG HAK PENGELOLAAN, DAN PEMEGANG DASAR PENGUASAAN ATAS TANAH


Bagian Kesatu
Kewajiban Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha


Pasal 2
  1. Setiap Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha wajib mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai.
  1. Setiap Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha wajib melaporkan pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai secara berkala.

Pasal 3
  1. Kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati Hak Atas Tanah yang telah memiliki Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan, menjadi objek penertiban Kawasan Telantar.
  2. Pimpinan Instansi melakukan penertiban terhadap Kawasan Telantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Dalam hal Pimpinan Instansi tidak melakukan penertiban Kawasan Telantar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri memberitahukan kepada Pimpinan Instansi untuk melakukan penertiban Kawasan Telantar.


Bagian Kedua
Kewajiban Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, dan Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah


Pasal 4
  1. Setiap Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, dan Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah wajib mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai.
  2. Pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pemeliharaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berfungsi sosial.
  1. Setiap Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, dan Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah wajib melaporkan pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pemeliharaan tanah yang dimiliki atau dikuasai secara berkala.

Pasal 5
  1. Tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara, menjadi objek penertiban Tanah Telantar.
  2. Menteri melakukan penertiban terhadap Tanah Telantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


BAB III
OBJEK PENERTIBAN KAWASAN TELANTAR DAN TANAH TELANTAR


Bagian Kesatu
Objek Penertiban Kawasan Telantar


Pasal 6
Objek penertiban Kawasan Telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
  1. kawasan pertambangan;
  2. kawasan perkebunan;
  3. kawasan industri;
  4. kawasan pariwisata;
  5. kawasan perumahan/pemukiman skala besar/terpadu; atau
  6. kawasan lain yang pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatannya didasarkan pada Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan ruang.


Bagian Kedua
Objek Penertiban Tanah Telantar


Pasal 7
  1. Objek penertiban Tanah Telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah.
  2. Tanah hak milik menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sehingga:
    1. dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan;
    2. dikuasai oleh pihak lain secara terus-menerus selama 20 (dua puluh) tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan Pemegang Hak; atau
    3. fungsi sosial Hak Atas Tanah tidak terpenuhi, baik Pemegang Hak masih ada maupun sudah tidak ada.
  3. Tanah hak guna bangunan, hak pakai, dan Hak Pengelolaan menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.
  4. Tanah hak guna usaha menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.
  1. Tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya Dasar Penguasaan Atas Tanah.

Pasal 8
Tanah Hak Pengelolaan yang dikecualikan dari objek penertiban Tanah Telantar meliputi:
  1. tanah Hak Pengelolaan masyarakat hukum adat; dan
  2. tanah Hak Pengelolaan yang menjadi Aset Bank Tanah.


BAB IV
INVENTARISASI KAWASAN DAN TANAH TERINDIKASI TELANTAR


Bagian Kesatu
Inventarisasi Kawasan Terindikasi Telantar


Pasal 9
  1. Inventarisasi kawasan terindikasi telantar dilaksanakan oleh Pimpinan Instansi sesuai dengan kewenangannya.
  2. Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan:
    1. sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini untuk kawasan yang Izin/Konsesi/Perizinan Berusahanya diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau
    2. 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha untuk kawasan yang Izin/Konsesi/Perizinan Berusahanya diterbitkan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
  1. Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan laporan, atau informasi kepada Pimpinan Instansi yang bersumber dari:
    1. Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha;
    2. Instansi; dan/atau
    3. masyarakat.
    4. Laporan atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan juga kepada Menteri.

Pasal 10
  1. Dalam hal Pimpinan Instansi tidak melaksanakan inventarisasi kawasan terindikasi telantar dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender terhitung sejak diterimanya 1aporan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3), inventarisasi dilakukan oleh Menteri.
  2. Dalam pelaksanaan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi, menteri, atau pimpinan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya.


Bagian Kedua
Inventarisasi Tanah Terindikasi Telantar


Pasal 11
  1. Inventarisasi tanah terindikasi telantar dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan.
  2. Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling cepat 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya Hak Atas Tanah, Hak pengelolaan, atau Dasar Penguasaan Atas Tanah.
  3. Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan laporan atau informasi yang bersumber dari:
  1. Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah;
  2. hasil pemantauan dan evaluasi Hak Atas Tanah dan Dasar Penguasaan Atas Tanah yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, dan Kementerian;
  3. kementerian/lembaga;
  4. pemerintah daerah; dan/atau
  5. masyarakat.

Pasal 12
  1. Hasil inventarisasi tanah terindikasi telantar dilampiri dengan data tekstual dan data spasial.
  2. Hasil pelaksanaan inventarisasi tanah terindikasi telantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diproses menjadi data tanah terindikasi telantar.

Pasal 13
  1. Menteri menyelenggarakan pengadministrasian dan pemeliharaan data tanah terindikasi telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dalam suatu basis data untuk keperluan pelaporan, bahan analisis, dan penentuan tindakan selanjutnya.
  2. Basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan dengan sistem informasi pertanahan Kementerian.


BAB V
PENERTIBAN KAWASAN TELANTAR DAN TANAH TELANTAR


Bagian Kesatu
Penertiban Kawasan Telantar


Paragraf 1
Umum

Pasal 14
Penertiban Kawasan Telantar dilakukan melalui tahapan:
  1. evaluasi Kawasan Telantar;
  2. peringatan Kawasan Telantar; dan
  3. penetapan Kawasan Telantar.

Paragraf 2
Evaluasi Kawasan Telantar

Pasal 15
  1. Evaluasi Kawasan Telantar bertujuan untuk memastikan Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai.
  2. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kelompok kerja yang dibentuk dan ditetapkan oleh Pimpinan Instansi.
  3. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
    1. pemeriksaan terhadap dokumen Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha;
  1. pemeriksaan terhadap rencana pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan;
  2. pemeriksaan terhadap pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan secara faktual; dan
  3. pemberitahuan kepada Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha untuk mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai.
  1. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.
  2. Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi diketahui Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha sengaja tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, dan/atau tidak memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai, Pimpinan Instansi menyampaikan pemberitahuan kepada Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha untuk mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal diterbitkannya pemberitahuan.
  3. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir dan Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tetap tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, dan/atau tidak memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai, maka dilakukan proses pemberian peringatan.

Pasal 16
  1. Dalam hal Pimpinan Instansi tidak melaksanakan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, evaluasi Kawasan Telantar dilakukan oleh Menteri.
  2. Dalam pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi, menteri, atau pimpinan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya.

Paragraf 3
Peringatan Kawasan Telantar

Pasal 17
  1. Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disimpulkan terdapat Kawasan Telantar, Pimpinan Instansi memberikan peringatan tertulis pertama kepada pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha.
  2. Peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi peringatan agar Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan pertama.
  3. Dalam hal Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tidak melaksanakan peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan Instansi memberikan peringatan tertulis kedua yang berisi peringatan agar Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan kedua.
  1. Dalam hal Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tidak melaksanakan peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pimpinan Instansi memberikan peringatan tertulis ketiga yang berisi peringatan agar Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai dalam jangka waktu paling lama 45 (empat putuh lima) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan ketiga.
  2. Peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga disampaikan juga kepada instansi terkait lainnya.

Pasal 18
Dalam hal alamat Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tidak diketahui atau tidak sesuai, proses pemberitahuan dan peringatan dalam pelaksanaan penertiban Kawasan Telantar dilakukan dengan ketentuan:
  1. diumumkan di kantor desa/kelurahan setempat;
  2. diumumkan di situs web Instansi dan Kementerian; dan
  3. disampaikan ke alamat Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha yang terdaftar pada sistem informasi badan hukum yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Pasal 19
  1. Dalam hal Pimpinan Instansi tidak memberikan peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, pemberian peringatan Kawasan Telantar dilakukan oleh Menteri.
  1. Dalam pemberian peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi, menteri, atau pimpinan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya.

Paragraf 4
Penetapan Kawasan Telantar

Pasal 20
  1. Dalam hal Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tidak melaksanakan peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud daiam Pasal 17 ayat (4), Pimpinan Instansi menetapkan kawasan tersebut sebagai Kawasan Telantar.
  2. Penetapan Kawasan Telantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga:
    1. pencabutan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha; dan/atau
    2. penegasan sebagai kawasan yang dikuasai langsung oleh negara.
  3. Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Telantar dapat ditetapkan sebagai Aset Bank Tanah atau dialihkan kepada pihak lain melalui mekanisme yang transparan dan kompetitif.

Pasal 21
Dalam hal Pimpinan Instansi tidak menetapkan Kawasan Telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, penetapan Kawasan Telantar dilakukan oleh Menteri.Dalam penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi, menteri, atau pimpinan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya.


Bagian Kedua
Penertiban Tanah Telantar


Paragraf 1
Umum

Pasal 22
  1. Data tanah terindikasi telantar ditindaklanjuti dengan penertiban Tanah Telantar.
  2. Penertiban Tanah Telantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan:
    1. evaluasi Tanah Telantar;
    2. peringatan Tanah Telantar; dan
    3. penetapan Tanah Telantar.

Paragraf 2
Evaluasi Tanah Telantar

Pasal 23
  1. Evaluasi Tanah Telantar bertujuan untuk memastikan Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai.
  2. Evaluasi Tanah Telantar dilaksanakan oleh panitia yang dibentuk dan ditetapkan oleh kepala Kantor Wilayah.
  3. Evaluasi Tanah Telantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
    1. pemeriksaan terhadap dokumen Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan, atau Dasar Penguasaan Atas Tanah;
  1. pemeriksaan terhadap rencana pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pemeliharaan tanah;
  2. pemeriksaan terhadap pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pemeliharaan tanah secara faktual; dan
  3. pemberitahuan kepada Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah untuk mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai.
  1. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.
  2. Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi diketahui Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah sengaja tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai, kepala Kantor Wilayah menyampaikan pernberitahuan kepada Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah untuk mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal diterbitkannya pemberitahuan.
  3. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir dan Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tetap tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai, maka dilakukan proses pemberian peringatan.

Pasal 24
  1. Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi disimpulkan tidak terdapat tanah yang ditelantarkan dengan sengaja, kepala Kantor Wilayah mengusulkan penghapusan dari basis data tanah terindikasi telantar kepada Menteri.
  2. Menteri menindaklanjuti usulan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menghapusnya dari basis data tanah terindikasi telantar.

Paragraf 3
Peringatan Tanah Telantar

Pasal 25
  1. Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi disimpulkan terdapat Tanah Telantar, kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah dan pihak lain yang berkepentingan.
  2. Peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi peringatan agar Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanahnya dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan pertama.
  1. Dalam hal Pemegang Hak, Pemegang Hak pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak melaksanakan peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua yang berisi peringatan agar Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanahnya dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan kedua.
  2. Dalam hal Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak melaksanakan peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala Kanror Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga yang berisi peringatan agar Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanahnya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan ketiga.
  3. Selain disampaikan kepada Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah, peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga disampaikan juga kepada:
    1. Menteri;
    2. pemegang hak tanggungan, dalam hal tanah dibebani dengan hak tanggungan; dan
    3. pimpinan instansi yang mengelola barang milik negara/daerah atau aset badan usaha milik negara/daerah, dalam hal tanah berstatus sebagai barang milik negara/daerah atau aset badan usaha milik negara/daerah.

Pasal 26
Dalam hal alamat Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak diketahui atau tidak sesuai, proses pemberitahuan dan peringatan dalam pelaksanaan penertiban Tanah Telantar dilakukan dengan ketentuan:
  1. untuk Pemegang Hak dan Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah perorangan, surat pemberitahuan dan peringatan diumumkan di kantor desa/kelurahan setempat dan situs web Kementerian; atau
  2. untuk Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, dan Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah badan hukum/instansi Pemerintah Pusat/pemerintah daerah/badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, surat pemberitahuan dan peringatan disampaikan ke alamat Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah yang terdaftar pada sistem informasi badan hukum yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dan/atau situs web Kementerian.

Pasal 27
Dalam hal alamat Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak melaksanakan peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), kepala Kantor Wilayah dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja mengusulkan penetapan Tanah Telantar kepada Menteri.

Pasal 28
Terhadap tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai Tanah Telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas bidang tanah tersebut sampai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri.

Paragraf 4
Penetapan Tanah Telantar

Pasal 29
Penetapan Tanah Telantar dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan penetapan Tanah Telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

Pasal 30
  1. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Telantar berupa tanah hak atau tanah Hak Pengelolaan dan merupakan keseluruhan hamparan, penetapan Tanah Telantar memuat juga:
    1. hapusnya Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan;
    2. putusnya hubungan hukum; dan
    3. penegasan sebagai tanah negara bekas Tanah Telantar yang dikuasai langsung oleh negara.
  2. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Telantar berupa tanah hak atau tanah Hak Pengelolaan dan merupakan sebagian hamparan, penetapan Tanah Telantar memuat juga:
    1. hapusnya Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan pada bagian yang ditelantarkan;
    2. putusnya hubungan hukum antara Pemegang Hak atau Pemegang Hak Pengelolaan dengan bagian tanah yang ditelantarkan;
    3. penegasan sebagai tanah negara bekas Tanah Telantar yang dikuasai langsung oleh negara terhadap bagian tanah yang ditelantarkan; dan
    4. perintah untuk melakukan revisi luas Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan.
  1. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Telantar merupakan tanah yang telah diberikan Dasar Penguasaan Atas Tanah, penetapan Tanah Telantar memuat juga:
    1. pemutusan hubungan hukum antara pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah dan tanah yang dikuasai; dan
    2. penegasan sebagai tanah negara bekas Tanah Telantar yang dikuasai langsung oleh negara.
  2. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Telantar berstatus sebagai barang milik negara/daerah atau aset badan usaha milik negara/daerah, penetapan Tanah Telantar memuat juga rekomendasi kepada pimpinan instansi yang mengelola barang milik negara/daerah atau aset badan usaha milik negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah.

Pasal 31
  1. Revisi luas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf d menjadi beban Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah.
  2. Dalam hal revisi luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilaksanakan, Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak dapat melakukan perbuatan hukum lainnya terkait tanah tersebut.
  3. Apabila dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender tidak dilaksanakan revisi luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah, maka tanah yang tidak ditelantarkan dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah yang ditelantarkan dan menjadi Tanah Telantar secara keseluruhan.

Pasal 32
  1. Tanah yang telah ditetapkan sebagai Tanah Telantar, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak penetapan, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah.
  2. Dalam hal bekas Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), benda yang ada di atasnya menjadi aset yang diabaikan.

Pasal 33
Tanah yang telah ditetapkan sebagai Tanah Telantar dapat menjadi Aset Bank Tanah dan/atau TCUN.


BAB VI
PENDAYAGUNAAN KAWASAN TELANTAR DAN TCUN


Bagian Kesatu
Pendayagunaan Kawasan Telantar


Pasal 34
  1. Dalam rangka pendayagunaan Kawasan Telantar, Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha yang telah dicabut dapat dialihkan kepada pihak lain melalui mekanisme yang transparan dan kompetitif.
  2. Pengalihan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pimpinan Instansi.
  3. Dalam hal Pimpinan Instansi tidak melakukan pengalihan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak penetapan Kawasan Telantar, Menteri melaporkan kepada Presiden.


Bagian Kesatu
Pendayagunaan TCUN


Pasal 35
  1. Pendayagunaan TCUN ditujukan untuk pertanian dan nonpertanian dalam rangka kepentingan masyarakat dan negara melalui:
    1. reforma agraria;
    2. proyek strategis nasional;
    3. Bank Tanah; dan
    4. cadangan negara lainnya.
  2. Pendayagunaan TCUN dapat berdasarkan usulan atau informasi yang berasal dari:
    1. kementerian/lembaga;
    2. Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan; dan/atau
    3. pemerintah daerah.
  3. Pendayagunaan TCUN memperhatikan:
    1. kebijakan strategis nasional;
    2. rencana tata ruang; dan/atau
    3. kesesuaian tanah dan daya dukung wilayah.
  4. Pendayagunaan TCUN ditetapkan oleh Menteri.


BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 36
Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Kawasan Telantar dan Tanah Telantar.

Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban dan pendayagunaan Kawasan Telantar dan Tanah Telantar diatur dalam Peraturan Menteri.


BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 38
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
  1. hasil dari inventarisasi tanah terindikasi telantar yang dilakukan berdasarkan peraturan sebelumnya dinyatakan masih berlaku dan ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;
  2. kegiatan penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar yang sedang berlangsung ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; dan
  3. kegiatan penertiban Tanah Telantar yang telah dilaksanakan berdasarkan peraturan sebelumnya namun belum sampai pada tahap penetapan Tanah Telantar dilaksanakan kembali mulai dari tahap awal dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 39
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
  1. semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; dan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 40
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 30

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Deputi Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,


cap dan ttd.

Lydia Silvanna Djaman

Penjelasan

[sunting]

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2021
TENTANG
PENERTIBAN KAWASAN DAN TANAH TELANTAR

I. UMUM
Tanah adalah modal dasar dalam pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Oleh karena itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada Hak Atas Tanah-nya maupun yang baru berdasarkan perolehan tanah masih banyak dalam keadaan telantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Mencermati kondisi tersebut, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat dan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.
Dalam rangka mempertahankan kualitas tanah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, para Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengeloiaan, dan Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah, diharapkan dapat menjaga dan memelihara tanahnya serta tidak melakukan penelantaran. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan mengenai penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar. Dalam kenyataan dewasa ini, penelantaran tanah semakin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional serta tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah.

Negara memberikan Hak Atas Tanah kepada Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik. Hal ini selain bertujuan untuk kesejahteraan bagi Pemegang Hak-nya juga ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara. Pada saat negara memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum, selalu diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan surat keputusan pemberian haknya. Dengan demikian, Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya. Dalam hal Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, UUPA telah mengatur akibat hukumnya, yaitu hapusnya Hak Atas Tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Bagi tanah yang belum ada Hak Atas Tanah-nya, tetapi sudah ada dasar penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu Hak Atas Tanah sesuai ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 16 UUPA. Oletr karena itu, orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pelepasan tanah itu dari hak orang lain, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan, berkewajiban untuk memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan Hak Atas Tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat Hak Atas Tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian, pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan Tanah Telantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUPA, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Dalam rangka untuk menertibkan Tanah Telantar, pada masa awal reformasi telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 24 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, peraturan-peraturan tersebut belum dapat dijalankan dengan efektif karena banyak hal yang tidak dapat lagi dijadikan sebagai acuan dalam penyelesaian penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar sehingga kemudian digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terbit pada tanggal 22 Januari 2010 dan telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar juncto Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar.
Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dinilai belum efektif dalam mengakomodasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar. Permasalahan-permasalahan tersebut di antaranya berkaitan dengan objek, jangka waktu peringatan, tata cara untuk mengeluarkan tanah-tanah yang sudah dimanfaatkan dari basis data tanah terindikasi telantar, dan sebagainya.
Seiring dengan dinamika pembangunan nasional, selain Tanah Telantar, saat ini berdasarkan fakta di lapangan juga terdapat cukup banyak Kawasan Telantar. Kawasan Telantar tersebut yaitu kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati Hak Atas Tanah yang telah memiliki Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.
Apabila tidak segera ditangani, penelantaran kawasan dapat mengakibatkan semakin tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi serta semakin menurunnya kualitas lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu pengaturan untuk mengantisipasi atau meminimalisasi dampak negatif dari penelantaran kawasan.
Selain didasarkan pada kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, pengaturan terhadap Kawasan Telantar dan Tanah Telantar dimaksudkan pula untuk melaksanakan amanat dari Pasal 180 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "izin" dapat berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI), Izin Tanda Daftar Usaha Pariwisata (Izin TDUP), dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan "Konsesi" dapat berupa Konsesi pembukaan tambang, Konsesi perkebunan sawit, Konsesi jalan tol, Konsesi pelabuhan, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha" dapat berupa kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, sertifikat laik fungsi, dan sebagainya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "sengaja" adalah apabila Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha secara de facto tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, dan/atau tidak memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai sesuai dengan kewajiban yang ditetapkan dalam Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau rencana pengusahaan atau pemanfaatan kawasan.
Tidak termasuk unsur "sengaja" apabila:
  1. Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan menjadi objek perkara di pengadilan;
  2. Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan tidak dapat diusahakan, dipergunakan, dan/atau dimanfaatkan karena adanya perubahan rencana tata ruang;
  3. kawasan dinyatakan sebagai kawasan yang diperuntukkan untuk konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

  1. Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan tidak dapat diusahakan, dipergunakan, atau dimanfaatkan karena adanya keadaan kahar (force majeure) antara lain peperangan, kerusuhan, bencana alam, dan bencana lainnya, yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "berfungsi sosial" adalah bahwa setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib mempergunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, dan mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)
Tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pendaftaran tanah.
Yang dimaksud dengan "sengaja" adalah apabila Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah secara de facto tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai, sesuai dengan keputusan pemberian haknya dan/atau rencana pengusahaan, penggunaan, atau pemanfaatan tanahnya.

Tidak termasuk unsur "sengaja" apabila:
  1. tanah menjadi objek perkara di pengadilan;
  2. tanah tidak dapat diusahakan, dipergunakan, dimanfaatkan, dan/atau dipelihara karena adanya perubahan rencana tata ruang;
  3. tanah dinyatakan sebagai tanah yang diperuntukkan untuk konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  4. tanah tidak dapat diusahakan, dipergunakan, dimanfaatkan, dan/atau dipelihara karena adanya keadaan kahar (force majeure) antara lain peperangan, kerusuhan, bencana alam, dan bencana lainnya, yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.

Yang dimaksud dengan "tidak dipelihara" adalah tidak dilaksanakannya fungsi sosial sebagaimana diatur dalam UUPA. Contoh perbuatan tidak memelihara tanah antara lain:
  1. tidak ada kepedulian dari Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah secara de facto untuk mengelola atau memelihara tanah sehingga tanahnya terbengkalai;
  2. tidak ada kepedulian atau peringatan dari Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah secara de facto sehingga tanahnya dikuasai oleh pihak lain; atau
  3. tidak ada kepedulian dari Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah secara de facto untuk mengelola atau memelihara tanah sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan/atau bencana (longsor, banjir, dan sebagainya).
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dasar Penguasaan Atas Tanah dapat berupa:
  1. akta jual beli atas hak tanah yang sudah bersertipikat yang belum dibalik nama;
  2. akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertipikatnya;
  3. surat izin menghuni;
  4. risalah lelang;
  5. keputusan pelepasan kawasan hutan; atau
  6. bukti penguasaan lainnya dari pejabat yang berwenang.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kawasan terindikasi telantar" adalah kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati Hak Atas Tanah yang telah memiliki Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan yang belum dilakukan penertiban.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tanah terindikasi telantar" adalah tanah hak, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara yang belum dilakukan penertiban.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam surat peringatan pertama perlu disebutkan hal-hal yang secara konkret harus dilakukan oleh Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tertulis dimaksud.

Ayat (3)
Dalam surat peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan pertama, menyebutkan kembali hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tertulis dimaksud.
Ayat (4)
Dalam surat peringatan ketiga yang merupakan peringatan terakhir, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan kedua, menyebutkan hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tertulis dimaksud.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "mekanisme yang transparan dan kompetitif" dapat berupa proses lelang secara terbuka.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak lain yang berkepentingan" antara lain pemegang hak tanggungan dan pimpinan instansi yang mengelola barang milik negara/daerah atau aset badan usaha milik negara/daerah.
Ayat (2)
Dalam surat peringatan pertama perlu disebutkan hal-hal yang secara konkret harus dilakukan oleh Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar penguasaan Atas Tanah tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tertulis dimaksud.
Ayat (3)
Dalam surat peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan tertulis pertama, menyebutkan kembali hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tertulis dimaksud.
Ayat (4)
Dalam surat peringatan ketiga yang merupakan peringatan terakhir, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan tertulis kedua, menyebutkan hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, atau Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan tertulis dimaksud.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Yang dimaksud dengan "perbuatan hukum" antara lain peralihan hak, pembebanan hak tanggungan, serta penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Hapusnya Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan pada bagian yang ditelantarkan tidak mengakibatkan hapusnya Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan pada bagian tanah yang tidak ditelantarkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)
Pihak lain yang akan diberikan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha harus memiliki kemampuan dan sumber daya yang memadai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 35

Ayat (1)
Huruf a
Reforma agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UUPA. Penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas Tanah Telantar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "proyek strategis nasional" adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, danf atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat dan pembangunan daerah.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cadangan negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan Pemerintah Pusat atau pemerintah daerah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, serta relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang" meliputi rencana umum dan rencana rinci tata ruang.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6632