Lompat ke isi

Peraturan Perbururan Di Perusahaan Perindustrian (Kerajinan)

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Perbururan Di Perusahaan Perindustrian (Kerajinan)
(Arbeidsregeling-Nijverheidsbedrijven)
S. 1941-467, s. d. u. terakldr dg. S. 194 7-208, mb. pada tanggal 1 Agustus 1948 dg. S. 1948-163.

Pas. 1. Untuk melaksanakan Peraturan ini dan peraturan pelaksanaannya, maka yang dimaksud dengan: a. perusahaan, ialah suatu perusahaan perindustrian yang diurus secara tersendiri maupun tidak, dan termasuk jenis perusahaan yang dituwuk berdasarkan pasal 3, sepanjang hal itu tidak dikecualikan dengan pasal 2; b. majikan (pemberi pekerjaan), ialah pemilik perusahaan, wakilnya atau peng urus perusahaan; c. buruh, ialah orang yang bekerja pada perusahaan itu dan yang tidak dianggap sebagai majikan. (kalimat " de tot de Indonesiers of Vreemde Oosterlingen behorende persoon, die, niet vallende onder artikel 1603 x eerste alinea van het Burgerlijk Wetboek", kini dianggap tidak berlaku).

Pasal 2. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini tidak berlaku lagi: a. perusahaan-perusahaan di luar Jawa, di rnana para buruhnya bekerja berdasarkan S. 1911-540 sub kedua; b. perusahaan-perusahaan negara.

Pasal 3. (s.d.u. dg. S. 194 7-208 dan S. 1948-291.) (1) Oleh Hoofd van het Departement Sociale Zaken (kini dapat disamakan dengan Menteri Tenaga Kerja) ditunjuk jenis-jenis perusahaan, terhadap mana ketentuan-ketentuan Peraturan ini diberlakukan. (*) (2) Menteri Tenaga Kerja dapat menentukan bahwa berlakunya Peraturan ini untuk beberapa daerah tertentu dibatasi sampai perusahaan-per-usahaan yang besarnya tertentu saja, kecuali bila Hoofd van de Afdeling Arbeid van het Departement van Sociale Zaken (kini dapat disamakan dengan Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja) menentukan lain terhadap satu atau beberapa perusahaan. Dalam menentukan besarnya perusahaan, ialah perusahaanperusahaan yang sama dalam usahanya dan merupakan kesatuan dan mempunyai hubungan langsung dengan induk-perusahaannya, atau perusahaan-perusahaan yang merupakan cabang-cabang dari induk-perusahaannya dianggap sebagai satu perusahaan. (*) Dengan S. 1948-162 Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian sebagai diubah dengan Ordonnatie tanggal 27 Nopember 1947, Stbl nr. 208, berlaku terhadap jenis pemsahaan sebagai berikut: - perusahaan batik; - pabrik biskuit dan beschuit; - perusahaan tepung gaplek (tapioka); - penjemuran kopra; - percetakan; - penggodokan gambir; - perusahaan kapuk; - perusahaan kulit; - perusahaan baja; - perusahaan mebel; - perusahaan mi dan mihun; - pabrik minyak, kecuali perusahaan yang mengerjakan minyak tanah; - penggilingan beras; - perusahaan cerutu dan sigaret; - perusahaan rokok; - perusahaan kembang gula dan coklat; - perusahaan pengolahan tembakau; - perusahaan tegel dan barang dari tanah list; - tempat pengerinan teh, pemilihan/ pernisahan dan pembungkusan teh, kecuali perusahaan itu adalah bagian dari pabrik teh di perusahaan perkebunan; - pabrik petasan; - pabrik es; - pertenunan; - pabrik roti dan kue; tempat peniupan kaca; - tempat pembuatan kecap; - pabrik barang dari karet; Mulai berlaku bersamaan dengan mulai berlakunya Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian.

Pasal 4. (s.d. u. dg. S. 1947-208.) Majikan wajib memelihara buku-buku pembayaran atau buku-buku lainnya tentang penyelesaian pembayaran dengan buruhnya, menurut cara yang ditetapkan atau disetujui oteh Menteri Tenaga Kerja; cara-cara yang ditetapkan itu dapat memuat ketentuan-ketentuan khusus untuk perusahaan-perusahaan atau cabang-cabang perusahaan tertentu.

Pasal 5. (1) Majikan wajib menjamin agar seluruh jumlah upah yang berupa uang dibayarkan kepada buruh secara teratur dan sedikit-dikitnya sekali dalam satu bulan. (2) (s.d.u. dg. S. 1947-208.) Terhadap upah yang berupa uang itu, kecuali pemotongan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 23 Ordonansi Pajak Upah, hanya boleh dilakukan pemotongan untuk utang-utang kepada majikan atau denda yang dijatuhkan oleh majikan dan untuk iuran dana yang memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan atau yang disetujui oleh Menteri Tenaga Kerja. (3) Jumlah pemotongan termaksud pada ayat terdahulu, seluruhnya tidak boleh lebih dari seperempat bagian dari upah yang berupa uang yang diterima buruh sejak pembayaran upah yang terakhir. (4) (s.d. u. dg. S. 1947-208.) Menteri Tenaga Kerja berwenang untuk mengizinkan penyimpangan dari ketentuan ayat (3) bagi perusahaan-perusahaan atau cabang-cabang perusahaan tertentu. (5) Majikan dilarang mendenda buruh dalam jangka waktu tujuh hari sampai suatu jumlah uang yang melebihi sepersepuluh bagian dari upah berupa uang yang diterimanya selama jangka waktu itu. Denda-denda ini, baik langsung maupun tidak langsung, tidak boleh menjadi keuntungan pribadi majikan. (6) (s.d. u. dg. S. 194 7-208.) Menteri Tenaga Kerja berwenang mengeluarkan peraturan bagi perusahaan atau cabang-cabang perusahaan tertentu, yang memuat ketentuan-ketentuan dalam hal bagaimana dan sampai jumlah berapa, buruh dapat didenda dengan mernperhatikan jumlah maksimum tersebut pada ayat (5).

Pasal 6. (1) (s. d. u. dg. S. 194 7-208.) Majikan dilarang untuk secara langsung atau tidak langsung: a. memperhitungkan bunga atas uang pinjaman atau uang muka yang diberikan kepada buruh; b. mengadakan pungutan kepada buruh atas pemakaian bahan atau peralatan milik perusahaan atau perawatannya ataupun sebagai bantuan untuk biaya perusahaan. c. menjual barang-barang kepada buruh dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang berlaku setempat; d. mewajibkan buruh untuk menggunakan upahnya atau sebagian upahnya untuk keperluan tertentu, kecuali dalam hal buruh secara sukarela mengikatkan diri untuk ikut serta dalam dana seperti yang dimaksudkan dalam pasal 5 ayat (2); e. meminta kepada seorang buruh untuk bertanggung jawab atas kewajiban buruh lain terhadap majikan; f. menetapkan upah buruh dalam bentuk lain daripada uang. Menteri Tenaga Kerja berwenang mengizinkan penyimpangan dari ketentuan ini dengan syarat-syarat yang ditentukannya. (2) Tiap perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1) pasal ini adalah batal demi hukum.

Pasal 7. (1) Majikan wajib menjamin agar buruh dalam jangka waktu 24 jam berturut-turut tidak melakukan pekerjaan selama lebih dari 9 jam (berdasarkan peraturan perundang-undangan perburuhan Republik Indonesia dalam hal ini harus dibaca 8 jam) untuk kepentingan perusahaan, dan agar buruh menikmati satu hari istirahat mingguan secara penuh. (2) Dalam memperhitungkan jumlah jam kerja seperti yang dimaksudkan dalam ayat (1), hanya boleh dikurangkan waktu-waktu istirahat, yang masingmasing lamanya sedikitnya setengah jam. (3) (s.d.u. dg. S. 1947-208.) Menteri Tenaga Keria berwenang untuk membebaskan perusahaan-perusahaan atau cabang-cabang perusahaan tertentu dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (1), berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan olehnya.

Pasal 8. (s.d. u. dg. S. 194 7-208.) Menteri Tenaga Kerja berwenang untuk menetapkan peraturan bagi perusahaan-perusahaan tertentu atau cabang-cabangnya tentarkg syarat-syarat kesehatan dan kebersihan pada ruang-ruangan dan tempat-tempat lain di mana buruh bekerja, demikian pula mengenai kondisi kerja.

Pasal 9. (1) Bila majikan langsung atau tidak langsung memberikan perumahan kepada buruh, maka Ia wajib mengusahakan perumahan yang layak. (2) (s.d.u. dg. S. 1947-208.) Menteri Tenaga Kerja berwenang untuk mengeluarkan peraturan-peraturan khusus mengenai perumahan bagi perusahaanperusahaan atau cabang perusahaan tertentu.

Pasal 10. Pasal ini dianggap tidak perlu lagi berhubung dengan telah adanya Undang-undang no. 7 tahun 1981 (LN. 1981-39) tentang wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan.

Pasal 11. (1) (s.d.u. dg. S. 1947-208.) Dikenakan hukuman kurungan paling tinggi satu bulan atau denda paling tinggi seratus gulden, seorang majikan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam pasal: 4, 5, ayat (1), (2), (3) dan (5), 6 ayat (1), 7 ayat (1), 9 ayat (1) dan 10, ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja yang didasarkan atas pasal: 5 ayat (4) dan (6), 8 dan 9 ayat (2), dan begitu pula beberapa syat-at-syarat yang bersangkutan dengan surat izin yang diberikan berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf f. (2) Bila majikan adalah badan hukum, tuntutan dilakukan dan pidana diputuskan terhadap pengurus. (3) Bila pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka ketentuan-ketentuan dalam ayat terdahulu berlaku pula terhadap pengurus yang memimpin badan hukum termaksud.

Pasal 12. (1) Selain pejabat dan pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran pada umumnya, maka para pejabat inspeksi kerja (kini: Pejabat yang bersangkutan dari Departetnen Tenaga Kerja) diserahi tugas untuk menjaga supaya Peraturan ini ditaati, untuk membantu pelaksanaanwa dan pengusutan pelanggaran-pelanggarannya. (2) Para pejabat seperti yang dimaksudkan dalam ayat terdahulu, begitu pula para pegawainya yang turut-serta mendampinginya, selalu dapat memasuki tempat-tempat di mana para buruh dipekeriakan, dan memasuki perumahan para buruh. Bila mereka ditolak memasukinya, mereka dapat meminta bantuan polisi jika dianggap perlu.

Pasal 13. Pengaturan selanjutnya yang diperlukan dan yang berhubungan dengan pelaksanaan dan pembinaan Peraturan ini, dilakukan dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

Pasal 14. Pasal ini dalam keadaan sekarang dianggap tidak perlu lagi, karena peraturan perundang-undangan ini berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pasal 15. (s.d.u. dg. S. 1947-208.) Peraturan-peraturan seperti yang dimaksudkan dalam pasal: 4, 5 ayat (6), 8 dan 9 ayat (2) yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja, sepanjang hal itu mengenai cabang-cabang perusahaan, dimuat dalam Berita Negara (Javasche Courant).

Pasal 16. (1) Peraturan ini dapat disebut "Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian". (2) Disertai anotasi: Dengan S. 1948-163 dinyatakan Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1948.