Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 6 Tahun 2010

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak
Nomor 6 Tahun 2010
 (2010) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 




PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK
NOMOR 6 TAHUN 2010
TENTANG
PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LEBAK,
Menimbang :
  1. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengaturan mengenai Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah ;
  2. bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah ;
  3. bahwa kebijakan tentang Pajak Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, peran serta masyarakat, akuntabilitas dan transparansi dengan memperhatikan potensi daerah 2 ;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.


Mengingat  :
  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013) ;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) ;
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851) ;
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010) ;
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389) ;
  6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 3 Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ;
  7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438) ;
  8. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) ;
  9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) ;
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145) ;
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4 2005 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578) ;
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593) ;
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737) ;
  14. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 6 Tahun 1986 tentang Penunjukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Penyidikan Terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah yang Memuat Ketentuan Pidana (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Tahun 1986 Nomor 3 Seri E) ;
  15. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2004 Nomor 11 Seri B) ;
  16. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Produk Hukum Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2006 Nomor 13) ;
  17. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2006 Nomor 15) ;5
  18. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2007 tentang Penetapan Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2007 Nomor 8) ;
  19. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2007 Nomor 10) ;
  20. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Air Tanah (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2008 Nomor 3) ;
  21. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2008 Nomor 4) ;



Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LEBAK
dan
BUPATI LEBAK

MEMUTUSKAN :


Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
  1. Daerah adalah Kabupaten Lebak.
  2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  3. Bupati adalah Bupati Lebak.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lebak.
  5. Dinas adalah perangkat daerah yang bertanggungjawab dan berwenang dalam melaksanakan pengelolaan dan pemungutan pajak daerah.
  6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  7. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.7
  8. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang mela kukan u saha maupun yang tida k mela kukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, organisasi profesi atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya ter masuk kontrak in vestasi kolekti f dan bentuk usaha tetap.
  9. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
  10. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran , yang men cakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
  11. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
  12. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
  13. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
  14. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
  15. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
  16. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempro mosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, 8 atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
  17. Nilai Jual Objek Rekla me yang selanjutnya disingkat NJOR adalah merupakan keseluruhan pembayaran atau pengeluaran biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemilik dan/atau penyelenggara reklame termasuk dala m hal ini adalah biaya/harga beli bahan reklame, konstruksi, instalasi listrik, pembayaran/ongkos perakitan, pemancaran, peragaan, pemasangan dan transportasi pengangkutan dan lain sebagainya sampai dengan bangunan reklame selesai, dipancarkan, diperagakan, ditayangkan, dan/atau terpasang di tempat yang telah diizinkan.
  18. Nilai Strategis Pemasangan Reklame yang selanjutnya disingkat NSPR adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi pemasangan reklame berdasarkan kriteria kepadatan pemanfaatan tata ruang kota untuk berbagai aspek kegiatan.
  19. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
  20. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
  21. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
  22. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
  23. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
  24. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah. 9
  25. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
  26. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan atau pengusahaan sarang burung walet.
  27. Burung Walet adalah satwa yang ter masuk marga co llocalia , yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
  28. Pajak Bu mi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali ka wasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
  29. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.
  30. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
  31. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli , NJOP diten tukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  32. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
  33. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.10
  34. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  35. Subjek Paja k adalah orang pribadi a tau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
  36. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  37. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan Kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi da sar bagi Wajib Pajak un tuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
  38. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bi la Wa jib Paja k menggu naka n tahun bu ku yang tida k sa ma dengan tahun kalender.
  39. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dala m Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  40. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retr ibusi, penentuan besarnya pajak atau re tribusi yang terutang sa mpai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
  41. Surat Pe mberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPT PD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan o bje k pa jak, dan/a tau har ta dan ke waj iban se suai dengan ke ten tuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.11
  42. Surat Pe mberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah sura t yang digunakan oleh Wajib Paja k untuk melapor kan data subjek dan objek Pajak Bu mi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  43. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran a tau penyetoran paja k yang telah dilaku kan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
  44. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat Ketetapan pajak yang menentukan be sarnya ju mlah pokok pajak yang terutang.
  45. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT , adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  46. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, ju mlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  47. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.12
  48. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  49. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  50. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat ST PD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.



BAB II
PAJAK DAERAH


Bagian Kesatu
Jenis Pajak Daerah

Pasal 2
Jenis Pajak Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini terdiri atas :
  1. Pajak Hotel ;
  2. Pajak Restoran ;
  3. Pajak Hiburan ;
  4. Pajak Reklame ;
  5. Pajak Penerangan Jalan ;
  6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ;
  7. Pajak Parkir ;
  8. Pajak Air Tanah ;
  9. Pajak Sarang Burung Walet ;
  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ; dan
  11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.



Bagian Kedua
Pajak Hotel

Paragraf 1
Nama dan Objek Pajak Hotel

Pasal 3
  1. Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas setiap pelayanan yang disediakan oleh hotel.
  2. Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa fasili tas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek termasuk ru mah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh), jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
  3. Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, foto kopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.
  4. Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
    1. jasa tempat tinggal asra ma yang diselenggarakan oleh Pe merin tah atau Pemerintah Daerah;
    2. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
    3. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
    4. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
    5. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.



Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Hotel

Pasal 4
  1. Subjek Pajak Hote l adalah orang pribadi a tau Badan yang melaku kan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
  2. Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wila yah Pe mungutan Pajak Hotel

Pasal 5
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel.



Pasal 6
Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen).



Pasal 7
  1. Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
  2. Pajak Hotel yang terutang dipungut di Daerah .



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal 8
Masa Pajak Hotel adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.


[sunting]


Bagian Ketiga
Pajak Restoran

Paragraf 1
Nama dan Objek Pajak Restoran

Pasal 9
  1. Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan yang disediakan oleh restoran.
  2. Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran.
  3. Pelayanan yang disediakan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
  4. Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi dari Rp. 5.000.000 ,00 (lima juta rupiah) per bulan.



Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Restoran

Pasal 10
  1. Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran.
  2. Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan, dan Wilayah Pe mungutan Pajak Restoran

Pasal 11
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.



Pasal Pasal 12
Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).



Pasal Pasal 13
  1. (1) Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
  2. (2) Pajak Restoran yang terutang dipungut terhadap restoran yang berlokasi di Daerah.



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal Pasal 14
Masa Pajak Restoran adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.



Bagian Keempat
Pajak Hiburan

Paragraf 1
Nama dan Objek Pajak Hiburan

Pasal 15
  1. Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan hiburan.
  2. Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.
  3. Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
    1. tontonan film;
    2. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
    3. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
    4. pameran;
    5. sirkus, akrobat, dan sulap;
    6. permainan bilyar, golf, dan bowling;
    7. pacuan kuda, hiburan dengan menggunakan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
    8. panti pijat, refleksi , mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan
    9. pertandingan olahraga.



Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Hiburan

Pasal 16
  1. Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.
  2. Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan, dan Wilayah Pe mungutan Pajak Hiburan

Pasal 17
  1. Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.
  2. Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.



Pasal 18
  1. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan sebesar 35% (tiga puluh lima persen) untuk objek pajak sebagai berikut :
    1. tontonan film;
    2. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
    3. kontes binaraga dan sejenisnya;
    4. pameran;
    5. sirkus, akrobat, dan sulap;
    6. permainan bilyar, golf, dan bowling;
    7. pacuan kuda, hiburan dengan menggunakan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
    8. refleksi dan pusat kebugaran (fitness center); dan
    9. pertandingan olahraga.


  2. Tarif pajak Hiburan ditetapkan sebesar 75 % (tujuh puluh lima persen) khusus untuk objek pajak sebagai berikut :
    1. kontes kecantikan ; dan
    2. panti pijat dan mandi upa/spa.
  3. Tarif Pajak Hiburan untuk jenis hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b yang khusus merupakan kesenian rakyat/tradisional ditetapkan sebesar 5% (lima persen).



Pasal 19
  1. Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.22
  2. Pajak Hiburan yang terutang dipungut di Daerah.



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal 20
Masa Pajak Hiburan adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.



Bagian Kelima
Pajak Reklame

Paragraf 1
Nama dan Objek Pajak Reklame

Pasal 21
  1. Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan reklame.
  2. Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
  3. Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
    1. Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
    2. Reklame kain;
    3. Reklame melekat, stiker;
    4. Reklame selebaran;
    5. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
    6. Reklame udara;
    7. Reklame apung;
    8. Reklame suara;
    9. Reklame film/slide; dan
    10. Reklame peragaan.
  4. Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah :
    1. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya ;
    2. label/merk produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya ;
    3. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi dengan ukuran tidak lebih dari 1 (satu) m2 ; dan
    4. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.



Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Reklame

Pasal 22
  1. Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
  2. Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
  3. Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak Rekla me adalah orang pribadi atau Badan tersebut.
  4. Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame .



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wilayah Pe mungutan Pajak Rekla me

Pasal 23
  1. Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.25
  2. Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh Pihak Ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
  3. Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
  4. Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktorfaktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
  5. Cara perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan menambahkan Nilai Jual Objek Reklame dengan Nilai Strategis Pemasangan Reklame.
  6. Hasil penghitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.



Pasal 24
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).



Pasal 25
  1. Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6).
  2. Pajak Reklame yang terutang dipungut terhadap Reklame yang diselenggarakan di Daerah.



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal 26
Masa Pajak Reklame adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau selama masa penyelenggaraan Reklame.



Bagian Keenam
Pajak Penerangan Jalan

Paragraf 1
Nama dan Objek Pajak Penerangan Jalan

Pasal 27
  1. Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas setiap penggunaan tenaga listrik.
  2. Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listri k, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
  3. Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh pembangkit listrik.
  4. Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
    1. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pe merintah dan Pe merin tah Daerah;
    2. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik;
    3. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak me merlukan izin dari instansi te knis terkai t.


[sunting]


Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Penerangan Jalan

Pasal 28
  1. Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik.
  2. Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik.
  3. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wilayah Pe mungutan Pajak Penerangan Jalan

Pasal 29
  1. Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
  2. Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
    1. Dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/ variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
    2. Dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri , Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di Daerah.



Pasal 30
  1. Tarif Pajak Penerangan Jalan untuk penggunaan listrik yang bersumber dari PLN untuk non industri ditetapkan sebagai berikut :
    1. penggunaan tenaga listrik oleh golongan sosial adalah sebesar 0% (nol persen) ;
    2. penggunaan tenaga listrik oleh golongan rumah tangga adalah sebesar 5% (lima persen) ;
    3. penggunaan tenaga listrik oleh golongan bisnis adalah sebesar 5% (lima persen) ;
    4. penggunaan tenaga listrik curah oleh pemegang Ijin Usaha Ketenagalistrikan adalah sebesar 10% (sepuluh persen) ;
    5. penggunaan tenaga listrik multiguna oleh golongan pengguna listrik tertentu yang memerlukan pelayanan dengan kualitas khusus dan tidak termasuk dalam golongan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d adalah sebesar 10% (sepuluh persen).


  2. Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebesar 3% (tiga persen).
  3. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebesar 1,5 % (satu koma lima persen).


[sunting]


Pasal 31
  1. Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
  2. Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
  3. Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal 32
Masa Pajak Penerangan Jalan adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.



Bagian Ketujuh
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Paragraf 1
Nama dan Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 33
  1. Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dipungut pajak atas setiap kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
  2. Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang meliputi :
    1. asbes;
    2. batu tulis;
    3. batu setengah permata;
    4. batu kapur;
    5. batu apung;
    6. batu permata;
    7. bentonit;
    8. dolomit;
    9. feldspar;
    10. garam batu (halite);
    11. grafit;
    12. granit/andesit;
    13. gips;
    14. kalsit;
    15. kaolin;
    16. leusit;
    17. magnesit;
    18. mika;
    19. marmer;
    20. nitrat;
    21. opsidien/obsidian;
    22. oker;
    23. pasir dan kerikil;
    24. pasir kuarsa;
    25. perlit;
    26. phospat;
    27. talk;
    28. tanah serap (fullers earth);
    29. tanah diatome;
    30. tanah liat;
    31. tawas (alum);
    32. tras;
    33. yarosif;
    34. zeolit;
    35. basal;
    36. trakkit;
    37. Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
    1. kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/ telepon, penanaman kabel listrik/ telepon, penanaman pipa air/gas; dan
    2. kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan perta mbangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial.


[sunting]


Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal Pasal 34
  1. (1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
  2. (2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wilayah Pe mungutan Pajak Mineral Bu kan Logam dan Batuan

Pasal 35
  1. (1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
  2. (2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volu me/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masingmasing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan.
  3. (3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di Daerah.
  4. (4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sul it diperoleh, digunakan harga standar yang di tetap kan oleh Bupa ti.



Pasal 36
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen).



Pasal 37
  1. (1) Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tari f pajak sebagaimana di ma ksud dalam Pasal 36 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
  2. (2) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.



Pasal Paragraf 4
Masa Pajak



Pasal 38
Masa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.



Bagian Kedelapan
Pa jak Parkir

Paragraf 1
Na ma dan Objek Pajak Parkir

Pasal 39
  1. (1) Dengan nama Pajak Parkir dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan tempat parkir.
  2. (2) Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
  3. (3) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
    1. a. penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pe merintah dan Pemerintah Daerah;
    2. b. penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
    3. c. penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.



Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Parkir

Pasal 40
  1. (1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor.
  2. (2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat Parkir.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wilayah Pe mungutan Pajak Parkir

Pasal 41
  1. (1) Dasar pengenaan Paja k Pa rkir adalah ju mlah pe mbayaran a tau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat Parkir.
  2. (2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga Parkir dan Parkir cuma-cu ma yang diberikan kepada penerima jasa Parkir.



Pasal 42
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).



Pasal 43
  1. (1) Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
  2. (2) Paja k Parkir yang teru tang d ipungut d i Daerah.



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal 44
Masa Pajak Parkir adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.



Bagian Kesembilan
Pa jak Air Tanah

Paragraf 1
Na ma dan Objek Pajak Air Tanah

Pasal 45
  1. (1) Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas se tiap pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
  2. (2) Objek Paja k Air Tanah adalah pengambi lan dan/atau pe manfaa tan Air Tanah.
  3. (3) Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, instansi pemerintah, serta peribadatan.


[sunting]


Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Air Tanah

Pasal 46
  1. (1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
  2. (2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wilayah Pe mungutan Pajak Air Tanah

Pasal 47
  1. (1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
  2. (2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
    1. a. jenis sumber air;
    2. b. lokasi sumber air;
    3. c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
    4. d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
    5. e. kualitas air; dan
    6. f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
  3. (3) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.



Pasal 48
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).



Pasal 49
  1. (1) Be saran poko k Paja k Air Tanah yang te ruta ng d ihi tung dengan ca ra mengalikan tari f sebagaimana di maksud dala m Pasal 48 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
  2. (2) Paja k Air Tanah yang teru tang dipungu t di Daerah .



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal 50
Masa Pajak Air Tanah adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.



Bagian Kesepuluh
Pajak Sarang Burung Walet

Paragraf 1
Na ma dan Objek Pajak Sarang Burung Walet

Pasal 51
  1. (1) Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas setiap kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
  2. (2) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
  3. (3) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).



Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak Sarang Burung Walet

Pasal 52
  1. (1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
  2. (2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wilayah Pe mungutan Pajak Sarang Burung Walet

Pasal 53
  1. (1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.
  2. (2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.



Pasal 54
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).



Pasal 55
  1. (1) Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tari f sebagai mana di maksud dalam Pasal 54 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
  2. (2) Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di Daerah.



Paragraf 4
Masa Pajak

Pasal 56
Masa Pajak Sarang Burung Walet adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.



Bagian Kesebelas
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Paragraf 1
Na ma dan Objek
Pa jak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pasal 57
  1. (1) Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut pajak atas pemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan bumi dan/atau bangunan.
  2. (2) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai , dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
  3. (3) Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
    1. a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan : seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
    2. b. jalan to l ;
    3. c. kolam renang;
    4. d. pagar mewah;
    5. e. tempat olahraga,
    6. f. galangan kapal, dermaga;
    7. g. taman mewah;
    8. h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
    9. i. menara.
  4. (4) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :
    1. a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
    2. b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak di maksudkan untuk me mperoleh keuntungan;
    3. c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
    4. d. merupakan hutan lindung , hutan suaka ala m, hutan wi sata , ta man nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
    5. e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
    6. f. digunakan oleh badan atau perwa kilan le mbaga in ternasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
  5. (5) Besarn ya Ni lai Jua l Objek Paja k T idak Kena Pajak dite tapkan sebesar Rp . 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.


[sunting]


Paragraf 2
Subjek dan Wajib
Pa jak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pasal 58
  1. (1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bu mi dan/atau memperoleh manfaat atas Bu mi, dan/atau memiliki , menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
  2. (2) Wajib Pajak Bu mi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata me mpunyai suatu hak a tas Bu mi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi , dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan, Masa Paja k dan
Wilayah Pemungutan Pajak Bu mi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pasal 59
  1. (1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP.
  2. (2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak terten tu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
  3. (3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.



Pasal 60
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan 0,3% (nol koma tiga persen).



Pasal 61
Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengal ikan tari f sebagai mana di maksud dalam Pasal 60 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 setelah dikurangi Nilai Jual Ob j e k Pa ja k T ida k Ken a Pa ja k sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5).



Pasal 62
  1. (1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
  2. (2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
  3. (3) Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak.



Pasal 63
  1. (1) Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
  2. (2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Bupati yang wila yah ke rjan ya me lipu ti letak obje k paja k, se la mba t- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal di teri manya SPOP oleh Subjek Pajak.



Pasal 64
  1. (1) Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan SPPT.
  2. (2) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut :
    1. a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak di tegur secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
    2. b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pa jak yang terutang lebih besar da ri ju mlah pa jak yang d ihi tung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.


[sunting]


Bagian Kedua Belas
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Paragraf 1
Na ma dan Objek Pajak
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Pasal 65
  1. (1) Dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipungut pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  2. (2) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
  3. (3) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
    1. a. Pemindahan hak karena:
      1. 1) jua l bel i ;
      2. 2) tukar menukar;
      3. 3) hibah;
      4. 4) hibah wasiat;
      5. 5) waris;
      6. 6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
      7. 7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
      8. 8) penunjukan pembeli dalam lelang;
      9. 9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
      10. 10) penggabungan usaha;
      11. 11) peleburan usaha;
      12. 12) pemekaran usaha; dan
      13. 13) hadiah.


    2. b. Pemberian hak baru karena:
      1. 1) kelanjutan pelepasan hak; atau
      2. 2) di luar pelepasan hak.
  4. (4) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
    1. a. hak milik;
    2. b. hak guna usaha;
    3. c. hak guna bangunan;
    4. d. hak pakai;
    5. e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
    6. f. hak pengelolaan.
  5. (5) Objek pajak yang tida k dikenakan Bea Perolehan Hak a tas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
    1. a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
    2. b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
    3. c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha a tau mela kukan kegia tan lain di lua r fung si dan tuga s badan atau perwakilan organisasi tersebut;
    4. d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
    5. e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
    6. f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.


[sunting]


Paragraf 2
Subjek dan Wajib Pajak
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Pasal 66
  1. (1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
  2. (2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.



Paragraf 3
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Penghitungan dan Wi layah Pe mungutan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Pasal 67
  1. (1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
  2. (2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal : a. jual beli adalah harga transaksi;
    1. b. tukar menukar adalah nilai pasar;
    2. c. hibah adalah nilai pasar;
    3. d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
    4. e. waris adalah nilai pasar;
    5. f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
    6. g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
    7. h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang me mpunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
    8. i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
    9. j. pemberian hak baru ata s tanah diluar pelepasan ha k adalah nilai pasar;
    10. k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
    11. I. peleburan usaha adalah nilai pasar;
    12. m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
    13. n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
    14. o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
  3. (3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
  4. (4) Besarnya Ni lai Perolehan Obje k Pajak Tidak Kena Pajak di tetapkan sebesar Rp. 60.000 .000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
  5. (5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, ter masuk suami/istri , Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).



Pasal 68
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima persen).



Pasal 69
  1. (1) Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (4) dan ayat (5).
  2. (2) Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) tidak dike tahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dengan NJOP PBB setelah dikurangi NPOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (4) dan ayat (5).
  3. (3) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di Daerah.



Paragraf 4
Saat Pajak Terutang dan Masa Pajak

Pasal 70
  1. (1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk :
    1. a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    2. b. tukar- menukar ada lah seja k tanggal d ibuat dan ditanda tanganin ya akta;
    3. c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    4. d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    5. e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor badan pertanahan;
    6. f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    7. g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    8. h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
    9. i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
    10. j . pe mber ian ha k ba ru di luar pe lepa san ha k ada lah sej ak tan ggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    11. I. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    12. m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
    13. n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
    14. o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.


  2. (2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



Pasal 71
  1. (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Ha k ata s Tanah dan/atau Bangunan se telah Wajib Paja k menyerahkan bukti pembayaran pajak.
  2. (2) Kepala kantor yang me mbidangi pelayanan lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
  3. (3) Kepala Kantor Badan Per tanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.



Pasal 72
  1. (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
  2. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.



Pasal 73
  1. (1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
  2. (2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 250 .000 ,0 0 (dua ratu s li ma puluh r ibu rupiah) untu k setiap laporan.
  3. (3) Kepala Kantor Badan Pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


[sunting]


BAB III
PEMUNGUTAN PAJAK

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan

Pasal 74
  1. (1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
  2. (2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.



Pasal 75
  1. (1) Jenis pajak yang dipungut berdasarkan surat ketetapan pajak/penetapan Bupati adalah :
    1. a. Pajak Reklame ;
    2. b. Pajak Air Tanah ; dan
    3. c. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.


  2. (2) Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah :
    1. a. Pajak Hotel ;
    2. b. Pajak Restoran ;
    3. c. Pajak Hiburan ;
    4. d. Pajak Penerangan Jalan ;
    5. e. Pajak Parkir ;
    6. f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ;
    7. g. Pajak Sarang Burung Walet ; dan
    8. h. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.



Pasal 76
  1. (1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dibayar berdasarkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
  2. (2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa karcis dan nota perhitungan.



Pasal 77
  1. (1) Wajib Pajak yang me menuhi kewaj iban perpajakannya dengan dibayar sendiri sebagaimana di maksud Pasal 75 ayat (2) diba yar berdasarkan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
  2. (2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
  3. (3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Bupati paling lambat 15 (li ma belas) hari kalender setelah berakhirnya masa pajak.
  4. (4) Dokumen SSPD pada BPHT B berfungsi sebagai SPTPD.



Pasal 78
  1. (1) Dalam jangka waktu 5 (li ma) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat menerbitkan:
    1. a. SKPDKB dalam hal :
      1. 1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
      2. 2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu 1 5 (li ma belas) hari kalender dan setelah di tegur secara tertuli s tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
      3. 3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.


    2. b. SKPDKBT ji ka dite mu kan data baru dan/atau data yang se mu la belu m terungkap yang men yebabkan pena mbahan ju mlah paja k yang terutang.
    3. c. SKPDN j ika ju mlah paja k yang teru tang sa ma be sarnya dengan jumlah kredit pa jak a tau pajak tida k teru tang dan tidak ada kredit pajak.


  2. (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari paja k yang kurang a tau ter la mba t d ibaya r un tu k jangka wa ktu pa ling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
  3. (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKDT sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf b dikena kan sanksi ad mini strati f berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari ju mlah ke kurangan pajak tersebut.
  4. (4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
  5. (5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak dita mbah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terla mba t dibayar un tuk jangka waktu pa ling la ma 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.



Pasal 79
  1. (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 diatur dengan Peraturan Bupati.
  2. (2) Ketentuan lebih Ianjut mengenai bentuk, isi, dan tata cara penerbitan, pengisian dan penyampaian SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 diatur dengan Peraturan Bupati.



Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Pasal 80
  1. (1) Setiap wajib pajak wajib mengisi SSPD.
  2. (2) SSPD wajib diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak.
  3. (3) SSPD wajib disampaikan kepada Dinas.
  4. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan tata cara pengisian dan penyampaian SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.



Pasal 81
  1. (1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika:
    1. a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
    2. b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
    3. c. Wajib Pa jak di kenakan san ksi ad ministra ti f berupa bunga dan/atau denda.


  2. (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana d i ma ksud pada a ya t (1) hu ruf a dan huru f b di ta mbah dengan sanksi administra tif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
  3. (3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi ad ministratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.



Pasal 82
  1. (1) Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan pen yeto ran pa jak yang teru tang paling la ma 30 (tiga puluh) ha ri ke rja se telah saa t te rutangn ya paja k dan pa ling la ma 6 (ena m) bu lan se jak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
  2. (2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
  3. (3) Bupati atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang diten tukan dapat me mberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
  4. (4) Ke ten tuan lebi h lanju t mengena i ta ta ca ra pe mbayaran , penye to ran , tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Bupati.



Pasal 83
  1. (1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB.SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
  2. (2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan.



Bagian Ketiga
Keberatan dan Banding

Pasal 84
  1. (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
    1. a. SPPT;
    2. b. SKPD;
    3. c. SKPDKB;
    4. d. SKPDKBT;
    5. e. SKPDLB
    6. f. SKPDN; dan
    7. g. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.


  2. (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
  3. (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana di maksud pada a yat (1) , kecua li ji ka Wajib Paja k dapat menun jukan bah wa jang ka waktu i tu tida k dapa t dipenuh i karena keadaan d i l uar kekuasaannya.
  4. (4) Kebera tan dapat diaju kan apabi la Waj ib Pajak telah me mba yar pa ling sediki t sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
  5. (5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2) , aya t (3) , dan aya t (4) tida k dianggap sebagai Sura t Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
  6. (6) Tanda penerimaan sura t keberatan yang diberi kan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.



Pasal 85
  1. (1) Bupati dala m jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diteri ma, harus me mberi keputu san atas keberatan yang diajukan.
  2. (2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
  3. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana di maksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.



Pasal 86
  1. (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
  2. (2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dala m bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalan jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputu san di teri ma , dila mp iri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
  3. (3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.



Pasal 87
  1. (1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
  2. (2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
  3. (3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasar kan keputu san keberatan di kurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
  4. (4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
  5. (5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.



Bagian Keempat
Pe mbetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi administratif

Pasal 88
  1. (1) Ata s permohonan Wajib Paja k atau karena jabatannya, Bupati dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penetapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  2. (2) Bupati dapat :
    1. a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
    2. b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
    3. c. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan ; dan
    4. d. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan ke ma mpuan me mbayar Wajib Paja k atau kondi si ter tentu obje k pajak.
  3. (3) Ke ten tua n l ebi h l an ju t menge nai ta ta ca ra pe ngu rang an a tau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.


[sunting]


BAB IV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 89
  1. (1) Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati.
  2. (2) Bupati dala m jangka waktu paling la ma 1 2 (dua belas) bulan , sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
  3. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Bupati tidak me mberikan suatu keputusan , permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
  4. (4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
  5. (5) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka wa ktu paling la ma 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
  6. (6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
  7. (7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.



BAB V
KADALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 90
  1. (1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kadaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah.
  2. (2) Kadaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
    1. a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
    2. b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
  3. (3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kadalu warsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
  4. (4) Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerin tah Daerah.
  5. (5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dike tahui dari pengajuan per mohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.



Pasal 91
  1. (1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.
  2. (2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.



BAB VI
PEMBUKUAN

Pasal 92
  1. (1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
  2. (2) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.


[sunting]


BAB VII
PENELITIAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 93
  1. (1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk wajib melakukan kegiatan penelitian atas SSPD yang disampaikan Wajib Pajak.
  2. (2) Penelitian yang dilakukan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1. a. tarif dan NPOPTKP harus sesuai dengan yang ditetapkan ;
    2. b. adanya kepastian bahwa Wajib Pajak telah membayar BPHTB dan telah disetor ke Kas Daerah ;
    3. c. pembayaran yang dilakukan harus sesuai dengan data basis pajak ;
    4. d. dalam peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, tidak terdapat tunggakan.



Pasal 94
  1. (1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  2. (2) Wajib Pajak atau pihak-pihak yang terkait yang diperiksa wajib :
    1. a. memperlihatkan dan/atau buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak ;
    2. b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
    3. c. memberikan keterangan yang diperlukan.
  3. (3) Pemeriksaan sederhana kantor dilakukan dengan membandingkan laporan wajib pajak dengan basis data yang dimiliki Daerah sehingga nantinya dapat diterbitkan SKPDKB, SKPDKBT , SKPDLB, dan SKPDN.
  4. (4) Jika ada perbedaan yang signifikan pada objek pajak antara yang dilaporkan dengan data basis pajak yang dimiliki Daerah, maka dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan.



BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUT AN

Pasal 95
  1. (1) Dinas yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
  2. (2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
  3. (3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB IX
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 96
  1. (1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rang ka jaba tan a tau peke rjaann ya untu k men jalan kan ke ten tuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  2. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan keten tuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  3. (3) Dikecuali kan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah :
    1. a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
    2. b. Pejaba t dan/a tau tenaga ahli yang dite tap kan oleh Bupa ti untuk me mberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
  4. (4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, me mper lih atka n b ukti ter tu li s dar i a ta u ten ta ng Waj ib Pa ja k kepa da pihak yang ditunjuk.
  5. (5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Bupati dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan me mperl ihatkan bukti tertul is dan keterangan Waj ib Pajak yang ada padanya.
  6. (6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.



BAB X
PENYIDIKAN

Pasal 97
  1. (1) Pejabat Pega wai Negeri Sipil ter tentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi we wenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  2. (2) Penyidik sebagaimana di maksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. (3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
    1. a. meneri ma, mencari , mengumpulkan, dan meneli ti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan ter sebut men jadi lebih lengkap dan jelas;
    2. b. meneli ti , mencari , dan mengumpul kan ke terangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
    3. c. me min ta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
    4. d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
    5. e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
    6. f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah;
    7. g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
    8. h. memo tret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
    9. i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    10. j. menghentikan penyidikan; dan/atau
    11. k. melaku kan tindakan lain yang perlu untu k kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. (4) Penyidi k sebagai mana d i maksud pada a ya t (1) me mber i tahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penun tu t Umu m melalu i Penyidi k pejaba t Po lisi Nega ra Republ ik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.



BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 98
  1. (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar.
  2. (2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana d enda pali ng ban ya k 4 (e mpa t) ka li ju mlah paja k teru tang yang tida k atau kurang dibayar.



Pasal 99
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.



Pasal 100
  1. (1) Dipidana dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi :
    1. a. Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang karena kealpaannya tidak me menuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) ;
    2. b. Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasat 97 ayat (1) dan ayat (2).


  2. (2) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
  3. (3) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.



Pasal 101
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dan Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan negara.



BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 102
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Pajak yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah mengenai jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang.



BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 103
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku :
  1. a. Ketentuan mengenai Pajak Air Tanah sebagaimana dimaksud pada Bab II Bagian Kesembilan Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011;
  2. b. Ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagaimana dimaksud pada Bab II Bagian Kesebelas Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014 ;
  3. c. Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada Bab II Bagian Kedua belas Peraturan Daerah ini, mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011.



Pasal 104
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku :
  1. a. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pajak Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2004 Nomor 8 Seri B) ;
  2. b. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2004 Nomor 11 Seri B) sepanjang mengenai Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ;
  3. c. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pajak Pengambilan Sarang Burung Walet dan Sejenisnya (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2005 Nomor 10 Seri B) ;
  4. d. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2008 Nomor 11);
  5. e. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2008 Nomor 12);
  6. f. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2008 Nomor 13);
  7. g. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2008 Nomor 14);
  8. h. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2008 Nomor 15); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 105
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Le mbaran Daerah Kabupaten Lebak.


Ditetapkan di Rangkasbitung

Pada tanggal 18 November 2010
BUPATI LEBAK,
Cap/ttd.
H. MULYADI JAYABAYA

Diundangkan di Rangkasbitung

Pada tanggal 22 November 2010
SEKRET ARIS DAERAH KABUPATEN LEBAK,
H. RUSWAN EFFENDI


LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TAHUN 2010 NOMOR 6.

[sunting]



PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK
NOMOR 6 TAHUN 2010

TENTANG

PAJAK DAERAH
I UMUM

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya dan memungut Pajak Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah di daerah harus ditetapkan dalam suatu Peraturan Daerah yang mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut, penetapan jenis Pajak Daerah bersifat close list (daftar tertutup), artinya di luar jenis Pajak Daerah yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak dimungkinkan dilakukan pemungutan jenis pajak lainnya. Pembatasan terhadap kewenangan Pemerintah Daerah untuk menetapkan jenis pajak daerah baru bertujuan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha yang pada akhirnya dapat meningkatkan keasadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 memberi kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah dalam bidang perpajakan, yaitu dengan memperluas basis Pajak Daerah dan me mberikan ke wenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut meliputi perluasan cakupan dalam Pajak Daerah dan penambahan jenis pajak baru. Perluasan cakupan dalam Pajak Daerah meliputi Pajak Hotel yang diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel dan Pajak Restoran yang diperluas hingga mencakup pelayanan katering. Sedangkan dalam penambahan jenis pajak daerah, ada 4 (empat) jenis pajak baru untuk Kabupaten yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Sarang Burung Walet, serta Pajak Air Tanah yang semula merupakan pajak provinsi.
Dengan adanya perluasan basis pajak, Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah ini menetapkan tarif masing-masing jenis Pajak yang disesuaikan dengan kondisi riil masyarakat agar tidak memberatkan dan tidak mengganggu kestabilan iklim investasi di Daerah.
Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, sehingga diharapkan Pajak Daerah tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor.
Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pengenaan pajak, sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan Pajak tersebut. Misalnya Pajak penerangan Jalan, sebagian dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan.
Semula pengaturan mengenai Pajak Daerah masih tersebar dalam beberapa peraturan daerah (satu jenis Pajak Daerah dalam satu Peraturan Daerah). Saat ini, pengaturan mengenai Pajak daerah diintegrasikan dalam satu Peraturan Daerah saja yaitu Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif, diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga Daerah semakin mampu membiayai sendiri kebutuhan pengeluarannya dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta dapat mengurangi ketergantungan Daerah terhadap dana alokasi dari Pemerintah Pusat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengecualian apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin usahanya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hiburan berupa kesenian rakyat/tradisional" adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan di tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kawasan" adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan" adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan 82 nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)
Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
a. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
b. nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;
c. nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Ayat (2)
Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Contoh :
Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa :
  • Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp. 300.000,00/ m2 ;
  • Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp. 350.000,00/ m2 ;
  • Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp. 50.000,00/ m2 ;
  • Pagar seluas 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 175.000,00/ m2 ;
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
1. NJOP Bumi : 800 x Rp. 300.0000,00 = Rp. 240.000.000,00
2. NJOP Bangunan
a. Rumah dan garasi 400 x Rp. 350.000,00 = Rp. 140.000.000,00
b. Taman 200 x Rp. 50.000,00 = Rp. 10.000.000,00
c. Pagar (120 x 1,5) x Rp. 175.000,00 = Rp. 31.500.000,00 +
Total NJOP Bangunan = Rp. 181.500.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) = Rp. 10.000.000,00 -
Nilai Jual Bangunan Kena Pajak = Rp. 171.500.000,00 +
3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp. 411.500.000,00
4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,2%
5. PBB terutang : 0,2% x Rp. 411.500.000,00 = Rp. 823.000,00

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)
Penetapan SKPD ini hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Ayat (1)
Contoh:
Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp.65.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp.60.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp. 5.000.000,00
Pajak Yang Terutang = 5% x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 250.000,00
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang di maksud dengan "risalah lelang" adalah kutipan risalah lelang yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73 '

Cukup jelas.

Pasal 74

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Bupati atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Bupati melalui SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Ayat (1)
Wajib Pajak yang me menuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan , membayar , dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagai mana mestinya, dapat diterbitkan SKPDKD dan/atau SKPDKBT yang menjadi sarana penagihan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 78

Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbi tan surat ke tetapan pajak di tujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Bupati untuk dapat menerbitkan SkPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terh adap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.
Contoh:
1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009. Setetah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun Bupati dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administratif.
3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Bupati dapat menerbitkan SKPDKBT.
4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Bupati ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, Bupati dapat menerbitkan SKPDN.
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Yang dimaksud dengan "penetapan pajak secara jabatan" adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang di mili ki oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
Ayat (3)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administratif ini tidak dikenakan apabila
Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang.
Dalam kasus ini, Bupati menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB.
Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administratif 90 berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebutan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas,

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu objek pajak”, antara lain lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan Wajib Pajak tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dinas yang melaksanakan pemungutan” adalah dinas yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan pajak.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan alat kelengkapan Dewan perwakilan Rakyat Daerah yang membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Ayat(1)
Pengenaan pidana kurungan dan pidana denda kepada pejabat tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati dimaksudkan untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.