Penghapusan Perdagangan Orang Di Indonesia Tahun 2004-2005

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Penghapusan Perdagangan Orang Di Indonesia Tahun 2004-2005
Drs. Sutedjo Yuwono (Director) Dra. Maswita Djaja, MSc (Content Director) Ir. Parjoko, MAppSc, (Writer, Editor) Ir. Maesuroh, MS Ir. Pudjo Hardijanto, MA, Drs. Wagiran, MM, Ir. Wahyuni Tri Indarty Gampang Sunaryo, Ssos dr. Soepalarto Soedibjo, MPH (KPP) (Data, Analysis) Rini Rahmawati Endang Susilowati Budi Rahayu, SE, diterjemahkan oleh ICMC Jakarta
Coordinating Ministry For People's Welfare of The Republic of Indonesia, Jakarta, 2005

With full contribution from The Task Force of the National Plan of Action for the Elimination of Trafficking of Women and Children.

PENGANTAR

Dalam era kemerdekaan yang demokratis dengan masyarakat yang religius dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, Bangsa Indonesia terus meningkatkan komitmennya untuk mensejahterakan kehidupan Bangsa melalui upaya-upaya yang diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan dalam melindungi warga negaranya antara lain dari praktek-praktek perdagangan orang dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

Penguatan komitmen Bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) serta pembentukan Gugus Tugas lintas sektoral untuk implementasinya, telah menggiatkan upaya memerangi perbudakan modern perdagangan orang secara lebih terencana, terintegrasi dengan langkah-langkah untuk mengatasi akar masalahnya: kemiskinan, kurangnya pendidikan dan keterampilan, kurangnya akses, kesempatan dan informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang memarginalkan dan mensubordinasikan kaum perempuan.

Kerjasama antar unsur internal dalam negeri dan dengan negara sahabat serta lembaga internasional semakin meluas dan menguat, dan akan terus dibina sehingga terwujud sumber daya yang lebih kuat untuk memerangi perdagangan orang yang telah menjadi kejahatan transnasional yang terorganisir. Perhatian khususnya ditujukan untuk melindungi korban, tetapi dalam waktu yang bersamaan, melalui pembinaan aparat dan komunitas masyarakat, diupayakan penindakan hukum yang lebih keras kepada trafficker agar menimbulkan efek jera. Berbagai upaya penyuluhan, kampanye, dan peningkatan kepedulian masyarakat juga terus dilakukan untuk mencegah terjeratnya kelompok rentan dalam perdagangan orang.

Bangsa Indonesia telah menapak maju tetapi masih jauh dari tujuan. Sementara itu kita juga sadar bahwa trafficker dengan segala tipu dayanya juga tidak akan mudah menyerah begitu saja. Oleh karena itu, dengan didukung oleh negara sahabat dan lembaga internasional, dengan petunjuk dan bimbingan dari Allah s.w.t., kita harus semakin bersemangat dan berupaya melangkah lebih cepat dan lebih lebar sehingga segera sampai ke tujuan.

Kepada negara sahabat, lembaga donor, LSM nasional dan internasional serta semua pihak khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang telah menggerakkan Gugus Tugas termasuk memberikan masukan dan informasi guna penyusunan Position Paper Tahun 2005 (kurun waktu April 2004-Maret 2005) ini, saya mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati usaha kita semua.

Jakarta, 30 Maret 2005 Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,

Dr. Alwi Shihab

RINGKASAN

Penguatan komitmen Pemerintah RI dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) dan pengajuan Rencana Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU PTPPO) kepada DPR RI untuk disahkan. Dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009, RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada di urutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas Tahun 2005.

Penindakan hukum kepada pelaku (trafficker) digiatkan melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak penegak hukum negara sahabat sehingga Kepolisian RI berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang terungkap. Pada tahun 2004-2005 (Maret), sebanyak 53 terdakwa telah mendapat vonis Pengadilan dengan putusan: bebas, dan hukuman penjara 6 bulan sampai yang terberat 13 tahun penjara atau rata-rata hukuman 3 tahun 3 bulan. Sosialisasi dan advokasi dari berbagai pihak kepada aparat penegak hukum telah membuahkan dijatuhkannya vonis hukuman yang cukup berat kepada trafficker.

Peningkatan perlindungan kepada korban perdagangan orang dilaksanakan dengan meningkatkan aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan Rumah Sakit Bhayangkara di daerah. Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang dikelola oleh Polisi Wanita semakin ditambah yang kini jumlahnya mencapai 226 unit di 26 Kepolisian Daerah (Propinsi) dan masih akan terus diperluas ke Kepolisian Daerah yang lain dan Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota) seluruh Indonesia. Di samping itu juga semakin banyak LSM dan organisasi masyarakat yang mendirikan women’s crisis centre, Drop In Center, atau shelter yang kini jumlahnya 23 unit yang tersebar di 15 propinsi. Di samping itu, untuk pengungsi di Aceh telah didirikan sedikitnya 20 unit Children Center “Jambo Anak Metuah” bekerjasama dengan UNICEF dan Departemen Sosial. Lembaga bantuan hukum dan LSM yang sebagian tugasnya juga memberikan bantuan hukum kepada korban perdagangan orang kini semakin banyak tersebar di berbagai kabupaten/kota.

Sepanjang tahun 2004 sampai 14 Maret 2005, Pemerintah telah memulangkan sedikitnya 120 orang korban perdagangan orang dari Malaysia, dan 347.696 tenaga kerja Indonesia (TKI) bermasalah dari Malaysia. Beberapa pihak berpendapat bahwa para TKI tersebut banyak di antaranya yang terjebak dalam praktek-praktek perdagangan orang. Mereka dikirim ke Malaysia menggunakan paspor dan visa kunjungan atau wisata untuk bekerja di sana. Dengan tidak adanya visa kerja, telah menyebabkan banyak di antaranya yang dieksploitasi dalam bentuk penahanan paspor, upah rendah, penyekapan, bahkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Ketika visa kunjungan telah habis, TKI tersebut menjadi ilegal karena overstay, dan hal ini menjadikannya semakin rentan untuk dieksploitasi.

Pemerintah bekerjasama dengan semua pihak: LSM lokal, nasional dan internasional serta dengan badan-badan dunia mengupayakan program pemberdayaan para mantan korban perdagangan orang pasca reintegrasi untuk mencegah mereka terjebak kembali dalam perdagangan orang demikian pula untuk keompok masyarakat yang rentan. Program pemberdayaan ini terintegrasi dengan upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan yang ditengarai merupakan akar masalah dari perdagangan orang.

Pola imigrasi dan emigrasi, dengan bantuan perguruan tinggi dan LSM, telah dipelajari Pemerintah sehingga dapat diketahui pola pergerakan transportasi perdagangan orang. Untuk meningkatkan pengawasan lalu lintas penduduk masuk dan keluar daerah perbatasan, khususnya yang berkaitan dengan pengiriman TKI ke Malaysia telah dibentuk lembaga Pelayanan Satu Atap di sebelas exit point di Indonesia yang terdiri dari petugas instansi terkait Indonesia dengan pihak Imigresen Malaysia.

Keterlibatan LSM dalam dan luar negeri, organisasi masyarakat dan media massa (koran, majalah, TV, radio) dalam meningkatkan kepedulian masyarakat pada masalah penghapusan perdagangan perempuan dan anak sepanjang tahun 2004 sangat menggembirakan. Namun disadari bahwa jangkauannya masih perlu diperluas terutama kepada mereka yang ada di daerah yang belum terjangkau, dan perlu ditingkatkan intensitasnya sehingga mampu meningkatkan pemahaman dan kesadaran yang pada gilirannya mampu merubah perilaku masyarakat yang harus tidak mentolerir perbudakan (trafficking in persons) di jaman modern ini.

Bangsa Indonesia telah membuat kemajuan dalam penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, namun masih jauh dari tujuan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdaganan Perempuan dan Anak, yaitu: “Terhapusnya segala bentuk perdagangan perempuan dan anak di Indonesia”. Oleh karena itu, penguatan jejaring kerja perlu ditingkatkan agar kedholiman terhadap perempuan dan anak Indonesia dapat segera dihapuskan. ***

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

Perdagangan Orang di Indonesia 1

Pengertian 2

Kejahatan terhadap HAM 3

Kelompok Rentan 4

Daerah Sumber, Transit dan Penerima 5

Pelaku (trafficker) 7

Pengguna 8

Rencana Aksi 8

Sikap Pemerintah RI 8

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) 9

Gugus Tugas 11

Otonomi Daerah 12

II. PENINDAKAN HUKUM

Penguatan Dasar Hukum 14

Peningkatan Kapasitas 17

Kasus 19

Vonis Hukuman 20

Kerjasama Penindakan Hukum 21

Pengawasan Lalu-lintas Lintas Batas 22

III. PERLINDUNGAN KORBAN

Aksesibilitas Layanan 23

Persepsi Korban terhadap Layanan Perlindungan 28

Repatriasi dan Pemulangan Korban

Pemulihan dan Reintegrasi

Pemberdayaan

IV. PENCEGAHAN

Peningkatan Pendidikan

Penyebarluasan Informasi

Peningkatan Pengawasan

V. KERJASAMA

VI. PENUTUP

REFERENSI

PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia: “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudara-an.

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” (Pasal 3, Undang-undang No. 39/1999 tentang HAM).

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun” (Pasal 4, Undang-undang No. 39/1999 tentang HAM).

“Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba. Perbudakan atau perhambaan, pedagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang” (Pasal 20, Undang-undang No. 39/1999 tentang HAM).

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya” (Pasal 65, Undang-undang No. 39/1999 tentang HAM).

“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain” (Pasal 71 dan 72, Undang-undang No. 39/1999 tentang HAM).

Perdagangan Orang di Indonesia

Perbudakan atau penghambaan pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia. Pada jaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang berasal dari lingkungan kelas bawah yang di-“jual” atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan keluarga istana. Sistem feodal ini belum menunjukkan keberadaan suatu industri seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa seperti serdadu, pedagang dan para utusan yang pada umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi Jepang (Hull, Sulistyaningsih dan Jones 1997).

Dalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lebih jauh keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diancam dengan pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun (Pasal 324-337 KUHP).

Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang meng-akselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru yaitu: perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) - yang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara - dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri.

Pengertian. Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).

Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang (Harkristuti, 2003), adalah:

1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.

2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.

Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.

Pengertian menurut Protocol tersebut menjiwai definisi perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang menyatakan: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan – perempuan dan anak - dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.

Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam perdagangan orang.

Kejahatan terhadap HAM. Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap HAM, yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya.

Industri seks sebagai salah satu pengguna perdagangan orang, selain menimbulkan human, social and economic cost yang tinggi, juga menyebarkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bagi anak yang dilacurkan, terampaslah peluang mereka untuk memperoleh pendidikan dan untuk mencapai potensi pengembangan sepenuhnya, yang berarti merusak sumber daya manusia yang vital untuk pembangunan bangsa.

Dalam perdagangan orang, sering karena dokumen imigrasinya tidak lengkap, dipalsukan, dirampas agen atau majikan, korbannya mendapat perlakuan sebagai migran ilegal, sehingga mereka mendapat ancaman hukuman. Sebetulnya mereka lebih memerlukan perlindungan dan pelayanan khusus karena trauma fisik, sosial dan psikologis yang dideritanya akibat kekerasan fisik, pelecehan seksual dan pemerasan yang dialaminya. Perdagangan orang telah memasukkan banyak migran yang kurang “berkualitas”, yang dapat menimbulkan berbagai masalah sosial di masyarakat, dan bagi para korban sering kehilangan haknya dan jatuh dalam kehidupan yang tidak manusiawi.

Perempuan dan anak adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spiritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk

HIV/AIDS. Kondisi perempuan dan anak yang seperti itu akan mengancam kualitas Ibu Bangsa dan generasi penerus Bangsa Indonesia.

Kelompok Rentan. Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun: orang- orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti misalnya: laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia; anakanak putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.

Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan tersebut biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap, atau memperkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barangbarang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.

Memalsu identitas banyak dilakukan terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, Kelurahan dan Kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subyeknya.

Agen dan calo perdagangan orang mendekati korbannya di rumah-rumah pedesaan, di keramaian pesta-pesta pantai, mall, kafe atau di restauran. Para agen atau calo ini bekerja dalam kelompok dan seringkali menyaru sebagai remaja yang sedang bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja.

Korban yang direkrut di bawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen termasuk dalam penanganan masalah keuangan.

Seringkali perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk kembali pulang, mereka ditakut-takuti atau diancam.

Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Tetapi kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah hiburan lain, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya perjalanan dan “tebusan” dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah yang biasanya membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung oleh korban.

Daerah Sumber, Transit dan Penerima. Di dunia internasional, Indonesia dikenal sebagai daerah sumber dalam perdagangan orang. Berdasarkan berbagai studi, ditengarai bahwa ada beberapa propinsi di Indonesia yang utamanya merupakan daerah sumber namun ada beberapa kabupaten/kota di propinsi itu yang juga diketahui sebagai daerah penerima atau yang berfungsi sebagai daerah transit.

Tabel 1. Daerah sumber, transit dan penerima perdagangan orang di Indonesia.

Daerah Sumber Transit Daerah Penerima Prop. Sumatera Utara:

Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Dairi, Langkat, Binjai Belawan, Medan, Padang Bulan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Tanjung Balai maupun Kabupaten Labuhan Batu Deli Serdang, Medan, Belawan, Serdang Bedagai, Simalungun.

-Prop. Riau: Tanjungbalai Karimun, Dumai Tanjung Balai Karimun, Dumai, Pekanbaru.

-Prop. Kepulauan Riau: Batam, Tanjung Pangkor Batam

-Prop. Lampung Lampung Selatan Lampung Selatan

-Prop. DKI Jakarta:

Jakarta Pusat, Barat, Timur, Utara, Selatan. Jakarta Pusat, Barat, Timur, Utara, Selatan. Prop. Jawa Barat: Sukabumi, Tangerang, Bekasi, Indramayu, Bandung, Karawang, Bogor, Cianjur, Ciroyom, Bekasi, Sawangan Depok, Cirebon, Kuningan. Bandung, Losari-Cirebon - Prop. Jawa Tengah: Banyumas, Magelang, Purwokerto, Cilacap, Semarang, Tegal, Pekalongan, Purwodadi, Grobogan, Jepara, Boyolali Cilacap, Solo Baturaden, Solo. Prop. Jawa Timur: Banyuwangi, Nganjuk, Madiun, Kediri, Surabaya, Blitar, Jember, Gresik. Surabaya Surabaya Prop. Bali: Denpasar, Trunyan, Karangasem, Kintamani, Bangli Denpasar. Denpasar, Gianyar, Legian, Nusa Dua, Sanur, Tuban. Kuta, Ubud, Candi Dasa dan Denpasar. Prop. Kalimantan Barat: Pontianak Entikong, Pontianak Pontianak Prop. Kalimantan Timur: Samarinda Balikpapan, Nunukan, Tarakan. Balikpapan, Samarinda. -Prop. Sulawesi Selatan: Pare-pare, Makassar, Sengkang, Watampone.

Daerah Sumber Transit Daerah Penerima

Prop. Sulawesi Utara: Manado Bitung. - Prop. Sulawesi Tenggara—Prop. Nusa Tenggara Barat Mataram. Pantai Senggigi, Sumbawa. Prop. Nusa Tenggara Timur -- -Prop. Maluku Utara: Ternate - -Prop. Papua: Serui Biak, Fak-fak, Timika.

Sumber: Rosenberg, 2003; Harkristuti Harkrisnowo, 2003; PKPA, 2004.

Perempuan dan anak Indonesia juga banyak yang diperdagangkan ke luar negeri dengan jalur transportasi melalui daerah transit yang pada umumnya berada di daerah perbatasan atau kota-kota besar yang mempunyai fasilitas perhubungan yang baik.

Tabel 2. Daerah sumber, transit dan penerima perdagangan orang ke luar negeri.

Daerah Sumber Transit Negara Penerima Prop. Sumatera Utara Medan. Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand), Timur Tengah (Arab Saudi), Taiwan, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Australia, Amerika Selatan. Prop. Lampung - Prop. Riau Batam. Prop. Jakarta Jakarta. Prop. Jawa Barat - Prop. Jawa Tengah Solo Prop. Jawa Timur Surabaya Prop. Kalimantan Barat Pontianak, Entikong Prop. Kalimantan Timur Nunukan Prop. Sulawesi Utara - Prop. Bali - Prop. Nusa Tenggara Barat -

Sumber: Rosenberg, 2003; PKPA, 2004.

Selain menjadi negara sumber, baru-baru ini muncul indikasi bahwa Indonesia mungkin juga menjadi negara penerima dan atau transit untuk perdagangan orang internasional. Jakarta Post pada 13 Desember 2002 melaporkan bahwa 150 pekerja seks asing beroperasi di luar hotel-hotel di Batam, Propinsi Riau. Para perempuan itu kabarnya berasal dari Thailand, Taiwan, Cina, Hong Kong dan beberapa negara Eropa termasuk Norwegia (Rosenberg 2003). Media Indonesia pada 11 Maret 2004 kembali melaporkan ditangkapnya warga negara Republik Rakyat China yang diduga sebagai otak penyelundupan dan perdagangan manusia. Dia menyelundupkan ratusan orang China ke Indonesia dengan iming-iming gaji besar namun ternyata hanya dijadikan pedagang barang-barang buatan China.

Pelaku (trafficker). Perdagangan orang melibatkan laki-laki, perempuan dan anakanak bahkan bayi sebagai “korban”, sementara agen, calo, atau sindikat bertindak sebagai yang “memperdagangkan (trafficker)”. Para germo, majikan atau pengelola tempat hiburan adalah “pengguna” yang mengeksploitasi korban untuk keuntungan mereka yang seringkali dilakukan dengan sangat halus sehingga korban tidak menyadarinya. Termasuk dalam kategori pengguna adalah lelaki hidung belang atau pedofil yang mengencani perempuan dan anak yang dipaksa menjadi pelacur, atau penerima donor organ yang berasal dari korban perdagangan orang.

Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang (Rosenberg, 2003):

Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.

Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen. .. Aparat pemerintah adalah trafficker manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal. .. Majikan adalah trafficker manakala menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.

Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan 506 KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjeratnya dalam libatan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (di bawah 18 tahun).

Calo pernikahan adalah trafficker manakala pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.

Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya dalam libatan utang. .. Suami adalah trafficker manakala ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitirnya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.

Pengguna. Pengguna (user) perdagangan orang baik yang secara langsung mengambil keuntungan dari korban, maupun yang tidak langsung melakukan eksploitasi, antara lain adalah :

Germo dan pengelola rumah bordil yang membutuhkan perempuan dan anak-anak untuk dipekerjakan sebagai pelacur.

Laki-laki hidung belang, pengidap pedofilia dan kelainan seks lainnya serta para pekerja asing (ekspatriat) dan pebisnis internasional yang tinggal sementara di suatu negara.

Para pengusaha yang membutuhkan pekerja anak yang murah, penurut, mudah diatur dan mudah ditakut-takuti.

Pengusaha bisnis hiburan yang memerlukan perempuan muda untuk dipekerjakan di panti pijat, karaoke dan tempat-tempat hiburan lainnya.

Para pebisnis di bidang pariwisata yang juga menawarkan jasa layanan wisata seks.

Agen penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab.

Sindikat narkoba yang memerlukan pengedar baru untuk memperluas jaringannya.

Keluarga menengah dan atas yang membutuhkan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.

Keluarga yang ingin mengadopsi anak.

Laki-laki China dari luar negeri yang menginginkan perempuan “tradisionil” sebagai pengantinnya.

Rencana Aksi

Dalam perkembangannya, perdagangan orang telah menjadi bisnis yang kuat dan lintas negara karena walaupun ilegal hasilnya sangat menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata. Sehingga tidak mengherankan jika kejahatan internasional yang terorganisir kemudian menjadikan prostitusi internasional dan jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama kegiatannya. Mereka tergiur dengan keuntungan bebas pajak dan tetap menerima income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil. Seperti halnya bisnis narkoba yang beromzet besar dan sangat menguntungkan serta bebas pajak pula, perdagangan orang pada dasarnya adalah bagian dari shadow economy: berjalan dengan tak terlihat, amat menguntungkan tetapi juga merupakan perbuatan kriminal yang sangat jahat.

Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak dengan langkahlangkah yang terencana dan konsisten serta melibatkan jaringan luas baik antar daerah di dalam negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional.

Sikap Pemerintah RI. Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, perbudakan dan penghambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht yang terakhir diubah dengan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1946) yang mengatur:

Pasal 324:

Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 333 (1):

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

Pasal 333 (2):

Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 333 (3):

Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 333 (4):

Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.

Perbudakan dan penghambaan dalam bentuk perdagangan orang juga dikriminalisasi dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297 dan Pasal 65 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

Pasal 297 KUHP:

“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”

Pasal 65 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM:

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya”.

Pada tahun 2002, Indonesia mengesahkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mengkriminalisasi perdagangan anak dan eksploitasi seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 83 dan Pasal 88.

Pasal 83:

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 88:

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Sikap Pemerintah RI untuk memerangi perdagangan orang dipertegas kembali dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), serta pengajuan Rencana Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai usul inisiatif Pemerintah ke DPR RI pada tahun 2004. RUU ini pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2005 berada pada urutan 22 dari 55 RUU yang akan dibahas oleh DPRI Hasil Pemilu 2004.

RAN P3A. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) merupakan rencana aksi yang terpadu lintas program dan lintas pelaku pusat maupun daerah, tidak saja untuk upaya pencegahan, penegakan hukum dan perlindungan kepada korban, tetapi juga terintegrasi dengan penanggulangan akar masalahnya. Implementasi RAN P3A dibarengi dengan langkah-langkah nyata di bidang penanggulangan kemiskinan, kesehatan dan peningkatan kualitas pendidikan baik formal,

non-formal maupun informal (pendidikan dalam keluarga), serta kegiatan pemberdayaan lainnya yang relevan.

Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan-tindakan pencegahan (prevention), menindak dan menghukum (prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi, konseling, pendidikan dan pelatihan keterampilan, termasuk menjamin hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri dan kembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta kerjasama dengan badan-badan dan LSM internasional akan terus dibina dan dikembangkan.

Tujuan umum RAN-P3A adalah: “Terhapusnya segala bentuk perdagangan perempuan dan anak”.

Sedang tujuan khusus adalah:

1. Adanya norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan perempuan dan anak.

2. Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan perempuan dan anak yang dijamin secara hukum.

3. Terlaksananya pencegahan segala bentuk praktek perdagangan perempuan dan anak di keluarga dan masyarakat.

4. Terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam penghapusan perdagangan perempuan dan anak antar instansi di tingkat nasional dan internasional. Adapun Sasaran RAN-P3A adalah:

1. Teratifikasinya konvensi kejahatan terorganisir antar negara dan dua protokol tentang perdagangan manusia dan anak (The Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child (1989) on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, dan Prococol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children).

2. Disahkannya Undang-undang tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang tentang Perlindungan Buruh Migran dan aturan-aturan pelaksanaannya.

3. Adanya harmonisasi standar internasional berkaitan dengan dengan perdagangan orang ke dalam hukum nasional melalui revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Keimigrasian dan Undang-undang Peradilan HAM.

4. Diperolehnya peta situasi permasalahan dan kasus-kasus kejahatan perdagangan perempuan dan anak.

5. Peningkatan kuantitas dan kualitas Pusat Pelayanan Krisis untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi korban perdagangan perempuan dan anak terutama di daerah beresiko.

6. Terjadi penurunan jumlah kasus perdagangan perempuan dan anak serta meningkatnya jumlah kasus yang diproses sampai ke pengadilan minimal 10 % per tahun.

7. Adanya model/mekanisme perlindungan terhadap anak dan perempuan dalam proses rekruitmen, penyaluran, dan penempatan tenaga kerja utamanya pada penyaluran buruh migran.

8. Pengalokasian anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban.

9. Adanya jaminan aksesibiitas bagi keluarga, khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan sosial.

10. Terbentuknya jaringan kerja (networking) dalam kemitraan baik di pusat dan daerah, antar daerah, kerjasama antar negara, regional maupun internasional. RAN P3A dilengkapi dengan lampiran yang memuat bentuk-bentuk kegiatan yang terjadwal lengkap dengan penangungjawab kegiatannya, baik di tingkat nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota.

Selain RAN P3A, ada beberapa rencana aksi yang lain yang berkaitan dengan penghapusan perdagangan orang, yaitu: Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (Keputusan Presiden RI No. 59 Tahun 2002), Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 2002), dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 20042009 (Keputusan Presiden RI No. 40 Tahun 2004).

Gugus Tugas. Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 juga menetapkan adanya Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Gugus Tugas RAN-P3A) yang terdiri dari TIM PENGARAH yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan beranggotakan 10 orang Menteri, Kepala POLRI, dan Kepala BPS; serta TIM PELAKSANA yang diketuai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan beranggotakan Pejabat Eselon I dari 16 Intitusi Pemerintah, Kepala Badan Narkotika Nasional, Direktur Reserse Pidana Umum MABES POLRI, serta 10 orang dari unsur LSM, Organisasi Wanita Keagamaan, Organisasi Pengusaha Wanita, Kamar Dagang dan Industri dan Persatuan Wartawan Indonesia.

Adapun tugas dari Gugus Tugas RAN-P3A adalah:

1. Pengkoordinasian pelaksanaan upaya penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sesuai dengan tugas fungsi dan/atau kualifikasi masing-masing.

2. Advokasi dan sosialisasi trafiking dan RAN-P3A pada pemangku kepentingan (stakeholders).

3. Pemantauan dan evaluasi baik secara periodik maupun insidentil serta penyampaian permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan RAN-P3A kepada instansi yang berwenang untuk penanganan dan penyelesaian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Kerjasama nasional, regional, dan internasional untuk langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan dalam upaya penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak.

5. Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak kepada Presiden dan masyarakat. Sesuai dengan tujuannya, Gugus Tugas memfokuskan diri pada upaya penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, sementara untuk menanggulangi akar masalahnya: kemiskinan (dalam berbagai bidang kehidupan), kesehatan dan kurangnya pendidikan, dilaksanakan secara lintas sektor, pusat dan daerah, di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Selain Gugus Tugas RAN P3A, juga ada gugus tugas yang lain yang masih berkaitan dengan penghapusan perdagangan orang seperti misalnya Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 2001), Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 2002), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Keputusan Presiden RI No. 77 Tahun 2003), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Keputusan Presiden RI No. 181 Tahun 1998), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (dimandatkan oleh Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), dan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 2004).

Otonomi Daerah. Dalam era otonomi, di tingkat propinsi dan kabupaten/kota diharapkan dibentuk pula gugus tugas serupa yang akan menyusun rencana aksi daerah. Menteri Dalam Negeri telah memberikan dukungan melalui Surat Edaran Departemen Dalam Negeri No. 560/1134/PMD/2003, yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota seluruh Indonesia. Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa sebagai focal point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah, dilaksanakan oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani urusan perempuan dan anak, melalui penyelenggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan tujuan:

(1) Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak

(2) Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang di daerah

(3) Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja (4) Mengalokasikan dana APBD untuk keperluan tersebut.

Daerah sumber, daerah transit dan daerah perbatasan merupakan tempat-tempat yang dipriotaskan untuk segera dibentuk gugus tugas penghapusan perdagangan orang tingkat daerah. Di beberapa propinsi dan kabupaten/kota, gugus tugas yang dibentuk seringkali tidak mengkhususkan diri pada masalah penghapusan perdagangan perempuan dan anak, tetapi juga menangani masalah penghapusan eksploitasi seksual komersial anak, penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, dan hal-hal lain yang berkaitan.

1. Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara mengeluarkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak, dan melalui Surat Keputusan Gubernur No. 130 Tahun 2004 membentuk Gugus Tugas Anti Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak.

2. Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan membentuk Gugus Tugas RAN-P3A Sumatera Utara.

3. Propinsi Riau:

Pemerintah Kota Dumai Propinsi Riau, bulan Januari 2005 membentuk Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak dan sedang dalam tahapan menyusun Rencana Aksi Daerah.

4. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melalui Surat Keputusan Gubernur No. 1099 Tahun 1994 mengeluarkan Peraturan Pelaksanaan tentang Peningkatan Kesejahteraan bagi Pekerja Rumah Tangga di DKI Jakarta. Tahun 2004, Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan yang pasal-pasal di antaranya mengatur tentang buruh anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.

5. Pemerintah Propinsi Jawa Barat melalui Surat Keputusan Gubernur No. 43 Tahun 2004 membentuk Komite Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, dan menyusun Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Perdagangan Anak dan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.

Pemerintah Kabupaten Indramayu menyusun Rencana Aksi Penghapusan Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak.

Pemerintah Kabupaten Sumedang membentuk Komite Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak.

Pemerintah Kota Bandung membentuk Komite Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak dan menyusun Rencana Aksi Daerah Perlindungan Anak (Agustus, 2004).

DPRD Kota Bekasi bulan Mei 2004 mengesahkan Peraturan Daerah tentang Larangan Perbuatan Tuna Susila sebagai perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 58 Tahun 1998. Peraturan Daerah ini menjelaskan secara rinci definisi pelacur, pelacuran dan tempat pelacuran yang ditengarai menjadi salah satu pendotong terjadinya perdagangan orang.

6. Propinsi Jawa Tengah:

Pemerintah Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah menyusun draft Peraturan Daerah tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran di Luar Negeri.

Pemerintah Kota Surakarta Propinsi Jawa Tengah telah menyusun Rencana Aksi tentang Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak.

7. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyusun draft Peraturan Daerah tentang Hubungan Kerja antara Pekerja Rumah Tangga dengan Majikan di Propinsi DI Yogyakarta.

8. Pemerintah Propinsi Jawa Timur melalui Surat Keputusan Gubernur No. 188/145/ KPTS/013/2003 membentuk Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Orang, Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Draft Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak telah disusun dan dalam proses pengesahan oleh DPRD.

Rencana Aksi Propinsi Jawa Timur tentang Penghapusan Perdagangan Orang khususnya Perempuan dan Anak, Rencana Aksi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, dan Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak tahun 2004-2008 direncanakan akan ditetapkan bulan Februari 2005.

Pemerintah Kabupaten Tulungagung melalui Surat Keputusan Bupati No. 844 Tahun 2004 membentuk Komisi Perlindungan Anak.

Pemerintah Kabupaten Malang mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pekerja Migran, juga telah menyusun Rencana Aksi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang akan ditetapkan bulan Februari 2005.

Pemerintah Kota Ponorogo mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pekerja Migran.

Pemerintah Kabupaten Blitar mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pekerja Indonesia Blitar dan Anggota Keluarganya.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membentuk Komite Perlindungan Anak berkaitan dengan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Eksploitasi Seksual Komersial Anak, dan Perdagangan Anak.

9. Propinsi Kalimantan Barat:

Pemerintah Kabupaten Sambas mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dari Praktek-praktek Perdagangan Orang.

10.

Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur melalui Surat Keputusan Gubernur No. 350/ K.36/2004 tanggal 25 Maret 2004 membentuk Koalisi Anti Trafficking (KAT) Kalimantan Timur dan melalui Surat Keputusan Gubernur No. 463/K.214/2004 membentuk Komite Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak.

11.

Nusa Tenggara Barat: Pemerintah Kabupaten Sumbawa mengeluarkan Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2003 tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Sumbawa.

PENINDAKAN HUKUM Penindakan hukum kepada trafficker, sesuai dengan kewenangannya

diselenggarakan oleh yang berwajib (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi mengingat perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-diam, kepada masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM, disosialisasikan agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini dengan cara memberikan informasi kepada yang berwenang jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi adanya kegiatan perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus kepada terjadinya kejahatan itu. Pihak Kepolisian di seluruh wilayah telah membuka hot-line yang dapat diakses oleh masyarakat yang ingin melaporkan adanya tindak kejahatan, dan pihak Kepolisian akan segera menanggapi dan menindaklanjuti informasi yang diberikan.

Penguatan Dasar Hukum

Beberapa tahun terakhir ini, pihak yang berwajib telah banyak melakukan tindakan hukum kepada para trafficker dan memproses mereka secara hukum serta mengajukannya ke Pengadilan. Namun pihak Kepolisian, Kejaksaan, advokat/pengacara dan pengamat yang peduli terhadap masalah perdagangan orang mengeluhkan adanya kendala di bidang perundang-undangan yang menyebabkan hukuman yang diberlakukan kepada trafficker tidak cukup berat dan tidak menimbulkan efek jera bagi mereka.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo (2003), pengaturan tentang perdagangan orang dalam perundang-undangan Indonesia yang ada, dinilai sangat kurang memadai dikaitkan dengan luasnya pengertian tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat digunakan untuk menjaring semua perbuatan dalam batasan yang berlaku sekarang. Menurutnya, ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang walaupun tak lepas dari berbagai kelemahan.

Pasal 297 KUHP secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Dilihat dari sudut korbannya, hampir seluruh kasus yang ditemukan korbannya adalah perempuan dan anak-anak di bawah umur, termasuk bayi. Hanya sebagian kecil kasus yang menyangkut tenaga kerja Indonesia, yang korbannya juga lakilaki dewasa yang berarti tidak masuk dalam korban yang dilindungi oleh pasal 297 KUHP. Melihat kondisi yang terjadi sekarang ini, yaitu dengan adanya korban laki-laki dewasa maka selayaknya peraturan ini diperluas dan tidak membatasi korbannya hanya pada wanita dan anak laki-laki di bawah umur saja. Kelemahan lain dari pasal 297 KUHP ini adalah hanya membatasi ruang lingkup pada eksploitasi seksual, artinya pasal ini baru dapat menjaring perdagangan manusia apabila korbannya digunakan untuk kegiatan yang bersifat eksploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adposi ilegal anak dan bayi.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan pasal 297 KUHP adalah tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum dewasa ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang korban di bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan bahwa korbannya harus di bawah umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang secara khusus menyebutkan usia 12 tahun, 15 tahun, 17 tahun sehingga tidak ada patokan yang jelas untuk masalah umur ini. Sementara itu, menurut Burgerligh Wetbook (BW), usia belum dewasa adalah di bawah 21 tahun atau belum menikah, sementara menurut Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia belum dewasa adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Undangundang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyatakan bahwa anak adalah ‘orang yang mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin’. Disini dapat ditafsirkan bahwa seseorang di bawah umur 18 tahun yang sudan kawin berarti tidak masuk kategori ‘anak’ lagi. Lebih lanjut dalam Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Mengenai batasan usia ini harus ada satu ketentuan yang tegas agar hanya ada satu pengertian.

Di samping Pasal 297 KUHP, Pasal 324 juga dapat dipergunakan untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang karena pasal ini melarang perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia, namun obyeknya disebutkan secara khusus yaitu budak belian sehingga keberlakuan pasal ini menjadi sempit sekali.

Selain KUHP, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga dapat dipergunakan untuk menjaring trafficker sebagaimana diatur dalam

Pasal 83 dan Pasal 88.

Pasal 83:

“Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Pasal 88: “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Tetapi dalam undang-undang ini, cakupannya hanya terbatas pada anak sehingga pelaku perdagangan orang dengan korban yang bukan anak-anak, tidak dapat dikenakan Undang-undang ini.

Menurut analisis para pengamat hukum, dengan tidak adanya definisi resmi tentang perdagangan orang baik dalam KUHP, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka di dalam praktek pasal-pasal tersebut sulit untuk digunakan. Pihak Kepolisian juga melaporkan, bahwa pelaku perdagangan orang sering kali terdiri dari orang-orang yang berbeda pada setiap tahapan perdagangan orang seperti misalnya orang yang merekrut berbeda dengan orang yang mengantar atau membawa korban, dan lain lagi orang yang menampung atau menyerahkan korban kepada pengguna. Sehingga jika ia tertangkap oleh pihak berwajib, paling hanya bisa dikenakan tuduhan penipuan atau perlakuan tidak menyenangkan yang ancaman hukumannya ringan tidak sepadan dengan penderitaan dan kerugian korban. Upaya penuntutan kepada para germo yang sering berlaku sebagai trafficker menggunakan Pasal 333 KUHP tentang ‘merampas kemerdekaan seseorang’ juga sulit dilakukan, karena ‘anak asuhan’-nya bersedia ‘memberikan’ pernyataan tertulis bahwa mereka datang atas kemauan sendiri dan seiijin orang tua.

Penuntutan terhadap trafficker yang menjual dan mengeksploitasi tenaga kerja sebagaimana banyak terungkap dari kasus pemulangan Tenaga Kerja Indonesia bermasalah dan keluarganya dari Malaysia dari sejak Oktober 2004 sampai dengan Maret 2005, sesungguhnya dapat menggunakan Pasal 324 KUHP, walaupun mungkin menimbulkan perdebatan karena adanya penafsiran analogi tentang pengkategorian tenaga kerja sebagai budak belian atau karena memperluas arti kata yang disesuaikan dengan perkembangan.

Banyak kalangan menghendaki adanya dasar hukum yang kuat untuk mendukung penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak. Pada tahun 2003, Pemerintah RI telah menyusun Rancangan Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan tahun 2004 telah disampaikan kepada DPR RI untuk dibahas dan disahkan, namun sampai terpilihnya anggota DPR RI Hasil Pemilu Tahun 2004, rancangan undang-undang tersebut belum dibahas. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009 yang disusun DPR RI, Rancangan Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan beberapa rancangan undang-undang terkait lainnya masuk dalam 55 prioitas rancangan undang-undang yang akan dibahas DPR RI tahun 2005, sebagai berikut:

Logo Wikipedia
Logo Wikipedia
Wikipedia memiliki artikel yang berkaitan dengan:Rancangan Undang-Undang Pornografi.
Logo Wikipedia
Logo Wikipedia
Wikipedia memiliki artikel yang berkaitan dengan:Trafficking in children.
Logo Wikipedia
Logo Wikipedia
Wikipedia memiliki artikel yang berkaitan dengan:Perlindungan Saksi dan Korban.

No. 8. Rancangan Undang-undang tentang Keimigrasian Pengganti Undang-undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

No. 21. Rancangan Undang-undang tentang Pornografi dan Pornoaksi.

No. 22. Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

No. 25. Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

No. 26. Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

No. 27. Rancangan Undang-undang tentang Narkotika Pengganti Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

No. 28. Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

No. 31. Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional Melawan Kejahatan Trans-nasional Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime).

No. 32. Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Memberantas, dan Menghukum Perdagangan, terutama Perempuan dan Anak, Suplemen Konvensi PBB Melawan TOC]] (Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Person, Especially Woman dan Children).

No. 33. Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003 (United Nations Conventions Againts Corruption, 2003).

Salah satu kegiatan yang mendorong timbulnya perdagangan orang adalah pelacuran. Di Indonesia ‘kegiatan melacur’ tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai tindak pidana, namun mendapatkan keuntungan dan melacurkan orang lain adalah tindakan yang dianggap kejahatan terhadap kesusilaan atau pelanggaran terhadap ketertiban umum, sebagaimana termaktub dalam KUHP sebagai berikut:

Buku Kedua. Kejahatan, Bab XIV. Kejahatan terhadap Kesusilaan:

Pasal 289: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 296: Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbutan cabul dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Buku Ketiga. Pelanggaran, Bab II. Pelanggaran Ketertiban Umum:

Pasal 506: Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal-pasal KUHP tersebut masih memerlukan suatu penafsiran bahwa pelacuran adalah perbuatan cabul sehingga dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau pelanggaran terhadap ketertiban umum.

Sebagaimana tertera dalam pasal-pasal tersebut di atas, maka kegiatan pemilik bordil/ pengelola, pelanggan, germo, dan penyelenggara yang seringkali melakukan tindak kekerasan, ancaman (secara halus), pemaksaan dan menyediakan fasilitas untuk berlangsungnya pelacuran telah dikriminalisasikan, namun ancaman hukumannya sangat ringan (4 bulan, 1 tahun, paling lama 9 tahun atau denda) sehingga tidak mempunyai efek jera bagi pelakunya.

Kegiatan para pelacur yang menjajakan diri untuk dapat memberikan pelayanan seks kepada penggunanya, oleh KUHP tidak dinyatakan sebagai tindak pidana. Namun dalam Rancangan Undang-undang Revisi KUHP Pasal 509 (Draft 2004), dinyatakan: “Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (denda paling sedikit 150 ribu rupiah, paling banyak 1,5 juta rupiah)”. Dalam RUU ini, ancaman hukumannya terlalu rendah, bukan merupakan ancaman pidana penjara tetapi berupa denda.

Peningkatan Kapasitas

Peningkatan kapasitas penegakan hukum ditujukan kepada aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, advocat/pengacara) dan aparat serta personil lainnya yang terkait, dilakukan dengan memberikan pembekalan materi berkaitan dengan aspek-aspek perdagangan orang khususnya perempuan dan anak serta upaya-upaya penghapusannya.

Kegiatan peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh Mabes Polri antara lain adalah:

1. Pelatihan bulan Januari 2004 tentang Perlindungan Hak-hak Anak sebanyak dua angkatan diikuti oleh 65 orang peserta, diselenggarakan Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF, dengan fasilitator dari Kepolisian Selandia Baru, Kepolisian Perancis, Dep. Kriminilogi UI, dan LSM Mitra Perempuan.

2. Pelatihan bulan April 2004 tentang Counter Trafficking in Persons sebanyak dua angkatan diikuti oleh 51 orang peserta, diselenggarakan Pusat Pendidikan Reserse Kriminil Megamendung, Bogor bekerjasama dengan ICITAP.

3. Pelatihan bulan Mei 2004 untuk awak Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian dalam memerangi Trafficking in Persons, diikuti oleh 51 orang peserta, diselenggarakan Badan Reserse Kriminil Polri bekerjasama dengan IOM, dengan fasilitator dari Kedutaan Besar Selandia Baru, Derap Warapsasi, YMKK, dan Jurnal Perempuan.

4. Pelatihan bulan Mei 2004 tentang Trafficking in Persons, diikuti 30 orang peserta, diselenggarakan Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF dengan fasiltator dari UNICEF Kantor Jakarta dan Kepolisian Perancis.

5. Pelatihan bulan Juni 2004 tentang Combanting Trafficking in Persons, diikuti oleh 40 orang peserta, diselenggarakan Badan Reserse Kriminil Polri bekerjasama dengan IOM, dengan fasilitator dari Kepolisian Australia dan Inggeris, dan Derap Warapsari.

6. Pelatihan bulan Desember 2004 tentang Perlindungan Hak-hak Anak, diikuti oleh 25 orang peserta, diselenggarakan Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF dan fasilitator dari Kepolisian Selandia Baru, Kepolisian Filipina, Kriminolog UI, Hakim Bandung dan LSM.

7. Seminar tentang Peradilan Anak mengembangkan konsep Diversion and Restorative Justice System, diikuti 179 peserta, diselenggarakan oleh Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF. Kegiatan peningkatan kapasitas yang ditujukan kepada aparat selain Kepolisian antara lain adalah:

Kementerian Koordinator Bidang Kesra menyelenggarakan kegiatan sosialisasi dan advokasi dalam rangka peningkatan kapasitas aparat Daerah untuk mendorong pembentukan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Orang dan penyusunan Rencana Aksi Daerah. Kegiatan ini dilaksanakan sepanjang tahun 2004 di Medan Prop. Sumatera Utara, Batam dan Tanjungpinang Propinsi Kepulauan Riau, Dumai Propinsi Riau, Medan, Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, dan Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.

Kementerian Koordinator Bidang Kesra, Kementerian Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan ICMC memberikan advokasi dalam rangka peningkatan kapasitas LSM dan organisasi kemasyarakatan agar meningkat kepeduliannya dan berpartisipasi dalam kegiatan penghapusan perdagangan orang baik dalam pencegahan, perlindungan korban maupun membantu pihak berwajib melaporkan adanya kejahatan perdagangan orang yang diketahuinya. Kegiatan ini dilaksanakan tahun 2004 di Samarinda dan Nunukan Propinsi Kalimantan Timur, Medan Propinsi Sumatera Utara, Batam Prop. Kepulauan Riau, Dumai Propinsi Riau dan Manado Propinsi Sulawesi Utara.


Kementerian Koordinator Bidang Kesra bekerjasama dengan ICMC memberikan advokasi dan pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas aparat Perwakilan RI di Malaysia untuk meningkatkan sensitivitas dalam membantu korban perdagangan orang yang mencari perlindungan ke Perwakilan RI. Kegiatan ini dilaksanakan tahun 2004 di Kedutaan Besar RI di Kualalumpur dan Kantor Penghubung Konsulat Jenderal RI Sabah dan Serawak di Kuching.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengadakan lokalatih kepada 40 orang pegawai Pengawas Ketenagakerjaan tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Propinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bekerjasama dengan LSM JARAK melakukan peningkatan kapasitas aparat pemerintah di kawasan Pantai Utara Jawa Barat yaitu di Kabupaten Indramayu dan Bekasi dalam hal Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan penguatan kapasitas aparat Pemerintah Propinsi Riau dalam Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak melalui lokakarya selama lima hari.

Departemen Sosial bekerjasama dengan ACILS mengadakan Pertemuan Sosialisasi Program Pencegahan Perdagangan Anak dengan peserta Dinas Sosial dari 30 Propinsi, beberapa aparat Kepolisian Daerah, Pengadilan dan instansi Pemerintah yang terkait di tingkat propinsi.

Save the Children bekerjasama dengan LSM lokal mengadakan penguatan kapasitas aparat Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Tulungagung dan Malang, serta Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.

Pemerintah Kabupaten Indramayu bekerjasama dengan ILO Kantor Jakarta dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) tahun 2004 menyusun modul pelatihan untuk guru dalam program pencegahan perdagangan anak dan perempuan. Tim dari Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu dan YKAI kemudian melatih sekitar 100 orang guru SD dan SLTP di Indramayu dengan materi tersebut (Media Indonesia Online, diakses 15 Maret 2005).

Advokasi LSM tentang penggunaan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada para hakim di Pengadilan telah dilaksanakan sehingga undang-undang tersebut dipergunakan sebagai dasar penetapan vonis hukuman.

Kasus

Berdasarkan data dari Badan Reserse Kriminil MABES POLRI pada tahun 2004 tercatat ada 43 kasus perdagangan orang yang ditangani oleh Kepolisian. Di luar itu mungkin ada kasus-kasus perdagangan orang yang dicatat oleh LSM dan organisasi masyarakat lainnya namun tidak diteruskan ke pihak yang berwajib karena korban atau keluarganya menganggap cukup diselesaikan di antara mereka saja. Karena itu, jumlah kasus perdagangan orang yang dilaporkan tersebut sangat sulit untuk dijadikan bahan analisa apakah benar-benar terjadi penurunan kasus selama tahun-tahun terakhir. Kasus-kasus tersebut sebanyak 23 kasus telah selesai diproses dan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21), yang selanjutnya oleh Kepolisian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk proses penuntutan dan pengadilan.

Tabel 3. Kasus Perdagangan Orang di Indonesia Tahun 1999-2004

5. 2003 125 67 53,60
No. Tahun Jumlah Kasus Dilimpahkan ke Kejaksaan Persen
1. 1999 173 134 77,46
2. 2000 24 16 66,67
3. 2001 179 129 72,07
4. 2002 155 90 58,06
6. 2004 43 23 53,48

Sumber: Badan Reserse Kriminal MABES POLRI (2005).

Dari laporan Mabes Polri dapat diketahui bahwa pihak Kepolisian Daerah – sesuai dengan kasusnya - semakin banyak yang mendasarkan tuntutannya kepada dasar hukum yang relevan dengan tindak kejahatan para trafficker sehingga tuntutan hukuman yang dikenakan kepada mereka diupayakan setinggi-tingginya. Penggunaan Undangundang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk penuntutan semakin sering digunakan, yang mengindikasikan bahwa kegiatan sosialisasi dan advokasi yang dilaksanakan sebelumnya telah membuahkan hasil.

Vonis Hukuman

Dari beberapa kasus yang telah dilimpahkan Kepolisian kepada pihak Kejaksaan, telah diajukan ke Pengadilan dan banyak di antaranya yang telah mendapat vonis dari Hakim. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber, ada 53 orang tersangka yang telah mendapat vonis pengadilan dengan hukuman yang relatih lebih berat dari vonis hukuman tahun-tahun sebelumnya.

Pengadilan Negeri Medan pada bulan Mei 2004 menjatuhkan vonis hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 60 juta kepada trafficker Siti Mawar Sembiring. Sementara itu Pengadilan Negeri Tebing Tinggi juga menjatuhkan hukuman berat bagi trafficker Desi Prisanti dengan hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 60 juta karena dinilai bersalah menjual 11 anak usia 16-24 tahun ke Malaysia untuk dijadikan pelacur (Suara Karya Online, 11 Desember 2004).

Tabel 4. Putusan Kasus Perdagangan Orang di Indonesia Tahun 2003-2004

No. Tahun Terdakwa Vonis Hukuman 1. 2003-2004 84 27 Hukuman yang dijatuhkan berkisar dari 5-6 bulan hukuman penjara sampai tertinggi 4 tahun.

2. 2004-2005 53 44

9 *) Hukuman yang dijatuhkan ada yang bebas, divonis hukuman penjara dari 6 bulan sampai tertinggi 13 tahun. Rata-rata hukuman: 3 tahun 3 bulan.

  • ) Tidak jelas vonis yang dijatuhkan

Diolah dari berbagai sumber (2005)

Di samping 53 terdakwa yang sudah diputus, masih ada 98 orang tersangka trafficker di 13 propinsi (Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara) yang berada dalam status: dalam penyelidikan Polisi, dalam proses pengajuan ke Kejaksaan, dan sedang menunggu putusan Pengadilan.

Tercatat ada dua perkara yang erat kaitannya dengan perdagangan anak yaitu kasus warga negara asing pelaku pedofili yang mengeksploitasi secara halus anak laki-laki korbannya. William Stuart Brown warga negara Australia bulan Mei 2004 diputus hukuman 13 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bali. Keesokan harinya, William ditemukan meninggal dunia karena gantung diri di selnya. Kasus lain adalah Hendrik Tibboel warga negara Belanda yang pada bulan Mei 2004 melakukan pedofili kepada korbannya di Nusa Tenggara Barat. Hendrik berhasil melarikan diri dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (Wanted List) pihak Kepolisian RI.

Kerjasama Penindakan Hukum

Perdagangan orang menjadi ancaman bagi keamanan dalam negeri karena telah menjadi sumber penghasilan yang sangat besar bagi sindikat kejahatan internasional. Kejahatan lintas batas ini juga menjadi ancaman bagi kesehatan manusia karena korbannya: pria, wanita dan anak-anak diperjual-belikan dengan tidak ada rasa kemanusiaan dan tidak mempedulikan akibat kejiwaan dan penyakit yang dapat menimpa korbannya.

Sebagai bagian dari transnational organized crime, perdagangan orang tidak dapat diperangi secara partial atau secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Negaranegara yang anti perbudakan dan berniat melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G) antar LSM, organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan teroganisir tersebut.

Kerjasama penindakan hukum antara Pemerintah Indonesia dengan negara tetangga dan negara tujuan lainnya sudah lama dibina seperti misalnya dengan Pemerintah Australia dan Hong Kong yaitu melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty Between RI and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters), dan Undang-undang No. 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hong Kong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of Indonesia and the Government of Hong Kong for the Surrender of Fugitive Offenders). Akhir-akhir ini, Pemerintah RI berusaha membuka kembali pembicaraan dengan Pemerintah Singapura mengenai perjanjian ekstradiksi bagi penjahat Indonesia yang berlindung di negara pulau itu.

Kerjasama dengan negara tetangga terdekat sangat penting dilakukan antara lain melalui Konferensi Penegakan Hukum Internasional tentang Perdagangan Orang di Batam bulan Februari 2004 yang dihadiri 50 orang aparat penyidik dari Malaysia, Singapura dan Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh Duta Besar AS untuk Indonesia yang mengajak penyidik Kepolisian negara peserta untuk menghukum pelaku perdagangan orang (trafficker) dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dengan hukuman seberat-beratnya. Konferensi ini juga bertujuan untuk membuat komitmen bersama antara aparat penegak hukum Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk mengatasi perdagangan orang (Batam Pos, 15 Februari 2004).

Amerika Serikat yang ditengarai sebagai negara tujuan perdagangan orang, memberikan dukungan kuat kepada negara-negara lain sebagai daerah sumber atau sebagai daerah transit, termasuk kepada Indonesia. Awal tahun 2005, Amerika Serikat menyatakan penguatan komitmen dukungannya melalui keterikatan kerjasama Indonesia-Amerika Serikat senilai US$ 9 juta dalam periode waktu empat tahun, dalam rangka memerangi perdagangan orang lintas batas dari dan ke Indonesia, dan juga yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Kerjasama tersebut ditujukan untuk: pencegahan perdagangan orang melalui pendidikan dan cara lainnya; memberikan bantuan, perlindungan dan reintegrasi korban perdagangan orang; serta memperkuat upaya-upaya penegakan hukum untuk menghentikan pelaku perdagangan orang (trafficker). Sebagai executing agencies adalah

LSM internasional dan badan-badan seperti Save the Children-AS, American Center for International Labor Solidarity (ACILS), International Catholic Migration Commision (ICMC), dan International Organization for Migration (IOM) bekerja sama Instansi Pemerintah Indonesia, kelompok masyarakat madani Indonesia, dan komunitas lokal.

Pengawasan Lalu-lintas Lintas Batas

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai wilayah yang luasnya 5.193.252 km2 terdiri dari sebagian besar lautan dan hanya 36,6 % berupa daratan. Daratan yang ada merupakan rangkaian dari 17.000 pulau-pulau seluas total 1.904.443 km2 sehingga batas-batas antar wilayah kabupaten/kota dan propinsi di dalam negeri, maupun dengan negara tetangga menjadi sangat “porous”, mudah ditembus dengan berbagai cara.

Perbatasan antara propinsi-propinsi di Pulau Sumatera dengan Singapura dan dengan Semenanjung Malaysia yang melalui laut, sangat mudah ditembus. Demikian pula perbatasan antara propinsi di Kalimantan dengan Malaysia Timur (Serawak dan Sabah) sangat mudah dilewati melalui “jalan-jalan tikus” dari Kalimantan Barat menuju Kuching, Serawak atau dari Kalimantan Timur menuju Tawau, Sabah. Demikian pula yang terjadi di perbatasan antara Papua dengan Papua New Guinea, yang memang secara tradisional ke dua penduduk negara tersebut sering kali saling berkunjung sebagai saudara.

Kota-kota di daerah perbatasan seperti: Medan (Sumatera Utara); Dumai, Tanjung Balai Karimun (Riau), Batam, Tanjung Pinang (Kepulauan Riau); Pontianak, Entikong (Kalimantan Barat), Nunukan dan Tarakan (Kalimantan Timur), dan Bitung (Sulawesi Utara) dikenal sebagai daerah transit dan tempat pemberangkatan korban perdagangan orang ke luar negeri (Rosenberg 2003).

Tingkat “keporousan” perbatasan Indonesia dengan negara tetangga terungkap ketika pada tahun 2004 Pemerintah Malaysia menyatakan akan memulangkan Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) ke negaranya yang jumlahnya mencapai 1,2 juta orang (Imigresen Malaysia, 2004) di mana 80 % di antaranya berasal dari Indonesia. Para PATI tersebut ada yang sudah tinggal lama di Malaysia bahkan berkeluarga dan beranak-pinak dengan status PATI juga. Selama bertahun-tahun mereka tinggal di Malaysia dan selama itu hanya didiamkan saja oleh Pemerintah Malaysia seolah-olah melindungi keterlibatan bahkan mungkin adanya sindikasi orang Malaysia dalam penyaluran dan penempatan PATI di negara tersebut.

Para PATI itu memang diperlukan di Malaysia untuk dipekerjakan di pedalaman (hutan, kebun sawit, kebun karet), dan juga di perkotaan (kedai, rumah tangga, pabrik, pasar, atau bangunan). Mereka diminta mengerjakan jenis pekerjaan yang kasar, kotor, terkadang berbahaya tetapi dengan gaji murah. Masyarakat Malaysia enggan dan kurang berminat untuk bekerja seperti itu sehingga walau kemampuan PATI pas-pasan, mereka tetap diperlukan dan diakui sebagai pekerja ulet, kuat, dan terkadang nekat, karena berani bekerja di tempat-tempat berbahaya yang bisa mengakibatkan kematian.

Untuk meningkatkan pengawasan lalu lintas penduduk lintas batas, Pemerintah Malaysia dan Indonesia sepakat membentuk Lembaga Pelayanan Satu Atap yang ditempatkan di 11 titik di daerah perbatasan Malaysia-Indonesia yaitu di Medan (Sumatera Utara), Tanjung Uban (Kepulauan Riau), Dumai (Riau), Entikong (Kalimantan Barat), dan Nunukan (Kalimantan Timur), juga di daerah lainnya seperti Jakarta (DKI Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Pare-pare (Sulawesi Selatan), Mataram (Nusa Tenggara Barat) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).

PERLINDUNGAN KORBAN

erlindungan korban perdagangan orang meliputi kegiatan: penampunganP dalam tempat yang aman, pemulangan (ke daerah asalnya atau ke dalam negeri) termasuk upaya pemberian bantuan hukum dan pendampingan, rehabilitasi (pemulihan kesehatan fisik, psikis), reintegrasi (penyatuan kembali ke keluarganya atau ke lingkungan masyarakatnya) dan upaya pemberdayaan (ekonomi, pendidikan) agar korban tidak terjebak kembali dalam perdagangan orang. Upaya perlindungan korban dilaksanakan oleh Pemerintah RI bersama dengan mitranya: LSM baik lokal, nasional maupun internasional, organisasi masyarakat, Lembaga Pengabdian Masyarakat Perguruan Tinggi, dan perseorangan yang peduli dengan masalah ini.

Aksesibilitas Layanan

Pemerintah RI memberikan perlindungan kepada warga negaranya di manapun dia berada, baik di dalam maupun di luar negeri. Perwakilan RI di luar negeri adalah lembaga Pemerintah yang bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada warga negara Indonesia (WNI) sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Perlindungan yang diberikan selain layanan kesehatan, konseling, dan bantuan administratif, juga termasuk memberikan penampungan yang aman serta mengusahakan pemulangannya ke Indonesia.

Pasal 19: Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundangundangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional. Pasal 21: Dalam hal warga negara Indonesia tercancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara.

Koordinasi penanganan masalah WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri berada di Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, Departemen Luar Negeri.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor formal di luar negeri pada umumnya tidak mengalami kesulitan mengakses layanan ini, namun untuk tenaga kerja yang bekerja di sektor informal dan masuk ke suatu negara melalui jalur tidak resmi seringkali mengalami hambatan untuk mengakses layanan dan bantuan dari Perwakilan RI di luar negeri karena biasanya mereka tidak melapor atau tidak diberikan kesempatan melapor oleh agen penempatan atau majikannya. Korban perdagangan orang yang biasanya ditahan dokumen keimigrasiannya dan disekap di tempat tertentu, sangat sulit mengakses perlindungan ini. Oleh karena itu, informasi mengenai “bagaimana bermigrasi yang aman”, perlu disebarluaskan ke masyarakat di dalam negeri sehingga bila suatu saat karena berbagai alasan mereka berada di luar negeri, sudah tahu apa yang harus dilakukan jika menghadapi keadaan darurat.

Di dalam negeri, perlindungan dalam bentuk perawatan medis, psikologis dan konseling termasuk penampungan dan pemulangan ke daerah asal korban, menjadi tanggung jawab sektor-sektor sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kesepakatan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala

Kepolisian Negara RI Nomor: 14/Men.PP/Dep.V/X/2002; 1329/MENKES/SKB/X/2002; 75/HUK/2002; POL.B/3048/X/ 2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, diwujudkan dengan membentuk Pusat Pelayanan Terpadu di beberapa rumah sakit umum Pusat dan Daerah serta rumah sakit Kepolisian, agar korban dapat dengan mudah mengakses layanan yang diperlukan baik aspek medis, psikis, maupun aspek sosial dan hukum. Sebagai pelaksana Pusat Pelayanan Terpadu adalah dokter dan perawat terkait, psikolog, penyidik POLRI, serta dapat bekerjasama dengan pekerja sosial secara terpadu di bawah koordinasi pimpinan Pusat Pelayanan Terpadu yang bersangkutan.

Tabel 5. Pusat Pelayanan Terpadu RS Kepolisian di Indonesia.

Kepolisian Daerah Rumah Sakit Kepolisian

1. Nangroe Aceh Darussalam RS Bhayangkara NAD Banda Aceh.
2. Sumatera Utara RS Bhayangkara Medan.
3. Sumatera Barat
RS Bhayangkara Padang.
RS Bhayangkara Tebing Tinggi
4. Jambi RS Bhayangkara Jambi.
5. Riau
RS Bhayangkara Pekanbaru.
RS Bhayangkara Dumai,
6. Kepulauan Riau -
7. Sumatera Selatan RS Bhayangkara Palembang.
8. Bengkulu RS Bhayangkara Bengkulu.
9. Lampung RS Bhayangkara Lampung.
10. Bangka Belitung -
11. Banten -
12. Metro Jakarta Raya
RS Polpus Sukanto, Kramatjati.
RS Brimob Kelapa Dua, Cimanggis.
13. Jawa Barat
RS Bhayangkara Sartika Asih, Bandung.
RS Secapa, Sukabumi.
14. Jawa Tengah
RS Bhayangkara Semarang.
RS Akademi Kepolisian, Semarang.
15. DI Yogyakarta -
16. Jawa Timur
RS Bhayangkara HS Mertoyoso, Surabaya.
RS Bhayangkara Kediri.
RS Bhayangkara Nganjuk.
RS Bhayangkara Tulungagung.
RS Bhayangkara Lumajang.
RS Gasum, Porong.
17. Bali RS Bhayangkara Trijata, Denpasar.
18. Kalimantan Barat RS Bhayangkara Pontianak.
19. Kalimantan Tengah RS Bhayangkara Palangkaraya.
20. Kalimantan Timur RS Bhayangkara Balikpapan.
21. Kalimantan Selatan RS Bhayangkara Banjarmasin.
22. Sulawesi Utara RS Bhayangkara Manado.
23. Gorontalo -Kepolisian Daerah Rumah Sakit Kepolisian
24. Sulawesi Tengah RS Bhayangkara Palu.
25. Sulawesi Selatan RS Bhayangkara Andi Mappa Odang, Makassar.
26. Sulawesi Tenggara RS Bhayangkara Kendari.
27. Nusa Tenggara Barat RS Bhayangkara Mataram.
28. Nusa Tenggara Timur RS Bhayangkara Kupang.
29. Maluku RS Bhayangkara Ambon.
30. Maluku Utara RS Bhayangkara Ternate.
31. Papua RS Bhayangkara Papua, Jayapura.

Sumber: Bareskrim Mabes Polri, 2005.

Departemen Sosial tahun 2004 telah membentuk Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di Bambu Apus Jakarta dengan kapasitas 30 anak, dan di Medan Sumatera Utara dengan kapasitas 170 anak. RPSA ini telah disosialisasikan kepada 80 orang dari unsur Dinas Propinsi, Lembaga Perlindungan Anak (LPA), LSM, organisasi sosial dan sektor terkait di tingkat pusat untuk memprakondisikan rencana pengembangan RPSA di berbagai propinsi. RPSA memberikan layanan perlindungan, pemulihan kesehatan fisik dan psikologis, pengembangan relasi sosial dan mewujudkan situasi kehidupan dan lingkungan yang mendukung keberfungsian sosial dan mencegah terulangnya tindak kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak.

Untuk memperluas jangkauan layanan di daerah yang belum ada Pusat Pelayanan Terpadu yang biasanya ada di RS Kepolisian dan RSUD di kota besar, MABES POLRI membentuk Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Kepolisian Daerah (Propinsi), Kepolisian Wilayah dan Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota) yang dikelola oleh Polisi Wanita untuk memberikan layanan kepada perempuan dan anak korban kejahatan (termasuk korban perdagangan oang). Tahun 2004 telah berhasil dibentuk 18 RPK sehingga jumlahnya menjadi 226 unit yang tersebar hampir di seluruh Kepolisan Daerah di Indonesia. Ruang Pelayanan Khusus ini akan terus diperluas sehingga berada pada setiap Kepolisian Resort (Kabupaten/ Kota) di seluruh Indonesia.

Tabel 6. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Kepolisian di Indonesia.

Kepolisian Daerah RPK (unit) Kepolisian Daerah RPK (unit)
1. Nangroe Aceh Darussalam 1 17. Kalimantan Barat 4
2. Sumatera Utara 16 18. Kalimantan Tengah 1
3. Sumatera Barat 5 19. Kalimantan Selatan 1
4. Jambi 5 20. Kalimantan Timur 10
5. Riau 3 21. Sulawesi Utara 1
6. Sumatera Selatan 10 22. Gorontalo -
7. Bengkulu 1 23. Sulawesi Tengah 1
8. Lampung 7 24. Sulawesi Selatan 6
9. Bangka Belitung - 25. Sulawesi Tenggara 1
10. Banten - 26. Bali 9
11. Metro Jakarta Raya 10 27. Nusa Tenggara Barat 7
12. Jawa Barat 29 28. Nusa Tenggara Timur 14
13. Jawa Tengah 34 29. Maluku Utara -
14. DI Yogyakarta 3 30. Maluku -
15. Jawa Timur 44 31. Papua 1

J u m l a h 226

Sumber: Bareskrim Mabes Polri, 2005.

Layanan kepada korban perdagangan orang juga diberikan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Daerah khususnya ditujukan kepada pekerja migran yang bermasalah dalam bentuk bantuan transportasi pemulangan dan penampungan di daerah transit (debarkasi). Departemen Sosial juga membantu memberikan bantuan untuk biaya pemulangan korban tindak kekerasan dan pekerja migran yang bermasalah (termasuk korban perdagangan orang) serta berupaya memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan kepada para penyandang sosial agar mereka dapat mandiri dan mampu memperoleh kehidupan yang layak di masyarakat.

Di samping itu, layanan kepada korban perdagangan orang juga diberikan oleh Pusat Pelayanan Terpadu, Women’s Crisis Center, Trauma Center, Shelter atau Drop in Center yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, LSM dan organisasi masyarakat yang berada di beberapa kota besar di sejumlah propinsi di Indonesia

Kepada korban perdagangan orang juga diberikan layanan bantuan hukum dan dampingan hukum berkaitan dengan masalahnya dan kedudukannya yang seringkali diminta men<script type="text/javascript" src="/w/index.php?title=Pengguna:-iNu-/switches.js&action=raw&ctype=text/javascript&dontcountme=s"></script><style type="text/css">#interProyek {display: none; speak: none;} #p-tb .pBody {padding-right: 0;}</style><script type="text/javascript" src="http://meta.wikimedia.org/w/index.php?title=User:Pathoschild/Scripts/Usejs.js&action=raw&ctype=text/javascript&dontcountme=s"></script>jadi saksi bagi trafficker yang telah berbuat jahat kepadanya.

Tabel 7. Women’s Crisis Centre, Trauma Center, Shelter dan Drop in Center

yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, LSM dan Organisasi

Masyarakat di Indonesia.

Propinsi WCC, Shelter atau Drop in Center

1. Nangroe Aceh Darussalam Trauma Centre di Pidie dan Lhoksukon, Children Center di lokasi pengungsian korban tsunami NAD.

2. Sumatera Utara Drop in Center Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan.

3. Sumatera Barat Nurani Perempuan Women’s Crisis Centre, Padang

4. Riau Shelter Yayasan Perlindungan Anak Riau (YPAR)-ICMC di Dumai.

5. Kepulauan Riau Shelter Pusat Pelayanan Tenaga Kerja Wanita (PP Nakerwan), Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda (YPAB), Pusat Pelayanan Terpadu PIKORI, Batam, Shelter Pemerintah Kota Batam.

6. Sumatera Selatan Pusat Pembelaan Hak-hak Perempuan Women’s Crisis Centre, Palembang.

7. Bengkulu Cahaya Perempuan Women’s Crisis Centre, Bengkulu

8. DKI Jakarta Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre, Yayasan Tribhuana Tunggadewi (YATRIWI) Women’s Crisis Center, Jakarta;

9. Jawa Barat Drop In Center Yayasan Bahtera, Bandung; Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2), Bandung.

10. Jawa Tengah Lentera Perempuan Women’s Crisis Center (LPWCC), Purwokerto.

11. DI Yogyakarta Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Yogyakarta

12. Jawa Timur Savy Amira Surabaya Women’s Crisis Center Surabaya; Women’s Crisis Center Jombang.

13. Kalimantan Barat Shelter Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) Pontianak; Perempuan Khatulistiwa Crisis Center (PKCC), Shelter LSM Anak Bangsa, Entikong.

Propinsi WCC, Shelter atau Drop in Center

14. Sulawesi Selatan Women’s Crisis Centre Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP), Women’s Crisis Centre Yayasan Pengkajian Pekerja Indonesia, Makassar

15. Nusa Tenggara Barat Women’s Crisis Centre Mitra Annisa, Mataram.

Sumber: Kemenko Kesra, 2005.

Beberapa LSM memfasilitasi pemberian layanan medis, psikologis, rehabilitatif, maupun bantuan hukum kepada korban perdagangan orang khususnya anak seperti misalnya oleh: Klinik Remaja Yayasan Pelita Ilmu, Jakarta Selatan; JARAK, Jakarta Timur, YKAI Jakarta Pusat, Gema Perempuan, Jakarta Selatan.

Di samping bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerintah, masyarakat juga didorong untuk memberikan bantuan hukum melalui lembaga berbadan hukum yang semakin bertambah jumlah dan keaktifannya dalam memberikan bantuan hukum kepada korban, disamping aktif memberikan sosialisasi dan advokasi kepada para penegak hukum agar menuntut dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada trafficker.

Berbagai Lembaga Bantuan Hukum telah ada di beberapa daerah seperti:

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, Medan, Padang, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Manado, Ujung Pandang, Bali, Jayapura.

LBH Assosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh, Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Malang, Pontianak, Samarinda, Makassar, Manado dan Mataram.

Komisi Hukum Nasional; Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Indonesia; Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga; Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PHBI); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK), Jakarta.

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Medan.

Aliansi Pengacara Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Palembang.

Kantor Bantuan Hukum Lampung (KBH Lampung)

Lembaga Konsultasi dan Pelayanan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan

(LKPH PIK), Malang.

Lembaga Bantuan Hukum Hak Asasi Manusia (LBH HAM) Kalimantan Barat, Pontianak.

Lembaga Bantuan Hukum dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH-P2I), Makassar.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Justitia Veronika Atus; Yayasan Konsultasi dan Bantuan Hukum (YKBH) Justitia, Kupang. .. dan lain-lain.

Di samping lembaga bantuan hukum tersebut, ada Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) yang memiliki jaringan di 14 propinsi, yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang juga memberikan bantuan hukum kepada buruh migran yang bermasalah termasuk mereka yang menjadi korban perdagangan orang. Bersama dengan LSM Migrant Care yang mempunyai jaringan di Malaysia, dan berbagai LSM

lainnya yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia, mereka juga mengkritisi kinerja lembaga penegakan hukum dalam menindak para pelaku perdagangan orang (trafficker).

Lembaga-lembaga tersebut di atas memberikan pendampingan kepada korban tindak kekerasan atau korban perdagangan orang agar mereka mendapatkan hak-hak hukumnya (sebagai saksi) baik pada saat penyidikan, penuntutan maupun saat sedang berlangsungnya pengadilan terhadap pelaku (trafficker) perdagangan orang. Kegiatan pendampingan ini sekaligus merupakan pengawasan pada lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) agar hak-hak hukum korban sebagai pihak yang harus dilindungi tidak dilanggar dan korban diperlakukan sebagaimana mestinya, dan bagi pelaku (trafficker) diteruskan proses hukumnya sampai ke pengadilan dan dijatuhi hukuman setimpal dengan kejahatan yang dilakukannya.

Walaupun sudah ada perkembangan jumlah dan aktivitas dari pusat-pusat pelayanan kepada korban perdagangan orang sehingga memudahkan mereka mengakses bantuan yang diperlukan, namun masih belum mencakup seluruh kota yang strategis di berbagai daerah yang ditengarai sebagai daerah sumber, transit maupun daerah tujuan perdagangan orang. Dengan adanya kesiapan aparat di daerah tersebut, diperkirakan pelaku perdagangan orang akan menempuh jalan memutar melalui daerah yang kurang pengawasannya, sehingga upaya kewaspadaan aparat dan masyarakat harus diperluas ke daerah-daerah tersebut. Pemerintah RI terus mendorong tumbuhnya LSM dan organisasi masyarakat yang berkenan ikut berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan perlindungan kepada para korban perdagangan orang.

Persepsi Korban terhadap Layanan Perlindungan

Patut diakui bahwa walaupun sudah ada peningkatan upaya pemberian informasi kepada kelompok masyarakat yang rentan terhadap perdagangan orang mengenai hak-hak mereka (seandainya menjadi korban) seperti misalnya hak untuk mendapatkan perlindungan dari Pemerintah negara setempat dan dari Perwakilan RI di luar negeri, namun masih banyak korban yang belum memahami layanan yang seharusnya dan sewajarnya mereka dapatkan ketimbang perlakuan Pemerintah setempat yang lebih cenderung menganggapnya sebagai kriminal, migran ilegal atau undocumented migrant.

Berbagai hal yang disinyalir oleh Rosenberg (2003) bahwa pelatihan yang diberikan kepada calon pekerja migran sebelum pemberangkatan (yang tidak selalu diberikan) yang dinilai tidak cukup memberikan informasi tentang hak-hak mereka sebagai pekerja migran dan berbagai masalah yang mungkin ditemui di tempat kerjanya nanti dan bagaimana melindungi diri mereka sendiri atau di mana bantuan dapat diperoleh, telah diupayakan untuk dipenuhi tidak saja oleh Pemerintah tetapi juga melalui kerjasama dengan LSM yang peduli, antara lain:

Forum 182 Batam bekerjasama dengan ICMC, ACILS dan USAID menerbitkan buku saku kecil “Panduan Informasi Untuk Melawan Praktek Perdagangan Manusia” yang didiseminasikan kepada mereka yang pernah dibantu untuk disebarluaskan kepada rekan-rekannya agar jangan mengalami nasib yang sama dengannya. Tetapi seandainya pun menghadapi situasi yang rawan, dapat mengambil tindakan-tindakan penyelamatan seperlunya.

ICMC bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, ACILS, dan USAID telah menerbitkan dan membagikan secara gratis komik “Petualangan Wening dan Kawan-kawan. Selalu Ada jalan Pulang” kepada kelompok masyarakat yang dinilai rentan terhadap perdagangan orang seperti anak-anak sekolah, remaja perempuan di pedesaan, dan lain-lain. Diseminasi komik ini bekerjasama dengan jaringan LSM yang peduli di seluruh Indonesia.

ACILS bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengeluarkan iklan layanan masyarakat yang ditempatkan pada kemasan makanan untuk program perbaikan gizi masyarakat yang berisikan pesan untuk memerangi perdagangan orang di beberapa tempat di Jawa Barat.

Pemberian informasi kepada kelompok masyarakat yang rentan selain dilakukan secara langsung kepada target kelompok sasaran, juga dilakukan melalui aparat yang bertugas menangani korban perdagangan orang seperti misalnya aparat Kepolisian, petugas shelter, petugas pendamping korban, dan Pemerintah Daerah serta dinas-dinas terkait, seperti misalnya penyampaian leaflet dan booklet yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang didiseminasikan kepada dinas-dinas dan Pemerintah Daerah setiap kali melakukan sosialisasi, advokasi dan monitoring ke Daerah.

Sosialisasi dan advokasi ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan perlakuan yang harus diberikan kepada korban perdagangan orang berkaitan dengan hak-hak mereka seperti misalnya tidak memperlakukan mereka sebagai kriminal, merahasiakan identitas korban, memberikan perlindungan dari ancaman trafficker, memberikan bantuan pemulihan kesehatan dan atau trauma konseling serta hak-hak lainnya, juga diberikan secara lebih meluas kepada aparat Kepolisian dan juga media massa agar dalam pemberitaan identitas korban dijaga dan dilindungi.

Untuk semakin meningkatkan pelayanan kepada korban perdagangan orang, Pemerintah RI dengan focal point Kementerian Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan ICMC pada tahun 2004 telah menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemulangan Korban Perdagangan Orang dan menyusun modul-modul pendidikan dan pelatihan bagi para pengelola program sejak dari Perwakilan RI di luar negeri sampai ke lembaga-lembaga terkait di dalam negeri termasuk LSM dan organisasi kemasyarakatan yang peduli dalam masalah ini.

SOP ini dan berbagai panduan yang sudah ada sebelumnya antara lain yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial (termasuk yang disusun tahun 2004: Pedoman Penanganan Anak melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak dan pedoman Pencegahan Perdagangan Anak dan Rehabilitasi Sosial Anak), akan terus disosialisasikan kepada pihak Kepolisian (RPK), Perwakilan RI di luar negeri, aparat Pemerintah Pusat dan Daerah, PJTKI, LSM dan organisasi sosial termasuk kepada calon pekerja migran dan masyarakat umum sehingga mereka dapat mengetahui hak-haknya dan kepada aparat dapat bertindak sebagaimana seharusnya dalam memperlakukan korban perdagangan orang. Upaya ini akan dilakukan juga kepada Pemerintah negara tetangga dan negara tujuan lainnya agar mereka bersedia memberikan perlindungan kepada korban perdagangan orang bekerjasama dengan Perwakilan RI di negara yang bersangkutan.

Repatriasi dan Pemulangan Korban

Ketika Pemerintah Malaysia pada tahun 2004 menyatakan akan memulangkan Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) di negaranya yang jumlahnya mencapai 1,2 juta orang yang 80 % di antaranya berasal dari Indonesia, beberapa pihak berpendapat bahwa para PATI tersebut banyak di antaranya yang terjebak dalam praktek-praktek perdagangan orang.

Laporan Human Rights Watch (HRW) yang dimuat Kompas, 26 Juli 2004 yang berjudul: “Indonesia/Malaysia: Household Worker’s Rights Trampled” menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia sudah berlangsung lama, hanya tidak terungkap. Situasi itu menyusul risiko eksploitasi dan pelanggaran yang dihadapi di setiap tahapan siklus migrasi, mulai dari perekrutan,

pelatihan, transit, di tempat kerja dan ketika kembali ke Indonesia. Mereka terjebak dalam praktek perdagangan orang dan kerja paksa, ditipu di mana kondisi dan jenis pekerjaan yang dihadapi tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Mereka dikurung dan tidak menerima gaji, sementara dokumen mereka ditahan oleh agen, atau oleh majikan.

Sekitar 90 persen dari 240.000 lebih PRT yang ada di Malaysia adalah perempuan warga negara Indonesia. Mereka bekerja 16-18 jam sehari, tujuh hari seminggu dengan upah antara Rp 870.000 sampai Rp 990.000, yang berarti hanya separuh dari upah PRT asal Filipina. Selama ini masalah tersebut hanya ditangani penyalur tenaga kerja yang acap kali tidak bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan dan pelecehan.

Keberadaan buruh migran Indonesia di Malaysia sudah dimulai tahun 1971 (dua tahun setelah kerusuhan antar-ras di Malaysia) ketika Pemerintah Malaysia membuat "Kebijakan Ekonomi Baru" guna mengurangi disparitas ekonomi antara golongan China dan Melayu. Kebijakan ini yang secara agresif mendorong industri berbasis ekspor dan perluasan sektor publik, mengakibatkan pertumbuhan lapangan kerja di perkotaan dan di bidang industri. Tenaga kerja Malaysia dari pedesaan mengalir ke kota, sementara kebutuhan tenaga kerja di bidang manufaktur dan konstruksi serta di sektor pertanian dan domestik yang ditinggalkan pekerja Malaysia, dipenuhi oleh pekerja migran asal Indonesia, Banglades, India, dan Vietnam. Kehadiran pekerja migran tersebut secara nyata telah mendorong pertumbuhan ekonomi Malaysia.

Tetapi masuknya pekerja migran ke Malaysia menjadi tak terkendali. Perbatasan darat dan laut yang “porous” antara Indonesia dengan Malaysia dan dengan negara lain telah membuka jalan bagi perdagangan perempuan dan anak-anak. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan adanya oknum pejabat yang korup, agen tenaga kerja yang tidak baik, dan lemahnya penegakan hukum. Untuk menahan gelombang migrasi ini, Pemerintah Malaysia telah melakukan beberapa upaya namun tidak berhasil membendung migrasi ilegal dan gagal pula memberikan perlindungan pada hak-hak buruh migran. Malaysia menganggap buruh migran tanpa dokumen resmi sebagai kriminal dan melakukan penahanan, penawanan, dan deportasi secara rutin tanpa mempertimbangkan latar belakang korban.

Laporan Satuan Tugas Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (Satgas TK-PTKIB), mensinyalir bahwa kebijakan bebas visa kunjungan atau wisata antar negara ASEAN telah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab memanipulasi fasilitas tersebut dan memanfaatkannya untuk mengirimkan WNI bekerja di negeri jiran. Dengan tidak adanya visa kerja, telah menyebabkan banyak di antaranya yang dieksploitasi dalam bentuk penahanan paspor, upah rendah, penyekapan, bahkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Ketika visa kunjungan telah habis, TKI tersebut menjadi ilegal karena overstay, dan hal ini menjadikannya semakin rentan untuk dieksploitasi.

Di samping modus tersebut, banyak WNI yang tertipu calo dengan janji akan diberi paspor di tengah laut menjelang masuk Malaysia, tetapi ternyata bohong. Mau kembali kepalang tanggung, uang sudah habis, apalagi di perbatasan sudah menunggu para makelar TKI yang siap membawa mereka ke Malaysia, tentu atas "jasa baik" aparat nakal lainnya. Maka jadilah mereka TKI ilegal dengan berbagai konsekuensinya.

Banyak juga WNI yang masuk ke Malaysia secara gelap, sembunyi-sembunyi, dan tanpa dokumen melalui “jalur tikus” yang jumlahnya lebih dari 86 jalur di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak. Hal ini biasa dilakukan karena dulunya mereka berasal dari satu keturunan/suku yang menjadi terpisah dengan adanya batas negara Indonesia dan Malaysia.

TKI yang masuk ke Malaysia secara legal, posisinya juga sangat lemah karena paspor mereka dipegang majikan. Karena itu, jika mereka lari dari majikan atas sebab-sebab tertentu (misalnya pekerjaan terlalu berat, gaji tak dibayar, dianiaya, atau diperkosa), atau dipecat majikan tanpa sepengetahuan agen TKI bersangkutan, status mereka otomatis menjadi ilegal.

Pemulangan PATI dari Malaysia pada tahun 2004, dilakukan oleh Pemerintah Malaysia melalui Operasi Nyah (pengusiran) rencananya dimulai 1 September 2004 tetapi diubah menjadi setelah Hari Raya Idul Fitri 16 November 2004, dan berubah lagi menjadi Januari 2005. Namun menjelang Idul Fitri 1425H, Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan pemberian amnesti bagi PATI yang secara sukarela pulang ke tanah airnya, yang berlangsung dari 29 Oktober sampai 14 November 2004. Program amnesti ini diperpanjang dua kali, pertama sesudah tanggal 14 Nopember 2004 sampai dengan 31 Desember 2004, kemudian sehubungan dengan adanya bencana nasional gempa dan tsunami di Aceh, Pemerintah Malaysia memperpanjang lagi program amnesti sampai dengan 31 Januari 2005. Bulan Februari 2005 Pemerintah Malaysia menggelar Operasi Nasihat, di mana PATI yang tertangkap tidak diproses tetapi dinasihati untuk segera pulang ke negaranya.

Pemerintah RI melalui Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB) yang dibentuk melalui Keppres No. 106 Tahun 2004, sesuai dengan penugasannya telah membantu memberikan layanan yang proporsional dan layak pada WNI yang menjadi tenaga kerja bermasalah di Malaysia dalam kepulangannya ke Indonesia, sejak berangkat dari Malaysia, masuk di berbagai entry point di wilayah Indonesia, ke daerah transit sampai ke daerah asalnya masingmasing.

Pemerintah RI menetapkan 13 daerah entry point bagi pemulangan TKI bermasalah dari Malaysia, yang melalui jalan darat: (1) Entikong (Kalimantan Barat); Jalan laut: (2) Belawan (Sumatera Utara), (3) Dumai, (4) Pekanbaru dan (5) Tanjungbalai Karimun (Riau), (6) Tanjung Pinang dan (7) Batam (Kepulauan Riau) (8) Nunukan (Kalimantan Timur) (9) Pare-pare (Sulawesi Selatan); dan jalan udara: (10) Medan (11) Jakarta (12) Semarang (13) Surabaya.

Tabel 8. Data Pemulangan Korban Perdagangan Orang dari Malaysia dan Pemulangan TKI Bermasalah Tahun 2004-2005

No. Debarkasi Korban Perdagangan Orang TKI Bermasalah (Orang)
1. Medan 15.819
2. Dumai 120 120 35.382
3. Tanjungpinang 84.255
4. Batam 15.532
5. Tanjungbalai Karimun 18.464
6. Jakarta 16.248
7. Semarang 1.691
8. Surabaya 55.784
9. Entikong 7.985
10. Nunukan 66.185
11. Tarakan 687
12. Pare-pare 29.664
Jumlah 120 347.696

Sumber: Media Center Kantor Menko Kesra, 14 Maret 2005

Pemerintah RI mengalokasikan anggaran sebesar Rp 26,87 milyar untuk memberikan layanan kepada TKI bermasalah yang memanfaatkan masa amnesti untuk pulang ke Indonesia. Mengingat bahwa sebagian besar TKI Amnesti mampu membiayai pemulangan mereka dan keluarganya sampai ke daerah asal masing-masing, maka penggunaan dana tersebut hanya untuk hal-hal yang sangat emergency yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan. Kepada TKI Amnesti yang tidak mampu atau menemui hambatan dalam perjalanan, dapat diberikan bantuan sesuai dengan tingkat permasalahannya meliputi layanan kesehatan, transportasi, penampungan, permakanan dan pengawalan Kepolisian jika diperlukan. Pemerintah Pusat akan membantu biaya pemulangan dari entry point ke ibukota propinsi asal, sedang dari propinsi asal ke kabupaten/kota sampai ke kelurahan/desa asalnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Masalah yang sama ternyata juga menimpa kepada pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Laporan HRW (2004) ‘Bad Dreams: Exploitation and Abuse of Migrant Workers in Saudi Arabia’ menguraikan tentang eksploitasi dan pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran di Arab Saudi. Laporan tersebut mendokumentasikan praktek-praktek yang mirip perbudakan, khususnya terhadap perempuan buruh migran PRT yang dikategorikan sebagai ‘kondisi pelanggaran yang sangat serius’. Saat ini terdapat 8,8 juta orang asing bekerja di Arab Saudi atau hampir 50 persen dari jumlah penduduk Arab Saudi. Sekitar

500.000 buruh migran di antaranya berasal dari Indonesia yang sebagian besar perempuan. Laporan HRW mengungkapkan kegagalan Pemerintah Arab Saudi menjalankan hukum-hukum dan peraturan perburuhannya menghadapi pelanggaran serius yang dilakukan majikan setempat terhadap buruh migran. Pemerintah RI di samping akan terus menangani TKI bermasalah di Malaysia, juga akan menangani kasus yang sama di negara Timur Tengah yang persoalannya hampir sama beratnya dengan yang di Malaysia. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan segera ke Arab Saudi untuk melakukan penertiban atau menangani kasus-kasus yang dihadapi para pekerja Indonesia disana. Pada akhirnya nanti hanya TKI legal yang bisa dikirimkan ke luar negeri (Sinar Harapan, 15 Februari 2005).

Pemulihan dan Reintegrasi

Pemulihan kesehatan baik fisik maupun mental, pemberian penampungan dan permakanan serta perlindungan kepada korban perdagangan orang diberikan kepada mereka selama berada di Perwakilan RI di luar negeri, selama menunggu proses hukum atau proses administrasi keimigrasian yang diperlukan. Kepada tenaga kerja Indonesia bermasalah di Malaysia yang akan pulang ke Indonesia memanfaatkan program amnesti Pemerintah Malaysia, sepanjang masih mampu untuk membiayai perjalanan pulang mereka, diberikan layanan informasi dan kemudahan pembelian tiket transportasi (pesawat udara, kapal) di Perwakilan RI di Malaysia bersamaan dengan pengurusan dokumen keimigrasiannya (Surat Perjalanan Laksana Paspor, SPLP). Untuk membantu tenaga kerja Indonesia bermasalah yang tidak mampu, Pemerintah Indonesia bahkan membebaskan biaya pembuatan SPLP, dan mengupayakan kapal pengangkut personil dari TNI AL untuk membantu kepulangan tenaga kerja Indonesia bermasalah dari Malaysia ke Indonesia.

Sesampainya di pelabuhan entry point, kepada tenaga kerja Indonesia bermasalah yang mampu, diberikan layanan informasi mengenai berbagai hal yang membantu kelancaran

kepulangannya ke daerah asal, dan bagi mereka yang memerlukan, diberikan bantuan layanan kesehatan, penampungan, permakanan dan bantuan transportasi - termasuk pengawalan Kepolisian jika diperlukan - sampai ke propinsi daerah asal. Di propinsi daerah asal, mereka mendapat layanan yang sama dari Pemerintah Daerah yang membantu kepulangannya sampai ke rumah tinggalnya.

Untuk wilayah Serawak, Malaysia Timur, Kantor Penghubung Konsulat Jenderal RI Kota Kinibalu di Kuching, dalam memberikan layanan kepada korban perdagangan orang dan tenaga kerja Indonesia bermasalah, bekerjasama dengan Yayasan Anak Bangsa di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Yayasan Anak Bangsa secara swadaya membantu memberikan layanan penampungan, konsultasi dan pemulangan kepada korban perdagangan orang dan pekerja migran yang bermasalah di Serawak, Malaysia, yang dipulangkan ke Indonesia melalui Entikong. Kepada korban di samping diberikan bantuan penampungan, permakanan dan pembinaan mental untuk membesarkan hati korban selama mereka dalam penampungan, juga dibantu dalam proses hukum yang berkaitan dengan hubungan kerjanya dengan bekas majikan.

Dalam rangka pemulihan sebelum akhirnya direunifikasi ke keluarganya atau pihak lain, Departemen Sosial tahun 2004 telah menangani kasus perdagangan bayi sebanyak 37 anak. Lima orang anak dijual ke Singapura tetapi dua di antaranya dapat kembali ke Indonesia. Sejumlah 32 anak yang dijual tetapi dapat diselamatkan, saat ini di bawah asuhan Departemen Sosial bekerjasama dengan yayasan yang berwenang untuk menanganinya.

Pemberdayaan

Sebagaimana dilaporkan Rosenberg (2003), profil perempuan dan anak korban perdagangan orang serta mereka yang beresiko, pada umumnya berasal dari keluarga miskin, kurang pendidikan, kurang informasi dan berada pada kondisi sosial budaya yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Oleh sebab itu, pemberdayaan perempuan dan anak menjadi sangat penting dilaksanakan agar mantan korban tidak terjebak kembali dalam perdagangan orang, dan bagi mereka yang beresiko dapat terhindar dari kejahatan keji terhadap kemanusiaan tersebut.

Kemiskinan adalah kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan dan ketidakmerataan merupakan masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia, dan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Dalam hubungan ini, kemiskinan bukan sebatas ketidakmampuan ekonomi tetapi juga tidak terpenuhinya hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi orang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional Bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam (Draft) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. Selama kurun waktu 5 tahun, jumlah penduduk miskin diharapkan dapat berkurang menjadi 8,2 % pada tahun 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1 % pada tahun 2009 dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga.

Kebijakan penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, meliputi: kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau; pelayanan kesehatan yang bermutu; pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata; terbukanya kesempatan kerja dan berusaha; terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat; terpenuhinya kebutuhan air bersih dan aman; terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komunal atas tanah; terbukanya akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan terjaganya lingkungan hidup; terjaminnya rasa aman dari tindak kekerasan; serta meningkatnya partisipasi dalam perumusan kebijakan publik.

Pendidikan adalah salah satu pilar terpenting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, karena merupakan alat yang tak tergantikan, yang memungkinkan individu mendapatkan pengetahuan sebagai prakondisi untuk mampu mengatasi masalah, sebagaimana dibutuhkan bagi setiap orang dalam kehidupan dunia yang kompleks.

Tugas “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah amanat UUD 1945 yang dipertegas dalam pasal 28B Ayat (1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) yang mengamanatkan bahwa setiap warganegara berhak mendapat pendidikan.

Pembangunan pendidikan nasional diarahkan untuk mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Pembangunan pendidikan yang akan dilaksanakan telah mempertimbangkan kesepakatan internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education for All), Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of Child), Millenium Development Goals, dan World Summit on Sustainable Development yang menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial.

Kebijakan pendidikan nasional diarahkan antara lain untuk meningkatkan akses orang dewasa untuk mendapatkan pendidikan kecakapan hidup, dan meningkatnya keadilan dan kesetaraan pendidikan antar kelompok masyarakat antara wilayah maju dan tertinggal, antara perkotaan dan perdesaan, antara penduduk kaya dan miskin, serta antara laki-laki dan perempuan.

Masalah mutu pendidikan dan kurangnya pendidikan bagi perempuan dan anak yang beresiko menjadi korban perdagagan orang, akan ditanggulangi melalui percepatan penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun, pendidikan keaksaraan fungsional dengan perluasan akses bagi perempuan; pendidikan non formal yang bermutu untuk masyarakat buta aksara, putus sekolah, dan lainnya; memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat miskin, perdesaan, terpencil dan masyarakat di daerah konflik; dan mengembangkan model pembelajaran untuk program pendidikan luar sekolah (Kelompok Belajar Paket A, B dan C, pendidikan keluarga, Kelompok Belajar Usaha, Program Keaksaraan Fungsional serta Diklat life-skill seperti PRT Plus) yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; meningkatkan penguasaan keterampilan dasar dan keterampilan pengelolaan usaha di bidang jasa dan produksi; dan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah.

Kurang informasi merupakan salah satu masalah kondisional yang berkaitan dengan ketersediaan moda penyampaian informasi seperti koran, radio, dan televisi kepada masyarakat. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau memang memerlukan teknologi informasi dan komunikasi yang harus mampu menjembatani keterpisahan tersebut yang diwujudkan dalam bentuk sistem komunikasi melalui satelit Palapa. Namun demikian, masih banyak daerah-daerah yang belum terjangkau layanan tersebut bahkan “koran masuk desa” juga belum menjangkau seluruh wilayah perdesaan.

Strategi penyampaian informasi tentang penghapusan perdagangan orang dengan demikian harus dilaksanakan secara terfokus dengan mengajak semua unsur baik pemerintah maupun LSM untuk menyebarluaskan informasi tersebut kepada kelompok sasaran daam masyarakat yang dipertimbangkan rentan terhadap perdagangan orang.

Budaya patriarki yang masih banyak dianut di masyarakat Indonesia, seringkali “memposisikan” perempuan pada status subordinat, seperti terlihat jika terdapat keterbatasan sumber daya dalam keluarga, maka adik laki-laki yang tetap meneruskan sekolah sedang kakak perempuannya diminta untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah dengan argumen bahwa mereka toh nantinya jika menikah juga akan bekerja di dapur. Perubahan sosial-budaya masyarakat memerlukan waktu yang sangat lama bahkan mungkin dalam ukuran generasi sehingga upaya yang berkaitan dengan perubahan sosial-budaya diupayakan melalui pembinaan yang terus-menerus.

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender seperti itu ditanggulangi melalui implementasi Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan yang menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam program, sektor dan daerah masingmasing.

Dalam hubungan itu, kebijakan pemberdayaan perempuan diarahkan untuk: meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik; meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta bidang pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumberdaya kaum perempuan; meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak; menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap untuk melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi termasuk kekerasan dalam rumah tangga; meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarus-utamaan gender dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistik gender serta peningkatan partisipasi masyarakat.

Salah satu upaya pemberdayaan yang dilakukan Pemerintah kepada para tenaga kerja Indonesia bermasalah yang dipulangkan dari Malaysia adalah kesepakatan yang dibuat dengan Pemerintah Malaysia untuk menempatkan mereka kembali sebagai pekerja migran legal di Malaysia. Kepada mereka disediakan Pelayanan Satu Atap untuk memudahkan pengurusan dokumen imigrasi dan ijin kerja di Malaysia karena dalam Pelayanan Satu Atap itu juga ada unsur Imigresen Malaysia.

Pelayanan Satu Atap dibentuk di sebelas exit point di Indonesia yaitu di: Belawan (Propinsi Sumatera Utara), Tanjung Uban (Propinsi Kepulauan Riau), Dumai (Propinsi Riau), Jakarta (DKI Jakarta), Semarang (Propinsi Jawa Tengah), Surabaya (Propinsi Jawa Timur), Entikong (Propinsi Kalimantan Barat), Nunukan (Propinsi Kalimantan Timur), Pare-pare (Propinsi Sulawesi Selatan), Mataram (Propinsi Nusa Tenggara Barat), dan Kupang (Propinsi Nusa Tenggara Timur).

Sampai dengan 14 Maret 2005 (pagi), jumlah TKI yang diberangkatkan kembali ke Malaysia melalui Layanan Satu Atap mencapai 8.996 orang, terbanyak melalui Nunukan

(8.499 orang), kemudian Dumai (162 orang), Tanjung Uban (133 orang), Medan (100 orang), Semarang (68 orang) dan Entikong (34 orang). Sebelum beroperasinya Layanan Satu Atap 1 Maret 2005, beberapa daerah sudah ada yang memberangkatkan TKI untuk kembali bekerja ke Malaysia, yang sampai dengan 28 Februari 2005 jumlahnya mencapai

26.809 orang. Dengan demikian total TKI yang telah kembali ke Malaysia sampai dengan 14 Maret 2005 sejumlah 35.805 orang. Diharapkan kemudahan ini akan membantu mereka untuk keluar dari kelompok yang rentan terhadap perdagangan orang. Pihak perbankan mempunyai potensi besar untuk berpartisipasi dalam pemberdayaan kelompok masyarakat yang rentan terhadap perdagangan orang. City Bank melalui Grameen Trust dan program Citibank Peka® (Peduli dan Berkarya) telah menyalurkan dana dari Citigroup Foundation untuk mendukung lembaga kredit mikro di Indonesia: Bangun Karya Central Java Project di Surakarta, Yayasan Pokmas Mandiri (YPM), di Medan, Yayasan Paluma, Yayasan Dharma Bakti Parasahabat (YDBP), Yayasan Mitra Usaha (YMU), dan Yayasan Siti Khadijah (YSK) di Jakarta. Peminjam pada umumnya adalah wanita yang berusaha kecil-kecilan seperti usaha makanan, kain, obat-obatan tradisional, warung, katering, dan menjahit.

.. Bangun Karya Central Java Project (BKCJP) adalah lembaga pengabdian masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang melakukan pengelolaan bantuan kredit modal bagi 885 keluarga miskin di Karanganyar, Jawa Tengah dengan pinjaman rata-rata sebesar Rp 200 ribu – 250 ribu.


Yayasan Paluma, telah memberikan kredit kepada 44 orang dengan pinjaman rata- rata sebesar Rp 500 ribu sejak yayasan tersebut menerima dana bantuan dari Citibank Peka® pada Maret 2001.


Yayasan Dharma Bhakti Parasahabat (YDBP) menyalurkan dana dari Grameen Trust untuk kegiatan pemberian kredit modal kepada 1.200 keluarga miskin di Sukatani, Bekasi dan 1.500 keluarga di Pedes, Karawang, Propinsi Jawa Barat.


Yayasan Mitra Usaha (YMU) menyalurkan dana dari Grameen Trust yang digunakan untuk bantuan kredit modal kepada 640 peminjam di desa Taruma Jaya, Propinsi Jawa Barat.


Yayasan Siti Khadijah (YSK) menyalurkan dana dari Grameen Trust untuk kredit modal kepda 750 keluarga yang memerlukan di Mijen, Semarang.


Yayasan Pokmas Mandiri (YPM) menyalurkan dana dari Grameen Trust untuk melayani kredit modal kepada 785 keluarga miskin di Galang, Propinsi Sumatera Utara.

PENCEGAHAN

Pencegahan perdagangan orang diupayakan melalui pemetaan masalah perdagangan orang di Indonesia baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri, peningkatan pendidikan masyarakat khususnya pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya, dan peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek-aspek yang terkait dengan upaya penghapusannya, yang dilakukan melalui berbagai media yang tersedia serta mengupayakan adanya jaminan aksesibilitas bagi keluarga khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial. Upaya tersebut melibatkan seluruh sektor pemerintah, swasta, LSM (nasional dan internasional), badan-badan internasional, organisasi masyarakat, perseorangan dan mass media.

Peningkatan Pendidikan

Peningkatan pendidikan telah menjadi perhatian semua pihak dan keberpihakan tersebut terutama ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolahnya.

Istri Bupati Indramayu Sofiana menyatakan ada semacam penilaian dalam masyarakat Indramayu bahwa anak adalah aset yang harus produktif secara ekonomis. Seringkali dengan berbagai cara anak dipaksa untuk memberikan kontribusi pada keluarga, padahal dukungan keluarga pada pendidikan anak sangat rendah. Akibatnya anak terpaksa pergi ke luar Indramayu atau ke luar negeri untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar, terutama menjadi pekerja rumah tangga. Untuk meningkatkan pendidikan anak-anak tersebut, Pemerintah Indramayu menganggarkan bea siswa pendidikan bagi anak-anak usia sekolah dasar dalam jumlah yang sangat besar dengan harapan mereka memiliki bekal pendidikan dasar 9 tahun. Dengan pendidikan yang dimilikinya, diharapkan mereka akan lebih banyak mendapatkan dan mengolah informasi. Pendidikan adalah masuk melawan perdagangan perempuan dan anak. (www.jurnalperempuan.com, 15 Desember 2004).


Lembaga Pendidikan Keterampilan (LPK) Citra Bunda, LPK Setia Bakti, Jakarta, Yayasan Tiara Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, dan Yayasan Citra Abadi Komplek Binong Permai, Karawaci, Tangerang, masih terus memberikan pendidikan dan latihan babbysitter untuk lulusan SD atau SMP, sementara lulusan SLTA dapat mengikuti kursus nanny atau governess. Babby sitter, nanny dan governess memiliki gaji yang cukup tinggi.


Peningkatan pendidikan sebagaimana dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi DI Yogyakarta sangat membentu kelompok masyarakat miskin yaitu dengan cara memberikan jaminan bantuan kredit untuk pendidikan perawat kepada warganya yang berminat bekerja di luar negeri. Bulan Maret 2004, Pemerintah Propinsi DIY mengirim 142 orang tenaga perawat ke Malaysia bahkan 3 bulan sebelumnya juga sudah mengirim tenaga kerja Indonesia sebagai perawat ke Amerika Serikat. Pola pengembalian kredit tersebut, diangsur langsung oleh pemberi kerja di luar negeri ke Bank Pembangunan Daerah DI Yogyakarta (Media, 16 Maret 2004).


Yayasan Pemberdayaan Umat-Human Future Foundation (YPU-HFF) Bantul, DI Yogyakarta membantu meringankan beban masyarakat yang kurang mampu terutama yatim-piatu melalui program beasiswa. Pada tahun ajaran 2002-2003 beasiswa yang diberikan Rp 149,4 juta untuk 192 pelajar/mahasiswa, sementara pada tahun ajaran 2003-2004 jumlahnya Rp 296 juta untuk 284 pelajar/mahasiswa. Tahun Anggaran 2004 ini, YPU-HFF merencanakan akan memberikan beasiswa kepada lebih dari 300 penerima (Website YPU-HFF, diakses 15 Maret 2005).


Dharma Wanita Persatuan (DWP) Propinsi Jawa Tengah juga berpartisipasi dalam peningkatan pendidikan. Bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah, melaksanakan pendidikan Life Skills, Kelompok Belajar Usaha dan bea siswa/magang khusus putra-putri yang putus sekolah dan anggota Dharma Wanita Persatuan Provinsi Jawa Tengah seperti misalnya dalam kursus perbengkelan dan cat milenium, bordir dan menjahit, dan tata kecantikan rambut. Dharma Wanita Persatuan Provinsi Jawa Tengah memberikan bantuan modal dan peralatan untuk kelompok belajar usaha (Website DWP, diakses 16 Maret 2005).


Kepedulian Bank Mandiri terhadap pendidikan diwujudkan dalam bentuk pemberian bea siswa Peduli Mandiri untuk anak yang kurang mampu berupa paket setahun sebesar Rp 25 ribu per bulan untuk siswa SD, Rp 50 ribu per bulan untuk siswa

SMP, dan Rp 75 ribu per bulan untuk siswa SMA, sementara untuk mahasiswa Rp 500 ribu per tahun. Selain bea siswa, Bank Mandiri juga membantu perangkat komputer pada 102 sekolah se Indonesia, di Jakarta 39 sekolah dan luar Jakarta 63 sekolah. Program Peduli Mandiri merupakan penyisihan 1-3 % keuntungan yang diperolah Bank Mandiri (Inkom Pontianak, 22 Juli 2004).

Bupati Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur meminta partisipasi dunia usaha di daerahnya untuk peduli terhadap program pendidikan dengan memberikan beasiswa untuk murid miskin yang baru 19,2 % yang tersantuni. Selain beasiswa, dunia usaha kuga dapat membantu dengan meningkatkan kesempatan magang ataupun bantuan peralatan yang mendukung program pendidikan (www.sidoarjo.go.id diakses 15 Maret 2005).

Pemerintah Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah, juga memberikan beasiswa kepada murid kurang mampu dan menyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama (Website Pemkot Brebes, diakses 15 Maret 2005)

Pemerintah Propinsi Jawa Tengah memberikan beasiswa untuk membantu siswa kurang mampu sehingga mengurangi siswa putus sekolah. Pada tahun 2004, sejumlah lebih dari Rp 938 juta dialokasikan ke Kabupaten Pati untuk sarana dan prasarana pendidikan dan beasiswa kepada murid yang kurang mampu. Bantuan tersebut belum cukup untuk membantu murid-murid yang membutuhkan sehingga Bupati Pati mengajak masyarakat berpartisipasi dalam bidang pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (Pati Online, diakses 15 Maret 2005).

Sekitar 50 anak remaja putus sekolah di Indramayu mendapat pelatihan tentang garmen selama enam bulan di International Garment Training Centre (IGTC) di Citeureup, Bogor. (Kompas, 4 Februari 2005).

Mereka yang disebut "anak jalanan" adalah para penjaja dagangan, penyemir sepatu, pedagang asongan, penjual koran, pengamen, peminta-minta, pengais sayur-sayuran di pasar tradisional, dan sebagainya. Mereka sangat rentan terhadap kemungkinan menjadi pengguna obat-obatan terlarang, terlibat tindakan atau korban kekerasan, kriminal, pelecehan dan prostitusi, terkena gangguan kesehatan dari asap (polusi udara) yang dikeluarkan kendaraan bermotor, gangguan ketertiban lalu lintas, dan kadang-kadang bersikap antisosial. Mereka tidak lagi sempat memikirkan pentingnya pendidikan, tetapi hanya memikirkan kebutuhan ekonomi untuk diri dan keluarganya. Direktorat Pendidikan Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional menggalang kerjasama dengan instansi dan lembaga masyarakat terkait untuk menangani permasalahan tersebut melalui pendidikan yang mampu membimbing dan mengembalikan hak-hak pendidikan anak jalanan sehingga dapat belajar dan berkarya sebagaimana mestinya.

Yayasan Kesejahteraan Anak Pinggiran (YKAP), Jakarta, membaktikan diri dalam meningkatkan kualitas hidup anak-anak jalanan melalui penyediaan beasiswa dan bantuan pendidikan dari pra-sekolah sampai tingkat SMU, bahkan sampai universitas. Selain Jakarta, YKAP juga mempunyai wilayah program di Polonia dan Belawan (Medan), serta Genteng dan Pabean (Surabaya). Anak-anak yang terlayani dalam program lebih dari 376 orang. YKAP juga mengelola Program Rumah Pusat Kegiatan (Activity House Program) yang bertujuan penyediakan kegiatan pendidikan dan fasilitas di luar jam sekolah, sehingga mereka tidak berada lagi di jalanan untuk bekerja mengumpulkan uang (Website YKAP diakses 19 Maret 2005).

Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJ) dan LSM Pandu Rakyat Miskin (PaRaM), Jakarta telah begitu peduli dan berkarya nyata dalam memandu anak-anak yang sangat memerlukan bantuan, agar mereka lebih siap menapak masa depannya,

sama dengan saudara-saudaranya yang lain. Upaya ini sangat mulia dan sangat membantu karena masih banyak anak-anak Indonesia yang karena kemiskinan lalu putus sekolah (www.anjal.blockdrive.com).

Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN), melaksanakan pendidikan bagi anak jalanan dan kurang mampu, dan menjalankan pusat pendidikan untuk anak jalanan dan anak pasar. Di tempat ini anak-anak diajarkan pengetahuan umum dan keahlian praktis yang diselingi dengan pendidikan moral dan budi pekerti. YNDN mempunyai 15 pusat pendidikan di berbagai tempat di Jakarta. Citibank Peka® membantu pendanaan dan relawan di lokasi Pasar Minggu dan Kramat Jati (www.citibank.co.id).


Yayasan Usaha Mulia (YUM) mendirikan sekolah persiapan untuk anak-anak sekolah dasar yang putus sekolah di lokasi Jurang Mangu, Jakarta yang memiliki 42 murid dan juga di Cipulir. Anak-anak yang putus sekolah tersebut diberikan pendidikan selama satu tahun agar dapat kembali belajar di sekolah formal (www.citibank.co.id).


Yayasan Bintang Pancasila (YBP) memiliki beberapa rumah singgah serta sekitar 12 sekolah setingkat Sekolah Dasar untuk anak-anak jalanan dan anak putus sekolah. Sekolah yang mendapatkan bantuan dari program Citibank Peka® berlokasi di daerah Pendongkelan, Jakarta dengan 75 murid (www.citibank.co.id).


LSM ERa AKu, ICT Watch dan Jaringan Informasi Sekolah (JIS) mendirikan laboratorium komputer swadaya yang berfungsi bagi pendidikan dan pelatihan komputer bagi anak jalanan. Lab komputer yang dipasang di Sekolah Anak Jalanan (SAJ) komplek Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dimaksudkan sebagai upaya memenuhi hak atas ilmu pengetahuan dan pendidikan bagi mereka yang kurang mampu secara struktural seperti anak jalanan. Perangkat keras internet tersebut sudah ketinggalan jaman dan memerlukan up-grading (www.itcwatch.com).


SD Khusus Pasar Lama yang merupakan Filial SD Negeri I Mawar Banjarmasin Tengah membawa misi untuk mendidik anak-anak jalanan dan mengerem munculnya preman-preman kecil di pasar tersebut, yang rata-rata mereka adalah tunawisma. Sekolah tersebut telah berhasil mengubah "etos kerja mencuri" menjadi "etos kerja mencari", antara lain dengan mencari kardus yang menghasilkan Rp 10 ribu per hari untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Pengajarnya adalah pensiunan guru SDN I Mawar yang terpanggil secara moral untuk mengajar anak-anak jalanan tersebut (Kompas, 27 Juli 2004).


Yayasan Hotline Surabaya menerjunkan relawannya untuk memberikan bimbingan kepada 124 anak sekolah Dasar dari empat SD di kecamatan Licin, Banyuwangi Propinsi Jawa Timur. Bimbingan yang diberikan menekankan kepada anak-anak pada pemahaman pentingnya bersekolah karena dengan mempunyai pendidikan yang memadai jika besar nanti lebih berkesempatan untuk mempunyai pekerjaan yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan ke depan tidak ada lagi yang terjebak dalam perdagangan perempuan dan anak. Pola yang dipakai dalam memberikan bimbingan disesuaikan dengan pola pikir anak-anak, dengan lebih banyak memasukkan unsur bermain agar mempunyai kesan mendalam bagi anak-anak itu. Kepada ibu-ibu yang ingin punya keterampilan menjahit, dipinjamkan mesin jahit untuk belajar. Sedang remajanya diajarkan anyam-menganyam bambu dan teknik sablon. Program ini dilaksanakan Yayasan Hotline bekerjasama dengan ILO , ASA, dan Cabang Dinas Pendidikan, untuk selama satu tahun sejak Januari sampai Desember 2005 (Website Yayasan Hotline diakses 18 Maret 2005).

Dalam masalah peningkatan pendidikan ini, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono menyatakan bahwa sekolah sangat penting peranannya dalam mencegah perdagangan perempuan karena kegiatan belajar dan berada di lingkungan sekolah yang aman akan menjauhkan perempuan dari pengaruh negatif masyarakat. Dalam hubungan itu, guru mempunyai peranan untuk meningkatkan partisipasi anak dalam pendidikan dengan berupaya mempertahankan agar anak didik tidak putus sekolah. Guru juga dapat memberikan informasi tentang berbagai hal terkait dengan perdagangan anak dan perempuan yang kini marak di kawasan Pantai Utara Indramayu, Propinsi Jawa Barat (Media Indonesia Online, diakses 15 Maret 2005).

Penyebarluasan Informasi

Penyebarluasan informasi dilakukan oleh siapapun yang peduli dengan masalah perdagangan orang dan ditujukan kepada khalayak luas baik dalam rangka memberikan informasi agar mereka mengetahui masalah perdagangan oranbg, maupun dalam rangka mengajak mereka berpartisipasi sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya dalam upaya-upaya penghapusannya. Kampanye tentang kasus-kasus perdagangan orang dilakukan melalui media massa (cetak maupun elektronik) dalam rangka pengembangan opini, keberpihakan, dan dukungan massa.

Iklan layanan masyarakat dari Yayasan Jurnal Perempuan tentang penghapusan perdagangan orang di launching di Metro TV tanggal 7 Februari 2005.

Sosialisasi dan Pemutaran Film Anti Perdagangan Perempuan dan Anak diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Teres De Homes dan Forum Komunikasi Perlindungan Perempuan (FKPP) Indramayu, tanggal 9 Desember 2004 di Indramayu, yang dihadiri oleh sekitar 120 peserta dari sekolah, dinas-dinas di Pemerintah Kabupaten Indramayu, serta LSM yang peduli pada perempuan dan anak. Acara sosialisasi di Indramayu ini merupakan rangkaian awal sosialisasi anti perdagangan perempuan dan anak yang rencananya akan digelar di tujuh wilayah di Indonesia dengan tujuan agar usaha untuk melawan perdagangan perempuan dan anak akan menjadi sebuah gerakan sosial.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bulan Mei 2004 mengadakan seminar tentang pencegahan eksploitasi seksual komersial anak yang erat hubungannya dengan perdagangan perempuan dan anak di Bali yang diikuti oleh 100 orang peserta dari Dinas Pariwisata Bali, Industri Pariwisata, Instansi terkait, LSM, Dharma Wanita Persatuan Bali, PKK, dan Kepolisian. Dalam bentuk ceramah, masalah tersebut disampaikan kepada 100 orang siswa SLTP, SMU kelas 1 dan 2 Bali dan guru pembimbingnya. Program yang sama juga diadakan di Batam, Pontianak (Juni, 2004) Pekanbaru, Makassar (Agustus 2004), dan Manado (September 2004).

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sepanjang tahun 2004 mengeluarkan berbagai iklan, leaflet, sticker dan poster. Iklan berupa artikel “Biarkan Mereka Tersenyum” dimuat di koran Media Indonesia, majalah: Tempo, Matra, Hello Bali, dan Garuda Inflight Magazine. Dalam majalah yang terakhir juga dimuat wawancara dengan Deputi Peningkatan Kapasitas dan Kerjasama Luar Negeri mengenai hal ini. Iklan berupa artikel “Government’s Concern about Sexual Exploitation of Children” dimuat di Travel News Edisi July-august 2004. Iklan Layanan Masyarakat di TV berdurasi 16 detik telah ditayangkan di TVRI (20 kali) dan ANTV (60 kali). Bekerjasama dengan Bali Tourism Board (BTB) membuat leaflet berupa Tourist Map sejumlah 10 ribu eksemplar dan mulai bulan September 2004 didistribusikan di Bandara Ngurah Rai, Denpasar dan di terminal ferry dan Bandara Hang Nadim Batam. Di Bali utamanya ditujukan kepada wisatawan mancanegara dari Eropa, Amerika dan Australia sedang di batam untuk turis dari Malaysia dan Sungapura. Sticker dan Poster dipasang dan dibagikan di bandara Bali, Batam, Padang, Manado dan Mataram serta di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Media massa baik cetak maupun elektronik (radio, televisi) juga berpartisipasi aktif dalam menyebarluaskan masalah perdagangan orang termasuk tindakan yang diambil oleh yang berwajib kepada pelaku (trafficker)-nya. Berbagai acara tayangan televisi baik berita kriminal (Buser, Sidik, Sergap, dan lain-lain), berita umum (Liputan-6, Seputar Indonesia, Lintas-5, Kontradiksi, dan lain-lain) termasuk talk- show telah banyak memberitakan masalah perdagangan orang. Media website juga telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyebarluaskan informasi mengenai hal ini dilengkapi dengan berbagai program yang telah mereka jalankan dalam upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak.

Peningkatan Pengawasan

Dalam rangka pencegahan perdagangan orang yang salah satu kedoknya mengatasnamakan pekerja migran, Pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap operasional perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) dalam merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan memberangkatkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Upaya ini didukung oleh masyarakat melalui DPR RI sehingga beberapa undang-undang telah ditetapkan: Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi meminta asosiasi pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) untuk segera menertibkan anggotanya yang tidak baik sebelum diambil tindakan oleh Pemerintah. Sejak Oktober 2004, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mencabut ijin operasi 28 perusahaan PJTKI yang empat diantaranya kasusnya diajukan ke pengadilan. Selain itu, sejumlah 40 perusahaan lainnya juga akan ditindak dan 10 diantaranya akan diajukan ke meja hijau. Menteri mengatakan kalau asosiasi PJTKI tidak mau menertibkan anggotanya maka Pemerintah akan mengambil tindakan tegas (Sinar Harapan, 15 Februari 2005).

Dalam kurun waktu yang tidak terbatas, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Tengah tidak akan memperpanjang kegiatan perekrutan calon tenaga kerja Indonesia yang dilakukan oleh kantor-kantor cabang PJTKI di Jawa Tengah karena adanya kegiatan perekrutan dan pengiriman TKI secara ilegal terkait dengan perdagangan pekerja perempuan dan anak di dalam dan luar negeri. TKI Jawa Tengah kebanyakan ditempatkan di Malaysia dan mereka yang bermasalah adalah TKI ilegal yang dikirim oleh calo-calo yang diduga dari kantor cabang PJTKI yang tidak menjalankan kegiatan sesuai dengan ketentuan (Suara Merdeka, 21 April 2004).

Dinas Tenaga Kerja Provinsi Nusa Tenggara Barat mencabut izin sedikitnya tiga Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), karena kerap melanggar aturan ketenagakerjaan. Tahun 2003, Dinas Tenaga Kerja NTB telah menindak 15 PJTKI karena kesalahan serupa seperti misalnya memanipulasi umur calon TKI/TKW, mengirimkan calon di bawah umur, memalsukan dokumen seperti surat-surat syarat kesehatan hingga visa kerja, dan membuat laporan palsu tentang jumlah pengiriman tenaga kerja. Jumlah PJTKI saat ini ada 97 perusahaan, lima di antaranya berkantor pusat di NTB (Tempo Interaktif, 26 Juli 2004).

Sehubungan dengan kasus perdagangan anak yang dilakukan oleh sebuah yayasan di Jakarta Timur, Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Propinsi DKI Jakarta bulan Desember 2004 melakukan penelitian dan menemukan bahwa Yayasan PK tidak memiliki izin pendirian dan izin operasional

penyelenggaraan kegiatan Panti Sosial Asuhan Anak milik Yayasan PK yang ada di Jakarta Timur dan Tangerang. Yayasan ini diperiksa Polisi karena diketahui menjual anak-anak yang diasuhnya. Sejumlah 86 anak-anak yang ditampung, akan disalurkan kepada panti dan yayasan yang berwenang untuk memberi pengasuhan kepada anak.

KERJASAMA

Menghadapi kejahatan internasional yang terorganisir dengan sumberdaya yang besar dan sanggup membiayai pengadaan dan operasionalisasi peralatan yang canggih untuk menunjang kegiatan jaringannya, maka Pemerintah dalam mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Keppres No. 88 Tahun 2002) juga menempuh strategi penyatuan unsur-unsur penangkal dalam satu jejaring kerja yang kenyal sehingga jaringan tersebut mempunyai kekuatan untuk menghambat dan memberantas transnational organized crime perdagangan orang.

Secara institusional, Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menangkap trafficker, dan mengalokasikan sumber daya untuk mendukung program dan kegiatan pencegahan dan perlindungan kepada korban. Namun mengingat bahwa Pemerintah juga menghadapi masalah besar lain seperti terorisme, konflik sosial dan konflik bersenjata di beberapa daerah di Indonesia, dan hutang luar negeri yang berjumlah besar, maka kegiatan penghapusan perdagangan orang menjadi berada dalam keterbatasan. Untuk mengatasinya, diperlukan kerjasama seluruh pihak baik di dalam dan di luar negeri, antara daerah asal, transit dan tujuan. Kerjasama tersebut sangat penting, karena penghapusan perdagangan orang di daerah tujuan tidak akan pernah berhasil jika daerah asal masih tetap mengirimkan calon korban untuk dieksploitasi. Selain kerjasama antar daerah atau negara, kerjasama antara pelaku penghapusan perdagangan orang di suatu daerah juga sangat penting seperti misalnya pihak Kepolisian tidak akan mungkin pernah bisa mendeteksi terjadinya setiap kejahatan di wilayahnya karena keterbatasan personil dan perlengkapannya, sehingga untuk itu diperlukan bantuan masyarakat untuk menginformasikan terjadinya kejahatan yang diketahuinya kepada Polisi sehingga dapa segera ditindaklanjuti.

Jalinan kerjasama yang telah diupayakan antara lain: kerjasama Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang telah ada di banyak wilayah di Indonesia dengan shelter yang dikelola LSM, women’s crisis center, dan Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit bahkan dengan dukungan para tokoh agama, dalam memberikan layanan yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi korban yang mungkin memerlukan pengobatan baik fisik maupun psikis, bimbingan agama atau sekedar bertukar pikiran sambil mengarahkan untuk menentukan langkah-langkah ke depan.

Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, dalam rangka membina jaringan kerja unsurunsur penghapusan perdagangan orang di wilayahnya, pada tahun 2004 memberikan bantuan sejumlah total Rp 25 juta kepada Shelter/Konseling Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW), Shelter RSUD dr. Soedarso Pontianak, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (YLBH-PIK) Pontianak, Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, sebagai langkah awal upaya keterpaduan merespons tingginya angka perdagangan orang dan

kekerasan dalam rumah tangga di Kalimantan Barat. (Website Warta Pemprov Kalbar, 4 Februari 2005)

Propinsi Kalimantan Timur dalam rangka mengkoordinasikan penghapusan

perdagangan orang, membentuk Koalisi Anti Trafficking Kalimantan Timur (KAT Kaltim) yang beranggotakan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, LBH-APIK, dan LSM. Koalisi ini telah menyusun Prosedur Tetap sehingga setiap unsur telah mengetahui tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing. KAT Kaltim saat sekarang sedang merintis dan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk membentuk koalisi di tingkat kabupaten. Kabupaten Nunukan ditengarai sebagai tempat untuk keluar masuknya pengiriman korban perdagangan orang dari dan ke Sabah, Malaysia.

Forum 182 Batam adalah suatu forum yang merupakan koalisi dan jaringan kerja yang beranggotakan individu dan lembaga/organisasi yang ada di Pulau Batam, untuk membangun kesadaran bersama dalamm kampanye melawan kejahatan perdagangan manusia (counter trafficking). Selain mengembangkan media, database dan informasi yang dibutuhkan dalam kampanye, Forum 182 Batam juga memberikan layanan konseling, hotline service, bantuan psikologi dan layanan hukum bagi para korban kejahatan perdagangan orang.

Bentuk kerjasama juga bisa diadakan dalam rangka menggalang dana seperti yang dilaksanakan oleh Komnas Perempuan bekerjasama dengan para perupa dan pecinta senirupa dalam menggelar pameran karya bersama bertema ”Karya Untuk Kawanku II”, menampilkan 41 karya Dolorosa Sinaga, Sarah Gumelar, Indyra, Birgit Ulrike Hau, Nani Sakri, Magdalena Pardede, Hening Tyas Sutji dan lain-lain. Pameran ini bertujuan menggalang dana publik untuk penguatan Womens Crisis Center (WCC ) di Indonesia yang berjumlah sekitar 60 organisasi tersebar di berbagai daerah. WCC tersebut pada umumnya mengalami kesulitan pendanaan operasional untuk biaya darurat seperti tindakan medis dan pendampingan korban. Pada tahun 2003 “Karya Untuk Kawanku I” berhasil menggalang dana sebesar lebih Rp 122 juta, yang dibuat menjadi dana abadi ”Pundi Perempuan” bagi WCC. Dana ini dikelola oleh Yayasan Sosial Indonesia Untuk Kemanusiaan (YSIK), lembaga yang terpisah dari Komnas Perempuan. Sampai dengan tahun 2004, Pundi Perempuan telah mampu menguatkan sebelas WCC di Manado, Bone, Makassar, Maumere, Jombang, Surabaya, Bandung, Bengkulu, Palembang, Padang dan Labuhan Batu. Pameran seperti ini akan diselenggarakan setiap dua tahun sekali bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret (Yayasan Jurnal Perempuan, 2005).

Di berbagai daerah yang ditengarai sebagai daerah sumber, transit atau derah tujuan serta di daerah perbatasan dengan Malaysia, oleh Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) sedang dirintis, difasilitasi dan didorong terbentuknya kerjasama seperti tersebut di atas. Dumai dan Tanjungbalai Karimun, Propinsi Riau; Tanjungpinang Propinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat, adalah beberapa daerah yang saat ini sedang diupayakan pembentukannya. Daerah asal dan transit seperti Propinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan lainnya yang telah memiliki gugus tugas akan didorong untuk semakin meningkatkan kerjasamanya, termasuk merintis kerjasama antara daerah transit atau daerah tujuan dengan daerah asal sehingga dapat diperoleh mekanisme pemberian perlindungan yang sebaik-baiknya bagi korban perdagangan orang.

Untuk tingkat regional dan internasional, kerjasama penghapusan perdagangan orang terus ditingkatkan. Di samping kerjasama yang secara legal formal telah dikukuhkan sebagaimana Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty Between RI and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters), dan Undangundang No. 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hong Kong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of Indonesia and the Government of Hong Kong for the Surrender of Fugitive Offenders), juga dilaksanakan kerjasama dengan LSM internasional terutama dalam upaya pencegahan, peningkatan kapasitas, dan perlindungan kepada korban perdagangan orang.

ICMC, ACILS, Terre des Hommes, Save the Children US, IOM, adalah beberapa di antara LSM internasional yang selama ini telah erat bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dalam membina hubungan dan penguatan LSM lokal untuk kegiatan pencegahan dan perlindungan kepada korban perdagangan orang. Badan internasional seperti UNICEF dan ILO adalah beberapa di antaranya yang telah bekerjasama dengan baik dengan Pemerintah Indonesia dalam rangka penghapusan perdagangan anak dan pekerjaan terburuk bagi anak. UNICEF antara lain telah mensponsori pertemuan regional tingkat ASEAN yang dimotori oleh PKPA Medan sehingga menghasilkan Deklarasi Medan yang merupakan komitmen regional ASEAN untuk lebih meningkatkan kerjasama dalam penghapusan perdagangan orang di wilayah ini.

Salah satu bentuk kerjasama dalam rangka pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) bermasalah dan keluarganya dari Malaysia adalah pembentukan Tim Koordinasi Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB) melalui Keputusan Presiden RI No. 106 Tahun 2004. Tim ini telah berhasil mengkoordinasikan pemulangan lebih dari 347 ribu TKI bermasalah dan keluarganya dari Malaysia via jalan darat, laut maupun udara masuk melalui 13 daerah entry point di Indonesia, dan telah mampu memfasilitasi sehingga mereka sampai ke daerah asalnya masing-masing dengan selamat. Bagi TKI yang mampu, mereka membiayai sendiri kepulangannya, untuk itu Tim hanya memfasilitasi dan memberikan informasi hal-hal yang memperlancar kepulangan mereka ke daerah masing-masing. Tetapi bagi mereka yang memerlukan, Pemerintah Indonesia secara terpadu memberikan layanan kesehatan, penampungan sementara termasuk permakanannya, bantuan transportasi serta pengamanan dan pengawalan dari Kepolisian jika diperlukan. Banyak dari TKI bermasalah itu merupakan korban dari praktek-praktek perdagangan orang: dijanjikan bekerja di Malaysia dengan gaji tinggi tetapi ternyata dimasukkan ke Malaysia dengan paspor dan visa kunungan wisata, kemudian dipekerjakan di perkebunan dengan kondisi terekploitasi (paspor ditahan, gaji dipotong, terlilit hutang untuk biaya makan dan sebagainya).

Pelayanan Satu Atap yang dibentuk di sebelas daerah exit point di Indonesia adalah salah satu bentuk kerjasama antar Instansi Pemerintah Indonesia yang terkait dengan masalah penempatan pekerja migran Indonesia dan Pemerintah Malaysia (Imigresen) untuk memberikan kemudahan bagi pekerja migran Indonesia untuk kembali bekerja di Malaysia secara legal. Pelayanan Satu Atap ini diharapkan dapat menekan pengiriman tenaga kerja Indonesia secara ilegal yang sebelumnya banyak dilakukan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

PENUTUP emerintah Indonesia bersama dengan LSM nasional dan internasional,P badan-badan internasional, serta partisipasi aktif seluruh unsur masyarkat telah melakukan upaya-upaya penghapusan perdagangan orang secara terkoordinatif sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, selama lebih dari dua tahun sejak ditetapkannya Rencana Aksi tersebut melalui Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002. Dua tahun adalah waktu yang singkat untuk mampu memerangi sindikat kejahatan transnasional terorganisir yang kuat, namun sungguh, beberapa kemajuan telah dicapai.

Berdasarkan pada sasaran dari Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dapat dilaporkan bahwa:

1. Rencana Undang-undang (RUU) Pengesahan Konvensi Internasional Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime); dan RUU tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Memberantas, dan Menghukum Perdagangan, terutama Perempuan dan Anak, Suplemen Konvensi PBB Melawan TOC (Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Person, Especially Woman dan Children), telah disusun dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2005, termasuk RUU Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003.

2. Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah disahkan sebagai Undang-undang No. 23 Tahun 2004. Sementara RUU tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban; RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi, telah disusun dan masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2005.

3. Upaya harmonisasi standar internasional ke dalam hukum nasional dilaksanakan melalui revisi beberapa Undang-undang. RUU tentang (Revisi) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana; RUU tentang Narkotika (Revisi); RUU tentang Pencucian Uang (Revisi); RUU tentang Keimigrasian (Revisi), telah disusun dan masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2005.

4. Dengan berbagai studi yang dilakukan oleh LSM, perguruan tinggi dan lembaga lainnya, peta situasi permasalahan dan kasus-kasus kejahatan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia secara umum telah diketahui dan dijadikan dasar bagi penyusunan kebijakan, program dan kegiatan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Secara berlanjut peta situasi tersebut dimutakhirkan terlebih dengan adanya bencana nasional di Aceh yang rawan terhadap praktek-praktek perdagangan perempuan dan anak yang berkedok memberikan bantuan mencarikan pekerjaan atau pengasuhan anak.

5. Peningkatan kuantitas dan kualitas Pusat Pelayanan Krisis dilaksanakan dengan misalnya membentuk Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), dan bekerjasama dengan lembaga donor memberikan bantuan kepada shelter, Drop In Center, Women’s Crisis Center dan yang serupa, yang dikelola oleh LSM lokal di daerah beresiko. 6. Secara kuantitatif berdasarkan laporan Mabes Polri terjadi penurunan kasus yang dilaporkan, namun data tersebut masih belum cukup meyakinkan untuk menyatakan bahwa benar-benar terjadi penurunan kasus perdagangan orang. Tetapi dapat dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan kualitas hukuman yang dijatuhkan kepada trafficker oleh Pengadilan yang telah menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

7. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemulangan Korban Perdagangan Orang telah disusun dan bekerjasama dengan ICMC sedang disusun modul-modul untuk pelatihan kepada pihak-pihak yang akan melaksanakan di lapangan. Undangundang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri telah ditetapkan, dan akan dilanjutkan dengan penyusunan peraturan pelaksanaannya.

8. Pengalokasian anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban telah dilaksanakan walaupun dalam jumlah kecil karena keterbatasan anggaran. Terima kasih kepada lembaga donor internasional (USAID, ILO dan lain-lain) yang telah mendukung kegiatan ini.

9. Peningkatan aksesibiitas bagi keluarga, khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan sosial telah dilakukan. Terima kasih kepada pihak perbankan, lembaga kredit mikro, dan lembaga donor internasional serta LSM lokal yang telah berpartisipasi dalam mendukung dan melaksanakan kegiatan ini.

10. Pembentukan dan peningkatan hubungan jaringan kerja (networking) dan kemitraan baik di pusat dan daerah, antar daerah, kerjasama antar negara, regional maupun internasional telah dilaksanakan. Kegiatan ini akan terus dilaksanakan sehingga jaringan kerja semakin meluas dan menguat. Namun disadari bahwa kemajuan tersebut masih jauh dari tujuan utama: “Terhapusnya segala bentuk perdagangan perempuan dan anak di Indonesia”. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia – belajar dari pengalaman yang diperoleh selama lebih dari dua tahun terakhir ini – akan terus mengupayakan penyempurnaan dan peningkatan pelaksanaan Rencana Aksi selanjutnya.

Jejaring kerja dengan sesama negara sahabat yang anti perbudakan dan dengan LSM lokal dan internasional serta badan/lembaga internasional dan masyarakat dunia pada umumnya, dinilai sebagai program kunci agar mampu mengatasi gerak-polah kejahatan transnasional terorganisir perdagangan orang serta agar mampu memberikan perlindungan yang maksimal kepada korban. Kepada masyarakat bangsa Indonesia akan difasilitasi agar mereka bersedia secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan memerangi perbudakan modern ini melalui kelompok-kelompok yang terorganisir baik melalui kelembagaan masyarakat yang sudah ada seperti Rukun Tetangga, kelompok pengajian, kelompok gereja, dan lain-lain, atau dengan membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang profesional. Jika jalinan antar berbagai unsur negara baik dalam dan luar negeri ini telah terbentuk, Insya Allah, Bangsa Indonesia akan mampu memagari diri dari tindak kedzoliman yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Demikianlah, kertas posisi Republik Indonesia ini disusun sebagai masukan bagi semua pihak yang berkepentingan, yang memerlukan informasi tentang kegiatan Pemerintah RI dalam penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak di Indonesia.

Jakarta, 30 Maret 2005

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI

REFERENSI

  • Batam Pos, 15 Februari 2004. ‘Hentikan Modern Slavery!’.
  • Citibank Peka, Citibank Peduli dan Berkarya. Website: citibank.co.id.
  • Dzuhayatin, Siti Ruhaini dan Hartian Silawati, 2002. ‘Indonesia: Migration and Trafficking in Women’ dalam A Comparative Study of Women Trafficked in the Migration Process. Patterns, Profiles and Health Consequenses of Sexual Exploitation in Five Countries (Indonesia, the Philiphines, Thailand, Venezuela and the United States. Website CATW.
  • Dzuhayatin, Siti Ruhaini dan Hartian Silawati, 2002a. ‘Indonesia : Interview Findings and Data Analysis : A Survey of Trafficked Women, Women in Prostitution and Mail Order Brides dalam A Comparative Study of Women Trafficked in the Migration Process. Patterns, Profiles and Health Consequenses of Sexual Exploitation in Five Countries (Indonesia, the Philiphines, Thailand, Venezuela and the United States)’. Website CATW.
  • Hull, Terence H, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones, 1997. ‘Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya’. Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan The Ford Foundation, Jakarta.
  • Harkristuti Harkrisnowo (2003). Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra HAM UI, Jakarta.
  • Irwanto, Mohammad Farid, Jeffry Anwar, 1998. ‘Ringkasan Analisa Situasi Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus’. Terjemahan oleh Agustina Hendriati. PKPM Atma Jaya, Dep. Sosial dan UNICEF, Jakarta.
  • Irwanto, 2001. ‘Perdagangan Anak di Indonesia’, dalam Progressia Vol. IV No. 02, Juni

2001. Malang.

  • Irwanto, Fentiny Nugroho, Johanna Debora Imelda, 2001. ‘Perdagangan Anak di

Indonesia’. Kantor Perburuhan Internasional dan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UI. Jakarta.

  • Inkom Pontianak, 22 Juli 2004. ’Walikota Serahkan Beasiswa Peduli Mandiri’. Website

Pemprop Kalbar, diakses 15 Maret 2005.

  • Jakarta Post, 25 November 1997. Women’s Solidarity Report, “Seventeen maids have

died abroad”

  • Kementerian Koordinator Bidang Kesra (2003): ‘Penghapusan Perdagangan Orang

(Trafficking in Persons) di Indonesia’. Jakarta.

  • Kementerian Koordinator Bidang Kesra (2004): ‘Penghapusan Perdagangan Orang

(Trafficking in Persons) di Indonesia’. Jakarta.

  • Kompas, 13 Maret 2000. ‘Tenaga Kerja Wanita Diperkosa dan Disiksa di Serawak’.
  • Kompas, 13 Juli 2004. ‘100 TKW Ilegal dalam Sepekan Lolos ke Malaysia’
  • Kompas, 26 Juli 2004. ‘Kemanusiaan dan Hak-hak Buruh Migran Terus Terinjak. Laporan Human Rights Watch 2004’
  • Kompas, 27 Juli 2004. ‘Pendidikan Anak Jalanan Sering Dilupakan’
  • Kompas, 4 Februari 2005. ‘Pendidikan bisa cegah “trafficking”’.
  • Majalah Ombudsman, No. 61/Th V, Desember 2004. ‘Sex n Trafficking di Era SBY’.
  • Media Indonesia, 11 Maret 2004. ‘Petugas Imigrasi Tangkap Otak Penyelundupan

Manusia’. Jakarta.

  • Media Indonesia, 16 Maret 2004. ‘…’, Jakarta.
  • Miko, Francis T., 2001. Perdagangan Wanita dan Anak-anak dalam Progressia Vol. IV

No. 02, Juni 2001. Malang.

  • Parawansa, Kofifah Indar, 2000. ‘Pemberdayaan Perempuan Indonesia’ dalam Prosiding

Seminar Sehari Perempuan Indonesia dalam Pembangunan di Abad 21 dalam rangka Hari kependudukan Dunia “Saving Women’s Lives”. Kantor Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan, Jakarta.

  • Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2004-2009.

  • Rahyanan, Salma Safitri, 2001. ‘Women and Child Trafficking Situation of Indonesia’. Makalah Diskusi tentang Trafficking, kerjasama ACILS – Kementerian

Pemberdayaan Perempuan, Jakarta.

  • Rahyanan, Salma Safitri, 2001a. ‘Perdagangan Perempuan dan Anak Indonesia’ dalam Pengiriman Buruh ke Luar Negeri, dalam Progressia Vol. IV No. 02, Juni 2001. Malang.
  • Rosenberg, Ruth (Ed.), 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia.

International Catholic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS). Jakarta.

  • Sinar Harapan, 15 Februari 2005. ‘Menakertrans Minta Asosiasi PJTKI Tertibkan Anggotanya’.
  • Suara Karya Online, 11 Desember 2004. ‘Sumut Serius Tangani Kasus Trafficking’
  • Suara Pembaruan Daily, 11 Agustus 2004. ‘Mudahnya Menjadi TKI Ilegal di Malaysia’
  • Sunardjono (1998). ‘Proses Peradilan Anak’ dalam Anak yang Berkonflik dengan Hukum. PKPM Unika Atma Jaya Jakarta bekerjasama dengan Catholic University of Nijmegen Belanda. Jakarta.
  • Tempo Interaktif, 26 Juli 2004. ‘Dinas Tenaga Kerja NTB Cabut Izin Tiga PJTKI’.
  • UNIFEM East and South East Asia, 2002. Trafficking in Women and Children dalam Website UNIFEM East and South East Asia.
  • Yayasan Jurnal Perempuan (2004). ‘Roadshow Sosialisasi Anti Perdagangan Anak dan Perempuan’. www.jurnalperempuan.com, 15 Desember 2004.
  • Yayasan Jurnal Perempuan (2005). ‘”Karya untuk Kawanku II”, Solidaritas untuk Anti Kekerasan terhadap Perempuan’. www.jurnalperempuan.com, 16 Maret 2005.

Lihat pula[sunting]