Pancasila Dasar Negara 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Pancasila Dasar Negara 4
oleh Soekarno

PANCASILA

SEBAGAI DASAR NEGARA

IV

Kursus Presiden Soekarno
Tentang Pancasila
di Istana Negara, Tanggal 22 Juli 1958.

Saudara-saudara sekalian, ini malam hendak saya kupas – Insya Allah – di hadapan Saudara-saudara Sila Perikemanusiaan sebagai salah satu sila yang tidak boleh dipisahkan daripada sila yang lain-lain. Sebagaimana yang telah berulang-ulang saya katakan, maka Pancasila kelima-lima silanya adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisahkan satu sarna lain atau diambil sekadar sebagian daripadanya.

Saudara-saudara, lihatlah lambang Negara kita di belakang ini. Alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis slogan buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Tka", Bhina Ika Tunggal Ika, "berjenisjenis tetapi tunggal".

Pancasila yang tergambar dengan di pusat bintang cemer-lang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi daripada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pohon beringin lambang Kebangsaan. Rantai yang terdiri daripada gelang-gelangan persegi dan bundar, persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, Peri-kemanusiaan. Banteng Indonesia lambang Kedaulatan Rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang pangan, Keadilan Sosial.

Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya lambang Negara Republik Indonesia ini adalah lambang yang terindah dan terhebat daripada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain, tapi tidak ada satu yang sehebat, seindah, scharmonis seperti lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai ke pelosok-pelosok yang paling jauh dari dunia ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan, jikalau hendak menyatakan sesuatu ucapan selamat datang kepada seseorang tamu.

Lambang yang dernikian telah terpaku di dalam kalbunya rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu diubah jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilanggengkan: Pancasila. Sebab, lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perubahan daripada Dasar Negara membawa perubahan daripada lambang negara.

Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini diubah, sebagian terbesar daripada rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalamdalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar daripada rakyat Indonesia kepada Pancasila.

Ini malam saya hendak menguraikan kepada Saudara-saudara akan sila Perikemanusiaan. Lihatlah betapa dalamnya cara kita menggambarkan sila Perikemanusiaan itu di atas perisai yang dikalungkan kepada lehernya Garuda Indonesia. Rantai yang pergelang-gelangannya tiada putus-putusnya, persegi bundar, persegi bundar, persegi bundar terus tiada putus-putusnya, sebagai lambang daripada tiada putus-putusnya perhubungan antara laki dan perempuan. Persegi lambang wanita, bundar lambang pria. Wanita pria, wanita pria, tiada putus-putusnya, de onverbreekbare keten der mensheib, rantai yang tiada terputus-putus daripada kemanusiaan dan perikemanusiaan. Bahkan sudah pernah saya uraikan di hadapan khalayak ramai bahwa bendera kitapun merah putih sebenarnya melukiskan pula hal terjadinya manusia itu, wanita dan laki-laki. Merah Putih dasar bendera kita bukan saja sekadar merah lambang keberanian, putih kesucian. Bukan pula pengertian yang kita miliki beribu-ribu tahun yang lalu tatkala kita masih mengagungkan matahari dan bulan, surya dan candera yang pada waktu itu kita kira bahwa matahari adalah sumber sekalian hal, demikian pula isteri matahari juga sumber sekalian hal, sehingga termasuk di dalam pengagungan kita kepada matahari dan bulan itu yang matahari kita lambangkan dengan warna merah, bulan kita lambangkan dengan warna putih, sehingga sejak daripada zaman dahulu kita telah memuliakan warna merah dan putih, meskipun belum berbentuk bendera, tetapi telah dalam ingatan kita, perlambangan kita, merah putih surya dan candera asal daripada sekalian alam. Demikianlah pengertian kita beribu-ribu tahun yang lalu. Bukan sekadar itu Saudara-saudara, demikian saya katakan di muka umum beberapa kali, bukan hanya surya dan candera, bukan hanya merah adalah keberanian, putih adalah kesucian, tetapi merah putih adalah pula lambang terjadinya manusia. Maaf, jikalau boleh saya katakan: merah lambang wanita, putih lambang pria.

Sekali lagi saya mengundang Saudara-saudara melihat akan indahnya perlambangan kita daripada sila Perikemanusiaan di atas perisai itu. Laki perempuan, laki perempuan, dalam satu rantai yang tidak putus-putus. Tetapi ini rantai Saudara-saudara, persegi bundar, persegi bundar, yang tiada putusnya bukan pula hanya melambangkan, melukiskan tiada putusnya hubungan laki-laki dan perempuan, dus tiada putus-putusnya rantai kemanusiaan; manusia beranak, anak beranak lagi, sang anak ini beranak lagi, sang anak ini beranak lagi atau kalau dikembalikan – saudarasaudara – sampai jutaan tahun yang lalu, keten inipun tidak terputus-putus. Orang beranak kemudian bercucu, kemudian berbuyut, kemudian bercanggah, kernudian berwareng, kemudian bergantung siwur, kemudian berudeg-udeg, tiada putusnya, ini keten ini rantai. Bukan sekadar demikian, tetapi rantai yang kita lukiskan di atas perisai sang Garuda Indonesia ini juga melukiskan hubungan antara bangsa dengan bangsa.

Kita maksudkan bahwa kita daripada Republik Indonesia merasakan bahwa kita ini bukanlah satu bangsa yang berdiri sendiri, tetapi adalah satu bangsa dalam keluarga bangsa-bangsa. Bahwa memang umat manusia sekarang ini yang terdiri daripada pelbagai bangsa-bangsa pada hakekatnyapun adalah satu rantai yang tiada terputus-putusnya. Terutama sekali di dalam abad keduapuluh ini tak dapat kita membayangkan adanya sesuatu bangsa yang dapat hidup dengan tiada hubungan dengan bangsabangsa yang lain. Tak dapat kita bayangkan mungkin hidupnya suatu bangsa yang sama sekali terasing daripada bangsa-bangsa lain.

Saudara-saudara, saya tadi berkata keadaan di dalam abad keduapuluh adalah demikian. Demikian pula di dalam beberapa abad yang terdahulu, apalagi di dalam abad-abad yang akan datang. Tiada manusia dapat berdiri sendiri, manusia adalah satu makhluk masyarakat, manusia adalah suatu homo socius. Demikian pula bangsa tak dapat hidup sendiri, bangsa hanyalah dapat hidup di dalam masyarakat umat manusia, di dalam masyarakatnya bangsa-bangsa.

Pada mulanya memang tidak ada yang dinamakan bangsa itu, Saudara-saudara. Bangsa adalah hasil daripada satu pertumbuhan. Zaman dahulu, dahulu sekali tidak ada bangsa, tidak ada yang dinamakan bangsa Indonesia, tidak ada yang dinamakan bangsa Jerman, tidak ada yang dinamakan bangsa Jepang, tidak ada yang dinamakan bangsa Inggris. tidak ada yang dinamakan bangsa Perancis, tidak ada yang dinamakan bangsa Amerika dan demikian seterusnya. Bahkan di dalam kursus saya yang lalu, saya telah uraikan kepada Saudara-saudara bahwa misalnya bangsa Amerika itulah baru berdiri beberapa abad saja yang dahulu tiada ada bangsa Amerika itu, yang dahulu benua Amerika itu didiami oleh suku-suku yang sekarang dinamakan suku Indian; ada suku Sioux, ada suku Apache. Macam-maeam suku Indian yang belum berbentuk bangsa. Tetapi kemudian Amerika diserbu dimasuki oleh emigran-emigran dari Eropa, emigran-emigran dari Jerman, emigran-emigran dari Hongaria, emigran-emigran dari Italia, dari Norwegia, dari Irlandia dan lain-lain negeri. Kemudian emigranemigran ini menjadi satu konglomerat, percampuran manusiamanusia, yang dinamakan bangsa Amerika. Meskipun sebagai yang saya uraikan di dalam kursus saya yang lalu, bahasanyapun sampai kepada saat sekarang ini belum benar-benar terkonglomeratkan menjadi satu bahasa Inggris. Tempo hari saya ceritakan kepada Saudara-saudara bahwa di Amerika masih ada orangorang yang tak dapat berbahasa Inggris, melainkan masih memakai bahasa aslinya, Jerman, Italia, Hongaria dan lain-lain. Dus, Saudara-saudara melihat bahwa begrip, paham bangsa adalah hasil daripada satu pertumbuhan. Apa maksud saya menguraikan hal ini? Maksud saya menguraikan hal ini ialah untuk menerangkan kepada saudara-saudara bahwa walaupun ada satu rantai yang tak putus-putus antara laki perempuan, laki perempuan, walaupun ada satu rantai yang tak terputus dalam hal kemanusiaan, dalam hal de wording van de mens, bangsa-bangsa adalah hasil daripada pertumbuhan kemudian.

Labih dulu saya mau menerangkan kepada Saudara-saudara bahwa dengan sengaja kita selalu memakai perkataan kemanusiaan dan perikemanusiaan. Kemanusiaan adalah alam manusia ini, de mensheid. Perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dengan lain manusia adalah hubungannya, jiwa yang hendak mengangkat membedakan jiwa manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang.

Kalau saya memakai perkataan asing, kemanusiaan adalah mensheid, perikemanusiaan adalah menselijkheid. Kemanusia-an adalah alam manusia, sehingga kita boleh berkata dunia ini berkemanusiaan 2700 juta jiwa, perikemanusiaan adalah lain. Jikalau kita berbuat sesuatu yang rendah yang membikin celaka kepada manusia lain, kita berkata kita melanggar peri-kemanusiaan, kita melanggar hukum menselijkheid.

Saudara-saudara, mensheid, kemanusiaan itu memang dari dulu ada. Rasa perikemanusiaan adalah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil daripada pertumbuhan kebudayaan, hasil daripada pertumbuhan dari alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Perikemanusiaan adalah hasil daripada evolusi di dalam kalbunya manusia. Kemanusiaan ada sejak zaman dulu. Zaman dulu sekali Peri-kemanusiaan belum seperti yang kita kenal sekarang, bahkan tadi saya berkata perikemanusiaan hasil daripada evolusi. Dulu manusia hidup dalam alam yang masih tingkat rendah, juga bukan saja tingkat rendah materiilnya tapi juga tingkat rendah batinnya. Bahkan di dalam pertumbuhan rasa perikemanusiaan itu adalah sebagai tiap-tiap pertumbuhan apa yang dinamakan pada sesuatu saat ini adalah sesuai dengan perikemanusiaan, di lain waktu sudah tidak dikatakan lagi ini adalah sesuai dengan perikemanusiaan. Apa yang pada satu saat dikatakan baik, di lain waktu dikatakan jahat. Apa yang pada sesuatu saat dikatakan jahat mungkin di lain waktu dikatakan baik. Rasa ini mengalami evolusi. Perikemanusiaan mengalami evolusi, tapi kemanusiaan sejak zaman dulu ada. Jumlahnya kemanusiaan itu sudah barang tentu dulu jauh lebih kecil daripada sekarang.

Sekarang kemanusiaan berjumlah 2.700 juta manusia. Dahulu kalau mengambil daripada pendirian beberapa orang agama yang kolot. dikatakan berasal dari dua manusia: Adam dan Hawa. Adam dan I Iawa ini lantas mulai de onverbreekbare keten der mensheid itu tadi, laki perempuan, laki perempuan, laki perempuan, makin lama jumlahnya makin banyak. Tapi meskipun tidak mengambil pandangan daripada pendapat beberapa orang agama yang kolot, melainkan mengambil pandangan daripada pendapat ilmu pengetahuan, kemanusiaan pada mulanya berjumlah kecil, tidak sekonyong-konyong dunia ini didiami oleh 2.700 juta manusia. Mula-mula jumlah yang kecil sekali. Jikalau kita mengambil teori evolusi, saya tidak akan kupas lebih dalam – artinya tidak saya ketengahkan, benar atau tidaknya teori evolusi ini, bahwa manusia adalah hasil daripada pertumbuhan makhluk yang mula-mula eencellige wezens, makhluk-makhluk yang hanya terdiri daripada sel-sel tunggal. Kemudian evolusi menjadi binatang; evolusi lagi menjadi semacam kera; evolusi lagi menjadi manusiasebagai yang kita kenal manusia sekarang ini, yang ilmu ini sebagai tiap-tiap ilmu pengetahuan tentu sedapat mungkin mengeluarkan buktibukti penyokong pendapatnya, bukti-bukti yang berupa fosil-fosil. Fosil yaitu entah tanaman, entah binatang, entah tulang yang telah menjadi batu. Bukti-bukti fosil-fosil yang membuktikan: lihat iizi bukan kera, tetapi inipin belum manusia sempurna; dus ini fosil menunjukkan satu langkah antara kera dan manusia sempurna yang kita kenal sekarang ini. Misalnya kalau mengenai tanah air kita fosil yang tempo hari diketemukan oleh Prof Du Bois di desa Trinil dekat Ngawi sebelah utara dari Madiun, di lembahnya Bengawan Solo, fosil yang dengan tegas menunjukkan makhluk ini setengah kera setengah manusia dan ia sudah berdiri, melihat susunan tulangnya, sehingga oleh Du Bois disebutkan makhluk ini adalah – tempo hari sudah saya sebutkan – Pithecanthropus erectus. Pithecus = kera; anthropus = manusia. Pithecanthropus = kera manusia atau manusia kera, tetapi ia sudah erectus, sudah berdiri tegak. Pithecanthropus erectus ini terdapat di dalam zat geologis yang ditaksir umurnya 1 /2 juta tahun. Dus oleh karena fosil ini terdapat di dalam zat geologis, material geologis yang menurut ilmu geologi ilmu batu, usianya ditentukan 1 /2 juta tahun. Du Bois mengambil konklusi, pithecanthropus erectus hidupnya 1/2 juta tahun yang lalu. Mula-mula barangkali pithecanthropus erectus itu mati terbenam di dalam lumpurnya Bengawan Solo. Sang lumpur ini makin lama makin keras makin lama makin membeku, akhirnya menjadi batu. Nah, batu ini oleh ilmu geologi ditetapkan umurnya 1 /2 juta tahun. Dus makhluk pithecanthropus erectus ini hidupnya 1/2 juta tahun yang lalu.

Saya ulangi: kemanusiaan, baik ditinjau dari sudut agama yang berkata atau sudut beberapa orang agama yang berkata, bahwa kemanusiaan berasal daripada dua manusia Adam dan Hawa yang beranak bercucu berbuyut seterusnya, maupun ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, pada mulanya kemanusiaan ini berjumlah kecil.

Dan memang demikian, berjumlah kecil, hidupnya belum berhukum, belum beraturan. Hal ini sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara tatkala saya menggambarkan pertumbuhan daripada cara manusia mencari makan, yang berhubungan dengan itu pertumbuhan daripada ia punya cara berpikir dan cara percaya. Fase pertama hidup daripada memburu, mencari ikan hidup dalam goa. Fase kedua dari peternakan. Fase ketiga daripada pertanian. Fase keempat daripada kerajinan tangan. Fase kelima daripada industrialisme yang pertumbuhan alam pikirannya adalah sesuai dengan itu. Fase pertama menyembah bulan, angin, batu, sungai. Fase kedua menyembah binatang. Fase ketiga menyembah dewidewi yang membawa hasil pertanian: Dewi Sri, Saripohaci dan lain-lain. Fase keempat Tuhannya telah digaibkan. Akal yang membuat adat-adat daripada kerajinan itu, akal itu berkata: Tuhan gaib, oleh karena akal adalah gaib, tidak bisa dipegang, tidak bisa dilihat. Akhirnya di dalam alam industrialisme ada orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, meniadakan adanya Tuhan. Ini sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara.

Tetapi ditinjau daripada sudut hidup bebrayan, hidup socius, hidup berkemanusiaan di dalam masyarakat, ada juga pertumbuhan-pertumbuhan. Dahulu, saya tadi berkata: jumlah kecil, zonder hukum, seperti binatang liar yaitu zaman goa, zaman hidup di pohon-pohon. Bahkan rantai laki perempuan, laki perempuan, laki perempuan yang kita lukiskan dengan demikian indahnya, terwujudkan dalam cara hidup promiscuiteit. Belum ada yang dinamakan perkawinan, belum ada yang dinamakan paringshuwelijk, hidup suami isteri seperti sekarang. Hidup dalam alam promiscuiteit, campur aduk. Hubungan antara persegi dan bundar itu tadi campur aduk, laki dengan perempuan semaumaunya; perempuan dengan laki semau-maunya, sama dengan binatang di dalam rimba. Ada, waktu-waktu sebentar pasangan, itu ada, sebagaimana juga anjing serigala di dalam waktu ia birahi sebentar selalu anjing laki A sebentar selalu dengan anjing perempuan B, tapi beberapa hari beberapa pekan putus, nanti sudah berhubungan lagi dengan anjing lain. Sebentar berpasangan, tapi kemudian putus hubungan itu, pindah kepada wanita anjing lain atau pindah kepada pria anjing lain.

Manusia di dalam tingkatan yang pertama juga demikian. Ini yang dinamakan hidup promiscuiteit, belum ada hukum.

Tetapi sebagai tempo hari saya katakan di dalam salah satu kursus, kita pantas mendirikan patung kepada wanita, oleh karena wanita inilah yang pertama-tama, kataku, mendapatkan ilmu. Ilmu membuat barang untuk menutup badan. Sudah saya jelaskan dulu, wanita de eerste ontdekster van cultuur. Kultur yang berupa pakaian yang amat sederhana, terbuat dari kulit-kulit binatang yang disambung satu sama lain. Wanitalah, yang pertama-tama membuat alat seperti periuk terbuat daripada tanah. Wanita yang ditinggalkan oleh sang laki promiscue ini tadi untuk mencari binatang, makanan. Tetapi wanita yang karena hamil atau mempunyai anak kecil terpaksa terpaku di satu tempat. Wanita ini yang pertama-tama mendapat pikiran: biji benih sesuatu tanaman kalau dimasukkan dalam tanah, tumbuh menjadi tanaman dan kemudian bisa berbuah. Wanita de eerste ontdekster van de landbouw.

Demikian pula wanita adalah makhluk pertama yang membuat hukum, wanita de eerste wetgeefster. Hukum apa? Hukum keturunan! Hidup promiscuiteit itu tadi persegi bundar, persegi bundar yang tiada putusnya; sebagai tadi saya katakan dari persegi bundar datang anak. Nanti anak ini, juga persegi bundar, datang cucu. Itulah rantai yang tidak putus-putusnya. Tapi tadinya zonder hukum. Tidak bisa dikatakan dia itu anak siapa. Bagaimana bisa dikatakan dia anak si itu, kalau hidupnya tadinya promiscuiteit. Tapi wanita, Saudara-saudara, yang telah mendapatkan ilmu pertanian, wanita yang telah mendapatkan ilmu membuat gubuk untuk melindungi anaknya yang kecil, sebagai tempo hari saya katakan, ia mula-mula membuat gubuk terbuat daripada daundaunan, kemudian daripada bahan-bahan yang lebih baik, wanita ini makin lama makin menjadi orang yang penting. Wanita ini makin lama makin menjadi produsen. Produksi makin lama makin di dalam tangannya. Orang laki pergi berburu, mendapatkan binatang, entah menjangan, entah rusa, entah apa, tapi wanita yang dengan ia punya ontdekking yang bernama pertanian misalnya, wanita ini makin lama makin penting kedudukannya di dalam alam produksi. Ia makin lama makin penting kedudukannya di dalam masyarakat yang masih liar itu. Dia menjadi pusat daripada manusia, dialah yang memberi makan kepada anak-anak kecil dari ia punya hasil tanaman. Dialah yang bisa conserveren, menyimpan, ikan-ikan di dalam periuk, dia yang membagi-bagikan ikanikan itu kepada anak-anak. Dia menjadi manusia penting. Dan oleh karena dia ekonomis penting. maka akhirnya dia menjadi wetgeefster. dia yang mengadakan aturan. Dia, manusia itu anakku. dia, manusia itu anak dia, dia manusia itu ana, dia, dia anak dia. Dan selalu yang ditunjuk dia itu, dia sekarang yang berbaju hijau, dia yang sekarang berbaju biru, dia sekarang yang berbaju jambrut, dia sekarang yang berbaju merah, dia sekarang yang berbaju merah muda, dia sekarang yang berbaju hijau pupus yang ditunjuk itu selalu wanita. Manusia disebutkan anak si Fulan dan si Fulan itu selalu wanita. Oleh karena memang yang bisa dibuktikan dengan tegas dan jelas dan exact ialah ibunya. Ibu mengeluarkan anak. Tiap manusia bisa melihat: O ya, si A keluar dari itu dia, keluar dari wanita itulah, si B keluar dari wanita itulah, si C keluar dari wanita itulah. Bapaknya siapa? Duka teuing, tidak tahu! Yang jelas ialah ibunya. Sampai sekarang Saudara-saudara, tentang soal siapa bapaknya itu ‘kan duka teuing? Ada seorang ahli masyarakat yang berkata hal siapa bapak itu sebetulnya cuma bersandar atas "goeten Glauben". Artinya ik geloof ‘t wel, percayalah, si Anu itu bapaknya si Anu. Tapi kalau disuruh membuktikan dengan exact?

Tapi ibunya jelas siapa.

Nah, wanita mengadakan hukum. Hukurn yang kemudian dinamakan hukum matrilineaal, hukum peribuan. Manusia anak si Fulan dan si Fulan itu wanita, yaitu ibunya. Saya menyimpang sebentar, sebagai ilustrasi, bahwa hukum matrilineaal diambil garis dari ibu itu, memang hukum dari zaman dahulu ternyata dari cerita-cerita kuno yang restannya sampai sekarang masih ada di beberapa daerah. Di India, suku Nair, masih hidup sekarang ini memakai hukum matrilineaal.

Sedikit menyimpang dari hukum matrilineaal yang exact yaitu kita masih mendapatkan juga di Minangkabau yang dinamakan matriarchaat, restan daripada zaman dahulu. Ada juga orang yang berkata – ini sekadar saya sitir daripada sesuatu tulisan di dalam suatu kitab ilmu pengetahuan – kalau di dalam Agama Islam Isa dinamakan Isa ibnu Maryam, Nabi Isa anaknya Maryam. itu, kata sebagian daripada orang agama, tidak membuktikan bahwa Isa tidak mempunyai bapak, sebab sebagian lagi daripada kaum agama berkata: Isa tidak mempunyai bapak.

Manusia itu ada yang tidak mempunyai bapak, seperti Isa; ada yang tidak mempunyai ibu. Di dalam mythologie Yunani ada misalnya Adonis dikatakan tidak mempunyai ibu; dia keluar daripada sang bapak. Ya, di dalam mythologie itu macam-macam. Seperti Karna, Adipati Basukarna di dalam cerita wayang, maka ia dinamakan Karna ialah oleh karena menurut mythologie ia itu mempunyai ibu, tetapi tidak keluar dari jalan yang biasa; keluarnya daripada telinga. Ibunya namanya Kunti. Keluar daripada telinga, maka itu dinamakan Karna; karna adalah telinga.

Saya tadi ceritakan hal Isa. Kalau – ini kata sebagian daripada pihak agama -, kalau Isa disebutkan di dalam kitab agama Al Qur'an Isa Ibnu Maryam, itu bukan satu bukti bahwa Isa tidak mempunyai bapak, melainkan bahwa Isa dilahirkan di dalam zaman matrilineaal. Di dalam zaman matrilineaal memang yang disebutkan itu ibunya. Jadi, kalau saya umpamanya hidup di dalam zaman matrilineaal, ibu saya namanya Ida Nyoman Rai, ya Sukarno ibnu Ida Nyoman Rai, bukan Soekarno ibnu Sosrodiharjo, tapi Sukarno ibnu Ida Nyoman Rai.

Nah, saya kembali lagi kepada kemanusiaan. Hidup promiscuiteit dengan tiada hukum, tapi wanita akhirnya mengadakan hukum peribuan. Pada waktu itu belum ada bangsa, manusia hidup dalam gerombolan dengan wanita sebagai pusat, wanita yang berkuasa. Sociologis ialah oleh karena wanitalah produsen, oleh karena hidup manusia di dalam tangan wanitalah. Manusia mendapat makan dari wanita, wanita yang bercocoktanam, wanita yang menghasilkan padi dan gandum, wanita yang menjadi wetgeefster, wanita berkedudukan penting, mengepalai satu famili besar sekali. Pada waktu itu belum ada yang dinamakan suku, belum ada yang dinamakan bangsa. Pada waktu itu manusia hidup di dalam satu famili yang di dalam ilmu pengetahuan disebut: verwantschapsfamilie.

Vcrwantschapsfamilie ini mula-mula hidup di dalam satu rumah yang panjang sekali, besar; anaknya, cucunya, segalanya hidup di situ dengan berpusatkan seorang wanita. Kemudian bertambah besar, bertambah besar menjadi suku, yang dus pada asalnya suku itu adalah pertumbuhan daripada verwantschapsfamilie. Kemudian beberapa suku manusia, berhubung dengan pencarian hidup, datang berkumpul di dalarn satu daerah, hidup di satu daerah. Nah, jikalau manusia-manusia yang banyak yang tadinya verwantschapsfamilie, lebih menggabungkan lagi di dalam eenheden yang lebih besar: suku, suku, suku, jikalau jumlah manusiamanusia yang banyak ini mengalami pengalaman-pengalaman yang sama sehingga dia punya karakter-trekken menjadi sama pula – ingat definisi Otto Bauer: Eine Nation ist eine aus Schicksal Gemeinschaft erwachsene Charakter Gemeinschaft, bangsa adalah satu persatuan watak yang tumbuh daripada persatuan pengalaman-pengalaman, – jikalau manusia-manusia yang banyak, gerombolan-gerombolan manusia yang terdiri mula-mula daripada verwantschapsfamilie kemudian suku-suku, sudah mencapai persatuan watak yang demikian itu, mempunyai rasa ingin hidup bersatu, Ernest Renan, "le desir d'etre ensemble", baru pada saat itulah lahir apa yang dinamakan bangsa; bangsa yang kemudian di mana-manapun terjadi: bangsa, bangsa.

Tapi dus sudah nyata bahwa adanya bangsa Indonesia, adanya bangsa India, adanya bangsa Jepang, adanya bangsa yang lain-lain itu, pada mulanya adalah berasal daripada kemanusiaan yang kecil jurnlahnya, tapi berkembang biak via verwantschapsfamilie, via suku-suku, via pertumbuhan seterus-nya. Dan kita menginjak abadabad yang kita kenal sebagai abad-abad yang bersejarah. Kita mengenal pertumbuhan daripada apa yang dinamakan bangsabangsa ini, yang dulu sudah saya katakan, dulu tidak ada bangsa Jermania, dulu cuma ada bangsa kecil Pruisen, bangsa kecil Beieren, bangsa kccil Saksen, bangsa kecil Mecklenburg dan lain-lain tumbuh berkembang menjadi bangsa besar Jermania.

Uulu di Italiapun demikian, tumbuh menjadi satu bangsa besar Italia, di Jepang demikian pula tumbuh, akhirnya menjadi satu bangsa besar. Maka duniapun yang sekarang terdiri daripada bangsa-bangsa itu di dalam pertumbuhan selanjutnya akan makin Iama makin menghilangkan batas-batas tajam antara bangsa dan bangsa. Inilah yang saya namakan tempo hari di dalam salah satu kursus saya paradok historis daripada abad yang kita alami. Historis paradok daripada abad yang kita alami ialah, politik: kita melihat terjadinya bangsa-bangsa, terjadinya negara-negara nasional, terjadinya batas-batas yang melingkari bangsa-bangsa dan negara-negara nasional, tetapi sebagai paradok daripada itu pertumbuhan sebagai akibat daripada perkembangan teknik terutama sekali, justru menghapuskan setapak demi setapak adanya batas-batas bangsa itu. Di satu pihak terjadinya negara-negara nasional dan bangsa-bangsa, di lain pihak perhubungan yang makin rapat antara manusia dan manusia dan antara bangsa dan bangsa.

Saudara-saudara, sehingga jikalau kita mau berdiri sendiri sebagai bangsa tak rnungkinlah, dunia telah menjadi demikian. Maka oleh karena itu kitapun di dalam Republik Indonesia ini yakin di dalam tekad kita bahwa kita ini tidak hanya ingin mengadakan satu bangsa Indonesia yang hidup dalam masyarakat yang adil dan makmur. Tidak. Tapi kita di samping itu bekerja keras pula untuk kebahagiaan seluruh umat manusia.

Tergambar jelas di dalam Pancasila, misalnya kalau kita menyebut keadilan sosial. Keadilan sosial yang nanti akan kita adakan bukan sekadar keadilan sosial di dalam lingkungan bangsa Indonesia, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Maka oleh karena itulah misalnya, kita mengadakan politik bebas dan aktif. Bahkan kita vakin masyarakat adil dan makmur tak mungkin kita dirikan hanya di dalam lingkungan bangsa Indonesia saja. Masyarakat adil dan makmur pada hakekatnya adalah sebagian daripada rnasyarakat adil dan makmur yang mengenai seluruh kemanusiaan. Tentang hal ini, Saudara-saudara, saya mau menceritakan kepada Saudara-saudara sebagai satu contoh untuk mempertajam Saudara punya pengertian, sebagai satu ilustrasi:

Perjuangan yang hebat atau katakanlah gedachtestrijd yang hebat di Sovyet Uni beberapa puluh tahun yang lalu, yaitu gedachtestrijd yang hebat sekali antara golongan yang dikepalai oleh Trotsky dan golongan yang dikepalai oleh Stalin. Dua golongan ini hebat memperdebatkan soal ini, sehingga akhirnya menjadi pertikaian politik, bahkan menjadi pertikaian kekuasaan, yang akhirnya Trotsky dikalahkan oleh Stalin.

Bagaimana, Saudara-saudara, duduknya perkara?

Baik Trotsky maupun Stalin menghendaki satu masyarakat adil dan makmur ala Rusia. Kita selalu mengatakan kita menghendaki masyarakat adil dan makmur ala Indonesia. Merekapun mempunyai cita-cita satu masyarakat yang adil dan makmur, katakanlah komunisme. Dua-duanya menghendaki komunisme, dua-duanya menghendaki hilangnya stelsel kapitalisme, duaduanya menghendaki manusia tidak dihisap oleh manusia yang lain, dua-duanya mau meniadakan exploitation de 1'homme par 1'homme, dua-duanya ingin mengadakan masyarakat sama rata sama rasa tanpa kapitalisme. Tapi toh ada perdebatan, bentrokan kemudian yang hebat sekali.

Apa kata Trotsky? Trotsky berkata: "musuh kita, kapital-isme, tidak bersarang di Rusland saja. Musuh kita kapitalisme adalah sudah mencapai tingkatan internasional kapitalisme. Musuh kita telah mencapai internasional imperialisme, yang dus tidak bercokol di sesuatu negeri saja, tapi bercokol di seluruh dunia. Kita telah berhasil mengadakan revolusi di tanah air kita, yaitu di Rusland. Kita tak dapat mendirikan satu masyarakat sosialis atau komunis di Rusland saja, jikalau kita tidak pula menumbangkan kapitalisme di lain-lain negeri". Oleh karena itu Trotsky minta dan menuntut supaya revolusi yang diadakan di Sovyet Uni itu diteruskan di negeri-negeri yang lain, dijadikan satu revolusi internasional. Dan bukan saja dijadikan satu revolusi internasional, tapi Trotsky berkata bahwa penumbangan kapitalisme, bahwa perjuangan menghilangkan stelsel kapital-isme itu bukanlah satu perjuangan daripada setahun dua tahun, sedetik dua detik.

Perjuangan menumbangkan kapitalisme adalah perjuangan terus-menerus, perjuangan tiap hari. Perjuangan menentang segala sifat-sifat, perjuangan menentang segala uitingen daripada stelsel kapitalisme itu, adalah perjuangan tiap hari terus-menerus dengan tiada berhenti.

Tidak cukup perjuangan sekadar pada satu saat merebut politieke macht, tampuk pimpinan Pemerintah direbut oleh kaum proletariat. Tidak cukup. Tapi perjuangan tiap hari, sekarang merebut tampuk pimpinan pemerintahan, besok merebut kekuasaan di dalam alam itu, besok lusa merebut kekuasaan di dalam alam itu, besok lusa lagi di alam itu, plus, bukan hanya di Sovyet Rusia, tapi di seluruh muka bumi.

Oleh karena itu Trotsky berkata: "Kita punya revolusi haruslah satu revolusi permanen, revolusi terus-menerus dan memusatkan perhatian kepada revolusi terus-menerus itu. Jangan sebentarpun mengadakan satu adem pauze, jangan sebentarpun mengadakan pemusatan pikiran kita kepada apa yang dinamakan pembangunan. Tidak! Terus gempur, gempur, di segala lapangan, di segala hari, di segala negeri. Revolusi sosialis adalah satu revolusi permanen, kalau sosialisme hendak tercapai". Revolusi ini oleh Trotsky dinamakan permanente revolutie. Trotsky mengeluarkan ia punya teori: permanente revolutie. De theorie van de permanente revolutie, teori yang amat dikenal oleh barisan kaum sosialis-komunis beberapa puluh tahun yang lalu.

Stalin, Saudara-saudara, berpendapat lain. Stalin dan Trotsky itu dua nama pedengan. Trotsky sebenarnya ia punya nama asli ialah Leon Bronstein. la adalah orang Yahudi. Di dalam gerakan revolusioner ia memakai nama pedengan: Trotsky atau Leon Trotsky.

Stalin dia punya nama asli ialah Jugas Villi. Dia ambil nama pedengan Stalin, orang yang terbuat dari baja. Ia adalah orang dari Georgia, dilahirkan di kota Tbilisi (Tiflis); namanya Jugas Villi. Masuk di dalam gerakan pada umur sangat muda dan terus memakai nama pedengan Stalin.

Stalin berpendapat lain. Ia berkata: "Kalau kita mau terus-terusan menjalankan teori permanente revolutie, Revolution in permanent, tidak akan bisa kita mencapai sosialisme di dalam jangka waktu umur beberapa generasi. Tapi marilah kita lebih dahulu menyusun satu benteng proletariat. Benteng itu sudah di dalam tangan kita, yaitu Rusland atau lebih tegas lagi yang dinamakan Sovyet Uni. Buatlah Sovyet Uni menjadi satu citadel daripada perjuangan seluruh proletariat dunia nanti untuk menjalankan sosialisme.

Tapi perkuatlah citadel ini lebih dahulu. Jangan terlalu engkau memikirkan revolusi di negeri-negeri lain, jangan terlalu engkau membuang energi 100% kepada revolusi di Inggris, revolusi di Italia, revolusi di Jerman, revolusi di Perancis, revolusi di Amerika Selatan, revolusi di Amerika Utara, revolusi di Kanada". Tidak, kata Stalin. "Pusatkan engkau punya perhatian lebih dulu kepada pemerkuatan benteng yang telah di dalam tangan kita. Jadikan Sovyet Uni citadel van het wereld proletariaat. Dan agar supaya bisa membuat Sovyet Uni ini citadel daripada wereld proletariaat, bangunkanlah Sovyet Uni sehebat-hebatnya". Malahan Stalin berkata: "Mungkin, het is mogelijk mendirikan satu masyarakat adil dan makmur di dalam satu negeri".

Trotsky berkata: "Tidak bisa mendirikan sosialisme di dalam satu negeri sebelum kapitalisme di seluruh dunia gugur. Sosialisme hanyalah bisa berdiri di semua negeri bersama. Tidak bisa satu negeri sosialistis". Stalin berkata: "Neen, mogelijk, bisa mengadakan sosialisme di satu negeri, yaitu di sovyet Uni. Oleh karena Sovyet Uni cukup bahan-bahannya, cukup mineralen, cukup luasnya tanah, cukup penduduk, cukup ini cukup itu, cukup material. baik material pisik maupun material yang berupa benda, maupun material batin".

Saya sendiri selalu berkata, bahwa kita misalnya harus mengadakan mental investment.

Stalin berkata: "Cukup material di Sovyet Uni ini untuk merealisir sosialisme hanya di Sovyet Uni dahulu, dan perkuat-kan Sovyet Uni menjadi citadel daripada seluruh proletariat sedunia".

Dan oleh karena dia berkata: cukup Sovyet Uni saja, mungkin, mogelijk untuk mendirikan sosialisme di dalam satu negeri saja, maka ia menjalankan politik isolationist. Ia tutup batas Sovyet Uni itu sampai dunia luaran mengatakan bahwa Sovyet Uni adalah seperti di belakang tembok besi Tiada ada orang bisa melihat apa yang terjadi di belakang tembok besi itu, hermetis ditutupnya.

Dua paham ini bentrokan satu sama lain. hebat perdebatan-nya, sampai menjadi de strijd om de macht pula. Bukan strijd om de idee, tapi juga strijd om de macht, yang akhirnya Trotsky <a href="http://kalah.la/">kalah. la</a> dibuang oleh Stalin ke Alma Ata, kemudian diper-bolehkan ke luar negeri, cari tempat exil di luar negeri.

Akhirnya mendapat exil di Mexico. Tapi di Mexico iapun masih terus mengajarkan ia punya teori permanente revolusi dan terus ia menyerang pada Stalin. Pada suatu hari orang pengikut Stalin atau alat Stalin menghabisi ia punya jiwa dengan membacok ia punya kepala dari belakang.

Saudara-saudara, dua idee yang bertentangan satu sama lain, bertempur satu sama lain, berebutan kekuasaan satu sama lain, yang akhirnya satu kalah. Sesudah kalah satu ini, maka Sovyet Uni memasuki periode yang dikenal oleh dunia luar: periode Stalinisme, periodc penutupan, periode isolasi, periode mem-perkuat benteng di dalarn lingkungan pagar besi itu. Periode pemerkuatan benteng ini melalui fase-fase pembersihan, fase-fase penangkapan, fase-fase kalau perlu pendrelan dan pembunuhan.

Datanglah akhirnya reaksi terhadap kepada periode ini.

Reaksinya ialah periode yang kita alami sekarang, yang Sovyet Uni sekarang mulai membuka ia punya pintu, yang Sovyet Uni sekarang sendirinya menginguk ke luar negeri dan membolehkan orang luar negeri menginguk pula ke dalam, yang Sovyet Uni mencari hubungan sebanyak-banyaknya dengan luar negeri.

Kita bagaimana Saudara-saudara? Sebagai tadi pada permulaan telah saya katakan, kita tidak dapat menyelenggarakan satu masyarakat adil dan makmur di dalam negeri kita ini jikalau kita menjalankan politik isolationisme pula. Kita harus mencari hubungan dengan bangsa-bangsa atas dasar persamaan, atas dasar daulat sama daulat, atas dasar mutual benefit, menguntungkan dan diuntungkan. Ini adalah satu politik yang tegas kita jalankan, yang pada inti jiwanya ialah politik yang berdiri atas beginsel kebangsaan, tapi juga atas beginsel perikemanusiaan. Apalagi kita yang masih di dalam periode nationale revolutie menumbangkan imperialisme yang kita mengetahui bahwa imperialisme adalah imperialisme inter-nasional yang di dalam waktu yang akhir-akhir ini berhubung dengan adanya subversi asing dan intervensi asing kita aan den lijve ondervinden bahwa imperialisme yang harus kita tumbangkan bukan hanya imperialisme Belanda, tapi antek-antek dan kawan-kawan daripada imperialisme Belanda itu pula, artinya yang kita aan den lijve ondervinden bahwa kita menghadapi pula internasional imperialisme, tak dapat kita melepaskan diri kita daripada bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang juga menentang imperialisme itu.

Oleh karena itulah Indonesia menjadi salah satu sponsor daripada Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itulah pula maka Indonesia dengan terang-terangan memberi bantuan kepada perjuangan bangsa-bangsa yang lain. Oleh karena itulah Indonesia pula mencari bantuan dari bangsa-bangsa yang lain.

Hal yang saya ceritakan ini adalah mengenai bidang politik, bidang perjuangan. Tapi sila Perikemanusiaan bisa juga kita terangkan daripada bidang-bidang yang lain. Bukan sekadar bidang politik, perjuangan politik menuntut kita bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain -bukan saja itu -bukan saja keyakinan bahwa kita tak mungkin mengadakan satu masyarakat sosialisme ala Indonesia, sosialisme Pancasila, jikalau kita mengadakan isolasionisme, tidak mau berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain, tapi juga dari sudut apapun, rnaka nasionalisme Indonesia harus disegari pula oleh Peri-kemanusiaan. Tatkala saya mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara dalam bulan Juni 1945, saya telah berkata: "Nasionalisme hanyalah dapat hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme hanyalah dapat hidup subur jikalau berakar di buminya nasionalisme. Dua ini harus wahyu-mewahyui satu sama lain".

Apalagi jikalau kita, sebagai tempo hari telah saya katakan kepada Saudara-saudara, ingat, bahwa kita ini adalah satu bangsa yang tidak boleh tidak harus religius. Saya berkata tidak boleh tidak, oleh karena sosiologis kita ini adalah satu bangsa yang buat sebagian besar masih hidup di dalam alam agraris dan tempo hari saya terangkan kepada Saudara-saudara bahwa tiap-tiap bangsa yang masih hidup dalam alam agraris, tidak boleh tidak adalah religius.

Saya ulangi apa yang saya katakan tempo hari, bangsa agraris selalu mencantumkan ia punya harapan juga kepada faktor-faktor gaib. Bangsa agraris yang sudah menyangkul ia punya tanah sudah mendeder ia punya bibit, menunggu sang bibit ini tumbuh dan kemudian berkembang dan kemudian berbuah sambil mohon. mengharap-harap hujan jangan terlalu banyak, kering jangan kering, memohon ibaratnya daripada bintang-bintang dan Tuhan agar supaya tumbuhnya ia punya tanaman ini diberkati oleh hujan, diberkati oleh sinar matahari dan lain-lainnya. Bangsa yang agraris tidak boleh tidak mesti hidup di dalam religiositet. Apalagi jikalau kita ingat akan hal itu, maka faktor perikernanusiaan amat menonjol kepada kita. Tiap-tiap bangsa yang agraris tebal ia punya rasa Peri-kemanusiaan.

Agama, Saudara-saudara, agarna apapun, semuanya menghendaki rasa perikemanusiaan. Kalau saya kupas agama yang besar-besar, mulai dengan agama yang disebarkan oleh Nabi Musa, de Godsdienst van Israel, hanya agama Musa itulah yang masih tebal ia punya kebangsaan. Namanya juga sudah Godsdienst van Israel. Coba baca sejarah daripada agama Israel, katakanlah agama Yahudi. Tampak benar ini adalah satu nationale religie, satu agama untuk menyelamatkan bangsa Israel. Sifat kebangsaan, sifat nasionaliteit masih tebal di Agama Musa ini. Ia memimpin ia punya bangsa, bangsa Israel keluar daripada penindasan di Mesir di bawah pemerintahan Firaun. Musa berjalan di hadapan puluhan mungkin ratusan ribu rakyat Yahudi ini sebagai pemimpin bangsa Yahudi, mencoba membawa mereka kepada satu daerah yang dinamakan Het beloofde land, tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhannya ialah tanah Israel, tanah yang akan memberikan kebahagiaan kepada mereka.

Saudara-saudara kenal akan cerita dia dikejar-kejar oleh laskar Firaun. Kenal bahwa ia menyeberangi laut yang menurut ceritera agama ialah dengan ia punya tongkat, laut itu dipecahkan airnya sehingga satu bagian kering dan dia dengan ia punya rakyat Israel itu tadi melalui bagian kering itu. Pihak Wetenschap berkata: Bagian laut itu memang kadang-kadang mengalami pasang surut yang sangat rendah sekali sehingga memang kebetulan pada waktu itu pasang surutnya demikian rendahnya dan lamanya, lautan itu memang lautan kering dan Musa bisa mclewati dasar lautan itu.

Bagaimanapun juga Saudara-saudara, agama Musa masih menunjukkan corak nasional yang tebal, Godsdienst van Israel untuk memberi kebahagiaan kepada rakyat Israel, yang dasar inilah sampai sekarang dipakai oleh partai agama di Negara Israel yang didirikan beberapa tahun yang lalu. Di Israel itu ada partai Sosialis, ada partai Komunis yang kecil, ada juga partai yang dinamakan partai ortodox yang sama sekali berdiri di atas ajaran ini "dit land van Israel is ons beloofde land" dan menurut kitab-kitab, kita akan mengalami kebahagiaan di tanah ini.

Agama Musa jelas mempunyai sifat-sifat yang tebal kebangsaan. Tidak demikian agama-agama yang lain. Ambil kronologis agama Budha sebagai yang diajarkan oleh Budha Sakya Muni. Sidarta namanya pada waktu ia masih muda, anak Raja Kapilawastu Sidarta. Sidarta akhirnya bertapa, berjuang mencari kebenaran. Akhirnya ia dinamakan Budha Sakya Muni. Agama daripada Budha Sakya Muni ini dengan tegas tidak berdiri atas dasar kebangsaan, hanya berdiri di atas pembersihan kalbu, begeerteloosheid. Agama Israel tidak, istimewa untuk orang Israel, untuk bangsa Israel, berdiam di tanah di kanan-kirinya sungai Yordan. Budha tidak. Setengah manusia bisa mencapai kebahagiaan. "Aku", kata Budha, "tidak akan membawamu kepada sesuatu tanah sebagai Musa. Aku tidak berhadapan dengan bangsa India, aku berhadapan dengan tiap-tiap manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dan jalannya ialah membunuh begeerte, membunuh nafsu. Bunuhlah engkau punya nafsu, dengan sendirinya engkau masuk Nirwana. Bunuhlah engkau punya nafsu-nafsu, dengan sendirinya engkau akan mencapai kebahagiaan".

Oleh karena itu tempo hari saya berkata di dalam salah satu pidato: agama budha tidak mengenal begrip Tuhan. Agama lain mempunyai begrip Tuhan: Ya Allah atau Ya Tuhan atau Ya God atau Yehova, mohon, mohon; ada tempat permohonan. Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu. Bunuhpadamkan delapan nafsu ini, dengan sendirinya engkau masuk di dalam Sorga; artinya engkau akan mencapai kebahagiaan, engkau akan masuk Nirwana. Agama Budha pada orisinilnya Saudara-saudara, inilah, dan ini yang dinamakan Budhisme Hinayana. Tiap-tiap manusia bisa langsung masuk ke dalam alam Nirwana. Engkau bisa, engkau bisa, asal engkau bisa membunuh delapan macam nafsu itu.

Delapan nafsu ini bunuhlah, oleh karena nafsu itulah sumber daripada semua ketidakbahagiaan. Jikalau engkau bisa membunuh delapan nafsu ini, sekaligus dengan langsung engkau bisa masuk dalam Nirwana. Agama Budha asli ini dinamakan Hinayana. Hina artinya kecil, Yana artinya kereta; kereta kecil. Naiklah kereta kecil ini, engkau masuk dalam nirwana. Kereta kecil ini apa? Pernbunuhan nafsu yang delapan.

Di samping itu Saudara-saudara, sesudah Budha Sakya Muni meninggal dunia, sebagaimana tiap-tiap agama, pengikut-nya lantas diperdalam, diperlebar, diperdalam, diperlebar, timbul pahampaham yang lebih daripada itu. Lihat agama Kristen, lihat agama Islam. Pada mulanya lsa menghendaki satu, bukan? Tetapi pengikutnya kemudian mengadakan bermacam-macam ini-itu, ini-itu. Bertengkar ini dan itu, timbullah cabang-cabang. Ada cabang agama Kristen ini ada cabang agama Kristen itu. Islam juga begitu. Muhammad menghendaki satu agama, tapi belakangan pengikut-pengikutnya sesudah ia meninggal, debat ini-debat itu, tambah ini-tambah itu, sampai terjadi macam-macam aliran, sampai pada satu saat sudah tidak bisa diperdebatkan lagi saking sama-sama pinternya. Sampai lantas diadakan permufakatan: sudah, jangan debat-debat diteruskan, kita akui saja semuanya ini benar. Engkau Malik benar, engkau Hanafi benar, engkau Syafii benar, engkau Hambali benar; akui semua mazhab. Mazhah itu tidak ada zaman Muhammad, Saudara-saudara! Belakangan, demikian, ada mazhab Maliki, Syafii, Hambali, Hanafie; bahkan belakangan ada macam-macam aliran lagi, ada Akhmadiah Qadian, Akhmadiah Lahore. Ada macam-macam tarikah: tarikah Tijaniyah, Kadiriyah, Subandiyah, ini dan itu.

Demikian pula agama Budha, ditambah-tambah, lantas menjadi manusia itu tidak bisa satu kaligus dalam satu hidup. Sekarang hidup lantas disucikan batin daripada 8 nafsu, masuk Nirwana. Tidak bisa! Manusia itu harus melalui siklus bersambung-sambung, dilahirkan – mati – inkarnasi di dalam makhluk lain. Hidup – mati – inkarnasi lagi di dalam makhluk yang lain. Nah, makin lama kalau untung makin lama makin tinggi, kalau celaka makin lama makin turun. Manusia kalau dia bisa mengekang ia punya nafsu, bisa berbuat bijak dan bajik, mati -inkarnasi dalam satu makhluk manusia yang lebih tinggi. Hidup berpuluh-puluh tahun, mati, inkarnasi dalam makhluk yang lebih tinggi ia punya taraf kej iwaan. Demikian sambung-bersambung, sambung-bersambung melalui siklus berpuluh-puluh beratus-ratus, beribu-ribu, akhirnya tercapai tingkat yang tertinggi-sempurna, masuklah ia dalam Nirwana. Tapi kalau kita tidak bisa mempersucikan kita punya diri, siklus ini garisnya menurun. Lebih dulu manusia, kemudian bisa menjadi kerbau, kemudian menjadi babi, kemudian menjadi ini, kemudian menjadi itu.

Budhisme yang ini dinamakan Budhisme berkereta besar. Tadi dinamakan Budhisme kereta kecil, Budhisme Hinayana. Tapi Budhisme yang siklus-siklus itu dinamakan Budhisme Mahajana. Hinayana dan Mahayana. Tapi baik Hinayana mau-pun Mahayana tidak berdiri di atas dasar kebangsaan, langsung menuju kepada manusia-manusia dan manusia satu sama lain harus hidup seperti saudara dengan saudara.

Kronologis, masuk ke alam Isa. Juga Nabi Isa tidak terutama sekali berdiri di atas kebangsaan. ia punya ajaran ditujukan kepada semua manusia. Malah dcngan tegas ia menganjurkan: cintailah sesama manusia. Tuhan di atas segala hal, tapi sesama manusia seperti engkau mencintai diri sendiri. Heb God lief boven alles en Uw naasten gelijk U zelf. Cintailah Tuhan di atas segala hal dan cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Isa membasirkan ia punya ajaran bukan kepada kebahagiaan bangsa, tetapi kepada cinta dan kasih, liefde. Liefde terhadap Tuhan, liefde terhadap sesama manusia.

Kronologis: masuk di dalam alam – kronologis sebetulnya agama Hindu lebih dulu, bahkan lebih dulu daripada Budha Sakya Muni, Prins Sidarta – agama Hindupun tidak terutama sekali ditujukan kepada bangsa, tetapi kepada perikemanusiaan, yang ini di dalam tiap-tiap pidato saya tandaskan salah satu adagium daripada Hinduisme ialah Tat Twam Asi. Tat Twam Asi yang berarti: aku adalah dia, dia adalah aku. Yang dus pada hakekatnya tidak ada perbedaan dan pemisahan antara dia dan aku, bahkan tidak ada perbedaan dan perpisahan antara manusia dan alam semesta ini, bahwa segala isi alam semesta itu pada hakeka.tnya satu, berhubungan satu sama lain, rapat.

Rasa kesatuan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sernesta ini, segala yang kumelip di dalam alam semesta ini, rasa kesatuan itu dinamakan Advaita. Aku ada hubungan dengan Saudara Ahem, Saudara Ahem ada hubungan dengan aku, aku ada hubungan dengan gunung, ada hubungan dengan awan, ada hubungan dengan laut, ada hubungan dengan udara, ada hubungan dengan burung yang sekarang sedang bercicit, ada hubungan dengan cecak yang saya lihat di sana, ada hubungan dengan isi kumelip daripada alam semesta ini.

Itu adalah Advaita dan inilah Advaita itu yang digambarkan oleh Krishna di dalam ucapannya terhadap pada Arjuna di dalam kitab Baghawad Gita sebagai yang di dalam pidato Kongres Kebatinan saya sentil sedikit. Tatkala Krishna diminta oleh Arjuna "Aku ingin mengetahui engkau itu di mana dan siapa, engkau melihat dirimu – badanmu Krishna, tapi sebenarnya engkau itu di mana, sebenarnya engkau itu siapa". Lantas Krishna menjawab: "Aku, aku adalah di dalam tumbuh-tumbuhan, aku adalah di dalammu, aku adalah di dalam gunung yang membiru, aku adalah di dalam samudera, aku adalah di dalam geloranya samudera, aku adalah api, aku adalah panasnya api, aku adalah di dalam bulan, aku adalah di dalam sinarnya bulan. Aku adalah di dalam angin yang meniup sepoi-sepoi, aku adalah di dalam awan yang bergerak, bahkan aku adalah di dalam batu yang disembah oleh orang yang masih biadab, aku di dalam perkataan keramat Om – Sembahyangan orang Hindu atau orang Budha dimulai dengan perkataan Om. Om itu kalau Islamnya salam, peace atau vrede. "Aku adalah di dalam perkataan Orn, aku adalah di dalam rasa manusia, aku tidak dilahirkan, aku tidak akan mati, aku adalah awal daripada segala hal, aku adalah akhir daripada segala hal, aku adalah di dalam ganda harumnya bunga-bunga, aku adalah di dalam senyumnya gadis yang cantik, aku adalah tak dapat dikatakan kata". Lantas Arjuna menanya: "Bolehkah aku melihat engkau di dalam sifatmu yang sebenarnya ini?" "Arjuna! Aku akan membuat engkau lebih dahulu kuat melihat aku. Sebab engkau jikalau melihat aku di dalam zatku yang sebenarnya, engkau tidak akan kuat, tidak akan tahan jikalau aku tidak membuat engkau lebih dahulu kuat dan tahan".

Sesudah Arjuna dibuat tahan melihat, Krishna lantas berubah dia punya jirim. "Lihat, ini aku!" Arjuna melihat Krishna. Apa yang dia lihat? Bukan gambar manusia Krishna atau Nayarana. Dia laksana melihat sejuta matahari bersinar, dia melihat sernua setan dan jin berkumpul, dia melihat api menyala-nyala di Utara, di Barat, di Timur, di atas, di bawah. Dia melihat angin taufan meniup bergelora, dia melihat pepohonan mengadakan nyanyian, dia melihat lautan di mana-mana, dia melihat mata seperti mata manusia tetapi di mana-mana kelihatan mata. Lantas sesudah demikian, Krishna berkata: "Nah, demikianlah aku. Oleh karena itu. bertindaklah. Aku meliputi segala hal, berjuanglah. Aku ada di dalam perbuatan, aku bukan saja satu zat, tetapi aku ada juga di dalam rasa, di dalam pikiran, di dalam perbuatan manusia. Maka oleh karena itu sudah, kerjakan, kerjakan apa yang saya perintahkan kepadamu, sebab sebenarnya kerjamu dan perbuatanmu itu adalah perbuatanku". "Kerjakan kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akan untung dan rugi dan akan akibat, sebab sebenarnya akulah yang berbuat". "Engkau tidak mau membunuh sang Karna, tidak mau membunuh sang Drona, oleh karena sang Drona adalah guruku, sang Karna adalah Saudaraku, dia keluar dari telinga, aku keluar dari goa garba. Jangan ayal, bunuh engkau punya musuh, sebab pembunuhanmu itu sebetulnya perbuatanku. Sebelum engkau membunuh dia, aku sebenarnya telah membunuh dia, engkau sekadar seperti membunuh dia; pada hakekatnya akulah yang membunuh".

Nah, advaita ini Saudara-saudara, persatuan dan kesatuan daripada segala hal yang kumelip di dunia ini, bahkan sampai masuk dalam persatuan segala hal yang dipikirkan orang, segala hal yang dirasakan orang, segala hal yang diperbuat oleh orang. Ini adalah advaita, ajaran daripada agama Hindu. Orang yang mempraktikkan yoga daripada advaita ini, pada suatu saat mencapai tingkat persatuan dan kesatuan itu. Ambillah misalnya guru daripada Pahlawan Viveca Nanda. Saya selalu mensitir Viveca Nanda. Viveca Nanda itu mempunyai guru namanya Rama Krishna. Bukan Krishna dari Baghawad Gita. Tidak. Gurunya Viveca Nanda, namanya Rama Krishna. Rama Krishna duduk di rumahnya di serambi muka. Sedang hujan, duduk di dalam rumahnya tidak akan kena air hujan. Dia melihat orang berjalan kehujanan. Rama Krishna yang menggigil kedinginan. Orang lain yang kena air hujan. dia yang menggigil kedinginan. Persatuan antara si yang berjalan dan Rama Krishna, advaita. Oleh karena itu advaita berkata, paham kesatuan berkata: "Tat Twam Asi, dia adalah aku, aku adalah dia. Dan Tat Twam Asi ini tidak mengenal manusia dengan manusia saja, anjingpun Tat Twam Asi". Saya ceriterakan satu hadis Nabi Muhammad s.a.w. Pada suatu hari ada seorang wanita melihat seekor anjing melet-melet ia punya lidah karena dahaga. Wanita ini menaruhkan rasa belas kasihan kepada anjing itu sehingga memberikan sebagian daripada ia punya air kepada anjing itu. Air di negeri Arab, Iho Saudarasaudara! Sebagian daripada airnya oleh wanita ini diberikan kepada anjing yang sedang melet-melet dahaga. Nabi berkata: "Masya Allah, saya melihat wanita ini masuk Sorga, oleh karena dia merasakan benar bahwa ada hubungan antara dua makhluk ini"

Dus, Saudara-saudara, baik agama Hindu maupun agama Budha maupun agama Islam berdiri kuat di atas dasar perikemanusiaan. Memberi air kepada anjing adalah juga perikemanusiaan. Jangan kira Perikemanusiaan hanya kepada sesama manusia saja, kepada tiap-tiap makhluk yang hidup kita jalankan kebaikan, itu adalah pula perikemanusiaan. Oleh karena itu pula diwajibkan oleh orang Islam untuk memikirkan nasibnya kawankawan Islam yang lain yang sebagai di dalam Kongres Kebatinan saya katakan: ingat kepada ajaran fardhu kifayah di dalam Islam. Ajaran fardhu kifayah di dalam Islam tak lain tak bukan ialah realisasi daripada dasar peri-kemanusiaan.

Saudara-saudara, dus kita di dalam Pancasila dengan tegas mengadakan sila Perikemanusiaan ini dan bolehlah kita bangga bahwa sila Perikemanusiaan ini tidak kita lupakan. Bahwa kita cantumkan sila Perikemanusiaan ini dengan cara yang indah sekali di dalam Pancasila dan dengan cara yang indah sekali di dalam lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika. Nasionalisme yang tidak dihikmati pula oleh Perikemanusiaan mengekses menjadi chauvinisme, mcngekses menjadi rasialisme.

Hitler membuat ia punya nasionalisme, nasionalisme yang tidak berperikemanusiaan. Ia punya nasionalisme adalah nasionalisme chauvinis. Dia berkata hanya manusia-manusia turunan Aria-lah manusia sejati, hanya manusia-manusia yang kulitnya putih, rambutnya merah-kuning jagung, matanya biru, hanya manusia yang tegas daripada turunan ini, turunan Nordisch, dari Utara, hanya manusia-manusia itulah manusia yang sejati. Yang tidak daripada turunan Nordisch ini, yang tidak daripada turunan Aria ini, yang tidak rambutnya jagung, matanya biru, bukan manusia sejati. Bahkan manusia yang demikian itu harus dimusnahkan dari muka bumi. Hitler berdiri di atas dasar rasialisme, het nordisch ras, het Arische ras, itu dikatakan ras yang sejati, yang baik; lain-lain ras adalah ras yang rendah derajatnya. Ia membuat ia punya nasionalisme, nasionalisme yang membenci kepada bangsa lain. Ia membuat ia punya nasionalisme, nasionalisme yang gila. Ia membuat ia punya nasionalisme menjadi nasionalisme yang membunuh bangsa Yahudi.

Semua orang Yahudi di negara Hitler dibinasakan, dimasukkan dalam konsentrasi-kamp, dibunuh dengan drelnya mitraliyur atau dibunuh lebih cepat lagi di dalam kamar gas. Bukan seribu, dua ribu, tiga ribu, bukan sepuluh ribu, bukan seratus ribu, satu setengah juta orang Yahudi dibunuh oleh karena rasa rasialisme ini. Dan Hitler bukan saja benci kepada orang Yahudi yang tidak rambutnya jagung, yang tidak matanya biru, yang tidak daripada asal Nordisch. Hitler j uga benci kepada orang Asia. Baca ia punya kitab Mein Kampf. Apa ia sebutkan Tiongkok? Chinese koeli! Ia berkata apakah kita ini turunan orang Nordisch, turunan orang Aria, sama dengan Chinese vuile koeli? Nah, Saudara-saudara, nasionalisme yang demikian ini adalah nasionalisme yang jahat, dan kita Indonesia tidak mau nasionalisme yang demikian. Meskipun kita berpendirian bahwa kebangsaan adalah satu sila yang essensiil untuk membuat bangsa kita ini kuat dan negara kita ini kuat dan untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur nanti, kita tidak menghendaki supaya nasionalisme kita menjadi nasionalisme yang chauvinis, tapi nasionalisme yang hidup di dalam suasana perikemanusiaan, nasionalisme yang mencari usaha agar segala umat manusia ini akhirnya nanti hidup dalam satu keluarga besar yang sama bahagianya.

Sekian, Saudara-saudara, saya kira sudah cukup kursus saya pada malam ini. lnsya'Allah lain kali kursus mengenai sila Kedaulatan Rakyat.