Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIO KULTURAL FRANS KAISIEPO

2.1 Letak dan Keadaan Geografis

 Frans Kaisiepo berasal dari suku bangsa Biak Numfor. Masyarakat Biak Numfor adalah salah satu kelompok penduduk Irian Jaya yang mendiami Daerah Tingkat II Teluk Cenderawasih. Wilayahnya meliputi gugusan pulau-pulau yang terletak di bagian utara Teluk Cenderawasih, dan gugusan ini dinamai Kepulauan Biak. Secara astronomis gugusan kepulauan ini terletak antara 134" 47' sampai 136' 25' Bujur Timur dan 0° 35' sampai 1° 20' Lintang Selatan.

 Kepulauan Biak terdiri dari tiga pualau besar, masing-masing adalah pulau Biak yang luasnya 1795,75 km, pulau Supiori luasnya 471,75 km dan pulau Numfor luasnya 322,50 km². Selain dari ketiga pulau tersebut di atas, terdapat pula gugusan pulau kecil, seperti pulau-pulau Padaido yang terletak di sebelah Tenggara pulau Biak, pulau Insumbabi dan pulau Rani terletak di sebelah Selatan Supiori, pulau Meosbofondi, pulau Ayau dan pulau Mapia terletak di schelah Barat Laut Supiori. Pulau Biak dan pulau Supiori dipisahkan oleh Selat Sorendori dan selat ini merupakan terusan buatan, yang menerobos hutan bakau sepanjang 8 km. Lebar terusan itu kira-kira 10 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter dan hanya dapat dilayari dengan perahu. Sedangkan pulau Supiori dan Numfor dipisahkan oleh Selal Aruri dengan jarak terdekatnya 113 km (67 mil). 8

 Secara keseluruhan wilayah ini dikelilingi oleh lautan, pada hagian sebelah Selatannya herbatasan dengan pulau Yapen (Soren Arwa), schelah utara dan timur berbalasan dengan Samudera Pasilik (Soren Karwar) dan sebelah barat dengan Sclat Woniai.

 Pulau Biak sebagian besar terdiri dari tanan karang kapur sekitar 70%, sedangkan daerah subur yang memungkinkan untuk arcal pertanian yang baik hanya sekitar 30%. Daerah pantai umumnya berdinding karang yang terjal dan membentuk garis pantai yang curam dengan ketinggiannya rata-rata 40 m di atas permukaan laut.Daerah daerah sekitar pantai ini pada umumnya tidak subur, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai areal pertanian. Di beberapa daerah di bagian pedalaman terdapat areal dataran tinggi yang relatif subur, misalnya di Adibai yang terletak di wilayah Biak Timur, wirmaker, Womdisau, dan Yomdori di bagian (Biak Barat), Sarwom. Soor, Arwam dan Warsa di bagian Utara. Ketinggiannya rata-rata 70 sampai 150 m di atas permukaan laut .

 Daerah-daerah tersebut merupakan daerah Literland dan dewasa ini Sedang diusahakan untuk dapat mendukung kebutuhan ekonomi daerah perkotaan. Kesuburan daerah-daerah tersebut ditentukan oleh jenis batuan induk tanahnya di samping curah hujan yang cukup tinggi dan banyaknya sungai-sungai di daerah tersebut. Jenis hutannya adalah hutan primer (70%) dan hutan sekunder (30%).

 Kepulauan Biak dipengaruhi oleh iklim tropis. Beberapa data dari Badan Meteorologi Biak menunjukkan bahwa jumlah curah hujan rata rata per bulan 237 milimeter. Sedangkan suhu rata-rata per bulan pada permukaan laut adalah 1009,5 millibars dengan kelembaban udara rata-rata per bulan 83% RH (Relative Humidity).

 Hutan di daerah Kepulauan Biak termasuk tipe hutan tropis basah dengan komposisiyang amat heterogen. Hutan di daerah ini terbagi atas dua bagian yaitu hutan pantai dan hutan gunung. Hutan pantai terdiri dari beberapa jenis tumbuhan bakau, sedangkan hutan gunung ditumbuhi oleh beberapa jenis pohon.

9

2.2 Sistem Kemasyarakatan

Dari- ciri-ciri fisiknya menunjukkan bahwa suku bangsa Biak adalah suku bangsa campuran . Beberapa ahli antropologi mengemukakan pendapatnya, bahwa di Teluk Sairera pada mulanya didiami oleh bangsa atau suku bangsa dengan ciri -ciri Weddoid , seperti orang Wedda di Ceylon, orang Sakai di Malaya dan orang Toula di Sulawesi Selatan . Selain itu ada yang berpendapat bahwa orang Biak lebih menampakkan ciri-ciri ras Meianesia dan penduduk pribumi Irian . Bahkan ada yang mengatakan bahwa orang Biak merupakan campuran pengaruh Indonesia dan Micronesia .

Mobilitas penduduk Biak merupakan yang relatif paling tinggi di Irian Jaya. Di pantai utara Irian Java mulai dari pulau-pulau Kumamba, Mamberamo, Hulu Teluk Cenderawasih (Sairera), Karundu, Yapen Utara, pantai utara Kepala Burung sampai ke pulau-pulau Raja Ampat di sebelah terdapat pemukiman-pemukiman orang Biak. Penyebaran ini sudah dimulai berabad-abad yang lalu bahkan masih terus berlangsung hingga sekarang . Di samping pemukiman - pemukiman tetap, di kota-kota Kabupaten di Irian Jaya terdapat orang Biak yang bekerja sebagai pegawai negeri, swasta. muliter, guru , injil, guru sekolah, nelayan, petani, buruh dan sebagainya. Emigrasi ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain karena percecokkan keluarga dalam kampung, usaha mencari lokasi atau tempat pemukiman yang baru, aman, subur serta kegiatan mencari pekerjaan di kota- kota.

Sistem kekerabatan orang Biak mengikuti pola patrilineal dengan tiga kelompok kekerabatan yaitu "sim" (keluarga Inti) , "rum" (keluarga luas) dan "keret" (klen kecil). Dahulu suatu keluarga luas biasanya menempati sebuah rumah besar (rum) yang disebut " Aberdado" . Rumah tradisional ini dibagi -bagi dalam bilik atau kamar (sim) yang ditempati oleh keluarga inti . Oleh karena itu keluarga inti disebut "sim". Jika dilihat dari jumlah istri dalam sebuah sim, maka kelompok kekerabatan ini ada dua bentuk yaitu “ Sim Inbesefek“ (keluarga batih) dan "Sim Imbekva" (keluarga poligini). Rum atau keluarga luas adalah gabungan virilokal dari Sim atau keluarga inti, Sedangkan Keret atau klon kecil adalah gabungan patrilincal dari Rum 10

atau keluarga luas. Lokasi tempat tinggal Keret dalam kampung herbentuk compound keret Kampung-kampung di Biak pada umumnya didiami oleh lebih dari 1 keret (klen kecil). Kampung-kampung terkecil kadangkala didiami oleh 1 atau 2 keret saja. Bahkan keret-keret itu bisa terdiri dari hanya 1 atau 2 keret saja. Bagi kampung-kampung berukuran sedang terdapat 5 sampai 7 keret. Sedangkan kampung-kampung besar didiami oleh 10 sampai 16 keret. Kampung -kampung di Biak umumnya tersebar di sepanjang pantai,hal ini disebabkan hubungan antar pulau di mana dahulu penduduk mempunyai kepentingan dagang dengan suku -suku lain yang tersebar di Teluk Sairera (Teluk Cenderawasih).

2.3 Masa Kecil Sampai Masa Remaja

 Kehidupan masa kecil Frans Kaisiepo tidak banyak yang dapat diungkapkan, kecuali bahwa Frans Kaisiepo dilahirkan di sebuah desa yang terletak di tepi sebuah sungai dengan latar belakang tebing yang curam, pada sebuah dataran yang subur bernama kampung Wardo dalam wilayah Kecamatan Biak Barat, Kabupaten Teluk Cenderawasih. Frans Kaisiepo dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1921 dalam urutan kelahiran ia adalah anak tertua dari enam bersaudara vang lahir dari pasangan Albert Kaisiepo dengan Alberthina Maker. Saudara-saudaranya yaitu Bertha Kaisiepo. Dorothea Kaisiepo, Cornelia Kaisiepo, Daniel Kaisiepo, dan Willem Kaisiepo.

 Albert Avah Frans Kaisiepo adalah Kepala Suku mempunyai keahlian sebagai pandai besi, terutama dalam peralatan kehidupan rumah tangga dan juga alat senjata. Dengan kedudukan sebagai Kepala Suku, ia sangat dihormati oleh para pengikutnya. Sehubungan dengan itulah maka ia mendapat kepercayaan untuk mengepalai atau memimpin pasukan dari Kampung Wardo apabila terjadi Perang Suku dengan lainnya . Hal demikian ini sudah menjadi tradisi suku bangsa di Irian, khususnya suku bangsa Biak Nunfor bahwa Kepala Suku merupakan Panglima Perang , yang dalam bahasa Biak disebut "Mambre” (orang yang berani, patriot, dan Ksatria) yang membela orang lemah dan menjaga kehormatan desanya beserta warganya jikalau kedaulatannya diinjak -injak oleh suku bangsa lain.


1) August Katiar, MA., Arsitektur Tradisional Daerah Irian Jaya. Proyek IDKD. Depdikbud. Jakarta, 1986, hal 12-12.

11

 Frans Kaisiepo sebagai suku bangsa Biak Numfor telah banyak merasakan kegetiran hidup, karena sewaktu ia masih kecil, kira-kira berumur antara 1 sampai 2 tahun, ibunya meninggal dunia. Kemudian oleh ayahnya, Kaisiepo dititipkan agar diasuh oleh tantenya ( adik dari ayah Frans Kaisiepo) yang bertempat tinggal di Numfor. Pada masa-masa ini Frans Kaisiepo tumbuh dan besar di bawah asuhan tantenya. Ia telah memanfaatkan waktu-waktunya untuk bermain dan bergaul dengan teman-teman sebayanya dan bercengkerama akrab dengan alam sekitarnya serta masyarakatnya, Sungai yang mengalir dan membentang yang memisahkan rumah tempat tinggal dengan lokasi sekolahnya telah menjadi arena tempat bermain-main dan bersenang-senang untuk menghabiskan waktunya bersama teman sebayanya

 Kepemimpinan Frans Kaisiepo sejak masih kecil telah nampak. Di dalam setiap permainan yang dilakukan dengan anak sebayanya, Frans Kaisiepo selalu tampil untuk mengepalai teman-temannya. bahkan apabila ada perselisihan di kalangan mereka dengan kelompok lainnya umpamanya, ia maju sebagai pimpinan untuk melawan anak-anak dari kampung lainnya.

 Sejalan dengan pertumbuhan fisik, kepribadian Frans Kaisiepo juga berjalan semakin matang dan sesuai dengan pergantian hari, bulan, dan tahun tanpa terasa ia telah tumbuh menjadi seorang anak dewasa. Kedewasaan tersebut selain ditentukan oleh faktor lingkungan budaya dan sosial ekonominya, juga ditentukan oleh faktor pendidikan informal dan formal yang telah ditekuninya selama ini seperti pengalaman hidup dalam keluarga, dalam hal ini tantenya dan ajaran agama Kristen Protestan yang diterimanya telah menjadikan Frans Kaisiepo menjadi seorang anak yang semakin dewasa dan mengerti akan arti serta makna kehidupan yang sebenarnya. Melengkapi sifat positif yang telah dimiliki oleh Frans Kaisiepo adalah ditunjang oleh cepatnya ia beradaptasi dengan alam lingkungannya. Hal ini telah menyebabkan banyak orang cepat menyenangi kepribadiannya. Begitu juga jiwa kepemimpinan Frans Kaisiepo terus lumbuh sebagai tunas di dalam lingkungan keluarga dan lunas tersebut terus mekar mengikuti arus zaman.2


2) Wawancara dengan Bapak Ds David Prawar, tanggal 19 februari 1986 di Mess Cendrawasih, Jalin K H. Mas Mansyur 63 Jakarta Pusat; Wirwancara dengan ibu Maria Magdalena Moorwahyudi, tinggal 1 April 1995 di Jalan Setasiun Batutulis, Bogor