Nakoda Tenggang/Bab 8

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

8.BERTAMASA


SUATU hari berkatalah istri Nakoda Tenggang Puspa Sari kepada suaminya, ’’Kakanda! Sudah sekian lamanya Kanda mengarungi lautan dengan kapal kita. Tentu sudah banyak negeri-negeri yang Kanda lihat dalam peijalanan itu. Tetapi alangkah inginnya dinda hendak ikut barang sekali pergi berlayar. Dinda juga hasrat hendak melihat tamasa-tamasa di negeri orang. Menyesal rasanya mati jika niat ini tak kesampaian

Nakoda Tenggang berpikir sejurus. Istrinya dalam hamil. Repot nanti jika ia sampai melahirkan di tengah laut. Tenggang menjawab, ’’Tetapi bagaimana dengan istri Kanda yang seorang lagi?”

’’Jika ia mau ikutbawalah ia bersama-sama.Apakah salahnya Ratna Lela kanda bawa serta juga. Tentu peijalanan kita akan semakin meriah ”

Nakoda Tenggang menyampaikan rencana itu kepada istrinya kedua Putri Ratna Lela. Ternyata sambutan putri itu bukan main hebatnya. Sepuluh kali dari Puspa Sari. Raja pun memberikan izinnya pula. Lalu tetaplah rencana pelayaran bertamasa itu. Nakoda Tenggang merobah sebuah kapalnya dengan kapal yang serba istimewa. Dalam kapal itu dibuat dua buah kamar yang amat indah. Lengkap dengan perabot yang indah-indah dan mahal. Tak ubahnya seperti kamar dalam istana raja. Itulah kamar kedua istrinya. Selain itu disediakan pula bilik inang pengasuh kedua istrinya. Pendeknya kapal itu sudah dirombak sehingga menjelma menjadi sebuah istana terapung di atas lautan.

Ketika hari berlayar sudah datang sibuklah orang berkemas karena kedua istri Nakoda Tenggang akan pergi berlayar. Baik dalam istana atau gedung Puspa Sari kesibukan bukan main. Dan pada hari yang ditentukan bukan kepalang ramainya orang mengantarkan ke pelabuhan. Maklum putri raja yang akan berlayar. Dan Nakoda Tenggang manusia temama di kota itu karena kekayaannya.

Dukun pun dibawa serta sebab Puspa Sari sudah hamil beberapa bulan. Kedua istri Nakoda Tenggang kelihatannya berbaik-baik saja. Tak ubahnya sebagai dua orang bersaudara saja. Tetapi dalam hati siapa tahu. Sebagai kata pantun:

Cupak di dalam perbesaran,

ambil air dengan perahu,

Di muka tidak ada berkesan,

dalam hati siapa yang tahu ....

Saudagar Biram dan raja Labuhan Puri ikut mengantarkan ke pelabuhan. Mereka mendoakan semoga mereka selamat saja dalam pelayaran dan selamat pula kembali pulang. Jangkar pirn diangkat dan Elang Segara meluncurkan ke tengah samudera ....

Bukan main gembira rianya seisi kapal itu. Setiap hari mereka berpesta-pesta, menari dan menyanyi. Sehingga kedua istri Nakoda Tenggang amatlah bersukacita. Kesukacitaan ini memuncak ketika mereka sampai di sebuah negeri. Mereka naik ke darat, melihatlihat tamasa di negeri orang itu. Sangatlah taajubnya kedua istri Nakoda Tenggang. Selain melihat-lihat mereka dapat pula membelibeli barang yang aneh-aneh yang belum pemah dilihatnya. Antara keduanya Ratna Lelalah yang paling serakah. Apa saja yang tampak ingin hendak dibelinya. Dan Nakoda Tenggang senantiasa mengabulkan permintaan istri-istri yang dikasihinya itu.

Demikianlah Elang Segara terus berlayar. Dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Dari sebuah negeri ke negeri lainnya pula. Sungguh, peijalanan tamasa dari seorang saudagar kaya raya yang tak ada taranya. Dan selalu di setiap negeri itu Nakoda Tenggang disambut oleh pembesar yang memang sudah dikenalnya. Apalagi ia datang dengan istrinya. Penyambutan terhadap Tenggang lebih dari seorang raja. Pesta pun diadakan untuk menghormati kedua istri Nakoda Tenggang.

Selama pelayaran itu cuaca sclalu baik. Elang Segara meluncur bagai anak panah lepas dari busur. Tetapi setelah beberapa lamanya berlayar peijalanan mereka terganggu juga. Hari itu udara agak buruk. Awan mendung hitam lebam tergantung di langit. Udara panas menyesakkan. Angin pun mulai bertiup, semakin lama semakin kencang. Kini sudah berubah menjadi badai yang tak tanggung-tanggung kencangnya. Elang Segara teroleng-oleng, terayun-ayun di puncak-puncak ombak yang setinggi-tinggi rumah. Semua penumpang yang biasanya bersuka ria itu kini rebah terbaring dan terdengar suara di setiap sudut. Tetapi bukan suara nyanyian melainkan suara orang muntah-muntah. Segala perut dikocok dan menyemburkan isinya keluar. Hanya anak kapal dan Nakoda Tenggang yang tak apa-apa. Sebab mereka biasa dengan kejadian serupa itu.

Segala anak kapal berusaha sekuat tenaganya melepaskan Elang Segara dari amukan badai yang dahsyat itu. Tetapi lautan semakin menggila. Elang Segara dijadikannya ibarat sekeping sabut diempas-empaskannya kian ke mari. Nakoda Tenggang berusaha mencari jalan ke luar dari keadaan yang berbahaya itu. Petir dan kilat pun sabung menyabung menambah kehebatan alam yang sedang mengamuk itu. Nakoda Tenggang memerintahkan juru mudi mengarahkan haluan menuju ke daratan. Dan dengan pertolongan Allah kelihatanlah muara sebuah sungai. Kapal Elang Segara memasuki muara sungai itu melindungkan diri dari lautan yang semakin menggila sejadi jadinya. Kalau terlambat pastilah Elang Segara sudah dibalikkannya dan dikirimnya ke dasar samudera. Tetapi Tuhan masih melindungi kapal itu cepat memasuki muara sungai itu dan berlabuh di tengah sungai. Kini sudah bebas dari amukan badai yang amat dahsyat itu. Nakoda Tenggang dapat bemafas lega dan kedua istrinya sudah merasa tentram pula hatinya.

Hari pun malam sudah!