Nakoda Tenggang/Bab 9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Nakoda Tenggang
Di Mana Kita Sekarang

9. DI MANA KITA SEKARANG?


HAMPIR dinihari barulah badai berhenti menggila. Lautan pun sudah berkurang kemurkaannya, berangsur-angsur menjadi tenang kembali. Tetapi nakoda Tenggang memerintahkan kepada anak buahnya supaya berhenti dahulu di tempat itu. Barangkali ada kerusakan kapal, atau istrinya akan beristirahat dulu sesudah mengalami saat-saat ketakutan yang hebat itu.

Setelah pagi hari barulah kelihatan di mana mereka berlabuh. Rupanya kapal Elang Segara berlabuh di sebuah sungai yang tak begitu besar. Di tepinya penuh dengan pohon rumbia melambai-lambai. Seolah-olah mengatakan kepada kapal Elang Segara, ’’Selamat datang....’’

Pohon pulai pun menjulang ke udara, pucuknya meliuk-liuk seakan-akan berkata, ’’Ingatlah, ... ingatlah kami!”

Nakoda Tenggang berdiri di tepi pagar geladak. Ia sedang memperhatikan alam sekitar itu. Ah, kenapa tempat itu sebagai sudah dikenalnya? Di manakah mereka sekarang? Di tepi sungai kelihatan sebuah perahu lading tertambat di rumpun pokok rumbia. Perahu itu bagai tak pemah dipergunakan. Tertambat menanti lapuknya di sana. Bentuk perahu itu pun rasanya dikenalnya. Wahai, di mana mereka sekarang?

Hari semakin pagi juga. Beberapa orang penduduk sekitar itu mulai kelihatan. Mereka melihat ke kapal Elang Segara dengan diam diam dan sembunyi-sembunyi.

Sebuah perahu lading datang dari hulu. Dalam perahu itu ada tiga orang laki-laki. Pakaian mereka amat sederhana, hanya bercawat saja. Masing-masing memegang sumpitan. Dalam perahu itu ada juga alatalat penangkap ikan. Dekat kapal Elang Segara mereka berhenti berkayuh. Agaknya mereka terheran-heran melihat kapal besar yang indah itu. Mulutnya menganga keheranan.

Nakoda Tenggang memperhatikan ketiga orang dalam perahu itu. Hai, mereka pun bagai sudah dikenalnya. Darah Tenggang berdebar-debar. Tempat itu memang dikenalnya dengan baik. Itulah daerah perkampungannya. Rupanya Tuhan membelokkan kapalnya ke tempat itu, kembali ke kampung halamannya.

’’Ahoooiii, ....” teriak Nakoda Tenggang sambil membulatkan telapak tangannya di mulutnya berbentuk terompet. ”Kau kah itu Keledek? Kau Akoi? Dan ... kau Sirih?”

Ketiganya semakin tercengang-cengang. Mengapa nakoda kapal besar itu mengenal mereka dan meneriakkan namanya? Lama mereka tertegun. Tetapi akhirnya dengan tak berkata apa-apa ketiganya memutar haluannya kembali memudiki sungai. Mereka berdayung sekuat-kuatnya. Seluruh tubuhnya bersimbah peluh. Ketiganya kembali ke kampung. Seisi kampung merasa heran melihat tingkah Keledek, Akoi dan si Sirih.

Batin Embeh Tembaga muncul dengan senjatanya.

’’Ada apa kalian seperti diburu setan?” Ketiganya belum dapat bicara, melepaskan sesak nafasnya.

Memang kampung itu ialah kampung si Tenggang. Batin Hitam sudah lama meninggal. Ia digantikan oleh anaknya menjadi batin.

Si Sirihlah yang mula-mula bercakap, ’’Batin, ... Batin! Si Tenggang sudah pulang?”

Apa? tanya Batin Embeh Tembaga dengan melototkan matanya. ”Si Tenggang sudah pulang?”

’’Ya ia sudah kembali. Tetapi ia datang dengan sebuah kapal yang amat besaaaar, ... dan amat baguuuuus ...! Dan ia sendiri bukan main gagahnya, agaknya dialah nakoda kapal itu atau ia juga pemiliknya ....”

Dan hebohlah sekampung Sakai itu. Si Bulan turun pula dari rannya sambil menggendong anaknya yang sedang erat menyusu. Semua penduduk kampung menjadi heboh. Mak Demma dan Pak Talang rupanya masih hidup. Ketika didengarnya bahwa anaknya si Tenggang sudah pulang tak terkatakan besar hatinya. Hampir saja mereka terjatuh tunggang langgang dari rannya. Pak Talang dan Mak Deruma sudah bertambah tua juga. Kulitnya sudah keriput, matanya sudah cekung, badannya bertambah kurus. Apalagi mereka senantiasa meratapi kehilangan anaknya, si Tenggang!

’’Apakah kamu melihat istrinya?” tanya Mak Deruma

’’Istrinya belum kami lihat, tetapi mungkin ada dalam kapalnya.”

Beberapa orang segera berlari-lari sepanjang tepi sungai akan melakukan pengintipan pula. Ketika itu Nakoda Tenggang dengan kedua istrinya yang cantik jelita sedang berdiri di geladak melihat-lihat tamasa alam yang indah sekitar tempat itu.

Keraguan-raguarn penduduk kampung Sakai itu menjadi hilang setelah beberapa orang melihat Nakoda Tenggang.

”Tak salah si Tenggang,” teriak mereka. ’’Kami belum akan lupa kepadanya walau bagaimana juga pakaiannya. Tetapi sudah amat gagah dia sekarang.”

Sebuah peristiwa besar sudah datang ke tengah-tengah masyarakat Sakai itu. Mak Deruma dan Pak Talang segera diberitahu pula.

” Mak Deruma , ... Pak Talang, tak salah lagi. Si Tengganglah yang sudah pulang. Tetapi kapalnya aduuuh, besar dan bagus. Dan istrinya cantik seperti putri seorang raja ...”

Dada kedua orang tua itu bagai hendak meledak karena gembiranya. Sampai juga hasrat mereka berjumpa kembali dengan anak yang disayang dan dikasihinya. Bila sudah bertemu relalah mereka mati.

Mak Deruma dan Pak Talang buru-buru bersiap akan menyambut kedatangan anaknya. Kebetulan mereka masih ada mempunyai persediaan ubi, talas, pisang, mempelam, dan lain-lain. Dan seekor ... lutung! (sejenis kera). Lutung itu segera disembelih lalu dibakar. Makanan itu ialah makanan kesenangan si Tenggang dahulu.

Setelah siap naiklah keduanya ke atas sebuah perahu dan berkayuh ke hilir akan menjumpai anaknya, si Tenggang, ... buah hati, anak tunggalnya yang sudah lama menghilang....
”Mak Deruma, ...” Pak Talang, tak salah lagi. Si Tenggang sudah pulang.