Nakoda Tenggang/Bab 10
10. SUMPAH IBU
DALAM dada Nakoda Tenggang terjadi peperangan hebat. Dengan kodrat Tuhan ia sudah sampai kembali ke kampung halamannya. Beberapa orang teman-temannya sudah dilihatnya. Kalau kedua istrinya mengetahui bahwa ia berasal dari makhluk seperti itu pula apakah akan katanya? Duh, ngeri Nakoda Tenggang memikirkan dan membayangkan bagaimana cemooh dan sindiran kedua istrinya bila rahasia itu diketahuinya. Bahwa ia: Nakoda Tenggang, saudagar yang tak terkatakan kayanya di Labuhan Puri asalnya tak lebih tak kurang ialah bangsa orang hutan. Di bawah sedikit dari monyet. Betapa malunya mereka nanti. Lebih-lebih Putri Ratna Lela. Putri seorang raja sedang suaminya tak lebih orang Sakai! Orang biadap yang masih makan kera panggang. Lama Nakoda Tenggang bimbang dan terkimbang-kimbang. Maka tak ada jalan lain yang selamat ialah berangkat lekaslekasnya meninggalkan sungai itu. Kedua orang tuanya takkan pemah ditemuinya lagi. Mereka pasti sudah meninggal.
Tetapi dengan mendadak saja Puspa Sari bangkit sakitnya. Barangkali sudah cukup bulannya akan melahirkan. Daripada melahirkan di tengah laut diombang-ambingkan ombak sebaiknyalah melahirkan ketika berlabuh ini. Pendapat Puspa Sari demikian juga. Tak jadi Nakoda memerintahkan berlayar. Ia harus menunggui istrinya yang sudah sakit akan melahirkan itu. Memang sudah begitu rupanya kehendak Tuhan.
Untung juga ia kini berkurung saja dalam bilik istrinya yang sudah ditunggu bidan. Tetapi tiba-tiba datanglah seorang penjaga memberi tahu Nakoda Tenggang bahwa ada dua orang tua hendak berjumpa dengan dia. Darah Tenggang bagai terhenti mengalir. Nafasnya sesak. "Dua orang tua?" tanya nakoda dengan suara guntur.
"Ya, dua orang tua, Tuan Nakoda"
"Bagaimana rupanya?"
"Ah, menakutkan sekali Tuan Nakoda. Belum pemah seumur hidup saya melihat manusia seperti itu. Semua giginya sudah ompong, kulitnya sudah keriput, berkerut-kerut, matanya cekung. Tak ubahnya dengan hantu. Sengsara sekali kelihatannya."
Debaran darah Nakoda semakin berguncang. Tak pelak lagi kedua mereka pastilah kedua orang tuanya. Masih hidup rupanya mereka. Dan akan dinyatakanlah kepada kedua istrinya yang sebagai bidadari bahwa kedua orang tua seperti hantu kubur itu adalah bapak dan ibunya? Memalukan sekali! Tetapi hatinya bagai disayat-sayat. Peperangan batin bergejolak dalam dadanya. Sedikit masih ada keinginan untuk mengakui ibu dan bapaknya.
"Apa kata mereka?" tanya Nakoda Tenggang lagi. "Kami tak mengerti bahasanya, Tuan Nakoda. Tetapi ia menyebut-nyebut nama Tenggang dan menerangkan namanya. Katanya namanya Talang dan Deruma ...."
Creeeet, ... petir menyambar kepala Nakoda Tenggang. Memang orang tuanya. Nakoda Tenggang menatap wajah istrinya, Puspa Sari. Istrinya sudah maklum apa yang terjadi.
"Pergilah awak lihat kedua orang tua itu," ujar istrinya.
”Saya sudah mengerti. Jika benar orang tua awak apa salahnya. Seburuk-buruknya akan orang tua awak juga. Bawalah beliau kemari dan ladenilah kedua mereka sebaik-baiknya!”
Itu kata Puspa Sari, istrinya yang bijaksana. Dan bagaimana pula pendapat istrinya yang kedua, putri raja yang secantik bidadari itu? Akhirnya si Tenggang naik juga ke geladak. Dari jauh dilihatnya beberapa orang kelasi sedang mengerumuni dua orang tua buruk yang lebih buruk dari beruk. Ketika Nakoda datang semua mereka menyingkir. Perempuan tua itu menengadah melihat laki-laki gagah yang baru datang itu. Pakaiannya gemerlapan dari sutra, destarnya berkilat kilau karena butirya permata yang menghiasinya. Tak salah lagi! Tenggang mengenali kedua orang tua itu sekalipun mereka sudah jauh bertambah tua. Dengan gaya seorang raja, bertekuk pinggang dengan sorotan mata yang tajam ia berdiri tak berapa jauh dari kedua orang tua itu.
Yang wanita pipinya sudah kempot satu pun tak ada giginya lagi. Demikian pula yang laki-laki. Bentuknya tak ubahnya hantu yang dapat menakutkan anak-anak kecil.
Baru saja ia menampak Nakoda Tenggang datang, beringsutlah mereka ke muka dan berkata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh awak kapal, "Wahai, ... tak salah lagi. Pulang juga kau Tenggang. Sudah bertahun-tahun kami menanti pulangmu, dan sekaranglah baru permohonan kami itu terkabul. Sudah kaya kamu sekarang Tenggang. Tetapi kami tidaklah mengharapkan kekayaanmu. Kami hanya ingin mendengar dari mulutmu kau memanggil ibu ...."
Perkataannya tersekat di kerongkongannya. Dirabanya bungkusan kotor yang dibawanya dan dibukanya, yang berisi daging seekor monyet utuh yang baru dibakar. Dan beberapa biji pisang, ubi dibakar.
"Ini ada kami bawakan makanan kesenanganmu dahulu, Tenggang!"
Tenggang seakan-akan tak percaya dengan penglihatannya. Dalam pada itu istrinya Ratna Lela keluar dan berdiri di samping suaminya. Angkuh tetapi cantik, cantik tetapi angkuh! Sambil bertelekan pinggang bertanyalah ia, "Siapakah monyet-monyet ini, Kanda?"
"Inilah suku Sakai, Dinda," jawab Nakoda Tenggang. "Kata mereka kanda anaknya ...."
"Apa?" mata Ratna Lela melotot sebesar jengkol. "Kanda turunan suku Sakai? Bangsa pemakan kera? Huuuh, ...." katanya mencibir, sehingga bibirnya terulur beberapa jari panjangnya.
Nampak sekali kebenciannya. Ia pun merentak pergi meninggalkan suaminya.
"Lela ...!"
”Cis, ... Sakai busuk!”
Mak Deruma dan Pak Talang mengerti sedikit-dikit apa yang dibicarakan mereka. Waah, alangkah cantik menantunya. Tetapi rupanya hatinya busuk lebih busuk dari kotoran. Tak terperikan gusar dan marah Nakoda Tenggang. Ia merasa diberi malu dan dihinakan di muka istri dan anak kapalnya. Derajatnya meluncur sampai rendah sekali, tak berharga sepeser pun.
Dengan bengis disepakkannya panggang lutung itu sambil berteriak, "Cih, perempuan tua sial, kau sangka aku doyan makan monyet?" sedang daging monyet itu sudah terbang entah ke mana. Darah Mak Deruma berubah juga, hatinya menjadi panas.
"Kalau kau sudah beradab anakku, makanlah pisang bawaan ibumu ini. Dan akuilah bahwa kami orang tuamu."
Ratna Lela masuk ke dalam bilik Puspa Sari.
"Ada kejadian ajaib, Sari,” katanya. "Ada dua orang tua Sakai ke kapal. Mereka mengatakan bahwa suami kita Nakoda Tenggang anaknya...”
"Apatah salahnya, Lela! Biar dia turunan Sakai atau turunan bangsa apa sekalipun tetapi dia sekarang sudah bukan biadab lagi. Malahan semakin tinggi dia dalam pandangan mata kita. Dari suku Sakai dia sanggup menaikkan darajat dirinya sampai setinggi itu. Sudah sewajarnya suami kita akan memimpin bangsanya yang masih terkebelakang itu. Saya akan kecil hati kalau Kanda Tenggang tak mengakui mereka adalah orang tuanya ...."
"Tapi saya tidak! Masakan saya putri raja akan bersuamikan keturunan Sakai yang masih suka makan daging monyet ... cih ... cih ....” ia menyembur-nyemburkan ludahnya dengan jijiknya. Lalu keluar dan kamarnya itu dengan marahnya. Di geladak adegan-adegan bertambah hebat dan seram. Nakoda Tenggang dengan menuding mengusir kedua orang tua buruk itu. Karena mereka masih enggan turun Tenggang menolakkan dengan kakinya sehingga perempuan tua lemah itu terguling guling di lantai. ”Nyah kalian, monyet-monyet ...!" teriaknya.
"Tenggang .... Tenggaaaaang ...!
Nakoda Tenggang sudah siap akan menerjang orang tua itu, ketika Puspa Sari dengan tertatih-tatih dibimbing orang ke geladak.
”0, anakku Tenggang, rupanya kamu tak sudi mengakui lagi kami orang tua buruk ini sebagai ayah dan ibumu. Kamu sudah mendurhaka, Tenggang! Moga-moga Tuhan akan membalas kejahatanmu, Tenggang!”
Dengan tertatih-tatih dan letih lesu Mak Deruma dipapah lakinya turun kembali ke perahu.
"Kanda,” jerit Puspa Sari. "Jangan berbuat sekejam itu Kanda. Jika memang mereka orang tua Kanda, akuilah. Mohonlah ampun kepada beliau ... jangan mendurhaka, Kanda!”
Tetapi wajah Tenggang sudah sebagai udang dibakar karena marahnya. Seluruh badannya gemetar.
"Jangan biarkan mereka pergi, Kanda! Kasihan, sekalipun bukan orang tua Kanda tak Patut Kanda berbuat sekejam itu ...!”
Nakoda Tenggang terdiam seketika. Ada pancaran kilat menyambar dalam hulu hatinya. Jantungnya bagai diiris-iris. Tiba-tiba Tenggang melambaikan tangannya dan berlutut di tepi pagar geladak. Ia berseru, ’’Ibuuuuu ... buuuu. Tenggang menyesal, Bu! ampuni Tenggang, ... Buu! Ampuni Tenggang Buuu ...!” ia akan menyusul kedua orang tuanya yang sudah tiba dalam perahunya dan berkayuh ke daratan. Nakoda Tenggang berlutut dan menyeru-nyeru ibunya, ibu yang tak diakuinya lagi, ibu yang sudah melahirkannya ke atas dunia ini. Mak Deruma mendengar imbauan anaknya. Ia menoleh ke belakang. Ia mendengar seruan anaknya. Ia merasa bimbang. Tetapi semuanya sudah terlambat.
Pada saat itu terdengar bahana yang amat dahsyat turun dari langit. Awan hitam tebal berkumpul di udara. Angin puting beliung yang sangat kencangnya turun dari atas dan mula-mula berputar-putar di atas air sungai. Air sungai itu merupakan pesongan raksasa yang sangat menakutkan, dan putarannya semakin kencang dan ... tibalah gilirannya di atas kapal Elang Segara. Kapal itu ibarat sepotong gabus saja layaknya, diputar ke udara bagaimana gasing kemudian diangkatnya ke atas, terbang ke udara dan ... sebentar kemudian diempaskannya kembali ke bawah bahananya bagai sebuah gunung roboh sekaligus. Petir di siang bolong pun menghalilintar teramat menakutkan. Rasanya dunia ini sudah kiamat.
Dalam suara hiruk pikuk itu masih terdengar sayup-sayup jeritan Tenggang, ’’Ampun, Buuu, ... ampun, ... Buuu!”
Tetapi alam malah bertambah murka. Kapal Elang Segara dihumbalangkannya tinggi ke udara dan diempaskannya sampai hancur lumat ke bumi kembali. Musnah dengan segala isi dan manusia yang ada di dalamnya.
Mak Deruma dan Pak Talang yang melihat kejadian yang tak disangka-sangka itu tak tertahankan lagi terkejutnya. Keduanya roboh ke tanah dan menemui ajalnya.
Ketika angin reda kembali satu pun tak ada bekas-bekasnya lagi. Seakan-akan Elang Segara tak pernah menempuh tempat itu. Tak seorang pun yang selamat dari kutukan Tuhan itu.
Kata orang juga waktu Mak Deruma dan Pak Talang datang menjenguk anaknya masing-masing membawa sebuah mempelam. Ketika bencana itu datang kedua mempelam itu terlempar dan akhirnya tumbuh di sana. Kata orang mempelam itu sampai sekarang masih ada dan buah serta bentuknya berbeda dari mempelam biasa. Dan waktu sungai itu surut airnya, kelihatanlah bekas bangkai kapal Elang Segara sudah berubah menjadi batu. Bentuknya amat menakutkan ....