Memutuskan Pertalian/Bab 7

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

VII. MENINGGALKAN NEGERI

Tinggi melanjutlah 'kau betung,
takkan kudulang-dulang lagi.
Tinggal tercengunglah 'kau kampung,
tidakkan kuulang-ulang lagi.


Hari Sabtu pagi kelihatanlah sebuah kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur. Kapal itulah yang ditumpang guru Kasim hendak balik ke Pontianak kembali. Sekalian penumpang di geladak sibuk menyusun barang-barangnya serta mengembangkan tikar bantal untuk mereka tidur. Ada pula yang mengangkat barang-barangnya dari suatu tempat ke tempat lain menurut sukanya masing-masing. Guru Kasim pun tidak pula ketinggalan. Setelah didapatnya suatu tempat yang agak sunyi dan lapang, maka ia pun segera pindah ke sana, karena tempat yang demikian itulah yang disukainya.

Setelah selesai ia mengatur barangnya, maka duduklah guru Kasim di atas kursi malas yang sengaja dibawanya untuk berlayar. Ketika itu kapal sudah mulai mengarungi lautan besar. Karena hari cerah, langit tidak berawan dan embun di lautan telah lama naik ke atas angkasa, penglihatan lepas ke mana-mana. Amat sedap pemandangan masa itu, sedang alun air yang biru jernih gemerlapan cahayanya kena sinar matahari. Tak jauh di tengah tampak ombak berkejar-kejaran, dahulu mendahului, lalu memecah di tepi pantai sebuah pulau.

Guru Kasim mengambil sebatang sigaret dari sakunya. Setelah dibakarnya, maka ia pun melepaskan pemandangannya ke Lautan Hindia yang amat luas itu. Baru dua kali ia mengirup rokoknya, maka terbayanglah Syahrul, anaknya yang tunggal itu di ruangan matanya. Guru yang malang dan kecewa itu terkenangkan anak buah hatinya. Ia duduk termenung, sedang matanya hampir tidak dikejapkannya memandang tepi langit di sebelah barat-daya. Tidak lama kemudian, ia menarik napas panjang, lalu berkata dalam hatinya, "Tahun mana musim bilakah aku akan bertemu dengan anakku yang seorang itu? Sungguh malang nasibmu, Syahrul! Baru tiga bulan engkau kematian ibu, sekarang ditinggalkan pula oleh ayahmu dengan tidak setahumu. Jika engkau telah berakal, niscaya takkan terderitakan olehmu kesedihan yang menimpa dirimu sekarang ini. Syukur juga engkau masih kanak-kanak, belum tahu menanggung kesusahan dunia ini. Hanya akulah ayahmu yang malang itu, akan bersedih hati selama hidupku terkenangkan engkau, dan barangkali takkan pernah lagi melihat wajahmu, sebab perbuatan manusia yang ganas itu."

Dengan tidak diketahuinya, air mata guru Kasim jatuh berleleran di pipinya. Wajah anaknya yang kecil molek itu rasa-rasa tampak di matanya. Seakan-akan kedengaran ditelinganya Syahrul bangun menangis memanggil ayah, pada malam ia meninggalkan anak itu di Banto Darano. Sekalian tingkah laku Syahrul sejak kecil, terbayang dalam pikirannya. Maka ia pun berkata pula perlahan-lahan, sambil memandang ke laut biru yang terhampar luas di hadapannya, katanya "Aduhai Syahrul, hubungan nyawa ayah kandung, buah hati limpa berkurung! Engkaulah pautan hati ayah bunda, tambatan larat kami berdua. Syahrul kami manjakan petang pagi, bagai menating minyak penuh, obat jerih pelerai demam ibu dan bapa. Sekarang engkau terpisah daripada kami, bercerai untuk . . . . . ya siapa tahu, barangkali untuk selama-lamanya. Menangis siapa akan membujuk, pintamu siapa akan mengabulkan ibu mati bapa berjalan."

Tiba-tiba terdengar lonceng kapal berbunyi, akan menandakan bahwa orang diizinkan mengambil makanan. Sungguhpun penumpang di dek sudah mengambil makanan semuanya, dan ada pula yang telah sudah makan, tetapi guru Kasim tak hendak bergerak dari tempat duduknya. Pikirannya melayang mengenangkan anak dan tanah tumpah darahnya. Sekalian ingar-bingar di kapal itu, bunyi mesin kapal, bunyi piring mangkuk dicuci dan percakapan orang seolah-olah tidak kedengaran olehnya.

Akan tetapi bunyi lonceng kapal itu pulalah yang mengubah pikirannya mengenangkan Syahrul. Sekonyong-konyong mukanya berubah menjadi merah, hatinya panas memikirkan perkataan mentuanya yang menceraikan dia dengan anaknya. Apalagi mengenangkan percakapannya dengan Datuk Garang, tak sedap sedikit jua hatinya, karena perkataan mamaknya itu tidak memuaskan hati. Dalam percakapan dengan Datuk Garang itu ia tidak bebas mengeluarkan perasaannya, sebab mengingatkan orang tua itu mamaknya dan penghulu dari pada kaumnya. Sedangkan sedikit saja ia mencela adat kebiasaan di negerinya, sudah macam-macam kata mamaknya. Apalagi jika dikatakannya adat kebiasaan di kampungnya sangat buruk, banyak perempuanperempuan yang teraniaya hidupnya karenanya, entah apa agaknya jawab mamaknya itu. Boleh jadi mamaknya mengusir dia dari rumahnya, tak mau berkemanakan lagi kepadanya, atau dibuang dari pada kaumnya. Guru Kasim yakin dan berani bersoal-jawab dengan siapa juga, bahwa ia berhak dan berkuasa atas anaknya. Maka dipikirkannyalah keterangan mamaknya itu dengan tenang. Setelah beberapa lamanya, nyatalah kepadanya bahwa amat senang hidup laki-laki yang menutut adat kebiasaan di kampungnya itu. Bahkan mereka kawin di jemput orang dengan uang berpuluh-puluh rupiah. Sesen pun ia tidak membelanjai isterinya, malahan sebaliknya, dia yang dibelanjai isterinya. Jika isterinya telah beranak satu, dua orang dan ia merasa tidak senang lagi bergaul dengan isterinya itu, lalu ditalakkannya. Bukankah amat mudah bagi laki-laki mencari sesuatu sebab akan menceraikan isterinya itu, perempuan yang lemah dan tidak berdaya itu. Setelah itu laki-laki itu kawin pula, demikianlah seterusnya. Sedang anaknya dengan bekas isterinya itu sedikit pun tidak dipedulikannya, dilihatnya pun tidak.

Bermacam-macamlah yang terbayang dalam pikiran guru Kasim tentang pendirian orang yang sangat berlawanan itu. Ada orang yang mengemukakan adat, mengatakan, bahwa menurut adat kemanakan itu seperintah mamaknya. Mamaklah yang wajib membela, memberi makan pakai kemanakan itu. Mamaklah yang harus mengasuh dan mendidik kemanakan itu, agar supaya ia menjadi orang baik-baik kelak. Pendeknya dalam segala hal kemanakan itu menjadi tanggungan mamaknya semata mata, sekali-kali bukan tanggungan bapaknya. Akan tetapi adapula orang yang berdiri pada agama mengatakan, bahwa anak itu tanggungan bapaknya. Mamak itu seakan-akan orang lain kepada anak itu, dan hampir tak ada pertaliannya. Bapaklah yang berhak dan wajib memelihara dan mendidik anak itu. Bapak berkuasa atas anaknya, darah dagingnya dan turunannya itu. Bapaklah yang menentukan buruk baik nasib anak itu kemudian hari. Bahkan dialah yang menanggung jawab di akhirat bila anaknya tidak diberinya pendidikan amal yang baik.

Berkacau pikiran guru Kasim mengenangkan dua pendirian orang yang lazim di tanah tumpah darahnya, yaitu pendirian yang sangat bertentangan ujudnya. Sudah berapakah lamanya keadaan yang macam itu? Manakah yang dahulu dipakai orang di Minangkabau? Aturan adatkah atau aturan agamakah? Belum adakah terdiri adat di Minangkabau sebelum agama masuk ke sana? Mengapakah dikatakan orang; adat bersendi syarak, syarak bersendi adat? Padahal seperti yang nyata tampat olehnya bertentangan kemauan orang yang mengeraskan adat dengan orang yang mengemukakan syarak dalam kekuasaan dan kewajiban mamak dan bapak kepada seseorang anak. Tidak heran jika kacau peri pergaulan berumah tangga di Minangkabau. Seperti tinta hitam dicampurkan dengan air susu yang putih tampak keadaan itu oleh guru Kasim; putih tidak hitam pun tidak pula, keruh, kacau bilau saja. Dapatkah disisihkan kembali dawat dari susu? Tidak baikkah dibuangkan saja campuran yang keruh itu, dan dicari yang baru saja, yang sesuai dengan kemauan zaman?

Sungguh, seperti keadaan sekarang, kacau bilau saja. Bukankah sangat rusak pergaulan hidup karena itu? Banyak perempuan-perempuan yang sengsara dan anak-anak yang tidak bertentu hidupnya, seperti yang telah dilihatnya sendiri di negerinya. Mereka membanting tulang sekuat-kuatnya mencari nafkah diri, agar supaya dapat hidup anak beranak. Sebab tidak sedikit mamak yang melengahkan kewajibannya kepada kemanakannya, karena mengeraskan agama dan lebih banyak pula lagi bapak yang tidak tahu sama sekali kepada anaknya, sebab bersandar kepada adat kebiasaan.

Semakin dikenangkan guru Kasim adat di negerinya, semakin kusut pikirannya. Oleh sebab itu dibulatkannya hatinya, dan dengan pikiran yang tetap ia pun berkata pula, katanya; "Buruk baik nasib anakku kemudian hari, tidaklah salah dari padaku, melainkan karena kaum keluarganya juga. Bagiku cukuplah usaha akan membawa anakku supaya dapat kudidik dan mudah-mudahan menjadi orang baik-baik kelak, akan tetapi dialangi oleh mentuaku yang berbentengkan adat itu. Apa boleh buat, aku tidak berkuasa dan tidak dapat berkeras membawa Syahrul, sebab aku orang diselang oleh kaum keluarga isteriku. Oleh sebab itu tak ada gunanya kupikirkan panjang-panjang jua hal ini, karena tak ada paedahnya, melainkan menyengsaikan badan saja. Mulai dari sekarang aku berjanji dengan diriku, takkan kawin-kawin lagi dengan orang kampungku, karena hasilnya menyakitkan hati saja. Semakin beranak aku dengan isteri orang kampungku, semakin makan hati aku olehnya."

Hatinya tetap, pikirannya bulat, dia akan melupakan segala kejadian di kampungnya yang sangat melukai hatinya itu. Segala kenang-kenangan kepada kampung tempat tumpah darahnya akan dilupakannya. Sudah sempit alam baginya di situ. Banyak adat istiadat yang tak dapat disesuaikannya dengan pikirannya. Sebab itu ia mencari "tanah tumpah darah" yang lain di dunia yang luas ini. Bukan "alam" Minangkabau saja alam di atas dunia ini.

Demikianlah kissah perceraian bapak dengan anak, karena anggapan yang tiada benar tentang pertalian mereka itu. Barang siapa yang hendak mengetahui kissah anak yang ditinggalkan bapaknya itu, bacalah "Tak disangka."