Lompat ke isi

Memutuskan Pertalian/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

VI. ORANG SEMENDA

Orang semenda orang diselang,
berkarib karena perkawinan.
Kasihkan anak sibiran tulang,
maksud hati tidak berkenan.


Pada malam itu bintang-bintang gemerlapan cahayanya, sebagai berlian yang bertaburan di atas beledu biru rupanya. Kelelawar kelihatan terbang seekor demi seekor mencari mangsanya? Rama-rama malam mengembangkan sayapnya yang berukir-ukiran, terbang kian ke mari, lalu hinggap pada bunga sedap malam. Di jalan raya sudah mulai lengang, kendaraan tak berapa lagi yang lalu lintas, dan orang pun sudah jarang kelihatan.

Maka tampaklah guru Kasim membelok di Simpang Limau, menuju arah ke pasar Bukit Tinggi. Ia berjalan perlahan-lahan pikirannya berkacau bilau. Mengenangkan perkataan mentuanya yang mengatakan bahwa masih ada mamaknya yang akan mengasuh Syahrul, sungguh tak enak pada pendengarannya. Apalagi memikirkan pertanyaan Datuk Besar yang seakan-akan tidak percaya menyerahkan Syahrul kepadanya, padahal anaknya sendiri, sangat menyakitkan hatinya. Tidak ada ubahnya sebagai orang lain saja ia dipandang oleh kaum keluarga isterinya itu. Dalam pada berpikir-pikir demikian itu, terkenanglah ia akan anak jantung hatinya. Maka tiba-tiba terbayang di matanya muka Syahrul yang kecil molek dan kuning langsat itu, tetapi kemudian hilang lenyap dari pada pemandangannya, hilang sebagai takkan kembali lagi, entahkan untuk selama-lamanya. Sedih dan pilu beramuk dalam sanubarinya, karena ia tak dapat membawa anaknya. Maka guru Kasim pun berkata dalam hatinya; "Rupanya tak berhak sedikit jua saya kepada Syahrul, anak kandung saya sendiri. Mamaknya, Datuk Besar yang lebih berhak daripadaku kepada Syahrul! Padahal hampir tidak sedikit jua pertalian Syahrul dengan mamaknya, baik lahir atau pun batin?"

Sekonyong-konyong kedengaran olehnya seolah-olah ada orang memanggil namanya dari belakang. Guru Kasim berpaling, tetapi seorang pun tak ada yang tampak kepadanya. Tempatnya berdiri itu ialah pada jalan di muka rumahnya di Aur Tajungkang. Demi dilihatnya rumah tinggal itu, maka timbullah keinginannya hendak melihat rumah itu sekali lagi. Sampai di pintu gapura, maka tampak kepadanya suatu bayang-bayangan yang menyerupai muka isterinya. Jamilah melambai-lambaikan tangan dari serambi muka rumah itu, sebagai orang memanggil menyuruh datang dekat kepadanya. Guru Kasim berdiri menatap bayang-bayang itu, yang seolah-olah meminta pertolongan dan memohonkan rahim belas kasihan kepadanya. Jangankan ia takut memandang wajah isterinya yang telah meninggal itu, melainkan dengan berani ditolakkannya pintu gapura itu hendak menemui Jamilah. Akan tetapi ia tak dapat masuk, karena pintu gapura berkunci. Tidak lama antaranya, lalulah sebuah kahar. Maka guru Kasim pun insyaflah akan diri, bahwa ia sedang dilamun kenang-kenangan yang bukan-bukan. Sambil menarik napas ia berpaling, lalu naik kahar ke Tarok, ke rumah Datuk Garang, penghulu andiko pada kaumnya.

Setelah sampai di Tarok, maka sewa kahar pun dibayarnyalah. Ia berjalan ke rumah isteri Datuk Garang, yang tak berapa jauh dari jalan besar. Untung Datuk Garang ada di Tarok, tidak pulang ke rumah isterinya di Tiga Belas, di Aur Kuning atau di Birugo.

"Apakah sebabnya engkau datang malam-malam begini, Kasim?" ujar Datuk Garang sambil menyuruh kemanakannya duduk.

"Tidak apa-apa, mamak!" jawab guru Kasim. "Saya datang ke mari hanya hendak menemui mamak saja, sebab boleh jadi besok atau lusa saya kembali ke Pontianak."

"Tidakkah engkau hendak berhari raya di sini dahulu?"

"Tak sempat, mamak! Saya terpaksa berangkat dengan kapal yang akan datang ini, sebab kalau dengan kapal yang sebuah lagi, niscaya saya terlambat sampai di Pontianak."

Maka keduanya pun bercakap-cakap dan tak lama kemudian, juadah dihidangkan isteri Datuk Garang. Setelah sudah minum dan santap penganan sekadamya, maka diceriterakanlah oleh guru Kasim , bagaimana percakapannya dengan Tiaman dan Datuk Besar. Satu pun tak ada yang ketinggalan, habis semua dikatakannya. Datuk Garang berdiam diri saja mendengar ceritera kemanakannya itu. Maka guru Kasim pun berkata pula, katanya, "Tidakkah perkataan mamak Datuk Besar dan mentua saya itu menyakitkan hati, mamak ? Bukankah perkataan yang demikian itu "tidak layak didengar telinga ?"

"Tak patut engkau bersakit hati karena itu, Kasim !" jawab Datuk Garang dengan tenang. "Perkataan yang demikian sudah pada tempatnya, sudah digaris makan pahat. Boleh jadi juga sakit hatimu mendengamya, tetapi lain tidak sebabnya karena engkau tidak hendak mengetahui jua seluk-beluk adat kita."

"Apakah yang tidak hendak saya ketahui, mamak ?" ujar guru Kasim dengan heran.

"Ya, perkataan mentuamu itu sudah pada tempatnya. Sebab itu tak dapat engkau salahkan, melainkan engkau jua yang salah tampa."

"Saya harap sudi hendaknya mamak menerangkan, apa sebabnya mamak benarkan perkataan mentua saya itu. Bukankah Syahrul anak kandung saya sendiri ?"

"Engkau sanaka sebab engkau bapak anakmu, engkau boleh berbuat sekehendak hatimu atas anakmu. Sungguh salah benar pikiranmu itu."

"Saya tidak merasa salah, mamak ! Bapaklah yang wajib memelihara anaknya, membekalinya dunia dan akhirat. Sebab itu dia pulalah yang berhak membela dan mendidik anaknya, bukan orang lain, meskipun mamaknya."

"Demikianlah keadaan anak-anak muda zaman sekarang, kurang benar siasatnya. Lebih-lebih yang sudah berpangkat, mereka menyangka, bahwa dirinya orang cerdik pandai, lebih pandai dan tahu daripada kami, orang tua, nenek mamaknya. Ia tak hendak mengakui hukum adat negerinya."

Mendengar kata mamaknya itu guru Kasim tidak bersenang hati, karena bukan kata yang berjawab. Bahkan perkataan itu pun mengenai hatinya. Akan tetapi karena Datuk Garang itu jalan mamak kepadanya, ia pun berkata dengan sabar, katanya, "Benar juga perkataan mamak itu, te tapi tidak sama sekali orang terpelajar demikian sangkanya. Sekarang baiklah mamak terangkan, apa sebabnya maka saya mamak katakan salah."

"Jika engkau telah mengetahui barang sekadarnya adat negerimu, takkan timbul pertanyaan demikian di hatimu. Saya amat heran, melihat halmu, seorang guru, kemanakanku pula, begini kejadiannya."

"Itu saya maklum !" ujar guru Kasim dengan pendek akan memutuskan perkataan mamaknya. "Akan tetapi saya ingin mengetahui dari mulut mamak sendiri, apa sebabnya mamak menyalahkan saya. "

"Baiklah akan saya terangkan kepadamu dengan pendek, mana yang perlu engkau ketahui. Engkau menjadi semenda kepada kaum keluarga isterimu, yaitu ipar oleh hal kawin atau pamili karena perkawinan. Manakala engkau bercerai dengan isterimu, maka pertalianmu dengan kaum keluarga isterimu itu putus sama sekali. Engkau sudah jadi, orang lain saja, tidak bersangkut paut lagi."

"Itu saya sudah mengerti, mamak ! Tapi jika saya di rumah isteri saya itu sudah beranak, bagaimanakah hal saya dengan anak itu ?"

"Anak itu tinggal anakmu jua selama-lamanya. Akan tetapi kendatipun engkau bercerai atau tidak di rumah isterimu, anakmu tetap jadi kemanakan mamaknya dan mamaknyalah yang berkuasa atas kemanakannya. Apakah hakmu di rumah kaum keluarga isterimu itu ?"

"Kalau begitu saya tidak berhak satu pun jua, dan tentu tak ada pula kewajiban saya untuk mengasUh anak itu, belanja dan makan pakainya."

"Menurut kebiasaannya engkau semenda ke rumah isterimu itu sebagai orang diselang, dan halmu di sana sebagai abu di atas tunggul, datang angin terbang melayang. Engkau boleh pergi dari rumah itu bilamana engkau tak suka lagi kepada isterimu."

"Jadi kalau begitu saya orang diselang untuk memperkembang kaum keluarganya saja," ujar guru Kasim agak keras. "Bukankah demikian maksud mamak ?"

"Ya, kira-kira begitulah !" jawab Datuk Garang. "Tetapi saya berpendapat ada beberapa sebab makanya demikian. Saya harap engkau jangan lekas saja memikirkan yang salah, melainkan selidikilah dahulu. Hendaklah engkau perhatikan bagaimana yang telah dilazimkan nenek moyang kita sejak dahulu kala, turun-temurun sampai sekarang ini."

"Ya, jika mengingat perkataan mamak itu, saya yakin - tetapi maaf saya pinta - sama juga halnya kita ini dengan yang berkaki empat. Tidakkah begitu pada pikiran mamak ?"

"Apa katamu ?" jawab Datuk Garang dengan keras. "Lidah memang tidak bertulang. Bukankah benar juga kataku, bahwa kebanyakan anak muda sekarang amat pongah, mudah saja menyalahkan barang sesuatu dengan tak ada periksanya lebih dahulu."

"Bukannya saya menyalahkan, mamak !" ujar guru Kasim pula dengan sabar, sebab dilihatnya muka mamaknya mulai merah rupanya. "Saya berpendapat demikian, karena menurut keterangan mamak jua. Tak dapat tiada orang lain yang mendengar keterangan mamak itu, akan sama juga pikirannya dengan saya."

Datuk Garang termenung sebentar memikirkan perkataan kemanakannya itu. Tiba-tiba matanya bercahaya-cahaya, sebagai ia mendapat suatu jawab yang pasti dalam pikirannya. Maka katanya, "Dengarlah keteranganku, apa sebabnya maka engkau tidak berhak kepada anakmu. Mudah-mudahan dengan keterangan saya yang pandak ini, maklumlah engkau hendaknya.

Sudah sejak zaman dahulu kala, sampai kini pun demikian juga, bahwa kita orang Minangkabau ini hidup bersuku-suku. Tiap-tiap suku atau kaum itu ada namanya masing-masing, misalnya: Tanjung, Pisang, Guci, Jambak dan sebagainya. Pada perkauman bangsa kita itu, si anak masuk kaum keluarga ibu atau mamaknya, sekali-kali tidak masuk kaum keluarga bapaknya. Umpamanya anakmu sendiri, tidaklah masuk orang Tanjung, yaitu kaummu, melainkan masuk orang Pisang, kaum keluarga mamaknya. Oleh karena itu mamaknyalah yang lebih berkuasa kepada kemanakannya, bukan bapaknya, karena bapak itu tidak masuk kaumnya. Mamaknya itulah yang harus memeliharanya, menanggung belanja, makan pakai si kemanakan itu. Jadi kewajiban mamak kepada kemanakan; tumbuh ditanam, gedang dilambuk, sakit dicarikan obat, rusuh membujuk, mati ditanam, hilang dicari, lulus diselami, siang dilihat, malam diperkalang. Mamaklah yang harus menunjuk mengajari kemanakannya, supaya jangan jadi cacat cela kemudian hari. Dialah yang wajib mengasuh kemanakannya, agar supaya kemanakan itu menjadi orang baik-baik kelak. Jika si kemanakan itu telah besar, mamaklah yang akan menjalankan dengan akal budinya, atau jerih payahnya mencarikan belanja atau mata pencaharian kemanakan itu. Dan kalau kemanakan akan dipersiterikan, perempuan akan dipersuamikan, mamak yang akan memilih atau mengikhtiarkan siapa yang patut akan jodoh kemanakan itu. Pendek kata, buruk baik, senang susah si kemanakan itu tanggungan mamaknya semata-mata, bukan kewajiban bapaknya. Jika misalnya kemanakan itu menjadi orang baik-baik dan ternama kelak, tidaklah si bapak yang mendapat kemuliaan, melainkan keluarga mamaknya juga.

"Demikian pula halnya engkau ini ! Meskipun sudah beranak di rumah isterimu, engkau tak berhak apa-apa di rumah itu. Baik atau buruk nasib anakmu itu kemudian hari, apa pedulimu. Tak ada kewajibanmu, bahwa engkau mesti mengasuh anakmu itu, karena hal itu kewajiban mamaknya jua. Bahkan tak ada paedahnya bagimu, manakala anakmu itu menjadi orang baik-baik kelak. Dan jika diizinkan mamaknya, engkau asuh jua anakmu dan menjadi orang baik-baik kelak, tentu kaum keluarganya yang beruntung. Akan tetapi mustahil akan diizinkannya, karena perbuatanmu itu suatu penghinaan kepada kaum keluarganya.

"Yang wajib kepadamu, ialah engkau harus mengasuh kemanakanmu sendiri, bukan anakmu. Kendatipun tak ada kemanakanmu yang kandung, yang jauh pun patut engkau asuh. Itulah kewajibanmu yang harus engkau lakukan, yaitu mengharumkan nama kaum keluargamu, mempertinggi semarak nama sukumu di mata orang banyak. Engkau seoranglah dari pada kemanakan kami yang telah berpangkat. Engkau sanggup membela dan mengasuh kemanakanmu. Sebab itu lakukanlah kewajibanmu, agar supaya nama kaum keluargamu mulia kelak dan kebanyakan kaum kita menjadi orang baik-baik dan ternama."

"Sekarang maklumlah saya akan keterangan mamak itu dan tak dapat disalahkan mentua saya berkata demikian, karena sudah lazim demikian di kampung kita ini. Akan tetapi saya hendak bertanya sedikit kepada mamak. Tidakkah kebiasaan yang demikian itu bersalahan dengan kata: anak dipangku, kemanakan dibimbing? Jika menurut pepatah itu - boleh jadi juga pepatah adat - lebih dekat bapa kepada anaknya daripada kepada kemanakannya. Tidakkah bunyi pepatah itu bersalahan pengertiannya dengan yang biasa diadatkan orang di kampung kita ini ? Patutkah hal itu dibiarkan saja, karena bersalah-salahan orang memakaikannya?"

Datuk Garang berdiam diri saja mendengar perkataan guru Kasim. Ia bingung, rupanya sulit baginya akan menjawab pertanyaan kemanakannya itu. Ia tersesak sudah, lama ia tepekur mencari jawab pertanyaan itu. Dalam pada itu guru Kasim maklum, bahwa mamaknya mulai tersesak olehnya. Waktu yang baik itu tidak disia-siakannya saja. Maka ia pun berkata pula, katanya, "Dan lagi, jika saya tidak salah paham, boleh jadi kata ini pepatah adat agaknya: adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Menurut syarak, bapaklah yang berkuasa atas anaknya. Bahkan anak itu masuk kaum keluarga bapaknya, sekali kali tidak masuk keluarga ibunya. Bapaknyalah yang harus menyelenggarakan anak itu, baik buruk untung nasibnya kelak bergantung kepada bapaknya sendiri. Dan si bapaklah yang menanggung buruk baik untung anaknya dunia akhirat. Jadi kalau menurut keterangan mamak tadi, hukum syarak tidak dipakaikan oleh orang kita dan tidaklah sendi-menyendi lagi adat dengan syarak, bukan ?"

Datuk Garang makin tersesak oleh kemanakannya. Sungguh pun terasa juga olehnya kebenaran perkataan itu, akan tetapi ia tak hendak membenarkan. Maka ia pun berkata, katanya, "Sungguhpun demikian, kita misalkan benar keteranganmu itu, akan tetapi yang saya katakan bahwa hal itu sudah diadatkan dan telah turun-temurun sejak dari nenek moyang kita. Sudah sekian lamanya, sudah berabad-abad agaknya, kebiasaan itu berjalan dengan baik. Pada pemandangan saya seorang pun belum ada yang mencela, baru engkau inilah. Jadi hal itu nyata kepadaku amat baik dan sempurna: jika tidak baik, masakan akan diperbuat orang adat yang macam itu."

"Boleh jadi ada juga benarnya perkataan mamak itu. Akan tetapi jika pada pikiran kita yang macam itu sudah salah, bukankah patut kita memperbaikinya Kita mengetahui bahwa kedua kata adat yang saya sebutkan tadi, timpang benar pengertiannya. Bukankah hal itu tidak baik dibiarkan saja ?"

"Ha, ha !" Datuk Garang tertawa seakan-akan mengejekkan kemanakannya. "Engkau sangka akan dapatkah engkau mengubah adat yang telah berurat berakar itu di hati orang kita dengan sekejab mata saja ? Saya rasa perkara yang mustahil saja, bahkan agaknya boleh mendatangkan bahaya atas dirimu."

"Bukan begitu maksud saya, mamak !" ujar guru Kasim sambil memandang muka mamaknya. Ia maklum akan jawab mamaknya itu tidak kena dan seakan-akan hendak mengelakkan diri dari pertanyaan. "Akan mengubah dengan sekejab mata saja tentu tidak mungkin karena sebagai kata mamak tadi, sudah berurat berakar tertanam di hati orang kita. Saya pun percaya, bahwa boleh jadi mendatangkan bahaya atas diri saya, karena barang sesuatu yang menguntungkan kepada seseorang, jika dialangi orang lain, tentu menimbulkan amarah dalam hatinya."

"Apa maksudmu dengan perkataan itu, Kasim ?" ujar Datuk Garang dengan kurang sabar rupanya.

"Tak dapat tiada laki-laki yang besar nafsunya, suka beristeri banyak, sesuai dengan keterangan mamak tadi itu. Bukankah karena itu nafsunya puas, sebab ia orang diselang untuk memperkembang sesuatu kaum saja. Ia tak usah membelanjai anak dan isterinya. Sebagai kebanyakan yang telah saya lihat di kampung ini, si isteri membelanjai suaminya. Si laki-laki yang bertulang kuat itu bersenang-senangkan diri saja. Jika ia tidak suka lagi kepada isterinya, diceraikannya, lalu kawin pula, demikianlah seterusnya. Pencahariannya satu pun tak ada, melainkan hilir mudik sehari-harian. Isterinya, perempuan yang bertulang lemah itu, sudah setengah mati mencarikan napekah dirinya anak: bennak, sedikit pun tidak diacuhkannya.

Tadi kalau saya nyatakan kepada orang banyak pikiran saya, bahwa tiap-tiap bapa wajib membela anaknya, tak dapat tiada si laki-laki yang saya sebutkan itu akan mengancam saya sejadi-jdinya. Siapa tahu barangkali mau ia membunuh saya, sebab hal itu sangat merugikan kepadanya. Sungguhpun demikian, meskipun tidak saya nyatakan pikiran saya itu kepada orang banyak, saya yakin bahwa hal itu akan berubah sendirinya saja kelak. Tiap-tiap orang yang sempurna pikirannya, tak dapat tiada akan merasa wajib mengasuh dan memelihara anaknya."

Mendengar perkataan yang demikian, muka Datuk Garang berubah sekonyong-konyong. Hatinya panas mukanya merah padam, karena sindiran kemanakannya yang amat tajam itu. Bukankah dia sudah beristeri 16 orang banyaknya, dan isterinya yang tetap tak kurang 4 orang banyaknya. Bukankah Datuk Garang sudah beranak dengan isterinya yang sekian itu 11 orang jumlahnya, dan seorang pun tak ada yang dipedulikannya. Sungguh, tepat benar perkataan guru Kasim itu mengenai diri mamaknya. Oleh karena itu bukan main marahnya kepada kemanakannya, matanya bernyala-nyala, bibirnya bergerak-gerak menahan marah. Tiba-tiba ia pun berkata dengan keras, katanya, "Perkataanmu itu tak layak didengar telinga dan tidak senonoh. Tak kusangka engkau akan seberani itu berkata di hadapanku, mamakmu. Jadi pada pikiranmu orang banyak ini tak sempurna pikirannya, melainkan pikiranmu seoranglah yang sehat, sempuma dan baik. Bah, baru kemarin ini masih mengentak-entak juga ubun-ubunmu, sudah berani mencela kebiasaan yang telah menjadi adat bagi orang banyak. Benar juga kataku, bahwa kebanyakan orang muda sekarang sudah sesat sesesat-sesesatnya. Bukannya pikiran orang banyak yang tak sempurna, melainkan pikiranmulah yang sudah terbalik dan bertukar akal.

Memang, menurut pandangan saya engkau ini sudah muno dan telah kena perbuatan orang di rumah isterimu. Hal itu nyata kepadaku ketika isterimu masih hidup dan setelah meninggal dunia. Engkau selalu pergi ke kuburan isterimu; engkau perbaiki kuburan itu sehingga sudah sebagai taman raja-raja. Pagi petang engkau memuja di kubur itu dan menyembah-nyembah, tak ada ubahnya sebagai perbuatan orang pandir. Mungkinkah pada pikiranmu akan hidup ia kembali? Seorang itukah perempuan di atas dunia ini? Sungguh, engkau sudah sesat benar-benar, sudah termakan cirit berendang. Engkau sudah seperti kuda Batak diberi berkekang oleh isterimu. Engkau buatkan ia rumah. Anakmu engkau manjakan sebagai anak raja-raja. Dan kepada isterimu engkau sebagai menating minyak penuh, hidup berkemewahan, senang dan sentosa sepanjang hari. Tak ada ubahnya sebagai pemaisuri raja dan tak pemah melihat cahaya matahari. Kalau musim ke sawah isterimu datang ke rumah kaum keluargamu, engkau larang mengantarkan nasi ke sawah, karena engkau takut Jamilah akan ditimpa panas. Tak usah kuterangkan semuanya, karena menyakitkan hati belaka dan perbuatanmu itu berlawanan dengan adat orang di kampung ini. Saya tidak mengerti dan amat heran memikirkan perbuatanmu itu. Orang lain engkau senangkan, padahal sanak saudaramu hidup berkekurangan, tidak engkau pedulikan. Jangankan engkau akan menolong kaum keluarga, menemui mereka pun amat jarang. Jika tidak terpaksa benar, tidaklah engkau datang menjelang mereka itu.

Sekarang engkau rasailah pembalasan budimu itu. Bagaimana? Sakitkah hatimu memikirkan perkataan mentuamu dan Datuk Besar itu? Tahukah engkau sekarang, siapa dan bagaimana engkau di rumah kaum keluarga isterimu itu? Tidakkah engkau sebagai diusirnya berterang-terang, karena engkau bukan keluarganya? Engkau orang Tanjung akan tinggal orang Tanjung jua selama-lamanya. Sakit akan mengobat, rusuh akan membujuk, mati akan menanam, tidaklah orang Pisang, melainkan kami juga. Dihinakan orang engkau, kamilah yang akan memikul, harum namamu, kamilah yang mendapat kemuliaan, sekali-kali tidak orang Pisang.

"Nah, hingga inilah saya bercakap dengan engkau. Perhatikanlah perkataanku, dan insaflah engkau yang akan datang. Ketauhilah olehmu bahwa engkau orang Tanjung, kemanakan kami, seturunan dengan Datuk Garang, mamakmu. Hingga ini ke atas saya harap, jika ada barang sesuatu yang hendak engkau brjakan, mupakatlah dulu dengan kaum keluargamu. Janganlah engkau berpandai-pandai saja, berbuat sesuka-suka hatimu. Sekianlah bicaraku, karena hari telah larut tengah malam. Tak usah engkau mengemis-ngemis juga hendak membawa anakmu, karena dia bukan kaum keluarga kita. Sepeninggalmu dapatlah aku memikirkan apa yang baik untukmu."

Guru Kasim berdiam diri saja mendengar perkataan mamaknya. Ia maklum bahwa perkataannya sudah terdorong, dan karena itu mamaknya amarah kepadanya. Sebab itu ia tidak berani lagi berkata, walaupun hatinya belum puas mendengar kete- rangan mamaknya itu. Akan diteruskannya juga percakapan itu takut ia kalau-kalau menjadikan yang tak baik kelak. Tapi dalam hatinya yakin, bahwa ia tidak kalah dalam percakapan dengan mamaknya itu. Sungguhpun demikian, apa hendak di- kata, ia terpaksa menghentikan perbincangan itu hingga itu saja. Oleh sebab itu hatinya dipersabarnya saja dan dengan te- nang guru Kasim berkata, katanya, "Jika demikian pada pikiran mamak, baiklah. Biarlah saya sendiri saja ke Pon- tianak. Besok pagi maksud saya hendak terus berangkat ke Padang. Mamak izinkanlah saya pulang dahulu akan mengumpulkan barang-barang yang akan dibawa besok pagi."

"Baiklah, besok pagi kita bertemu di setasiun. Saya tak dapat mengantarkan engkau ke Padang, sebab besok kebetulan ada rapat penghulu-penghulu."

"Rapat perkara apa, mamak?"

"Entahlah! Belum terang benar kepada saya. Tetapi rapat itu dikunjungi juga oleh tuanku Demang dan tuan Kemendur."

"Jika demikian penting juga rapat itu. Tak usah mamak antarkan saya ke Padang, karena membuang-buang uang per- cuma saja."

_ _ _ _ _ _ _