Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi/SEJARAH KETATANEGARAAN IMPEACHMENT DI INDONESIA/Praktek Impeachment dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia/Kasus Soekarno

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Galat templat: mohon jangan hapus parameter kosong (lihat petunjuk gaya dan dokumentasi templat).
Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

BAB III SEJARAH KETATANEGARAAN IMPEACHMENT DI INDONESIA

B. Praktek Impeachment dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

1. Kasus Soekarno

Sejak awal berlakunya demokrasi terpimpin, Soekarno sudah menunjukkan tanda-tanda otoritariannya. Di antaranya yang paling menonjol diawali dengan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian atas dasar Penetapan Presiden No. 4/1960, dibentuk DPR-GR.

Kemudian pada tanggal 13 November 1963, Soekarno sebagai presiden merombak Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV yang juga menempatkan Ketua dan Wakil Ketua DPRGR, Ketua dan Wakil Ketua MPRS, Ketua dan Wakil Ketua DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional sebagai Menteri. Dengan demikian kedudukan keempat badan negara tersebut berada di bawah posisinya.[1]

Di tengah krisis ekonomi saat itu, muncul pula pemberontakan G 30S/PKI yang semakin mengharu-birukan konstelasi politik saat itu. Mahasiswa pun ramai menggelar aksi demostrasi, mengusung Tritura, disusul dengan reshuffle kabinet Soekarno yang terjadi berkali-kali. Terakhir, upaya reshuffle Soekarno dengan merombak kabinet Dwikora yang disempurnakan yang terdiri dari 100 menteri dengan kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi.

Setelah itu, akhirnya Soekarno melakukan upaya terakhir pada tanggal 22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan pimpinan MPRS, dengan melakukan yang disebutnya sebagai pidato pertanggungjawaban sukarela. [2] DPR-GR tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum MPRS 1966 itu, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya G 30S/PKI. Karenanya DPRGR saat itu mengajukan pernyataan pendapat kepada presiden dan memorandum kepada MPRS yang menghendaki dilengkapinya pidato Nawaksara oleh presiden.

Atas dasar memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Karena pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden Soekarno tidak dapat diterima, maka melalui Tap No. XXXIII/ MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan Wakil Presiden menggantikan posisi Presiden saat terjadi kekosongan kekuasaan, tidak berlaku. Karena saat itu tidak ada Wakil Presiden.

Ketika itu MPRS menyatakan bahwa Presiden Soekarno sebagai mandataris, telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konstitusionalnya serta dinilai telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS. [3] Suksesi kepemimpinan negara dari Soekarno ke Soeharto ini, dengan demikian bukan karena alasan mangkat atau berhentinya Soekarno, melainkan karena kondisi yang dinilai sebagai tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Memang tidak ada definisi yang jelas mengenai hal ini. Namun penulis berkesimpulan bahwa dalam ketentuan maupun praktek ketatanegaraan, kondisi ini pada akhirnya digunakan sebagai alasan pemberhentian presiden pada masa jabatannya.Walaupun tidak ada ukuran yang jelas mengenai alasan pemberhentian presiden, tetapi pada prakteknya proses impeachment telah terjadi pada presiden RI.

Pada Ketetapan MPRS tentang pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno itu, ditegaskan pula bahwa penetapan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini semakin menegaskan bahwa forum previlegiatum sebagai proses penegakan hukum seorang Kepala Negara dan/atau Kepala Pemerintahan melalui peradilan pidana biasa pada saat yang bersangkutan masih menjabat, tidak diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun pada praktek ketatanegaraannya.[4] Di sisi lain, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, yang juga dianut oleh Undang- Undang Dasar 1945 melalui Pasal 27 ayat 1.


  1. Mulyosudarmo, Op. Cit., hal. 6
  2. Ibid., hal. 9
  3. Pasal 1 dan 2 Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno
  4. Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam hal pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran tindak pidana, ada dua aliran konstitusi. Yakni yang menganut forum previlegiatum dan yang tidak. Namun lebih banyak negara yang memandang hal ini tidak realistis dan kemudian lebih memilih untuk menyelesaikannya melalui proses peradilan tata negara dahulu, baru kemudian dijalani proses peradilan pidana biasa setelah yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai presiden. Sementara Suwoto Mulyosudarmo berpandangan bahwa apabila setelah tidak lagi menjabat karena diberhentikan, namun kemudian melalui peradilan pidana biasa yang bersangkutan ternyata tidak terbukti bersalah, maka ia tidak dapat kembali lagi menjabat sebagai Presiden. Karena putusan yang mengabulkan impeachment tersebut berlaku tetap. Forum Previlegiatum sempat dianut dalam Konstitusi RIS 1949 (Pasal 148) dan UUDS 1950 (Pasal 106). Lebih lanjut, lihat Jimly Asshiddiqie, “Impeachment dan Sumpah Jabatan”, Jakarta, 2000., G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Jakarta: Timun Mas, 1955), hal. 162