Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi/SEJARAH KETATANEGARAAN IMPEACHMENT DI INDONESIA/Praktek Impeachment dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia/Kasus Soeharto

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Galat templat: mohon jangan hapus parameter kosong (lihat petunjuk gaya dan dokumentasi templat).
Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

BAB III SEJARAH KETATANEGARAAN IMPEACHMENT DI INDONESIA

B. Praktek Impeachment dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

1. Kasus Soeharto

Menyusul aksi mahasiswa yang marak di seluruh pelosok tanah air yang menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari kursi

Saat itu, terjadi eforia di kalangan masyarakat luas menyambut pengunduran diri Soeharto, termasuk sebagian kelompok yang kemudian mempertanyakan legitimasi kepemimpinan Habibie.Antara lain argumentasi yang kontra terhadap proses pergantian tersebut menyatakan bahwa Habibie tidak mempunyai legitimasi yang kuat untuk memegang kekuasaan Presiden. Padahal merujuk pada ketentuan Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, dinyatakan bahwa salah satu alasan pemberhentian Presiden oleh MPR sebelum habis masa jabatannya adalah karena atas permintaan sendiri.

Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut, berlakulah ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 2 ayat 1 Tap MPR No.VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan, sehingga Habibibe pun diambil sumpahnya di hadapan Mahkamah Agung, sehubungan dengan kondisi gedung MPR/DPR yang masih hiruk-pikuk karena dibanjiri massa sehingga tidak memungkinkan menggunakannya untuk pengambilan sumpah dan janji Presiden yang baru.

Dengan demikian status B.J. Habibie secara konstitusional sah sebagai Presiden RI yang menggantikan Soeharto sampai habis masa jabatannya. Namun, karena kontroversi tersebut tak kunjung usai, akhirnya masa jabatannya pun dipercepat dengan perubahan jadwal pemilu yang dipercepat pula. Padahal dari sudut hukum ketatanegaraan, Habibie harus menjalankan tanggung jawabnya sebagai Presiden sampai dengan habis masa jabatannya, yakni hingga tahun 2003.

Di tengah perlakuan sewenang-wenang Soeharto, dalam kondisi ketatanegaraan yang normal, sesungguhnya ia berpeluang untuk diberhentikan oleh MPR sebelum habis masa jabatannya, bahkan jauh sebelum tahun 1998. Namun demikian, selain karena berhalangan tetap dan atas permintaan sendiri, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya dengan alasan sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara [1]. Sementara tidak ada penjelasan lebih lanjut apa saja tindakan-tindakan yang secara jelas dapat dikategorikan sebagai melanggar haluan negara. Walaupun pada prakteknya hal ini pernah terjadi pada Presiden Soekarno.

  1. Dalam hal ini, pada saat berhadapan dengan Fraksi ABRI, delegasi mahasiswa UI sempat mengusulkan agar pidato pertanggungjawaban Soeharto ditolak pada Sidang Umum MPR Maret 1998, tetapi tidak disetujui oleh M. Yunus Yosfiah (Ketua Fraksi ABRI saat itu).