Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi/SEJARAH KETATANEGARAAN IMPEACHMENT DI INDONESIA/Landasan Konstitusional dan Mekanisme Impeachment di Indonesia/Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Galat templat: mohon jangan hapus parameter kosong (lihat petunjuk gaya dan dokumentasi templat).
Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

BAB III SEJARAH KETATANEGARAAN IMPEACHMENT DI INDONESIA

A. Landasan Konstitusional dan Mekanisme Impeachment di Indonesia

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949


Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 digunakan dalam suasana politik Indonesia yang sedang terjadi gejolak revolusi mempertahankan kemerdekaan. Penggunaan konstitusi ini merupakan produk politik hasil Konferensi Meja Bundar yang dilakukan di Belanda pada tahun 1949 setelah Belanda melakukan agresi militernya kepada Republik Indonesia yang baru berdiri. Diterapkannya Konstitusi RIS menggantikan UUD 1945 merupakan capaian kompromi politik perjuangan diplomasi Republik Indonesia dalam konferensi tersebut. Naskah Konstitusi RIS disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO ke Konferensi Meja Bundar. Rancangan itu disepakati oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Setelah mendapat persetujuan dari Komite Nasional Pusat - sebagai lembaga perwakilan rakyat Republik Indonesia - pada tanggal 14 Desember 1949, Konstitusi RIS kemudian resmi diberlakukan mulai tanggal 27 Desember 1949.[1] Namun, muatan dalam Konstitusi RIS 1949 lebih banyak mencerminkan kepentingan politik pemerintah Belanda.

Dibandingkan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS memuat prinsip-prinsip ketatanegaraan yang banyak berbeda dengan UUD 1945. Salah satu perbedaan itu yaitu mengenai bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dianut. Dalam UUD 1945, secara normatif yang dipilih sebagai bentuk negara adalah republik dan sistem pemerintahan yaitu presidensial. Sementara dalam Konstitusi RIS 1949, bentuk negara yang dicantumkan dalam konstitusi dan diterapkan yaitu federasi, sedangkan sistem pemerintahan adalah kombinasi sistem presidensial dan parlementer.

Pasal 69 Konstitusi RIS 1949 menyebutkan bahwa Presiden dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh Pemerintah daerahdaerah bagian dalam negara RIS sebagaimana disebut dalam Pasal 2 Konstitusi RIS. Presiden adalah sebagai Kepala Negara. Dalam hal pembentukan kabinet, Pasal 74 Konstitusi RIS mengatur bahwa Presiden harus membuat kesepakatan dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian untuk menunjuk 3 pembentuk Kabinet. Kabinet terdiri dari Perdana Menteri dan menteri-menteri.

Sama dengan UUD 1945, dalam konstitusi RIS 1949 juga tidak ada ketentuan yang jelas dan detail mengenai bagaimana impeachment dapat dilakukan. Karena sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem parlementer, maka impeachment biasanya dilakukan terhadap perdana menteri dalam kerangka pertarungan politik di parlemen. Pasal 72 Konstitusi RIS 1949 hanya menyebutkan bahwa Undang-undang federal mengatur pemilihan Presiden baru untuk hal apabila Presiden tetap berhalangan, berpulang atau meletakkan jabatannya. Pasal ini berarti menyerahkan pengaturan lebih lanjut mengenai penggantian Presiden pada level undang-undang.

Tidak adanya aturan yang jelas mengenai impeachment tampak pula jika dilihat pada hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hak-hak yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Konstitusi RIS 1949 tampaknya memang diarahkan agar tercipta mekanisme checks and balances terhadap pemerintah. Namun hak-hak yang dimiliki DPR tersebut tidak termasuk hak untuk melakukan impeachment terhadap Presiden. Pasal 122 Konstitusi RIS 1949 justru menegaskan bahwa DPR tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Hak-hak DPR tersebut yaitu meliputi hak interpelasi (Pasal 120) dan hak angket (Pasal 121). Dalam konteks checks and balances tersebut, Pasal 148 Konstitusi RIS 1949 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengadili pada tingkat pertama dan tertinggi jika ada pejabat negara, termasuk Presiden, melakukan kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang dilakukan dalam masa jabatannya. Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih jelas apakah pengadilan oleh Mahkamah Agung itu termasuk untuk memberhentikan presiden dari jabatannya.

Karena penerapan Konstitusi RIS 1949 tidak berlangsung lama, selama periode penerapan itu tidak ada pengalaman praktik impeachment yang telah dilakukan. Namun, dengan tidak adanya ketentuan yang jelas dan detail mengenai alasan dan mekanisme impeachment, maka dapat diperkirakan seandainya terjadi impeachment ketika itu, para aktor-aktor politik akan terlibat dalam ketegangan konflik karena saling menafsirkan bagaimana impeachment dilakukan sesuai dengan kepentingan politiknya masing-masing. Adanya ketentuan dalam Konstitusi RIS yang memberi peran kerajaan Belanda dalam Negara RIS, dapat dipastikan seandainya terjadi impeachment akan menghadapi kompleksitas politik dan ketatanegaraan yang pelik.

Persis dengan apa yang terjadi dengan UUD 1945, nihilnya aturan yang jelas mengenai impeachment dalam Konstitusi RIS 1949 karena pemberlakukan konstitusi itu dimaksudkan untuk sementara waktu saja. Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu pada pokoknya dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Karena itu Pasal 186 Konstitusi RIS menegaskan ketentuan agar Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.[2]Pada dasarnya, perumusan Konstitusi RIS hanya dimaksudkan untuk kepentingan menciptakan bentuk negara serikat yang diinginkan oleh Belanda.

  1. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…, op.cit., hal. 37
  2. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan…, op.cit., hal. 37