Lompat ke isi

Madilog/Bab2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Madilog  (1943)  oleh Tan Malaka
II. Filsafat
  • Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague. Dimuat di MIA pada tanggal 13 Juni 2007 * Terbitan Widjaya, Jakarta, tahun 1951. Bab III diambil dari terbitan Pusat Data Indikator, 1999 * Dikutip dari www.marxists.org

Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.

Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya, ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi kacau balau di mata kita, tak tahu apa maksudnya masing-masing, begitulah di mata kita para ahli filsafat berkata semau-maunya saja, kalau tak ada pangkal tak ada ujung.

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi.

Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu. Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis "umumnya" memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.

Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis, kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.

Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan "materialisme" itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang setia.

Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.

Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja, kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan bersangkutan. Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa gambarkan semua ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.

"If I go into myself", "kalau saya masuki diri saya sendiri", kata Hume, maka saya jumpai "bundles of conceptions", bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.

  
Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang licin itu, beratnya yang 1/2 atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk, rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari Hume. Semuanya bunyi, rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat ke centre, ke otak.

Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception, seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian ini " dalam" saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma "ide", pikiran, pengertian, tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan pengertian "bundles of conceptions" kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau" kata Hume, cuma "ide" buat saya.

Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan saya buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada cuma gambaran dalam otak Smith.

Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada. Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme, dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan dirinya sendiri.

Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar yang pertama, tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu ia sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.

Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi barang yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada bentuknya.

Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik kembali bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin, filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, kita bisa ketahui dengan pancaindera kita sesuatu benda, tetapi "Ding an Sich" benda sendirinya, kita tidak bisa ketahui.

"Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum materialis bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi buat Kant itu belum cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda itu buat dia tak ada, yang ada cuma gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari rumput buat sembunyi dengan memakai "Ding an Sich" benda itu sendiri.

Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari ke sehari "Ding an Sich" itu, sudah menjadi "Ding an Furuns". Benda yang sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi "benda kita". Keterangan Engels tentang "Ding Fur Uns" itu dulu banyak saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab Engels yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai berikut:

"Air" umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui "zat asalnya", ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang mana dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau diraba atau diminum. Berapa beratnya 1 L. Apa gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya, dsb. Apa juga lagi yang mesti di "Ding an Sich"kan tentang air, nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah :tanah, air, api, udara. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli, elementen. Yang diketahui sudah boleh kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin, seperti microoskop, telescoop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman, beratus ribu kali dan mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah kepastiannya dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada satu sama lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita makin banyak, makin baik.

Dimana lagi "Ding an Sich" itu tempatnya, pada zaman, di mana alam yang dahulu kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan dikontrole, dikemudikan dipakai menjadi "Sing fur Uns", yakni benda kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada bandingnya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis, sesudah meninggalkan gurunya, Hegel, dilekati Hegelisme.
 
Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan synthesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata si pemandang.
Buat Hegel "absolute Idee" ialah, yang membikin benda "Realitat". "Die absolute Idee macht die Gesichte" absolute idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee "deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist" yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah "verwieklichung" penjelmaan, absolute idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee sendirinya, idee yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah. Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam ini. Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx, mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah Feurbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung yang membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis. Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang Idealisme Hegel. Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai mana mestinya. Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan pikiran. "Negara kata", kata Marx "ialah satu akuan dan hasil dari perjuangan klas". Perjuangan klaslah yang menjadi "Motive-Force", kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah "Absolute Idee", seperti kata Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan klas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi pertentangan itu bukan pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel – nanti akan diteruskan – tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua klas besar yang berjuang, yang sekarang terus berjuang. Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu, berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik. Tehnik yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat adanya perjuangan klas itu. Semua perkakas dan klas manusia, yang menjalankan peranan dalam sejarah kita manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh Dewa  Rah, Rohani, Ahimsa dsb. Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang tarik menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai Dialektika Materialisme. Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi, sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx: "Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi adat, sebab bentuk ini menerjemahkan keadaan yang ada". Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama ada kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung merpati dan kesenangan kekal akhirat. Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti Amerika, maka lahirlah idealisme berupa "pragmatisme" yang dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai "the biggest of all", semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan "objective truth", hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa "objective truth", tadi bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika "the country of the free", negara merdeka ialah buat borjuasi amerika. John Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik permulaan berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang ini kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap. Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh dengan anak bininya, "obyective truth" tadi, tidaklah begitu "obyective", tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan kaum proletar Amerika sekarang. Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang 1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu tiadalah berani keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme, tetapi pada dasarnya terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya: "Empiris-Critism" dengan terang dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai, seperti pertama kali dikemukakan oleh Engels, ialah partai ahli filsafat idealis dan partai materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh Empiris-Critism, Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan idealisme yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka. Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan Marxisten di Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih besar dalam ilmu filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat Materialis ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia, “Weltanschauung" yang resmi, opisil di Sovyet Rusia. Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa ini idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan pakaian baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi, seperti ilmu yang dipeluk oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson, Spengler dan Nietsche (yang belakang ini ialah satu filosoof krachtpatser, siapa kuat, siapa raja, Ubermensch) inilah yang dipeluk oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile. "Facisme", kata pemikir ini "bukanlah New System, tata filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru". "Manusia" katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam "ewige Bewegung der Selbstverwirklichung", pergerakan kekal buat berpaduan. Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis liberal kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian tak berpengalaman, tetapi terutama juga "sangsi" sebab negara Italia, kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat dan Amerika. Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak, kalau dipandang dari kaca-mata idealisme. "aksi-baru dan paham-baru" katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku "18th Brumaire of Louise Bonaparte", tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua. Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik oleh Napoleon Besar "ommpya" dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang katanya orang Italia itu. Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca "pergerakan kekal buat perpaduan manusia dan Tuhan" menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan "kastor-olie" buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan "paduan dengan Tuhan itu" dengan lekas. Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti kata Hegel. Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah "semua ini". Ahli filsafat bertanya: "semuanya ini, bumi, langit dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?" Lama-lama persoalan "semua ini" cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang sementara boleh dikatakan sempurna. Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah, Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula. Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik, yang sekarang karena besar daerahnya dan dalam artinya mesti dipelajari sendirinya. Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu Ilmu yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari otak binatang sampai ke otak manusia. Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang Insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika. Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa dipecah-pecah lagi, terpaksa di-"specialiceer" lagi, terpaksa dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain. Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan Ilmu bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja. Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala, yang dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan: "Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?" Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari Hakekat dilekati oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu, pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan "Jasmani dan Rohani", badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa "the working of the mind" kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke laboratorium. Disinilah otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa, diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan, perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa, diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia. Experimentalis William James dan Thorndyke di Amerika, Pavlov di Rusia dan experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan pengalaman yang berharga dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh Ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. "Ketahuilah dirimu sendiri “. Inilah sari persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates. Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas "the working of the mind", kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman. Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment. Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia. Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis : Die Phylosophen haben die Welt nur verschienden interpretiert. Es komt aber daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu!