Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998/Temuan
BAB IV
TEMUAN
Kerusuhan mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.
Para pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terdiri dari dua golongan yakni pertama, massa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua, provokator. Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.
Dari sudut urutan peristiwa, TGPF menemukan bahwa titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998. Sementara pada tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang antara pukul 08.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB. Dengan demikian untuk kasus Jakarta, jika semata-mata dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak. TGPF mendapatkan, bahwa faktor pemicu (trigerring factor) terutama untuk kasus Jakarta terutama untuk kasus Jakarta ialah tertembak matinya mahasiswa Trisakti pada sore hari tanggal 12 Mei 1998.
Dalam derajat yang lebih rendah, tertembaknnya mahasiswa Trisakti tersebut juga menjadi faktor pemicu kerusuhan di lima daerah yang dipilih TGPF, terkecuali kerusuhan Medan dan sekitarnya yang telah terjadi sebelumnya.
Sasaran kerusuhan adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalu lintas dan lain-lain), kantor pemerintah (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan pribadi. Sasaran kerusuhan kebanyakan etnis Cina.
Para pelaku kerusuhan dapat dibagi atas tiga kelompok sebagai berikut:
2.1 | Kelompok provakator. Kelompok inilah yang menggerakkan massa, dengan memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan pengrusakan awal, pembakaran, mendorong penjarahan. Kelompok ini datang dari luar tidak berasal dari penduduk setempat, dalam kelompok kecil (lebih kurang belasan orang), terlatih (yang mempunyai kemampuan terbiasa menggunakan alat kekerasan), bergerak dengan mobilitas tinggi, menggunakan sarana transport (sepeda motor, mobil/Jeep) dan sarana komunikasi (HT/HP). Kelompok ini juga menyiapkan alat-alat perusak seperti batu, bom molotov, cairan pembakar, linggis dan lain-lain. Pada umumnya kelompok ini sulit dikenal, walaupun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi pemuda (contoh di Medan ditemukan keterlibatan langsung Pemuda Pancasila). Diketemukan fakta keterlibatan anggota aparat keamanan, seperti di Jakarta, Medan, dan Solo. |
2.2 | Massa Aktif. Massa dalam jumlah puluhan hingga ratusan, yang mulanya adalah massa pasif pendatang, yang sudah terprovokasi sehingga menjadi agresif, melakukan perusakan lebih luas termasuk pembakaran. Massa ini juga melakukan penjarahan pada toko-toko dan rumah. Mereka bergerak secara terorganisir. |
2.3 | Massa Pasif. Pada awalnya massa pasif lokal berkumpul untuk menonton dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Sebagian dari mereka terlibat ikut-ikutan merusak dan menjarah setelah dimulainya kerusuhan, tetapi tidak sedikit pula yang hanya menonton sampai akhir kerusuhan. Sebagian dari mereka menjadi korban kebakaran. |
3.1 | Kategori
Tentang korban, selama ini dirasakan adanya kecenderungan dari Pemerintah, masyarakat termasuk massa media memusatkan perhatian pada korban akibat kekerasan seksual semata-mata. Fakta menunjukkan bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah orang-orang yang telah menderita secara fisik dan psikis karena hal-hal berikut, yaitu: kerugian fisik/material (rumah atau tempat usaha dirusak atau dibakar dan hartanya dijarah), meninggal dunia saat terjadinya kerusuhan karena berbagai sebab (terbakar, tertembak, teraniaya, dan lain-lain), kehilangan pekerjaan, penganiayaan, penculikan dan menjadi sasaran tindak kekerasan seksual. Dengan demikian, korban dalam kerusuhan Mei lalu dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut:
|
| |||||||||||||
3.2 | Jumlah korban dan kerugian
Sulit ditemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam kerusuhan. Untuk Jakarta, TGPF menemukan variasi jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka sebagai berikut:
Untuk kota-kota lain di luar Jakarta, variasi angkanya adalah sebagai berikut:
Opini yang selama ini terbentuk adalah bahwa mereka yang meninggal akibat kesalahannya sendiri, padahal ditemukan banyak orang meninggal bukan karena kesalahannya sendiri. Perbedaan jumlah korban jiwa antara yang ditemukan tim dengan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah terjadi karena pada kenyataannya begitu banyak korban yang telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat, sebelum ada evakuasi resmi dari pemerintah. Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah. |
4.1 | Kategori korban. Dengan mengacu Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Sementara bila dipakai rujukan dari hukum positif Indonesia, maka semua peristiwa kekerasan seksual tak dapat dijelaskan secara memadai dan adil. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998 lalu, dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu: perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan, dan pelecehan seksual. | ||||||||||||
4.2 | Jumlah korban. Dari hasil verifikasi dan uji silang terhadap data yang ada, menjadi nyata bahwa tidak mudah memperoleh data yang akurat untuk menghitung jumlah korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan. TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya.
Dari jumlah korban kekerasan seksual yang dilaporkan, yang telah diverifikasi (diuji menurut tingkatan sumber informasi) oleh TGPF sampai akhir masa kerjanya adalah sebagai berikut:
|
|
Selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan Mei. Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan. Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF telah mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi pada kerusuhan tanggal 4-8 Mei l998, di antara mana 5 (lima) telah melapor. Setelah kerusuhan Mei, 2 (dua) kasus terjadi di Jakarta pada tanggal 2 Juli 1998 dan 2 (dua) terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli l998.
Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah/bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.
Meskipun korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.
Dari hasil verifikasi saksi dan korban, testimoni para pejabat ABRI dan mantan pejabat terkait, dari aspek keamanan TGPF menemukan fakta bahwa koordinasi antara satuan keamanan kurang mamadai, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat keamanan di berbagai tempat tertentu membiarkan kerusuhan terjadi, ditemukan adanya di beberapa wilayah clash (bentrokan) antara pasukan dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana. Di beberapa tempat didapatkan bukti bahwa jasa-jasa keamanan dikomersilkan. Begitu pula TGPF menemukan adanya kesenjangan persepsi antara masyarakat dan aparat keamanan. Masyarakat beranggapan bahwa di beberapa lokasi telah terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, atau bila ada tidak berbuat apa-apa untuk mencegah atau meluasnya kerusuhan. Sebaliknya, para pejabat keamanan berkeyakinan tidak terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, meskipun disadari kenyataan menunjukkan bahwa lokasi tertentu masih tetap terjadi kerusuhan (di luar prioritias pengamanan), hal ini disebabkan oleh karena terbatasnya kekuatan pasukan.