Halaman:Wawacan Gandasari.pdf/16

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

3

Museum Pangeran Geusan Ulun Sumedang, Museum Cigugur Kuningan) maupun di luar negeri (Belanda, lnggris, Swedia), serta pada koleksi naskah perorangan di masyarakat. Di samping itu, di kantor EFEO Bandung (1990) tercatat sekitar 800 naskah, di Keraton Kasepuhan Cirebon ada 117 naskah, di Keraton Kacirebonan ada 42 naskah. Jumlah naskah pada koleksi Keraton Kanoman belum diketahui, karena belum terbuka untuk diteliti (Ekadjati, 1990 : 2). Apabila dilihat dari jenis isinya, naskah-naskah Sunda dapat diklasifikasikan ke dalam 12 kelompok, yaitu (1) agama, (2) bahasa, (3) hukum/aturan, (4) kemasyarakatan, (5) mitologi, (6) pendidikan, (7) pengetahuan, (8) primbon, (9) sastra, (10) sastra sejarah, (11) sejarah, dan (12) seni (Ekadjati dkk., 1988 : 34 ). Adapun aksara yang digunakan pada penulisan teks naskah-naskah Sunda tersebut dapat dibedakan ke dalam empat jenis, yakni aksara Sunda Kuno, Cacarakan (Sunda – Jawa), Pegon (Arab berbahasa Sunda), dan Latin. Aksara Sunda Kuno umurnnya digunakan dalam naskah-naskah Sunda yang ditulis antara abad ke-15 hingga abad ke-17 Masehi yang di dalamnya pengaruh kebudayaan Hindu masih tampak kuat. Cacarakan digunakan untuk menuliskan teks naskah-naskah Sunda sekitar abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Sedangkan aksara Pegon umumnya digunakan dalam naskah-naskah Sunda sejak abad ke-18 hingga menjelang akhir abad ke-20. Kemudian aksara Latin dipakai menuliskan teks naskah-naskah Sunda pada sekitar abad ke-19. Ketiga jenis aksara yang disebutkan terakhir dalam penggunaannya telah mengalami penyesuaian dengan lafal dalam bahasa Sunda.
Berdasarkan hal tersebut, pada kesempatan ini akan dilakukan sebuah garapan terhadap salah satu teks naskah Sunda, khususnya dari jenis naskah yang benafaskan keagamaan (Islam). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain sebagai upaya penyelamatan naskah, juga dicoba untuk mengungkapkan isi yang terkandung dalam teks naskah tersebut. A. Teeuw (1982: 12–13) pernah menuliskan pengalamannya, bahwa kegiatan menerbitkan suatu teks klasik secara ilmiah dengan segala aspeknya, seperti antara lain: membandingkan nas-