Halaman:UU 2 1976.djvu/3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1976
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

I. PENJELASAN UMUM
Kejahatan penerbangan adalah suatu perbuatan yang di samping mengancam keselamatan baik jiwa maupun harta manusia, juga merupakan tindakan yang sangat mengganggu serta menghambat pengembangan lalu lintas udara internasional maupun nasional serta juga menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan penerbangan sipil menjadi kurang.

Oleh karena itu, kejahatan penerbangan wajib dinyatakan sebagai tindak pidana yang menimbulkan keprihatinan bagi seluruh umat manusia. sehingga pencegahan serta pemberantasannya perlu diusahakan oleh setiap Negara dengan mengancam hukuman yang berat bagi si pelaku di manapun ia berada.
Mengingat bahwa angka peristiwa kejahatan penerbangan akhir akhir ini ternyata meningkat serta memperhatikan, bahwa tidak tertutup kemungkinan, peristiwa kejahatan penerbangan juga dapat terjadi di Wilayah Negara Republik Indonesia ataupun terjadi terhadap Warga negara/Subyek Hukum Indonesia, maka adanya pengaturan Nasional untuk memberantas kejahatan ini merupakan suatu urgensi yang mutlak.
Konvensi Tokyo 1963 tentang "Offences And Certain Other Acts Committed on Board Aircraft", Konvensi The Hague 1970 tentang "The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft" dan Konvensi Montreal 1971 tentang "The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation" adalah merupakan usaha bersama antar Negara untuk mencegah dan memberantas kejahatan penerbangan dan tindak pidana lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara.
Indonesia telah menandatangani Konvensi Tokyo 1963 dan Konvensi The Hague 1970 serta hadir pula pada Konperensi Montreal 1971, yang menghasilkan Konvensi Montreal.
Pada umumnya ketentuan ketentuan tercantum dalam ketiga Konvensi tersebut di atas dapat diterima oleh Pemerintah Indonesia untuk dijadikan dasar menyusun suatu perundang undangan Nasional guna mencegah serta memberantas kejahatan penerbangan.
Dengan demikian Pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk menyetujui ketiga Konvensi tersebut di atas.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Persyaratan persyaratan (reservation) ini dianggap perlu diadakan, karena Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri pada ketentuan dimaksud pada pasal pasal yang bersangkutan, yakni Pasal 24 ayat (1) Konvensi Tokyo 1963, Pasal 12 ayat (1) Konvensi The Hague 1970, dan Pasal 14 ayat (1) Konvensi Montreal 1971 yang masing masing mengatur tentang prosedur penyelesaiannya apabila timbul sengketa.

Pasal 2

Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3076