aranja jang serak mengandung kesedihan.
„Aku sendiri bukan”, djawab Deane sambil menunduk.
„Pertjajalah. Begitu pula kedatangan kami disini bukan untuk menangkap ajahmu. Tapi tjuma Lynch jang akan sanggup membuktikan bahwa ajahmu tidak bersalah, asal sadja kau menolong kami”.
„Siapa jang mendjamin kebenaranmu itu?”
„Aku”, djawab Deane pasti.
„Dan kalau aku tak pertjaja?”
„Kau harus pertjaja. Betul² aku tidak mendustaimu!”
Entah mengapa mata gadis itu djadi berlinang-linang.
„Tapi Deane, sajang sekali aku tak mungkin meluluskan permintaan itu. Hal itu berarti..........”.
Tiba² sekali gadis itu terhenti dan dengan pandangan tjemas menatap kepada Deane. „Deane, mengapa kepalamu!?” Deane memegang kepalanja. Terasa bahwa ada tjairan hangat mengalir dikepalanja itu.
„Tak apa Georgia. Agaknja peluru Doughlin sedikit menjerempet kepalaku tadi”.
Tapi Georgia tidak menghiraukan tolakan Deane tu. Tjepat² dia mengambil sehelai kain dari lemarinja.
„Biarlah Georgia! Sekarang tak ada waktu lagi untuk membalut luka. Antarkanlah kami sebelum Doughlin tahu”.
Sampai disini Deane tertegun. Diluar terdengar sjarat dari Lynch dengan siulan meniru bunji burung hantu. Dan tanpa menghiraukan Georgia jang melongo keheranan Deane melompat melalui djendela, kemudian berlari-lari menudju tempat jang ditundjukkan Lynch tadi. Lynch sendiri dilihatnja sudah berada disampingnja.
Baru sesudah berada diantara pohon² bakau mereka berhenti. Mudjur bagi mereka karena keadaan rumah Cassel masih bisa dilihatnja dengan djelas.
Beberapa detik kemudian Doughlin muntjul diberanda rumah itu. Lengan kirinja sudah dibalut dan suaranja jang serak menggema njaring!
„Cassel....!” serunja. „Cassel! Kau lihat bangsat² itu! Mereka lari!”
84