pur dengan pendjahat² disekitar Port of Spain ini”.
„Ja”, tukas Deane lagi. Dan Lynch mendjangkaukan tangannja, kemudian menggenggam hulupisau itu erat² dan melepaskannja kembali.
„Nah, tjukup sudah! Djadi mereka hanjalah tinggal menjamakan sadja tapak² djari digagang pisau ini dengan tapak² djari jang ada pada benda² dikamarku, sehingga dengan demikian tertjapailah maksudku”.
Deane tjuma menggeleng dan tanpa berkata apa² mengikuti Lynch keluar dari bilik itu melaluj pintu balkon.
VII DEANE meletakkan tempat rokoknja diatas medja. Lynch mengambil tempat rokok itu sebatang sekalipun sebenarnja dia tdak merokok. Dan Deane melihat bahwa tangan temannja itu menggigil. Dia mentjoba merokok, kemudian menutup degan kedua tangannja.
„Rob”, katanja serak. „Sajang sekali memang dan sungguh tak kuduga. Graham anak periang dan haridepannja tjukup baik. Tapi jah, inilah salahsatu konsekwensi darj pekerdjaan kami”.
Sambil mengeluh pandjang Lynch menjobekkan sehelai kertas dari bloknote jang terletak dialas medja, kemudian memberikannja pada doctor Deane.
„Rob, tjoba kita lihat benda itu”.
Deane merenggangkan kedua potlot itu dan bulu jang didjepit tadi djatuh diatas kertas. Tidak ragu lagi bagi mereka bahwa benda itu adalah djambul dari sedjenis burung. Beberapa saat lamanja Lynch dan Deane menatap benda jang berlumur darah itu.
„Inilah satu²nja petundjuk bagj kita”, kata Lynch lagi. Deane jang sudah tidak terpengaruh lagi oleh peristiwa pembunuhan itu mulai turut memperhatikan bulu itu.
„Bert, apakah masuk diakal kalau burung sampai masuk dikamar itu malam²??” katanja.
Lynch menggeleng. „Tidak, memang sukar dimengerti. Lebih² karena kita belum tahu warna asli darj bulu itu. Ini kita baru mengetahuinja kalau darahnja sudah dibersihkan”.
26