benteng Islam yang telah ada diperkuat dan yang belum ada diadakan. Menegakkan agama Islam bukan hanya melalui Khutbah-khutbah.
Hal yang demikian perlu sekali mendapat perhatian dari umat Islam, apalagi mengingat bahwa sekarang ini Belanda telah mengelilingi kita" (10, p. 12).
Pesan dan harapan Sultan Aceh ini ternyata tidak sia-sia. Sultan Thaha Syaifuddin dalam segala sepak terjangnya senantiasa didasarkan atas agama Islam dan berusaha untuk mengembangkan dan membela agama itu.
B. KEHIDUPAN KELUARGA
Sebagai Manusia biasa Sultan Thaha pun mengalami hidup berumah tangga. Raden Haji Muhamad Syarif menantu Sultan Thaha menceritakan bahwa beliau pernah menikah sampai empat puluh kali. Hal ini terjadi karena apabila salah seorang isteri bleiau meninggal atau diceraikan beliau kemudian menikah lagi. Apa motif Sultan Thaha untuk beristri lebih dari satu tidak kita ketahui (10, p. 12).
Di antara istri-istrinya menurut Haji Saat (98 tahun) tokoh masyarakat dan akhli adat yang tinggal di Lubuk Landai, ada dua orang yang pernah tinggal bersama Sultan Thaha di Lubuk Landai, Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo ialah Ratu Mas dan Mbok Pipit. Ratu Mas menurunkan dua orang Anak. Yang laki-laki Pangeran Ratu dan yang perempuan Timah Intan; Sedangkan Mbok Pipit menurunkan dua putera, kedua-duanya laki-laki yaitu: Raden Kartopati dan Raden Ali (14, p. 5).
Sultan Thaha juga mempunyai istri bernama Kamsyiah. Diceritakan selanjutnya bahwa sebelum menikah dengan Sultan Thaha, Kamsyiah adalah seorang janda yang telah mempunyai dua orang anak, yang laki-laki bernama Hasan dan yang perempuan bernama Puneh.
Perkawinannya dengan Kamsyiah ini menurunkan lima orang putera dari lima orang putera tersebut tiga di antaranya masih hidup sampai sekarang. Mereka itu ialah Kamaruddin, Abutani dan Ilyas, yang kesemuanya tinggal di Nanggolo, Sumatra Barat (10, p. 12).
Tentang berapa jumlah putra Sultan Thaha, Raden Haji Muhamad Syarif menerangkan bahwa di antara istri Sultan Thaha itu ada sembilan yang mempunyai keturunan. Mereka itu ialah:
22