orang kampung, tak menaruh belas kasihan, nan benar tak boleh disebut, kata tak boleh dijawab.
Kalau berkata sekali cukup, menggayung sekali putus, berani nan bukan kepalang, lompatan sekayu kain, badannya gemuk tinggi besar, betis serupa batang manau, uban penuh di kepala, tak ada orang nan melawan, takut semua hamba rakyat, kalau dilawan tak terlawan, makan kakinya meruntun manau.
Sungguh beliau orang tua, umurnya hampir tujuh puluh, uban sudah penuh di kepala, meskipun badan sudah tua, perhatian serupa anak muda, orang tua-tua keladi, meskipun tua selera tajam, pantang melihat anak gadis.
Kalau dilihat perempuannya, lebih dari dua puluh orang, tiap tahun ia beristri, lepas satu berganti nan lain, habis manis sepah dibuang, adapun istri nan diceraikan, tak boleh diganti orang, kalau diganti orang nan lain, alamat badan akan binasa, dituduh maling dan mencuri.
Kata didengar orang penting, mesin mulutnya Tuan Kumandua, Angku Lareh pun sangat sayang, pengaduan didengar Tuan Luhak, karena itu orang takut, tak ada nan membantah, orang di negeri semua takut.
Konon adanya Angku Kapalo, berkata pada tukang kuda, "Pasanglah bendi Bugis, beri pakaian si kuda belang, untuk dibawa pergi rapat, saya berangkat pagi ini.”
Mendengar kata Angku Kapalo, tukang kuda langsung berlari, berlari dengan cepatnya, diambil si kuda belang, dipasanglah bendi Bugis.
Adapun si Angku Kapalo, berlari naik ke dalam rumah, ditukar pakaian saat itu, dipakailah celana pentolan, pentolan putih model Parian, dipakai baju laka hitam, baju berkerah model Keling, dipakai kain samping bugis ungu, saluk terpasang di kepala, dipakai kacamata emas, angkuh seperti Angku Lareh, tampan seperti raja-raja.
Setelah selesai berpakaian, kuda dilecut lari kencang,
5