Halaman:Sejarah Kota Banjarmasin.pdf/86

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini belum diuji baca

76

padi dari tangkainya dengan menggilasnya dengan telapak kaki. Para pemuda dan pemudi yang melaksanakan acara ahui ini berbaris satu persatu sampai menggilas padi dari tangkainya. Kelompok lainnya melagukan beberapa pantun secara bersahut-sahutan dan setelah tiba pada baris terakhir (keempat) serempak mereka semua menyambutnya dengan ”ahui” bersama-sama. Sekarang acara ahui ini disempurnakan dan dijadikan sebuah tarian yang disebut tari ahui dengan perlengkapan alat tabuhan untuk mengiringinya.

Setelah padi disimpan di lumbung, maka pada malam pertama sampai ke tiga di samping lumbung itu diletakan sebuah lampu kecil minyak tanah dan sebuah tempat sirih lengkap isinya dengan kapur, gambir, pinang, tembakau dan beberapa lembar sirih. Hal ini merupakan suatu kepercayaan yang bersumber dari animisme, bahwa roh padi yang baru itu perlu dihormati yang kepadanya disediakan penerangan lampu dan persediaan untuk makan sirih.

5.2.3. Upacara Desa

Upacara desa hanya dilaksanakan apabila desa itu mendapat serangan wabah penyakit. Misalnya pernah terjadi serangan wabah cacar yang menyebabkan setiap hari terjadi kematian beberapa orang karena mendapat serangan wabah cacar. Begitu pula pernah terjadi serangan wabah penyakit malaria, kolera dan disentri. Di samping adanya tindakan-tindakan dari Pemerintah Daerah setempat untuk menanggulangi penyakit tersebut dengan tindakan secara medis, maka penduduk setempat melakukan suatu upacara terbuka oleh beberapa orang yang membacakan mantera-mantera sambil berjalan keliling kampung dengan membawa air tawar.

Upacara ini dikenal dengan istilah upacara tolak bala yang maksudnya agar desa itu terhindar dari datangnya bala wabah penyakit tersebut. Hal yang sama juga dilakukan apabila sawah