Lompat ke isi

Halaman:Sastra Lisan Minangkabau.pdf/25

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

mengantarkan pengertian dan keadaan yang lebih luas. "Sering sebuah kata tertentu selain mewakili pengertian tertentu, juga ada yang langsung mewakili “bendanya” atau "hal keadaannya”(Tamsin Medan,1975).

  Di dalam mantra yang ada hubungannya dengan "bisa" sering tersebut Kata-kata atau nama Sutan Karimun dan Sidan Naurai. Kata atau nama ter-sebut selain mengantarkan pengertian tertentu ia juga sekaligus lambang dari suatu keadaan bahkan suatu peristiwa sebagai latar belakang.
  Sidan Naurai seorang istri yang sial. la telah kawin beberapa kali, tapi selalu suami-suaminya meninggal pada permulaan masa perkawinannya. Akhirnya ia kawin dengan seorang lebai yang bernama Sutan Karimun. Peristiva masa lalu Sidan Naurai menjadi tanda tanya oleh Sutan Karimun sehingga pada malam pertama perkawinannya diintipnya istrinya yang sedang tidur, Rupanya dari lubang hidung Sidan Naurai keluar seekor Lipan merah bercahaya-cahaya dan menjalar di sepanjang tubuhnya. Sewaktu didekatinya lipan itu kembali menghilang dan masuk ke dalam lubang hidung Sidan Naurai, Besoknya disediakan Sutan Karimun sebuah perangkap berupa buluh, Ia berjaga-jaga. Sewaktu lipan itu keluar ditampungnya dengan buluh itu. Kemudian butuh itu ditutup dan diletakkan jauh-jauh. Keesokannya butuh itu dibakarnya di tengah sawah. Abunya disimpan dan dipandang sebagai induk bisa.
  Dalam mantra nama Sidan Naurai selain sebagai nama ia juga merupakan asal dari bisa (lipan) sementara Sutan Karimun adalah penakluk dan penyimpan bisa tersebut, Dalam kepercayaan totemisme segala benda yang dianggap keramat mestilah dapat dijelaskan berdasarkan suatu peristiwa atau kejadian yang merupakan asal-usul kekeramatan itu. Demikian pula dengan mantra. Nama, benda, atau sesuatu yang diseru didalam sebuah mantra merupakan lambang dari yang keramat atau sakti. Kenapa nama, benda atau sesuaiu itu yang diseru, ini akan punya cerita tersendiri.
  Kehidupan mantra sebetulnya lebih subur dan lebih cocok dengan kepercayaan animisme atau dengan totemisme. Akan tetapi, ternyata bahwa sesudah ajaran Islam masuk semuanya tidak serta-merta meniadakan kehidupan mantra, Malahan terjadi semacam asimilasi.
  Awalnya dengan mengucapkan nama Allah dan akhirnya dengan

mengembalikan agama ini kepada Allah.Bentuk lain dari asimilasi itu ialah semakin berkurangnya mantra-mantra jahat (hitam) karena mantra yang demikian dianggap tidak cocok dengan ajacan Islam, Sementara mantra-mantra yang bertujuan baik tetap hidup dan dikaitkan dengan kepercayaan dan ajaran Islam.

Sebugat jenis sastra mantra ini menjadi unik dan menarik oleh adanyaunsur magis dan kepercayaan di dalamnya. Sebagai salah satu bentuk puisi ia

11