Halaman:Puisi Afrizal Malna; Kajian Semiotika.pdf/37

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

tidaklah "separah" kaum dadais yang memuja nihilisme total dan anarkis, ia masih memberikan ruang komunikasi kepada pembacanya (Fadlillah, 2003: 130-1).

Komunikasi yang berlangsung dalam gerakan seperti itu tidak dapat ditangkap dalam acuan yang jelas terhadap puisi itu sebagai teks yang menghadirkan sebuah totalitas makna. Dengan kata lain, tidak ada acuan estetika atau moral yang baku di dalamnya sebab diksi dada sendiri merujuk kepada ketidakpastian dan ketidakhadiran makna (logos) yang jika dilihat dari sisi gramatikal tidak menciptakan makna melalui alur pikiran yang teratur.

Hal itu juga tidak lepas dari tujuan gerakan dada dalam seni, termasuk puisi, yaitu antiestetika, antilogika, dan mendekati nihilisme dan memandang segala sesuatu secara longgar. Akan tetapi dada bukan pula sesuatu yang tidak mempunyai konsep. Dalam puisi dada, yang terpenting dan yang menjadi bahasa dalam puisi itu adalah aspek performansnya. Menurut Kurt Schiwitters, salah seorang tokoh dadaisme, komunikasi puisi dada terjadi sebagai bahasa ketika apa pun aspek suara dan ataupun teks dapat diolah sebagai material untuk menjadi sebuah pertunjukan (dikutip dari situs www.comil.music.uiuc.edu/projects/EAM/ dadaism/html.). Jadi, ini merupakan pengkonkretan kata, yang dalam seni rupa disebut instalasi benda. Dalam penampilan itu kata mengalami transformasi dari teks menjadi bahasa ruang. Mungkin juga dalam kasus kebahasaan, puisi Malna yang tergolong dada atau bukan memperoleh gambaran jawaban bagaimana bentuk bahasa yang dikonkretkan dalam sebuah pertunjukan seni. Akan tetapi, apakah kemungkinan refleksi makna dan permainan semiotika terdapat juga dalam puisi-puisi seperti itu? Jawaban pertanyaan itu tergantung pada sudut pandang untuk menganalisisnya.

Harry Aveling mencatat sebuah kritik yang kritis oleh Sarah Mazim dan Linda Owens dalam kata pengantar buku Selected Poems: Afrizal Malna bahwa puisi seperti dari Malna itu tidak selalu dapat dipahami oleh pembacanya karena acuan dan tujuan pembacaannya adalah "untuk mencari makna yang jelas dan pesan-pesan moral" yang standar (Aveling, 2003: 193).

23