Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/55

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

56

POLA-POLA KEBUDAJAAN

sama lain. Setjara tabah disangkalnja dalil jang menjatakan bahwa salahsatu diantaranja bersifat terachir. Ia tak menamakan berbagai sikap jang diselidikinja itu sebagai sikap²-kebudajaan akan tetapi karena mendjadi pokok² penjelidikannja ialah keseluruhan2-filsafat jang luhur dan masa²-sedjarah seperti zaman Frederik Akbar, dengan sendirinja karyanja makin lama makin sadar mengarah kesuatu pengakuan dari peranan jang dimainkan oleh kebudajaan.

Oswald Spengler telah menarik konsekwensi daripada pengakuan ini se-djauh²nja. Karyanja „Untergang des Abenlandes” mendapatkan namanja bukan dari pikiran²-ketakdiran, seperti nama jang diberikan olehnja kepada anasir² pemberi tjorak peradaban, melainkan dari suatu thesis jang terletak diluar persoalan kita, jakni, bahwa, keseluruhan² kebudajaan, seperti halnja dengan organisme², mempunjai batas-umur jang tak bisa dilangkahinja. Sebagai alasan daripada theori mengenai runtuhnja peradaban², dikemukakan kenjataan tentang perpindahan pusat² kebudajaan dalam peradaban Barat dan sifat² periodik daripada puntjak² kebudajaan. Ia tambahi pandangan ini dengan suatu analogi, jang tak bisa bersilat lebih daripada suatu analogi, tentang cyclus lahir dan mati organisme² hidup. Ia jakin, bahwa tiap² peradaban mengalami keremadjaan jang riang gembira, kedewasaan jang kuat dan masa tua jang menudju keruntuhal.

Tafsiran sedjarah seperli itulah jang umumnja kita ingat, apabila memperbintjangkan „Untergang des Abenlandes”. Padahal Spengler memberi sesuatu jang lebih berharga dan orisinil dalam analisanja tentangdua bentuk²-struktur jang berlawanan dalam peradaban Barat Ia mengemukakan dua „pikiran² ketakdiran” besar sifatnja sangat berlainan : Paham Ap llonis dari dunia klassik dan paham Faust dari dunia modeden. Manusia appolonis menganggap djiwanja „sebagai kosmos jang tersusun kelompok terdiri dari bagian² jang utama”. Dalam kosmosnja tiada tempat bagi kemauan, dan filsafat demikian itu mengutuk pertentangan² sebagai kedjahatan. Pikiran tentang perkembangan batin peribadi samasekali asing bagi filsafat ini, dan hidup ini dipandang sebagai sesuatu jang terus-menerus diantjam oleh bentjana² dari luar. Klimaks jang tragis selalu dianggapnja sebagai gangguan jang sewenangnja terhadap pemandangan jang njaman dari kehidupan normal. Kedjadian sematjam itu bisa menimpa setiap individu dengan tjara jang sama, dan hasil jang sama pula.

Dalam pada itu ia melukiskan manusia Faust sebagai suatu peribadi, jang dtakdirkan untuk selalu mengatasi halangan². Perdjalanan hidup peribadi dipandangnja sebagai suatu perkembangan batin, dan bentjana² dalam kehidupan adalah akibat² jang tak terhindarkan dari pengalaman² jang dialami dan pilihan² jang diadakan dimasa lampau.