Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/37

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
POLA-POLA KEBUDAJAAN

sekali tak boléh mendekatinja. Sebuah sudut didusun, jang merdka biasa tempati adalah milik meréka, dan anak² lelaki adalah musuh²nja jang tradisionil Meréka mempurjai satu tugas, jakni mendjaga anak² jang masih sangat ketjil jang masih menjusu, akan tetapi mendjaganja tak dirumah, melainkan dengan membawanja ber-main², sedangkan permainannja tak terlalu terganggu oléh karenanja. Beberapa tahun sebelum pubertét, apabila meréka sudah tjukup kuat untuk melakukan pekerdjaan jang letih sukar dan tjukup tua untuk mempergunakan tangannja, kelompok-pemainan itupun bubar. Si gadis harus mengenakan pakaian perempuan dan harus membantu dalam rumah-tangga. Ini merupakan suatu masa jang membosankan didalam hidupnja, tanpa ada selingan apa². Pubertét tak merobah keadaannja.

Beberapa tahun setelah pubertét, mulailah tahun² jang menggembirakan dengan kadanga ada kisah-pertjintaan bébas, jang meréka langsungkan selama mungkin sampai péda masa meréka dianggap telah tjukup déwasa untuk kawin. Pubertét itu sendiri tak mendapat pengakuan sosial sebagai hal jang chusus, dan tak pula diikuti dengan perobahan sikap atau sesuatu harapan apapun. Tradisi meminta, supaja sifat malu² dari masa sebelum pubertét harus dipertahankan untuk beberapa tahun lagi. Kehidupan seorang gadis di Samor ditentukan oléh pertimtangan² lain daripadi hanja kedéwasaan séksuil, dan pubertét datang pada masa jang sama sekuli tak kentara dan tanpa gedjala² pantjaroba, serta sirnasekali tiada sengkéta²-pubertét. Karena itu. mungkinlah bahwa masa-pubertét tak sadja dalam kebudajaan berlalu tanpa pubertét upatjara apa², akan tetapi kehidupan-perasaan si anakpun dan dalam sikap orang² didusun terhadap diapun tak ada apa² jang sifatnja istiméwa.

Perang adalah théma lain lagi, jang boléh djadi - atau tidak dipergunakan dalam sesuatu kebudajian. Dimana perang memainkan peranan penting, maka ini bisa dilakukan dengan tudjuan² jang berbéda, dengan organisasi² jang berbéda dalam sifat-hubungannja terhadap negara, dan dengan tjara² jang berbéda² pula dalam penilaiannja, Perang bisa merupakan alat guna menangkap tawanan² untuk didjadikan kurban² keagamaan, seperti misalnja pada bangsa Azték. Orang² Spanjol, jang bqperang se-mata² untuk membunuh, melanggar aturan² berperang menurut ukuran² Azték. Oléh karena itu, ibukota bangsa Azték sebagai Pemenang.

Dilihat dari sudut tindjauan kita, masih ada pikiran mengenai perang jang lebih anéh lagi diberbagai bagian dunia. Dalam hal ini, kita tjukup memperhatikan daérah², jang belum pernah mengalami adanja kesatuan² masjarakat setjara terorganisasi saling bunuh-mem-