Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/214

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

SIFAT-TABIAT MASJARAKAT

215

adalah lebih sukar lagi untuk kalau dianggap perlu — meninggalkan kesukaan kita terhadapnja. Tjiri² itu adalah sama lumrahnja seperti rumah kita sendiri. Dunia jang tidak memiliki tjiri² ini, tampak menjedihkan dan tak mungkin diterima bagi kita. Namun djusteru tjiri² inilah jang oléh mekanisme proces kebudajaan jang asasi sering kali diperkembangkan se-djauh²nja. Meréka melebihi dirinja sendiri, dan lebih lagi dari tjiri² lainnja jang manapun djuga, kita mungkin tidak bisa menguasainja lagi. Djusteru disana dimana sikap kritis sangat diperlukan, maka kita malahan bersikap sangat tidak kritis. Memang akan datang penjesuaian kembali, akan tetapi ini akan terdjadi dalam bentuk revolusi atau kehantjuran. Kemungkinan adanja kemadjuan jang serba tertib telah tertutup karena generasi jang bersangkutan tidak mampu untuk memberi penilaian jang tepat terhadap lembaga² jang telah tumbuh meliwati batasnja. Meréka tidak bisa membuat neratja untung-rugi, karena mereka telah kehilangan kemampunannja untuk melihatnja setjara objéktif. Keadaan itu harus mentjapai suatu titik kritis, sebelum ada kemungkinan untuk bisa diperbaiki.

Sampai sekarang ini, kita selalu menunggu sedemikian lamanja dalam memberikan penilaian jang objéktif terhadap tjiri² jang terpenting sampai tjiri² ini tak mempunjai nilai praktis. Agama tak dipandang setjara objéktif sebelumnja ia berachir mendjadi tjiri kebudajaan, jang dimasa lampau sangat dihargai oléh masjarakat. Sekarang, untuk pertama kalinja, ilmu perbandingan agama² bébas untuk menjelidiki tiap² masalah jang bersangkutan dengannja dari segala segi. Sekarang belumlah mungkin untuk menindjau kapitalisme setjara bébas dari segala segi, sedangkan, dimasa perang, pelaksanaan peperangan dan masalah² hubungan internasional djuga tabu. Namun adalah perlu, bahwa kita menganalisa setjara teliti tjiri² terpenting peradaban kita. Adalah perlu, bahwa kita mengerti, bahwa meréka itu tidak mengikat karena mewakili tjiri² hakiki dan asasi dari kelakuan² manusia, akan tetapi hanja selama meréka itu memiliki arti setempat dan terus berlangsung berkembang dalam kebudajaan kita. Orang Dobu berpendapat, bahwa hanja ada satu tjara hidup sadja, jang asasi bagi sifat manusia, jakni pengchianatan jang dihubungkan dengan ketakutan jang hampir merupakan penjakit. Demikian pula orang² Kwakiutl hanja bisa melihat hidup ini sebagai kesempatan² jang ber-turut² untuk berlomba dan bersaing, dimana suksés diukur dengan besar-ketjilnja penghinaan jang ditimpakan kepada orang lain. Kepertjajaan ini dalam kedua hal itu berdasarkan arti sikap² ini dalam peradabannja. Akan tetapi arti suatu lembaga dalam kebudajaan jang tertentu bukanlah se-kali² merupakan bukti akan gunanja dan kemestiannja. Alasan sematjam itu sangat diragu²kan dan tiap² sifat pengawasan kebudajaan, jang kita harapkan