Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/120

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

DOBU

121

daérah sendiri, sehingga dengan begitu perkawinan berarti diadakannja hubungan antara dua désa, jang saling bermusuhan. Akan tetapi perkawinan² inipun tak membawa perbaikan dalam hubungan antara kedua désa itu. Sedjak dari mula lembaga²-perkawinan ditudjukan untuk mentjiptakan sengketa sengit antara kedua kelompok ini. Perkawinan dimulai dengan suatu tindakan permusuhan dari pihak mertua-perempuan. Ia sendiri menutup rapat² pintu rumah, dimana pemuda itu tidur ber-sama² dengan anak-permepuannja dan dengan begitu si pemuda masuk perangkap dan bisa dipertunangkan setjara resmi didepan umum. Sebelum itu sedjak permulaan pubertetnja ia tiap² malam tidur dalam rumah gadis² jang belum kawin, Adat² kebiasaan memboléhkan dia masuk dalam rumahnja sendiri. Beberapa tahun lamanja ia bisa meloloskan diri dari akibat dan tanggungdjawab perbuatan²nja itu dengan memilih tempat² jang ter-pentjar² dalam membagi tjintanja, dan meninggalkan rumah itu sebelum fadjar menjingsing. Kalau ia achirnja djatuh dalam perangkap, maka kebanjakan kali hal ini disebabkan karena ia sudah bosan dengan pengalamannja atau karena ia sedikit-banjaknja telah mendjatuhkan pilihannja. Oléh karena itu ia tak perlu bangun terlalu pagi. Namun ia masih dianggap djuga tak bersedia untuk menerima kehinaan perkawinan. Kedjadian selandjutnja hingga ia terpaksamenerima hinaan ini disebabkan oléh adanja sang mertua-perempuan jang berdiri didepan pintu. Djikalau orang² désa, jakni kerabat² garis keturunan pihak perempuan dari si gadis, melihat perempuan tua ia berdiri tak ber-gerak² didepan pintu, maka meréka berkumpul dan dengan disaksikan oléh umum pemuda dan gadis itu keluar dari dalam bilik dan duduk diatas tikar ditanah. Orang² désa itu memandang meréka setengah djam lamanja dan kemudian pergi, ini berarti bahwa pemuda dan gadis itu sudah dipertunangkan setjara resmi.

Sedjak itu mempelai laki² itu harus memperhatikan désa isterinja. Per-tama² ia harus bekerdja. Segera mertua-perempuannja memberi tongkat gali kepadanja, seraja katanja : „Sekarang, kerdja !” Ia harus membuat kebun dibawah pengawasan ibu dan bapa-mertuanja. Djikalau meréka masak dan makan, ia harus terus bekerdja, karena ia tak diperboléhkan makan didepan mata meréka. Ia mempunjai kewadjiban rangkap. Djikalau ia sudah selesai menanam atau memelihara kebun ubi mertuanja, iapun harus memelihara kebun keluarganja sendiri. Bapa-mertuanja bisa mnggunakan kekuasaannja se-wenang² dan menikmati kekuasaan atas anak menantunja ini. Bukan pemuda itu sadja jang mendjadi korban, djuga kerabat²nja dibebani dengan tugas². Demikian beratnja tugas² itu membebani saudara²-laki²nja, jang diwadjibkan mengusahakan alat² bagi kebun itu dan mengumpulkan benda² berharga untuk mas-kawin, sehingga sekarang ini sering kedjadian