PENDIDIKAN TINGGI
Universitas seperti jang kita kenal sekarang dinegara-negara Eropah adalah sesuatu jang berkembang dari perguruan tinggi diabad pertengahan. Dalam tahun 1179 Muktamar Geredja Katolik membuat peraturan bahwa semua katedral harus mempunjai seorang guru jang memberi peladjaran kepada para pegawai geredja dan kepada pemuda-pemuda dari keluarga jang tidak mampu. Pendiidikan ini sangat berbau agama dan tarafnja meliputi pendidikan rendah dan menengah.
Memang ilmu-ilmu pada masa itu belum sebanjak jang sekarang ini tjabang-tjabangnja. Orang jang berhak memberi izin mengadjar disekolah-sekolah itu adalah pegawai jang berada dibawah Uskup, dan dinamakan Kansel. Kekuasaan ini kadang-kadang disalah-gunakan untuk menolak orang jang pendiriannja agak progressip.Untuk mendjamin kepentingan mereka terhadap kekuasaan veto dari kanselir ini, guru-guru disekolah katedral Notre Dame di Paris, jang sangat terkenal waktu itu, membentuk suatu badan sedjenis serikat sekerdja jang dinamakan universitas magistrorum, atau persekutuanguru-guru. Inilah asal mulanja nama jang kita pakai sekarang.
Lambat-laun persekutuan ini makin kuat kedudukannja dan sekitar tahun 1210 universitas jang di Paris sudah mendapat dukungan se-penuhnja dari radja dan paus. Djuga terhadap rakjat djelata, jang sering bertengkar dan berpukul-pukulan dengan para siswa, badan ini sudah berkedudukan kuat.
Dalam tahun 1229 terdjadilah lagi perkelahian jang menumpahkan darah antara para siswa dan orang-orang luar universitas. Universitas memutuskan mengambil tindakan tegas dan mengumumkan bahwa kalau universitas tidak diberi pembajaran kerugian maka tidak akan diberi izin lagi pada siapapun untuk beladjar atau mengadjar di Paris dan mereka jang mengungsi dari sana tidak dibolehkan lagi kembali sebelum 6 tahun lewat.
Dengan ini dimaksud agar Paris sadar bahwa tanpa guru-guru kelaparan dibidang kebudajaan. Dan memang pengungsian guru-guru dan siswa-siswa itu terdjadi sungguh-sungguh. Ini di-namakan "cessatio" dan mereka pindah ke Oxford, Cambridge, Toulouse, Bologna dan Salerno, dimana mereka diterima dengan tangan terbuka. Sambil lalu perlu ditjatat disini bahwa dimasa itu masih mudah bagi guru dari negeri jang satu pindah mengadjar kenegeri lain, karena kurikulum masih universil dimana-mana dan bahasa pengantar ilmu adalah bahasa Latin.
Harus diakui bahwa para siswa di Paris memang sangat angkuh,agak brandalan dan suka berkelahi, akan tetapi kota itu menjadari bahwa tanpa universitas kota itu akan mundur dalam segala lapangan terutama dilapangan teologia, dalam hal mana tidak ada uni-versitas lain jang dapat menjaingi Paris.
34