Lompat ke isi

Halaman:Perahu Madura.pdf/28

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

sehingga timbul rasa tergantung kepada alam, kepada-yang menguasai alam itu sendiri, Maka dilakukanlah usaha-usaha ”berdialog” deagan laut, baik dengan doa-doa mantra-mantra, tumbal-tumbal dan prasarat, menghindari pantangan serta ”*membersihkan diri’’ dalam melaksanakan pelayaran. Usaha-usaha inilah yang antara lain menimbulkan kepercayaan dan keyakinan nelayan untuk berani mengarungi badai dan kembali selamat sampai ke tempat.

Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat kemudian berakar, diikuti turun-temurun dan dianggap suatu keharusan yang sudah baik. Oleh karena itu suatu kejadian selalu dilaksanakan dengan cara se- rupa, sehingga segala sesuatunya menjadi baku. Segala perubahan dianggap melanggar, segalanya menjadi tabu. Setiap benda dianggap ada apa-apanya yang disebut "se atogu” artinya: yang menunggu, yang "menjiwai" benda tersebut.

Pembuat-pembuat perahu waktu mengerjakan pembuatan perahu sangat patuh berpegang kepada pakem prasarat-pantangan dan larangan. Pakem-pakem tersebut hanya dimiliki oleh tukang perahu dan pelaut tua saja. Waktu membuat perahu dilaksanakan "selamatan", waktu telah selesai diadakan "rokat". Di bawah ini disertakan doa mantra sebagai contoh:

Dalam turun ke laut, di Raas berjalan tradisi sebagai berikut: Setelah kedua kaki masuk ke dalam air laut, sebelum naik ke perahu doa dibaca. Kedua lutut dipegang dengan tangan kanan dan kaki di- hentakkan ke bumi tiga kali. Doa mantranya :

Se bentar bume. Maka tertutup mulutnya, terkalau kakinya. . . dan seterusnya.

(Pembelah bumi. Maka tertutup mulutnya, lunglai kakinya..) Apabila akan berlayar, misalnya akan ke Aceh, maka bila naik ke perahu peganglah ”gul-tonggul’’nya, kemudian perahu diajak :

Maju sateya ba’na noro’ sengko’ ka Aceh. Sengko’ no ro’a ba'na.......... (Marilah sekarang engkau ikut saya ke Aceh. Saya akan ikut engkau .........) Rasa cipta diangankan bahwa sebenarnya berhadapan dengan Yang Maha Kuasa, kemudian diucapkan :

Banyu geni—banyu ola. Sengko’ mangkada ka Aceh.

Mon ba’na salamet sengko’ salamet. Mon ba’na calaka’ sengko’ calaka’, Tape sengko’ menta’a salamet. Maju ba’na jalan ka ada’.

(Air api-air masak. Saya akan berangkat ke Aceh. Kalau eng-

23